Daftar Isi
Bab 1: Jarak yang Memisahkan
Lara menatap layar laptopnya, matanya terfokus pada pesan yang baru saja masuk. Sinar matahari yang meredup menyinari kamar kecil apartemennya, mewarnai dinding dengan rona keemasan. Walaupun cahaya itu indah, pikirannya jauh dari suasana tenang. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: pesan dari Alden. Sudah hampir dua minggu sejak mereka pertama kali berkenalan, dan meskipun hubungan mereka terjalin dalam waktu singkat, ada sesuatu yang mendalam dalam diri Lara yang membuatnya terus teringat pada pria itu.
Pesan yang masuk begitu sederhana: “Bagaimana harimu, Lara? Aku rindu obrolan kita.”
Tiba-tiba, rasa hangat mengalir ke dalam dadanya. Rindu. Padahal, baru beberapa hari sejak mereka terakhir bertukar pesan. Namun, kenangan pertemuan pertama mereka di sebuah kafe kecil yang terletak di kota asing ini masih sangat jelas dalam ingatannya. Alden, dengan rambut sedikit berantakan, kemeja biru yang tampak sedikit kusut, dan senyuman yang membuat Lara merasa nyaman meskipun berada di tempat yang jauh dari rumah, adalah sosok yang tak pernah ia duga akan hadir dalam hidupnya.
Lara tersenyum pelan sambil mengetikkan balasan: “Hari ini cukup panjang, banyak tugas yang harus diselesaikan. Tapi aku selalu senang mendengar kabarmu, Alden. Apa yang kamu lakukan?”
Namun, seiring menunggu balasan, pikirannya kembali melayang. Dua minggu lalu, mereka bertemu secara kebetulan di kafe yang tak jauh dari kampus tempat Lara melanjutkan studinya. Pada saat itu, ia sedang menikmati secangkir kopi, duduk seorang diri, dan membiarkan kesibukan kota mengalir di sekitarnya. Tiba-tiba, sebuah buku yang terletak di meja terjatuh, dan Alden, yang duduk di meja sebelahnya, segera membantu memungutnya. Saat itu, kedua mata mereka bertemu, dan meskipun mereka tidak saling mengenal, ada semacam koneksi yang membuat mereka terus berbicara lebih lama daripada yang seharusnya.
Alden memperkenalkan dirinya sebagai seorang fotografer yang sering bepergian ke berbagai belahan dunia untuk proyek-proyeknya. Lara, yang selalu tertarik dengan dunia seni dan arsitektur, merasa terhubung dengan Alden dan mereka pun mulai berbagi cerita. Mereka berbicara tentang kehidupan, impian, dan pengalaman pribadi mereka. Dalam waktu singkat, mereka merasa nyaman satu sama lain, seperti sudah lama saling mengenal. Namun, seperti halnya semua pertemuan yang penuh kenangan indah, mereka akhirnya menyadari bahwa kehidupan membawa mereka ke jalan yang berbeda. Alden harus kembali ke negaranya keesokan harinya, sementara Lara tetap berada di kota asing ini untuk mengejar impian akademisnya.
“Sungguh,” kata Lara dalam hati, “Kamu terlalu cepat merasa dekat dengan seseorang yang hampir tak pernah kamu kenal.”
Namun, ada perasaan lain yang mengganggu pikirannya. Meskipun mereka terpisah oleh jarak ribuan kilometer, Lara merasa seolah ada benang tak terlihat yang mengikat mereka berdua. Setiap kali mereka berkomunikasi melalui pesan, entah mengapa, ia merasa lebih hidup. Ada kebahagiaan kecil yang terlahir hanya dengan membaca pesan-pesan Alden. Bahkan, kalimat sederhana seperti “Bagaimana harimu?” bisa membuatnya merasa lebih dekat dengan pria itu.
Akhirnya, setelah beberapa menit menunggu, pesan balasan dari Alden pun muncul.
“Aku baru saja selesai bekerja di luar kota. Rasanya semua perjalanan ini terasa lebih sepi tanpa ada seseorang untuk berbicara tentang segala hal. Aku sering berpikir tentang obrolan kita, Lara. Kamu benar, meski kita berada di tempat yang berbeda, sepertinya kita saling mengerti.”
Lara merasakan detakan jantungnya menjadi lebih cepat. Setiap kata yang ditulis Alden mengandung kehangatan yang mengingatkannya bahwa meskipun mereka berjauhan, perasaan itu tetap ada. Tidak ada penjelasan rasional mengenai mengapa mereka merasa begitu terhubung. Hanya saja, perasaan itu ada, dan Lara tak bisa menepisnya begitu saja.
“Jadi, bagaimana kita melanjutkan ini?” pikir Lara, sambil menatap layar laptop. “Aku juga sering berpikir tentangmu, Alden. Mungkin kita bisa melanjutkan obrolan ini lebih sering.”
Namun, sebuah perasaan cemas perlahan muncul dalam dirinya. Jarak. Selalu ada hal itu antara mereka. Lara tahu, meskipun komunikasi mereka lancar, kenyataan bahwa mereka terpisah oleh benua yang berbeda bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Mereka memiliki hidup yang berbeda, tujuan yang berbeda, dan dunia yang berbeda. Bagaimana jika perasaan ini hanya sebuah keinginan sesaat? Atau lebih buruk lagi, bagaimana jika hubungan ini menjadi beban bagi mereka berdua?
Terkadang, Lara merasa terjebak di antara dua dunia: dunia akademis yang penuh tuntutan, dan dunia perasaan yang lebih bebas. Meskipun ia tahu bahwa tujuannya adalah meraih gelar dan membangun karier yang sukses, ada bagian dari dirinya yang merindukan kebersamaan dengan seseorang, seseorang yang membuatnya merasa lebih dari sekadar pelajar di kota asing ini. Tapi bagaimana jika Alden tak merasa hal yang sama? Bagaimana jika hubungan ini hanya sementara, seperti angin yang datang dan pergi begitu saja?
Lara menghela napas panjang dan menatap layar laptopnya. Saat ia melihat foto Alden yang terlampir dalam pesan terakhirnya—sebuah foto pemandangan indah dari suatu tempat yang belum pernah ia kunjungi, sebuah rasa rindu yang mendalam menghujam hatinya. Meskipun mereka terpisah ribuan kilometer, dalam sekejap, Lara tahu, perasaan itu lebih dari sekadar kata-kata. Cinta itu ada, dan jarak itu hanya sebuah tantangan yang harus mereka hadapi bersama.
Lara mengetikkan pesan balasan dengan hati yang penuh keraguan namun juga harapan.
“Kita akan lihat nanti, Alden. Tapi aku senang kita bisa terus berbicara. Entah bagaimana, aku merasa ini baru permulaan.”
Begitu pesan itu terkirim, Lara menatap layar dengan penuh harapan dan ketakutan yang sama. Apakah mereka akan berhasil mengatasi segala halangan yang ada? Ataukah ini akan menjadi salah satu kisah yang hanya dapat dikenang dalam sebuah pesan dan foto-foto kenangan? Hanya waktu yang akan memberikan jawabannya, namun untuk saat ini, Lara memutuskan untuk percaya pada perasaan yang tumbuh, meskipun jarak menjadi penghalang yang besar.
Kehidupan akademis Lara, yang begitu padat dengan tugas dan pertemuan, kini terasa lebih ringan karena adanya komunikasi ini. Setiap pesan dari Alden memberi warna baru dalam hari-harinya yang sering kali monoton. Namun, dengan setiap pesan yang datang, ada juga perasaan gelisah yang terus mengusik hatinya. Jarak, selalu jarak, dan Lara merasa bahwa jarak ini akan terus menguji apakah perasaan mereka akan tetap bertahan.
Dengan perasaan campur aduk, Lara pun mulai membuka buku-buku yang telah lama menunggu untuk dibaca, namun pikirannya kembali melayang. Perasaan yang dimilikinya untuk Alden semakin dalam, semakin kuat. Bahkan ketika ia mencoba untuk fokus pada tugas-tugasnya, pikirannya tak bisa lepas dari lelaki itu. Ia bertanya-tanya, bagaimana rasanya jika mereka bertemu lagi? Bagaimana rasanya jika mereka bisa berada di tempat yang sama, tidak terpisahkan oleh ribuan kilometer?
Namun, seperti yang sudah sering ia pikirkan, meskipun perasaan itu ada, Lara tahu bahwa mereka hidup di dunia yang berbeda. Alden adalah pria yang memiliki perjalanan hidup yang berbeda, dan Lara, dengan segala ambisi dan mimpinya, harus tetap fokus pada jalannya sendiri. Tapi entah mengapa, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, perasaan ini akan membawa mereka berdua pada sesuatu yang lebih besar.
Lara menatap layar laptopnya sekali lagi, menunggu pesan selanjutnya dari Alden, berharap bahwa apa yang mereka miliki ini tidak akan pernah terhenti di tengah perjalanan.*
Bab 2: Berjuang Melawan Jarak
Pagi itu, Lara terbangun lebih awal dari biasanya. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, meskipun hari baru saja dimulai. Mata Lara yang masih berat terjaga memandang layar ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Dengan harapan, ia membuka aplikasi pesan, berharap ada kabar dari Alden yang menunggu. Namun, tak ada yang baru. Hanya beberapa pemberitahuan biasa, email yang tak penting, dan pesan dari teman-teman lama yang membuatnya merasa bahwa hidupnya kini terasa sedikit sepi. Alden, yang dulu selalu berhasil membuatnya tersenyum hanya dengan kata-katanya, kini tampak begitu jauh, seperti seseorang yang pernah singgah dalam hidupnya lalu pergi begitu saja.
Lara meraih ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Di sana, percakapan mereka masih ada, seperti rutinitas yang tak terlepas meski ada jarak yang memisahkan. Sebuah foto dari Alden muncul—sebuah gambar langit senja yang diambil dari kota asing yang belum pernah Lara kunjungi. Seperti biasa, kata-kata Alden terasa sederhana, namun mampu membangkitkan kembali perasaan hangat yang perlahan pudar dalam dirinya.
“Langit di sini indah, seperti yang kita bicarakan dulu. Aku berharap kamu bisa melihatnya dengan mata kepalamu sendiri suatu hari nanti,” tulis Alden.
Lara membalas dengan cepat, meskipun ada sedikit rasa kecewa yang mulai menyelinap. “Aku rindu melihat langit itu. Pasti indah sekali, kan? Aku berharap bisa suatu saat ke sana.”
Senyum kecil terbit di wajahnya, namun perasaan rindu itu kembali menghampiri. Tidak ada yang berubah dalam hubungan mereka, setidaknya dalam hal komunikasi. Mereka masih bertukar pesan hampir setiap hari, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Percakapan yang dulunya selalu mengalir dengan begitu alami kini terasa sedikit terputus-putus. Jarak, meskipun mereka berusaha untuk tidak memikirkannya, perlahan mulai menampakkan dirinya dengan jelas.
Lara tahu bahwa mereka berada dalam situasi yang tidak mudah. Alden, pria yang pernah membuatnya merasa nyaman dalam sekejap, adalah seorang fotografer perjalanan yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sementara itu, Lara sendiri tengah berada di tengah program magang dan kuliah yang tak kalah menyita waktunya. Mereka berbicara, tetapi dalam irama yang tidak lagi seharmonis dulu. Bahkan, kadang-kadang, Lara merasa khawatir jika Alden mulai kehilangan minat.
Namun, meski ada rasa cemas yang mulai menghinggapinya, Lara tak ingin menyerah begitu saja. Dia tahu bahwa hubungan jarak jauh selalu sulit, terutama dengan kehidupan yang menuntut mereka untuk selalu bergerak. Jarak yang memisahkan tidak hanya berupa ribuan kilometer, tetapi juga rutinitas yang terus berubah dan perasaan yang perlahan tergeser oleh kesibukan masing-masing.
Di suatu malam yang sunyi, Lara membuka laptop dan mulai mengetik pesan kepada Alden. Terkadang, kata-kata terasa lebih mudah ditulis daripada diucapkan, dan itu yang membuatnya merasa sedikit lega.
“Alden, aku merasa seperti kita semakin jauh satu sama lain. Bukan dalam jarak, tetapi dalam hal perasaan. Aku tahu kita sama-sama sibuk, tapi kadang aku merasa kamu semakin jauh. Aku tidak ingin ini berakhir begitu saja. Apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga semuanya tetap hidup?”
Lara menekan tombol kirim dan menunggu. Ada perasaan campur aduk dalam dirinya—rindu, kekhawatiran, dan sedikit ketakutan. Rindu, karena ia merindukan percakapan-percakapan panjang mereka yang dulu berlangsung hingga larut malam. Kekhawatiran, karena hubungan ini, yang terasa begitu nyata pada awalnya, kini mulai terasa rapuh. Dan ketakutan, karena jarak yang begitu besar bisa mengubah segalanya tanpa mereka sadari.
Alden membalas pesan itu beberapa jam kemudian.
“Aku tahu apa yang kamu maksud, Lara. Aku juga merasakannya. Jarak ini memang berat, kadang aku merasa seperti sedang berjuang sendirian di sini, bahkan saat kita saling berbicara. Aku ingin kita tetap dekat, aku ingin hubungan ini terus berjalan, tapi terkadang aku takut kalau itu hanya akan membuatmu merasa lebih kesepian.”
Lara menelan ludah, membaca balasan Alden berulang kali. Kata-kata itu membawanya pada kesadaran bahwa ternyata mereka berdua merasa kesulitan dengan jarak yang memisahkan mereka. Namun, ada hal yang lebih penting dari sekadar jarak fisik, yaitu usaha mereka untuk saling memahami dan mendukung.
“Aku mengerti, Alden. Aku juga merasa kesepian kadang-kadang, tapi aku percaya kita bisa melewati ini. Mungkin kita hanya perlu mencari cara baru untuk saling terhubung.”
Setelah itu, percakapan mereka melanjutkan dengan rencana untuk lebih sering berbicara melalui video call. Mereka sepakat untuk mencuri waktu beberapa kali dalam seminggu agar bisa berbicara lebih lama, bahkan jika hanya sesaat. Mereka juga sepakat untuk saling mengirimkan cerita tentang hal-hal yang terjadi dalam hidup mereka—hal-hal kecil yang seringkali terlupakan dalam kesibukan sehari-hari.
Malam-malam setelahnya, Lara mulai merasa sedikit lebih tenang. Setiap percakapan dengan Alden, meskipun singkat, kini terasa lebih berarti. Mereka mulai berbagi lebih banyak tentang hidup masing-masing, dan meskipun ada jarak di antara mereka, komunikasi itu mulai mengisi ruang yang kosong. Lara juga mulai belajar untuk tidak terlalu mengandalkan kehadiran fisik Alden. Dia mulai menanamkan dalam pikirannya bahwa cinta tidak harus selalu berada dalam jarak yang dekat, dan terkadang, cinta yang bertahan jauh lebih kuat dari hubungan yang terjalin dalam jarak yang dekat sekalipun.
Namun, di tengah segala usaha itu, Lara juga tahu bahwa hubungan jarak jauh bukanlah tanpa pengorbanan. Ada hari-hari yang penuh keraguan, ada malam-malam yang sepi tanpa kabar, dan ada saat-saat di mana keduanya merasa lelah dengan semua usaha yang seakan tidak berujung. Tapi di saat-saat seperti itu, mereka mengingatkan diri mereka sendiri untuk tidak menyerah. Mereka berjanji pada diri sendiri dan pada satu sama lain untuk terus berusaha menjaga hubungan ini, tidak peduli seberapa jauh jarak yang memisahkan.
Dan meskipun jarak tetap menjadi tantangan yang tak terhindarkan, Lara tahu satu hal: mereka masih punya waktu. Waktu untuk berbicara, waktu untuk bertahan, dan waktu untuk berharap bahwa suatu hari nanti, jarak ini akan menjadi kenangan yang hanya tinggal cerita.*
Bab 3: Ujian Cinta
Hari itu, Lara merasa sedikit lebih lelah dari biasanya. Sejak pagi, segalanya berjalan lebih lambat dari biasanya. Tugas kuliah menumpuk, deadline magang semakin mendekat, dan entah mengapa, perasaan rindu kepada Alden semakin berat untuk ditahan. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali mereka bertemu, dan meskipun komunikasi mereka tetap berjalan lancar, bahkan lebih intens dari sebelumnya, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak bisa digantikan hanya dengan pesan singkat atau panggilan video semata.
Setiap malam, sebelum tidur, Lara selalu menatap layar ponselnya, menunggu kabar dari Alden. Biasanya, Alden akan mengirimkan pesan di malam hari, berbagi tentang pekerjaannya, atau sekadar bertanya tentang hari-hari Lara. Namun malam ini, sudah lebih dari dua jam sejak pesan terakhirnya, dan Lara merasa sedikit cemas. Mengapa kali ini dia merasa begitu kosong? Mengapa perasaan rindu itu semakin menyesakkan dadanya?
Lara mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuka jurnal kuliah, tetapi tetap saja, bayangan Alden menghantui. Kenangan akan tawa mereka yang pernah terdengar begitu bebas, percakapan panjang yang mengalir tanpa henti, dan kenyataan bahwa kini mereka berdua terpisah oleh jarak yang semakin terasa semakin besar.
Setengah jam kemudian, Lara menerima pesan dari Alden.
“Maaf, Lara, aku baru sempat membalas. Aku sedang sangat sibuk dengan proyek baru. Aku ingin berbicara lebih lama, tapi aku tahu aku sudah membuatmu menunggu terlalu lama. Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini.”
Lara membaca pesan itu berkali-kali, hati sedikit tergerus. Alden memang selalu sibuk, itu tidak bisa disangkal. Sejak awal, dia sudah tahu pekerjaan Alden mengharuskannya untuk sering bepergian, menghadapi jadwal yang padat, dan terpisah jauh dari rumah. Tapi kadang, rasa kesepian itu datang tanpa pemberitahuan, membuat Lara meragukan apakah mereka bisa terus mempertahankan hubungan ini.
“Aku mengerti, Alden. Aku tahu kamu sibuk. Tapi aku juga merasa kita semakin terpisah. Aku merasa seperti kita mulai kehilangan koneksi.” Lara menatap pesan itu untuk beberapa detik sebelum menekannya. Ada perasaan berat yang menahan kata-kata itu, namun rasanya sudah terlalu lama dia menunggu untuk mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, balasan datang dari Alden, dan kali ini tidak hanya sebuah pesan singkat.
“Lara, aku tahu kamu benar. Aku merasakannya juga. Aku merasa semakin sulit untuk mempertahankan hubungan ini, meskipun aku ingin sekali melakukannya. Kadang aku merasa bahwa meskipun kita berbicara setiap hari, jarak ini tetap mengubah segalanya. Aku tahu kamu merasa kesepian, dan aku tidak ingin kamu merasa itu karena aku.”
Lara membaca pesan itu dengan hati yang mulai terasa sesak. Ada perasaan bingung, cemas, dan sedikit kecewa yang menyatu dalam dirinya. Alden berkata dengan jujur, tetapi kata-kata itu seakan mengonfirmasi ketakutannya selama ini. Akankah mereka berdua berakhir seperti banyak hubungan jarak jauh lainnya—hanya tinggal kenangan?
Lara merespons, “Aku tidak ingin kita berhenti berjuang, Alden. Tapi aku juga merasa seperti kita sudah mulai melupakan cara untuk mengatasi jarak ini. Kita sudah berusaha, tetapi kenapa aku merasa semakin kesepian? Apakah kita terlalu berharap pada hal-hal yang tidak bisa kita dapatkan?”
Setelah beberapa menit yang terasa sangat panjang, balasan dari Alden muncul lagi. Dia menulis dengan hati-hati, seolah-olah setiap kata yang dia pilih sangat berarti.
“Lara, aku rasa kita berdua tahu jawabannya. Hubungan jarak jauh memang sulit. Ada begitu banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan. Aku tidak ingin kamu merasa terbebani oleh perasaan ini, tapi aku juga tidak ingin kita berhenti berjuang begitu saja. Aku hanya… takut kalau kita semakin terjerat dalam perasaan yang tidak akan pernah bisa terwujud.”
Lara memejamkan matanya, mencoba menenangkan pikirannya. Dia tahu Alden tidak bermaksud buruk. Dia tidak pernah meminta hubungan ini untuk menjadi mudah. Tetapi kenyataan yang ada membuat semuanya terasa semakin berat. Jarak ini memang membawa mereka lebih dekat, tetapi kini, jarak itu juga mulai menguji kekuatan cinta mereka. Bagaimana jika mereka sudah terlalu jauh untuk kembali?
Lara tahu ini adalah titik krusial dalam hubungan mereka. Tidak ada lagi ruang untuk kebohongan atau ketidakpastian. Jika mereka ingin terus berjuang, mereka harus melakukannya dengan hati yang jelas dan penuh keyakinan. Namun, apakah itu berarti mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mungkin perasaan ini tidak cukup kuat untuk mengalahkan segalanya?
Lara kemudian menulis pesan yang lebih panjang, berusaha untuk mengungkapkan perasaannya dengan lebih jelas.
“Aku tahu hubungan ini sulit, Alden. Aku juga merasakannya. Kadang aku merasa seperti kita berdua terjebak dalam rutinitas, menjalani hari-hari tanpa benar-benar saling menghubungi seperti dulu. Aku tahu kamu berusaha, aku juga berusaha. Tapi, aku mulai merasa bahwa kita hanya terus berjuang tanpa tahu apa yang kita tuju. Aku tidak ingin kita berhenti hanya karena jarak. Aku ingin kita benar-benar tahu apakah kita masih bisa bertahan, atau apakah ini hanya akan menjadi kenangan indah yang harus kita lepaskan.”
Lara menekan tombol kirim dengan perasaan campur aduk. Ada rasa takut, ada rasa rindu yang begitu dalam, dan yang terpenting, ada keraguan tentang apa yang akan terjadi setelah ini. Beberapa menit kemudian, pesan balasan datang.
“Lara, aku mengerti apa yang kamu maksud. Aku takut juga, takut bahwa kita hanya akan terus bertahan tanpa tahu apa yang kita inginkan. Tapi aku tidak ingin kita berhenti berjuang. Kita tidak bisa melanjutkan ini tanpa kejelasan. Jika kita ingin hubungan ini bertahan, kita harus membuat keputusan bersama. Aku tidak akan memaksamu, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku masih ingin berjuang untuk kita.”
Lara menatap layar ponselnya, matanya mulai terasa panas. Dalam hati, ada perasaan lega bahwa Alden masih ingin berjuang. Tetapi ada juga kesadaran bahwa hubungan ini tidak akan pernah menjadi mudah. Mereka harus menemukan cara untuk mengatasi semua keraguan dan ketakutan ini, atau mereka akan terpisah untuk selamanya.
Alden benar, mereka tidak bisa terus bertahan tanpa arah. Tapi satu hal yang Lara tahu pasti: meskipun hubungan ini penuh dengan ujian dan ketidakpastian, dia masih ingin berjuang. Untuk cinta mereka. Untuk masa depan yang mereka impikan bersama, meskipun jarak itu tak kunjung hilang.
Dalam perjalanan cinta mereka, jarak menjadi ujian yang terus menguji keteguhan hati mereka. Namun, meskipun mereka terus berusaha mengatasi tantangan tersebut, ada momen-momen ketika ketidakpastian muncul seperti kabut yang menutupi jalan mereka. Mereka belajar bahwa cinta tidak selalu mudah, tetapi ketika dua hati saling berjuang untuk tetap bersama, mereka bisa menemukan cara untuk mengatasi segala halangan yang ada.
Alden, meskipun jauh, tetap memberikan perhatian dan kasih sayang yang Lara butuhkan. Namun, dia juga menghadapi kesulitan yang sama. Ada banyak hal yang harus dihadapi, dan terkadang kelelahan dan keraguan datang begitu saja. Tetapi mereka berdua tahu, mereka harus saling memberikan kesempatan untuk terus berjuang. Untuk memahami satu sama lain, meskipun jarak dan waktu menjadi penghalang.
Lara, yang semula merasa terperangkap dalam kerinduan dan kesepian, mulai menyadari bahwa dalam cinta yang tulus, ada lebih dari sekadar jarak fisik. Terkadang, kehadiran dalam hati jauh lebih kuat daripada sekadar berada di samping seseorang. Namun, tidak ada yang mudah dalam hubungan ini. Mereka harus terus belajar untuk saling mendukung dan memberikan ruang bagi satu sama lain, sambil tetap menjaga api cinta mereka tetap menyala meskipun angin kehidupan terus berhembus.
Kini, mereka berada di persimpangan jalan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi mereka tahu satu hal: mereka ingin terus berjuang untuk satu sama lain. Karena dalam hati mereka, mereka percaya bahwa cinta yang sejati layak untuk diperjuangkan, meskipun ada banyak halangan di sepanjang jalan mereka.
Apakah mereka akan berhasil mengatasi ujian ini? Hanya waktu yang akan memberi jawabannya. Namun, untuk sekarang, mereka berdua tahu bahwa cinta mereka lebih besar daripada sekadar jarak dan waktu yang memisahkan mereka. Dan itulah yang membuat mereka terus berjuang, meskipun terkadang perasaan rindu itu begitu berat untuk ditanggung.*
Bab 4 Temuan dalam Kesendirian
Lara terbangun lebih pagi dari biasanya. Mentari pagi yang lembut sudah mulai menyentuh tirai jendela apartemennya yang setengah terbuka. Namun, meskipun hari baru dimulai, perasaan Lara terasa hampa. Setiap hari rasanya seperti berputar dalam lingkaran yang tak pernah berujung. Pagi, kuliah, magang, lalu tidur lagi. Begitu seterusnya. Tapi hari ini, entah mengapa, sesuatu terasa berbeda.
Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap layar ponselnya yang menyala. Ada beberapa pesan masuk, sebagian besar dari teman-temannya yang sudah dia anggap sebagai rutinitas sosial—terlalu ramai, terlalu cepat untuk diresapi. Tapi matanya langsung tertuju pada satu pesan yang datang dari Alden, pesan yang sudah lama dinantinya, meski tidak sepenuhnya seperti yang diharapkannya.
“Lara, aku rasa kita harus bicara tentang semuanya. Aku merasa kita semakin kehilangan arah. Aku tidak ingin kita terus bertahan hanya karena rasa saling sayang tanpa tahu kemana hubungan ini akan menuju. Aku butuh waktu untuk merenung. Aku harap kamu mengerti.”
Lara membaca pesan itu berulang kali. Ada perasaan yang tiba-tiba menggelegak di dadanya. Rasa marah, kecewa, dan bingung bercampur menjadi satu. Alden… Alden yang selalu menjadi sumber kebahagiaan kecil dalam hidupnya, kini seolah menarik diri. Entah apa yang sedang dia rasakan, Lara merasa semuanya berjalan begitu cepat, seakan hidup mereka terpisah begitu saja. Apakah hubungan mereka berakhir begitu saja? Perasaan ini, yang semula hangat, kini mulai terasa dingin, tidak jelas, seperti bayangan yang mulai menghilang.
Dia menarik napas panjang, mencoba untuk menenangkan diri. Seperti yang dia lakukan dalam beberapa minggu terakhir, Lara berusaha untuk tidak membiarkan perasaan menguasai dirinya. Setiap kata dalam pesan Alden seperti sebuah peluru yang menembus hatinya. Tapi, dia tahu, mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mencari jawaban—untuk dirinya sendiri. Bukan hanya untuk Alden, tetapi untuk dirinya sendiri.
Lara tahu, meskipun hubungan mereka penuh dengan kenangan manis dan harapan, mereka sudah berada di titik yang tak bisa dihindari: ujian sejati. Apakah dia bisa bertahan dengan cinta yang terbentang begitu jauh? Apakah mereka bisa menemukan cara untuk bertumbuh meski terpisah? Atau akankah semuanya berakhir seperti hubungan jarak jauh lainnya, menguap seiring waktu?
Setelah beberapa lama, Lara memutuskan untuk pergi keluar. Menghabiskan waktu di luar ruangan selalu memberinya sedikit ketenangan. Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, Lara mencari tempat yang tenang—taman kecil yang sering dia datangi saat membutuhkan ruang untuk berpikir. Sebuah tempat yang jauh dari semua kegelisahan dan tekanan kehidupan sehari-hari.
Taman itu masih sepi, hanya ada beberapa orang yang jogging atau duduk di bangku taman membaca buku. Lara duduk di salah satu bangku, menatap langit biru yang terbentang luas, mencoba meresapi setiap hembusan angin yang menyapu wajahnya. Dia merasa sangat kecil di dunia yang begitu besar. Tidak ada Alden di sini, tidak ada percakapan panjang yang mengisi ruang kosong dalam hatinya. Hanya dirinya sendiri dan segala keraguan yang tak terjawab.
Selama beberapa saat, Lara hanya duduk diam, mencoba mencari jawaban di dalam dirinya sendiri. Apa yang dia rasakan saat ini bukan hanya tentang Alden, tetapi tentang dirinya. Tentang rasa kesepian yang tak hanya datang dari hubungan yang terpisah, tetapi juga dari dunia yang menuntutnya untuk selalu bergerak, berpikir, dan bertindak. Dunia yang penuh dengan ekspektasi dan tuntutan, sementara hatinya hanya ingin berhenti sejenak dan menikmati kedamaian.
Lara menyadari bahwa selama ini dia terlalu bergantung pada hubungan dengan Alden untuk merasa utuh. Dia mencintainya, tentu saja, tetapi mungkin—hanya mungkin—dia juga kehilangan dirinya sendiri dalam proses itu. Entah bagaimana, hubungan mereka telah mengajarkan Lara banyak hal tentang dirinya. Tentang keinginan untuk merasa dicintai, tentang keraguan dan ketakutan yang datang dengan jarak, dan tentang bagaimana hidup bisa terasa sangat kesepian meskipun dikelilingi banyak orang. Dia merasakan adanya kesendirian dalam dirinya yang tak bisa diisi oleh siapa pun, bahkan oleh Alden.
Lara mulai merenung. Apa yang sebenarnya dia cari? Apakah hanya sebuah kepastian yang dia inginkan? Apakah dia mencari hubungan yang tidak hanya mengandalkan janji-janji, tetapi juga konsistensi dan kehadiran? Dan yang lebih penting lagi, apakah dia siap untuk menerima kenyataan bahwa kadang, cinta itu tidak selalu mudah?
Dia menatap bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitar taman, tampak sederhana namun begitu kuat dan indah. Mereka tumbuh tanpa peduli dengan apa yang ada di sekitarnya. Lara menyadari, mungkin dia juga perlu belajar untuk tumbuh sendiri. Tanpa tergantung pada Alden atau siapa pun. Terkadang, pencarian cinta harus dimulai dari mencintai diri sendiri, sebelum mengharapkan cinta dari orang lain.
Sekitar satu jam kemudian, Lara memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Tidak ada jawaban pasti yang dia temukan, tetapi setidaknya dia merasa sedikit lebih tenang. Ketika dia membuka pintu apartemen, ponselnya bergetar lagi. Sebuah pesan dari Alden.
“Lara, aku sudah banyak berpikir. Mungkin aku terlalu cepat menarik diri. Aku terlalu fokus pada segala hal yang belum jelas, tetapi aku lupa betapa pentingnya kita untuk satu sama lain. Aku ingin berjuang, tetapi aku juga ingin kamu tahu, aku butuh waktu untuk merenung. Ini bukan berarti aku ingin mengakhiri semuanya. Aku hanya perlu ruang untuk memahami apa yang sebenarnya aku inginkan.”
Lara membaca pesan itu dengan hati yang lebih ringan. Mungkin mereka masih membutuhkan waktu. Mungkin ini adalah ujian, bukan hanya untuk hubungan mereka, tetapi untuk diri mereka masing-masing. Sebelum bisa mencintai satu sama lain dengan utuh, mereka harus bisa berdamai dengan diri mereka sendiri.
Dengan senyuman yang lembut, Lara mengetik balasan.
“Aku mengerti, Alden. Aku juga butuh waktu. Mungkin ini memang saatnya kita mencari jawaban, tetapi tidak hanya untuk hubungan kita, tetapi juga untuk diri kita masing-masing.”
Lara menekan tombol kirim, merasa lebih tenang. Mungkin jawabannya memang ada dalam kesendirian. Dalam merenung, dalam mencari, dan dalam menerima kenyataan bahwa kadang, kita harus belajar untuk berdiri sendiri sebelum bisa berdiri bersama.*
Bab 5 Cinta yang Tak Terbatas Waktu dan Tempat
Pagi itu, Lara membuka mata dengan perasaan yang berbeda. Hari sebelumnya, setelah merenung sepanjang sore di taman, dia merasa seolah mendapatkan secercah cahaya di tengah kegelapan yang melingkupi hatinya. Ada sesuatu yang lebih penting daripada sekadar rindu atau ketakutan akan jarak. Sesuatu yang telah lama dia lupakan dalam hubungan dengan Alden: dirinya sendiri. Lara mulai merasakan ketenangan yang belum pernah dia alami dalam beberapa waktu terakhir. Ia tidak lagi terlalu bergantung pada perasaan Alden untuk merasa lengkap. Cinta, dia menyadari, bukanlah tentang saling memenuhi kekosongan, tetapi tentang berbagi kebahagiaan, tanpa kehilangan siapa diri kita.
Dengan senyum tipis, Lara membuka ponselnya dan melihat pesan yang masuk semalam dari Alden. Sebuah pesan yang berbeda dari biasanya—tidak ada kata-kata cemas atau keraguan. Hanya kata-kata yang penuh ketulusan dan harapan.
“Lara, aku tahu kita telah melalui banyak hal, dan kadang aku merasa kesulitan menghadapinya. Tapi aku sadar, jarak ini bukanlah akhir dari segalanya. Kita masih bisa memilih untuk berjuang, meski tidak ada jaminan. Aku ingin kita sama-sama belajar, bukan hanya tentang cinta, tetapi tentang waktu dan ruang yang memisahkan kita. Cinta kita bukanlah soal jarak, tapi soal bagaimana kita memilih untuk tetap ada, meskipun dunia seakan ingin memisahkan.”
Lara menatap layar ponselnya, perasaan hangat menjalar di dadanya. Kata-kata itu menyentuhnya lebih dalam dari yang dia kira. Ada kejujuran yang begitu nyata, sebuah pengakuan bahwa meskipun banyak hal yang memisahkan mereka jarak, waktu, kesibukan cinta yang mereka miliki tidak harus terbatas oleh semua itu. Cinta tidak mengenal ruang dan waktu. Cinta adalah pilihan yang harus terus diusahakan.
Tanpa menunda, Lara membalas pesan itu, “Aku juga merasa begitu, Alden. Mungkin kita berdua terlalu takut dengan apa yang tidak bisa kita kendalikan. Tetapi aku mulai menyadari bahwa cinta kita lebih dari sekadar kedekatan fisik. Cinta kita adalah tentang bagaimana kita berkomunikasi, bagaimana kita mendukung satu sama lain meski terpisah jauh. Aku percaya, jika kita mau, kita bisa melewati semua ini.”
Pesan itu terkirim, dan Lara merasa seolah ada beban yang terangkat dari pundaknya. Dia tidak lagi merasa terjebak dalam keraguan atau ketakutan tentang masa depan. Ada ketenangan dalam dirinya—perasaan bahwa meskipun hubungan mereka penuh dengan tantangan, mereka tidak perlu takut untuk terus berjuang.
Hari itu, Lara memutuskan untuk melanjutkan hari seperti biasa, meskipun hatinya terasa lebih ringan dari sebelumnya. Dia menyelesaikan tugas kuliah, menghadiri rapat magang, dan melakukan semua hal yang biasa dia lakukan. Namun, ada perasaan yang berbeda dalam setiap langkahnya. Seakan dunia tidak lagi begitu besar dan penuh dengan hambatan. Jarak dan waktu mungkin memisahkan mereka, tetapi cinta yang mereka miliki adalah sesuatu yang lebih besar dari itu.
Sore harinya, Lara kembali membuka ponselnya. Ada pesan baru dari Alden. Kali ini, pesan suara.
“Hey Lara, aku tahu kita sudah berbicara tentang banyak hal kemarin, tapi aku ingin kamu tahu, aku benar-benar menghargai setiap momen kita, meskipun kita tidak bisa bersama sekarang. Aku pikir, semakin aku jauh darimu, semakin aku sadar bahwa kita tidak butuh waktu atau tempat tertentu untuk saling mencintai. Kita hanya butuh keinginan untuk tetap ada satu sama lain. Tidak peduli apakah aku ada di sini, di Paris, atau di tempat terpencil lainnya. Aku tahu kita bisa melakukannya. Aku percaya padamu, percaya pada kita.”
Lara mendengarkan pesan itu berulang kali, hatinya semakin penuh. Kata-kata Alden terasa begitu tulus, begitu penuh dengan harapan. Seperti yang dia katakan, meskipun jarak mereka begitu jauh, cinta mereka tidak terikat oleh waktu atau tempat. Cinta itu bisa hidup dalam setiap pesan, dalam setiap percakapan panjang, dan dalam setiap detik yang mereka berikan untuk satu sama lain, meski terpisah oleh ribuan kilometer.
Saat malam tiba, Lara duduk di tepi jendela apartemennya, menatap langit yang begitu luas, seolah ingin mencari jawaban atas segala keraguan yang pernah muncul. Dia mulai mengerti. Cinta itu tidak bisa dibatasi oleh hal-hal duniawi. Cinta itu adalah soal keinginan untuk bertahan, untuk terus berjalan bersama meskipun segala sesuatu tampak sulit dan tidak pasti. Cinta adalah tentang percaya bahwa meskipun jarak memisahkan, hati yang saling terhubung tidak akan pernah terpisah.
Lara menulis sebuah pesan panjang untuk Alden, lebih banyak dari sekadar kata-kata biasa. Kali ini, dia menulis dengan penuh keyakinan, seolah-olah dia sedang menulis untuk dirinya sendiri, bukan hanya untuk Alden.
“Alden, aku mulai menyadari sesuatu yang penting. Kita tidak membutuhkan waktu yang sempurna atau tempat yang sempurna untuk mencintai satu sama lain. Kita hanya perlu keberanian untuk terus melangkah, untuk percaya pada apa yang kita miliki. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu satu hal—cinta ini, meskipun tak tampak, akan selalu ada. Kita tidak perlu berjuang untuk menyatukan waktu atau ruang, karena kita sudah memiliki sesuatu yang lebih kuat daripada itu. Kita punya keinginan untuk tetap ada dalam hidup satu sama lain, meski terpisah oleh jarak yang tak terhitung. Dan itu, bagi aku, sudah cukup.”
Pesan itu terkirim dengan hati yang penuh. Lara merasa tenang. Kini, dia tidak lagi terobsesi dengan masa depan yang tidak pasti. Cinta mereka adalah sesuatu yang berkembang, tidak hanya karena mereka berdua ingin bersatu, tetapi karena mereka percaya bahwa meskipun tak ada jaminan, mereka masih bisa memilih untuk bertahan.
Hari-hari setelahnya, Lara merasa lebih percaya diri dalam menjalani hubungan jarak jauh mereka. Komunikasi dengan Alden menjadi lebih terbuka dan penuh makna. Mereka berbicara lebih banyak tentang impian mereka, tentang hal-hal yang ingin mereka lakukan bersama ketika jarak ini akhirnya menghilang. Meskipun mereka tahu bahwa perjalanan masih panjang, mereka tidak lagi tertekan oleh ketidakpastian. Cinta mereka telah berubah, tidak lagi hanya tentang kedekatan fisik, tetapi tentang kesediaan untuk terus saling memilih meskipun dunia berputar tanpa henti.
Suatu pagi, ketika Lara menerima pesan suara baru dari Alden, dia mendengarkannya dengan hati yang penuh.
“Lara, aku tahu ini belum selesai. Tapi aku merasa begitu beruntung bisa berbagi semua ini denganmu. Tak peduli seberapa jauh kita terpisah, aku percaya bahwa cinta ini tak akan pernah berakhir. Kita tidak membutuhkan waktu yang tepat, atau tempat yang tepat. Kita hanya membutuhkan satu sama lain, dan itu sudah cukup.”
Lara tersenyum, merasakan kehangatan yang mengalir dalam dirinya. Dia tahu, cinta mereka memang tak terbatas oleh waktu dan tempat. Cinta yang sejati adalah cinta yang bertahan, meskipun segala hal di sekitar mencoba memisahkan.***
————THE END———