Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA YANG TERJUAL

CINTA YANG TERJUAL

SAME KADE by SAME KADE
February 3, 2025
in Penghianatan Cinta
Reading Time: 20 mins read
CINTA YANG TERJUAL

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal yang Menjanjikan
  • Bab 2: Bayang-Bayang Keraguan
  • Bab 3: Jejak Pengkhianatan
  • Bab 4: Pilihan Yang Sulit
  • Bab 5: Pengkhianatan yang Mendalam
  • Bab 6: Pergulatan Hati
  • Bab 7: Cinta yang Terjual

Bab 1: Awal yang Menjanjikan

Rania duduk di sudut kafe yang tenang, menatap keluar jendela besar yang menghadap ke jalan raya yang sibuk. Hujan turun dengan pelan, menyapu jalanan dengan lembut, menciptakan suara yang menenangkan di tengah hiruk-pikuk kota. Pikirannya melayang kembali ke beberapa bulan yang lalu, ke saat di mana hidupnya terasa begitu sempurna, begitu penuh harapan.

Dia mengenal Aditya pertama kali saat mereka kuliah di universitas yang sama. Rania yang pemalu, tak pernah menyangka akan bertemu dengan seseorang seperti Aditya, seorang pria yang bisa membuat hatinya berdebar hanya dengan satu senyuman. Aditya adalah sosok yang karismatik, cerdas, dan memiliki kemampuan untuk membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Sejak pertama kali bertemu di sebuah seminar kampus, mereka langsung merasa ada ikatan yang tak bisa dijelaskan.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Rania menemukan dirinya semakin dekat dengan Aditya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, belajar untuk ujian, berbicara tentang impian, dan tertawa tanpa alasan yang jelas. Aditya selalu ada untuknya, memberikan perhatian lebih, seakan dunia hanya milik mereka berdua. Tak jarang Rania merasa seolah-olah dia adalah satu-satunya wanita di dunia ini bagi Aditya.

Pada suatu sore yang cerah, Aditya mengajak Rania berjalan-jalan di taman kampus, di tempat yang biasa mereka kunjungi untuk berbicara tentang segala hal. Di bawah pohon rindang, Aditya tiba-tiba memegang tangan Rania dan menatapnya dengan tatapan yang penuh arti.

“Rania,” kata Aditya, suaranya terdengar serius. “Aku ingin kamu tahu, aku merasa sangat beruntung bisa mengenalmu. Kamu bukan hanya teman, kamu lebih dari itu. Aku ingin kita terus bersama, lebih dari sekedar teman.”

Rania terdiam sejenak, jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu, Aditya?”

Aditya tersenyum lembut, menggenggam tangan Rania dengan erat. “Aku ingin kita menjadi pasangan. Aku ingin kita menjalani masa depan bersama-sama, saling mendukung dan berbagi impian. Aku ingin kamu menjadi bagian dari hidupku, Rania.”

Rania merasa terkejut dan terharu mendengar pengakuan itu. Mereka berdua sudah saling mengenal cukup lama, tetapi tak pernah membicarakan perasaan yang lebih dalam. Ketika Aditya mengungkapkan perasaannya, Rania merasa seperti dunia berhenti sejenak. Semua perasaan yang selama ini ia pendam akhirnya terungkap.

“Aditya…” Rania melanjutkan, suaranya sedikit gemetar. “Aku juga merasa hal yang sama. Aku ingin kita berdua bersama, menjalani hidup ini bersama-sama.”

Sejak saat itu, hubungan mereka berubah menjadi lebih dari sekadar teman. Mereka mulai merencanakan masa depan, berbicara tentang pernikahan, rumah impian, dan anak-anak. Setiap kali mereka berbicara tentang masa depan, mata mereka berbinar dengan semangat, dan dunia terasa begitu cerah dan penuh kemungkinan.

Aditya selalu memberi perhatian yang lebih kepada Rania. Setiap kali Rania merasa ragu atau takut tentang sesuatu, Aditya selalu ada untuk memberinya dukungan dan kepercayaan diri. Rania merasa bahwa dia telah menemukan pria yang tepat, seseorang yang akan selalu ada untuknya, seseorang yang akan melindunginya dan mendampinginya dalam setiap langkah hidup.

Suatu hari, di sebuah restoran kecil yang mereka pilih untuk merayakan ulang tahun pertama hubungan mereka, Aditya memberi Rania sebuah hadiah yang istimewa. Hadiah itu bukanlah barang mewah, namun lebih dari sekadar benda. Aditya memberikan sebuah buku catatan kosong, dengan sampul kulit berwarna coklat yang tampak sederhana namun elegan.

“Ini untuk kamu,” kata Aditya dengan senyum yang tulus. “Aku ingin kita berdua menulis kisah kita bersama, memulai perjalanan kita bersama. Setiap halaman di buku ini adalah kenangan kita, dan aku berharap kita bisa mengisi setiap lembar dengan kebahagiaan.”

Rania merasa terharu. Dia menerima buku itu dengan tangan gemetar, matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Aditya. Ini sangat berarti bagiku.”

Mereka menghabiskan malam itu dengan berbicara tentang masa depan yang penuh harapan, berbicara tentang impian-impian mereka yang ingin diwujudkan. Rania merasa bahwa dia telah menemukan kebahagiaan yang sejati, sesuatu yang selama ini dia impikan. Bersama Aditya, dunia seolah menjadi lebih indah.

Namun, di balik kebahagiaan yang terpancar, Rania tidak tahu bahwa ada bayang-bayang ketidakpastian yang perlahan mulai menghampiri hubungan mereka. Aditya mulai menunjukkan perubahan sikap yang kecil namun signifikan. Dia menjadi lebih sibuk dengan pekerjaannya, sering terlambat membalas pesan, dan kadang terlihat jarang menghubungi Rania tanpa alasan yang jelas.

Rania mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, berharap bahwa ini hanya fase sementara. Namun, ada perasaan yang tumbuh dalam hatinya, perasaan yang tidak bisa dia abaikan. Bayang-bayang keraguan mulai muncul, meskipun dia berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja.

Di tengah kebahagiaan yang masih terasa, Rania tidak tahu bahwa perubahan kecil yang mulai terjadi pada Aditya adalah pertanda dari sesuatu yang lebih besar yang akan datang dalam hubungan mereka. Sebuah pengkhianatan yang tak terduga, yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Tetapi untuk saat ini, Rania masih menjalani hari-hari penuh kebahagiaan, menikmati masa-masa indah bersama Aditya, tanpa menyadari bahwa badai besar akan segera menghampiri.*

Bab 2: Bayang-Bayang Keraguan

Rania duduk di sudut kamarnya, matanya menatap kosong ke arah layar ponsel yang tergeletak di atas meja. Sudah lebih dari setengah jam ia menunggu pesan dari Aditya, tapi hingga saat ini, tidak ada satu pun notifikasi yang muncul. Dulu, Aditya selalu cepat membalas pesannya, tak pernah membiarkan Rania menunggu lebih dari beberapa menit. Namun belakangan ini, kebiasaan itu mulai berubah.

Setiap kali Rania menelepon atau mengirim pesan, ada jeda yang lebih lama sebelum Aditya membalasnya. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkan hal tersebut, rasa cemas mulai merayapi hatinya. Apakah Aditya sedang sibuk dengan pekerjaan? Atau ada hal lain yang membuatnya menjauh?

Suara dering ponsel yang tiba-tiba membuyarkan lamunan Rania. Dengan cepat, ia meraih ponselnya, berharap itu adalah pesan dari Aditya. Namun, ternyata itu bukanlah pesan yang ia tunggu-tunggu. Sebuah pesan singkat dari sahabatnya, Sarah, yang menanyakan kabar.

Rania tersenyum tipis, lalu dengan cepat membalas pesan itu. Meskipun ia merasa sedikit lega, perasaan cemas tentang Aditya tetap membayangi pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ada jarak yang semakin terasa antara mereka?

Sore itu, setelah pulang dari kampus, Rania memutuskan untuk mengunjungi kafe yang biasa ia datangi bersama Aditya. Tempat itu adalah kenangan manis bagi mereka berdua—tempat di mana mereka pertama kali menghabiskan waktu bersama dan berbicara tentang impian-impian mereka. Rania berharap, mungkin dengan datang ke sana, ia bisa merasa sedikit lebih baik, mengingat kembali saat-saat indah bersama Aditya yang seakan semakin jauh.

Saat ia duduk di meja yang biasa mereka tempati, Rania merasakan angin sepoi-sepoi yang masuk lewat jendela besar. Suasana kafe itu tetap sama seperti dulu—tenang, nyaman, dan penuh dengan aroma kopi yang mengundang. Namun, kali ini, semuanya terasa berbeda. Suasana yang dulu penuh kehangatan kini terasa dingin dan sunyi, seakan bayang-bayang keraguan mulai merasuki setiap sudut hatinya.

Rania mengeluarkan ponselnya, menatap layar yang masih kosong. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Bahkan ketika ia mencoba menghubungi Aditya tadi pagi, teleponnya tidak dijawab. Sesuatu dalam hatinya berkata bahwa ini bukanlah kebetulan. Rania mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Aditya hanya sibuk, tetapi sesuatu yang lebih dalam mengatakan bahwa ada yang tidak beres.

Setelah beberapa saat, Rania memutuskan untuk pergi. Namun, ketika ia berjalan keluar dari kafe, matanya tertumbuk pada sebuah pemandangan yang membuat dadanya terasa sesak. Di luar kafe, di pinggir jalan yang tidak jauh dari tempat ia berdiri, ia melihat Aditya sedang berbicara dengan seorang wanita yang tampak asing baginya. Wanita itu tersenyum ceria, sementara Aditya terlihat begitu ramah, bahkan menatap wanita itu dengan tatapan yang hangat.

Rania terhenti sejenak di tempatnya, merasa seperti ada yang tertinggal di hatinya. Ia tidak tahu mengapa, tetapi melihat mereka berdua membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Wanita itu tampaknya sangat akrab dengan Aditya, lebih akrab daripada yang pernah Rania rasakan.

Aditya tertawa, lalu mengusap rambut wanita itu dengan lembut—tindakannya begitu alami, seakan sudah lama mereka saling mengenal. Rania merasa hatinya seperti terjepit, seolah-olah ada sesuatu yang terlepas begitu saja. Rasa cemas yang sempat ia abaikan kini berubah menjadi rasa sakit yang menusuk, membuatnya tidak tahu harus berbuat apa.

Sebelum ia sempat melangkah lebih dekat untuk memastikan, Aditya berbalik dan melihat Rania berdiri di dekat pintu kafe. Seketika, tatapan mereka bertemu, dan Rania merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Aditya—sesuatu yang sulit ia pahami. Tanpa berkata apa-apa, Aditya buru-buru mel告gkukan percakapan dengan wanita itu, lalu bergegas menghampiri Rania.

“Rania,” panggil Aditya dengan nada yang terdengar agak terburu-buru. “Kenapa kamu di sini?”

Rania hanya bisa menatapnya, mencoba untuk menyembunyikan perasaan yang mengganggu hatinya. “Aku hanya… datang untuk minum kopi,” jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar.

Aditya tampak tidak nyaman, sedikit terkejut dengan sikap Rania yang berbeda dari biasanya. “Oh, baiklah,” katanya ragu, seakan berusaha mengalihkan perhatian Rania dari situasi yang baru saja terjadi. “Aku… aku sedang bersama teman lama. Dia kebetulan lewat, jadi aku hanya menyapa sebentar.”

Rania mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatinya dipenuhi oleh tanya. Teman lama? Sejak kapan Aditya memiliki teman wanita yang begitu dekat? Kenapa selama ini tidak ada satu pun percakapan mengenai wanita itu?

“Baiklah,” jawab Rania singkat, mencoba menahan emosinya. “Aku pergi dulu, Aditya. Nanti kita bicara lagi.”

Tanpa menunggu jawaban dari Aditya, Rania berbalik dan berjalan cepat keluar dari kafe, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai bercampur aduk di dalam dirinya. Ia merasa bingung, terluka, dan kehilangan arah. Sesampainya di rumah, Rania langsung masuk ke kamar dan duduk di atas tempat tidurnya, membenamkan wajah ke telapak tangan, mencoba menenangkan diri.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya. Apa sebenarnya yang terjadi antara Aditya dan wanita itu? Mengapa ia merasa semakin jauh? Rania berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanya kesalahpahaman, namun bayang-bayang ketidakpastian terus mengikutinya, membuatnya semakin terjebak dalam kebingungannya. Apa yang seharusnya ia percayai? Apa yang seharusnya ia lakukan untuk mengatasi keraguan ini?*

Bab 3: Jejak Pengkhianatan

Hari-hari setelah pertemuan yang tak terduga di kafe itu terasa berat bagi Rania. Hatinya penuh dengan keraguan, dan pikirannya terus dihantui oleh gambar Aditya bersama wanita itu. Setiap kali ia mencoba untuk berhubungan dengan Aditya, rasa cemas yang mendalam selalu datang. Ia merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan darinya—sesuatu yang mungkin tak ingin ia ketahui. Namun, perasaan itu semakin sulit diabaikan.

Rania berusaha untuk tetap tenang, berpikir bahwa mungkin ia hanya terlalu cemas dan memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Tetapi, semakin lama, perasaan itu semakin menjadi-jadi. Pagi itu, ketika ia membuka media sosial, ia melihat sesuatu yang membuat hatinya terasa hancur. Sebuah foto yang diunggah oleh Aditya beberapa jam yang lalu, menunjukkan dirinya dan wanita itu, berdiri bersama di sebuah tempat yang tampaknya adalah restoran mewah. Mereka berdua tersenyum lebar, dengan tatapan yang begitu akrab dan hangat. Tak ada yang salah dengan gambar itu—kecuali kenyataan bahwa wanita itu bukanlah siapa-siapa yang pernah dikenalkan oleh Aditya.

Rania menatap foto itu dengan tatapan kosong, tubuhnya terasa lemas, dan rasa sakit yang mendalam mulai meresap ke dalam dadanya. Apa yang sedang terjadi? Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik hubungan mereka? Ia tidak bisa lagi menutup mata terhadap kenyataan ini—sesuatu yang begitu jelas namun sulit untuk diterima.

Tanpa pikir panjang, Rania memutuskan untuk menghubungi Aditya. Ia menunggu dengan gelisah, berharap kali ini ia bisa mendapatkan penjelasan yang melegakan. Namun, yang datang justru sebuah pesan singkat dari Aditya: “Rania, aku ada sesuatu yang perlu dibicarakan. Bisa kita bertemu malam ini?”

Rania merasa kebingungannya semakin meningkat. Kenapa harus malam ini? Apa yang ingin Aditya katakan? Apakah ini saatnya untuk menghadapi kebenaran yang selama ini ia hindari?

Sore itu, Rania berjalan ke tempat yang sudah mereka sepakati. Sebuah taman yang selalu menjadi tempat mereka bertemu, tempat di mana mereka saling berbicara tentang impian dan harapan mereka. Namun, kali ini suasana terasa sangat berbeda. Taman yang dulu penuh dengan tawa dan canda kini tampak sunyi, seakan menyimpan rahasia yang berat. Rania duduk di bangku taman dengan perasaan yang tak karuan, menunggu Aditya datang.

Beberapa menit kemudian, Aditya muncul. Wajahnya tampak cemas, dan langkahnya terlihat ragu. Ia menghampiri Rania, lalu duduk di sampingnya, tanpa mengatakan apa-apa.

Rania tidak bisa menahan diri lebih lama. “Aditya,” katanya dengan suara yang tegang, “Siapa wanita itu? Kenapa kamu bersikap begitu akrab dengannya? Apa yang sebenarnya terjadi?”

Aditya tampak terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menghela napas panjang, seakan mempersiapkan diri untuk sesuatu yang tidak bisa dihindari. “Rania, aku tahu ini berat, tapi ada yang harus aku katakan,” ucapnya dengan nada yang pelan. “Wanita itu, namanya Clara. Dia… dia adalah temanku. Kami sudah lama saling mengenal.”

Rania menatapnya dengan penuh kekecewaan. “Tapi kenapa aku tidak pernah tahu tentang dia? Kenapa baru sekarang kamu memberitahuku?”

Aditya terdiam sejenak, seakan mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku tidak ingin kamu merasa cemas atau berpikir yang tidak-tidak. Tapi, Clara bukan hanya temanku, Rania. Dia adalah seseorang yang pernah sangat dekat denganku di masa lalu. Kami… kami sempat bersama.”

Hati Rania terasa terhantam oleh pengakuan itu. “Jadi, kalian pernah…?” tanyanya, suaranya bergetar. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons semua ini. Setiap kata yang keluar dari mulut Aditya semakin membuatnya merasa seperti ada dunia yang runtuh di sekelilingnya.

“Ya,” jawab Aditya, dengan wajah yang penuh penyesalan. “Kami pernah bersama, tetapi itu sudah lama sekali. Aku tidak ingin kamu tahu tentang ini, karena aku takut kamu akan merasa terluka. Aku sudah memilihmu, Rania. Kamu yang aku cintai sekarang, bukan Clara.”

Rania terdiam. Kata-kata Aditya bagaikan hantaman petir yang menyambar hatinya. Semua perasaan indah yang pernah ada, kini terasa seperti sebuah kebohongan. Ia merasa seperti dibohongi sepanjang waktu, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik hubungan mereka.

“Kamu tahu,” lanjut Aditya, “Setelah aku memutuskan hubungan dengan Clara, aku berusaha keras untuk melupakan masa lalu itu. Aku tidak ingin ada halangan antara kita. Tapi ternyata, Clara datang lagi, dan itu membuat aku merasa bingung. Aku tidak tahu harus bagaimana.”

Rania menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir saja jatuh. “Jadi, kamu masih… merasa bingung? Apa kamu masih mencintainya, Aditya?”

Aditya terdiam. Ia menatap Rania dengan tatapan yang sulit dibaca. “Aku tidak tahu, Rania. Aku hanya tahu bahwa aku sangat mencintaimu, tapi Clara datang dan membuat semuanya rumit.”

Rania merasakan hatinya terpecah, seperti ada sesuatu yang hancur begitu saja. Ia merasa seolah-olah telah diperdaya, dipermainkan, dan kini segala harapan yang pernah ia punya tentang masa depan bersama Aditya semakin memudar.

“Jadi, ini yang kamu sebut sebagai cinta?” tanya Rania, suaranya serak. “Cinta yang terjual oleh kebingungan? Kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan, dan aku yang harus menderita karenanya?”

Aditya tampak terkejut dengan kata-kata Rania, tetapi ia tidak bisa membantah apa yang dikatakan. “Aku minta maaf, Rania. Aku benar-benar tidak bermaksud melukaimu. Aku hanya…”

“Jangan,” potong Rania dengan suara yang tajam. “Jangan beri aku alasan lagi. Aku tidak ingin mendengar itu.”

Dengan air mata yang tertahan, Rania berdiri dan berbalik, berjalan meninggalkan Aditya yang masih duduk di bangku taman. Aditya mencoba untuk memanggilnya, tetapi langkah Rania semakin jauh, seakan menghapus jejak-jejak kenangan yang pernah mereka buat bersama.

Di tengah malam yang sunyi, Rania merasa seperti sedang berjalan dalam kegelapan, tanpa arah, tanpa harapan. Semuanya terasa hancur begitu saja. Ia baru saja mengetahui kebenaran yang tak terduga—sebuah pengkhianatan yang datang dari orang yang paling ia percayai. Kini, ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa cinta yang ia percayai selama ini ternyata tak lebih dari sekadar bayangan semu.*

Bab 4: Pilihan Yang Sulit

Rania berjalan tanpa tujuan, langkahnya terasa berat seiring dengan beban di dalam hatinya. Setelah percakapan yang penuh emosi dengan Aditya tadi, ia merasa dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar. Kenyataan yang baru saja terungkap membuatnya ragu untuk mempercayai apapun—terutama perasaan yang pernah ia yakini begitu tulus.

Ia memutuskan untuk pergi ke tempat yang selalu ia kunjungi saat merasa bingung—taman yang tenang di pinggir kota. Di sana, ia bisa merenung dan berusaha menenangkan pikiran. Udara sore yang sejuk terasa menenangkan, meskipun hati Rania terasa gundah. Ia duduk di bangku yang menghadap ke danau kecil yang tenang, memandang permukaan air yang beriak perlahan.

“Apa yang harus aku lakukan?” bisiknya pada dirinya sendiri. “Aku mencintainya, tetapi dia… dia juga menyimpan rahasia. Apa yang lebih penting—cinta atau kepercayaan?”

Rania memejamkan mata sejenak, mencoba merenung. Aditya adalah pria yang pernah membuatnya merasa istimewa. Mereka berbagi banyak kenangan indah, tertawa bersama, merencanakan masa depan. Namun, kini semuanya terasa berbeda. Ada sebuah luka yang dalam, yang sulit untuk disembuhkan. Apa yang terjadi antara mereka bukanlah sekadar sebuah kesalahpahaman atau ketidaksepakatan kecil. Ini adalah sebuah pengkhianatan, dan pengkhianatan sering kali meninggalkan bekas yang sulit hilang.

“Apakah aku masih bisa mempercayainya?” pikirnya. “Apakah cinta yang kami punya cukup kuat untuk mengatasi keraguan yang ada?”

Tiba-tiba, sebuah suara memecah kesunyian di sekitarnya. “Rania?”

Rania menoleh, melihat sahabat baiknya, Dina, yang datang menghampiri dengan senyuman lebar. Dina tahu betul apa yang terjadi antara Rania dan Aditya, dan sepertinya ia sudah menunggu saat yang tepat untuk berbicara.

“Dina,” ujar Rania dengan suara pelan, “Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu harus berpikir apa. Aku merasa… bingung. Semua yang aku percayai terasa seperti kebohongan.”

Dina duduk di samping Rania, memandangnya dengan penuh perhatian. “Aku tahu ini sulit, Rania. Kamu sangat mencintainya, dan melihat dia bersama wanita lain pasti sangat menyakitkan. Tapi kamu harus ingat, tidak semua hal bisa diperbaiki dengan cinta. Terkadang, kita harus memilih untuk melindungi diri sendiri.”

Rania menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. “Tapi aku tidak bisa begitu saja melepaskannya. Aku merasa kehilangan bagian dari diriku ketika aku berpikir untuk pergi darinya. Aku masih mencintainya, Dina.”

Dina menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku tahu. Dan itu adalah alasan kenapa kamu harus berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri—apa yang lebih penting, Rania? Cinta atau kepercayaan? Apakah kamu masih bisa mempercayai dia setelah semua yang telah terjadi?”

Rania terdiam, merasa seolah-olah ada kekosongan di dalam hatinya. Cinta, bagi dirinya, selalu berarti mempercayai satu sama lain tanpa ragu. Tapi kini, kepercayaan itu telah terkoyak, dan apa yang tersisa hanyalah rasa sakit yang mendalam. Apakah ia bisa melupakan semuanya dan memberi Aditya kesempatan kedua? Atau akankah ia lebih memilih untuk mengakhiri hubungan ini demi melindungi dirinya sendiri dari rasa sakit lebih lanjut?

“Aku tahu ini tidak mudah,” lanjut Dina, “Tapi kamu harus ingat, Rania, kamu punya harga diri. Tidak ada yang bisa membuatmu merasa seperti kamu tidak cukup baik. Jika dia benar-benar mencintaimu, dia harus menunjukkan itu dengan lebih dari sekadar kata-kata.”

Rania memandangi temannya, mencoba mencerna apa yang telah dikatakannya. Dalam hati kecilnya, ia tahu Dina benar. Tetapi keputusan untuk melangkah pergi dari Aditya bukanlah hal yang bisa dilakukan dengan mudah. Cinta itu rumit, dan setiap perasaan yang ada di dalam dirinya terasa bercampur aduk. Ada rasa sakit, ada kemarahan, dan ada pula kerinduan yang begitu dalam.

Setelah beberapa saat hening, Rania berbicara lagi, suaranya terdengar lebih tenang. “Aku tahu kamu benar, Dina. Aku harus memilih apa yang terbaik untukku. Tapi, bagaimana jika aku menyesal jika aku pergi? Bagaimana jika aku kehilangan kesempatan untuk memperbaiki semuanya?”

Dina tersenyum lembut. “Terkadang, kita harus membuat keputusan yang sulit, meskipun kita takut akan konsekuensinya. Tapi kamu tidak bisa mengorbankan kebahagiaanmu hanya untuk seseorang yang belum bisa memberimu kebahagiaan yang sama. Kamu pantas mendapatkan cinta yang penuh kepercayaan dan penghargaan.”

Rania mengangguk perlahan, merasakan sebuah kedamaian yang mulai meresap ke dalam dirinya. Meskipun hati kecilnya masih terasa bimbang, kata-kata Dina memberinya keberanian untuk melihat ke depan. Ia sadar bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian, tidak bisa terus menunggu janji-janji yang tidak pernah benar-benar diwujudkan.

Saat senja mulai menyelimuti taman dengan cahaya keemasan, Rania merasakan sebuah tekad mulai tumbuh di dalam dirinya. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya. Entah itu tetap bersama Aditya dan mencoba memperbaiki semuanya, atau pergi dan mencari kebahagiaannya sendiri, jauh dari rasa sakit dan kebohongan.

Akhirnya, Rania memutuskan untuk pulang. Malam itu, ia akan berpikir dengan lebih jernih. Ia harus meluangkan waktu untuk dirinya sendiri, memberi kesempatan pada hatinya untuk pulih dan menyembuhkan luka-luka yang ada. Mungkin, jawabannya tidak akan datang dengan mudah, tetapi ia tahu satu hal—ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang keraguan dan pengkhianatan.

Keputusan ini tidak akan mudah. Rania tahu bahwa apapun yang ia pilih, ia harus siap menghadapi konsekuensinya. Tetapi, di balik semua itu, ia menyadari satu hal yang penting—ia harus mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum bisa mencintai orang lain dengan sepenuh hati.*

Bab 5: Pengkhianatan yang Mendalam

Rania duduk termenung di kursinya, pandangannya kosong menatap jendela. Hujan turun dengan deras, seakan mencerminkan perasaannya yang kacau. Setiap tetes air yang jatuh dari langit terasa seperti beban yang semakin menekan dadanya. Ia telah mendengar pengakuan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya—Aditya, kekasihnya yang selama ini ia percayai, ternyata telah mengkhianatinya dengan cara yang tak pernah ia duga.

Semuanya bermula beberapa hari yang lalu ketika Rania tanpa sengaja menemukan pesan-pesan singkat di ponsel Aditya. Awalnya, ia hanya penasaran karena melihat adanya notifikasi pesan yang tak pernah sempat dibaca. Namun, saat ia membuka pesan-pesan itu, dunia yang ia kenal seakan runtuh.

Pesan-pesan itu jelas bukan untuknya. Mereka adalah pesan antara Aditya dan seorang wanita lain, yang bahkan tidak pernah ia kenal. Rania merasa jantungnya berhenti berdetak sejenak ketika membaca kalimat-kalimat manis yang tertulis di sana—kata-kata yang seharusnya hanya diucapkan untuknya, kini digunakan untuk wanita lain.

Saat itu, Rania tahu bahwa ia tidak bisa hanya berpura-pura tidak melihatnya. Dia harus menghadapi kenyataan, meskipun kenyataan itu begitu sulit diterima. Setelah berhari-hari merasa bingung dan tertekan, akhirnya ia memutuskan untuk bertemu dengan Aditya dan menghadapi semuanya.

Malam itu, mereka bertemu di sebuah kafe yang sering mereka kunjungi bersama. Rania mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatinya terasa begitu rapuh. Saat Aditya datang, senyumnya yang hangat seakan tak mampu menutupi ketegangan di dalam dirinya.

“Rania, apa kabar?” tanya Aditya dengan nada yang penuh perhatian. Rania melihat mata Aditya yang tampak begitu jujur, namun hatinya sudah terlalu terluka untuk bisa mempercayai apa pun yang keluar dari bibirnya.

“Aku tahu apa yang terjadi, Aditya,” ujar Rania pelan, suaranya hampir terdengar seperti bisikan. Ia mencoba menahan air matanya, meskipun hatinya terasa hancur. “Aku tahu tentang wanita itu.”

Aditya terdiam, seakan tidak tahu bagaimana harus menjawab. Wajahnya berubah pucat, dan untuk pertama kalinya Rania melihat ketakutan yang nyata di matanya. Ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya, seolah-olah ia tahu bahwa ia tak bisa lagi menutupi kebenaran.

“Rania, aku… aku bisa jelaskan semuanya,” ujar Aditya, mencoba meraih tangan Rania, namun ia menariknya dengan cepat. Rania menatapnya dengan tatapan tajam.

“Jelaskan? Apa yang bisa kamu jelaskan, Aditya? Semua sudah jelas!” suara Rania mulai bergetar, dan air mata yang ia tahan akhirnya jatuh juga. “Kamu… kamu telah mengkhianatiku, dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku memberi kepercayaan sepenuhnya padamu, dan ini yang aku dapatkan?”

Aditya menghela napas panjang, matanya penuh dengan penyesalan. “Aku tidak bermaksud untuk membuatmu merasa terluka. Aku… aku sudah salah, Rania. Aku membuat keputusan yang bodoh.”

“Keputusan bodoh?” Rania tertawa pahit. “Aditya, kamu tahu apa yang lebih bodoh dari itu? Semua janji-janji yang kamu buat, semua kata-kata indah yang kamu ucapkan… semuanya ternyata hanya dusta. Kamu sudah merusak segalanya.”

Aditya menundukkan kepala, tampaknya sulit untuk menghadapi kenyataan bahwa semua yang telah dibangunnya dengan Rania kini runtuh dalam sekejap. Rania menatapnya, perasaan kecewa dan sakit hati mencuat begitu dalam. Pengkhianatan ini jauh lebih dalam daripada yang ia bayangkan.

“Apa kamu mencintainya?” tanya Rania dengan suara yang hampir tak terdengar. Ia sudah tidak peduli lagi dengan jawaban Aditya, tetapi ia merasa harus mendengar sendiri kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Aditya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. “Tidak, Rania… aku tidak mencintainya. Aku… aku hanya terjebak dalam kesalahan yang aku buat. Aku mencintaimu, tapi aku tak tahu kenapa aku bisa melakukan ini.”

“Jadi, kamu merasa lebih baik dengan mengkhianatiku, karena kamu ‘terjebak’?” suara Rania semakin keras. “Kamu menghancurkan semuanya, Aditya. Cinta yang aku beri padamu… itu semua tidak ada artinya, ya?”

Air mata yang turun di pipinya kini tak bisa lagi ditahan. Rania merasa dunia sekitarnya mulai gelap, dan ia ingin segera keluar dari situasi ini. Ia merasa begitu disakiti, merasa bahwa hatinya dihancurkan oleh seseorang yang telah ia percayai sepenuhnya. Semua kenangan indah yang mereka bangun bersama kini terasa seperti mimpi buruk yang tidak ingin ia ingat lagi.

“Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan lagi,” kata Aditya dengan suara rendah. “Aku sangat menyesal, Rania. Aku benar-benar menyesal.”

Namun, bagi Rania, penyesalan itu sudah tidak ada artinya. Kata-kata itu tidak akan bisa menghapus rasa sakit yang ia rasakan. Cinta yang ia miliki telah dipermainkan, dan kini ia harus memutuskan bagaimana melangkah ke depan. Tidak ada lagi tempat untuk pengkhianatan dalam hidupnya.

“Aku tidak bisa melanjutkan ini, Aditya,” ujarnya dengan suara tegas. “Aku tidak bisa hidup dengan bayang-bayangmu yang selalu mengingatkan aku pada pengkhianatan ini. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diri, dan aku tidak bisa bersama orang yang telah mengkhianatiku seperti ini.”

Aditya terdiam, tampak patah hati. “Rania, tolong… jangan pergi.”

“Aku tidak bisa lagi mempercayaimu,” jawab Rania, sebelum akhirnya bangkit dan meninggalkan kafe itu dengan langkah pasti. Ia tahu bahwa meninggalkan Aditya adalah pilihan yang paling sulit dalam hidupnya, tetapi itu adalah satu-satunya jalan agar ia bisa kembali menemukan dirinya sendiri.

Setiap langkah yang ia ambil semakin terasa berat, namun Rania tahu bahwa pengkhianatan yang telah terjadi adalah titik balik dalam hidupnya. Ia harus melangkah maju, meninggalkan masa lalu yang penuh dengan kebohongan dan mencari kebahagiaan yang layak ia dapatkan.*

Bab 6: Pergulatan Hati

Rania berjalan menyusuri trotoar dengan langkah berat, tubuhnya terasa begitu lelah, tetapi hatinya jauh lebih lelah daripada fisiknya. Suara langkahnya yang menggema di jalanan sepi seakan mencerminkan kesunyian yang menyelimuti pikirannya. Meninggalkan Aditya adalah keputusan yang paling sulit dalam hidupnya, tetapi perasaan yang mengikutinya jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan.

Setelah pertemuan itu di kafe, Rania mencoba untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan dan teman-temannya. Ia tahu, agar bisa melupakan semua ini, ia harus menjauhkan diri dari semua kenangan yang mengikatnya dengan Aditya. Tetapi semakin keras ia berusaha untuk mengabaikan perasaannya, semakin kuat pula suara hatinya yang berbisik, memanggilnya untuk kembali kepada pria yang pernah ia cintai. Aditya.

Di malam-malam sepi, Rania sering terbangun dan menemukan dirinya berpikir tentang Aditya. Wajahnya, senyumnya, dan kenangan-kenangan indah yang mereka lewati bersama datang menghampirinya dalam bayangan yang sangat jelas. Ia merindukan waktu-waktu bahagia itu, saat semua terasa begitu sempurna. Namun, setiap kali rasa itu muncul, ia langsung tersadar. Aditya telah mengkhianatinya, dan kenangan indah itu sekarang menjadi sebuah luka yang begitu dalam.

Ia berusaha untuk menutup pintu hatinya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa perpisahan adalah keputusan yang benar. Namun, setiap kali ia mengingat pengkhianatan itu, ada rasa sakit yang begitu mendalam yang menghantui jiwanya. Rasanya seakan ada dua kekuatan yang saling bertarung di dalam hatinya. Di satu sisi, ada keinginan untuk melupakan semuanya, untuk menjalani hidup tanpa beban. Namun, di sisi lain, ada perasaan yang tidak bisa diingkari, perasaan cinta yang masih tersisa.

Pagi itu, Rania duduk di balkon apartemennya, memandang jalanan yang ramai, namun hatinya terasa kosong. Ia meminum secangkir teh hangat sambil menatap langit yang cerah. Pikirannya melayang kembali pada Aditya—pada pria yang telah mengkhianatinya namun tetap memegang tempat di hatinya.

“Kenapa aku merasa seperti ini?” Rania bergumam pada dirinya sendiri. “Kenapa aku masih merindukannya, meskipun dia telah mengkhianatiku?”

Rania tahu bahwa perasaannya ini adalah bentuk kebingungannya yang paling dalam. Seperti dua kutub yang saling bertentangan, hatinya tidak bisa memilih antara meninggalkan Aditya selamanya atau memberi kesempatan pada perasaan yang masih ada. Cinta dan luka yang sama kuatnya mengikat hatinya, membuatnya terjebak dalam dilema yang tak kunjung berakhir.

Adakah cinta yang masih bisa bertahan setelah sebuah pengkhianatan besar seperti itu? Adakah jalan untuk kembali setelah segalanya hancur? Semua pertanyaan itu terus menghantui Rania, dan setiap kali ia mencoba untuk memikirkannya dengan tenang, hatinya menjadi semakin gelisah.

Teman-temannya sering mengajak Rania untuk keluar, mengobrol, atau sekadar jalan-jalan agar ia bisa melupakan semua perasaan itu. Mereka mengerti betapa beratnya Rania, tetapi mereka juga tahu bahwa Rania tidak bisa terus menerus terjebak dalam masa lalu. Mereka ingin melihatnya bahagia kembali, tetapi apakah itu mungkin terjadi? Rania sendiri tidak tahu.

Di malam yang sunyi, Rania menerima pesan singkat dari Aditya. Hatinya berdegup kencang saat melihat nama itu muncul di layar ponselnya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka berkomunikasi, dan pesan itu membuat perasaan Rania campur aduk. Apakah ini saat yang tepat untuk mendengarkan penjelasannya, ataukah ia hanya akan terluka lebih dalam?

Tangan Rania terasa berat ketika ia mulai mengetik balasan. Namun, ia tahu bahwa untuk bisa melangkah maju, ia harus mendengarkan apa yang ingin dikatakan Aditya. Mungkin ini adalah cara untuk menutup semua luka, atau mungkin untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik pengkhianatannya. Ia tak ingin terjebak dalam ketidakpastian ini lebih lama lagi.

Dengan hati yang berdebar, Rania menekan tombol kirim dan menunggu. Waktu terasa sangat lama, dan ia merasa seperti berada di ujung jurang. Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering. Aditya membalas.

“Rania, aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya. Aku benar-benar menyesal. Aku telah membuat kesalahan besar dan merusak segalanya. Aku tahu aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu. Jika ada kesempatan, aku ingin memperbaiki semuanya.”

Rania membaca pesan itu berulang kali, mencoba memahami setiap kata yang tertulis. Ada penyesalan di sana, ada permintaan maaf, tetapi di sisi lain, ada keraguan. Bagaimana mungkin ia bisa mempercayai seseorang yang telah menghancurkan hatinya? Apakah mungkin ada kesempatan kedua untuk mereka?

Tetesan air mata mulai mengalir di pipinya. Rania tidak tahu harus bagaimana lagi. Hatinya ingin percaya bahwa cinta mereka masih ada, bahwa semua ini bisa diperbaiki. Tetapi pikirannya menyadarkan bahwa pengkhianatan itu tidak bisa begitu saja dilupakan. Tidak ada kata-kata yang bisa menghapus luka yang ada di dalam dirinya.

Dengan tangan yang gemetar, Rania menulis balasan singkat. “Aditya, aku… aku butuh waktu. Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan sekarang. Aku tidak bisa langsung memaafkanmu. Aku harus berpikir.”

Pesan itu ia kirimkan sebelum menatap kosong ke layar ponselnya. Ia merasa lelah, tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Setiap langkah yang ia ambil sekarang terasa penuh ketegangan, penuh keraguan. Adakah jalan untuk memperbaiki semuanya, atau apakah ini akhir dari segalanya?

Rania tahu bahwa ia harus membuat keputusan, dan itu adalah keputusan yang paling sulit dalam hidupnya. Tetapi, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa tidak ada jalan yang mudah. Sebuah pergulatan hati yang tak kunjung usai, antara cinta yang masih ada dan luka yang begitu dalam, mengguncang seluruh jiwanya.

Apakah ia akan memilih untuk memberi kesempatan pada Aditya lagi, ataukah ia akan memilih untuk melepaskannya dan melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang pengkhianatan itu?

Waktu akan menjawab semua pertanyaan itu, dan Rania tahu, apapun yang terjadi, ia harus siap untuk menghadapi kenyataan.*

Bab 7: Cinta yang Terjual

Waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Rania setelah pesan dari Aditya itu. Setiap hari, ia terjaga dalam kebingungannya sendiri, berusaha untuk menata pikirannya yang berantakan. Dunia di sekitarnya seolah bergerak tanpa peduli padanya, sementara hatinya terperangkap dalam labirin kebimbangan yang tak ada ujungnya.

Setiap kali ia bertemu dengan teman-temannya, mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam hatinya. Mereka hanya melihat seorang Rania yang tampak ceria, namun dalam hati, ia merasakan kehampaan yang luar biasa. Ia berusaha menyembunyikan semua perasaan itu, tetapi bayang-bayang Aditya tetap menghantuinya. Setiap kali ia melangkah, ia teringat akan kata-kata Aditya yang penuh penyesalan, namun di saat bersamaan, ada bagian dari dirinya yang merasa bahwa ia sudah kehilangan segalanya.

Rania mencoba untuk memulai hidup baru. Ia kembali fokus pada pekerjaannya, berkumpul dengan teman-teman, dan memaksakan diri untuk melupakan semua yang pernah terjadi. Namun, setiap kali ia merasa sedikit lebih baik, sebuah pesan atau kenangan kecil dari Aditya akan muncul, memaksanya untuk mengingat kembali semuanya. Pengkhianatan itu, meski sudah lama berlalu, tetap membekas dan sulit untuk dihapus.

Hingga suatu hari, Rania mendapat undangan untuk menghadiri sebuah acara amal yang diselenggarakan oleh salah satu klien perusahaannya. Tanpa banyak berpikir, ia memutuskan untuk pergi, berharap suasana baru bisa membantunya melupakan kekosongan yang ada dalam hatinya. Mungkin dengan berinteraksi dengan orang-orang baru, ia bisa sedikit mengalihkan perhatian dari semua yang telah terjadi.

Acara itu diadakan di sebuah ballroom megah di pusat kota. Suasana yang glamor dan elegan membuat Rania merasa seolah berada di dunia lain. Musik yang mengalun lembut, lampu-lampu yang bersinar hangat, dan percakapan santai di sekelilingnya membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Namun, meskipun dunia di sekitarnya begitu indah, hatinya tetap merasa kosong.

Rania berjalan pelan, memandangi tamu undangan yang saling berkenalan dan berbincang. Lalu, matanya tertuju pada satu sosok yang tidak asing baginya. Aditya. Pria yang telah menghancurkan hatinya. Ia berdiri di sisi bar dengan segelas wine di tangan, berbicara dengan seorang wanita yang mengenakan gaun merah menyala. Tawa mereka terdengar jelas di telinga Rania, meski jarak mereka cukup jauh.

Detak jantung Rania mendadak berpacu kencang. Tanpa sengaja, ia merasakan gelombang emosi yang begitu besar—marah, kecewa, dan bahkan terluka. Selama ini, ia berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa ia bisa melupakan Aditya, tetapi melihatnya lagi di depan matanya, bersama wanita lain, membuka kembali luka yang sudah ia coba sembunyikan.

Namun, Rania berusaha menenangkan dirinya. Ia tidak datang ke acara ini untuk mengurus masalah pribadinya. Ia datang untuk pekerjaan, dan itulah yang harus ia lakukan. Dengan napas dalam, ia memalingkan wajah dan melangkah pergi dari kerumunan, mencari tempat yang lebih sepi untuk menenangkan diri.

Beberapa saat kemudian, Rania berdiri di balkon luar ballroom, menikmati angin malam yang segar. Ia berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. Namun, ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa hatinya terasa hancur melihat Aditya begitu mudah melupakan mereka—melupakan cinta mereka. Rania merasa bahwa segala sesuatu yang mereka bangun bersama sudah terjual, seolah-olah cinta yang dulu begitu berharga kini hanya menjadi barang dagangan yang mudah dipindahtangankan kepada orang lain.

Tanpa disangka, seseorang mendekatinya dari belakang. Rania menoleh dan mendapati Aditya berdiri di sana, tatapan matanya serius dan penuh penyesalan. “Rania,” ucapnya dengan suara lembut. “Kau datang juga.”

Rania tidak tahu harus berkata apa. Semua perasaan yang ia coba pendam kini kembali muncul begitu saja. “Kamu… kamu benar-benar datang dengan wanita itu?” tanya Rania, suaranya bergetar.

Aditya terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Rania, aku tahu apa yang kau rasakan. Aku sudah membuat kesalahan besar, dan aku tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak pernah berniat menyakitimu. Wanita itu… dia hanya seseorang yang aku kenal, tapi kau tetap yang terpenting bagiku.”

Rania merasa perasaan yang campur aduk. Ia ingin marah, ingin mengusir Aditya dan mengatakan betapa terluka hatinya, namun ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tidak bisa melakukan itu. “Kau tahu, Aditya,” ujar Rania, berusaha menahan air mata yang hampir keluar. “Aku… aku ingin melupakanmu. Aku ingin melupakan semua kenangan tentang kita, tapi ternyata, aku tidak bisa. Aku merasa seperti cinta kita telah terjual, seperti sesuatu yang dulu sangat berharga kini hanya bisa dibuang begitu saja.”

Kata-kata Rania begitu jujur dan tajam, membuat Aditya terdiam, menatap Rania dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Aku tahu aku telah membuatmu merasa seperti itu. Aku sangat menyesal, Rania. Aku berharap bisa menghapus semuanya, bisa memperbaiki semuanya. Aku tahu, aku tidak bisa mengubah masa lalu kita, tapi aku ingin kamu tahu, aku masih mencintaimu.”

Rania menatap Aditya dengan mata yang basah. “Cinta yang mana, Aditya? Cinta yang kau jual dengan pengkhianatan itu? Cinta yang begitu mudah kau lepaskan hanya demi sebuah kebohongan?”

Aditya terdiam, seakan kata-kata Rania mengiris hatinya. Ia tahu, ia tak bisa lagi mendapatkan kepercayaan Rania. Cinta yang pernah ada antara mereka kini hanya sebuah kenangan yang pahit, yang tak akan pernah bisa diperbaiki.

Rania menarik napas panjang, berbalik dan melangkah pergi. “Aku tidak bisa lagi percaya padamu, Aditya. Cinta kita, yang dulu begitu indah, kini sudah terjual, dan aku tidak ingin kembali ke masa lalu.”

Aditya hanya bisa menatapnya dengan perasaan yang dalam. Ia tahu, ia telah kehilangan segalanya.

Saat Rania berjalan menjauh, hatinya terasa semakin berat. Ia tahu, ia telah membuat keputusan yang tepat, meskipun sangat sulit. Cinta yang pernah ia miliki telah terjual, dan kini, hanya ada jejak-jejak kenangan yang tak lagi berarti. Kini, ia harus melangkah maju, meskipun luka itu akan selalu ada.***

———-THE END———-

 

Previous Post

LAUTAN DIANTARA KITA

Next Post

Aku Masih Mencintaimu

Related Posts

” KETIKA CINTA MENJADI SEBUAH ILUSI “

” KETIKA CINTA MENJADI SEBUAH ILUSI “

April 30, 2025
MATA YANG PURA – PURA BUTA, HATI YANG MENIKAM DIAM – DIAM

MATA YANG PURA – PURA BUTA, HATI YANG MENIKAM DIAM – DIAM

April 29, 2025
SEMENTARA AKU BERJUANG, KAU MENOREHKAN PISAU

SEMENTARA AKU BERJUANG, KAU MENOREHKAN PISAU

April 28, 2025
DIBALIK SENYUM, ADA LUKA YANG TAK TERLIHAT

DIBALIK SENYUM, ADA LUKA YANG TAK TERLIHAT

April 27, 2025
” CINTA YANG TERKHIANATI DI ANTARA JANJI DAN REALITA “

” CINTA YANG TERKHIANATI DI ANTARA JANJI DAN REALITA “

April 26, 2025
JEJAK PENGHIANATAN

JEJAK PENGHIANATAN

February 6, 2025
Next Post
Aku Masih Mencintaimu

Aku Masih Mencintaimu

LANGIT YANG TERPISAH

LANGIT YANG TERPISAH

TERSENYUM DALAM KE SAKITAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id