Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, meninggalkan semburat jingga yang melukis langit Bali dengan keindahan yang sulit dilupakan. Pantai Kuta dipenuhi pengunjung yang menikmati sore itu, namun di antara keramaian itu, ada seorang pria yang duduk sendiri di sebuah kafe tepi pantai. Raka, seorang pekerja kantoran asal Jakarta, datang ke Bali bukan untuk liburan, melainkan untuk melarikan diri dari rutinitas kerja yang melelahkan.
Ia menyesap kopi hitamnya perlahan sambil memandangi ombak yang berkejaran di kejauhan. Pikiran Raka melayang, memikirkan kehidupan yang terasa semakin monoton. Di tengah lamunannya, pandangannya terpaku pada seorang wanita yang duduk tak jauh darinya. Rambut panjangnya yang tergerai tertiup angin, dan senyumnya yang lembut saat berbicara dengan pelayan kafe membuatnya sulit berpaling.
Wanita itu adalah Nadira, seorang mahasiswi asal Bandung yang sedang menikmati liburan singkat sebelum kembali ke Melbourne untuk melanjutkan studinya. Nadira memesan segelas teh tarik dan duduk di meja yang menghadap langsung ke laut, membenamkan dirinya dalam buku yang ia bawa. Ada sesuatu yang membuat Raka tak bisa berhenti memandanginya, seperti ada daya tarik tak kasatmata yang membuatnya penasaran.
Raka, yang biasanya pemalu, merasa ada dorongan untuk mendekati wanita itu. Setelah ragu beberapa saat, ia akhirnya mengumpulkan keberanian. Ia berdiri, membawa cangkir kopinya, dan berjalan mendekati meja Nadira.
“Permisi,” kata Raka dengan suara ramah, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. “Boleh saya duduk di sini? Semua meja lain tampaknya sudah penuh.”
Nadira mengangkat wajahnya dari buku yang sedang ia baca. Ia sedikit terkejut, tetapi kemudian tersenyum. “Tentu saja. Silakan,” jawabnya singkat.
Raka menarik kursi dan duduk di hadapan Nadira. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sementara Raka mencoba mencari topik pembicaraan. “Buku apa yang sedang kamu baca?” tanyanya akhirnya.
“Oh, ini? ‘The Alchemist’ karya Paulo Coelho,” jawab Nadira sambil menunjukkan sampul buku itu. “Kamu tahu buku ini?”
Raka mengangguk. “Ya, aku pernah membacanya. Itu buku yang bagus. Tentang mengejar mimpi, kan?”
Percakapan sederhana itu menjadi pembuka yang sempurna. Dalam waktu singkat, mereka mulai berbicara tentang banyak hal—dari buku, film, hingga tempat favorit di Bali. Nadira bercerita bahwa ia hanya punya beberapa hari di Bali sebelum harus kembali ke Melbourne. Raka, di sisi lain, mengungkapkan bahwa ia sedang mencoba mencari inspirasi untuk mengubah hidupnya yang terasa stagnan.
“Melbourne? Wah, jauh sekali. Apa nggak rindu rumah?” tanya Raka.
“Tentu saja. Tapi aku rasa itu harga yang harus dibayar untuk mengejar pendidikan,” jawab Nadira sambil tersenyum. “Bagaimana denganmu? Kenapa sendirian di sini?”
Raka tersenyum getir. “Aku hanya ingin melarikan diri sejenak dari kehidupan di Jakarta. Kadang rasanya terlalu berat.”
Percakapan mereka semakin dalam, dan waktu terasa berlalu begitu cepat. Tanpa disadari, matahari sudah sepenuhnya tenggelam, digantikan oleh bintang-bintang yang mulai muncul di langit malam. Kafe tempat mereka duduk mulai sepi, tetapi keduanya masih asyik berbicara, seolah tak ingin malam itu berakhir.
Akhirnya, Nadira melihat jam tangannya dan menyadari sudah hampir pukul sembilan malam. “Wah, aku nggak sadar sudah selama ini. Aku harus kembali ke hotel.”
Raka merasa berat untuk berpisah. Ia merasa bahwa pertemuan ini terlalu berharga untuk dibiarkan berlalu begitu saja. Dengan ragu, ia bertanya, “Bolehkah aku minta nomor telepon atau kontakmu? Siapa tahu kita bisa ngobrol lagi.”
Nadira terdiam sejenak, tetapi kemudian mengangguk. “Tentu. Ini,” katanya sambil memberikan nomor ponselnya. “Tapi aku lebih sering pakai aplikasi chatting, soalnya nomor ini jarang aktif di luar negeri.”
Raka mencatat nomor itu dengan hati-hati, merasa lega dan senang. “Terima kasih. Aku janji nggak akan ganggu kamu kalau kamu sibuk.”
Nadira tersenyum, lalu berdiri dan mengambil tasnya. “Senang ngobrol denganmu, Raka. Semoga liburanmu di Bali membawa inspirasi.”
Raka mengangguk. “Dan semoga perjalananmu kembali ke Melbourne lancar.”
Malam itu, setelah berpisah, Raka merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tak lagi merasa kosong seperti sebelumnya. Ada harapan baru yang tumbuh, meskipun ia tahu bahwa jarak akan menjadi tantangan besar jika ia ingin mengenal Nadira lebih jauh.
Di kamar hotelnya, Raka memandangi nomor Nadira di ponselnya. Ia mengetik pesan singkat: “Terima kasih untuk obrolan menyenangkan malam ini. Semoga kita bisa bertemu lagi.”
Pesan itu terkirim, dan beberapa detik kemudian, balasan dari Nadira masuk: “Aku juga senang bisa mengenalmu, Raka. Sampai jumpa di lain waktu.”
Dan begitulah, di tepi pantai Kuta yang penuh kenangan, sebuah kisah cinta baru mulai ditulis.*
Bab 2: Awal dari Sebuah Perjalanan
Angin malam di Jakarta terasa hangat, namun di dalam kamar apartemen kecilnya, Raka sibuk menatap layar ponselnya. Pesan singkat dari Nadira yang ia terima beberapa hari lalu terus terngiang di benaknya: “Aku sampai Melbourne dengan selamat. Terima kasih sudah jadi teman ngobrol yang menyenangkan di Bali.”
Sejak pesan itu, komunikasi mereka berlanjut perlahan namun konsisten. Mulai dari saling bertukar kabar hingga bercanda ringan, Raka dan Nadira semakin mengenal satu sama lain. Setiap pesan dari Nadira menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan oleh Raka, seperti oase di tengah kesibukan pekerjaannya yang menumpuk.
“Gimana harimu, Nadira?” tulis Raka suatu malam.
Beberapa menit kemudian, balasan muncul. “Lumayan padat, Raka. Ada tugas kuliah yang harus selesai minggu ini. Tapi aku masih sempat minum kopi favoritku di dekat kampus. Kamu sendiri?”
Percakapan sederhana seperti itu perlahan menjadi rutinitas mereka. Nadira, meski sibuk dengan kehidupan kampus di Melbourne, selalu menyempatkan diri membalas pesan Raka. Bagi Nadira, Raka adalah sosok yang unik. Meski hanya bertemu sekali, dia merasa nyaman berbicara dengannya, seolah sudah mengenalnya sejak lama.
Malam-malam berikutnya, mereka mulai menghabiskan waktu lebih lama berbicara lewat panggilan video. Raka sering kali menyapa Nadira ketika ia baru pulang kerja, sementara Nadira memanfaatkan jeda waktu belajarnya untuk mendengar cerita Raka.
“Kayaknya capek banget, ya? Jakarta emang nggak ada ampun,” canda Nadira suatu malam ketika melihat wajah Raka yang tampak lelah di layar.
“Capek sih, iya. Tapi ngobrol sama kamu selalu bikin aku lupa semua itu,” balas Raka sambil tersenyum kecil.
Nadira tertawa, tapi dalam hatinya ia merasa tersentuh. Ada ketulusan dalam kata-kata Raka yang membuatnya percaya bahwa hubungan mereka bukan sekadar basa-basi.
Awal Tantangan
Meski komunikasi mereka lancar, tidak semuanya berjalan mulus. Jarak antara Jakarta dan Melbourne menjadi tantangan tersendiri. Perbedaan waktu tiga jam membuat mereka harus pandai-pandai mengatur jadwal untuk berbicara.
Pernah suatu malam, Raka lupa waktu dan menelepon Nadira pukul 11 malam waktu Melbourne. Nadira, yang saat itu sedang belajar, merasa terganggu dan tidak mengangkat teleponnya. Raka, yang tidak sadar, malah mengirim pesan-pesan beruntun, khawatir telah membuat Nadira marah.
Keesokan paginya, Nadira menjelaskan, “Maaf, Raka. Aku lagi fokus belajar tadi malam. Mungkin kita harus atur waktu lebih baik supaya nggak salah paham kayak gini.”
Raka merasa bersalah. “Aku yang minta maaf, Nadira. Aku terlalu egois. Mulai sekarang aku akan lebih hati-hati.”
Percakapan itu menjadi momen penting bagi mereka. Keduanya menyadari bahwa hubungan ini tidak akan mudah. Namun, di balik tantangan itu, ada rasa saling menghormati yang tumbuh di antara mereka.
Ikatan yang Semakin Erat
Seiring waktu, hubungan mereka semakin dalam. Nadira mulai bercerita tentang kehidupannya di Melbourne—tentang teman-temannya, tantangan kuliah, dan tempat-tempat favoritnya. Raka, di sisi lain, berbagi tentang pekerjaannya, keluarganya, dan mimpi-mimpinya yang masih terpendam.
“Aku pernah berpikir untuk sekolah lagi, kayak kamu,” kata Raka suatu malam. “Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana. Kadang merasa terlalu tua untuk kembali belajar.”
“Raka, nggak ada kata terlambat untuk belajar. Kalau kamu punya mimpi, kejar aja,” jawab Nadira dengan semangat.
Kata-kata Nadira itu melekat di hati Raka. Ia merasa bahwa Nadira bukan hanya seseorang yang ia kagumi, tetapi juga seseorang yang mampu memberinya inspirasi.
Suatu hari, Raka memberanikan diri mengirimkan sebuah paket ke alamat Nadira di Melbourne. Di dalamnya ada sebuah buku yang ia pilih dengan hati-hati: “The Power of Now” karya Eckhart Tolle, yang menurutnya cocok untuk membantu Nadira menghadapi tekanan kuliah.
Saat Nadira menerima paket itu, ia terkejut. “Raka, ini untukku? Kenapa repot-repot?”
“Anggap aja sebagai hadiah kecil. Aku tahu kuliah itu nggak mudah, jadi mungkin buku itu bisa membantu,” jawab Raka sambil tersenyum di panggilan video.
Nadira terharu. “Terima kasih, Raka. Kamu nggak perlu melakukan ini, tapi aku benar-benar menghargainya.”
Awal Harapan Baru
Bulan demi bulan berlalu, dan komunikasi mereka tetap terjaga. Meski belum pernah bertemu lagi sejak di Bali, mereka merasa semakin dekat. Raka mulai memikirkan kemungkinan untuk mengunjungi Nadira di Melbourne, meskipun ia tahu itu bukan hal yang mudah dilakukan.
Sementara itu, Nadira juga mulai bertanya-tanya, apakah hubungan ini bisa bertahan lebih lama? Ia sadar, jarak yang memisahkan mereka adalah ujian besar. Namun, di dalam hatinya, ia percaya bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara mereka—sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan.
Pada suatu malam, ketika mereka sedang berbicara tentang masa depan, Raka berkata, “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti, Nadira. Tapi satu hal yang aku tahu pasti, aku ingin kita terus seperti ini. Aku ingin kita tetap saling mendukung, apa pun yang terjadi.”
Nadira terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku juga ingin itu, Raka. Tapi jarak ini kadang membuatku takut. Kamu yakin kita bisa?”
Raka mengangguk dengan mantap. “Aku yakin, selama kita percaya satu sama lain. Jarak hanya sementara, Nadira. Aku janji, suatu hari nanti aku akan ada di dekatmu.”
Malam itu, janji itu menjadi awal dari sebuah perjalanan panjang yang penuh tantangan dan harapan. Bagi mereka, cinta jarak jauh bukan sekadar hubungan, tetapi juga pelajaran tentang kesabaran, pengorbanan, dan kepercayaan.*
Bab 3: Cobaan Pertama
Waktu terus berjalan. Hubungan jarak jauh yang awalnya penuh semangat mulai diuji oleh rutinitas dan kenyataan yang tidak selalu berpihak. Raka dan Nadira masih saling berkomunikasi, tetapi perlahan ada celah kecil yang mulai terbentuk di antara mereka.
Bagi Raka, pekerjaannya di Jakarta semakin menumpuk. Proyek baru yang menuntut banyak waktu membuatnya sering lembur hingga larut malam. Setiap kali ia pulang, tubuhnya sudah terlalu lelah untuk berbicara panjang dengan Nadira. Di sisi lain, Nadira juga mulai disibukkan oleh tugas-tugas kuliah yang semakin berat di Melbourne. Presentasi kelompok, deadline makalah, dan persiapan ujian membuatnya sering kali hanya sempat mengirim pesan singkat kepada Raka sebelum tidur.
Suatu malam, Raka mencoba menghubungi Nadira melalui video call setelah seharian bekerja. Namun, Nadira tidak mengangkat teleponnya. Ini bukan pertama kalinya, dan setiap kali itu terjadi, Raka selalu berusaha memaklumi. Tapi malam itu, rasa kecewa dan lelah yang menumpuk membuatnya merasa terlupakan.
“Kenapa selalu aku yang harus menunggu?” gumam Raka sambil meletakkan ponselnya di meja.
Beberapa jam kemudian, ketika ia sudah hampir tertidur, sebuah pesan masuk di layar ponselnya:
“Maaf, aku ketiduran tadi. Hari ini capek banget. Kita bisa ngobrol besok, ya?”
Raka membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu Nadira tidak bermaksud mengabaikannya, tetapi rasa frustrasi tetap menyelimuti hatinya.
Kesalahpahaman yang Tumbuh
Hari-hari berikutnya, kesalahpahaman mulai sering muncul di antara mereka. Nadira merasa Raka menjadi lebih dingin, sementara Raka merasa Nadira tidak lagi memberinya perhatian seperti dulu. Mereka masih saling mengirim pesan, tetapi percakapan mereka terasa hampa, seperti kewajiban yang dilakukan tanpa kehangatan.
Pada suatu malam, Nadira mengirim pesan yang membuat Raka termenung lama.
“Raka, apa kamu merasa hubungan ini mulai berat? Aku merasa kita tidak seperti dulu lagi.”
Raka ingin segera membalas, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ia merasa kesulitan menjaga hubungan ini di tengah kesibukannya. Di sisi lain, ia tahu bahwa Nadira adalah sosok yang tidak ingin ia lepaskan.
Setelah beberapa menit berpikir, ia akhirnya menjawab:
“Aku juga merasa ada yang berubah, Nadira. Tapi aku nggak mau menyerah. Mungkin kita hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri.”
Namun, pesan itu tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Nadira merasa bahwa jawaban Raka terlalu sederhana, seolah ia tidak benar-benar memahami apa yang dirasakannya.
Hadirnya Orang Ketiga
Masalah semakin rumit ketika orang-orang baru muncul di kehidupan mereka. Di kantor Raka, seorang rekan kerja bernama Clara mulai menunjukkan perhatian yang lebih dari sekadar teman kerja. Clara sering mengajak Raka makan siang bersama, mengirimkan kopi ke mejanya, bahkan menawarkan bantuan saat Raka menghadapi tenggat waktu yang ketat.
Pada awalnya, Raka tidak menanggapi perlakuan Clara secara serius. Ia tetap menjaga batasan, meski terkadang merasa nyaman dengan perhatian yang diberikan Clara. Namun, semakin sering Clara ada di sekitarnya, semakin besar rasa bersalah yang muncul dalam hati Raka.
Di sisi lain, Nadira juga menghadapi situasi yang serupa. Seorang teman kuliahnya bernama Liam mulai sering mendekati Nadira. Liam adalah pria yang ramah dan selalu ada untuk Nadira, terutama saat ia merasa kesepian. Ketika Raka tidak bisa dihubungi, Nadira tanpa sadar mulai mencari kenyamanan dalam kehadiran Liam.
Suatu hari, Liam mengajak Nadira makan malam setelah mereka menyelesaikan tugas kelompok bersama. Selama makan malam itu, Liam tiba-tiba berkata, “Nadira, aku tahu ini mungkin nggak tepat, tapi aku suka sama kamu. Aku ingin kamu tahu itu.”
Nadira terkejut dan langsung menjawab, “Liam, aku menghargai perasaanmu, tapi aku sudah punya seseorang.”
Namun, dalam hati kecilnya, Nadira merasa bingung. Perhatian yang diberikan Liam membuatnya merasa dihargai, sesuatu yang belakangan jarang ia dapatkan dari Raka.
Puncak Konflik
Hubungan mereka mencapai titik terendah ketika Raka tanpa sengaja melihat foto Nadira bersama Liam yang diunggah di media sosial. Dalam foto itu, mereka terlihat sangat akrab, dengan senyum lebar yang membuat Raka merasa terlupakan.
Raka langsung mengirim pesan kepada Nadira:
“Siapa pria itu, Nadira? Kenapa aku nggak pernah dengar tentang dia sebelumnya?”
Nadira merasa terpojok. Ia menjelaskan bahwa Liam hanya teman, tetapi nada curiga Raka membuatnya merasa tidak dipercaya.
“Raka, kamu nggak perlu khawatir. Aku cuma pergi makan malam setelah tugas selesai. Nggak ada yang lebih dari itu.”
Namun, Raka tidak mudah diyakinkan. “Aku tahu aku nggak selalu ada untukmu, tapi bukan berarti kamu bisa dekat dengan orang lain seperti itu.”
Pertengkaran itu membuat keduanya diam selama beberapa hari. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Raka dan Nadira sama-sama merasa terluka, tetapi tidak tahu bagaimana memperbaiki keadaan.
Refleksi dan Kesadaran
Di tengah kesunyian itu, Raka mulai merenung. Ia sadar bahwa ia tidak bisa terus menyalahkan Nadira tanpa melihat kesalahannya sendiri. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan sering kali tidak memberikan perhatian yang cukup untuk hubungan mereka.
Di Melbourne, Nadira juga berpikir hal yang sama. Ia menyadari bahwa meskipun Liam memberikan perhatian, hatinya tetap tertambat pada Raka. Ia tidak ingin kehadiran orang lain menghancurkan hubungan yang telah mereka bangun dengan susah payah.
Akhirnya, Raka memberanikan diri mengirim pesan kepada Nadira:
“Maafkan aku, Nadira. Aku terlalu sibuk menyalahkanmu sampai lupa melihat kesalahanku sendiri. Aku nggak ingin kehilanganmu.”
Pesan itu menjadi awal dari percakapan panjang yang penuh air mata dan kejujuran. Mereka menyadari bahwa hubungan ini tidak akan berhasil tanpa usaha dari kedua belah pihak.
Malam itu, meskipun jarak masih memisahkan mereka, hati mereka terasa lebih dekat dari sebelumnya. Mereka tahu bahwa ini baru awal dari cobaan yang lebih besar, tetapi mereka berjanji untuk menghadapi semuanya bersama.*
Bab 4: Orang Ketiga
Langit Jakarta sore itu tampak mendung. Di sebuah kafe kecil dekat kantornya, Raka duduk sambil menyesap kopi, memikirkan segala hal yang terjadi belakangan ini. Hubungannya dengan Nadira, yang dulu penuh kehangatan, kini terasa seperti bara yang hampir padam. Konflik yang baru saja mereka hadapi meninggalkan jejak yang sulit diabaikan.
Clara, rekan kerja Raka, tiba-tiba muncul di hadapannya, membawa dua gelas kopi. “Hei, kamu sendirian? Aku bawa kopi buat kamu. Kelihatannya kamu butuh sesuatu untuk mencerahkan hari,” katanya dengan senyum ramah.
Raka tersenyum kecil. “Terima kasih, Clara. Tapi aku sudah pesan kopi.”
Clara mengangkat bahu dan duduk di kursi di depan Raka tanpa diminta. “Nggak masalah. Anggap aja ini sebagai tambahan. Kamu kelihatan banyak pikiran akhir-akhir ini.”
Raka hanya tertawa kecil tanpa menanggapi. Di balik sikap ramah Clara, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Ia tahu Clara selalu ada di sekitarnya, memberikan perhatian lebih daripada rekan kerja lainnya.
“Apa masalahnya? Siapa tahu aku bisa bantu,” tanya Clara sambil menatap Raka dengan tatapan penuh perhatian.
Raka menggeleng. “Nggak apa-apa. Hanya masalah pribadi.”
Namun, Clara tidak menyerah. “Kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada, ya.”
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Raka bahkan setelah ia meninggalkan kafe. Perhatian Clara terasa menghibur di saat ia merasa jauh dari Nadira, tetapi ia tahu bahwa membiarkan Clara masuk lebih jauh hanya akan membuat segalanya lebih rumit.
Jarak dan Kepercayaan yang Diuji
Di sisi lain, di Melbourne, Nadira juga berusaha melanjutkan rutinitasnya. Namun, Liam, teman kuliah yang pernah menyatakan perasaannya, masih sering muncul di kehidupannya. Setiap kali mereka bekerja sama dalam tugas kelompok atau berbagi cerita di kampus, Liam selalu menunjukkan bahwa ia siap untuk menjadi lebih dari sekadar teman.
“Nadira, kamu tahu aku selalu ada buat kamu, kan?” ujar Liam suatu hari saat mereka selesai mengerjakan tugas di perpustakaan.
Nadira menghela napas. Ia tahu maksud Liam, tetapi ia juga tidak ingin memperkeruh suasana. “Liam, aku menghargai kamu, tapi aku sudah bilang sebelumnya, aku punya seseorang.”
“Tapi di mana dia sekarang?” Liam mendesak. “Dia bahkan nggak di sini untukmu. Aku yang selalu ada di sisimu.”
Kata-kata Liam mengguncang hati Nadira. Benar bahwa Raka tidak selalu ada untuknya secara fisik, tetapi ia tahu bahwa hati Raka ada untuknya. Namun, keraguan kecil mulai tumbuh, dan itu cukup untuk membuat Nadira merasa gelisah.
Pertemuan yang Tak Diinginkan
Pada suatu malam, Clara secara terang-terangan mengajak Raka makan malam setelah mereka menyelesaikan lembur di kantor. Awalnya, Raka ragu, tetapi karena tidak ingin menyinggung perasaan Clara, ia akhirnya setuju.
Makan malam itu berlangsung dengan canggung di awal. Namun, Clara, dengan kepribadiannya yang ceria, berhasil mencairkan suasana. Mereka membicarakan pekerjaan, keluarga, hingga hal-hal ringan seperti hobi dan film favorit.
Di tengah percakapan, Clara tiba-tiba berkata, “Raka, aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa nyaman sama kamu. Aku tahu kamu punya seseorang, tapi… apa kamu pernah berpikir untuk mencoba sesuatu yang baru?”
Pertanyaan itu membuat Raka terdiam. Ia tidak menyangka Clara akan sejujur itu. “Clara, aku menghargai perasaanmu, tapi aku nggak bisa. Aku mencintai Nadira, meskipun dia jauh.”
Clara tersenyum tipis, tetapi ada kekecewaan di matanya. “Aku mengerti. Tapi kalau suatu saat kamu berubah pikiran, aku ada di sini.”
Kata-kata itu meninggalkan bekas yang mengganggu di benak Raka. Meskipun ia menolak Clara, perhatian yang ia dapatkan dari wanita itu membuatnya merasa bersalah. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Nadira tetap kuat, tetapi ia juga sadar bahwa kehadiran Clara mulai menjadi godaan yang sulit dihindari.
Nadira dan Liam
Sementara itu, Liam tidak menyerah untuk mendekati Nadira. Suatu malam, setelah menyelesaikan presentasi kelompok, Liam mengantar Nadira pulang. Di depan pintu apartemennya, Liam kembali mengungkapkan perasaannya.
“Nadira, aku tahu aku nggak seharusnya bilang ini lagi, tapi aku nggak bisa berhenti memikirkan kamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku serius.”
Nadira terdiam. Ia tahu bahwa Liam tulus, tetapi hatinya masih untuk Raka. “Liam, aku menghargai semua yang kamu lakukan, tapi aku nggak bisa. Aku nggak mau menyakitimu, tapi aku nggak bisa membalas perasaanmu.”
Liam tersenyum pahit. “Aku akan menunggu, Nadira. Kalau suatu saat kamu berubah pikiran, aku masih di sini.”
Setelah Liam pergi, Nadira merasa kacau. Ia tahu bahwa Liam adalah pria yang baik, tetapi perasaannya terhadap Raka masih terlalu kuat. Namun, di tengah jarak dan tantangan yang mereka hadapi, Nadira mulai bertanya-tanya apakah hubungan jarak jauh ini benar-benar bisa bertahan.
Kejutan yang Mengubah Segalanya
Di Jakarta, Raka akhirnya memutuskan untuk berbicara jujur dengan Nadira tentang Clara. Ia tidak ingin ada rahasia di antara mereka. Dalam panggilan video, ia berkata, “Nadira, aku harus jujur. Ada seorang rekan kerja yang mulai mendekatiku. Aku nggak pernah membalas perasaannya, tapi aku merasa kamu harus tahu.”
Nadira terkejut. Ia tidak menyangka Raka akan mengaku tentang orang ketiga. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya berkata, “Aku juga harus jujur, Raka. Ada teman kuliah yang menyukaiku. Tapi aku nggak pernah berpikir untuk menggantikanmu dengan dia.”
Kejujuran itu menjadi momen penting dalam hubungan mereka. Meskipun sulit, mereka menyadari bahwa orang ketiga tidak akan menjadi ancaman jika mereka saling percaya dan berkomitmen untuk tetap bersama.
Malam itu, mereka berbicara panjang tentang rasa takut, keraguan, dan harapan mereka. Mereka tahu bahwa hubungan ini tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi apa pun.
“Raka, aku percaya sama kamu,” kata Nadira pelan.
“Aku juga percaya sama kamu, Nadira. Jarak ini hanya sementara. Aku janji, kita akan melewati ini bersama,” jawab Raka.
Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, mereka merasa yakin bahwa cinta mereka bisa bertahan, meskipun ada orang-orang lain yang mencoba masuk di antara mereka.*
Bab 5: Titik Terendah
Hubungan jarak jauh memang tak pernah mudah, tetapi bagi Raka dan Nadira, mereka tak pernah menyangka akan menghadapi badai sebesar ini. Setelah kejujuran mereka tentang orang ketiga, suasana antara mereka tidak benar-benar membaik. Kepercayaan yang pernah kuat kini terasa rapuh, seperti kaca yang retak dan setiap kata yang salah dapat membuatnya pecah.
Renggangnya Komunikasi
Hari-hari berlalu, dan komunikasi mereka menjadi semakin jarang. Jika sebelumnya mereka selalu menyempatkan waktu untuk berbicara di malam hari, kini panggilan video menjadi hal yang langka. Bahkan pesan singkat pun terasa dingin, tanpa kehangatan seperti dulu.
Suatu malam, Raka duduk di balkon apartemennya setelah lembur panjang. Ia memandang layar ponselnya yang kosong dari pesan Nadira. Sudah tiga hari sejak mereka terakhir berbicara, dan itu pun berakhir dengan perasaan tak nyaman.
“Apa kamu sudah tidur?” tulis Raka, mencoba membuka percakapan.
Namun, pesan itu hanya terkirim tanpa balasan. Raka tahu Nadira sibuk dengan tugas kuliah, tetapi ia tidak bisa menahan perasaan bahwa Nadira mungkin mulai menjauh darinya.
Di Melbourne, Nadira memang tenggelam dalam kesibukan. Namun, bukan hanya tugas kuliah yang menyita perhatiannya. Hatinya dipenuhi oleh keraguan dan rasa lelah menghadapi hubungan ini. Setiap kali ia ingin menghubungi Raka, ia teringat bagaimana pertengkaran terakhir mereka membuatnya merasa tidak cukup baik untuk Raka.
Pertengkaran yang Meledak
Akhirnya, pada suatu malam, Raka dan Nadira kembali berbicara melalui panggilan video. Namun, bukannya memperbaiki keadaan, pembicaraan itu berubah menjadi pertengkaran besar.
“Nadira, aku merasa kamu nggak peduli lagi sama hubungan ini. Kamu bahkan jarang menghubungi aku sekarang,” kata Raka dengan nada frustrasi.
Nadira mengernyit. “Aku sibuk, Raka. Kamu tahu itu. Tapi aku juga merasa kamu nggak berusaha memahami aku. Selalu aku yang salah di matamu.”
Raka menghela napas. “Ini bukan soal salah atau benar, Nadira. Tapi aku merasa kita semakin jauh, bukan hanya karena jarak, tapi juga hati kita.”
“Kamu pikir aku nggak merasa hal yang sama? Aku juga lelah, Raka. Tapi aku tetap mencoba! Masalahnya, aku merasa kamu hanya menghakimi, bukan mendukung.”
Pertengkaran itu berakhir tanpa solusi. Nadira memutuskan panggilan lebih dulu, meninggalkan Raka dengan perasaan hampa.
Merasa Sendiri
Malam itu, Nadira duduk di tepi tempat tidurnya, menangis dalam diam. Ia merasa sendirian, terjebak di antara keinginan untuk mempertahankan hubungan ini dan rasa lelah yang menggerogoti hatinya.
Di sisi lain, Raka juga merasa kosong. Ia tahu ia telah mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya, tetapi egonya menahannya untuk meminta maaf. Ia merasa terlalu lelah untuk terus berjuang sendirian.
Keesokan harinya, Raka menerima pesan dari Clara. Pesan itu sederhana, hanya menanyakan kabarnya dan menawarkan untuk makan siang bersama. Meskipun ia tahu itu bukan ide yang baik, Raka setuju.
Di Melbourne, Nadira juga menerima perhatian dari Liam yang masih setia berada di sisinya. Setiap kali ia merasa sedih, Liam selalu ada untuk menghiburnya. Meskipun ia tidak pernah memberikan harapan kepada Liam, Nadira tidak bisa memungkiri bahwa kehadirannya memberikan sedikit rasa nyaman.
Puncak Kejenuhan
Beberapa minggu kemudian, jarak antara Raka dan Nadira semakin terasa. Mereka bahkan tidak saling menyapa saat hari ulang tahun mereka yang biasanya menjadi momen spesial.
Nadira mulai mempertanyakan, “Apakah ini masih layak diperjuangkan? Apakah aku masih cukup untuknya?”
Di Jakarta, Raka merenung, “Mungkin aku terlalu keras kepala. Tapi apa gunanya bertahan jika akhirnya hanya menyakiti satu sama lain?”
Pada suatu malam, Raka mengirim pesan kepada Nadira:
“Nadira, kita perlu bicara.”
Beberapa jam kemudian, pesan itu akhirnya dibalas:
“Ya, kita memang perlu bicara.”
Malam itu, mereka berbicara melalui telepon. Namun, percakapan mereka penuh dengan kebingungan dan rasa sakit.
“Raka, aku nggak tahu apakah aku masih sanggup. Aku merasa kita hanya menyakiti satu sama lain sekarang,” kata Nadira dengan suara bergetar.
“Aku juga merasa begitu, Nadira. Tapi aku nggak tahu harus bagaimana. Aku nggak ingin kehilanganmu, tapi aku juga nggak ingin terus seperti ini,” jawab Raka pelan.
Mereka berdua terdiam. Kata-kata itu terasa seperti awal dari akhir, tetapi mereka tidak memiliki keberanian untuk mengucapkan perpisahan.
Refleksi di Titik Terendah
Beberapa hari setelah percakapan itu, Raka dan Nadira tidak saling menghubungi. Mereka memberikan ruang untuk diri mereka sendiri, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan.
Raka menghabiskan waktunya dengan merenung. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu sibuk dengan dirinya sendiri dan melupakan apa yang penting dalam hubungannya dengan Nadira. Ia teringat bagaimana mereka pertama kali bertemu dan bagaimana cinta mereka tumbuh.
Di Melbourne, Nadira juga merenung. Ia tahu bahwa Raka adalah orang yang selalu ada untuknya, bahkan di saat-saat sulit. Namun, ia juga tahu bahwa hubungan ini tidak akan berhasil jika mereka terus membiarkan jarak dan kesalahpahaman menguasai.
Harapan yang Masih Ada
Di tengah refleksi mereka, sebuah pesan masuk di ponsel Nadira. Pesan itu dari Raka:
“Nadira, aku nggak tahu apakah kamu masih mau bertahan, tapi aku ingin kita mencoba lagi. Aku nggak ingin menyerah pada kita.”
Nadira membaca pesan itu dengan air mata mengalir di pipinya. Ia tahu bahwa mereka telah sampai di titik terendah, tetapi mungkin, hanya mungkin, masih ada harapan untuk memperbaiki segalanya.
Ia mengetik balasan singkat:
“Aku juga nggak ingin menyerah, Raka. Mari kita coba lagi.”
Pesan itu menjadi awal dari babak baru dalam hubungan mereka. Meskipun mereka masih berada di titik terendah, cinta mereka memberikan secercah harapan untuk bangkit dan melangkah bersama.*
Bab 6: Keputusan Besar
Langit Jakarta malam itu terasa gelap meski tidak mendung. Raka duduk termenung di meja kerjanya, menatap layar laptop yang terbuka dengan email pekerjaan yang belum terselesaikan. Namun, pikirannya tak bisa fokus. Seluruh perhatiannya tersita oleh percakapan terakhirnya dengan Nadira. Meskipun mereka sepakat untuk mencoba lagi, rasa cemas tetap menggerogoti hatinya.
Di sisi lain, Nadira duduk di tepi jendela apartemennya di Melbourne. Matanya menatap keluar, melihat lampu-lampu kota yang berkelip. Namun, pikirannya jauh melayang, memikirkan kata-kata Raka. Mereka sudah bertahan sejauh ini, tetapi akankah bertahan cukup lama untuk mencapai akhir yang bahagia?
Percakapan yang Mengubah Segalanya
Setelah beberapa hari membiarkan waktu berlalu, Raka akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menghubungi Nadira. Dalam panggilan video, wajah Nadira tampak lelah tetapi tetap cantik di mata Raka.
“Nadira, aku sudah memikirkan banyak hal akhir-akhir ini,” kata Raka, membuka percakapan dengan nada serius.
“Aku juga, Raka,” jawab Nadira dengan lembut.
Raka menarik napas dalam sebelum melanjutkan, “Aku tahu hubungan kita nggak mudah. Jarak ini, tekanan, dan semua rintangan yang kita hadapi… kadang aku merasa seperti aku menyeretmu ke dalam sesuatu yang terlalu sulit.”
Nadira menggeleng. “Bukan cuma kamu yang merasa begitu. Aku juga sering bertanya-tanya apakah aku cukup kuat untuk melanjutkan ini. Tapi di balik semua itu, aku tahu aku masih mencintaimu, Raka. Itu yang membuatku bertahan sampai sekarang.”
Kata-kata Nadira membuat Raka terdiam. Ia merasa harapan kembali menyala di dalam dirinya. “Aku juga mencintaimu, Nadira. Dan aku nggak mau menyerah. Tapi aku rasa, kalau kita ingin hubungan ini berhasil, kita harus membuat keputusan besar.”
Nadira mengernyit. “Keputusan apa?”
Memikirkan Masa Depan
Raka menatap layar dengan mata penuh keyakinan. “Aku ingin kita berhenti hidup dalam ketidakpastian. Aku ingin kita punya rencana konkret untuk masa depan. Bukan hanya sekadar bertahan hari demi hari.”
Nadira terdiam sejenak, mencerna kata-kata Raka. “Maksudmu… kita harus membuat rencana kapan kita akan bersama secara fisik?”
“Ya,” jawab Raka tegas. “Aku tahu ini nggak mudah. Aku tahu kamu punya impianmu di Melbourne, dan aku punya karierku di sini. Tapi kalau kita terus seperti ini, tanpa tujuan yang jelas, aku takut kita akan kehilangan arah.”
Nadira mengangguk pelan. Ia tahu Raka benar. Jarak yang mereka hadapi hanya bisa dilalui jika ada tujuan yang pasti. “Tapi bagaimana caranya? Aku masih punya dua tahun lagi di sini, Raka. Apa kamu bersedia menunggu selama itu?”
“Kalau aku tahu akhirnya aku akan bersamamu, aku akan menunggu berapa pun lamanya,” jawab Raka dengan suara bergetar. “Tapi aku juga ingin tahu, apakah kamu akan kembali ke Jakarta setelah kuliahmu selesai? Atau kita harus mencari solusi lain?”
Diskusi yang Berat
Percakapan itu berlangsung panjang. Mereka mendiskusikan berbagai kemungkinan—dari Nadira kembali ke Jakarta setelah lulus, hingga Raka yang mungkin pindah ke Melbourne. Namun, setiap opsi memiliki tantangannya sendiri.
“Kalau aku kembali ke Jakarta, aku harus meninggalkan peluang karier di sini. Tapi kalau kamu pindah ke Melbourne, kamu harus memulai semuanya dari awal,” kata Nadira dengan nada bimbang.
“Aku tahu, Nadira. Tapi aku lebih memilih memulai dari nol di tempat baru daripada kehilanganmu,” jawab Raka dengan keyakinan yang tulus.
Nadira terharu mendengar kata-kata itu, tetapi ia juga tahu bahwa keputusan seperti ini tidak bisa dibuat dengan mudah. “Aku nggak mau kamu merasa terpaksa, Raka. Kita harus memutuskan ini bersama, tanpa ada penyesalan.”
Mengambil Langkah Awal
Akhirnya, mereka sepakat untuk mengambil langkah pertama. Raka memutuskan untuk mengajukan cuti panjang dan mengunjungi Nadira di Melbourne. Mereka ingin melihat apakah kebersamaan mereka secara fisik bisa membantu memperkuat hubungan ini sebelum mengambil keputusan besar lainnya.
“Aku akan datang ke Melbourne bulan depan,” kata Raka. “Aku ingin kita menghabiskan waktu bersama dan membicarakan ini lebih lanjut.”
Nadira merasa lega sekaligus gugup. “Aku senang kamu akan datang. Tapi apa kamu yakin dengan ini?”
“Aku yakin, Nadira. Aku ingin melihatmu, memelukmu, dan memastikan bahwa kita masih memiliki masa depan bersama.”
Persiapan yang Penuh Harapan
Minggu-minggu berikutnya dipenuhi dengan persiapan. Raka mengurus dokumen perjalanan dan mengatur pekerjaannya agar bisa mengambil cuti. Sementara itu, Nadira merapikan apartemennya dan merencanakan tempat-tempat yang akan mereka kunjungi bersama di Melbourne.
Di tengah persiapan itu, mereka merasa hubungan mereka kembali hangat. Percakapan mereka kembali penuh canda tawa, dan mereka saling memberikan semangat.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada rasa cemas yang mengintip. Apakah pertemuan ini benar-benar akan membantu mereka menemukan solusi? Atau justru menjadi titik akhir dari hubungan mereka?
Harapan di Balik Jarak
Malam sebelum keberangkatan Raka, ia duduk di kamar sambil menatap foto Nadira di ponselnya. “Aku harap ini keputusan yang tepat,” gumamnya pelan.
Di Melbourne, Nadira juga merasa gugup. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa mereka sedang menuju ke arah yang benar.
Ketika pesawat Raka lepas landas, mereka berdua menyadari bahwa ini adalah langkah awal dari sesuatu yang besar. Apapun yang akan terjadi setelah ini, mereka tahu bahwa mereka sudah memberikan yang terbaik untuk cinta mereka.
Dan di hati mereka, ada harapan bahwa keputusan besar ini akan membawa mereka lebih dekat menuju akhir yang bahagia.*
Bab 7: Memperbaiki yang Retak
Pagi di Melbourne menyambut dengan sinar matahari yang hangat. Nadira berdiri di depan pintu kedatangan Bandara Melbourne, hatinya berdebar kencang. Sudah hampir setahun sejak terakhir kali ia melihat Raka secara langsung. Jarak dan waktu telah memisahkan mereka, tetapi hari ini, ia berharap semua akan berubah.
Ketika Raka melangkah keluar dari pintu kaca dengan tas ransel di punggungnya, Nadira merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Ada rasa bahagia, gugup, dan sedikit takut. Raka tersenyum lebar begitu melihat Nadira, dan langkahnya semakin cepat menuju gadis itu.
Tanpa banyak bicara, Raka langsung memeluk Nadira erat. “Aku kangen banget sama kamu,” bisiknya.
Nadira tersenyum di antara air mata yang mulai mengalir. “Aku juga, Raka. Aku kangen banget.”
Awal yang Canggung
Meskipun mereka akhirnya bersama, ada sedikit kecanggungan di antara mereka. Terbiasa berkomunikasi melalui layar membuat interaksi langsung terasa asing. Namun, mereka berdua tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang retak.
Di perjalanan menuju apartemen Nadira, Raka memecah kesunyian. “Kota ini indah, ya. Aku nggak sabar untuk lihat tempat-tempat yang sering kamu ceritakan.”
Nadira tersenyum. “Aku akan tunjukkan semuanya. Tapi yang paling penting, aku ingin kamu merasa nyaman di sini.”
Di dalam hatinya, Nadira berharap kehadiran Raka akan membawa kehangatan yang sudah lama hilang di hubungan mereka.
Menghidupkan Kembali Kebersamaan
Hari-hari pertama mereka dihabiskan dengan mengeksplorasi Melbourne. Nadira membawa Raka ke tempat-tempat favoritnya: Federation Square, St Kilda Beach, dan Queen Victoria Market. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan untuk sesaat, melupakan semua masalah yang pernah mereka hadapi.
Namun, ketika malam tiba dan percakapan mereka menjadi lebih mendalam, retakan dalam hubungan mereka kembali terasa.
Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Raka memandang Nadira yang sedang menyeruput secangkir kopi. “Nadira, aku tahu kita bersenang-senang sekarang, tapi aku nggak mau kita menghindari kenyataan. Kita perlu bicara tentang hubungan ini.”
Nadira meletakkan cangkirnya dan menghela napas. “Aku tahu, Raka. Tapi aku takut pembicaraan itu akan membawa kita ke arah yang nggak aku inginkan.”
“Kalau kita nggak bicara, Nadira, bagaimana kita bisa memperbaiki semuanya?” tanya Raka dengan nada lembut.
Membicarakan Rasa Sakit
Percakapan itu dimulai dengan hati-hati, tetapi perlahan, semua unek-unek yang selama ini terpendam mulai terungkap.
“Aku merasa kita terlalu sibuk mencari siapa yang salah, Raka. Aku merasa nggak cukup baik untuk kamu karena aku terus-terusan takut mengecewakanmu,” ujar Nadira dengan suara gemetar.
Raka menatap Nadira dengan rasa bersalah. “Aku juga salah, Nadira. Aku terlalu keras kepala dan sering menuntut kamu untuk mengerti posisiku, padahal aku sendiri nggak cukup mendukungmu. Aku pikir, kalau kita jujur tentang rasa sakit kita, mungkin kita bisa memperbaiki semuanya.”
Malam itu, mereka berbicara lebih dari dua jam, mengungkapkan semua kekhawatiran, ketakutan, dan harapan yang selama ini mereka simpan.
Menyusun Kembali Fondasi
Setelah percakapan itu, Raka dan Nadira sepakat untuk memulai kembali dengan cara yang lebih sehat. Mereka membuat janji untuk tidak hanya bertahan demi hubungan, tetapi juga demi kebahagiaan satu sama lain.
“Kita harus saling percaya lagi, Raka. Kalau ada sesuatu yang mengganggu, kita harus bicara, bukan memendam,” kata Nadira.
“Dan aku akan lebih mendukung kamu, Nadira. Aku nggak mau lagi membuatmu merasa sendirian di hubungan ini,” jawab Raka dengan tulus.
Mereka juga memutuskan untuk menjadwalkan waktu rutin untuk saling berbicara meskipun nanti kembali menjalani hubungan jarak jauh.
Momen Kecil yang Berarti
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan momen-momen kecil yang menguatkan hubungan mereka. Ketika Raka membantu Nadira memasak makan malam, ia menyadari betapa ia merindukan kebersamaan seperti ini.
“Aku nggak pandai masak, tapi aku bisa jadi asisten kamu,” kata Raka sambil tersenyum lebar.
Nadira tertawa. “Asisten yang baik harusnya nggak makan bahan masakan sebelum dimasak, tahu.”
Mereka tertawa bersama, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hati mereka terasa ringan.
Membuat Rencana Besar
Di malam terakhir sebelum Raka kembali ke Jakarta, mereka duduk di balkon apartemen Nadira. Suasana terasa hangat meski udara malam sedikit dingin.
“Jadi, setelah ini, apa rencana kita?” tanya Nadira.
Raka memandang Nadira dengan serius. “Aku akan kembali ke Jakarta dan mulai menyiapkan segalanya untuk pindah ke Melbourne. Kalau kamu memang ingin tetap di sini, aku akan mendukung kamu. Tapi aku butuh waktu untuk mengatur semuanya.”
Nadira terkejut sekaligus terharu. “Kamu benar-benar mau pindah ke sini? Tapi bagaimana dengan kariermu di Jakarta?”
“Karier bisa dimulai di mana saja, Nadira. Tapi aku nggak bisa memulai hidup tanpa kamu di sisiku. Kamu adalah bagian dari masa depan yang aku inginkan,” jawab Raka dengan tulus.
Air mata mengalir di pipi Nadira. Ia merasa dicintai, dihargai, dan lebih dari itu, ia merasa hubungan mereka memiliki harapan baru.
Harapan yang Baru
Ketika Raka naik pesawat kembali ke Jakarta, mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Namun, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka merasa yakin bahwa mereka sedang melangkah ke arah yang benar.
Raka dan Nadira tidak lagi hanya berusaha bertahan; mereka berkomitmen untuk memperbaiki yang retak dan membangun kembali cinta mereka di atas fondasi yang lebih kuat.*
Bab 8: Janji Selamanya
Dua bulan telah berlalu sejak Raka kembali ke Jakarta. Meski jarak kembali memisahkan mereka, ada perbedaan besar dalam hubungan Raka dan Nadira. Setelah pertemuan mereka di Melbourne, komunikasi mereka menjadi lebih hangat dan penuh perhatian. Setiap percakapan terasa lebih bermakna, seperti pondasi baru yang mereka bangun bersama.
Namun, di balik semua itu, ada rencana besar yang sedang mereka siapkan. Raka tidak hanya ingin memperbaiki hubungan mereka, tetapi juga membawa hubungan ini ke tingkat yang lebih serius.
Sebuah Persiapan Rahasia
Malam itu, Raka duduk di kamarnya, membuka sebuah kotak kecil berwarna merah. Di dalamnya, sebuah cincin sederhana dengan hiasan berlian kecil berkilau di bawah cahaya lampu. Ia menatap cincin itu dengan senyum kecil di wajahnya.
“Aku harap ini bisa menunjukkan betapa seriusnya aku, Nadira,” gumamnya pelan.
Raka telah menghabiskan waktu berminggu-minggu mencari cincin yang sempurna. Ia ingin memastikan bahwa ketika ia mengucapkan janji sehidup semati, Nadira tahu ia benar-benar bersungguh-sungguh.
Di sisi lain, Nadira tidak tahu bahwa Raka sedang merencanakan sesuatu. Ia sibuk dengan kuliahnya dan pekerjaan paruh waktu, tetapi ia merasa lebih tenang dan bahagia sejak pertemuan mereka di Melbourne.
Percakapan yang Mengubah Segalanya
Suatu malam, mereka sedang melakukan panggilan video seperti biasa. Wajah Nadira terlihat lelah, tetapi matanya berbinar ketika melihat Raka.
“Kamu kelihatan capek, Nadira. Jangan terlalu memaksakan diri, ya,” kata Raka dengan nada khawatir.
“Aku baik-baik saja, Raka. Kuliah lagi sibuk-sibuknya, tapi aku bisa atasi,” jawab Nadira sambil tersenyum kecil.
Raka diam sejenak, menatap layar dengan serius. “Aku ada sesuatu yang mau aku bicarakan.”
Nadira langsung mengernyitkan dahi. “Apa? Kenapa tiba-tiba serius banget?”
“Aku sudah mikir tentang hubungan kita, Nadira. Aku nggak mau kita terus-terusan seperti ini, terpisah jarak tanpa kepastian. Aku mau kita punya tujuan yang jelas. Aku mau kita menikah.”
Nadira terdiam, tidak menyangka mendengar kata-kata itu. “Menikah? Kamu yakin, Raka? Bukannya aku nggak mau, tapi… kita masih punya banyak hal yang harus diselesaikan.”
“Aku tahu,” jawab Raka. “Aku nggak bilang kita harus menikah besok atau bulan depan. Tapi aku ingin kita berkomitmen, Nadira. Aku ingin kamu tahu bahwa aku serius. Aku ingin kita merencanakan masa depan bersama.”
Ragu dan Keyakinan
Malam itu, percakapan mereka berlangsung lama. Nadira mengungkapkan semua keraguannya: apakah mereka benar-benar siap? Bagaimana dengan impian mereka masing-masing?
Namun, Raka meyakinkan Nadira bahwa cinta mereka bukan tentang mengorbankan impian, tetapi mencari cara untuk berjalan bersama.
“Aku nggak mau kamu meninggalkan mimpimu, Nadira. Aku hanya ingin menjadi bagian dari hidupmu saat kamu mencapainya,” kata Raka.
Kata-kata itu membuat Nadira terharu. Ia tahu Raka selalu mendukungnya, tetapi kali ini, ia merasa keyakinan Raka lebih besar dari sebelumnya.
Rencana Kejutan
Beberapa minggu kemudian, Raka memutuskan untuk mengunjungi Melbourne lagi, kali ini tanpa memberi tahu Nadira. Ia ingin melamar Nadira secara langsung, di tempat yang memiliki makna bagi mereka berdua.
Raka menghubungi sahabat Nadira, Anna, untuk membantunya merencanakan kejutan tersebut. Anna dengan senang hati membantu, bahkan memberikan ide untuk melamar di St Kilda Beach, tempat favorit Nadira.
Ketika hari itu tiba, Raka sudah menyiapkan semuanya. Ia berdiri di pantai dengan angin sepoi-sepoi yang meniup rambutnya, menunggu kedatangan Nadira.
Momen yang Tak Terlupakan
Anna mengajak Nadira ke pantai dengan alasan sederhana: mengambil udara segar setelah minggu yang melelahkan. Nadira tidak curiga sama sekali, bahkan merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama sahabatnya.
Namun, ketika ia tiba di pantai, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya berdiri di kejauhan. Hatinya langsung berdebar. “Raka? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan nada terkejut.
Raka tersenyum dan berjalan mendekat. “Aku di sini untuk kamu, Nadira.”
Saat itu, Raka berlutut di hadapan Nadira, membuka kotak cincin yang telah ia siapkan. “Nadira, aku tahu perjalanan kita nggak mudah. Kita sudah menghadapi banyak rintangan, tapi aku nggak pernah meragukan cintaku untuk kamu. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Will you marry me?”
Air mata mulai mengalir di wajah Nadira. Ia menutup mulutnya dengan tangan, merasa terharu sekaligus bahagia. “Raka… aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi… ya, aku mau.”
Raka memasangkan cincin di jari Nadira, dan mereka berpelukan erat. Di sekitar mereka, orang-orang yang melihat momen itu bertepuk tangan, memberikan ucapan selamat.
Janji Selamanya
Malam itu, mereka duduk di tepi pantai, berbicara tentang masa depan mereka. Meski ada banyak hal yang harus direncanakan, mereka merasa yakin bahwa cinta mereka cukup kuat untuk melewati semua tantangan.
“Kita akan melewati ini bersama, Nadira,” kata Raka sambil menggenggam tangan Nadira.
Nadira tersenyum, menatap cincin di jarinya. “Aku percaya sama kamu, Raka. Aku percaya kita bisa melalui semuanya.”
Di bawah langit malam Melbourne, mereka mengukuhkan janji selamanya—janji untuk mencintai, mendukung, dan bersama, apa pun yang terjadi.***
——————-THE END————–