Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
Hari pertama di sekolah baru selalu penuh dengan kecanggungan. Begitu juga yang dirasakan oleh Dina, seorang gadis berusia 15 tahun yang baru saja pindah ke Bandung. Setelah beberapa bulan tinggal di Jakarta, keluarganya memutuskan untuk pindah ke kota ini, mengikuti pekerjaan ayahnya yang baru saja dipindah tugaskan. Dina sebenarnya tidak terlalu antusias dengan perubahan ini. Ia merasa nyaman dengan kehidupan lamanya di Jakarta, teman-temannya, dan rutinitas yang sudah dikenalnya. Namun, apa daya, perubahan adalah bagian dari hidup, dan ia tidak bisa berbuat banyak.
Setibanya di sekolah, Dina merasakan atmosfer yang sedikit berbeda. Sekolah baru, lingkungan baru, teman-teman baru. Semua terasa asing baginya. Ia melangkah dengan langkah pelan, memperhatikan setiap sudut sekolah yang tampak bersih dan teratur. Namun, di dalam dirinya, ada rasa cemas yang tidak bisa disembunyikan. Ia merasa seperti seorang asing di dunia yang baru ini, dan itu membuatnya sedikit tertekan.
Di pagi hari yang cerah itu, Dina masuk ke ruang kelas 10, tempat ia akan memulai petualangan barunya. Setelah mendapat pengenalan singkat dari guru, ia diberi tempat duduk di pojok belakang dekat jendela. Ia lebih memilih duduk di sana—sepi dan tidak terlalu mencolok. Di dalam hati, ia berharap bisa menjalani hari-hari sekolah seperti biasa, tanpa terlalu banyak gangguan. Namun, kenyataannya berbeda.
Ketika bel masuk berbunyi, seluruh kelas mulai sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Beberapa siswa berbicara dengan teman-temannya, sementara yang lain sibuk dengan buku atau ponsel mereka. Dina mengeluarkan buku dan mulai menulis beberapa catatan, berusaha menyibukkan diri agar tidak merasa terlalu kesepian. Namun, suasana kelas yang ramai membuatnya sulit untuk berkonsentrasi.
Tiba-tiba, suara derap langkah kaki mendekat ke mejanya. Dina menoleh, dan matanya bertemu dengan sepasang mata cokelat yang hangat. Itu adalah Arga, seorang siswa yang duduk di sebelahnya. Arga adalah tipe anak yang terkenal di sekolah. Tampan, cerdas, dan selalu dikelilingi oleh teman-temannya. Meskipun begitu, ada sesuatu yang berbeda tentang Arga—sesuatu yang tidak bisa Dina jelaskan. Arga bukanlah anak yang terlalu berbicara atau mencari perhatian, namun kehadirannya selalu terasa kuat.
“Hey, kamu yang baru ya?” tanya Arga, senyumnya tampak ramah namun juga sedikit ragu, seolah ia tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan. Dina hanya mengangguk pelan, merasa sedikit canggung dengan perhatian yang diberikan Arga.
“Iya, aku Dina. Baru pindah ke Bandung,” jawab Dina dengan suara yang sedikit bergetar, merasa sedikit gugup. Ia tidak tahu mengapa Arga ingin berbicara dengannya. Biasanya, orang seperti Arga tidak terlalu peduli dengan anak baru sepertinya.
“Bandung ya? Aku juga baru pindah ke sini setahun lalu,” Arga melanjutkan, mencoba mencari kesamaan. “Kalau kamu butuh bantuan atau ingin tahu sesuatu tentang sekolah ini, jangan ragu tanya aku.”
Dina tersenyum tipis. Ia merasa sedikit lega mendengar kata-kata Arga. Meskipun ia bukan tipe orang yang mudah beradaptasi dengan teman baru, kata-kata Arga memberi sedikit kenyamanan. Namun, meski begitu, Dina tidak bisa menepis rasa canggung yang menghinggapi dirinya. Kenapa Arga begitu ramah padanya?
“Terima kasih, Arga,” kata Dina, lalu menunduk dan kembali fokus pada bukunya. Namun, di dalam hatinya, ada sesuatu yang aneh. Entah apa itu, tapi sepertinya pertemuan ini bukan hanya kebetulan.
Sejak hari itu, Arga mulai muncul di kehidupan Dina dengan cara yang tidak terduga. Setiap kali mereka bertemu di lorong atau di kantin, Arga selalu menyapa dengan senyuman. Tak jarang mereka mengobrol tentang hal-hal kecil, seperti pelajaran atau kegiatan sekolah. Dina tidak pernah merasa terbebani dengan percakapan tersebut, meskipun ia tahu bahwa Arga adalah anak yang sangat populer dan dikelilingi oleh banyak teman. Ada kehangatan dalam cara Arga berbicara padanya—sesuatu yang tidak ia rasakan dengan banyak orang.
Minggu-minggu pertama berlalu begitu saja. Dina mulai merasa sedikit lebih nyaman dengan rutinitas sekolah, meskipun ia tetap merasa ada yang kurang. Ia tidak memiliki banyak teman dekat, hanya beberapa orang yang ia kenal sekilas. Namun, setiap kali ia melihat Arga, ada perasaan yang berbeda. Perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Arga tidak hanya ramah padanya, tapi ada rasa perhatian yang lebih dari itu. Sepertinya, Arga benar-benar peduli padanya.
Pada suatu hari, ketika Dina sedang duduk di bangku taman sendirian, tiba-tiba Arga muncul di hadapannya. Ia membawa dua gelas jus jeruk dan duduk di sebelah Dina tanpa banyak berkata-kata. Dina merasa sedikit kaget, namun ia tidak bisa menahan senyumnya. Arga memang selalu membuatnya merasa nyaman, meskipun mereka hanya berbicara tentang hal-hal ringan.
“Gimana, Dina? Sudah mulai bisa beradaptasi dengan sekolah ini?” tanya Arga, menyerahkan gelas jus jeruk yang satu kepada Dina.
“Sudah sedikit-sedikit,” jawab Dina sambil tersenyum, menerima gelas tersebut. “Tapi masih banyak yang harus dipelajari.”
“Jangan khawatir, aku yakin kamu akan cepat terbiasa,” jawab Arga dengan percaya diri. “Kalau butuh bantuan, ingat, aku selalu ada.”
Dina merasa hangat di dadanya. Tidak banyak orang yang bersikap seperti Arga. Meskipun mereka belum terlalu dekat, Dina merasa bahwa ada sesuatu yang khusus dalam hubungan mereka. Sesuatu yang terasa lebih dari sekadar persahabatan biasa.
Namun, meskipun Dina mulai merasa ada perasaan yang tumbuh untuk Arga, ia tidak berani mengungkapkannya. Ia takut jika perasaan itu tidak terbalas, atau lebih buruk lagi, jika hal itu merusak hubungan baik yang sudah terjalin di antara mereka. Tetapi, semakin hari, semakin sulit baginya untuk menahan perasaan itu. Arga mulai mengisi pikirannya, dan Dina merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar persahabatan di antara mereka.
Momen pertemuan tak terduga ini, yang diawali dengan percakapan ringan di hari pertama, seolah menjadi pintu pembuka untuk sebuah kisah yang akan mengubah hidup Dina selamanya. Namun, apakah perasaan ini akan berakhir manis, atau justru akan menjadi kenangan pahit yang tersimpan dalam hati Dina? Itu semua masih menjadi misteri yang harus dia temui seiring berjalannya waktu.*
Bab 2: Langkah Awal
Seiring berjalannya waktu, Dina mulai merasa semakin nyaman dengan rutinitas barunya di sekolah. Keberadaannya di Bandung tidak lagi terasa sepenuhnya asing. Meski ia belum memiliki banyak teman dekat, ia merasa sedikit lebih bersemangat untuk menjalani hari-harinya. Salah satu alasan terbesar dari perubahan ini adalah Arga. Semenjak pertemuan pertama mereka di ruang kelas, Arga terus hadir dalam hidupnya dengan cara yang tak terduga. Setiap kali mereka bertemu, Arga selalu mengajaknya berbicara, menawarkan bantuan, atau sekadar berbagi cerita ringan. Ada sesuatu yang membuat Dina merasa diterima—sesuatu yang membuatnya tidak merasa sendirian di sekolah ini.
Pada suatu pagi yang cerah, Dina sedang berjalan menuju kantin bersama beberapa teman sekelasnya yang mulai ia kenal. Sambil berbincang-bincang ringan, matanya secara tak sengaja menangkap sosok yang sudah tak asing lagi—Arga. Ia sedang duduk di meja dekat jendela, ditemani oleh beberapa teman laki-lakinya. Namun, ketika mata mereka bertemu, Arga langsung tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya. Dina membalas senyumannya, meskipun rasa canggung masih ada. Di tengah keramaian itu, seolah-olah dunia berhenti sejenak, dan semuanya terasa lebih intim antara mereka berdua.
“Dina!” Arga memanggil, dan Dina merasa sedikit terkejut. “Ayo, duduk sini!”
Dina merasa sedikit gugup, namun ia tidak bisa menolak ajakan Arga. Ia melirik ke teman-temannya, yang hanya mengangkat bahu dan melanjutkan pembicaraan mereka. Dengan langkah ringan, Dina mendekati meja Arga.
“Boleh duduk?” tanya Dina, sambil mengarahkan pandangan ke teman-teman Arga yang tampak sedang sibuk bercanda. Mereka memberi anggukan kecil dan sedikit menyibukkan diri, memberi ruang bagi Dina untuk duduk.
“Silakan,” jawab Arga sambil tersenyum. “Gimana hari ini, sudah ada yang menarik?”
Dina duduk dan mulai merasa sedikit lebih santai. Arga selalu bisa membuat suasana menjadi nyaman, bahkan dalam situasi yang awalnya terasa canggung.
“Tidak banyak sih, cuma tadi sempat ada ulangan matematika yang bikin pusing,” jawab Dina sambil tersenyum. “Tapi, aku coba buat yang terbaik.”
Arga tertawa kecil. “Matematika memang selalu jadi tantangan. Tapi aku yakin, kamu pasti bisa.”
Dina merasa tersentuh dengan kata-kata Arga. Meski ia baru mengenalnya, perhatian yang diberikan Arga terasa begitu tulus dan menyenangkan. Ia merasa bahwa dalam hidupnya yang penuh dengan keraguan dan ketidakpastian, ada satu hal yang pasti: Arga adalah orang yang bisa diandalkan.
Percakapan mereka berlanjut begitu hangat, dari topik pelajaran yang membosankan hingga kisah-kisah lucu tentang kehidupan sehari-hari. Tiba-tiba, ketika percakapan mereka hampir selesai, Arga bertanya dengan suara yang lebih serius, “Dina, kamu sudah pernah ke tempat favoritku belum?”
Dina mengerutkan dahi, sedikit bingung. “Tempat favorit? Maksudnya di Bandung?”
Arga mengangguk. “Iya, tempat yang bagus buat santai. Tempat yang jauh dari keramaian, tapi tetap nyaman. Aku pikir, mungkin kamu suka tempat itu.”
Dina merasa penasaran, namun ia tidak langsung mengungkapkan rasa ingin tahunya. “Oh, tempat itu di mana?”
Arga tersenyum penuh arti. “Aku akan menunjukkan tempatnya kalau kamu mau. Tapi, mungkin lebih baik kalau kita pergi bersama. Apa pendapatmu?”
Dina merasa sedikit terkejut dengan ajakan itu. Ia tidak menyangka bahwa Arga akan mengajaknya pergi ke suatu tempat secara pribadi. Namun, di sisi lain, ada perasaan yang muncul di dalam dirinya. Sebuah perasaan yang entah bagaimana membuatnya merasa senang sekaligus gugup. Apakah ia sudah siap untuk mengambil langkah itu? Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa kesempatan ini mungkin tidak datang dua kali.
“Baiklah,” jawab Dina akhirnya, sambil tersenyum. “Aku akan ikut.”
Arga tersenyum lebar. “Keren! Kita atur waktunya nanti, ya. Aku pastikan tempat itu sesuai dengan yang kamu bayangkan.”
Setelah itu, percakapan mereka berlanjut seperti biasa. Namun, di dalam hati Dina, ada perasaan yang lebih dari sekadar pertemanan. Ia tahu bahwa langkah yang baru saja ia ambil—untuk setuju mengunjungi tempat itu bersama Arga—merupakan langkah awal menuju sesuatu yang lebih dalam. Meskipun ia tidak bisa menjelaskan secara pasti, Dina merasa bahwa perjalanan ini, bersama Arga, mungkin akan menjadi bagian penting dari hidupnya.
Keesokan harinya, setelah beberapa hari sibuk dengan tugas sekolah, Arga menghubungi Dina lewat pesan singkat. Arga: “Besok, kita ke tempat itu ya? Kalau kamu sudah selesai dengan tugas-tugas, kita bisa berangkat setelah jam sekolah.”
Dina membaca pesan itu dan merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia merasa sedikit gugup, tetapi juga bersemangat. Apakah ini benar-benar langkah awal menuju sesuatu yang lebih? Ataukah ia hanya membiarkan perasaannya terjebak dalam bayang-bayang harapan?
Dina segera membalas pesan itu. Dina: “Aku sudah selesai dengan tugas, jadi besok kita bisa pergi. Terima kasih sudah ngajak aku.”
Tidak lama setelah itu, Arga membalas dengan pesan singkat yang mengungkapkan antusiasmenya. Arga: “Sama-sama! Aku yakin kamu bakal suka tempat itu. Sampai besok!”
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Setelah sekolah berakhir, Dina bertemu dengan Arga di gerbang sekolah, dan bersama-sama mereka pergi menuju tempat yang dimaksud. Mereka berjalan bersama, berbicara tentang segala hal, dari hal-hal kecil di sekolah hingga rencana masa depan yang masih jauh. Dalam perjalanan itu, Dina merasa semakin dekat dengan Arga, meskipun baru saja beberapa minggu yang lalu mereka hanya berbicara sebagai teman sekelas.
Mereka sampai di sebuah taman yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Tempat itu penuh dengan pohon-pohon rindang dan bangku-bangku yang menghadap ke danau kecil. Ada sesuatu yang menenangkan di tempat itu, dan Dina merasa senang bisa berada di sana bersama Arga. Mereka duduk di salah satu bangku yang menghadap ke danau, menikmati suasana yang damai.
“Tempat ini memang luar biasa,” kata Dina, tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.
“Kan aku bilang, kamu pasti suka,” jawab Arga dengan senyum yang penuh arti.
Dina menatap Arga, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan di antara mereka. Namun, ia tidak ingin terburu-buru menilai. Ia tahu bahwa mereka masih dalam tahap awal, dan segala sesuatu harus dilalui dengan hati-hati. Namun, satu hal yang pasti: langkah pertama yang mereka ambil bersama sudah membuka pintu menuju banyak kemungkinan.
Di tempat yang sunyi itu, mereka berbicara lebih banyak tentang diri mereka masing-masing. Arga menceritakan tentang keluarga dan impiannya untuk masa depan, sementara Dina membuka sedikit lebih banyak tentang kehidupannya yang baru saja berubah. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita tentang kegilaan masa remaja, dan membangun kenangan yang akan mereka simpan.
Langkah awal ini, meskipun sederhana, mulai membuka jalan menuju kedekatan yang lebih dalam antara Dina dan Arga. Tanpa mereka sadari, perjalanan ini telah memulai sebuah kisah yang akan penuh dengan lika-liku, tantangan, dan mungkin—sebuah cinta pertama yang akan selalu dikenang.*
Bab 3: Kejutan Pertama
Pagi itu, Dina terbangun dengan perasaan campur aduk. Sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dijelaskan mengalir di dalam dirinya, sekaligus sedikit kecemasan yang datang seiring dengan perasaan itu. Mungkin semua ini terjadi terlalu cepat, pikirnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Perasaan yang menyelimuti hatinya ketika ia mengingat Arga, senyumannya, cara dia mendengarkan setiap kata yang ia ucapkan, membuatnya merasa lebih hidup dari sebelumnya.
Hari itu terasa seperti hari-hari biasa di sekolah. Namun, bagi Dina, ada satu hal yang membuatnya tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya: ia menantikan momen bersama Arga setelah jam sekolah. Meskipun mereka sudah mulai berbicara lebih sering, meskipun mereka sudah menghabiskan waktu bersama, Dina merasa bahwa ada sesuatu yang baru yang akan muncul. Sesuatu yang mungkin lebih dari sekadar persahabatan.
Setelah sekolah berakhir, Dina segera berjalan menuju gerbang sekolah. Di sana, Arga sudah menunggunya. Wajahnya cerah, seperti biasa, dan senyum lebar langsung terukir begitu mereka saling bertatap. Dina merasa sedikit gugup, tapi senyuman Arga selalu bisa membuat perasaan itu menguap begitu saja.
“Hai, Dina!” sapa Arga dengan antusias.
“Hai, Arga,” jawab Dina, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
“Ayo, kita jalan. Aku sudah janji kan? Tempat itu masih menunggu,” kata Arga sambil melangkah di samping Dina.
Dina mengikuti langkah Arga, dan mereka mulai berjalan bersama menuju taman yang sudah mereka kunjungi sebelumnya. Namun, kali ini, suasananya berbeda. Dina merasa lebih hidup, lebih terhubung dengan Arga daripada sebelumnya. Percakapan mereka mengalir begitu alami, dan mereka saling bertukar cerita tentang hal-hal yang sebelumnya tidak pernah mereka bicarakan. Dari keluarga, teman-teman, hingga impian masa depan.
Setelah beberapa waktu, mereka tiba di taman yang menjadi tempat favorit Arga. Ketika Dina melihat suasana yang sama sekali tidak berubah, ada perasaan hangat yang langsung menyelimuti hatinya. Tempat ini memang sangat cocok untuk mereka berdua. Tempat yang tenang, jauh dari keramaian, tempat di mana mereka bisa benar-benar saling mengenal lebih dalam.
“Ini tempat yang sama, kan?” tanya Dina, memandang sekeliling.
“Iya, kamu pasti suka, kan?” jawab Arga dengan senyum yang penuh arti.
Dina mengangguk dan berjalan menuju bangku yang sama seperti terakhir kali mereka duduk bersama. Arga mengikutinya dan duduk di sebelahnya. Begitu mereka duduk, ada keheningan yang menyelimuti mereka. Keheningan yang terasa nyaman, namun juga penuh dengan harapan.
Tiba-tiba, Arga berbicara, suaranya lebih rendah dari biasanya, seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu yang penting. “Dina, ada sesuatu yang ingin aku katakan.”
Dina menoleh ke arah Arga, merasa sedikit terkejut. “Apa itu?”
Arga menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku merasa kita sudah cukup dekat dalam waktu yang singkat ini. Aku suka cara kita berbicara, cara kita berbagi cerita, dan… aku merasa nyaman banget dengan kamu.”
Dina merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Ia tidak tahu mengapa, tapi perasaan itu muncul begitu saja, mengalir begitu alami. “Aku juga merasa seperti itu,” jawabnya dengan tulus.
Arga tersenyum, tapi senyumnya kali ini berbeda. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik senyuman itu. “Kalau begitu… aku ingin memberimu kejutan,” katanya, matanya bersinar dengan kegembiraan.
Dina bingung. “Kejutan? Apa itu?”
Arga mengambil sebuah kotak kecil dari tasnya, kotak yang terbungkus rapi dengan pita warna merah. Dina merasa sedikit terkejut melihat kotak itu, dan tanpa sadar ia menatap Arga dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ini untukmu,” kata Arga sambil memberikan kotak itu kepada Dina.
Dina menerima kotak itu dengan hati-hati, merasa sedikit bingung dan penasaran. “Untukku?” tanyanya, mencoba mengonfirmasi.
“Iya, aku tahu kamu suka sesuatu yang unik, dan aku pikir ini cocok buat kamu,” jawab Arga dengan senyum lembut.
Dina membuka kotak itu perlahan-lahan, dan begitu ia melihat isinya, ia langsung terkejut. Di dalam kotak itu terdapat sebuah gelang kecil yang terbuat dari tali kulit dengan batu berwarna biru muda yang bersinar. Dina tidak pernah mengira bahwa Arga akan memberikan hadiah seperti itu. Gelang itu terlihat sederhana, namun penuh makna, dan Dina bisa merasakan perhatian yang luar biasa di balik pemberian ini.
“Wow… ini… ini cantik sekali,” kata Dina dengan suara terbata-bata, terharu.
Arga tersenyum bangga melihat reaksi Dina. “Aku tahu kamu suka warna biru, dan aku pikir gelang ini akan cocok denganmu. Aku harap kamu suka.”
Dina menatap Arga, merasa sangat tersentuh. Tidak hanya karena gelang yang diberikan, tetapi juga karena perhatian yang Arga tunjukkan. Dina merasa bahwa Arga benar-benar mengenalnya lebih baik daripada yang ia kira. Ada sesuatu yang begitu tulus dalam setiap tindakan Arga yang membuat Dina semakin terikat padanya.
“Aku suka sekali, Arga. Terima kasih,” jawab Dina dengan senyum yang tulus, matanya mulai berbinar karena kebahagiaan.
Arga merasa lega mendengar kata-kata Dina. “Aku senang kamu suka. Ini hanya kejutan kecil, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menghargai waktu yang kita habiskan bersama.”
Dina mengenakan gelang itu di pergelangan tangannya dan melihatnya dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. Perasaan bahagia itu datang begitu saja, dan ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Yang ia tahu, saat ini, ia merasa sangat dihargai.
Setelah beberapa saat, mereka kembali berbicara. Namun kali ini, percakapan mereka lebih santai dan penuh tawa. Mereka berbagi cerita tentang pengalaman lucu yang mereka alami di sekolah, tentang teman-teman mereka yang kocak, dan tentang hal-hal kecil yang membuat hidup terasa lebih ringan.
Malam mulai menyelimuti taman itu, dan suasana semakin tenang. Arga berdiri dan menatap Dina dengan senyum yang penuh arti. “Dina, aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. Aku berharap ini bukan kejutan terakhir yang aku berikan untukmu.”
Dina merasa hatinya menghangat mendengar kata-kata Arga. “Aku juga senang. Terima kasih sudah membuat hari ini begitu istimewa.”
Arga tersenyum. “Kamu pantas mendapatkan lebih banyak kejutan seperti ini.”
Mereka berjalan keluar dari taman, dan sepanjang perjalanan pulang, tidak ada kata-kata yang lebih manis selain senyuman yang mereka berikan satu sama lain. Dina tahu bahwa momen ini akan selalu ia ingat. Kejutan pertama dari Arga bukan hanya sebuah hadiah fisik, tetapi juga sebuah langkah kecil menuju kedekatan yang lebih dalam, menuju sebuah hubungan yang lebih dari sekadar persahabatan.
Malam itu, Dina merasa seolah-olah dunia menjadi lebih cerah. Setiap detik bersama Arga terasa penuh makna, dan ia tidak sabar untuk melihat ke mana langkah ini akan membawa mereka.*
Bab 4: Rintangan
Kehidupan di sekolah tampaknya semakin lancar bagi Dina. Setiap pagi, ia merasa semangat untuk pergi ke sekolah, meskipun tugas-tugas menumpuk dan waktu belajar terasa semakin sempit. Tapi ada satu hal yang selalu membuatnya merasa lebih ringan: Arga. Sosok itu terus hadir, memberi warna baru dalam hari-harinya. Hubungan mereka semakin erat, meski Dina merasa bahwa masih ada beberapa hal yang belum ia ketahui tentang Arga.
Namun, kebahagiaan itu tidak selamanya berlangsung mulus. Seiring berjalannya waktu, Dina mulai merasakan ketegangan yang tidak bisa dijelaskan. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sebuah perasaan yang datang dari dalam dirinya, namun juga karena hal-hal di luar kendali. Hal-hal yang tidak dapat ia hindari.
Semuanya dimulai ketika Dina mendengar percakapan teman sekelasnya tentang Arga. Mereka sedang duduk di kantin saat Dina lewat, dan meskipun Dina tidak bermaksud mendengarkan, beberapa kalimat yang terlontar membuatnya berhenti sejenak.
“Aku dengar Arga lagi dekat sama Dina, ya?” suara teman sekelasnya, Intan, terdengar jelas. “Kalian tahu nggak sih, Arga itu tipe yang suka ganti-ganti gebetan? Aku nggak yakin kalau Dina tahu itu.”
Dina tidak bisa menahan diri untuk tidak mendengarkan. Perasaan aneh langsung muncul di dalam hatinya. Ia tahu Arga dan Intan tidak dekat, tetapi mendengar perkataan itu terasa seperti ada yang mencabik-cabik perasaannya. Apa maksudnya? Arga yang ia kenal sangat berbeda dengan gambaran yang dibicarakan oleh teman-temannya. Namun, ada perasaan tidak nyaman yang mulai tumbuh di dalam dirinya, mengingatkan dia untuk lebih berhati-hati.
Seiring berjalannya minggu-minggu berikutnya, perasaan itu semakin kuat. Dina merasa cemas setiap kali Arga meluangkan waktu untuknya, terutama saat mereka berdua menghabiskan waktu berdua di luar sekolah. Namun, ia berusaha menepisnya. Arga tidak seperti yang mereka katakan, pikir Dina. Arga adalah orang yang baik, yang selalu ada untuknya, yang tidak pernah tampak seperti orang yang mudah tergoda atau berubah hati. Tetapi kenapa, dengan setiap kata yang ia dengar, Dina semakin ragu? Mengapa ia merasa ada yang salah, bahkan ketika Arga tampak begitu tulus?
Pada suatu siang, saat mereka duduk di taman sekolah, Dina memutuskan untuk membuka pembicaraan dengan hati-hati. Ia tidak ingin terlalu curiga atau menunjukkan ketidakpercayaan, tapi entah mengapa ada sesuatu yang membuatnya merasa perlu tahu lebih banyak.
“Arga,” kata Dina, suara sedikit bergetar, “aku dengar dari teman-teman kalau kamu… pernah dekat sama banyak orang. Maksudnya, banyak cewek.”
Arga menatap Dina sejenak, terkejut dengan pertanyaan mendadak itu. Senyumnya sedikit pudar, tetapi ia segera mengembalikan ekspresi wajahnya menjadi tenang. “Dina, aku… Aku nggak tahu harus ngomong apa. Memang, dulu aku pernah dekat dengan beberapa orang, tapi itu semua udah lewat. Kamu tahu kan, kita hidup di masa remaja yang kadang bingung dengan perasaan sendiri.”
Dina menelan ludah, mencoba memahami penjelasan itu. Arga selalu tampak begitu jujur, tetapi perasaan yang mengganggu itu sulit untuk hilang. “Aku cuma nggak mau… dibohongi,” kata Dina dengan suara pelan.
Arga memandang Dina dalam diam beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab, “Dina, kamu penting buat aku. Aku nggak mau ada keraguan antara kita. Kalau aku melakukan sesuatu yang membuat kamu merasa nggak nyaman, aku mohon maaf.”
Kata-kata Arga seakan menenangkan sebagian ketakutan di hati Dina, tapi juga menambah banyak pertanyaan yang belum terjawab. Meski begitu, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bisa mempercayai Arga. Mereka sudah terlalu dekat untuk berhenti begitu saja hanya karena rumor yang belum tentu benar.
Namun, ketegangan itu tidak berhenti begitu saja. Minggu berikutnya, Dina menemukan dirinya berada di tengah situasi yang lebih sulit. Hari itu, ia berjalan menuju ruang kelas seperti biasa, tetapi langkahnya terhenti saat melihat Arga sedang tertawa bersama dengan seorang gadis lain, Livia, yang dikenal cukup populer di sekolah. Mereka berbicara dengan akrab, dan kadang tersenyum satu sama lain. Dina tidak bisa menahan perasaan cemburu yang mendalam. Mengapa Arga tampak begitu nyaman dengan Livia? Apakah itu berarti ia sudah melupakan Dina?
Pikirannya berputar, mencoba mencari penjelasan yang rasional. Mungkin ini hanya obrolan biasa. Mungkin Livia hanya teman lama Arga. Tetapi perasaan tidak nyaman itu terus merayapi hatinya, dan ia merasa semakin jauh dari apa yang dulu terasa begitu jelas antara mereka.
Keputusan Dina untuk berbicara lagi dengan Arga akhirnya datang. Mereka bertemu di taman sekolah saat istirahat, dan Dina merasa harus mengungkapkan perasaannya, meskipun ia tahu itu mungkin akan membuat suasana canggung.
“Arga,” mulai Dina, memulai percakapan dengan hati-hati, “Aku cuma mau tanya… kenapa kamu sama Livia tampak begitu dekat? Aku nggak tahu kenapa, tapi itu bikin aku merasa… bingung.”
Arga menatap Dina, matanya menyiratkan kebingungan. “Livia? Kamu cemburu sama Livia?”
Dina mengangguk pelan, merasa sedikit malu dengan perasaannya yang tidak dapat ia kendalikan. “Aku nggak tahu. Aku cuma merasa ada yang aneh. Aku nggak tahu kalau kita cuma teman, atau lebih dari itu.”
Arga menundukkan kepala sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “Dina, aku nggak pernah berniat bikin kamu merasa begitu. Livia hanya teman lama, dan aku yakin kamu juga tahu itu. Aku nggak pernah berpikir tentang hubungan seperti yang kamu khawatirkan.”
Dina merasa sedikit lega mendengar penjelasan Arga, tetapi entah kenapa, keraguan itu tidak benar-benar hilang. Ia merasa seperti ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang membuatnya takut jika ia akan terluka nantinya.
Malam itu, Dina tidur dengan perasaan yang tidak bisa ia jelasakan. Meskipun Arga sudah menjelaskan semuanya, ada rasa ragu yang masih bertahan dalam dirinya. Bagaimana jika kenyataannya berbeda? Bagaimana jika Arga hanya menganggap hubungan mereka sebagai persahabatan biasa, sementara Dina sudah mulai merasa lebih dari itu? Ia takut jika hubungan yang baru saja mereka bangun akan hancur begitu saja.
Rintangan yang datang di antara mereka bukan hanya tentang rumor atau cemburu, tetapi juga tentang ketidakpastian. Tentang perasaan yang belum sepenuhnya terungkap, tentang harapan yang kadang bertabrakan dengan kenyataan. Namun, satu hal yang Dina tahu pasti: ia harus berani menghadapi ketakutannya, berani menghadapi apa pun yang terjadi antara mereka.
Dina tahu, perjalanan ini masih panjang, dan meskipun rintangan datang begitu tiba-tiba, ia tidak bisa mundur. Ia harus siap untuk melewati setiap tantangan bersama Arga, jika memang itu yang diinginkannya.*
Bab 5: Pengakuan
Hari-hari yang dijalani Dina semakin terasa berat, meski tak ada perubahan besar dalam rutinitas sekolahnya. Perasaan yang tak bisa ia namakan mulai terus mengganggu pikiran dan hatinya. Hubungannya dengan Arga yang semula terasa begitu murni dan menyenangkan, kini perlahan mulai terhalang oleh keraguan. Apa sebenarnya yang ia rasakan terhadap Arga? Apakah perasaan ini hanya sekadar kekaguman, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam? Dan yang lebih penting lagi, apakah Arga merasakan hal yang sama?
Dina berusaha menenangkan diri, mencoba berpikir jernih. Namun, setiap kali ia melihat Arga, hatinya seakan berdebar lebih cepat. Senyum Arga, tatapan matanya yang penuh perhatian, dan setiap kata yang ia ucapkan, semakin membuat Dina merasa bahwa ia lebih dari sekadar teman baginya. Tetapi, apakah Arga juga merasa demikian? Apakah ia sudah siap untuk mengungkapkan perasaannya?
Kekhawatiran itu semakin memuncak ketika pada suatu siang di taman sekolah, Dina bertemu dengan Arga. Mereka duduk di bangku yang biasa mereka pilih untuk berbincang, namun kali ini suasana terasa berbeda. Ada semacam ketegangan di udara. Dina merasa ada sesuatu yang belum terungkap, dan ia merasa harus menanyakan semuanya. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengetahui apakah perasaan yang tumbuh di dalam dirinya adalah hal yang sama yang dirasakan Arga.
“Arga,” kata Dina pelan, mencoba membuka percakapan. “Aku ingin tanya sesuatu yang… agak berat.”
Arga menoleh, matanya menatap Dina dengan penuh perhatian. “Apa, Dina? Kamu kelihatan serius banget.”
Dina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku cuma mau tahu, apa kamu pernah… merasa lebih dari sekadar teman sama aku? Maksudnya, apakah kamu pernah merasakan ada sesuatu yang lebih antara kita?”
Arga terdiam sejenak, tatapannya seperti mencari-cari jawaban yang tepat. Ia tak langsung menjawab, malah memandang Dina dengan serius. Tiba-tiba, Dina merasa sangat cemas. Apa yang sedang terjadi? Mengapa Arga tidak langsung memberi jawabannya?
Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, Arga akhirnya berbicara. “Dina,” katanya pelan, “Kamu tahu, aku nggak pernah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. Tapi aku akan bilang yang sebenarnya, karena aku nggak ingin kamu terus merasa bingung.”
Dina menunggu dengan cemas. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan perasaan tidak sabar mulai melanda. Arga akhirnya melanjutkan, “Aku… aku juga merasakan sesuatu lebih dari sekadar teman. Tapi aku nggak tahu, Dina. Aku nggak ingin terburu-buru dan mengecewakan kamu. Aku nggak ingin hubungan kita jadi lebih rumit kalau kita belum benar-benar siap.”
Mendengar pengakuan itu, Dina merasa ada beban yang terangkat dari hatinya. Semua keraguan yang selama ini ia rasakan seolah menguap begitu saja. Arga merasakan hal yang sama. Tetapi di sisi lain, kata-kata Arga juga menyisakan sebuah perasaan yang campur aduk. Kenapa Arga tidak lebih terbuka sejak awal? Mengapa ia harus menunggu sampai sekarang untuk mengungkapkan semua itu?
“Arga…” kata Dina, suaranya sedikit gemetar. “Kenapa nggak dari awal kamu bilang kalau kamu merasa seperti itu? Kenapa baru sekarang?”
Arga menunduk, terlihat bingung dan sedikit cemas. “Aku takut, Dina. Aku takut kalau aku terlalu cepat mengungkapkan perasaan aku dan malah bikin kamu merasa tertekan. Aku nggak ingin hubungan kita jadi aneh kalau kamu nggak merasa hal yang sama. Aku nggak mau merusak apa yang sudah kita bangun.”
Dina terdiam, mencoba mencerna kata-kata Arga. Memang, ada bagian dari dirinya yang merasa lega mengetahui bahwa Arga merasakan hal yang sama, tetapi di sisi lain, perasaan terluka juga muncul. Kenapa Arga harus takut? Kenapa ia harus menunggu terlalu lama untuk mengatakan perasaan itu?
“Aku nggak mau kamu merasa bingung atau tertekan, Dina,” lanjut Arga, suaranya penuh dengan kejujuran. “Aku hanya ingin kita sama-sama nyaman dengan hubungan ini. Kalau kamu merasa siap, aku akan senang. Tapi kalau kamu masih belum yakin, aku akan menunggu.”
Dina merasa ada sesuatu yang membelai hatinya saat mendengar kata-kata itu. Arga, dengan segala keraguannya, tetap menunjukkan kesungguhan dan perhatian yang luar biasa. Mungkin ia tidak bisa langsung mengungkapkan semuanya dengan lancar, tetapi ia sudah menunjukkan bahwa ia ingin ada untuk Dina, dengan segala kerentanannya.
“Arga…” Dina mencoba menenangkan diri, berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Aku… aku juga merasa hal yang sama. Aku merasa lebih dari sekadar teman, tapi aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku nggak mau terburu-buru, tapi aku juga nggak mau menunggu terlalu lama.”
Arga tersenyum, senyum yang penuh kelegaan dan kebahagiaan. “Dina, aku paham. Kita bisa ambil waktu. Kita nggak perlu buru-buru, yang penting kita saling jujur dan terus saling mendukung. Aku nggak akan pergi, Dina. Aku ada buat kamu.”
Dina merasakan ada sesuatu yang kuat menghubungkan mereka, meskipun kata-kata itu tidak menyelesaikan segala keraguan dalam dirinya. Arga dan Dina, meskipun tidak tahu ke mana hubungan ini akan membawa mereka, sudah saling membuka hati. Mereka tidak perlu memaksakan sesuatu yang belum waktunya. Yang penting adalah kejujuran mereka, yang kini terasa lebih dalam daripada sebelumnya.
Sejak saat itu, hubungan mereka semakin kuat, meskipun tidak selalu mulus. Ada rintangan yang terkadang datang begitu saja, tetapi mereka tahu bahwa mereka bisa melewatinya bersama. Arga tidak pernah ragu lagi untuk menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya, sementara Dina belajar untuk lebih menerima dirinya sendiri dan perasaan yang berkembang di dalam hatinya.
Namun, meskipun pengakuan itu menjadi titik terang dalam hubungan mereka, tantangan masih ada di depan. Dina harus belajar untuk lebih mempercayai Arga dan juga dirinya sendiri. Ia harus mengerti bahwa cinta pertama memang penuh dengan ketidakpastian, tetapi juga penuh dengan keindahan yang tak tergantikan.
Pengakuan itu bukanlah akhir dari perjalanan mereka, melainkan awal dari babak baru dalam kisah mereka berdua. Babak yang penuh dengan kebahagiaan, namun juga penuh dengan pelajaran hidup yang akan mereka pelajari bersama.*
Bab 6: Ujian Cinta
Waktu terus berlalu dengan cepat, dan hubungan antara Dina dan Arga semakin menguat. Meskipun mereka tidak selalu bersama setiap saat, setiap momen yang mereka habiskan bersama terasa berharga. Mereka saling memberi dukungan, berbagi tawa, dan juga menghadapi tantangan bersama. Namun, seperti halnya kisah cinta pada umumnya, ujian datang tanpa diduga. Terkadang, ujian itu datang dalam bentuk keraguan, dan kadang juga datang dalam bentuk keputusan yang harus diambil.
Suatu hari, di tengah kebahagiaan yang mereka rasakan, Dina mulai merasa ada yang mengganjal. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, meskipun Arga selalu berusaha menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya. Entah kenapa, ada rasa cemas yang terus menghantui Dina, dan ia merasa harus mengungkapkan kegelisahannya pada Arga. Mereka sudah saling mengenal dengan baik, tetapi kini, Dina merasa seperti ada jarak yang tak terungkapkan di antara mereka.
Pada suatu sore yang cerah, ketika mereka sedang duduk di bangku taman yang sama seperti biasa, Dina memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya yang sudah dipendam cukup lama. “Arga,” katanya dengan suara pelan, “Aku merasa ada yang berbeda akhir-akhir ini.”
Arga menoleh, menatapnya dengan penuh perhatian. “Apa maksudmu?” tanyanya, wajahnya tampak serius.
“Aku nggak tahu… rasanya ada sesuatu yang nggak kita bicarakan,” jawab Dina, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. “Aku merasa kamu semakin jauh, meskipun kita sering bertemu. Kadang aku merasa kita nggak lagi sekomunikatif dulu. Apa kamu merasa seperti itu juga?”
Arga terdiam sejenak, memandang Dina dengan ekspresi yang sulit dibaca. Sepertinya ia sedang berpikir keras. Dina merasa cemas, tetapi ia tahu ini adalah percakapan yang harus mereka lakukan. Mereka tidak bisa terus-terusan menghindari kenyataan.
“Dina,” akhirnya Arga mulai berbicara, “Aku… aku memang agak berubah belakangan ini. Bukan karena aku nggak peduli sama kamu, tapi aku sedang menghadapi masalah yang sulit. Tugas sekolah, keluarga, dan banyak hal lain yang membuat aku merasa kewalahan.”
Dina menatap Arga dengan penuh perhatian. Ia bisa melihat betapa seriusnya Arga, dan ia tahu bahwa masalah yang dihadapi Arga tidaklah sederhana. Namun, perasaan cemas itu masih ada. “Tapi kenapa kamu nggak bilang padaku sebelumnya? Kenapa aku harus menebak-nebak sendiri?” tanya Dina dengan sedikit kecewa.
Arga menundukkan kepala, tampak menyesal. “Aku nggak ingin membebanimu, Dina. Aku tahu kamu juga punya banyak hal yang harus dihadapi, dan aku nggak mau menambah masalahmu. Aku pikir, kalau aku diam dan menghadapinya sendiri, semuanya akan baik-baik saja.”
Dina merasa terdiam sejenak. “Arga, aku nggak mau jadi orang yang cuma ada saat kamu bahagia. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu, termasuk saat kamu merasa kesulitan. Aku nggak bisa terus diam dan berpura-pura semuanya baik-baik saja, kalau aku merasa ada yang nggak beres.”
Arga mengangguk, sepertinya merasa bersalah. “Aku tahu, Dina. Maafkan aku kalau aku terlalu egois dan nggak terbuka sama kamu. Aku akan coba lebih jujur ke kamu mulai sekarang. Aku nggak ingin kehilangan kamu karena kebodohanku.”
Dina merasakan ada kelegaan yang datang setelah percakapan itu. Mereka mungkin sedang mengalami ujian, tetapi itu juga memberi mereka kesempatan untuk saling memahami lebih dalam. Meskipun masalah yang dihadapi Arga belum selesai, setidaknya kini mereka bisa berbicara lebih terbuka satu sama lain.
Namun, ujian cinta mereka belum berakhir. Beberapa hari setelah percakapan itu, Dina menerima kabar yang tak terduga. Salah satu teman sekelasnya, Wulan, mendekatinya dengan wajah serius. “Dina, aku dengar kabar nggak enak tentang Arga,” ujar Wulan, dengan nada yang agak khawatir.
Dina merasa cemas. “Apa yang kamu maksud?”
“Katanya, Arga lagi deket sama cewek lain. Mereka sering banget pergi bareng, dan aku dengar mereka bahkan sempat ketahuan jalan berdua di luar kota. Aku cuma nggak mau kamu terus-terusan dibutakan sama hubungan ini,” jelas Wulan dengan ragu.
Dina merasa seperti disambar petir. Hatinya mulai terasa sesak, dan perasaan tak percaya mulai merayap. Apakah Arga benar-benar melakukan itu padanya? Apakah ia sudah mengkhianatinya? Dina merasa cemas dan bingung, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang.
“Tapi, Wulan, kamu yakin dengan informasi ini?” tanya Dina, berusaha menahan emosi. “Apa kamu nggak salah dengar?”
Wulan mengangguk pelan. “Aku nggak tahu pasti, tapi itu yang aku dengar. Aku cuma nggak mau kamu jadi bodoh dan terjebak dalam kebohongan.”
Dina terdiam. Semua perasaan yang semula tenang kini berubah menjadi kekacauan. Ia harus menghadapinya, tapi bagaimana caranya? Apakah ia harus langsung menanyakan hal ini kepada Arga? Ataukah ia harus memberi ruang dan waktu untuk mencari kebenarannya?
Setelah beberapa saat yang terasa seperti berabad-abad, Dina memutuskan untuk berbicara langsung dengan Arga. Ia merasa bahwa hal yang terbaik adalah mencari kebenaran dari sumbernya langsung, bukan hanya mendengar dari orang lain.
Malam itu, setelah sekolah berakhir, Dina mengirim pesan kepada Arga. Dina: “Arga, kita bisa ketemu malam ini? Aku butuh bicara.”
Arga membalas pesan itu dengan cepat. Arga: “Tentu, aku akan datang. Ada yang penting?”
Dina hanya membalas dengan satu kata: “Ya.”
Mereka bertemu di taman yang sama, tempat mereka sering berbicara. Arga terlihat agak khawatir ketika melihat wajah Dina yang serius. Dina bisa merasakan ketegangan di udara.
“Arga,” kata Dina, suaranya terdengar sedikit tergetar, “Aku dengar sesuatu yang nggak enak tentang kamu. Aku dengar kamu deket sama cewek lain, dan aku nggak tahu harus gimana. Apa itu benar?”
Arga terdiam, wajahnya tampak cemas. Ia memandang Dina dengan tatapan yang sulit dijelaskan. “Dina, aku nggak tahu siapa yang bilang itu, tapi itu nggak benar. Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan cewek itu. Semua yang kamu dengar itu cuma gosip. Aku nggak pernah bermaksud menyakitimu.”
Dina merasa bingung dan cemas. Ia ingin mempercayai Arga, tetapi rasa sakit dan kekecewaan itu tetap ada. “Jadi, apa yang terjadi, Arga? Kenapa aku merasa ada yang berbeda belakangan ini?”
Arga menghela napas panjang. “Aku memang sedang menghadapi banyak hal, Dina. Aku nggak punya alasan untuk menyakitimu. Aku nggak tahu harus bagaimana menghadapi semuanya. Tapi aku bisa janji, aku nggak akan pernah mengkhianatimu.”
Dina memandang Arga dalam diam, mencoba mencerna semuanya. Akhirnya, ia berkata dengan pelan, “Aku ingin percaya padamu, Arga. Tapi kamu harus lebih terbuka ke aku. Aku nggak bisa terus-terusan hidup dengan keraguan ini.”
Arga menatap Dina dengan penuh penyesalan. “Aku janji, aku akan lebih terbuka ke kamu mulai sekarang.”
Mereka berdua duduk dalam diam, saling menenangkan diri. Ujian cinta mereka belum selesai, tetapi setidaknya mereka sudah memulai untuk saling memahami. Mungkin jalan yang mereka pilih tidak selalu mulus, tetapi mereka berdua tahu bahwa cinta mereka layak untuk diperjuangkan.*
Bab 7: Kenangan yang Abadi
Hari-hari berlalu begitu cepat, dan seiring berjalannya waktu, hubungan antara Dina dan Arga semakin kokoh. Setelah melewati berbagai ujian dan rintangan, mereka kini semakin dekat satu sama lain, lebih dari sekadar teman, lebih dari sekadar pasangan. Mereka tahu bahwa meskipun banyak hal yang belum bisa mereka pahami sepenuhnya, cinta yang tumbuh di antara mereka adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan.
Suatu sore yang cerah, Dina dan Arga duduk berdua di bangku taman favorit mereka. Udara hangat terasa menyelimuti mereka, dan angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka dengan lembut. Itu adalah tempat yang penuh kenangan—tempat pertama kali mereka menghabiskan waktu bersama setelah berbulan-bulan berteman, tempat di mana mereka berbicara tentang segala hal, dari impian hingga ketakutan mereka.
Arga memandang Dina dengan tatapan penuh makna. “Dina,” katanya pelan, “terima kasih sudah bertahan. Aku tahu hubungan kita nggak selalu mudah. Banyak hal yang harus kita hadapi, dan aku yakin kita masih akan menghadapi lebih banyak tantangan, tapi… aku merasa lebih kuat karena ada kamu di sisi aku.”
Dina tersenyum, matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku juga, Arga. Meskipun kadang kita nggak tahu harus kemana, aku merasa kita sudah melalui banyak hal bersama. Itu berarti lebih dari yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.”
Mereka saling berpandang, seolah mencoba menakar kedalaman perasaan yang sudah mereka bagikan. Tidak ada kata-kata yang lebih sempurna selain yang telah terucap, dan dalam kebisuan itu, mereka tahu bahwa cinta mereka adalah bagian dari kenangan yang abadi, kenangan yang akan mereka bawa ke mana pun mereka pergi.
Namun, seperti halnya waktu yang terus berjalan, perpisahan akhirnya harus datang. Dina telah menerima tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Ini adalah kesempatan besar untuk masa depannya, tetapi juga berarti mereka harus berpisah untuk sementara waktu. Kabar itu datang dengan perasaan campur aduk—senang, bangga, namun juga sedih karena harus meninggalkan Arga dan semua kenangan indah mereka di Bandung.
Di malam hari setelah menerima kabar tersebut, Dina duduk termenung di kamar, memandang foto-foto mereka berdua yang tersimpan di ponselnya. Arga selalu menjadi bagian penting dalam hidupnya, seseorang yang membuatnya merasa diterima, yang selalu ada di saat-saat ia membutuhkan dukungan. Namun kini, ia harus memilih untuk mengejar impian yang sudah lama ia dambakan, meski itu berarti harus meninggalkan Arga untuk sementara waktu.
Keesokan harinya, mereka bertemu di taman tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Dina bisa merasakan ketegangan di udara. Arga tampak menyadari sesuatu yang tidak biasa dari sikap Dina, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Mereka duduk seperti biasa, di bangku yang sama, tetapi ada perasaan hampa yang tidak bisa disembunyikan.
Akhirnya, Dina memutuskan untuk berbicara. “Arga,” katanya dengan suara lembut, “aku baru saja menerima kabar tentang beasiswa yang aku dapatkan. Aku harus pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Aku nggak tahu harus bagaimana mengatakannya, tapi ini kesempatan yang sangat besar buat aku.”
Arga terdiam sejenak, matanya terfokus pada wajah Dina yang terlihat cemas. Ia tidak langsung bereaksi, tapi dalam tatapannya, Dina bisa melihat betapa beratnya perasaan yang dirasakannya. “Kamu… kamu nggak bisa menolaknya, ya?” tanya Arga, suaranya terdengar rendah dan penuh perasaan.
Dina menggelengkan kepala, mencoba menahan air matanya. “Aku nggak bisa, Arga. Ini kesempatan yang nggak datang dua kali. Aku harus mengejar mimpiku, tapi itu nggak berarti aku nggak peduli sama kamu. Aku… aku nggak tahu bagaimana harus menghadapimu sekarang. Aku merasa takut kehilangan kamu.”
Arga tersenyum, meski senyumnya terasa pahit. “Kamu nggak perlu takut kehilangan aku, Dina. Kalau kamu harus pergi untuk mengejar impianmu, aku akan mendukungmu, walaupun hatiku merasa berat.” Ia menatap Dina dengan penuh kasih, mencoba memberikan kekuatan meskipun perasaannya sendiri tengah hancur. “Aku tahu ini sulit, tapi kita nggak bisa menahan waktu. Yang penting, kamu pergi dengan hati yang tenang, dan aku akan selalu ada di sini, menunggumu.”
Dina menatap Arga, perasaan campur aduk menyerbu hatinya. “Tapi, apa kita akan baik-baik saja, Arga? Apa kita masih bisa bersama meskipun jarak memisahkan kita?”
Arga menghela napas panjang. “Dina, hubungan kita nggak akan pernah sama seperti dulu. Kita pasti akan berubah, tapi cinta yang kita miliki akan selalu ada. Kita nggak perlu memikirkan masa depan sekarang. Yang penting, kita punya kenangan yang indah bersama. Dan itu akan tetap abadi, meski kita jauh.”
Dina mengangguk pelan, meski air mata sudah mulai menggenang di matanya. Ia merasa ada kekosongan yang begitu dalam, tetapi di sisi lain, kata-kata Arga memberinya kekuatan. Mungkin mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi kenangan yang mereka miliki akan selalu ada dalam hati mereka.
Malam itu, mereka berjalan berdua, berkeliling kota Bandung yang sepi. Mereka mengunjungi tempat-tempat yang penuh kenangan—tempat pertama kali mereka bertemu, tempat mereka berbicara tentang impian dan harapan. Di setiap sudut kota, ada kenangan yang terpatri dalam ingatan mereka, kenangan yang akan terus hidup meskipun mereka berpisah.
“Aku nggak akan lupa semua ini, Arga,” kata Dina dengan suara penuh haru. “Kenangan kita, semua tawa, dan semua kebahagiaan yang pernah kita bagi. Itu akan selalu ada di dalam hatiku.”
Arga menggenggam tangan Dina, memberikan kenyamanan di tengah kebingungannya. “Aku juga nggak akan lupa, Dina. Kamu akan selalu menjadi bagian dari hidupku, meskipun jarak memisahkan kita. Kenangan kita akan tetap abadi, dan aku akan menunggu sampai saatnya kita bertemu lagi.”
Mereka berhenti di depan taman yang menjadi saksi bisu perjalanan mereka bersama. Di sana, mereka duduk bersama, saling berpegangan tangan dengan erat. Meski dunia di sekitar mereka seolah bergerak maju, di dalam hati mereka, waktu terasa berhenti sejenak.
Dina tahu bahwa perpisahan ini adalah awal dari babak baru dalam hidup mereka. Mungkin hubungan mereka akan diuji oleh waktu dan jarak, tetapi cinta yang tulus itu tidak akan pernah hilang. Kenangan yang telah mereka ciptakan bersama akan tetap abadi, menjadi kekuatan yang akan membawa mereka maju, meski terkadang harus berjalan terpisah.
Ketika akhirnya Dina tiba di bandara untuk berangkat ke luar negeri, Arga ada di sana, mengantarkannya. Dengan mata yang penuh dengan harapan, mereka berpelukan untuk terakhir kalinya sebelum Dina naik ke pesawat. “Sampai jumpa, Arga. Aku akan selalu mengingatmu,” kata Dina, suaranya penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan.
Arga tersenyum, meskipun air mata juga mulai mengalir. “Aku juga, Dina. Sampai jumpa. Dan aku akan menunggumu.”
Pesawat itu akhirnya mengudara, membawa Dina ke dunia yang baru, sementara Arga tetap berdiri di sana, memandang ke langit. Mereka mungkin terpisah oleh jarak, tetapi kenangan mereka akan selalu ada, abadi dalam setiap detak jantung dan setiap kenangan yang mereka ciptakan bersama.
Kenangan mereka, yang dimulai di bangku taman, akan selalu dikenang—sebagai kisah cinta pertama yang tak akan pernah terlupakan, sebuah kenangan yang abadi di hati mereka berdua.***
————————-THE END—————–