Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

SURAT DARI SINI

SURAT DARI SINI

SAME KADE by SAME KADE
February 5, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 27 mins read
SURAT DARI SINI

Daftar Isi

  • Bab 1  Perpisahan yang Menyakitkan
  • Bab 2  Surat Pertama
  • Bab 3  Surat-Surat yang Menghubungkan
  • Bab 4  Kehilangan dan Harapan
  • Bab 5  Surat yang Membuka Mata
  • Bab 6  Perjalanan Menuju Pertemuan
  • Bab 7  Surat Terakhir
  • Bab 8  Langkah Bersama

Bab 1  Perpisahan yang Menyakitkan

Pagi itu, langit di Jakarta terlihat lebih gelap dari biasanya. Awan mendung menggantung rendah di atas kota, seolah merasakan kesedihan yang melingkupi hati Alika. Di sebuah kafe kecil di dekat stasiun, Alika duduk sendirian dengan secangkir kopi yang sudah lama dingin. Tangannya gemetar sedikit saat memegang cangkir itu, tapi ia tak mampu untuk meminumnya. Pikirannya masih terperangkap pada kenyataan yang baru saja ia hadapi—perpisahan dengan Dimas, kekasihnya yang sudah beberapa tahun bersamanya.

Tak jauh dari tempat Alika duduk, Dimas sedang berdiri di dekat pintu, matanya tertuju pada Alika dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia memegang sebuah koper besar, tanda bahwa ia siap untuk meninggalkan kota ini, meninggalkan kehidupan yang sudah ia bangun bersama Alika. Dimas sudah mendapatkan pekerjaan impian di luar negeri, sebuah kesempatan yang sangat langka dan sulit ditolak. Namun, di sisi lain, kesempatan itu datang dengan harga yang sangat mahal: ia harus meninggalkan Alika.

Beberapa menit yang lalu, mereka sudah sempat berbicara. Kata-kata itu masih terngiang di kepala Alika, meskipun ia berusaha keras untuk menahan air mata. Dimas sudah memutuskan, dan ia tidak bisa mengubah keputusan itu. Tentu saja, Alika tahu bahwa impian dan kesempatan seperti ini tidak bisa dilewatkan, tapi perpisahan ini tetap terasa seperti luka yang tak kunjung sembuh.

“Alika, aku… aku tidak ingin ini terjadi. Aku benar-benar tidak ingin meninggalkanmu,” suara Dimas masih terngiang di telinganya, lembut namun penuh penyesalan.

“Dimas, aku tahu,” jawab Alika dengan suara yang sedikit tercekat. “Aku tahu ini penting untukmu. Aku tidak bisa menghalangimu. Tapi… kenapa harus sekarang? Kenapa harus meninggalkan semuanya?”

Dimas hanya bisa terdiam. Ia mengerti betul perasaan Alika. Mereka sudah bersama sejak kuliah, melewati segala rintangan dan kebahagiaan bersama-sama. Mungkin banyak orang yang berpikir bahwa cinta mereka bisa bertahan apapun yang terjadi, bahkan jarak yang jauh sekali pun. Tapi kenyataannya, tidak ada yang bisa mempersiapkan hati untuk kehilangan orang yang kita cintai. Bahkan jika itu hanya sementara.

Kini, di hadapannya, Alika tampak seperti bayangan dari masa lalu yang sedang berusaha ia tinggalkan, meski hatinya terasa berat. Ia ingin sekali memeluk Alika, menenangkan kekasihnya yang terlihat begitu rapuh. Namun, ia tahu bahwa pelukan itu tak akan cukup. Sebuah keputusan besar harus ia ambil, dan ia tak bisa kembali lagi.

“Aku akan tetap menghubungimu,” Dimas berusaha meyakinkan. “Kita akan tetap berkomunikasi. Aku janji tidak akan membiarkan jarak ini mengubah apa-apa.”

Alika menunduk, mengerutkan bibirnya, berusaha untuk tidak menangis. “Janji saja nggak cukup, Dimas,” jawabnya pelan, suaranya penuh kegetiran. “Kau tahu itu. Jarak ini akan mengubah segalanya. Kita bisa saling mengirim pesan, telepon, bahkan video call setiap malam, tapi itu tidak akan sama. Aku akan merindukanmu setiap saat.”

Dimas mendekat, mencoba memegang tangan Alika, namun gadis itu menariknya dengan lembut. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha keras untuk menahan tangis. Ia ingin menunjukkan kepada Dimas bahwa ia kuat, meskipun hatinya sedang hancur.

“Kita harus berpisah, Alika. Aku… aku harus pergi. Ini adalah kesempatan yang tidak datang dua kali, dan aku harus mengikutinya. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan melupakanmu. Aku tidak akan pernah melupakan kita,” Dimas berkata dengan suara serak, seakan menahan tangisnya sendiri.

Alika menatapnya lama. Setiap kata yang keluar dari mulut Dimas terasa seperti pisau yang menancap di hatinya. Ia ingin berteriak, ingin marah, ingin mempertahankan Dimas dengan segala cara. Namun, ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang sudah dibuat, dan meskipun hatinya hancur, ia tidak bisa menghentikan langkah Dimas.

“Aku tidak ingin kau merasa bersalah, Dimas. Aku tahu ini bukan salahmu. Ini keputusan kita berdua, dan aku ingin kau tahu… aku akan mendukungmu. Apa pun yang terjadi,” kata Alika dengan suara bergetar.

Namun, meskipun kata-kata itu keluar, hatinya tetap terasa kosong. Ia berusaha tersenyum, tapi senyumnya terasa kaku dan penuh kepedihan.

Dimas menarik napas panjang, seolah ingin mengumpulkan kekuatan sebelum akhirnya mengucapkan kata-kata terakhirnya. “Aku akan merindukanmu, Alika. Dan aku berharap suatu hari nanti, kita bisa bertemu lagi. Dengan keadaan yang lebih baik.”

Saat itu, waktu seakan berhenti. Di luar, hujan mulai turun dengan deras, mengaburkan pandangan mereka yang saling menatap. Alika bisa merasakan dada Dimas bergerak naik turun, pertanda bahwa ia juga merasa perpisahan ini sangat berat. Namun, mereka tidak bisa mengubahnya lagi. Keputusan telah diambil, dan jarak akan segera memisahkan mereka.

Dimas akhirnya melangkah pergi, meninggalkan kafe yang semula menjadi saksi kebahagiaan mereka. Alika melihat langkahnya yang semakin menjauh, semakin hilang dari pandangannya. Ia menahan air matanya, tetapi tak mampu mencegahnya jatuh. Perlahan, air matanya mengalir, seperti hujan yang kini turun di luar. Dalam kesunyian itu, hanya ada suara detak jantungnya yang terasa begitu keras, seakan menandakan bahwa sesuatu yang besar telah berakhir.

Di meja tempat mereka biasa duduk berdua, ada secarik kertas yang tertinggal. Sebuah surat, yang akan menjadi kenangan terakhir dari hubungan mereka. Surat itu tidak ditulis untuk mengungkapkan kata-kata yang tak sempat diucapkan, melainkan untuk menjadi pengingat bahwa meskipun perpisahan ini menyakitkan, cinta mereka tetap ada. Surat itu menjadi simbol bahwa meskipun terpisah oleh jarak, hati mereka tetap terhubung.

Alika melihat surat itu, lalu menundukkan kepala, menghapus air matanya. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Cinta mereka, meskipun diuji oleh jarak dan waktu, akan terus ada. Setidaknya, itulah yang ia yakini.

Namun, perpisahan ini tetap meninggalkan luka yang dalam sebuah luka yang hanya bisa sembuh dengan waktu.*

Bab 2  Surat Pertama

Alika duduk di meja kerjanya yang sederhana, dikelilingi oleh buku-buku dan secangkir teh yang sudah hampir dingin. Pagi itu, di luar jendela, hujan turun dengan pelan, membasahi daun-daun yang masih hijau di halaman rumahnya. Suasana yang tenang ini terasa kontras dengan riuh di dalam hatinya. Ia melirik ke arah ponsel di meja, melihat notifikasi yang muncul dari Dimas. Pesan singkat, seperti biasa, yang mengingatkan bahwa meskipun mereka terpisah oleh ribuan kilometer, komunikasi tetap berjalan. Namun, setelah perpisahan itu, segala hal terasa berbeda.

Sebuah pesan dari Dimas masuk, tetapi Alika tak segera membukanya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan hanya dengan membaca pesan teks. Sebelumnya, mereka biasa mengirimkan pesan sepanjang hari—tentang apa yang mereka lakukan, apa yang mereka rasakan, bahkan tentang hal-hal kecil yang kadang tak penting. Tapi sekarang, pesan singkat itu terasa hampa.

Alika menatap ponselnya dalam diam, kemudian menarik napas panjang. Ia tahu Dimas sangat sibuk dengan pekerjaan barunya, dengan dunia barunya, dan itu membuatnya merasa semakin jauh. Jarak itu, meskipun belum sebulan, mulai merayapi hati dan pikirannya. Ada kerinduan yang datang begitu dalam, dan ia tahu, pesan teks tidak akan mampu mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Dimas.

Dalam kebingungannya, sebuah ide datang begitu saja. Surat. Surat seperti yang dulu mereka kirimkan sebelum dunia menjadi serba cepat dengan pesan instan. Surat yang bisa menyampaikan perasaan lebih dari sekadar teks atau emoji. Surat yang akan membuat perasaan itu lebih nyata, lebih mendalam, dan lebih pribadi. Alika tahu ini mungkin terdengar kuno, tetapi justru karena itu, surat akan menjadi cara untuk menghubungkan hati mereka dengan cara yang lebih tulus dan intim.

Ia segera membuka laci mejanya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas putih. Dengan tangan yang agak gemetar, Alika mulai menulis. Kata-kata itu datang begitu saja, seolah seluruh perasaan yang ia pendam selama ini ingin meluap melalui pena. Ia menulis dengan hati, bukan sekadar kata-kata.

Surat Pertama

Dimas,

Aku tahu kita sudah berjanji untuk tetap menjaga hubungan ini, meskipun terpisah oleh jarak yang begitu jauh. Tapi, aku harus jujur, Dimas, semuanya terasa berbeda sekarang. Aku merasa kehilangan, meskipun kita masih saling mengirimkan pesan. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang hilang setiap kali kita tidak bisa berbicara, tidak bisa saling melihat wajah seperti dulu.

Aku mencoba untuk sibuk, untuk mengalihkan pikiran tentang kita, tentang kamu. Tapi setiap kali aku melihat tempat-tempat yang dulu kita kunjungi bersama, setiap kali aku mendengar lagu yang biasa kita dengar bersama, semua kenangan itu datang begitu saja. Rasanya seperti aku kembali ke waktu itu, ketika kita masih berjalan berdua di taman, atau duduk bersama di kafe sambil tertawa-tawa tanpa beban. Semua itu terasa begitu nyata, tetapi aku tahu aku tak bisa kembali ke sana. Aku tahu aku harus belajar untuk menjalani hari-hari tanpa kamu di sampingku.

Aku ingin sekali bercerita tentang hari-hariku, tentang apa yang aku rasakan, tetapi rasanya tak ada yang bisa membuatnya seperti dulu. Aku sering sekali melihat ponselku dan berharap ada pesan darimu, berharap bisa mendengar suaramu. Tapi meskipun ada pesan yang kita tukar, itu tidak cukup. Aku ingin lebih dari itu, Dimas. Aku ingin berbicara lebih lama, ingin berbagi lebih banyak hal denganmu.

Aku rindu suaramu yang lembut, rindu tertawa bersama tanpa perlu khawatir tentang waktu yang terbatas. Aku rindu tatapanmu, tatapan yang selalu membuatku merasa aman. Aku rindu setiap detik yang kita habiskan bersama, bahkan yang paling sederhana sekalipun.

Kau tahu, Dimas, aku merasa kesepian. Tapi aku berusaha untuk mengerti, bahwa ini adalah bagian dari perjalanan kita. Mungkin ini adalah ujian yang harus kita lewati bersama. Tapi, meskipun semuanya terasa berat, aku ingin kamu tahu satu hal: aku tetap di sini, menunggumu. Menunggu sampai suatu hari nanti kita bisa bersama lagi.

Aku tahu aku tidak bisa membuat waktu bergerak lebih cepat, atau membuat jarak ini menjadi lebih pendek. Tapi dengan setiap surat yang kutulis, aku berharap aku bisa sedikit mengurangi rasa rindu ini. Aku berharap surat ini akan menjadi pengingat, bahwa meskipun kita terpisah oleh jarak yang tak terhingga, hatiku selalu ada untukmu.

Aku menulis ini dengan harapan bahwa suatu hari nanti, surat-surat ini akan menjadi kenangan yang tak terlupakan, kenangan tentang dua orang yang saling mencintai meskipun terpisah oleh ribuan kilometer.

Semoga kamu baik-baik saja di sana, Dimas. Aku menunggumu, dan aku berharap kita bisa melewati semua ini dengan kekuatan cinta yang kita punya.

Dari sini, dengan rindu yang tak bisa kuungkapkan selain dengan kata-kata,

Alika

Alika menatap surat yang baru saja ia tulis. Setiap kata, setiap kalimat, terasa begitu tulus dan mengalir dari hatinya. Ada harapan di setiap huruf yang tertulis, dan meskipun jarak memisahkan mereka, surat ini membuatnya merasa lebih dekat dengan Dimas. Ia melipat surat itu dengan hati-hati, lalu menulis alamat Dimas di bagian depan. Meskipun ia tahu Dimas sedang sibuk, ia merasa bahwa surat ini akan menjadi cara yang tepat untuk menyampaikan perasaannya yang selama ini terpendam.

Setelah surat itu terlipat rapi, Alika memasukkan surat itu ke dalam amplop dan menulis nama Dimas di bagian depan. Ia menghela napas panjang, melepaskan sedikit beban yang tadi terasa begitu berat. Dengan melakukannya, ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang kembali utuh, seolah surat itu bisa menjembatani jarak yang begitu jauh.

Pagi itu, hujan masih turun, tapi Alika merasa ada sedikit kelegaan. Walaupun perpisahan ini menyakitkan, walaupun hari-hari terasa panjang tanpa Dimas di sisinya, surat pertama ini memberi harapan baru. Harapan bahwa meskipun mereka tidak bisa bersama saat ini, mereka tetap bisa saling berbagi perasaan, berbagi cinta, melalui cara yang lebih intim melalui kata-kata yang ditulis dengan tangan dan hati.

Alika melangkah keluar rumah dengan surat itu di tangan. Ia merasa sedikit lebih ringan, karena dengan menulis surat ini, ia tidak hanya menyampaikan kerinduan, tetapi juga mengungkapkan cinta yang selama ini ia simpan. Ia yakin bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, cinta mereka akan tetap bertahan, terjalin melalui setiap kata yang tertulis dalam surat-surat berikutnya.

Dengan langkah mantap, ia menuju kantor pos, mengirimkan surat pertama dari sekian banyak surat yang akan ia tulis untuk Dimas. Surat yang akan menjadi penghubung mereka, mengatasi segala kerinduan dan rasa sepi yang datang karena jarak. Surat yang akan selalu mengingatkan mereka, bahwa meskipun terpisah oleh ribuan kilometer, cinta itu tetap ada, tetap hidup, dan tetap menguatkan mereka.

Dengan menulis surat pertama ini, Alika menyadari bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, surat-surat ini adalah cara untuk tetap menjaga cinta mereka tetap hidup. Surat ini bukan hanya sekadar komunikasi, tetapi juga cara untuk tetap saling terhubung dalam keintiman yang hanya bisa didapatkan melalui tulisan hati.*

Bab 3  Surat-Surat yang Menghubungkan

Setelah mengirimkan surat pertama kepada Dimas, Alika merasa ada sesuatu yang berubah. Perasaan hampa yang sempat menguasai dirinya mulai sedikit terobati. Setiap hari, saat ia merasa rindu atau sepi, ia akan menulis. Tulisannya bukan hanya sekadar curahan hati, melainkan sebuah sarana untuk menghubungkan dirinya kembali dengan Dimas, meskipun mereka berada di dua dunia yang sangat berbeda.

Hujan masih turun dengan lembut di luar jendela, dan suara tetesan air itu kini menjadi pengiring setia saat Alika menulis. Kali ini, ia memutuskan untuk menulis lebih dari sekadar mengungkapkan kerinduannya. Ia ingin membagikan bagian dari hidupnya yang baru, yang ia rasa perlu diketahui oleh Dimas—meskipun mereka hanya bisa terhubung melalui kata-kata.

Alika duduk di meja kerjanya, pensil di tangan, dan beberapa lembar kertas kosong tergeletak di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai menulis.

Surat Kedua

Dimas,

Hari-hariku semakin terasa panjang tanpa ada cerita yang bisa kita bagi bersama. Kamu tahu kan, aku selalu menganggap setiap hari adalah kesempatan untuk berbagi hal-hal kecil yang kita alami. Tapi kini, semuanya terasa jauh lebih sepi. Aku jadi sering bertanya-tanya, apakah kamu juga merasakan hal yang sama?

Aku ingin menceritakan sedikit tentang hidupku di sini, tentang apa yang terjadi sejak kamu pergi. Tidak ada yang terlalu luar biasa, hanya rutinitas yang terus berjalan, namun dengan ada satu hal yang hilang—yaitu dirimu. Seperti yang aku bilang sebelumnya, rasanya hidupku seperti terhenti. Aku ke kantor dengan langkah yang lebih berat, berbicara dengan orang-orang, namun seolah-olah ada sesuatu yang tidak lengkap.

Kemarin, aku pergi ke tempat yang dulu sering kita kunjungi, taman dekat rumah. Kamu pasti ingat, kan? Tempat itu selalu jadi tempat yang nyaman untuk duduk berdua, berbicara tentang segala hal. Aku duduk di sana semalam, sendiri, memandangi bangku yang selalu kita tempati. Rasanya… sangat sepi. Tidak ada tawa kita yang mengisi udara, tidak ada percakapan ringan yang biasa kita lakukan. Aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku. Setiap sudut taman itu mengingatkanku pada kita.

Tapi meskipun sepi, aku sadar bahwa hidup tetap harus berjalan. Aku berusaha untuk tetap tegar. Aku tahu, kamu juga pasti sibuk dengan pekerjaan barumu, dan mungkin juga merasa berat. Jadi, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak terlalu melankolis dan membebani pikiranku dengan perasaan yang tidak perlu. Aku akan mencoba untuk melihat hal-hal positif di setiap hariku. Seperti saat aku menerima suratmu kemarin—itu adalah salah satu hal yang sangat aku tunggu-tunggu.

Dimas, aku tidak tahu bagaimana kamu menjalani harimu, tetapi aku ingin tahu. Aku ingin mendengar tentang apa yang kamu lakukan di sana. Apakah pekerjaanmu seberat yang kamu bayangkan? Atau mungkin kamu menemukan teman-teman baru yang membuatmu merasa lebih baik? Aku ingin mendengar suara ceriamu, mendengar tawa kecilmu, meskipun itu hanya lewat pesan atau surat seperti ini.

Aku ingin kamu tahu, meskipun aku merindukanmu lebih dari apapun, aku mendukung langkahmu. Aku tahu ini adalah kesempatan besar untukmu. Mungkin, kita akan merasa terpisah selama beberapa waktu, tapi aku percaya bahwa cinta kita bisa bertahan, meski hanya melalui surat dan pesan. Karena kita sudah berjanji, bukan? Untuk saling menjaga meskipun jarak memisahkan.

Aku berharap surat ini bisa sampai ke tanganmu secepat mungkin. Aku akan menunggu balasan darimu. Jangan biarkan waktu berlalu begitu saja tanpa sedikit pun kabar darimu. Aku merindukanmu lebih dari yang bisa kuungkapkan dengan kata-kata.

Dari sini, dengan segala kerinduan yang masih ada di dalam hati,
Alika

Alika menutup suratnya, melipatnya dengan hati-hati, dan menaruhnya di amplop. Ia merasa seakan ada bagian dari dirinya yang lebih ringan setelah menulis. Surat ini bukan hanya sekadar curahan hati, tetapi juga bentuk upaya untuk menjaga hubungan mereka tetap hidup meskipun terpisah jarak. Ketika menulis, ia merasa dekat dengan Dimas, seolah-olah dia bisa mendengar suara Dimas mengalun melalui kata-kata itu.

Beberapa hari berlalu, dan akhirnya Alika menerima balasan dari Dimas. Surat itu tiba dengan cepat, seperti yang ia harapkan. Alika segera membuka amplop itu, dan matanya pun langsung tertuju pada tulisan tangan Dimas yang familiar. Ia membaca dengan seksama setiap kata yang tertulis di surat itu, berusaha menangkap tiap perasaan yang mungkin ingin disampaikan Dimas.

Surat Balasan Dimas

Alika,

Aku membaca suratmu sambil tersenyum. Aku bisa merasakan kerinduanmu, dan aku tahu, meskipun kita terpisah oleh jarak, kamu tetap ada dalam pikiranku setiap hari. Mungkin kita tidak bisa berada di tempat yang sama sekarang, tapi surat ini membuatku merasa seperti kita sedang duduk bersama, berbicara, dan saling bertukar cerita.

Kamu benar, aku merasa sangat sibuk di sini. Pekerjaan baru ini memang menuntut perhatian lebih dari yang aku bayangkan. Tapi aku berusaha untuk tetap menyeimbangkan semuanya, walaupun kadang rasa rindu itu datang begitu kuat. Ketika kamu bercerita tentang taman yang kita kunjungi, aku teringat betapa seringnya kita menghabiskan waktu di sana. Tawa kita yang saling menggema, dan percakapan yang tak pernah berakhir. Setiap kenangan itu seakan hidup dalam benakku. Aku merindukan semua itu.

Alika, aku merasa kamu benar-benar mengerti apa yang aku rasakan. Walaupun kita terpisah, kita tetap bisa merasakan apa yang satu sama lain alami, bahkan hanya lewat surat seperti ini. Aku sangat menghargai ini—cara kita tetap bisa berbagi meski melalui tulisan. Aku tahu tidak mudah untuk menjaga hubungan seperti ini, tetapi aku percaya kita bisa melalui semua ini. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan ini hanyalah ujian lain yang harus kita hadapi.

Aku tidak bisa menjanjikan bahwa hari-hariku di sini akan selalu mudah, tapi aku akan terus menulis, akan terus mengirimkan surat untukmu. Aku ingin tahu lebih banyak tentang hidupmu di sana, tentang apa yang membuatmu tertawa, atau tentang hal-hal kecil yang mengingatkanmu pada kita. Jangan ragu untuk menulis sebanyak yang kamu mau. Setiap surat darimu adalah hadiah yang aku tunggu-tunggu.

Aku berharap suatu hari nanti, kita bisa kembali ke taman itu, duduk di bangku yang kita cintai, dan berbicara tentang semua hal yang kita alami. Hingga saat itu datang, aku akan terus mengirimkan surat, karena surat-surat ini adalah cara kita menjaga hubungan kita tetap hidup.

Dengan segala rasa sayang dan kerinduan,
Dimas

Setelah membaca surat balasan itu, Alika merasa hatinya kembali terhubung dengan Dimas, seolah surat-surat mereka adalah jembatan yang menghubungkan dua dunia yang terpisah. Ia tersenyum kecil, merasakan kehangatan yang tak pernah hilang meskipun jarak memisahkan mereka.

Surat-surat ini, lebih dari sekadar kata-kata, telah menjadi cara mereka untuk berbagi hidup, berbagi cinta, dan menjaga janji yang mereka buat. Setiap surat yang mereka kirimkan adalah langkah kecil menuju kebersamaan, meskipun itu hanya dalam bentuk tulisan.

Alika menulis balasan dengan tangan yang lebih ringan, merasa seperti kembali kepada dirinya sendiri, kembali kepada cinta yang tak pernah hilang—cinta yang tumbuh melalui surat-surat yang menghubungkan mereka, sedikit demi sedikit, meskipun terpisah oleh lautan waktu dan jarak.*

Bab 4  Kehilangan dan Harapan

Hari-hari berlalu dengan lambat. Setiap detik terasa seperti beban, setiap pagi dimulai dengan rindu yang semakin mengeras. Alika tidak lagi merasa nyaman di tempat-tempat yang dulu penuh dengan kenangan. Taman itu, kafe kecil di sudut jalan, bahkan meja kerjanya semuanya terasa kosong tanpa Dimas di sampingnya. Surat-surat yang terus mereka kirimkan semakin sedikit mengurangi rasa sepi yang kini semakin mengisi ruang-ruang dalam dirinya. Kehilangan itu bukan hanya datang dengan perasaan, tetapi juga dengan perubahan besar dalam cara ia melihat hidup.

Tahun ajaran baru di kantornya telah dimulai, tetapi suasana hatinya tetap tidak berubah. Setiap pagi ia bangun dengan perasaan berat. Semua hal terasa lebih sulit tanpa Dimas di sini. Bahkan rutinitas yang dulu menyenankan, seperti memasak sarapan atau pergi ke pasar, kini terasa seperti tugas yang harus diselesaikan. Rasanya, ia tidak punya semangat untuk melakukan hal-hal yang dulu ia nikmati.

Namun, meskipun rasa kehilangan itu begitu mendalam, ada satu hal yang tidak bisa diabaikan—harapan. Harapan yang datang, tak peduli betapa beratnya keadaan. Setiap surat yang dikirimkan Dimas membangkitkan sedikit harapan dalam hatinya. Setiap kata yang tertulis membuatnya merasa bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, cinta mereka tetap hidup. Tapi, satu pertanyaan selalu mengganggu pikirannya: apakah harapan itu akan bertahan?

Pagi itu, Alika duduk di meja kerjanya, menatap secangkir teh yang sudah mulai dingin. Surat yang terakhir Dimas kirimkan masih tergeletak di sebelahnya. Dengan perasaan yang campur aduk, ia memutuskan untuk membaca kembali surat itu, mencoba menangkap setiap kata yang tertulis, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa menenangkan hatinya.

Surat Dimas
(Balasan surat sebelumnya)

Alika,

Aku tahu, aku tahu betul betapa sulitnya kita menjalani hari-hari seperti ini. Aku tidak bisa merasakan apa yang kamu rasakan di sana, tetapi aku bisa membayangkan betapa beratnya hidup tanpa ada aku di sampingmu. Aku ingin sekali bisa menghapus rasa rindu itu, bisa mengurangi kekosongan yang kini kau rasakan. Tapi, aku hanya bisa memberikan kata-kata melalui surat ini.

Aku ingin kamu tahu bahwa aku merindukanmu, lebih dari yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Kadang, aku merasa kesepian juga di sini, dan aku merindukan kehadiranmu yang selalu memberi aku kenyamanan. Kehilanganmu terasa begitu nyata, Alika. Tapi aku berjanji, aku akan terus menulis, terus menghubungimu dengan cara apapun yang bisa aku lakukan, meskipun hanya melalui kata-kata.

Aku percaya kita bisa melewati ini. Semua ini hanya sementara, bukan? Aku yakin, suatu hari nanti kita akan bisa bertemu lagi dan segala rasa rindu ini akan terbayar lunas.

Aku menunggu harapan yang datang bersamamu, Alika. Kita akan melalui ini bersama-sama. Aku akan menunggu sampai saat itu tiba.

Dengan segenap cintaku,
Dimas

Alika menghela napas setelah membaca surat itu. Dimas benar, semuanya memang terasa seperti ujian yang harus mereka jalani, dan ia merasa seolah-olah sedang berada di tengah-tengah samudra yang luas. Kehilangan itu memang sangat menyakitkan. Rasanya, setiap hari ia berjalan di atas tanah yang rapuh, takut akan jatuh karena perasaan yang terus membebani hatinya. Namun, dalam surat-surat Dimas, ia merasakan bahwa harapan itu ada, bahkan dalam bentuk yang paling sederhana.

Surat-surat itu memberi Alika satu hal yang tidak bisa ia dapatkan dari hal lain yakni, pengingat bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, hubungan mereka masih hidup dan kuat. Alika menyadari bahwa meskipun kehilangan itu nyata, harapan itu jauh lebih kuat. Harapan bahwa suatu saat nanti, mereka akan bertemu lagi dan bisa membangun masa depan bersama. Harapan bahwa waktu dan jarak ini hanya ujian kecil yang harus mereka lewati untuk mencapai sesuatu yang lebih indah.

Namun, meskipun harapan itu hadir, ada bagian dari dirinya yang mulai meragukan segalanya. Setiap malam, sebelum tidur, ia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah kita bisa bertahan? Perasaan rindu itu semakin besar, semakin menuntut, dan semakin sulit untuk dipenuhi hanya dengan kata-kata. Kadang, ia merasa seperti sedang mengejar sesuatu yang tak pernah bisa ia sentuh suatu harapan yang terus menggantung, seperti bintang di langit yang tak terjangkau.

Hari demi hari, Alika merasa semakin sulit untuk menahan perasaan itu sendiri. Meski surat-surat dari Dimas membuatnya merasa dekat, kenyataan bahwa mereka terpisah oleh ribuan kilometer kadang membuat hatinya terasa terhimpit. Tetapi, di tengah semua itu, ia selalu ingat pesan Dimas: “Kita akan melalui ini bersama-sama.”

Alika memutuskan untuk kembali menulis. Tidak ada yang lebih baik untuk mengatasi perasaan yang menggebu-gebu selain menyalurkannya dalam bentuk tulisan. Dia berharap, jika ia menulis lagi, harapan itu akan kembali hidup seperti yang Dimas harapkan. Surat menjadi sarana baginya untuk mengungkapkan perasaan yang tidak bisa ia sampaikan melalui telepon atau pesan singkat. Surat adalah bentuk cinta mereka yang tetap bertahan, meskipun dunia terasa semakin memisahkan mereka.

Surat Ketiga

Dimas,

Aku merasa semakin hari, dunia kita semakin jauh. Setiap hari, aku terbangun dengan perasaan yang sama: rindu. Rindu yang begitu dalam dan kadang-kadang terasa tak tertahankan. Rindu akan setiap hal tentangmu suaramu, senyummu, cara kamu berbicara tentang masa depan kita. Semua itu kini hanya ada dalam kenangan, dan kenangan itu semakin menguar setiap kali aku menutup mataku.

Tapi, Dimas, meskipun perasaan itu datang begitu kuat, aku sadar bahwa harapan adalah sesuatu yang tidak bisa kita lepaskan. Harapan akan masa depan kita, harapan akan kebersamaan kita, harapan bahwa suatu hari nanti kita akan bertemu lagi. Dan meskipun kadang terasa sulit, aku tahu aku harus tetap percaya bahwa ini hanya sementara. Kita akan bersama lagi.

Aku tidak tahu seberapa lama kita harus menunggu, atau seberapa banyak rindu yang harus kita tahan. Tapi aku percaya, bahwa cinta kita cukup kuat untuk melewati semua ini. Aku menulis surat ini dengan keyakinan bahwa, meskipun saat ini kita terpisah, hati kita tetap saling terhubung. Tidak ada jarak yang terlalu jauh untuk menghentikan kita.

Aku akan terus menulis, terus mengirimkan surat-surat ini untukmu, karena aku percaya bahwa setiap kata yang kutulis adalah bagian dari janji kita untuk tetap bersama. Walau kita terpisah, surat-surat ini akan menjadi penghubung yang selalu mengingatkan kita bahwa cinta kita tak akan pernah luntur.

Aku menunggu kabar darimu, Dimas. Aku menunggu hari di mana kita bisa saling bertemu lagi, di mana kita bisa menghapus semua rasa rindu ini dan membangun kembali hidup kita bersama.

Dengan segala harapan yang ada,
Alika

Setelah menulis surat itu, Alika merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu, meskipun hari-hari terasa begitu berat dan penuh kehilangan, ia harus terus berharap. Kehilangan bukanlah akhir dari segalanya—ia adalah bagian dari perjalanan yang mengajarkan mereka untuk lebih menghargai cinta dan kebersamaan. Dan dalam setiap surat yang ditulis, ia menemukan kekuatan untuk terus melangkah.

Surat-surat itu, meskipun hanya kata-kata, adalah pengingat bahwa cinta mereka masih hidup. Harapan mereka masih ada. Dan selama harapan itu ada, meskipun mereka terpisah, Alika tahu bahwa suatu hari nanti mereka akan kembali bertemu.*

Bab 5  Surat yang Membuka Mata

Malam itu, Alika duduk di meja kerjanya dengan tatapan kosong. Surat terakhir dari Dimas sudah dibaca berkali-kali, namun rasanya masih ada yang kurang. Meskipun Dimas selalu menulis dengan penuh semangat dan keyakinan, ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Alika. Surat-suratnya selalu dipenuhi dengan kata-kata yang menguatkan, namun perasaan sepi itu rindu yang mengikat erat hatinya tetap saja tak mudah untuk diatasi.

Dimas mengatakan bahwa mereka akan bertemu suatu hari nanti, bahwa semua ini akan berakhir dengan kebersamaan. Namun, semakin ia menulis, semakin ia merasa ada sesuatu yang belum diselesaikan di antara mereka. Sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar jarak atau waktu. Sesuatu yang harus ia temui, sesuatu yang harus ia hadapi dan itu adalah kenyataan tentang hubungan mereka.

Alika mengambil selembar kertas putih dan mulai menulis, lebih banyak karena dorongan untuk mengungkapkan isi hatinya yang sulit untuk dijelaskan daripada keinginan untuk menghubungi Dimas lagi. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mulai menulis.

Surat Keempat

Dimas,

Aku menulis surat ini dengan perasaan yang campur aduk. Seperti biasa, aku merindukanmu. Tidak ada hari yang berlalu tanpa aku merasakan kekosongan ini, tanpa memikirkanmu. Suratmu yang terakhir begitu menenangkan, aku bisa merasakan bahwa kamu berusaha untuk menguatkanku, memberi harapan yang kita butuhkan untuk melewati jarak ini. Tapi ada satu hal yang ingin aku katakan padamu. Sesuatu yang sepertinya sudah lama mengganggu pikiranku.

Aku merasa seperti kita sedang mencoba menyembunyikan kenyataan yang ada di depan mata kita. Meskipun kata-katamu begitu meyakinkan dan penuh harapan, ada hal yang membuatku takut. Aku takut, Dimas. Takut bahwa kita terlalu banyak berharap pada sesuatu yang mungkin tidak bisa kita capai. Takut bahwa kita telah terjebak dalam ilusi yang hanya ada dalam surat-surat ini. Takut bahwa kenyataan kita yang terpisah sejauh ini lebih besar daripada rasa cinta yang kita miliki.

Aku tidak tahu lagi apakah cinta ini cukup kuat untuk bertahan. Jarak ini semakin terasa besar, semakin sulit diterima. Dan aku merasa semakin jauh dari apa yang dulu kita miliki. Aku merasa seperti kita sedang berjalan ke arah yang berbeda, dan meskipun kita terus mengirimkan surat-surat ini, aku merasa kita semakin kehilangan arah.

Aku tahu ini mungkin terdengar pesimis, tapi aku harus mengatakannya. Aku harus jujur dengan diriku sendiri, dan denganmu. Ada saat-saat ketika aku bertanya pada diriku sendiri, apakah ini benar-benar yang kita inginkan? Apakah kita akan terus bertahan seperti ini selamanya, dengan hanya surat-surat dan kata-kata sebagai penghubung kita?

Aku tidak tahu jawabannya, Dimas. Aku tidak tahu apakah ini hanya keraguan sementara, atau jika ini adalah sesuatu yang lebih besar. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak ingin kita terus mengabaikan kenyataan. Mungkin ini saatnya untuk kita benar-benar melihat apa yang sedang terjadi. Apakah kita masih ingin berjuang, atau apakah kita harus mengakui bahwa kita sudah terlalu jauh terpisah?

Aku menulis surat ini bukan untuk menyudutkanmu, tapi untuk jujur pada perasaan kita berdua. Kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang harapan yang tidak pasti. Kita butuh kejelasan. Aku butuh tahu, apakah kamu juga merasa hal yang sama. Apakah kamu juga merasakan ketidakpastian ini, atau hanya aku yang terlalu khawatir?

Aku berharap kamu bisa mengerti. Aku menunggu suratmu dengan segala kerinduan dan harapan, tetapi juga dengan pertanyaan yang mengganggu hatiku. Mungkin surat ini akan membuka mata kita berdua.

Dengan penuh keraguan,
Alika

Setelah menulis surat itu, Alika merasa sedikit lebih lega. Rasanya, ada sesuatu yang sudah lama terpendam dalam dirinya, dan akhirnya bisa ia ungkapkan. Ia tahu bahwa surat ini tidak akan mudah bagi Dimas untuk membacanya. Tetapi ia juga tahu bahwa mereka tidak bisa terus bersembunyi dari kenyataan. Kehilangan itu memang terasa, tapi ketidakpastian yang lebih besar tentang masa depan mereka juga tak bisa lagi diabaikan.

Beberapa hari kemudian, balasan dari Dimas datang. Alika merasa cemas saat membaca alamat di amplop itu, dan ketika membuka surat itu, sejenak ia menahan napas. Tulisannya rapi, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ada keheningan yang terasa sangat nyata dalam kata-kata Dimas, yang membuat hati Alika berdebar.

Surat Balasan Dimas

Alika,

Aku membaca suratmu dengan perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Sungguh, aku tidak pernah mengira kita akan sampai pada titik ini, di mana kita harus mengajukan pertanyaan besar tentang hubungan kita. Tapi aku memahami apa yang kamu rasakan. Aku tahu, di balik setiap kata yang kamu tulis, ada keraguan yang tumbuh, ada rasa takut yang tidak bisa kamu sembunyikan. Aku tahu, Alika, karena aku merasakannya juga.

Jarak ini, waktu ini, semuanya semakin lama semakin berat. Dan aku juga merasa hal yang sama. Setiap kali aku menulis surat, aku merasa semakin jauh dari dirimu. Surat-surat ini, meskipun kita tulis dengan penuh cinta, tetap saja hanya kata-kata di atas kertas. Mereka tidak bisa menggantikan pelukan, tawa, atau kebersamaan yang kita miliki dulu. Aku merasa seperti kita sedang terjebak dalam rutinitas harapan yang tak berujung. Kita berusaha untuk berjuang, untuk tetap percaya, namun aku sadar, kita juga harus mengakui kenyataan.

Alika, aku tidak ingin kehilanganmu, tapi aku juga tidak ingin kita terus menjalani hubungan ini dengan perasaan yang terus mengganjal. Aku ingin jujur denganmu. Aku juga merasa ragu. Aku merasa takut bahwa kita sudah terlalu lama berada dalam jarak yang tak bisa kita jembatani. Cinta kita memang kuat, tapi jarak ini semakin membuatku merasa terasing.

Aku tidak ingin kamu merasa terbebani dengan rasa keraguan ini, tetapi aku juga tidak ingin kita terus hidup dalam ketidakpastian. Mungkin sudah saatnya kita berbicara lebih serius tentang apa yang sebenarnya kita inginkan. Apakah kita benar-benar ingin berjuang untuk masa depan ini? Atau apakah sudah saatnya kita mempertimbangkan pilihan lain?

Aku tahu ini bukan jawaban yang kamu harapkan, dan aku sangat menyesal jika kata-kataku membuatmu merasa lebih berat. Aku ingin kita tetap bersama, Alika. Tapi kita juga harus realistis. Kita harus memikirkan apa yang terbaik untuk kita berdua.

Dengan hati yang penuh kebingungan,
Dimas

Alika menutup surat itu dengan perasaan yang lebih berat dari sebelumnya. Ternyata, Dimas merasakan hal yang sama—keraguan yang selama ini ia pendam ternyata juga ada di hati Dimas. Surat itu membuka matanya, mengungkapkan kenyataan yang selama ini mereka hindari. Meskipun mereka berdua masih saling mencintai, ketidakpastian dan jarak yang semakin besar membuat mereka bertanya-tanya apakah mereka bisa terus bertahan.

Namun, ada satu hal yang pasti: surat-surat ini tidak hanya berfungsi untuk menjaga komunikasi mereka, tetapi juga untuk membuka mata mereka berdua terhadap kenyataan yang harus dihadapi. Dan mungkin, hanya dengan melihat kenyataan itu dengan jelas, mereka bisa memutuskan langkah selanjutnya. Mungkin ini bukan akhir dari semuanya, tapi awal dari keputusan besar yang harus mereka buat.*

Bab 6  Perjalanan Menuju Pertemuan

Hari-hari semakin berlalu, dan meskipun hati Alika terasa berat karena keraguan yang menggelayuti hubungan mereka, ada sesuatu yang mulai berubah. Dimas, dengan segala ketidakpastian yang mereka hadapi, mengirimkan sebuah kabar yang mengubah segalanya. Ia mengatakan bahwa ia akan datang ke kota Alika. Semua rencana yang mereka susun dalam surat-surat kini mulai memiliki bentuk yang nyata. Meskipun Alika masih merasa cemas, ada secercah harapan yang menyala dalam dirinya.

Dimas akan datang. Itu adalah kenyataan yang tidak lagi bisa ia elakkan. Dan meskipun hati Alika terasa takut, cemas, dan ragu, ia tidak bisa menghindari kegembiraan yang perlahan tumbuh di dalamnya. Mungkin inilah jawaban dari semua pertanyaan yang mengganggu pikiran mereka selama ini. Mungkin, pertemuan itu adalah langkah pertama mereka untuk menyelesaikan keraguan yang selama ini mereka pendam.

Setiap pagi, Alika terbangun dengan rasa cemas yang baru. Ia sudah menyiapkan segala sesuatunya: apartemen yang akan mereka tempati selama beberapa hari, rencana pertemuan pertama kali setelah sekian lama, dan hal-hal kecil lainnya yang ia harap bisa membuat momen itu lebih sempurna. Namun, meskipun sudah merencanakan semuanya, kecemasan itu tidak hilang. Ia takut, bagaimana jika pertemuan itu tidak sesuai dengan harapannya? Bagaimana jika segala hal yang mereka harapkan selama ini hanya ilusi?

Pagi itu, Alika berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Ia tersenyum kecil, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Ini hanya pertemuan, Alika. Hanya pertemuan,” bisiknya pada dirinya sendiri. Tapi, meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya, hatinya tetap berdebar-debar. Ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah pertemuan yang akan menguji segalanya—rasa cinta, harapan, bahkan masa depan mereka.

Dimas tiba di kota itu dengan membawa banyak harapan dan kecemasan yang sama. Di bandara, ia melihat pemandangan yang sama sekali berbeda—tak ada lagi wajah Alika yang menyambutnya seperti dulu. Tak ada lagi senyum cerah yang selalu menjadi pengobat rindunya. Kali ini, ia harus mencari cara untuk menemukan Alika di tengah keramaian, tanpa tahu pasti apakah perasaan yang sama masih ada di sana.

Dimas menggenggam erat tas ranselnya. Ia tahu ini bukan hanya soal perjalanan fisik menuju kota yang kini menjadi tempat tinggal Alika, tetapi juga perjalanan batin yang jauh lebih penting. Apakah mereka masih sama seperti dulu? Apakah mereka masih bisa menemukan cinta di tengah segala perubahan yang telah terjadi selama berbulan-bulan ini? Atau, apakah ini adalah perjalanan terakhir mereka untuk saling melepaskan?

Namun, semua kekhawatiran itu hanya ada dalam pikirannya. Begitu tiba di pintu keluar terminal, ia melihatnya—Alika. Ia berdiri di sana, dengan tatapan yang sulit untuk dibaca. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Mereka saling menatap, dan meskipun jarak memisahkan mereka, Alika merasa bahwa ia telah menunggu saat ini selama berbulan-bulan.

Mereka berjalan mendekat, langkah mereka penuh kehati-hatian. Wajah Alika terlihat sedikit tegang, namun ada senyum yang muncul perlahan saat Dimas semakin mendekat. Dimas juga tersenyum, meskipun ada sedikit kebingungan dalam dirinya. Perasaan rindu itu datang begitu kuat, tetapi ada juga ketakutan akan kenyataan yang mereka hadapi.

“Alika,” suara Dimas terdengar lebih rendah dari yang ia harapkan. Seperti ada beban yang tertahan di dadanya. “Kamu baik-baik saja?”

Alika mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Aku… aku baik-baik saja,” jawabnya, meskipun ia tahu bahwa perasaan yang terpendam jauh lebih rumit dari sekadar kata-kata. Mereka berdiri dalam diam sejenak, mencoba mencari cara untuk mengatasi ketegangan yang ada di antara mereka.

Kemudian, perlahan-lahan, Alika melangkah maju dan memeluk Dimas. Itu adalah pelukan yang penuh kerinduan, pelukan yang menyimpan banyak harapan dan ketakutan yang akhirnya bisa dilepaskan. Di dalam pelukan itu, mereka merasa seolah-olah semua jarak yang memisahkan mereka selama ini tidak ada lagi. Mereka hanya berdua, di sini dan sekarang, dengan segala perasaan yang tumpah.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, mereka saling melepaskan pelukan itu. Alika melihat Dimas dengan mata yang basah, tapi senyum di wajahnya tidak bisa disembunyikan. “Aku tidak tahu harus berkata apa,” katanya, sedikit tertawa dengan gugup. “Tapi aku sangat merindukanmu.”

Dimas mengangguk, mengusap pelan rambut Alika. “Aku juga, Alika. Sangat merindukanmu.” Tetapi, meskipun kata-kata itu terdengar hangat dan penuh cinta, ada perasaan yang masih menggantung di udara. Mereka belum sepenuhnya menyelesaikan apa yang terjadi di antara mereka, dan meskipun pertemuan ini sangat dinantikan, masih ada keraguan yang belum terjawab.

Hari-hari berikutnya, mereka menghabiskan waktu bersama, mencoba menyesuaikan diri dengan kebersamaan yang sempat hilang begitu lama. Alika menunjukkan tempat-tempat yang ia kunjungi di kota ini, dan Dimas menceritakan segala hal yang ia alami selama di tempatnya. Mereka tertawa, berbicara tentang masa depan, dan saling mendengarkan dengan penuh perhatian. Namun, meskipun semuanya terlihat seperti biasa, ada satu hal yang tidak bisa mereka hindari: perasaan bahwa segala sesuatu sudah berubah.

Mereka berbicara tentang perasaan mereka yang selama ini dipendam dalam surat-surat, tentang keraguan, tentang ketakutan bahwa mereka mungkin sudah terlalu jauh terpisah. Alika menyadari bahwa meskipun mereka bisa mengatasi jarak, ada perasaan yang lebih dalam yang harus mereka hadapi. Perasaan tentang apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan setelah begitu lama terpisah. Apakah mereka masih bisa berjalan bersama, atau apakah sudah waktunya untuk berpisah?

Namun, satu hal yang Alika tahu pasti: pertemuan ini, meskipun tidak menghapus semua keraguan, adalah langkah pertama yang penting dalam perjalanan mereka. Ini adalah kesempatan untuk membuka hati, untuk berbicara lebih jujur, dan untuk mencoba memahami apa yang sebenarnya mereka inginkan dari hubungan ini. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi setelah pertemuan ini, tapi satu hal yang pasti—mereka sudah mengambil langkah yang berani. Mereka sudah mulai menjawab pertanyaan yang selama ini mengganggu hati mereka.

Dan meskipun perjalanan menuju pertemuan ini penuh dengan keraguan, mereka tahu bahwa ini adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar, perjalanan yang akan mengubah hidup mereka, apapun hasilnya nanti.*

Bab 7  Surat Terakhir

Alika duduk di meja kerjanya, menatap selembar kertas kosong yang terhampar di depannya. Sudah berhari-hari sejak pertemuan mereka di kota itu, namun perasaan yang tersisa malah semakin membebani pikirannya. Ia merasa seperti ada dua dunia yang saling bertabrakan dalam dirinya. Di satu sisi, ada Dimas yang begitu penuh harapan dan cinta, berusaha untuk mengukir masa depan bersama meski segala ketidakpastian mengganggu. Di sisi lain, ada dirinya sendiri yang mulai ragu, memikirkan apakah semua ini masih memiliki arah yang jelas atau hanya sebuah perjalanan yang akan berakhir di persimpangan tak terduga.

Hari-hari setelah pertemuan mereka dipenuhi dengan percakapan yang hangat dan penuh tawa, namun juga dibalut dengan banyak pertanyaan. Ada momen-momen indah yang mereka bagi bersama, namun juga ada ketegangan yang tak bisa dihindari. Mereka berdua menyadari bahwa meskipun mereka sudah saling merindukan dan merasa begitu dekat, ada banyak hal yang belum terungkap, banyak perasaan yang belum terselesaikan.

Alika menghela napas panjang. Surat-surat yang selama ini ia tulis untuk Dimas kini terasa seperti sebuah kenangan yang tidak bisa dipungkiri lagi. Meskipun begitu banyak cinta yang terukir di dalamnya, ada sesuatu yang hilang. Ia merasakan ada bagian dari dirinya yang belum bisa terhubung dengan Dimas sepenuhnya. Ada luka yang terlalu dalam untuk diobati hanya dengan kata-kata.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ini bukan lagi tentang jarak fisik, atau soal komunikasi yang terputus. Ini adalah tentang dirinya, tentang perasaan yang sudah terlalu lama ia pendam. Alika tahu bahwa ia harus membuat keputusan, sebuah keputusan yang akan menentukan jalan hidup mereka ke depan. Tapi, sebelum itu, ia harus menulis surat terakhir.

Dengan perasaan campur aduk, ia mulai menulis.

Surat Terakhir

Dimas,

Aku menulis surat ini dengan hati yang sangat berat. Rasanya seperti ada beban yang menekan dada, dan aku tak tahu harus mulai dari mana. Kata-kata ini tidak akan cukup untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di hatiku, tapi aku akan mencoba untuk berbicara sejujur mungkin.

Dimas, setelah kita bertemu, aku merasa semakin jelas bahwa meskipun cinta kita begitu besar, ada banyak hal yang tidak bisa kita abaikan. Ketika kita bertemu, aku merasa seolah-olah waktu terhenti, dan semua keraguan itu sempat terlupakan sejenak. Namun setelah itu, aku mulai menyadari bahwa meskipun kita merasa dekat, kita tetap terpisah oleh dunia yang berbeda. Kita sudah terlalu jauh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Ada banyak hal yang tidak bisa kita ubah, dan aku merasa kita sudah terlalu lama terjebak dalam ilusi bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja.

Aku sudah lama merasa ada yang salah, Dimas. Kita berdua sudah berubah, dan itu adalah kenyataan yang sulit untuk diterima. Cinta kita memang kuat, tetapi ada banyak hal yang kita pertaruhkan. Aku merasa kita sedang berusaha untuk memaksakan sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. Mungkin ini bukan tentang jarak, bukan juga tentang waktu, tetapi tentang kita yang tidak lagi menjadi dua orang yang saling memahami dengan cara yang sama.

Aku tahu ini bukan yang kamu harapkan, dan aku minta maaf jika ini membuatmu kecewa. Aku sangat menghargai semua yang telah kita lalui bersama, setiap momen indah yang kita bagi, dan setiap surat yang kita kirimkan. Aku tidak akan pernah melupakan betapa besar cinta yang kamu beri. Tapi aku sadar, kita tidak bisa terus berjalan di jalan yang sama jika kita sudah tidak lagi memiliki tujuan yang sama.

Dimas, ini bukan akhir dari semuanya. Aku tidak ingin kita mengakhiri ini dengan kesedihan. Aku hanya merasa bahwa mungkin kita sudah tiba di ujung jalan kita. Aku tidak ingin menjadi orang yang terus memberikan harapan palsu, karena aku tahu kita berdua pantas untuk lebih dari itu. Aku ingin kamu bahagia, Dimas. Dan mungkin kebahagiaan itu tidak lagi ada di antara kita, tapi di tempat yang berbeda. Aku harap kamu bisa memahami itu.

Terima kasih untuk semua cinta, surat, dan kenangan yang kita buat. Aku akan selalu mengingatmu dengan hati yang penuh rasa terima kasih. Aku harap kita bisa menemukan kedamaian di jalan masing-masing, meskipun tidak bersama. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku tahu ini adalah keputusan yang harus kita ambil untuk bisa menemukan kebahagiaan sejati.

Dengan penuh cinta dan perasaan yang berat,
Alika

Setelah menulis surat itu, Alika menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasa lega, namun juga hancur. Keputusan ini adalah keputusan yang paling sulit dalam hidupnya. Selama ini, surat-surat itu adalah cara mereka untuk tetap terhubung, untuk menjaga perasaan mereka tetap hidup meskipun jarak memisahkan. Tapi sekarang, surat ini adalah pengakhiran dari sebuah perjalanan yang telah berlangsung begitu lama. Ini adalah saat di mana mereka harus berhenti berlari menuju sesuatu yang tidak bisa dicapai.

Alika tahu bahwa Dimas akan merasakan sakit yang sama. Tetapi ia juga tahu bahwa keputusan ini, meskipun sangat sulit, adalah yang terbaik untuk mereka berdua. Mereka tidak bisa terus menjalani hubungan ini dengan perasaan yang tidak jelas. Mereka tidak bisa terus berpegang pada sesuatu yang hanya ada dalam surat-surat dan harapan. Mereka harus menerima kenyataan bahwa kadang-kadang, meskipun ada cinta, dua orang bisa tumbuh ke arah yang berbeda.

Alika menulis alamat Dimas di amplop, lalu menutupnya dengan pelan. Surat ini adalah surat terakhir yang akan ia kirimkan. Setelah ini, tidak ada lagi kata-kata yang bisa mereka kirimkan untuk mengubah keadaan. Mereka harus berpisah, meskipun dengan berat hati.

Ia menghela napas panjang dan berdiri dari meja kerjanya. Langkah kakinya terasa berat, namun ada kedamaian yang perlahan mengisi hatinya. Keputusan ini memang menyakitkan, tetapi ia tahu bahwa terkadang, melepaskan adalah langkah yang paling baik.

Dimas akan selalu menjadi bagian dari kenangannya, tetapi ia juga tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan. Dan mungkin, setelah ini, ia akan menemukan jalan yang baru, yang penuh dengan harapan yang lebih jelas.

Dengan perlahan, ia melangkah keluar dari apartemen, siap untuk mengirimkan surat itu. Surat terakhir yang mengakhiri babak lama dalam hidupnya, dan membuka halaman baru yang penuh ketidakpastian, tetapi juga penuh dengan kemungkinan.*

Bab 8  Langkah Bersama

Minggu-minggu setelah surat terakhir yang ditulis Alika terasa sangat berbeda. Sejak surat itu dikirim, hidupnya seolah-olah berhenti sejenak, terjebak dalam waktu yang melambat. Ia menghabiskan banyak waktu untuk merenung, mencoba memahami keputusan yang telah ia buat. Meskipun ada perasaan kehilangan yang begitu dalam, Alika merasa ada kedamaian yang datang bersamaan dengan keputusan itu. Baginya, meskipun jalan mereka berdua terpisah, itu adalah langkah yang diperlukan untuk menemukan kebahagiaan sejati.

Namun, meskipun ia merasa yakin dengan keputusan itu, ada satu hal yang belum bisa ia lepaskan—Dimas. Hatinya masih terikat oleh kenangan indah mereka bersama, oleh janji-janji yang pernah terucap, dan oleh cinta yang dulu begitu nyata. Dimas, meskipun telah berusaha untuk menerima keputusan Alika, tetap berjuang dalam diam. Setiap hari, ia mencoba melangkah maju, tetapi kenangan tentang Alika tidak pernah benar-benar menghilang. Rasanya, dunia ini terasa lebih sepi tanpa ada kabar darinya, tanpa ada surat-surat yang saling menghubungkan mereka.

Tetapi kehidupan terus berjalan, dan Alika akhirnya mulai merasa bahwa ia harus melangkah ke depan, berusaha untuk memulai sesuatu yang baru. Ia tahu bahwa melupakan Dimas bukanlah hal yang mudah, tetapi mungkin ini adalah jalan yang harus ditempuh—untuk menemukan dirinya kembali, untuk menemukan kebahagiaan di luar hubungan yang telah berakhir.

Hari itu, ketika Alika sedang duduk di taman dekat rumahnya, ia mendapat pesan dari Dimas. Sederhana, hanya sebuah pesan singkat yang menanyakan kabarnya, tetapi itu mengingatkannya pada betapa sering mereka berbicara sebelumnya. Sebuah pesan yang ternyata jauh lebih banyak berbicara daripada kata-kata yang tertulis di dalamnya. Ada perasaan yang membuncah dalam hati Alika, sebuah perasaan yang sulit diungkapkan.

Ia melihat layar ponselnya untuk beberapa detik, ragu apakah akan membalasnya atau tidak. Tetapi entah kenapa, meskipun surat terakhirnya sudah mengakhiri segala hal, ia merasa seolah-olah ada bagian dari dirinya yang belum selesai. Mungkin ini bukan tentang cinta yang terpisah, mungkin ini adalah tentang dua orang yang masih memiliki ikatan, ikatan yang tak bisa begitu saja diputuskan dengan kata-kata atau keputusan sepihak.

Dengan hati yang berdebar, Alika memutuskan untuk membalas pesan itu. Sesederhana: “Aku baik-baik saja. Kamu bagaimana?” Setelah beberapa detik, sebuah balasan dari Dimas muncul di layar ponselnya.

“Aku merindukanmu. Tidak ada hari yang berlalu tanpa aku memikirkanmu, Alika. Tetapi aku mengerti, dan aku ingin kita berdua bisa menemukan kebahagiaan. Walaupun kita tak lagi bersama, aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada untukmu.”

Membaca kata-kata itu membuat hati Alika bergejolak. Ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Rindu, tentu saja, dan rasa cinta yang mungkin masih ada, meskipun dengan segala keraguan dan ketidakpastian. Alika menunduk, mencoba menenangkan perasaannya.

Sore itu, setelah beberapa percakapan singkat melalui pesan, Alika merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia merasa lebih tenang, lebih yakin dengan apa yang ia rasakan. Mungkin mereka tidak lagi bersama, tetapi itu tidak berarti semuanya berakhir. Ada kenangan yang akan selalu ada, ada ikatan yang tak bisa dihapuskan hanya dengan keputusan sepihak.

Malamnya, Dimas menelepon. Panggilan yang Alika tunggu-tunggu meski ia tak tahu apa yang akan mereka bicarakan. Ketika suara Dimas terdengar di ujung telepon, Alika merasa dunia seperti terhubung kembali. Meskipun jarak memisahkan mereka, meskipun waktu telah mengubah banyak hal, suara Dimas tetap mampu memberikan rasa nyaman yang sulit dijelaskan.

“Alika,” suara Dimas terdengar serak, seolah-olah ia sudah lama menunggu momen ini. “Aku tahu kita sudah melewati banyak hal, dan aku tahu aku tidak bisa memaksakan apa pun. Tapi, aku hanya ingin bilang, aku masih ingin ada di hidupmu. Aku ingin kita bisa melangkah bersama, meskipun tidak seperti dulu.”

Alika terdiam sejenak, meresapi kata-kata Dimas. Ia merasakan ada kebingungan yang menyelip di hatinya. Dimas memang menginginkan mereka untuk berjalan bersama, tapi apakah itu mungkin? Mereka sudah berpisah. Mereka sudah membuat keputusan, dan meskipun rasa cinta itu masih ada, apakah itu cukup untuk membangun kembali apa yang telah rusak?

“Dimas,” suara Alika terdengar pelan, penuh pertimbangan. “Aku… aku ingin melangkah maju, mencari kebahagiaanku. Tapi, aku juga ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah melupakanmu. Mungkin kita tak bisa kembali seperti dulu, tapi aku ingin kita berdua bisa menemukan kebahagiaan dengan cara kita masing-masing.”

Ada keheningan sejenak di telepon, sebelum akhirnya Dimas menjawab. “Aku mengerti, Alika. Aku tahu ini tidak mudah, dan aku tidak ingin menahanmu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu mendukungmu, apapun keputusanmu. Jika suatu saat kita menemukan jalan untuk bersama lagi, aku akan siap. Tapi jika tidak, aku berharap kamu bisa bahagia, apapun itu.”

Alika menatap keluar jendela, malam sudah mulai jatuh. Keheningan mengelilinginya, dan ia merasa sesuatu di dalam dirinya mulai kembali hidup. Mungkin jalan mereka tak lagi sejalan, tapi mungkin hanya mungkin ada harapan untuk masa depan yang berbeda. Ada langkah baru yang bisa diambil. Mungkin bukan langkah bersama dalam arti yang sama seperti dulu, tapi langkah yang bisa membawa mereka ke arah yang lebih baik, untuk diri mereka masing-masing.

Keesokan harinya, Alika duduk di taman seperti biasa, dengan secangkir kopi di tangannya. Pagi itu, ia merasa lebih ringan. Surat terakhir itu, pertemuan mereka yang lalu, dan percakapan melalui telepon semuanya membantunya memahami satu hal: mereka mungkin tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu, tetapi itu bukanlah akhir dari segalanya. Mereka berdua masih bisa melangkah bersama dalam arti yang berbeda. Langkah mereka mungkin terpisah, namun itu bukan berarti jalan hidup mereka akan selalu terpisah.

Alika memandang langit biru di atasnya, merenung tentang masa depan yang terbuka lebar. Ia merasa yakin, meskipun perjalanannya bersama Dimas sudah berakhir, langkah-langkah baru akan segera dimulai. Langkah-langkah yang membawanya menuju kebahagiaan, menuju kehidupan yang baru, dan mungkin suatu hari nanti kembali menemukan kebahagiaan dalam cara yang berbeda.

Untuk saat ini, ia memutuskan untuk melangkah maju, sendirian, namun dengan hati yang penuh dengan harapan dan keberanian. Langkah itu tidak harus besar, tetapi cukup untuk membuka jalan baru jalan menuju kebahagiaan, meskipun tidak bersama Dimas, tetapi bersama dirinya sendiri.***

——————THE END————–

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#CintaYangKehilangan#LangkahBersama#perpisahan#SuratCinta
Previous Post

Mencintai Dalam Diam

Next Post

TERSAKITI OLEH JANJI

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
TERSAKITI OLEH JANJI

TERSAKITI OLEH JANJI

DALAM BAYANGAN JARAK

DALAM BAYANGAN JARAK

JEJAK PENGHIANATAN

JEJAK PENGHIANATAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id