Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

DIBAWAH BAYANG DENDAM

DIBAWAH BAYANG DENDAM

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 20 mins read
DIBAWAH BAYANG DENDAM

Daftar Isi

  • Bab 1 Bayang-Bayang Masa Lalu
  • Bab 2 Pertemuan yang Tak Terduga
  • Bab 3 Dendam yang Tak Terpendam
  • Bab 4 Menghadapi Kenangan yang Menghantui
  • Bab 5 Dilema Cinta dan Dendam
  • Bab 6 Penebusan dan Pengampunan

Bab 1 Bayang-Bayang Masa Lalu

Adila berdiri di depan jendela apartemennya, memandang kota yang sibuk di bawahnya. Langit sore yang cerah menggantung rendah, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan. Angin ringan menyentuh kulitnya, membawa aroma segar dari kebun bunga yang ditanam di balkon. Namun, meski suasana tampak damai, hatinya terasa berat. Seperti ada yang mengganjal, sesuatu yang terus mengikuti jejak langkahnya, membayangi setiap keputusan yang ia buat. Sesuatu yang tak pernah bisa ia lupakanmasa lalu yang pahit.

Tahun-tahun yang telah berlalu seakan tidak mampu menghapuskan kenangan itu. Kenangan tentang Rafael, pria yang pernah mengisi hidupnya dengan kebahagiaan dan cinta, hanya untuk pergi begitu saja tanpa memberi alasan. Tak ada kata perpisahan, tak ada penjelasan, hanya sebuah kehampaan yang mengisi ruang di hatinya. Itulah yang membuat Adila selalu terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, selalu merasakan seolah-olah ada sesuatu yang belum selesai. Bahkan setelah bertahun-tahun, perasaan itu masih tetap ada. Terkadang, Adila merasa seakan waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan lukanya. Dendam itu masih ada, tersembunyi, menunggu untuk diungkapkan.

Ia meletakkan cangkir teh di meja sampingnya dan kembali menatap pemandangan kota yang tak pernah berubah. Jalanan yang ramai dengan mobil, gedung-gedung tinggi yang menjulang, dan hiruk-pikuk kehidupan yang terus berjalan. Semua orang seakan melupakan masa lalu mereka dan terus melangkah ke depan. Namun, Adila tahu, baginya, masa lalu itu selalu mengikuti. Setiap keputusan, setiap langkah yang diambil, selalu dibayangi oleh perasaan yang belum ia selesaikan. Perasaan yang datang bersama nama Rafael.

Adila mengingat pertama kali bertemu dengan Rafael. Itu adalah musim panas yang indah, saat ia baru saja lulus kuliah dan memulai kariernya di perusahaan besar. Ia bertemu Rafael di sebuah acara perusahaan, di antara tumpukan undangan dan riuhnya percakapan bisnis. Mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang kehidupan, dan entah bagaimana, percakapan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih. Rafael yang tampan, dengan senyum hangat dan mata yang dalam, langsung membuat hatinya berdegup kencang. Di antara keramaian itu, mereka berdua merasa seolah-olah dunia berhenti berputar.

Malam itu, mereka menghabiskan waktu berdua, berjalan di tepi danau yang tak jauh dari tempat acara. Angin malam yang sejuk, lampu-lampu kota yang berkelip, dan suara air yang mengalir membuat Adila merasa seakan berada di dunia mereka berdua. Di sana, mereka berbicara lebih banyak tentang masa depan, tentang impian, dan tentang hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berbicara dengan seseorang yang seolah memahami siapa dirinya, tanpa perlu banyak kata.

Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin dekat. Setiap hari Adila merasa semakin jatuh cinta pada Rafael. Ia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Rafael adalah sosok yang tak hanya pandai berbicara, tetapi juga seorang pendengar yang baik. Ia selalu membuat Adila merasa dihargai dan dicintai, meskipun dunia di luar sana penuh dengan ketidakpastian.

Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sementara. Tak ada yang pernah bisa menebak apa yang ada di dalam hati seseorang, dan Rafael ternyata menyimpan sesuatu yang besar, sesuatu yang akhirnya membuat mereka berpisah tanpa penjelasan. Suatu hari, Rafael tiba-tiba menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada pesan, tidak ada alasan. Seolah-olah ia menghilang dari dunia ini begitu saja, meninggalkan Adila dengan banyak pertanyaan yang tidak terjawab.

Adila mencoba menghubunginya, menelepon dan mengirim pesan, namun semuanya sia-sia. Tidak ada jawaban. Seminggu, sebulan, dan akhirnya berbulan-bulan berlalu, namun Rafael tetap tak bisa ditemukan. Rasa sakit itu datang perlahan, dan Adila harus menerima kenyataan bahwa ia telah ditinggalkan tanpa alasan. Luka itu begitu dalam, hingga ia merasa tidak ada yang bisa menghapusnya. Dendam itu terus tumbuh, seperti benih yang tak pernah mati. Rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu, menghantui setiap langkah hidupnya.

Seiring berjalannya waktu, Adila berusaha melanjutkan hidupnya. Ia menutup hati, berfokus pada kariernya, dan berusaha untuk tidak memikirkan Rafael. Namun, bayang-bayang masa lalu itu selalu datang, seolah mengingatkannya bahwa ada sesuatu yang belum selesai. Setiap kali ia bertemu seseorang yang memiliki karakter sedikit mirip dengan Rafael, perasaan itu kembali muncul. Setiap kali ia mendengar nama Rafael disebut, hatinya berdegup kencang, meskipun ia berusaha untuk menutupi perasaannya.

Tahun demi tahun berlalu, dan Adila mulai membangun kehidupan baru. Ia bekerja keras dan berhasil mencapai banyak hal, namun hati kecilnya tetap merasa kosong. Ada kekosongan yang tak bisa ia penuhi, sesuatu yang hilang tanpa alasan yang jelas. Rasa sakit itu tetap ada, meskipun ia berusaha untuk tidak membicarakannya. Adila tahu, ia tidak akan bisa benar-benar melanjutkan hidupnya jika ia tidak menghadapi bayang-bayang masa lalu itu. Namun, bagaimana mungkin ia bisa melupakan sesuatu yang begitu mendalam, yang begitu menghancurkan?

Hari itu, saat Adila sedang menyelesaikan pekerjaan di kantornya, ia menerima sebuah pesan singkat yang membuatnya terkejut. Nama itu muncul di layar ponselnya Rafael. Untuk sesaat, ia merasa dunia seakan berhenti berputar. Ia hampir tidak percaya bahwa setelah bertahun-tahun, Rafael kembali menghubunginya. Rasa marah dan rindu bercampur aduk dalam dirinya. Apa yang ia inginkan setelah semua yang terjadi? Mengapa sekarang? Mengapa setelah semua waktu ini, dia kembali muncul dalam hidupnya?

Adila memegang ponsel itu erat-erat, jantungnya berdebar kencang. Pesan itu hanya berisi beberapa kalimat singkat, namun cukup untuk membuatnya merasa bingung dan cemas.

“Adila, aku tahu sudah lama sekali kita tidak berhubungan, dan aku sangat menyesal. Aku ingin bertemu dan menjelaskan semuanya. Aku berharap kita bisa berbicara, jika kamu bersedia.”

Adila menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Dendam itu kembali muncul dalam dirinya, menghantui setiap detik hidupnya. Apakah ia harus membuka kembali pintu yang telah ia tutup begitu lama? Ataukah ia harus melupakan semuanya dan melanjutkan hidupnya tanpa Rafael?

Satu hal yang pasti bayang-bayang masa lalu itu tidak akan mudah pergi begitu saja.*

Bab 2 Pertemuan yang Tak Terduga

Adila duduk di meja kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang mulai mendingin di depan mata. Pagi ini, ia merasa lebih tenang dari biasanya. Setiap hari di kantor terasa begitu padat, begitu penuh dengan tenggat waktu dan tugas-tugas yang menumpuk. Mungkin inilah yang dibutuhkan sedikit ketenangan. Mungkin itu pula yang membuatnya datang ke kafe ini pagi-pagi. Tempat ini selalu memberi rasa nyaman, jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Suara mesin kopi yang berdenting, percakapan kecil antar pengunjung, dan aroma biji kopi yang dipanggang segar semuanya terasa seperti terapi bagi Adila.

Namun, ketenangannya tak berlangsung lama. Ponselnya bergetar, sebuah pesan singkat muncul di layar. “Rafael ingin bertemu denganmu. Apakah kamu siap?” Itu adalah pesan dari Dina, sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu. Dina adalah satu-satunya orang yang tahu betul tentang luka yang masih terpendam dalam hati Adila. Tentu saja, Dina juga tahu bahwa nama Rafael akan selalu membangkitkan kenangan yang dalam.

Adila menarik napas dalam-dalam, meremas ponsel di tangannya. Rasa cemas yang sempat hilang tiba-tiba kembali hadir. Tidak, ini tidak bisa terjadi. Rafael sudah pergi begitu lama, dan dia tidak punya hak untuk kembali mengganggu hidupnya. Namun, meskipun ia ingin sekali menekan tombol “hapus pesan” dan melupakan semuanya, Adila tahu rasa ingin tahu itu menguasainya. Bagaimana mungkin ia bisa menutup mata terhadap kesempatan untuk tahu alasan di balik kepergian Rafael yang begitu mendalam?

Dengan hati yang berdebar, ia mengetik balasan singkat, “Kapan?” dan menekan kirim.

Tepat pada siang hari itu, di tempat yang tidak pernah Adila duga di sebuah restoran kecil yang tak jauh dari kantornya—Rafael menunggunya. Ketika Adila melangkah masuk ke restoran, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Rafael duduk di salah satu meja, mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat lebih dewasa dan matang dari terakhir kali mereka bertemu. Rambutnya yang dulu acak-acakan kini terawat rapi, dan tatapan matanya, meskipun tak terhapuskan dari ingatannya, terlihat lebih dalam, lebih serius.

Adila merasa seperti waktu berhenti sejenak. Ia merasa seperti kembali ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka pertama kali bertemu—terasa begitu dekat, namun begitu jauh. Suasana yang dulu penuh dengan tawa dan kebahagiaan, kini terasa begitu canggung dan penuh ketegangan. Hati Adila berdebar lebih kencang dari yang ia inginkan, meski ia berusaha keras untuk tetap tenang.

Rafael berdiri ketika melihat Adila, senyum lembut yang dulu selalu bisa menenangkan perasaannya kini terasa begitu asing. Ada semacam keheningan yang menyelimuti mereka berdua, seperti ada dinding tebal yang terbentuk antara mereka sejak perpisahan itu terjadi. Adila tidak tahu harus berkata apa. Semua kata-kata yang pernah ia persiapkan untuk mengatakan padanya kini hilang begitu saja.

“A-Adila…” Rafael akhirnya membuka suara, suaranya serak, seolah sudah bertahun-tahun ia menahan kata-kata itu. “Aku tahu ini mungkin… tiba-tiba dan tak terduga, tapi aku harap kamu bisa memberi aku kesempatan untuk menjelaskan.”

Adila hanya mengangguk perlahan. Ia duduk, menjaga jarak, meskipun jantungnya berdebar hebat. Apa yang bisa dia katakan? Apa yang bisa dia dengar dari Rafael sekarang? Semua yang ada di pikirannya adalah pertanyaan yang tak terjawab, namun satu hal yang pasti ia tidak bisa lagi menghindar.

“Kamu terlihat berbeda,” kata Adila, mencoba membuka percakapan dengan kalimat yang ringan meskipun hatinya terasa berat. “Wajahmu, ekspresimu semua seperti… lebih tenang.”

Rafael tersenyum pahit. “Aku berubah, Adila. Begitu banyak yang terjadi sejak terakhir kali kita bertemu. Aku ingin memberi tahu kamu, mengapa aku pergi dan mengapa aku meninggalkanmu tanpa alasan.”

Adila menatapnya tajam, mengingat setiap detail dari perasaan yang pernah ia miliki untuk Rafael. Betapa ia mencintainya, betapa ia berharap semuanya akan berakhir dengan bahagia. Namun, kenyataan berkata lain. Rafael pergi begitu saja, tanpa memberi penjelasan, tanpa meninggalkan jejak. Itu adalah salah satu keputusan terbesar yang pernah diambil Adila, namun ia harus merasakan bahwa itu adalah sebuah pengkhianatan.

“Apa yang kamu katakan ini… tidak mudah untuk dicerna, Rafael,” kata Adila, suaranya hampir tidak terdengar. “Kamu tahu, kan? Betapa sakitnya itu untukku. Tidak ada penjelasan, tidak ada alasan. Kamu hanya… menghilang begitu saja dari hidupku. Kamu tahu itu kan?”

Rafael menundukkan kepala, seolah mencoba menanggung beban yang lama ia sembunyikan. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Dan aku sangat menyesal, Adila. Aku benar-benar menyesal telah meninggalkanmu tanpa penjelasan yang pantas. Aku tahu kamu pasti merasa… dibuang begitu saja. Dan itu salah. Sungguh salah.”

Adila merasa ada sesuatu yang berubah dalam sikap Rafael. Ia terlihat lebih rapuh, lebih manusiawi dari yang ia ingat. Adila tidak bisa menahan diri untuk bertanya, meskipun hatinya terasa kaku.

“Apa yang terjadi, Rafael? Mengapa kamu pergi? Mengapa kamu meninggalkanku tanpa mengatakan apapun?” tanya Adila, nadanya sedikit tajam, tetapi itu adalah pertanyaan yang selalu menghantuinya.

Rafael menarik napas dalam-dalam, seolah ia sudah lama menunggu saat ini. “Aku punya alasan, Adila, tapi itu bukan alasan yang mudah untuk dijelaskan. Aku… terpaksa pergi karena suatu hal yang sangat pribadi. Aku tidak ingin kamu terlibat dalam masalahku, dan aku pikir saat itu, cara terbaik adalah… pergi. Aku tahu itu mungkin membuatmu merasa dibuang, dan itu adalah keputusan yang salah. Tapi aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana waktu itu.”

Adila terdiam. Kata-kata itu menggantung di udara, dan meskipun ia ingin mendengar lebih banyak, rasa marah dan kecewa itu tetap menghantuinya. Sebuah bagian dari dirinya ingin melepaskan perasaan itu, ingin memaafkan, tetapi bagian lain bagian yang terluka dan terpendam begitu dalam terus mempertanyakan apakah ia harus memberi kesempatan kedua pada pria yang telah meninggalkannya begitu saja.

Rafael menatapnya dengan mata penuh penyesalan, “Aku tahu aku tidak pantas untuk meminta maaf, tapi aku ingin kamu tahu, Adila, bahwa aku selalu menyesali keputusan itu. Dan aku ingin memperbaikinya, jika kamu memberi aku kesempatan.”

Adila menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang mulai meluap. Rasa sakit itu kembali datang, begitu tajam, namun ada juga rasa rindu yang tak bisa ia abaikan. Dendam itu masih ada, namun perasaan cinta itu juga tidak sepenuhnya hilang.

“Adila,” kata Rafael, suara tegasnya mengalun, “aku tidak akan meminta kamu untuk memaafkan aku sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ingin melakukan yang terbaik untuk memperbaiki semuanya. Kalau kamu bersedia, kita bisa mulai dari awal lagi.”

Adila memandangnya dalam-dalam. Matanya basah, tetapi ia berusaha menahan air mata. Ia tahu, ia harus membuat keputusan besar. Bayang-bayang masa lalu yang begitu gelap, begitu menyakitkan, akhirnya kembali muncul. Dan ia harus memilih, apakah ia akan melanjutkan hidupnya tanpa Rafael atau memberi kesempatan untuk sebuah permulaan baru.

Namun, satu hal yang pasti pertanyaan besar yang selama ini mengganggunya, akhirnya terjawab.*

Bab 3 Dendam yang Tak Terpendam

Adila berjalan keluar dari restoran dengan langkah yang terasa berat. Setiap detik yang berlalu setelah pertemuan itu seolah semakin menambah beban di dadanya. Begitu banyak kata-kata yang telah diucapkan Rafael, begitu banyak penjelasan yang diberikan, namun ada satu hal yang tetap menggantung dalam hatinya apakah ia bisa memaafkan semuanya?

Dendam itu, yang dulu ia kira telah terkubur dalam-dalam, kini muncul kembali, menuntut perhatian. Perasaan yang begitu lama ia sembunyikan, kini menjadi beban yang hampir tak tertahankan. Setiap kali ia mencoba untuk melangkah maju, bayang-bayang masa lalu itu terus mengikuti, memaksanya untuk menghadapi kenyataan yang telah lama ia hindari.

Adila memutuskan untuk pulang ke apartemennya, mencoba menenangkan pikiran. Namun, meskipun ia duduk di ruang tamunya yang sunyi, pikirannya tak kunjung tenang. Setiap kali ia menutup mata, wajah Rafael muncul. Senyum itu, tatapan mata yang penuh penyesalan, kata-kata permintaannya untuk diberi kesempatan kedua semua itu terus berputar di pikirannya, menambah rasa sakit yang sudah lama ia coba lupakan.

Kenangan itu datang begitu jelas. Kenangan tentang saat mereka pertama kali bertemu, saat Rafael dengan mudah mencuri perhatian hatinya, dan saat ia merasa seolah hidupnya sempurna hanya karena ada Rafael di sampingnya. Namun, kebahagiaan itu hancur begitu cepat, tanpa peringatan. Seperti badai yang datang tanpa suara, menghancurkan segala sesuatu yang ada di depannya.

Ia tak pernah benar-benar mengerti mengapa Rafael pergi begitu saja. Tak ada penjelasan, tak ada alasan. Hanya sebuah kehilangan yang begitu mendalam, yang seolah menghisap semua energi dari dalam dirinya. Untuk waktu yang lama, Adila terjebak dalam rasa sakit itu, mencoba untuk bertahan hidup di tengah rasa kecewa yang mendalam. Setiap kali ia mencoba untuk move on, bayang-bayang Rafael selalu muncul, seperti hantu yang tak pernah benar-benar pergi.

Dendam itu adalah perasaan yang sulit untuk didefinisikan. Bukan hanya tentang kepergian Rafael, tetapi juga tentang rasa tertipu, tentang perasaan seolah-olah ia telah dibuang begitu saja setelah semua yang telah mereka jalani bersama. Mengapa Rafael tidak memberinya kesempatan untuk tahu alasan di balik kepergiannya? Mengapa ia harus menghadapi semua ini sendirian, tanpa ada penjelasan yang layak?

Rafael bilang bahwa ia pergi karena alasan pribadi. Tapi apa itu? Apa yang begitu besar sehingga ia harus menghilang begitu saja? Kenapa ia tidak memberitahunya, kenapa ia tidak membiarkan Adila tahu? Sebuah pertanyaan yang terus mengusik hati Adila, sebuah luka yang tidak pernah benar-benar sembuh.

Tapi hari ini, semuanya mulai terasa berbeda. Perasaan itu, yang selama ini terpendam begitu dalam, akhirnya terungkap. Ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya—sebuah ledakan emosi yang sulit untuk ia kontrol. Perasaan marah, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu. Semuanya mengarah pada satu titik—Rafael. Dan yang lebih mengejutkan, Adila menyadari bahwa ia tidak hanya merasa marah padanya. Ada perasaan lain yang juga datang—rasa sakit yang luar biasa karena ia merasa telah dibuang begitu saja.

“Kenapa, Rafael?” Adila bergumam pelan, seolah berbicara pada bayangannya yang semakin jelas. “Kenapa kamu pergi begitu saja? Apa yang salah dengan aku? Apakah aku tidak cukup baik untukmu?”

Pikiran-pikiran itu berputar tanpa henti di dalam kepala Adila. Rasa marahnya semakin membesar, membuat dada terasa sesak. Ia merasa dibohongi, dipermainkan, dan yang lebih parah terlupakan. Semua perasaan itu, yang ia coba sembunyikan selama bertahun-tahun, kini muncul dengan begitu kuat. Setiap kenangan indah bersama Rafael berubah menjadi luka yang tak pernah benar-benar ia sembuhkan.

Adila tahu bahwa ia tidak bisa terus menerus hidup dalam dendam ini. Tetapi, bagaimana bisa ia melupakan semua yang telah terjadi? Bagaimana bisa ia melupakan rasa sakit yang Rafael sebabkan padanya? Tidak ada penjelasan yang memadai, tidak ada kata-kata yang cukup untuk menyembuhkan luka itu.

Pagi itu, setelah pertemuan dengan Rafael, Adila merasa bingung. Ada keinginan untuk memaafkan, tetapi ada juga perasaan yang begitu berat untuk melepaskan. Dendam itu telah mengakar begitu dalam dalam dirinya, sehingga meskipun ia ingin melanjutkan hidupnya, perasaan itu terus mengikutinya, seperti bayangan yang tak pernah hilang.

Ia merasa seperti telah memberi banyak bagian dari dirinya untuk Rafael. Semua momen indah yang mereka bagi, semua kebahagiaan yang mereka rasakan, ternyata berakhir dengan cara yang begitu menyakitkan. Kepergian Rafael bukan hanya menyisakan rasa kehilangan, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan Adila pada cinta. Apakah cinta selalu berakhir seperti ini? Apakah seseorang yang ia cintai bisa begitu saja pergi tanpa penjelasan? Dan apakah ia cukup kuat untuk menghadapinya?

Adila berbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit. Ia bisa merasakan perasaan itu lagi dendam yang tak terpendam. Rasanya begitu berat, seolah ia sedang terperangkap dalam perasaan yang tak bisa ia lepaskan. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menghadapi perasaan itu, menghadapinya dengan jujur dan terbuka. Tetapi bagaimana caranya? Bagaimana ia bisa berdamai dengan perasaan yang begitu dalam dan membekas?

Lama kelamaan, Adila mulai menyadari sesuatu dendam yang selama ini ia rasakan bukan hanya tentang kepergian Rafael. Dendam itu lebih besar dari itu. Ia merasa dibuang, merasa tak dihargai, dan yang lebih parah ia merasa dirinya tidak cukup berarti bagi seseorang yang pernah ia cintai dengan segenap hati. Namun, ia juga tahu bahwa hidup tidak bisa terus berhenti karena rasa sakit ini. Ada masa depan yang harus ia hadapi, ada keputusan-keputusan yang harus ia buat.

Meski begitu, ia harus mengakui bahwa perasaan itu perasaan marah, kecewa, dan terluka adalah bagian dari dirinya. Adila harus belajar untuk melepaskan dan memaafkan, meskipun itu terasa sangat sulit. Dalam hatinya, ia tahu bahwa hanya dengan memaafkan dirinya sendiri, ia bisa benar-benar melanjutkan hidupnya. Dan mungkin, hanya dengan menghadapi dendam yang terpendam ini, ia bisa menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.

Namun, untuk saat ini, Adila masih terjebak dalam perasaan itu. Dendam yang tak terpendam ini, seolah menjadi bagian dari siapa dirinya, dan ia tahu bahwa ia tidak akan bisa benar-benar melupakan Rafael begitu saja. Bayang-bayangnya akan selalu ada, mengingatkannya akan kenangan indah dan luka yang begitu dalam.

Dendam itu belum berakhir, dan Adila tahu, bahwa untuk menutup babak ini, ia harus siap untuk menghadapi masa lalu yang masih menghantuinya.*

Bab 4 Menghadapi Kenangan yang Menghantui

Adila duduk di balkon apartemennya, menyandarkan punggungnya pada dinding yang dingin. Langit malam begitu tenang, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang temaram, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga dari taman kecil yang ditanam di balkon seberang. Namun, meskipun suasana di luar begitu damai, hati Adila tidak merasakan ketenangan yang sama. Ada perasaan yang mengganggu, seperti ada sesuatu yang terus menggelayuti pikirannya.

Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Rafael, Adila merasa semakin bingung. Dendam yang selama ini ia pendam, perasaan sakit dan kecewa yang sudah lama terkubur, kini kembali muncul ke permukaan. Meskipun ia berusaha untuk berpikir rasional, kenangan itu terus menghantui. Rafael kembali muncul dalam hidupnya dengan alasan yang panjang, dengan kata-kata penyesalan yang membuatnya ragu. Tapi apakah kata-kata itu benar-benar bisa menghapuskan segala luka yang telah ia rasakan?

Pikiran Adila terus berputar, memutar kembali kenangan-kenangan lama yang selalu ia coba lupakan. Setiap momen indah bersama Rafael terasa seperti potongan puzzle yang tak bisa ia rapatkan. Rasanya, setiap kenangan indah itu berubah menjadi luka yang semakin dalam. Lalu, mengapa ia harus merasa terjebak antara perasaan cinta yang masih tersisa dan rasa marah yang begitu membara? Bagaimana mungkin ia bisa melupakan begitu saja perasaan yang pernah ia rasakan?

Di dalam hati, Adila tahu bahwa perasaan itu, baik cinta maupun marah, hanya bisa selesai dengan satu hal—keputusan untuk menghadapi kenyataan. Keputusan untuk menghadapi masa lalu dan melepaskan kenangan yang selama ini menghantuinya. Namun, bagaimana mungkin ia bisa menghadapi masa lalu yang begitu sakit itu? Bagaimana mungkin ia bisa menerima kenyataan bahwa orang yang pernah ia cintai begitu saja pergi tanpa memberikan penjelasan?

Malam itu, Adila memutuskan untuk melakukan hal yang selama ini ia hindari—membuka kotak kenangan yang telah terkunci rapat dalam pikirannya. Ia berdiri dari kursi dan menuju ke meja di dekat dinding. Di atas meja itu, terdapat sebuah kotak kayu kecil, yang di dalamnya terdapat surat-surat, foto-foto, dan benda-benda yang mengingatkannya pada masa-masa indah bersama Rafael. Sejak kepergian Rafael, kotak itu selalu disembunyikan, ditempatkan di sudut ruangan yang paling jauh. Ia tidak pernah berniat untuk membukanya lagi, karena setiap kali melihatnya, perasaan itu datang—rasa sakit yang mengiris hati.

Namun malam ini, Adila merasa bahwa ia harus menghadapi semuanya. Ia menarik napas dalam-dalam, meraih kotak kayu itu, dan membuka tutupnya perlahan. Begitu tutup kotak terbuka, bau kertas tua dan parfum khas Rafael tercium samar-samar. Di dalam kotak itu, terdapat banyak benda yang membuat hatinya berdebar—foto mereka di taman bunga saat ulang tahun Adila yang ke-25, tiket konser yang pernah mereka hadiri bersama, dan surat-surat manis yang pernah Rafael kirimkan padanya. Semuanya kembali mengingatkannya pada kebahagiaan yang pernah mereka rasakan, kebahagiaan yang kini terasa begitu jauh dan sulit untuk dijangkau.

Adila memandang salah satu foto yang terletak di atas tumpukan surat. Itu adalah foto mereka berdua di sebuah pantai, saat matahari terbenam. Senyum mereka begitu alami, begitu bahagia. Itu adalah salah satu kenangan paling indah yang ia miliki, dan sekaligus menjadi salah satu kenangan yang paling menyakitkan. Foto itu menggambarkan kebahagiaan yang tidak bisa ia lupakan, tetapi juga menjadi simbol dari kehilangan yang begitu mendalam.

Kenangan-kenangan itu membuat Adila merasa sesak. Ia ingin menangis, namun air matanya seperti terhalang. Ia merasa seolah terjebak dalam perangkap masa lalu, dalam kenangan yang begitu kuat, namun juga begitu menyakitkan. Setiap detik yang ia habiskan memandangi foto itu, perasaan yang selama ini ia coba tutup-tutupi semakin kuat rasa marah, rasa kecewa, dan juga rasa rindu yang tak kunjung hilang.

“Tapi mengapa kamu pergi, Rafael?” Adila berkata pelan, seolah berharap Rafael akan muncul dan memberikan jawabannya. “Kenapa kamu pergi begitu saja? Kenapa kamu tidak memberi tahu aku? Apa yang terjadi? Apa yang salah dengan aku?”

Tanyaannya tak terjawab. Hanya angin malam yang menjawabnya. Angin yang membawa kenangan manis yang kini terasa seperti duri yang menancap di hati. Adila merasa hampa. Ia tahu, perasaan marahnya tidak akan pernah bisa hilang begitu saja. Dendam itu terlalu besar untuk dibiarkan begitu saja, dan mungkin, untuk bisa melanjutkan hidupnya, ia harus terlebih dahulu menyelesaikan apa yang tertunda—memaafkan dirinya sendiri dan juga Rafael.

Namun, bagaimana bisa ia memaafkan seseorang yang telah begitu saja meninggalkannya tanpa penjelasan? Bagaimana ia bisa membuka pintu hatinya lagi setelah semua yang terjadi? Semuanya terasa terlalu rumit, terlalu menyakitkan. Ia tahu bahwa ia harus berdamai dengan masa lalu, tetapi untuk melakukannya, ia harus menghadapi perasaan yang selama ini ia pendam.

Adila meletakkan foto itu kembali ke dalam kotak dan menutupnya perlahan. Ia merasa sedikit lebih lega, meskipun perasaan itu masih ada—perasaan yang tak terungkapkan, perasaan yang begitu mendalam. Ia tahu bahwa dendam itu masih ada, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk menghadapinya.

Ia berjalan kembali ke balkon, memandang kota yang terhampar di bawahnya. Lampu-lampu kota bersinar terang, namun seiring dengan itu, hatinya terasa sepi. Adila merasa bahwa meskipun ia sudah mencoba menghadapinya, ia belum sepenuhnya siap untuk melepaskan masa lalu. Namun, ia juga tahu, bahwa jika ia terus membiarkan kenangan itu menghantuinya, ia tidak akan pernah bisa maju.

Malam itu, Adila memutuskan untuk mengambil langkah pertama menuju kedamaian. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya, atau bagaimana ia akan bisa melupakan semua kenangan itu. Namun, satu hal yang ia sadari ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Hanya dengan menghadapi kenangan yang menghantui, ia bisa mulai membuka lembaran baru dalam hidupnya. Ia harus menerima kenyataan, bahwa meskipun tidak ada penjelasan yang cukup untuk menghapuskan rasa sakit itu, hidup harus terus berjalan.

Mungkin, suatu hari nanti, ia akan bisa menemukan kedamaian dalam dirinya. Namun untuk saat ini, ia tahu bahwa proses itu akan membutuhkan waktu.*

Bab 5 Dilema Cinta dan Dendam

Adila duduk di tepi tempat tidurnya, merenung di bawah cahaya lampu yang remang-remang. Malam sudah larut, tetapi matanya tak kunjung terpejam. Di luar jendela, kota tampak tenang, lampu-lampu jalanan bersinar dalam irama yang menenangkan. Namun, hatinya begitu gelisah, dipenuhi oleh perasaan yang bertabrakan, antara cinta yang lama terpendam dan dendam yang seolah tak pernah padam.

Rafael. Nama itu seperti hantu yang tak pernah benar-benar pergi. Setiap kali ia berpikir untuk melupakan, bayangannya kembali datang, membawa perasaan yang tak terduga. Adila masih ingat betul betapa ia merasa seolah dunia berhenti saat pertama kali Rafael menghilang begitu saja. Betapa sakitnya saat ia harus menerima kenyataan bahwa orang yang ia cintai tidak cukup peduli untuk memberinya alasan. Namun, kini setelah pertemuan kembali mereka, perasaan itu terasa lebih rumit.

Cinta. Dendam. Dua perasaan yang bertahan di dalam dirinya seperti dua kekuatan yang saling bertentangan. Dendam itu seperti bara yang masih menyala, meski ia berusaha untuk memadamkannya. Cinta, di sisi lain, seolah merayu hatinya untuk membuka kembali pintu yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Adila merasakan keinginan untuk memaafkan, tetapi tidak bisa sepenuhnya melepaskan rasa sakit yang telah ditinggalkan Rafael.

Dilema ini membuatnya semakin bingung. Apakah ia harus memberikan kesempatan pada cinta yang dulu begitu berarti, ataukah ia harus mengutamakan dirinya sendiri dan melanjutkan hidup tanpa terikat pada kenangan yang mengganggu? Setiap kali ia memikirkan pilihan itu, ia merasa seolah-olah berada di persimpangan jalan, tak tahu harus berbelok ke mana.

Malam itu, Adila memutuskan untuk pergi keluar. Ia butuh udara segar, butuh berpikir dengan jernih. Setelah mengenakan jaket tebal, ia keluar dari apartemennya dan berjalan tanpa tujuan. Kakinya membawa tubuhnya menjauh dari rumah, melintasi jalan-jalan yang sunyi dan kosong. Udara malam terasa dingin, tetapi tidak cukup untuk mengusir kegelisahannya.

Ia tiba di taman kota, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Rafael. Di sinilah banyak kenangan mereka tercipta—perjalanan mereka berdua di sepanjang jalur setapak, tawa mereka saat duduk di bangku taman, dan obrolan panjang yang membuat dunia terasa begitu kecil. Semua itu, kini, hanya menjadi kenangan yang tidak bisa ia lupakan. Taman ini adalah tempat di mana banyak sekali harapan dan impian diletakkan, tetapi juga tempat di mana banyak luka itu ditinggalkan.

Adila duduk di bangku taman yang sudah usang, memandang langit yang gelap. Bayangan Rafael kembali menghantuinya. Wajahnya, senyum manisnya, dan suara lembut yang dulu selalu bisa menenangkan hatinya. Namun, kenapa ia harus merasa dihancurkan begitu saja? Kenapa ia harus menjadi orang yang ditinggalkan tanpa penjelasan? Kenapa semua yang ia rasakan harus berubah menjadi sebuah teka-teki yang tak terpecahkan?

Dendam itu datang lagi, seperti aliran darah yang tak bisa dihentikan. Setiap kata-kata Rafael yang ia dengar dalam pertemuan terakhir mereka kembali terngiang. Rafael mengatakan bahwa ia menyesal, bahwa ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi, apakah kata-kata itu cukup untuk menyembuhkan luka yang begitu dalam? Apakah kata-kata itu bisa menghapuskan rasa sakit yang selama ini ia bawa?

Adila menatap tangan kosongnya. Ia teringat pada saat-saat bahagia mereka bersama, dan bagaimana semuanya berubah begitu cepat. Ketika Rafael pergi, ia merasa seperti dunia tiba-tiba runtuh. Meninggalkan Adila tanpa penjelasan adalah sebuah pengkhianatan, sesuatu yang sulit diterima meskipun ia mencintainya. Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab, dan begitu banyak kenangan yang berubah menjadi beban. Namun, pertemuan kembali itu membangkitkan perasaan lain—rasa rindu yang tak bisa disangkal.

Apakah ini yang dinamakan cinta? Apakah cinta bisa kembali setelah semua yang telah terjadi? Atau apakah itu hanya sebuah ilusi yang berusaha mengalihkan dirinya dari kenyataan? Setiap kali ia memikirkan tentang memberi kesempatan kedua kepada Rafael, hati Adila merasa bingung. Dendam itu masih ada. Cinta itu, meskipun terlihat kabur, tetap ada dalam dirinya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan perasaan itu begitu saja.

Namun, apakah ia cukup kuat untuk membuka hatinya lagi? Apakah ia akan siap jika akhirnya Rafael pergi lagi? Dendam itu mengingatkannya pada rasa takut yang mendalam. Takut akan pengkhianatan yang pernah ia rasakan. Takut akan kemungkinan kehilangan yang mungkin terjadi lagi. Ia takut bahwa perasaan yang ia buka kembali hanya akan membawa lebih banyak luka.

Adila menutup matanya, mencoba untuk menenangkan pikirannya. Dia tahu bahwa untuk bisa melanjutkan hidup, ia harus membuat keputusan. Apakah ia akan tetap memelihara dendam ini, ataukah ia akan mencoba untuk melepaskannya dan memberi kesempatan pada perasaan yang lebih tulus? Namun, keputusan ini bukanlah keputusan yang mudah. Dilema ini terasa begitu berat, seperti sebuah beban yang tak kunjung hilang.

Sambil duduk di bangku taman itu, Adila teringat pada kata-kata Dina, sahabatnya yang selalu mendukungnya. Dina pernah berkata, “Cinta itu tidak hanya tentang memberi, tetapi juga tentang menerima. Menerima bahwa kita bisa terluka, dan tetap memilih untuk mencintai, meskipun ada kemungkinan kita akan terluka lagi.” Dina benar. Cinta bukanlah sesuatu yang sempurna, dan kadang-kadang, kita harus menerima bahwa ada bagian dari diri kita yang harus disembuhkan dengan waktu.

Adila tahu, tidak ada yang bisa menggantikan luka yang telah ada. Tidak ada cara untuk menghapuskan dendam yang telah mengakar dalam hatinya. Tetapi, mungkin, ia bisa belajar untuk hidup dengan luka itu. Mungkin, ia bisa belajar untuk membuka hati tanpa takut akan rasa sakit, dan memberi kesempatan pada cinta untuk tumbuh kembali, meskipun perlahan.

Dengan napas yang dalam, Adila berdiri dari bangku taman dan memandang ke depan. Jalan-jalan yang kosong itu terasa seperti simbol dari perjalanan hidupnya—perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian, tetapi juga penuh dengan kemungkinan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika ia memberi kesempatan kepada Rafael, atau jika ia memilih untuk melanjutkan hidupnya tanpa dia. Namun, yang ia tahu adalah bahwa ia harus membuat pilihan.

“Dendam itu sudah cukup lama menguasai hidupku,” gumamnya pelan, “Dan aku lelah. Aku lelah hidup dengan bayang-bayang masa lalu. Aku ingin maju, meskipun itu tidak mudah.”

Adila berjalan keluar dari taman, meninggalkan kenangan dan perasaan yang mengikatnya. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, dan keputusan yang akan ia buat tidak akan mudah. Tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk menghadapi masa depan meskipun itu penuh dengan ketidakpastian. Ia akan memilih untuk melangkah maju, tanpa menoleh ke belakang lagi.

Cinta dan dendam dua perasaan yang saling bertarung dalam dirinya akhirnya harus menemukan titik temu. Dan hanya dengan menghadapi keduanya, Adila tahu bahwa ia akan menemukan kedamaian yang ia cari.*

Bab 6 Penebusan dan Pengampunan

Adila berdiri di tepi jendela apartemennya, memandang keluar ke langit yang mulai menunjukkan sinar keemasan pagi. Suasana di luar begitu tenang, namun hatinya masih bergemuruh, penuh dengan berbagai perasaan yang sulit ia jelaskan. Keputusan untuk datang ke pertemuan terakhir dengan Rafael telah mengubah segalanya. Begitu banyak kata-kata yang terlontar, begitu banyak perasaan yang terungkap, dan yang paling penting—begitu banyak luka yang masih terpendam, menunggu untuk disembuhkan.

Namun, setelah pertemuan itu, Adila merasa ada satu hal yang ia pahami—bahwa dalam perjalanan hidup, tidak ada yang lebih berat daripada menghadapi rasa sakit yang pernah kita alami, tetapi juga tidak ada yang lebih membebaskan daripada memberi ruang bagi pengampunan.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, perasaan Adila masih tidak stabil. Ia merasa seperti berada di tengah-tengah dua dunia—dunia yang penuh dengan kenangan indah bersama Rafael dan dunia yang penuh dengan luka, dendam, serta ketidakpastian. Terkadang ia merasa bahwa ia tidak bisa melangkah maju, bahwa masa lalu terlalu kuat untuk dilupakan. Namun, di sisi lain, ia merasa bahwa ia harus melangkah maju, bahwa ia harus melepaskan segala yang mengikatnya agar bisa merasakan kedamaian.

Adila tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu, meskipun itu begitu menyakitkan. Dendam dan rasa marah terhadap Rafael, meskipun datang dari luka yang dalam, hanya akan mengikat dirinya lebih jauh dalam kesedihan. Dalam hati, ia tahu bahwa hanya dengan memaafkan—memaafkan dirinya sendiri dan Rafael—ia bisa melepaskan beban itu. Namun, apakah ia siap? Apakah ia cukup kuat untuk melakukan itu?

Suatu sore, setelah beberapa hari penuh dengan perenungan dan keraguan, Adila memutuskan untuk menemui Rafael sekali lagi. Kali ini, ia merasa bahwa ia tidak bisa melanjutkan hidup tanpa menyelesaikan semua yang tertunda. Ia ingin memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk berdamai dengan masa lalu, untuk memaafkan, dan untuk memberi ruang bagi kedamaian yang sudah terlalu lama ia cari.

Adila menghubungi Rafael dan mengatur waktu untuk bertemu di sebuah kafe yang biasa mereka kunjungi. Tempat itu sudah lama menjadi saksi dari berbagai kisah mereka, kisah yang kini terasa seperti sebuah kenangan lama. Saat ia memasuki kafe itu, Adila melihat Rafael sudah duduk di pojok, menunggu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya tampak lelah, dan tatapan matanya menunjukkan ketegangan yang sama seperti yang ia rasakan.

“Adila,” Rafael menyapa dengan suara lembut, “terima kasih sudah datang.”

Adila hanya mengangguk pelan dan duduk di depannya. Mereka saling memandang, tetapi tidak ada kata-kata yang segera muncul. Beberapa detik berlalu dengan hening, sebelum akhirnya Rafael membuka mulutnya.

“Aku tahu, aku sudah banyak menyakitimu,” kata Rafael dengan suara yang sedikit bergetar. “Aku menyesal, Adila. Aku menyesal karena sudah pergi begitu saja tanpa memberimu penjelasan. Aku tahu itu salah, dan aku tahu bahwa itu membuatmu terluka.”

Adila menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Ia ingin menangis, tetapi ia tahu bahwa saat ini, ia harus kuat. Ia harus mendengarkan Rafael, meskipun setiap kata-kata itu mengingatkannya pada segala rasa sakit yang pernah ia rasakan.

“Aku tidak pernah mengerti apa yang kamu rasakan saat itu,” lanjut Rafael. “Aku pergi karena aku merasa tidak cukup baik untukmu. Aku merasa aku tidak bisa memberi yang terbaik untukmu, dan itu membuatku takut. Aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan, dan aku memilih untuk lari. Tapi setelah semua waktu yang berlalu, aku menyadari bahwa aku telah melakukan kesalahan besar. Aku telah menyakiti orang yang paling aku cintai, dan aku menyesal.”

Adila terdiam, menahan perasaan yang datang begitu kuat. Suara hati kecilnya berkata bahwa ia seharusnya merasa marah, seharusnya merasa terhina dan terluka, tetapi kenyataannya—ia merasa lelah. Ia merasa lelah untuk terus memegang dendam, lelah untuk terus menahan rasa sakit itu. Mungkin, ia memang terluka, tetapi ia juga ingin menyembuhkan dirinya. Ia ingin melepaskan semua itu.

“Rafael…” suara Adila serak. Ia mencoba mengendalikan emosinya. “Aku… aku tidak tahu bagaimana rasanya, bagaimana bisa aku memaafkanmu. Kamu pergi tanpa kata, tanpa penjelasan, tanpa memberi kesempatan padaku untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu tahu betapa aku menderita, kan? Betapa aku berusaha untuk mengerti, tetapi kamu tidak memberi aku apa-apa.”

Rafael hanya menundukkan kepala, tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia tahu bahwa apa yang Adila katakan itu benar, dan ia tidak punya alasan untuk membela diri. Ia tahu bahwa ia telah melukai Adila dengan cara yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Namun, dalam hening yang panjang itu, Adila merasakan sesuatu yang berbeda. Entah mengapa, meskipun hati kecilnya masih penuh dengan rasa sakit, ia mulai merasa sedikit lebih ringan. Ada perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya—perasaan yang mungkin sulit dijelaskan, tetapi jelas terasa. Perasaan bahwa ia sudah cukup lama membawa beban ini. Mungkin sudah waktunya untuk melepaskannya.

“Aku… aku ingin memaafkanmu, Rafael,” kata Adila pelan, mencoba menahan air mata. “Bukan karena kamu meminta maaf, tetapi karena aku ingin melanjutkan hidupku. Aku ingin melepaskan semua ini, dan aku tahu, untuk itu, aku harus memaafkan. Untuk aku, bukan untuk kamu.”

Rafael mengangkat wajahnya, tatapan matanya penuh haru. “Terima kasih, Adila,” jawabnya dengan suara serak. “Aku tidak pantas mendapatkannya, tapi aku akan selalu menghargai kesempatan ini.”

Mereka duduk bersama dalam diam untuk beberapa saat, saling merenung dan menyadari bahwa apa yang telah terjadi tidak bisa diubah. Semua kenangan indah dan luka yang telah tercipta, tidak bisa begitu saja diselesaikan dengan kata-kata. Tetapi mungkin, dengan memaafkan, mereka bisa membebaskan diri mereka dari beban yang terlalu lama mereka pikul.

Saat pertemuan itu berakhir, Adila merasa berbeda. Sesuatu yang semula terasa begitu berat kini terasa sedikit lebih ringan. Ia tahu, perjalanan untuk benar-benar melupakan dan melepaskan akan memakan waktu. Tetapi hari ini, ia sudah mengambil langkah pertama langkah menuju penebusan dan pengampunan.

Saat ia berjalan keluar dari kafe, matahari sudah sepenuhnya terbit, memancarkan cahaya hangat yang menembus celah-celah langit. Adila menatap langit dengan penuh harapan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa masa depannya bukan lagi bayang-bayang masa lalu. Ia tahu bahwa ia sudah memberi dirinya sendiri kesempatan untuk sembuh.

Dendam itu sudah ia lepaskan. Pengampunan itu sudah ia berikan. Sekarang, ia hanya perlu melangkah maju dengan hati yang lebih ringan dan penuh harapan, siap untuk menulis bab baru dalam hidupnya***

———THE END——–

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintaterlarang#dendamdancinta#kenanganpahit#masalaluyangtertunda3pengampunan
Previous Post

CINTA BUTA LOGIKA HILANG

Next Post

ANTARA RINDU DAN KENANGAN

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
ANTARA RINDU DAN KENANGAN

ANTARA RINDU DAN KENANGAN

KILAU CINTA LINTAS SAMUDRA

KILAU CINTA LINTAS SAMUDRA

MELANGKAH DI ANTARA DUA CINTA

MELANGKAH DI ANTARA DUA CINTA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id