Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

TERSAKITI OLEH JANJI

TERSAKITI OLEH JANJI

SAME KADE by SAME KADE
February 5, 2025
in Penghianatan Cinta
Reading Time: 31 mins read
TERSAKITI OLEH JANJI

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal yang Menjanjikan
  • Bab 2: Bayang-Bayang Ketidakpastian
  • Bab 3: Janji yang Terucap
  • Bab 4: Ketegangan yang Mulai Terasa
  • Bab 5: Pengkhianatan yang Terungkap
  • Bab 6: Pergulatan Hati
  • Bab 7: Keputusan yang Mengubah Segalanya
  • Bab 8: Proses Penyembuhan
  • Bab 9: Pertemuan Kembali yang Tak Terduga
  • Bab 10: Meninggalkan Masa Lalu dan Melangkah Maju

Bab 1: Awal yang Menjanjikan

Sejak pertama kali bertemu, dunia Alya terasa berubah. Reza, seorang pria muda dengan mata penuh ambisi dan senyum yang menenangkan, telah memikat hatinya dengan cara yang tidak pernah ia duga. Mereka bertemu di sebuah acara seminar di kampus, tempat di mana mereka pertama kali saling bertukar pandang, tidak banyak kata yang terucap, tetapi cukup untuk meninggalkan kesan yang mendalam. Di mata Alya, Reza adalah sosok yang memiliki segala yang dia impikan dalam pasangan hidup—pintar, perhatian, dan memiliki impian besar yang sejalan dengan impian Alya sendiri.

Hari-hari berlalu, dan mereka mulai sering berbicara. Awalnya hanya tentang tugas kuliah, tetapi tak lama kemudian percakapan mereka berkembang lebih jauh. Reza, yang tampak serius dan terkadang tegas, ternyata memiliki sisi lembut yang jarang terlihat oleh orang lain. Alya merasa nyaman dengan cara Reza mendengarkan setiap kata yang ia ucapkan. Rasanya seperti ada koneksi yang alami di antara mereka—hubungan yang terbentuk tanpa paksaan, tetapi tumbuh begitu saja.

Setiap pagi, Reza selalu datang dengan secangkir kopi di tangan dan senyum cerah yang menyapa Alya dengan lembut. “Hai, Alya. Kopinya sudah dingin kalau kamu tidak cepat-cepat datang,” kata Reza dengan candaan kecil yang selalu berhasil membuat Alya tersenyum. Tawa mereka sering mengisi pagi-pagi yang tenang sebelum kelas dimulai. Reza selalu tahu bagaimana membuat Alya merasa istimewa.

Mereka mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, mulai dari belajar bersama hingga makan siang di kafe kampus. Reza selalu tahu apa yang harus dilakukan untuk membuat Alya merasa dihargai. Setiap tindakan kecilnya, seperti membawa bekal makan siang atau menanyakan bagaimana hari Alya berjalan, membuat Alya merasa dirinya begitu berharga. Ada kenyamanan yang dirasakan Alya setiap kali bersama Reza, seperti segala hal menjadi lebih mudah dan lebih indah.

Alya merasa dunia ini terasa sempurna. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai berbicara tentang masa depan. Reza berbicara tentang rencananya setelah lulus—tentang pekerjaan impiannya, kota yang ingin ia tinggali, dan keluarga yang ingin ia bangun. Semua pembicaraan itu membuat Alya merasa seolah-olah mereka sudah saling mengenal begitu lama. Mereka saling berbagi mimpi dan berjanji untuk saling mendukung satu sama lain mencapai impian tersebut.

Pada suatu sore yang cerah, setelah berjam-jam belajar bersama di perpustakaan, Reza mengajak Alya untuk berjalan-jalan ke taman kampus. Mereka duduk di bawah pohon besar, menikmati udara sore yang segar. Reza menatap Alya dengan mata yang penuh keyakinan, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua saat itu. “Alya,” katanya pelan, “aku percaya kita bisa mencapai semua impian kita bersama. Aku ingin kamu ada di sisi aku, tidak hanya sebagai teman, tetapi sebagai pasangan hidup.”

Alya merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Kata-kata itu terasa seperti hadiah yang tak terduga. Selama ini, ia sudah merasakan keistimewaan hubungan mereka, tapi mendengar pernyataan itu langsung dari Reza memberi kepastian bahwa hubungan ini lebih dari sekadar persahabatan. Reza mengulurkan tangannya, memegang tangan Alya dengan lembut. “Aku janji, aku akan selalu mendukungmu, apa pun yang terjadi,” tambah Reza.

Janji itu, meskipun sederhana, terasa begitu tulus. Alya merasa hatinya dipenuhi kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Segala ketidakpastian di dunia ini seakan lenyap begitu saja. Dalam hatinya, Alya tahu bahwa mereka bisa melewati segala tantangan yang akan datang bersama. Reza adalah orang yang ia impikan sejak lama, seseorang yang bisa memberikan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidupnya.

Hubungan mereka semakin berkembang. Alya semakin yakin bahwa Reza adalah orang yang tepat untuknya. Mereka berbicara lebih dalam tentang masa depan mereka, saling berbagi harapan dan impian. Di dalam hatinya, Alya merasa bersyukur memiliki Reza sebagai bagian dari hidupnya. Rasanya seperti segala hal yang baik datang bersamaan—cinta, harapan, dan masa depan yang cerah.

Namun, meskipun semuanya tampak sempurna, Alya tidak pernah tahu bahwa di balik kebahagiaan itu, ada hal-hal yang tersembunyi—hal-hal yang akan mengubah segalanya. Tetapi untuk saat ini, Alya merasa seperti sedang berada di puncak dunia, bersama seseorang yang sangat ia cintai, dengan janji-janji manis yang terus terucap. Ia tidak tahu bahwa waktu yang indah ini akan segera berakhir, bahwa kebahagiaan yang ia rasakan akan segera diguncang oleh kenyataan yang tak terduga.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan setiap saat bersama Reza semakin berarti. Mereka saling menjaga satu sama lain, saling memberi dukungan, dan berjanji untuk tidak pernah melepaskan satu sama lain. Di dunia yang penuh dengan ketidakpastian, Alya merasa bahwa ia telah menemukan sesuatu yang nyata, sesuatu yang benar-benar bisa ia pegang—cinta yang kuat dan tulus.

Namun, meskipun Alya merasa hidupnya sempurna, benarkah semuanya benar-benar berjalan sesuai dengan yang diharapkannya? Bab ini mengakhiri dengan tanda tanya yang besar, dengan Alya yang mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam sikap Reza. Meskipun semua tampak baik-baik saja, perasaan Alya mulai terbuka terhadap keraguan yang menggerogoti hatinya—apakah hubungan ini benar-benar sebagaimana yang ia bayangkan? Apakah janji-janji yang diucapkan Reza akan tetap bertahan, ataukah ada sesuatu yang akan menghancurkan semua yang telah mereka bangun?*

Bab 2: Bayang-Bayang Ketidakpastian

Alya duduk di bangku taman kampus, memandangi senja yang perlahan turun, menciptakan rona oranye di langit yang membentang. Angin sore berbisik lembut, menggoyangkan dedaunan yang mengelilingi taman. Tetapi di dalam dirinya, ada perasaan yang bertentangan dengan ketenangan alam itu. Sesuatu yang tak terucap, yang mengusik setiap langkahnya bersama Reza.

Beberapa hari terakhir, Alya merasa ada perubahan yang tidak bisa ia jelaskan. Meskipun semuanya tampak baik-baik saja saat bersama Reza, ada sesuatu yang terasa berbeda. Reza, yang dulu selalu ada dengan perhatian dan kasih sayang yang melimpah, kini mulai terlihat lebih sibuk, lebih tertutup. Terkadang, ia tidak menjawab pesan atau telepon Alya dengan segera, dan jika ia melakukannya, jawabannya terasa dingin, lebih singkat dari biasanya.

Alya mencoba untuk tidak berpikir buruk. Mungkin saja Reza sedang sibuk dengan proyek kuliahnya, atau mungkin ia hanya butuh waktu untuk dirinya sendiri. Namun, hati Alya tidak bisa menipu dirinya. Ada ketegangan yang tercipta di antara mereka, meskipun mereka tetap berusaha untuk mempertahankan kebersamaan. Rasanya ada jarak yang perlahan terbentuk, seolah-olah ada tembok tak terlihat di antara mereka.

Hari itu, mereka berencana untuk bertemu di kafe yang biasa mereka kunjungi bersama. Alya menunggu di meja dekat jendela, matanya sesekali melirik jam tangan, menunggu Reza yang tampaknya terlambat. Padahal, biasanya Reza selalu datang tepat waktu, bahkan lebih awal untuk memastikan Alya tidak menunggunya terlalu lama. Namun, saat ini, sudah hampir setengah jam berlalu dan Reza belum juga muncul.

Alya meraih ponselnya dan mengirimkan pesan singkat, menanyakan di mana Reza. Tidak lama kemudian, ponselnya bergetar, dan sebuah pesan masuk.

“Maaf, Alya. Aku harus lembur di kampus, ada tugas yang harus diselesaikan. Aku tidak bisa datang hari ini.”

Pesan itu terasa biasa, namun ada sesuatu dalam kata-kata Reza yang membuat hati Alya serasa terhimpit. Ia bisa merasakan bahwa ada yang tidak beres, meskipun Reza mencoba menyembunyikannya. Kenapa Reza tidak memberitahunya lebih awal? Kenapa tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang tugas itu? Alya merasa kecewa, bukan karena Reza tidak datang, tetapi karena ia merasa diabaikan.

Setelah beberapa saat, Alya memutuskan untuk pulang. Ia berjalan pelan, memandangi trotoar yang mulai sepi. Pikirannya melayang, merenung tentang hubungan mereka yang kini mulai terasa asing. Selama beberapa hari terakhir, Reza semakin sulit dijangkau. Mereka tidak lagi berbicara seperti dulu, dan setiap kali Alya mencoba untuk lebih dekat, Reza selalu tampak menjauh, baik dalam kata-kata maupun sikapnya.

Sesampainya di kos, Alya duduk di tempat tidur, merenung dalam keheningan malam. Ia tahu dirinya tidak bisa terus-menerus menutup mata terhadap perasaan yang mengganggu. Ada bayang-bayang ketidakpastian yang terus menghantui pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Reza? Apakah ia sudah tidak lagi peduli padanya seperti dulu?

Alya berusaha mengingat kembali setiap momen indah yang mereka lalui bersama. Semuanya terasa begitu sempurna—percakapan yang tak pernah habis, tawa yang saling mengisi, dan janji-janji masa depan yang terucap begitu manis. Tetapi saat ini, semua itu terasa jauh, seperti kenangan yang terpendam di dasar hatinya. Alya tidak bisa menahan rasa khawatirnya. Apakah semuanya akan berubah begitu saja?

Pagi-pagi keesokan harinya, Alya memutuskan untuk menemui Reza di kampus. Ia ingin mencari jawaban, ingin memastikan apa yang sedang terjadi. Namun, ketika ia sampai di kelas, Reza tidak ada di sana. Teman-teman sekelas mengatakan bahwa Reza sudah pergi lebih awal. Alya bertanya-tanya dalam hati, apakah semuanya benar-benar hanya karena tugas, atau ada alasan lain yang membuat Reza semakin menjauh.

Hari-hari berlalu dengan perasaan yang tidak pasti. Setiap kali Alya mencoba berbicara dengan Reza, percakapan mereka terasa tidak seperti dulu. Reza mulai menghindar, dan Alya merasakan kesepian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Meskipun mereka masih bertemu di kampus, ada jarak yang tercipta di antara mereka, sebuah jurang yang semakin lebar seiring berjalannya waktu.

Suatu hari, saat mereka duduk bersama di taman kampus, Alya akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Reza, ada yang salah? Kamu tampaknya berbeda belakangan ini. Apa yang sedang terjadi?” tanyanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan agar tidak terlihat cemas.

Reza menatap Alya, tetapi matanya tidak seperti biasanya—terlihat ragu dan teralihkan. “Tidak ada, Alya. Aku hanya sedikit sibuk belakangan ini,” jawabnya singkat.

Tetapi Alya merasakan ketegangan di udara. Ada sesuatu yang ia tidak bisa mengungkapkan, sesuatu yang jelas terlihat dalam sikap Reza. “Tapi kita tidak seperti dulu, Reza. Aku merasa kamu semakin menjauh. Apa kamu tidak merasa hal yang sama?” tanya Alya dengan jujur, mencoba menatap mata Reza.

Reza menghela napas panjang, tampak bingung, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, namun tak bisa ia ungkapkan. “Aku… aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Alya. Tapi aku membutuhkan waktu untuk diriku sendiri. Semua ini… mungkin kita perlu sedikit ruang,” kata Reza akhirnya, suaranya terdengar berat.

Alya merasa seolah-olah dunia seketika berhenti berputar. Kata-kata itu begitu menusuk, seperti tusukan yang dalam di hatinya. “Ruang? Untuk apa, Reza?” tanyanya, mencoba menahan air matanya agar tidak tumpah. “Apakah kamu sudah tidak lagi ingin bersama aku?”

Reza menundukkan kepala, tidak bisa menjawab. Alya merasa hancur. Semua impian yang mereka bangun bersama, semua janji yang pernah terucap, kini mulai runtuh di hadapannya. Ia tahu, meskipun Reza tidak mengatakan apapun, perasaan mereka sudah tidak lagi sama.

Alya merasa kebingungannya semakin mendalam. Semua bayang-bayang ketidakpastian yang ia rasakan kini terwujud menjadi kenyataan. Reza, pria yang pernah berjanji untuk selalu ada, kini tampak terpisah dari dirinya, dan Alya tidak tahu apakah ia bisa mengembalikan semuanya seperti semula.*

Bab 3: Janji yang Terucap

Alya berjalan menuruni lorong kampus yang sepi, langkahnya terasa berat, seperti ada beban yang menempel di dadanya. Pikirannya kembali teringat pada percakapan yang ia lakukan dengan Reza tadi siang. Janji yang dulu selalu terucap antara mereka, kini terasa seperti kata-kata kosong yang hilang begitu saja.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan bagi Alya. Reza, yang dulu selalu memberikan perhatian lebih, kini perlahan berubah. Rasa percaya diri yang semula penuh kini mulai retak, dan di dalam hatinya, Alya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Sejak saat itu, ia merasa ada sebuah celah yang perlahan menganga di antara mereka, dan ia tidak tahu bagaimana menutupinya.

Hari-hari berlalu dengan kebimbangan yang terus menghantuinya. Setiap kali melihat Reza, Alya merasa seolah-olah ada sesuatu yang tak terungkapkan di matanya. Reza mulai menjadi lebih tertutup, lebih terisolasi. Ke mana perginya Reza yang dulu selalu ceria dan penuh semangat? Alya merasa, semakin hari, semakin sulit untuk menjangkau pria yang dulu ia kenal.

Namun, di balik semua itu, masih ada sebuah harapan. Harapan yang tumbuh dalam ketidakpastian, berharap bahwa suatu saat nanti Reza akan kembali menjadi sosok yang sama seperti dulu. Alya ingin percaya bahwa mereka bisa melewati semua ini. Dia ingin memperbaiki segalanya dan mengembalikan hubungan mereka yang dulu begitu sempurna.

Pada suatu sore yang tenang, Alya memutuskan untuk mengunjungi Reza di tempat yang biasa mereka kunjungi bersama. Tempat itu selalu menjadi saksi bisu dari berbagai percakapan indah dan janji-janji manis mereka. Kafe kecil di sudut kota ini selalu menjadi tempat yang spesial bagi mereka berdua. Setiap sudutnya menyimpan kenangan tentang pertemuan pertama mereka, tentang tawa yang mereka bagi, dan tentang perasaan yang tumbuh bersama seiring berjalannya waktu.

Saat Alya tiba di sana, Reza sudah menunggu di meja mereka. Tatapan matanya kosong, seperti seseorang yang sedang berusaha mencari jawaban namun tidak menemukannya. Begitu melihat Alya, ada sedikit kilatan harapan di matanya, namun seketika itu juga hilang, tertutupi oleh ketegangan yang menguar dari sikapnya.

Alya duduk di seberang Reza, mencoba menatap wajahnya, berharap untuk menemukan kehangatan yang dulu selalu ia rasakan. “Reza,” suara Alya terdengar lirih, mencoba memulai percakapan yang sudah lama ingin ia lakukan. “Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa semuanya berubah?”

Reza menghela napas panjang, matanya tertunduk, seakan mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan semua yang terasa membebani hatinya. “Alya, aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana,” katanya pelan, seolah kata-katanya tak ingin keluar.

Alya menundukkan kepalanya sejenak, meresapi setiap kata yang diucapkan Reza. “Kamu selalu bilang kita akan melewati apapun bersama. Kamu bilang kita tidak akan pernah terpisahkan. Apa janji itu tidak berarti apa-apa lagi?” tanyanya dengan suara bergetar, mencoba menahan air mata yang ingin jatuh.

Reza terdiam, wajahnya terlihat bingung. Ia menatap Alya dengan pandangan yang kosong. “Itu masih berarti, Alya. Tapi, aku merasa terjebak. Aku merasa ada yang salah, ada sesuatu dalam diriku yang tidak bisa aku jelaskan.”

“Apa maksudmu?” Alya bertanya, suara penuh kekhawatiran. “Apa yang terjadi dengan kita, Reza? Kenapa kamu berubah? Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang semua ini?”

Reza menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa frustasi. “Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya, Alya. Aku merasa aku tidak bisa menjadi seperti yang kamu harapkan. Semua janji yang kita buat, aku ingin memenuhinya, tapi aku merasa seolah aku sedang kehilangan diriku sendiri di tengah semua itu.”

Alya terdiam, mencoba mencerna semua yang baru saja diucapkan Reza. Kata-kata itu terasa berat, menancap dalam di hatinya. Ia tahu, ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh Reza, namun hatinya tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang mulai muncul.

“Tapi kita berdua sudah membangun semuanya bersama,” kata Alya, suaranya hampir tidak terdengar. “Kita sudah saling berbagi mimpi, janji, dan rencana. Kenapa tiba-tiba kamu merasa kehilangan dirimu sendiri?”

Reza memandang Alya dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku tidak ingin mengecewakanmu, Alya. Tapi aku merasa kita sudah semakin jauh, dan aku takut kalau aku terus berusaha bertahan, aku akan melukai kamu lebih dalam lagi.”

Alya menatap Reza dengan mata penuh kebingungan dan rasa sakit. “Jadi, kamu ingin kita berhenti di sini? Semua yang telah kita lewati, begitu saja?” tanyanya dengan suara serak, mencoba menahan perasaan yang bercampur aduk di dadanya.

Reza menundukkan kepala, tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu, ia sudah membuat keputusan yang sulit, dan mungkin itu adalah keputusan yang akan mengubah segalanya.

Alya merasa hatinya hancur, namun di satu sisi, ia juga merasa ada kedamaian dalam dirinya. Jika Reza sudah tidak bisa lagi menjadi dirinya yang dulu, mungkin memang inilah saatnya bagi mereka untuk berhenti. Tetapi, tidak ada kata-kata yang cukup untuk mengungkapkan perasaan ini. Ia merasa terluka, namun juga sadar bahwa janji yang pernah terucap kini menjadi kenangan yang tak bisa diubah.

“Alya,” suara Reza kembali terdengar, lembut namun penuh dengan penyesalan. “Aku… aku tidak ingin kita berakhir seperti ini. Aku ingin janji yang dulu kita buat tetap ada, meskipun kita harus melewati segala rintangan ini.”

Alya menatapnya dengan mata yang berair. “Janji itu tidak akan pernah hilang, Reza. Tetapi kadang-kadang, janji harus dihadapi dengan kenyataan. Aku ingin percaya pada kita, pada janji itu, tapi aku juga harus menerima kenyataan bahwa mungkin kita harus melangkah di jalan yang berbeda.”

Reza mengangguk pelan, seakan mengerti apa yang Alya rasakan. “Aku mengerti, Alya. Aku tidak ingin memaksakan sesuatu yang sudah tidak mungkin lagi.”

Di tengah keheningan yang menggelayuti, Alya dan Reza duduk berdampingan, merasakan betapa beratnya kenyataan yang harus mereka terima. Janji yang terucap dulu kini seolah membeku di udara, menghilang bersama angin yang berlalu. Dan meskipun semuanya berubah, Alya tahu bahwa perasaan mereka, yang dulu begitu kuat, akan selalu meninggalkan jejak di dalam hati masing-masing.

Hari itu, mereka berpisah tanpa kata-kata perpisahan yang menyakitkan. Hanya ada keheningan yang membekas, dan janji yang kini menjadi kenangan pahit yang harus mereka kenang.*

Bab 4: Ketegangan yang Mulai Terasa

Hari-hari setelah percakapan berat itu berjalan dengan langkah yang terasa lebih lambat dari biasanya. Alya merasa seolah ada jarak yang tak terlihat menghalangi dirinya dan Reza, meskipun mereka masih sering bertemu di kampus, namun ada perasaan asing yang menyelimutinya. Mereka hanya berbicara seperlunya, seperti dua orang yang sudah saling kenal lama, tetapi tidak lagi saling memahami.

Pagi itu, seperti biasa, Alya datang lebih awal ke kelas. Di sana, di tempat duduk yang biasanya mereka duduki bersama, Alya hanya bisa duduk sendiri. Ia melihat kursi kosong di sebelahnya dan merasakan kekosongan yang besar. Di luar itu, segalanya tampak berjalan normal: teman-temannya berbicara satu sama lain, tawa terdengar dari sana-sini, tetapi Alya merasa kesepian. Ia tahu bahwa ketegangan yang mulai tumbuh antara dirinya dan Reza adalah hal yang tak bisa ia sembunyikan lagi.

Setelah kuliah selesai, Alya melangkah keluar dari ruang kelas, berjalan di sepanjang koridor dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Pikiran-pikiran tentang hubungan mereka yang semakin tidak jelas terus mengusik. Apa yang salah? Apa yang mereka perjuangkan selama ini? Mengapa segala sesuatu terasa begitu sulit? Tidak ada jawaban pasti yang bisa ditemukan, hanya kebingungan yang semakin menggelayuti pikirannya.

Di luar ruangan, angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya. Alya berhenti sejenak, menatap langit yang mendung. Ia tahu, perasaan ini hanya akan semakin mengganggu jika dibiarkan begitu saja. Di sinilah ia berada—di tengah ketidakpastian yang menggantung, dan hatinya mulai terasa sesak. Ketegangan yang semakin hari semakin terasa membuatnya tidak nyaman.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Alya menoleh, dan betapa terkejutnya dia saat melihat Reza berdiri beberapa meter di depannya. Wajah Reza terlihat serius, bahkan cenderung cemas. Mata mereka bertemu sejenak, dan Alya bisa merasakan beban di balik pandangannya.

“Alya,” suara Reza terdengar rendah, seperti mengandung kekhawatiran yang tidak bisa ia sembunyikan. “Bisa bicara sebentar?”

Alya menatapnya, merasa ada sebuah ketegangan yang tidak bisa ia hindari. Ia tahu apa yang akan datang. Percakapan ini tidak bisa lagi dihindari. “Tentu,” jawab Alya singkat, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang, meski hatinya berdebar.

Reza memimpin jalan menuju sebuah bangku di dekat taman kampus, tempat yang biasanya mereka duduki saat senggang. Tempat itu kini terasa asing, seakan tempat itu tak lagi menyimpan kenangan indah yang dulu mereka buat bersama. Mereka duduk berdampingan, tetapi ada jarak yang tak terucapkan di antara mereka, sebuah jurang yang semakin melebar.

“Saya tahu,” Reza memulai, suaranya terdengar sedikit goyah. “Belakangan ini, kita tidak seperti dulu. Saya… saya merasa ada yang salah. Saya tahu kamu merasakannya juga.”

Alya hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri. “Apa yang sebenarnya terjadi, Reza? Kamu tidak pernah memberi penjelasan tentang apa yang berubah.”

Reza menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seolah-olah ingin mengusir segala kebingungannya. “Aku merasa terperangkap, Alya. Semua janji yang pernah aku buat, aku ingin memenuhinya, tapi aku merasa semakin sulit. Aku mulai merasa tidak cukup baik untukmu.”

Alya menatapnya dengan mata yang tak bisa lagi menyembunyikan rasa kecewa. “Apa maksudmu? Kamu selalu bilang kita bisa bersama menghadapi apapun.”

“Dan aku masih percaya itu, Alya.” Reza menatapnya dengan penuh penyesalan. “Tapi aku juga merasa ada perasaan yang hilang. Aku tidak tahu lagi siapa aku, dan itu membuatku semakin jauh dari dirimu.”

Alya menundukkan kepala, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Reza. Perasaannya semakin kacau. Apa yang terjadi dengan mereka? Mengapa Reza yang dulunya begitu tegas dalam mencintainya kini mulai ragu? Apakah semua janji yang pernah mereka buat hanya akan menguap begitu saja?

“Aku merasa kita berdua mulai terlalu banyak menahan, terlalu banyak berpura-pura baik-baik saja,” lanjut Reza, mencoba menjelaskan. “Dan itu mulai merusak kita. Aku takut kita semakin jauh, dan aku tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.”

Alya menelan ludah, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. “Kita tidak bisa terus seperti ini, Reza. Aku merasa ketegangan ini semakin mempengaruhi segalanya. Kita harus saling jujur, harus bicara lebih terbuka.”

Reza diam sejenak, seakan berpikir keras, sebelum akhirnya ia mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku ingin lebih terbuka denganmu, Alya. Tapi aku takut kalau aku terlalu jujur, aku justru akan kehilanganmu.”

“Reza,” Alya menatapnya, berusaha untuk tetap tegar meskipun hatinya hancur. “Kita sudah terlalu lama bersama untuk membiarkan ketakutan itu merusak segalanya. Kita harus berani menghadapi kenyataan, apapun itu.”

Reza menggenggam tangan Alya dengan lembut, sebuah gerakan yang terasa penuh penyesalan. “Aku tidak ingin kamu merasa terluka, Alya. Tapi aku juga tidak ingin terus menyembunyikan perasaanku. Aku takut kalau aku terus seperti ini, aku akan semakin menyakitimu.”

Kata-kata itu mengguncang hati Alya. Dia merasa terpecah antara keinginannya untuk memperjuangkan hubungan ini dan ketidakpastian yang mengelilinginya. Ketegangan yang kini muncul di antara mereka bukan lagi sekadar masalah komunikasi, tapi juga soal rasa yang hilang, yang perlahan mulai mengikis kepercayaan mereka satu sama lain.

“Aku ingin percaya pada kita, Reza,” kata Alya, suaranya serak. “Tapi aku juga takut, kalau kita terus menunda-nunda, kita akan semakin jauh. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tidak ingin kita berakhir hanya karena ketidakpastian.”

Reza menatapnya, ada keheningan yang mencekam di antara mereka. “Aku juga tidak ingin itu terjadi, Alya. Aku akan berusaha, akan berjuang untuk kita, tapi aku juga butuh waktu untuk menemukan diriku lagi.”

“Aku mengerti,” jawab Alya, mencoba tersenyum meski hatinya terasa sakit. “Kita akan coba, Reza. Tapi jangan biarkan ketegangan ini terus berlanjut.”

Mereka duduk bersama dalam keheningan, di bawah langit yang semakin mendung. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi selanjutnya, namun yang pasti, ketegangan ini sudah mulai terasa di setiap langkah mereka, dan Alya tahu, apapun yang terjadi, dia harus siap untuk menghadapi kenyataan, meski itu menyakitkan.*

Bab 5: Pengkhianatan yang Terungkap

Pagi itu terasa begitu tenang, meskipun hati Alya sudah tidak bisa lagi mengenyam ketenangan seperti biasanya. Setelah percakapan yang penuh ketegangan dengan Reza beberapa hari sebelumnya, ia merasa ada sesuatu yang terus mengganggu pikiran dan hatinya. Meskipun Reza berjanji untuk memperbaiki semuanya, Alya merasa ada hal yang masih belum diungkapkan, sesuatu yang tersimpan rapat-rapat di balik sikap Reza yang semakin dingin dan menjauh.

Hari itu, Alya berjalan menuju perpustakaan kampus dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Ia ingin mencari ketenangan di antara tumpukan buku, berharap bisa mengalihkan pikirannya dari keraguan yang semakin menggigit. Namun, ketika ia memasuki perpustakaan, matanya tak sengaja menangkap sesosok yang sedang duduk di pojok ruangan, berbicara dengan seseorang yang sangat dikenalnya. Reza.

Namun, yang mengejutkan adalah sosok yang duduk di sampingnya—Lisa, teman dekat mereka yang sudah cukup lama mengenalnya. Alya sempat terhenti sejenak di pintu, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya perasaan saja. Namun, semakin lama ia memperhatikan, semakin jelas apa yang terjadi. Mereka berdua berbicara dengan penuh tawa, dan Alya bisa melihat betapa akrabnya mereka. Meskipun Lisa sering berada di sekitar mereka berdua, Alya merasa ada yang aneh.

Alya merasa tidak enak hati. Mengapa Reza dan Lisa bisa begitu dekat? Sejak kapan hubungan mereka menjadi begitu akrab? Selama ini, Alya selalu menganggap Lisa hanya sebagai teman biasa, tetapi sekarang dia merasakan ada jarak yang mulai terbentuk di antara mereka.

Dengan langkah cepat, Alya keluar dari perpustakaan, berusaha menenangkan diri. Ia tahu bahwa rasa curiganya semakin menguasai pikirannya, tetapi ia mencoba menahan diri untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Namun, ada satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya: Apa yang sebenarnya terjadi antara Reza dan Lisa?

Hari berikutnya, ketika mereka bertemu di kampus, Alya tidak bisa menahan perasaannya. Di depan Reza, ia bertanya dengan suara yang berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar. “Reza, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Kenapa kamu begitu dekat dengan Lisa belakangan ini?”

Reza tampak terkejut dengan pertanyaan itu. Ia sempat terdiam beberapa detik, seolah berusaha menyusun kata-kata. “Alya, itu… tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kami hanya berbicara, tidak lebih.”

Namun, penjelasan itu justru semakin membingungkan Alya. Ia merasakan ada yang tak beres, dan hatinya semakin curiga. “Aku melihat kalian di perpustakaan tadi. Kalian tertawa dan berbicara begitu akrab. Apa yang sebenarnya terjadi, Reza?”

Reza menundukkan wajahnya, seakan tak sanggup menatap mata Alya. Ada ragu yang tercermin di wajahnya, dan Alya bisa merasakannya. Perasaan tidak nyaman itu semakin kuat.

“Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Alya,” jawab Reza dengan suara pelan, hampir terdengar seperti sebuah permohonan agar tidak disalahpahami. “Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun dari kamu. Lisa hanya… teman yang dekat.”

Namun, penjelasan itu tidak bisa menghilangkan rasa curiga yang terus menggerogoti hati Alya. Apa yang dimaksud dengan ‘hanya teman dekat’? Mengapa Reza tidak pernah memberitahunya lebih dulu tentang kedekatannya dengan Lisa?

Alya merasa hatinya dipenuhi kebingungan. Ia tahu, sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, tetapi ia merasa tak berdaya untuk mengungkapkan kebenarannya. Sesuatu yang sudah lama disembunyikan, entah itu berupa perasaan atau rahasia gelap yang disimpan rapat oleh Reza.

Pada malam itu, setelah berpikir panjang, Alya memutuskan untuk melakukan hal yang mungkin akan membawanya pada kebenaran yang selama ini disembunyikan. Ia tahu, ia harus menemui Lisa dan berbicara langsung dengan gadis itu. Alya memerlukan jawaban, dan meskipun ia tidak tahu apakah itu akan memberinya kedamaian, setidaknya ia akan tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Esok harinya, Alya bertemu dengan Lisa di kafe kampus. Ia tidak memberi tahu Reza tentang pertemuan ini karena ia ingin mendengar kebenaran dari Lisa terlebih dahulu. Wajah Lisa tampak cerah, seolah tak ada yang salah. Namun, dalam hati Alya, kegelisahan semakin tumbuh.

“Alya, ada apa? Kenapa tiba-tiba mengajak aku ngobrol?” tanya Lisa dengan senyuman, mencoba terlihat santai.

Alya menatap Lisa dengan serius, berusaha menjaga kendali emosinya. “Aku ingin tahu, Lisa… ada apa antara kamu dan Reza? Kenapa kalian begitu dekat belakangan ini?”

Lisa terdiam sejenak. Alya bisa melihat bagaimana ekspresi wajah Lisa mulai berubah, dan itu membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. “Alya, aku…” Lisa tampak ragu untuk melanjutkan kata-katanya.

Alya tidak memberi kesempatan untuk Lisa menghindar. “Lisa, aku ingin tahu kebenarannya. Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Reza? Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan dariku.”

Dengan pandangan yang tidak bisa lagi disembunyikan, Lisa akhirnya menghela napas panjang dan mengaku. “Alya, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Sebenarnya, aku dan Reza sudah saling suka sejak beberapa waktu lalu. Kami tidak ingin kamu tahu karena kami takut melukaimu.”

Hati Alya serasa dihantam keras. Perkataan Lisa seperti petir yang menyambar, mengguncang semua yang ia percayai selama ini. “Jadi, kalian berdua saling suka?” tanya Alya dengan suara serak, tak percaya dengan kenyataan yang baru saja terungkap.

Lisa mengangguk pelan, wajahnya penuh penyesalan. “Kami tidak bermaksud melukai perasaanmu, Alya. Tapi perasaan itu tumbuh dengan sendirinya, dan kami tidak bisa menahannya lagi.”

Alya merasa duniannya runtuh. Semua janji-janji yang pernah Reza buat, semua kenangan indah yang mereka bagikan bersama, kini terasa hampa. Tidak ada lagi yang bisa ia percaya. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Reza dan Lisa, orang yang selama ini dianggapnya sebagai teman dekat, ternyata menyembunyikan perasaan satu sama lain.

Perasaan dikhianati itu seperti pisau yang menembus hati Alya. Selama ini, ia menganggap hubungan mereka begitu istimewa, tapi sekarang ia merasa begitu bodoh. Pengkhianatan ini bukan hanya melibatkan dirinya dan Reza, tetapi juga melibatkan Lisa, teman yang selama ini begitu dekat dengannya.

Alya merasakan air matanya mulai jatuh, meskipun ia berusaha keras untuk menahannya. Ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa sakitnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Lisa. Aku merasa dihancurkan oleh kebohongan ini.”

Lisa menundukkan kepalanya, merasa bersalah. “Aku benar-benar minta maaf, Alya. Kami tidak ingin menyakitimu. Ini semua terjadi begitu saja.”

Alya berdiri, menatap Lisa dengan pandangan penuh luka. “Aku butuh waktu untuk berpikir,” katanya pelan, lalu berbalik pergi, meninggalkan Lisa yang terdiam, merasa bersalah atas pengkhianatan yang baru saja terungkap.*

Bab 6: Pergulatan Hati

Alya duduk di tepi tempat tidurnya, matanya terpejam sejenak, berusaha menenangkan hati yang kini terasa begitu kacau. Perbincangan tadi dengan Lisa masih terngiang-ngiang di benaknya. Pengkhianatan yang baru saja terungkap tak hanya menghancurkan hubungan yang selama ini dia anggap paling berharga, tetapi juga membuat Alya meragukan segala sesuatu yang ia percayai tentang cinta dan persahabatan.

Di satu sisi, hatinya terasa hancur. Cinta yang selama ini ia beri kepada Reza, ternyata tak cukup berarti baginya. Janji-janji manis yang selama ini mereka ucapkan, seakan hanya menjadi kata-kata kosong yang tidak pernah punya makna. Alya merasa seperti seorang bodoh yang begitu lama terjebak dalam ilusi, percaya pada sesuatu yang tak nyata. Kepercayaan yang selama ini ia bangun dengan susah payah runtuh dalam sekejap, dan ia merasa seolah dunia yang selama ini ia jalani kini menjadi asing.

Namun, di sisi lain, ada perasaan yang lebih dalam lagi yang membuat hatinya semakin bingung. Perasaan yang sulit dijelaskan, meskipun pengkhianatan ini begitu menyakitkan. Alya merasa marah, kecewa, dan terluka, namun di dalam hatinya masih ada sisa-sisa perasaan cinta yang tak mudah hilang begitu saja. Reza, meskipun telah menyakitinya, masih memegang tempat yang tak tergantikan dalam hatinya. Itu adalah kenyataan yang paling sulit diterima oleh Alya.

Ia ingin melupakan semuanya. Ia ingin membuang perasaan itu jauh-jauh dan melepaskan Reza dari kehidupannya. Namun, setiap kali ia berusaha, perasaan itu selalu kembali, seolah mengingatkan bahwa ia tak bisa begitu saja menutup pintu hatinya. Pengkhianatan ini mengubah segalanya, tetapi perasaan cinta yang tulus itu tak bisa dipadamkan dalam semalam.

Pikiran Alya melayang ke masa-masa indah yang mereka lalui bersama. Kenangan tentang tawa mereka, tentang pelukan hangat, tentang setiap janji yang pernah diucapkan, kini terasa sangat jauh. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang tak bisa ia bangunkan. “Apakah aku bisa memaafkan semuanya?” tanya Alya pada dirinya sendiri. “Apakah aku bisa kembali percaya padanya? Pada Lisa?”

Tetapi, di balik rasa sakit itu, ada pertanyaan lain yang menghantui pikirannya. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Haruskah ia terus berada dalam hubungan yang penuh kebohongan, ataukah ia harus melepaskan semuanya dan melanjutkan hidupnya tanpa Reza dan Lisa?

Pagi berikutnya, Alya merasa sedikit lebih tenang. Keputusan untuk tidak bertemu dengan Reza atau Lisa semalam memberinya waktu untuk berpikir dan merenung. Meski hatinya masih terasa perih, setidaknya ia tahu bahwa ia harus mengambil langkah besar. Tidak ada lagi ruang untuk ragu-ragu atau menunggu keajaiban. Cinta itu tak selalu datang dengan cara yang indah dan penuh kebahagiaan. Terkadang, cinta itu harus diuji dengan cara yang paling menyakitkan.

Alya memutuskan untuk bertemu dengan Reza. Ia tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan ini dan berbicara dengan Reza secara langsung. Tak ada lagi tempat untuk penghindaran. Ini adalah saatnya untuk mengungkapkan apa yang selama ini terpendam, untuk mengetahui apakah ada harapan bagi hubungan mereka ataukah semuanya sudah berakhir.

Di sebuah kafe kecil yang menjadi tempat favorit mereka, Alya menunggu dengan hati yang berdegup kencang. Matanya tertuju pada secangkir kopi yang kini mulai dingin, namun pikirannya tak bisa berhenti melayang pada sosok Reza. Akankah dia datang? Akankah ia memberikan penjelasan yang memadai?

Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka, dan sosok Reza muncul di hadapannya. Tatapan mata mereka bertemu, namun kali ini, Alya merasakan ada jarak yang jauh lebih besar di antara mereka. Bukan hanya jarak fisik, tetapi jarak emosional yang begitu menyakitkan. Reza tampak ragu sejenak sebelum mendekati meja dan duduk di hadapannya.

“Maafkan aku, Alya,” ucap Reza dengan suara pelan, namun penuh penyesalan. “Aku tahu aku telah mengkhianatimu, dan itu adalah kesalahan besar. Aku tak tahu bagaimana menjelaskan semuanya.”

Alya menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang kembali mengancam. “Kenapa, Reza? Kenapa kamu melakukannya? Kenapa kamu menyembunyikan semuanya dariku? Kenapa harus Lisa? Kenapa kamu tidak jujur padaku sejak awal?”

Reza tampak terdiam sejenak, seakan kata-kata itu terlalu berat baginya untuk dijawab. “Aku tidak tahu bagaimana memulainya. Aku tidak ingin menyakitimu, tetapi kenyataannya, perasaan itu tumbuh begitu saja, dan aku tak bisa mengendalikan semuanya,” jawab Reza, suaranya hampir tak terdengar.

Alya menatapnya dengan tatapan penuh amarah yang bercampur dengan rasa sakit yang mendalam. “Jadi kamu menganggap aku tidak pantas tahu tentang perasaanmu? Tentang hubungan yang kamu bangun dengan Lisa? Kamu pikir aku akan baik-baik saja dengan semua kebohongan ini?”

Reza menggelengkan kepala, matanya dipenuhi rasa sesal yang mendalam. “Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu, Alya. Aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan, takut kehilanganmu. Lisa adalah teman yang dekat, dan perasaan itu berkembang begitu saja, tanpa aku sadari. Aku salah, sangat salah, dan aku tahu aku tidak pantas memintamu untuk memaafkan.”

Alya merasa ada ribuan emosi yang bertarung dalam hatinya. Ia ingin marah, ingin menjerit, ingin melepaskan segala rasa sakit yang selama ini ditahannya. Tetapi, di sisi lain, ia merasa ada bagian dari dirinya yang masih ingin mempercayai Reza. “Jadi, sekarang apa? Apa yang kamu ingin aku lakukan dengan semua ini?”

Reza menatapnya dengan penuh harapan, meskipun ia tahu bahwa kesempatan untuk memperbaiki semuanya semakin kecil. “Aku ingin kita berdua mencari jalan keluar. Aku ingin memperbaiki semuanya, meskipun aku tahu itu tidak akan mudah. Aku mencintaimu, Alya. Aku tahu aku telah menghancurkan semuanya, tetapi aku masih berharap kita bisa mulai dari awal lagi.”

Alya terdiam, membenamkan dirinya dalam kebingungan. Pengkhianatan ini begitu mendalam, dan meskipun hatinya masih mencintai Reza, Alya tahu bahwa jalan ke depan tidak akan mudah. Ada luka yang harus disembuhkan, dan waktu yang akan membuktikan apakah mereka masih memiliki kesempatan untuk membangun kembali apa yang telah hancur.*

Bab 7: Keputusan yang Mengubah Segalanya

Hari-hari setelah pertemuan itu berlalu dengan penuh kebingungan. Alya merasa terombang-ambing dalam samudra perasaan yang tidak bisa ia kontrol. Setiap kali ia mencoba untuk memikirkan masa depan, bayangan Reza dan Lisa muncul begitu jelas, mengganggu ketenangannya. Pengkhianatan itu seperti bayangan gelap yang tak bisa ia lepaskan. Meskipun Reza berusaha keras untuk memperbaiki semuanya, Alya merasa sulit untuk menerima kenyataan yang ada.

Pagi ini, Alya duduk di balkon apartemennya, menatap ke luar jendela, melamun di bawah sinar matahari pagi yang hangat. Ia merasakan setiap detik berlalu begitu lambat, seolah waktu hanya berputar di tempat yang sama. Di hadapannya, kopi yang telah lama dingin tidak lagi terasa nikmat. Semua yang ia lihat, semua yang ia rasakan, seolah tertutup oleh kabut yang sulit dihilangkan.

Alya tahu bahwa keputusan besar sudah di ambang pintu, dan semakin lama ia menghindarinya, semakin dalam ia terjerat dalam perasaan yang membingungkan. Mungkin ini saatnya untuk menyelesaikan semuanya, memilih jalan yang lebih jelas, meskipun itu mungkin akan melukai lebih dalam.

“Apakah aku harus melanjutkan ini?” pikir Alya dalam hati. “Apakah aku bisa menerima Reza lagi? Apakah aku bisa melupakan semua yang telah terjadi, dan kembali percaya padanya?”

Ia menutup matanya sejenak, mencoba merasakan kedamaian yang pernah ada dalam hubungan mereka. Reza memang pernah menyakitinya, tetapi ia juga telah memberi banyak kenangan manis. Cinta mereka selama ini, meskipun tampak sempurna di luar, ternyata menyimpan banyak rahasia. Namun, di dalam hatinya, Alya masih merasa ada perasaan yang kuat, yang tak mudah untuk dihilangkan begitu saja.

Pikirannya kembali melayang pada percakapan terakhir mereka. Wajah Reza yang penuh penyesalan, kata-kata manis yang ia ucapkan, dan bagaimana ia bersumpah akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat semuanya baik lagi. Reza mengakui kesalahannya, ia merasa hancur melihat Alya terluka. Namun, pengkhianatan itu tetap ada, dan bagaimanapun, itu adalah luka yang sangat dalam.

Alya sadar bahwa memaafkan tidaklah mudah. Terkadang, memaafkan bukan berarti melupakan, tetapi lebih kepada memberi kesempatan pada diri sendiri untuk sembuh. Namun, apakah ia siap untuk memberi Reza kesempatan itu? Apakah cinta yang ia miliki untuk Reza masih cukup kuat untuk menembus dinding-dinding kebohongan yang telah terbangun begitu lama?

“Jika aku memaafkan Reza, apakah itu berarti aku akan selalu hidup dalam bayang-bayang rasa sakit?” Alya bertanya pada dirinya sendiri. “Ataukah aku hanya takut menghadapi kenyataan bahwa hubungan kami memang sudah selesai?”

Pikirannya terus berputar, tak ada jawaban yang memuaskan. Alya merasa terjepit di antara dua pilihan besar—tetap bersama Reza dan mencoba memperbaiki hubungan yang hancur, atau pergi meninggalkannya dan memulai hidup baru, meski dengan rasa sakit yang tak kunjung hilang.

Namun, Alya tahu bahwa hidup tidak bisa dipaksa. Terkadang, keputusan besar tidak datang begitu saja, tetapi lahir dari pengalaman, perasaan, dan waktu. Ia memutuskan untuk memberi diri waktu, waktu untuk berpikir dengan tenang, dan waktu untuk menerima kenyataan.

Malam itu, Alya memutuskan untuk bertemu dengan Reza lagi. Ini adalah pertemuan yang sudah sangat lama ia hindari, tetapi ia tahu bahwa tidak ada cara lain untuk menyelesaikan semuanya tanpa berbicara langsung. Ia ingin mendengar lebih banyak tentang bagaimana Reza melihat masa depan mereka, dan apakah ada ruang bagi mereka untuk memperbaiki semuanya.

Di sebuah kafe yang sepi, Alya dan Reza duduk berhadapan. Suasana di sekitar mereka terasa hening, hanya ada suara lembut dari mesin kopi yang bekerja di sudut ruangan. Reza menatap Alya dengan ekspresi penuh kekhawatiran, matanya sedikit cemas, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang.

“Alya, aku tahu apa yang aku lakukan sangat salah,” ucap Reza pelan. “Aku sangat menyesal telah mengkhianatimu. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa begitu bodoh. Tetapi, satu hal yang pasti, aku mencintaimu. Cintaku padamu tidak akan pernah berubah.”

Alya menatapnya tanpa berbicara, mencoba menenangkan pikirannya yang terus bergejolak. “Cinta saja tidak cukup, Reza,” jawabnya perlahan. “Kau sudah merusak segalanya. Kau sudah menghancurkan kepercayaan yang selama ini aku bangun. Bagaimana aku bisa kembali ke sana? Bagaimana aku bisa percaya padamu lagi?”

Reza menundukkan kepala, merasa hancur mendengar kata-kata itu. “Aku tahu. Aku tahu aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi aku ingin membuktikan padamu bahwa aku bisa menjadi orang yang lebih baik. Aku ingin memperbaiki semuanya, meskipun aku tahu itu akan memakan waktu.”

Alya merasa sesak di dadanya. Ada perasaan yang bergejolak di dalam dirinya, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Semua perasaan itu campur aduk—sakit, marah, dan cinta yang tak mudah lenyap begitu saja.

“Reza,” ujar Alya akhirnya dengan suara yang berat. “Aku ingin percaya padamu, aku benar-benar ingin. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu sepenuhnya. Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu.”

Ada keheningan yang panjang di antara mereka. Reza tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua yang ingin ia katakan terasa seperti kata-kata kosong yang tak bisa menyembuhkan luka di hati Alya.

Alya menarik napas dalam-dalam, matanya menatap kosong ke luar jendela. “Aku harus pergi, Reza. Aku harus melangkah maju, meskipun itu menyakitkan. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini. Mungkin ini adalah keputusan yang paling sulit dalam hidupku, tetapi aku rasa aku sudah tidak bisa bertahan lagi.”

Reza menatap Alya dengan mata yang penuh penyesalan. “Alya, aku tidak ingin kehilanganmu. Aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkanmu kembali.”

Alya hanya diam, menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang mengalir tanpa bisa dibendung. “Terkadang, meskipun kita ingin memperbaiki segalanya, ada hal-hal yang sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi. Aku harus belajar untuk menerima kenyataan itu.”

Dengan langkah berat, Alya berdiri, meninggalkan Reza yang terdiam di meja. Ini adalah keputusan yang mengubah segalanya. Alya tahu bahwa ia harus melepaskan Reza, melepaskan masa lalu yang penuh kenangan dan rasa sakit, untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri.*

Bab 8: Proses Penyembuhan

Hari-hari setelah perpisahan itu terasa seperti perjalanan panjang yang penuh dengan kabut. Alya menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan keputusan besar yang telah ia buat, namun meskipun hatinya masih terasa berat, ia tahu bahwa jalan yang dipilihnya adalah yang terbaik. Proses penyembuhan bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dalam semalam. Terkadang, ia merasa seolah-olah luka itu akan tetap membekas selamanya, tetapi di sisi lain, ia juga merasakan adanya perubahan dalam dirinya.

Pagi itu, Alya duduk di meja kerjanya di apartemen yang sekarang terasa lebih sepi. Di luar jendela, matahari terbit perlahan, memberi warna hangat pada langit pagi yang biru. Ia menatap layar komputer yang kosong, ide-ide yang dulu mengalir begitu mudah kini terasa sulit untuk ditemukan. Namun, ia tidak merasa marah lagi pada dirinya sendiri. Alya tahu bahwa ini adalah bagian dari proses yang harus ia jalani untuk menemukan kembali dirinya.

“Ini hanya sementara,” gumam Alya pada dirinya sendiri. “Aku bisa melaluinya.”

Meskipun perasaan kesepian itu tak kunjung hilang, Alya mulai belajar untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Reza dengan hal-hal yang ia cintai. Ia kembali ke dunia tulis-menulis, yang pernah menjadi pelarian baginya. Menulis adalah cara terbaik untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan—perasaan yang selama ini terpendam, dan juga ketidakpastian yang belum bisa ia pahami sepenuhnya. Setiap kata yang ia tulis menjadi terapi bagi jiwanya, sebuah langkah kecil untuk memperbaiki dirinya.

Suatu sore, ketika ia sedang duduk di kafe favoritnya, Alya bertemu dengan Nia, sahabat lamanya. Nia adalah salah satu orang yang selalu ada di sampingnya, baik di saat-saat bahagia maupun dalam masa-masa sulit. Mereka berpelukan erat saat mereka bertemu, dan Nia bisa merasakan perubahan pada Alya. Wajahnya tidak lagi terlihat lelah dan cemas, meskipun di matanya masih ada keraguan yang belum sepenuhnya hilang.

“Alya, aku tahu ini bukan hal yang mudah,” ujar Nia dengan lembut, setelah mereka duduk di meja yang cukup terpencil di sudut kafe. “Aku hanya ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian.”

Alya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih terasa sesak. “Terima kasih, Nia. Aku… aku merasa bingung. Aku merasa seperti terjebak antara masa lalu yang begitu berat dan masa depan yang belum jelas.”

Nia menatapnya dengan penuh pengertian. “Memaafkan seseorang itu bukan berarti kita harus kembali bersama mereka, Alya. Terkadang, memaafkan adalah tentang melepaskan diri kita sendiri dari beban yang tidak perlu. Kamu berhak untuk bahagia, meskipun itu berarti harus meninggalkan semua kenangan buruk.”

Alya mengangguk pelan. Kata-kata sahabatnya menyentuh hatinya. Nia benar. Ia tidak perlu lagi terikat pada kenangan lama yang penuh dengan rasa sakit. Ia bisa memaafkan Reza untuk dirinya sendiri, bukan untuknya. Itu adalah langkah pertama menuju kebebasan, menuju kedamaian yang sudah lama ia rindukan.

Namun, proses penyembuhan ini tidak bisa instan. Setiap hari, Alya berjuang dengan perasaannya sendiri. Kadang ia merasa cemas, kadang ia merasa marah, dan kadang ia merasa takut untuk melangkah lebih jauh. Namun, ia tidak menyerah. Ia berusaha untuk menjalani hari demi hari, meskipun jalan yang ia pilih terasa penuh dengan ketidakpastian.

Salah satu cara Alya menyembuhkan dirinya adalah dengan bepergian. Ia memutuskan untuk mengunjungi beberapa tempat yang selalu ingin ia datangi, yang selama ini ia tunda karena terlalu sibuk dengan kehidupan yang lalu. Perjalanan ini bukan hanya untuk melupakan, tetapi untuk menemukan kembali apa yang membuatnya merasa hidup. Setiap tempat baru yang ia kunjungi memberinya perspektif baru tentang dunia dan tentang dirinya sendiri.

Salah satu tempat yang paling berkesan baginya adalah sebuah pulau kecil yang terletak di pinggiran kota. Alya menghabiskan beberapa hari di sana, menikmati keindahan alam yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Di pantai yang sepi, ia duduk sambil memandang laut yang luas, dan untuk pertama kalinya, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar dari segala kebingungannya.

Di tengah perjalanan itu, Alya menyadari bahwa dirinya tidak pernah benar-benar memberi kesempatan untuk dirinya sendiri untuk tumbuh dan menemukan kedamaian. Selama ini, ia terlalu fokus pada hubungan yang telah runtuh, pada pengkhianatan yang telah terjadi. Namun, dalam keheningan alam, Alya merasa bahwa ia berhak untuk bahagia lagi, berhak untuk mencintai dirinya sendiri, tanpa bergantung pada orang lain.

Setelah kembali dari perjalanan itu, Alya mulai mengubah pola pikirnya. Ia mulai lebih sering meluangkan waktu untuk dirinya sendiri, mengeksplorasi hobi-hobi yang selama ini ia abaikan, dan memperdalam hubungannya dengan teman-temannya. Ia juga kembali berkomunikasi dengan keluarganya yang telah lama tidak ia hubungi karena sibuk dengan kehidupan pribadi.

Hari demi hari, Alya merasa sedikit demi sedikit ada perubahan dalam dirinya. Meski luka itu belum sepenuhnya sembuh, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Ia belajar untuk tidak lagi memandang masa lalu dengan penyesalan yang mendalam, tetapi dengan penerimaan. Baginya, proses ini bukanlah tentang melupakan apa yang telah terjadi, tetapi tentang bagaimana ia bisa bangkit kembali dan berjalan maju.

Alya tahu bahwa ia tidak bisa menghindari masa lalu selamanya. Kenangan tentang Reza, tentang kebohongan dan pengkhianatan, akan tetap ada. Namun, yang lebih penting baginya sekarang adalah bagaimana ia bisa menghargai diri sendiri, mempercayai dirinya kembali, dan membangun hidup yang lebih baik tanpa harus terikat oleh masa lalu yang menyakitkan.

“Proses ini memang tidak mudah,” pikir Alya, “tapi setiap langkah yang aku ambil membuatku lebih kuat. Aku tahu, suatu hari nanti, aku akan bisa sepenuhnya berdamai dengan diriku sendiri, dan dengan masa lalu.”

Dalam keheningan itu, Alya tersenyum tipis. Meskipun perjalanan ini belum selesai, ia merasa ada harapan baru yang menyinari hidupnya.*

Bab 9: Pertemuan Kembali yang Tak Terduga

Waktu berlalu, dan kehidupan Alya berjalan seperti aliran sungai yang mengalir tenang, meninggalkan jejak-jejak kenangan di sepanjang perjalanan. Ia sudah mulai menerima kenyataan, dan meskipun tidak sepenuhnya sembuh dari luka hatinya, ia merasa lebih kuat dan lebih siap untuk menjalani hidup. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk memperbaiki diri, untuk tumbuh lebih baik. Tetapi, seperti halnya waktu yang tak pernah bisa diprediksi, kehidupan pun terkadang memberikan kejutan yang tak terduga.

Pada suatu pagi yang cerah, Alya memutuskan untuk berkunjung ke sebuah acara peluncuran buku di sebuah kafe literasi yang cukup terkenal di kota. Ia sering mendengar tentang acara-acara seperti ini, tapi kali ini ia merasa tertarik untuk hadir. Sebagai seorang penulis, ia merasa penting untuk terus terhubung dengan dunia literasi dan berbagi pengalaman dengan sesama penulis. Tidak ada yang lebih membahagiakan baginya selain bisa berbicara tentang buku-buku, kata-kata, dan segala hal yang ia cintai.

Alya masuk ke dalam kafe, yang sudah dipenuhi oleh pengunjung dan penulis lain. Suasana hangat dan penuh semangat. Di sudut ruangan, ada beberapa meja yang dipenuhi oleh buku-buku baru yang dipamerkan. Alya berjalan perlahan, memilih sebuah meja kosong di dekat jendela, dan duduk dengan nyaman sambil menyeruput kopi. Wajahnya cerah, matanya penuh antusiasme, namun di hatinya masih ada ruang kosong yang terkadang terasa begitu hampa.

Tanpa diduga, seorang pria yang tengah mencari tempat duduk melangkah ke arah meja Alya. Alya sempat meliriknya sekilas, dan matanya tertuju pada pria yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Dalam sekejap, dunia seakan berhenti berputar. Itu adalah Reza.

Seluruh tubuh Alya terasa kaku, jantungnya berdegup kencang. Rasa cemas yang dulu sering menghantuinya kini kembali, tetapi kali ini dengan intensitas yang berbeda. Wajah Reza tampak lebih dewasa, dengan rambut yang sedikit lebih panjang dan kumis tipis yang memberikan kesan maskulin. Namun, yang paling mencolok adalah matanya, yang meskipun terlihat lelah, tetap memancarkan sebuah kedalaman yang Alya kenal sangat baik.

Alya tak tahu harus berkata apa. Hanya beberapa detik yang terasa seperti seabad saat mereka berdua saling menatap, seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka. Begitu banyak hal yang belum pernah terucapkan di antara mereka, dan kini semua itu terhenti dalam pertemuan yang tak terduga ini.

“Ini… Ini kebetulan sekali,” kata Reza, suara yang sedikit serak, seperti suara yang sudah lama tak terdengar.

Alya menelan ludah. Tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia merasa terjepit antara keinginan untuk meninggalkan tempat itu dan keinginan untuk mendengar apa yang akan dikatakan Reza.

“Boleh saya duduk di sini?” tanya Reza, mengangkat satu alisnya dengan ragu.

Alya mengangguk perlahan, mencoba untuk menenangkan dirinya. “Silakan,” jawabnya, suara yang lebih tenang daripada yang ia rasakan.

Reza duduk di hadapannya, dan beberapa detik berikutnya hanya diisi dengan keheningan canggung. Alya menatap cangkir kopinya, berusaha menghindari tatapan Reza yang penuh dengan pertanyaan.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Reza akhirnya, suaranya lebih lembut sekarang.

Alya menarik napas panjang. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, meskipun hatinya meronta-ronta.

Reza terlihat ragu, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku minta maaf, Alya. Aku tahu apa yang aku lakukan sangat salah, dan aku tahu aku tidak punya hak untuk meminta maaf setelah semua yang terjadi, tapi… Aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal.”

Kata-kata itu mengguncang hati Alya. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak mereka berpisah, namun perasaan yang ia pendam tidak pernah sepenuhnya hilang. Kenangan tentang pengkhianatan itu masih membekas di dalam dirinya, dan meskipun ia telah belajar untuk melepaskan, mendengar pengakuan itu membuatnya teringat akan semua luka yang ia rasakan dulu.

Namun, Alya sadar bahwa ia sudah tidak lagi menjadi orang yang sama. Luka-luka itu perlahan sembuh, dan ia belajar untuk tidak hidup dalam bayang-bayang masa lalu.

“Aku tahu kamu menyesal, Reza,” jawab Alya dengan suara yang lebih tenang dari yang ia rasakan. “Tapi itu tidak mengubah apa yang sudah terjadi. Aku sudah belajar untuk melepaskan, untuk bergerak maju.”

Reza mengangguk, wajahnya penuh penyesalan. “Aku mengerti. Aku tidak berharap kamu bisa memaafkan aku begitu saja, karena aku tahu aku tak pantas mendapatkan itu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku selalu menghargaimu. Aku tidak pernah berhenti memikirkanmu, bahkan setelah kita berpisah.”

Alya terdiam. Ia merasa ada sebuah perasaan campur aduk di hatinya. Di satu sisi, ia merasa lega mendengar pengakuan itu. Di sisi lain, ia merasa bingung. Bagaimana seharusnya ia merespons semua ini? Haruskah ia memberi kesempatan kedua pada Reza, atau cukupkah ini sebagai penutupan dari babak lama dalam hidupnya?

“Reza, aku… Aku sudah menemukan kedamaian dengan diriku sendiri,” kata Alya, akhirnya memilih kata-kata yang tegas. “Aku sudah belajar untuk tidak lagi terjebak dalam masa lalu. Aku tidak ingin mengulang lagi apa yang sudah terjadi.”

Mendengar itu, wajah Reza tampak sedih, namun ia hanya mengangguk pelan. “Aku mengerti, Alya. Aku menghargai keputusanmu.”

Beberapa saat kemudian, mereka berbicara tentang kehidupan masing-masing setelah berpisah. Reza menceritakan tentang pekerjaannya, perjalanan yang telah ia lalui, dan bagaimana ia akhirnya belajar untuk lebih menghargai hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup. Alya pun menceritakan perjalanannya, tentang bagaimana ia menemukan kebahagiaannya sendiri dan menjalani hidup yang lebih mandiri.

Alya tidak tahu apakah ini adalah pertemuan terakhir mereka, ataukah ini hanya awal dari sebuah babak baru dalam hidupnya. Namun, yang ia tahu adalah bahwa pertemuan ini memberinya kesempatan untuk melepaskan semuanya. Ia tidak lagi membawa beban dari masa lalu. Ia bisa melihat Reza dengan hati yang lebih lapang, meskipun ada luka yang masih tersisa.

Saat mereka berpisah, Alya merasa tidak ada rasa benci lagi dalam hatinya. Ada kedamaian, sebuah perasaan yang datang setelah bertahun-tahun berjuang dengan kenangan yang menyakitkan. Reza mengucapkan selamat tinggal dengan tulus, dan Alya merespons dengan senyuman yang lebih lepas.

“Semoga kamu bahagia, Reza,” kata Alya, dan dengan itu, ia meninggalkan kafe, melangkah maju dengan harapan baru, siap menghadapi masa depan yang lebih cerah.*

Bab 10: Meninggalkan Masa Lalu dan Melangkah Maju

Setelah pertemuan dengan Reza yang tak terduga itu, Alya merasa seperti ada sebuah beban yang telah terangkat dari hatinya. Meskipun mereka tidak bersama lagi, dan meskipun begitu banyak waktu yang terbuang di antara mereka, ia tahu bahwa pertemuan itu adalah salah satu langkah penting dalam proses penyembuhannya. Pada akhirnya, Alya sadar bahwa ia tidak perlu lagi terikat pada masa lalu untuk melangkah maju.

Alya menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan merenung dan menilai kembali hidupnya. Ia merasa lebih ringan, meskipun ada rasa rindu yang kadang datang tanpa bisa dikendalikan. Namun, ia telah belajar untuk menerima perasaan-perasaan itu dan tidak membiarkannya menguasai hidupnya. Setiap kenangan dengan Reza, baik yang indah maupun yang menyakitkan, kini hanya tinggal menjadi bagian dari cerita lama yang harus ia lepaskan.

Pagi itu, Alya memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota. Udara pagi yang segar dan angin yang berhembus lembut membuatnya merasa tenang. Ia sering datang ke taman ini untuk menenangkan pikirannya. Tempat ini selalu memberi ketenangan, seolah-olah alam ikut mendengarkan keluh kesahnya. Sambil berjalan di antara pepohonan yang rindang, Alya merasa seolah-olah ia mulai menemukan dirinya kembali. Semua kebingungannya perlahan mereda.

Di salah satu bangku taman, Alya duduk dan menatap langit biru yang begitu jernih. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar mengisi paru-parunya. Hari itu ia merasa berbeda, seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur panjang dan siap untuk menjalani hidup dengan lebih bijaksana.

“Selamat pagi, Alya,” suara seorang teman yang datang menghampiri menyadarkan Alya dari lamunannya.

Alya menoleh dan melihat Dara, teman lama yang sudah lama tidak ia temui. Dara adalah salah satu orang yang sangat mendukung Alya selama masa-masa sulitnya. Mereka dulu sering berbicara tentang segala hal, dan Dara selalu menjadi tempat yang aman untuk berbagi perasaan.

“Dara, apa kabar?” tanya Alya dengan senyuman. Tanpa disadari, senyuman itu terasa lebih tulus daripada yang biasa ia tunjukkan beberapa waktu lalu.

“Aku baik, kamu bagaimana? Sudah lama tidak bertemu,” jawab Dara sambil duduk di samping Alya.

Alya menghela napas, sedikit merenung sebelum akhirnya berkata, “Aku… aku merasa lebih baik. Ada banyak hal yang aku pelajari dari masa lalu. Aku sudah siap untuk melepaskan semuanya dan melangkah maju.”

Dara menatapnya dengan penuh perhatian, seolah-olah ingin memastikan bahwa Alya benar-benar merasa siap untuk melepaskan masa lalu yang kelam. “Aku sangat bangga padamu, Alya. Kamu selalu kuat, bahkan ketika kamu merasa rapuh.”

Alya tersenyum, mata penuh kehangatan. “Terima kasih, Dara. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, tapi aku merasa aku harus membuka halaman baru dalam hidupku.”

Percakapan mereka berlanjut dengan lebih ringan, membicarakan hal-hal sederhana yang mengingatkan Alya pada betapa banyaknya kebahagiaan kecil yang sering kali terlewat begitu saja. Dara pun mulai bercerita tentang perjalanannya, tentang impian-impian yang kini mulai diwujudkannya. Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, dan seketika itu, ia menyadari betapa banyak kesempatan yang masih menunggunya di luar sana.

Ketika mereka berpisah, Alya merasa lebih lega. Ia tidak lagi merasa terbelenggu oleh kenangan masa lalu yang menyakitkan. Ia tahu bahwa ia telah melewati salah satu fase terbesar dalam hidupnya, dan kini saatnya untuk membuka lembaran baru.

Beberapa minggu kemudian, Alya merasa kehidupannya semakin membaik. Ia kembali menulis, sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan setelah segala perasaan yang menguras energi. Menulis memberinya kebebasan, dan ia merasa bisa mengekspresikan dirinya tanpa ada hambatan. Dalam setiap kata yang ia tulis, Alya merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri, dengan dunia yang ia inginkan.

Suatu sore, ketika sedang duduk di kafe favoritnya sambil menulis, Alya mendapat pesan dari ibunya yang memberitahukan bahwa ada kesempatan kerja yang menarik di sebuah penerbitan buku. Alya tahu bahwa kesempatan ini mungkin adalah jalan baru yang bisa membuka pintu bagi masa depan yang lebih cerah. Tanpa ragu, ia segera mengirimkan aplikasi dan berharap yang terbaik.

Pada malam hari, Alya duduk di balkon apartemennya, merenung sejenak. Ia merasa sangat bersyukur bisa melewati semuanya. Kehidupannya kini jauh berbeda dari sebelumnya. Meski masih ada masa-masa sulit, ia tahu bahwa ia memiliki kekuatan untuk menghadapinya. Yang terpenting, Alya kini lebih mengenal dirinya, lebih mampu menerima kekurangannya, dan lebih siap menghadapi tantangan yang akan datang.

Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari sebuah nomor yang tidak dikenal. Alya menatap layar sejenak, ragu untuk membuka pesan tersebut. Tetapi, rasa ingin tahu membuatnya menekan tombol baca. Ternyata, itu adalah pesan dari Reza.

“Maaf mengganggu. Aku tahu ini sudah lama, tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Aku berharap kamu menemukan kebahagiaan yang pantas kamu dapatkan.”

Alya terdiam. Kata-kata itu mengingatkannya pada masa lalu yang telah ia coba lupakan, tetapi kali ini, ia tidak merasa terluka. Ia hanya tersenyum lembut, lalu membalas pesan itu.

“Terima kasih, Reza. Aku juga berharap kamu menemukan apa yang kamu cari. Semoga kita semua bahagia.”

Setelah itu, Alya menutup ponselnya dan menatap ke depan, ke langit malam yang penuh dengan bintang. Ia merasa tenang. Kehidupan sudah memberinya banyak pelajaran, dan meskipun ada banyak hal yang tidak bisa diprediksi, ia merasa siap untuk menjalani semuanya.

Meninggalkan masa lalu bukanlah hal yang mudah, tetapi Alya tahu bahwa dengan setiap langkah yang diambil, ia semakin mendekati kebahagiaan yang sejati. Ia sudah siap untuk melangkah maju, meninggalkan bayang-bayang masa lalu, dan meraih masa depan yang penuh harapan.***

————THE END————

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #CintaYangTerkhianati #JanjiYangTakDitepati #PatahHati #PengkhianatanCinta #Kehilangan
Previous Post

SURAT DARI SINI

Next Post

DALAM BAYANGAN JARAK

Related Posts

” KETIKA CINTA MENJADI SEBUAH ILUSI “

” KETIKA CINTA MENJADI SEBUAH ILUSI “

April 30, 2025
MATA YANG PURA – PURA BUTA, HATI YANG MENIKAM DIAM – DIAM

MATA YANG PURA – PURA BUTA, HATI YANG MENIKAM DIAM – DIAM

April 29, 2025
SEMENTARA AKU BERJUANG, KAU MENOREHKAN PISAU

SEMENTARA AKU BERJUANG, KAU MENOREHKAN PISAU

April 28, 2025
DIBALIK SENYUM, ADA LUKA YANG TAK TERLIHAT

DIBALIK SENYUM, ADA LUKA YANG TAK TERLIHAT

April 27, 2025
” CINTA YANG TERKHIANATI DI ANTARA JANJI DAN REALITA “

” CINTA YANG TERKHIANATI DI ANTARA JANJI DAN REALITA “

April 26, 2025
JEJAK PENGHIANATAN

JEJAK PENGHIANATAN

February 6, 2025
Next Post
DALAM BAYANGAN JARAK

DALAM BAYANGAN JARAK

JEJAK PENGHIANATAN

JEJAK PENGHIANATAN

Terpesona Pada Pandangan Pertama

Terpesona Pada Pandangan Pertama

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id