Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
Di tengah keramaian acara pernikahan teman lamanya, Mira merasa sedikit canggung. Bukan karena ia tidak menyukai suasana pesta, tapi karena ia merasa seolah tidak ada yang benar-benar mengerti perasaannya. Semua orang sibuk berbisik tentang hubungan atau pekerjaan mereka, sementara ia sendiri hanya duduk di pojok ruangan, mengamati keramaian dengan mata yang kosong. Hidupnya terasa seperti sebuah rutinitas yang tak ada habisnya—pekerjaan, teman-teman, dan sedikit kebahagiaan yang terkadang terasa jauh dari jangkauan.
Mira tidak pernah berpikir bahwa hari itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya. Ia lebih suka menghindari perhatian dan tidak merasa terikat dengan siapa pun. Namun, di tengah keramaian itu, takdir seakan memanggilnya. Ketika ia sedang asyik dengan ponselnya, tiba-tiba seorang pria datang menghampiri meja tempat ia duduk.
“Maaf, apa kamu Mira?” tanya pria itu dengan suara rendah namun tegas, seolah sudah mengenalnya sejak lama.
Mira mengangkat wajahnya dan mendapati seorang pria yang tampaknya sedikit lebih tua darinya, mengenakan jas rapi dengan dasi yang sedikit longgar. Raut wajahnya serius, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Mira merasa sedikit tidak nyaman.
“Ya, saya Mira. Ada yang bisa saya bantu?” Mira sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tidak ingat pernah bertemu pria ini sebelumnya.
Pria itu tersenyum kecil. “Saya Rivan. Saya teman dari kakakmu, Dita. Kami bertemu beberapa kali sebelumnya, mungkin kamu tidak ingat.” Rivan duduk di kursi yang berada di sebelah Mira, lalu menatapnya sejenak.
Mira sedikit terkejut mendengar nama Dita. Kakaknya memang memiliki banyak teman, tetapi tidak ada yang benar-benar ia kenal dekat. “Oh, iya… Dita. Maaf, saya tidak ingat kamu,” jawab Mira dengan sopan meskipun sedikit merasa canggung.
Rivan tertawa kecil. “Tidak masalah, banyak yang seperti itu. Tapi, tidak ada salahnya kalau kita saling mengenal, bukan?”
Mira hanya tersenyum malu. Ia sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk berbicara dengan orang baru, apalagi di acara yang sangat formal seperti itu. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan perhatian dari Rivan. Mungkin karena ketulusan dalam tatapan matanya, atau mungkin karena pembicaraan yang tiba-tiba muncul dengan begitu mudah.
Mereka pun mulai berbincang ringan, saling bertukar cerita tentang pekerjaan, hobi, dan bagaimana mereka saling mengenal orang-orang yang sama. Mira merasa sedikit terhibur meskipun ia masih merasa asing dengan Rivan. Namun, ada rasa nyaman yang muncul begitu saja. Mungkin karena Rivan bukanlah tipe orang yang membuatnya merasa tertekan.
Saat itu, Mira tidak tahu bahwa percakapan singkat mereka akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya secara drastis. Takdir sering kali datang dalam bentuk yang tak terduga, dan hari itu, takdir memperkenalkan Mira pada Rivan dengan cara yang tidak ia bayangkan sebelumnya.
Saat malam semakin larut dan perayaan pernikahan itu mulai mereda, Mira dan Rivan berjalan menuju pintu keluar bersama. Mereka sempat berbicara lebih jauh, tertawa bersama tentang kebiasaan aneh orang-orang di sekitar mereka, dan bahkan sedikit membahas topik yang lebih pribadi. Namun, pada akhirnya, percakapan mereka berakhir ketika mereka berdiri di luar gedung.
“Senang bisa berbicara denganmu malam ini,” kata Rivan dengan senyum yang hangat. “Mungkin kita bisa bertemu lagi suatu waktu.”
Mira merasa aneh mendengarnya. Biasanya, ia tidak terlalu suka bertemu dengan orang baru, tetapi entah mengapa, ia merasa ada koneksi tertentu dengan Rivan. “Tentu, kita bisa mengobrol lagi. Terima kasih sudah menemani saya malam ini.”
Mereka saling tersenyum, dan Mira pun melangkah pergi dengan perasaan yang campur aduk. Ada perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya, meskipun ia tahu bahwa perasaan itu hanya muncul karena keasyikan malam itu. Ia mencoba menepisnya, berusaha untuk tidak berpikir terlalu jauh. Namun, seiring dengan langkah kakinya menuju taksi yang menunggu, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda—sebuah perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Rivan, di sisi lain, juga merasa ada hal yang berbeda. Meskipun mereka baru bertemu, ada sesuatu dalam diri Mira yang menariknya. Mata yang penuh misteri, senyuman yang terkesan malu namun tulus, dan kecerdasan dalam setiap kalimat yang ia ucapkan membuat Rivan merasa bahwa ini bukanlah pertemuan biasa. Ada ketertarikan yang tumbuh, meskipun ia tahu bahwa hubungan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja berkembang tanpa mempertimbangkan banyak hal.
Namun, saat itu, kedua mereka tidak mengetahui bahwa pertemuan singkat itu akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar, jauh melampaui apa yang mereka bayangkan. Rahasia yang akan tumbuh di antara mereka, rahasia yang tak bisa mereka biarkan terbongkar, akan menambah kompleksitas hubungan ini. Mereka tidak tahu bahwa cinta yang tumbuh di antara mereka akan membawa mereka pada dilema besar yang sulit mereka hindari.
Pada malam itu, Mira dan Rivan pulang dengan perasaan yang sama sekali berbeda. Mereka merasa tidak hanya telah bertemu seseorang yang menarik, tetapi juga seseorang yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya. Namun, baik Mira maupun Rivan belum sepenuhnya menyadari bahwa perasaan itu akan mengarah pada sebuah hubungan yang terlarang, sebuah hubungan yang penuh dengan rahasia dan konflik batin yang tak terhindarkan. Mereka berdua baru saja memulai perjalanan panjang yang akan menguji batas cinta dan komitmen mereka terhadap kehidupan yang telah mereka bangun.
Malam itu, takdir baru saja dimulai.*
Bab 2: Jarak yang Memisahkan
Seiring berjalannya waktu setelah pertemuan tak terduga di pesta pernikahan itu, Mira dan Rivan merasa ada sebuah kekosongan yang sulit dijelaskan. Mereka tidak berbicara lagi secara langsung, meskipun keduanya tahu bahwa perasaan yang tumbuh di antara mereka belum sepenuhnya padam. Mereka saling mengingat satu sama lain, tetapi kehidupan masing-masing memisahkan mereka dengan cara yang tak bisa dihindari. Rivan kembali sibuk dengan pekerjaannya yang penuh tantangan, sementara Mira, meskipun tidak menginginkannya, terjebak dalam rutinitas hidup yang monoton.
Jarak yang memisahkan mereka bukan hanya soal ruang, tetapi juga waktu. Keduanya mencoba untuk melanjutkan hidup, tetapi perasaan itu tetap menghantui, seperti bayang-bayang yang tak bisa disingkirkan. Setiap kali Mira melihat ponselnya, hatinya merasa sedikit terluka, berpikir tentang pesan-pesan yang tak kunjung datang. Ia tahu bahwa Rivan tidak pernah berusaha untuk menghubunginya, dan itu membuatnya bertanya-tanya apakah ia hanya sekadar pertemuan kebetulan bagi pria itu.
Namun, di sisi lain, Rivan juga merasa terjebak dalam kebingungannya. Ia tahu bahwa ia seharusnya melupakan Mira. Sebagai teman dari Dita, kakak Mira, hubungan mereka seharusnya tetap terjaga dengan jarak yang aman. Ia tidak ingin melangkah lebih jauh, tidak ingin mengganggu hubungan persaudaraan yang telah ada. Tetapi, meskipun ia mencoba menekan perasaannya, ia tidak bisa menahan diri. Setiap kali ia berpikir tentang Mira, perasaan itu hanya semakin kuat, dan semakin sulit untuk diabaikan.
Keduanya terjebak dalam dilema, berusaha menjalani hidup mereka, tetapi merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Rivan tahu bahwa ia tidak boleh melanjutkan perasaan ini, tetapi hatinya selalu kembali pada Mira. Ia berusaha untuk menjaga jarak, tidak ingin merusak segalanya, namun perasaan itu tetap mengganggu. Mira, di sisi lain, merasa kehilangan arah. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang terlewatkan, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan meskipun ia sudah mencoba untuk melupakannya. Ia merasa bingung, ragu, dan takut jika perasaan itu hanya akan membawa masalah.
Hari demi hari berlalu tanpa ada komunikasi berarti di antara mereka. Rivan semakin sibuk dengan pekerjaannya yang menuntut perhatian penuh. Ia sering bepergian ke luar kota, bekerja keras untuk membangun kariernya yang sedang naik daun. Sementara Mira, meskipun tidak pernah berhenti memikirkan Rivan, memilih untuk menenggelamkan dirinya dalam rutinitas. Ia tidak ingin terlihat lemah atau terlalu bergantung pada perasaan yang tidak pasti.
Namun, pada suatu malam, ketika Mira sedang duduk di teras rumahnya, menikmati secangkir teh hangat setelah seharian bekerja, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat muncul di layar, dan detak jantungnya terasa semakin cepat saat melihat nama yang tertera. Rivan. Dengan tangan sedikit gemetar, Mira membuka pesan itu.
“Hi, Mira. Apa kabar?”
Pesan itu sederhana, namun cukup untuk membuat perasaan Mira bergejolak. Ia tidak bisa menahan senyum yang terukir di wajahnya. Setelah berbulan-bulan tidak ada kontak, tiba-tiba pesan itu datang seperti angin segar yang menyentuh hatinya. Mira membalas dengan hati-hati, mencoba untuk tidak terlalu terbawa perasaan.
“Hi, Rivan. Kabar baik. Kamu sendiri?”
Rivan membalas dengan cepat, dan percakapan pun berlanjut dengan santai. Mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang kehidupan sehari-hari, dan bahkan sedikit tentang kenangan masa lalu. Meskipun percakapan mereka terasa ringan, ada sesuatu yang tak terungkap di antara kata-kata itu—sebuah ketegangan yang tak bisa dipungkiri. Mira merasa hatinya kembali tergerak, dan ia mulai menyadari bahwa jarak yang memisahkan mereka bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal perasaan yang tak mudah dipahami.
Rivan merasa hal yang sama. Meskipun ia mencoba menjaga jarak, ia merasa seperti ada kekosongan yang hanya bisa diisi oleh Mira. Percakapan itu membuka kembali pintu perasaan yang sempat terkunci rapat-rapat. Ia tahu bahwa ia harus berhati-hati, tetapi kenyataannya, ia tak bisa mengabaikan perasaan itu begitu saja.
Sejak malam itu, mereka mulai lebih sering berkomunikasi, meskipun setiap percakapan terasa seperti petualangan kecil yang penuh dengan ketegangan. Keduanya tahu bahwa mereka sedang berada di jalan yang tidak mudah. Setiap kata yang mereka ucapkan, setiap pesan yang mereka kirimkan, terasa seperti langkah menuju sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang lebih berisiko.
Jarak yang memisahkan mereka menjadi semakin nyata. Mereka tidak bisa hanya melanjutkan hubungan seperti ini, tanpa ada kesadaran bahwa perasaan mereka sudah melampaui batas yang seharusnya. Namun, keduanya juga tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti. Perasaan itu terlalu kuat untuk diabaikan begitu saja. Seiring berjalannya waktu, mereka merasa seperti dua orang yang terjebak di antara dunia yang berbeda—dunia yang terikat oleh perasaan mereka, dan dunia yang mereka coba untuk pertahankan dengan segala aturan dan batasan.
Mira dan Rivan tahu bahwa mereka harus memilih. Mereka harus memutuskan apakah mereka akan terus mengikuti perasaan ini, meskipun itu berarti mereka harus melanggar batasan yang ada di antara mereka. Ataukah mereka akan berhenti, mencoba untuk melupakan apa yang telah mereka rasakan, dan kembali ke kehidupan yang sebelumnya?
Jarak itu terus memisahkan mereka, tetapi semakin lama semakin jelas bahwa keduanya tidak bisa terus berjalan tanpa menyelesaikan dilema yang ada di hadapan mereka. Cinta yang tumbuh di antara mereka adalah cinta yang terlarang, dan meskipun mereka mencoba untuk menjaga jarak, mereka semakin sulit untuk menahan diri. Perasaan itu semakin mendalam, dan semakin sulit untuk dihindari.
Dalam keheningan malam, Mira merenung. Apa yang harus ia lakukan? Akankah ia menyerah pada perasaan yang terlarang ini, atau akan tetap menjaga jarak demi menjaga segalanya tetap utuh? Sementara itu, Rivan juga berada dalam kebingungannya sendiri. Cinta yang tumbuh di antara mereka begitu kuat, tetapi apakah ia siap menghadapi konsekuensinya?*
Bab 3: Rahasia yang Tersembunyi
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan semakin dalam perasaan antara Mira dan Rivan berkembang, semakin sulit bagi mereka untuk menahan diri. Jarak fisik yang memisahkan mereka bukanlah hal yang paling sulit untuk dihadapi; namun, rahasia yang mereka sembunyikan dari dunia, dan lebih penting lagi, dari diri mereka sendiri, semakin menggerogoti mereka. Rahasia ini bukan hanya sekadar tentang perasaan yang tidak seharusnya ada—ini adalah sebuah cinta yang terlarang, yang datang begitu tiba-tiba dan tanpa peringatan. Dan mereka berdua tahu, semakin lama rahasia itu terpendam, semakin besar bahaya yang mengintai.
Mira merasa seolah hidupnya dibelah dua. Di satu sisi, ia merasa terikat dengan Rivan, ada perasaan yang sangat kuat yang tak bisa ia pungkiri. Namun di sisi lain, ada kesadaran yang terus mengganggu pikirannya—bahwa ia tidak bisa terus melangkah seperti ini. Rivan adalah teman kakaknya, Dita. Bahkan jika mereka berdua memiliki ikatan yang lebih dalam, mereka tahu bahwa hubungan mereka bisa menghancurkan segalanya. Dita adalah orang yang sangat penting bagi Mira, dan ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya jika tahu tentang hubungan terlarang ini.
Mira mencoba untuk menjaga jarak, berusaha sekeras mungkin agar tidak terjerumus lebih dalam ke dalam hubungan yang semakin kompleks ini. Tetapi, setiap kali ia berbicara dengan Rivan, setiap pesan yang ia terima, setiap detik yang dihabiskan untuk berpikir tentangnya, ia merasa seolah-olah dunia menjadi semakin sempit. Rasa cemas dan takut akan konsekuensi membuatnya semakin terjebak dalam perasaan yang tidak bisa ia kendalikan.
Rivan pun merasa hal yang sama. Setiap kali ia bertemu Mira, ada perasaan yang terus tumbuh lebih dalam, perasaan yang sulit untuk dibendung. Setiap detik yang berlalu tanpa berbicara dengan Mira terasa seperti beban yang semakin berat. Tetapi, meskipun ia merasakan ketertarikan yang luar biasa, ia tahu bahwa ia harus berhati-hati. Mira adalah adik dari Dita, sahabat baiknya, dan meskipun tidak ada aturan yang jelas tentang perasaan mereka, ia tahu betul bahwa hubungan seperti ini akan mengundang masalah besar.
Pada suatu malam, ketika Rivan duduk sendirian di apartemennya, ia merenung panjang. Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran setan. Cinta yang tumbuh begitu alami di antara mereka, namun pada saat yang sama, ia merasa seperti sedang berada di tepi jurang, tidak bisa mundur dan tidak bisa maju. Dalam setiap percakapan dengan Mira, ada perasaan yang semakin dalam, semakin intens, dan ia tahu bahwa ini tidak bisa terus berlanjut tanpa ada konsekuensinya.
Namun, meskipun perasaan itu mengganggunya, Rivan merasa terikat dengan Mira. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuatnya merasa nyaman dan percaya diri. Mungkin karena Mira begitu berbeda dari wanita lain yang pernah ia kenal. Mira tidak berusaha mencari perhatian, ia sederhana, tetapi memiliki kedalaman yang membuat Rivan merasa bahwa ia bisa menjadi diri sendiri di hadapannya. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang istimewa tentang Mira, meskipun ia tidak tahu apakah itu cukup untuk membenarkan segala risiko yang harus mereka hadapi jika hubungan ini terbongkar.
Namun, tidak ada yang bisa menghentikan perasaan itu. Ketika Rivan mengirim pesan singkat kepada Mira malam itu, ia tahu bahwa ia sedang berbuat salah. Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa melanjutkan hidupnya tanpa mencoba sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih berani, meskipun itu berarti melawan takdir mereka.
“Mira,” tulisnya, “Apakah kita terus bersembunyi seperti ini? Aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku tahu ini salah, tapi perasaan ini terlalu kuat.”
Mira duduk di sofa, memandangi pesan itu dengan hati yang berdebar-debar. Ia tahu bahwa ini adalah titik yang tidak bisa ia hindari lagi. Apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan bahwa perasaan ini, meskipun terlarang, tidak bisa dihindari? Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri sebelum membalas pesan itu.
“Rivan,” balasnya, “Aku juga merasa hal yang sama. Tapi kita tahu bahwa ini tidak bisa berlanjut. Aku tidak ingin merusak hubungan kita, aku tidak ingin membuat Dita tahu tentang kita. Aku tak bisa menghadapinya.”
Rivan terdiam lama setelah membaca balasan itu. Ada keheningan yang menggelayuti mereka berdua, meskipun jarak mereka terpisah ribuan kilometer. Rivan merasakan kepedihan yang sama. Ia tidak ingin merusak apa yang sudah terjalin di antara mereka, tetapi ia juga tidak bisa terus mengabaikan perasaan itu. Ia tahu bahwa mereka terjebak dalam hubungan yang penuh dengan rahasia, sebuah cinta yang tak bisa terungkapkan dengan mudah.
Mira, di sisi lain, merasa hatinya hancur. Ia tahu bahwa Rivan benar, mereka tidak bisa terus begini. Ada begitu banyak yang dipertaruhkan. Namun, perasaan itu—perasaan yang tumbuh di antara mereka—terus menyiksa. Setiap detik yang ia habiskan tanpa berbicara dengan Rivan terasa semakin menyakitkan.
Di luar itu semua, ada sebuah kenyataan yang semakin jelas di benak mereka berdua—bahwa tidak ada jalan keluar yang mudah dari situasi ini. Mereka tahu bahwa apa yang mereka rasakan adalah sesuatu yang bisa menghancurkan hidup mereka, menghancurkan segala yang telah mereka bangun. Tetapi, apakah mereka cukup kuat untuk melepaskan perasaan itu? Atau apakah mereka akan terus berjalan di jalan yang penuh dengan rahasia, menutupi kebenaran dari dunia di sekitar mereka?
Keduanya terjebak dalam labirin perasaan yang tak mudah dijalani. Setiap detik yang berlalu, setiap percakapan yang mereka lakukan, hanya semakin memperburuk keadaan. Mereka tidak bisa melupakan kenyataan bahwa mereka sedang menjalani hubungan yang terlarang, tetapi juga tidak bisa mengabaikan bahwa perasaan itu semakin mendalam. Rahasia yang mereka simpan semakin sulit disembunyikan, dan waktu yang terus berjalan hanya semakin menambah ketegangan yang mereka rasakan.*
Bab 4: Pergulatan Batin
Malam itu, Mira duduk di tepi jendela apartemennya, memandangi cahaya kota yang memantul di permukaan kaca. Hujan gerimis turun dengan pelan, menciptakan suara lembut yang mengisi keheningan malam. Namun, di dalam dirinya, keheningan itu terasa lebih menekan. Perasaan yang membebaninya semakin sulit untuk ditangkis. Setiap kali ia menatap layar ponselnya, pesan-pesan dari Rivan selalu menggoda hatinya. Namun, ia juga tahu bahwa semakin dalam ia terlibat, semakin sulit untuk menarik diri.
Pikirannya kembali berputar pada pertemuan pertama mereka di acara pernikahan teman kakaknya, Dita. Saat itu, ia merasa seperti dunia mendadak berhenti, hanya ada Rivan dan dirinya, dan semua yang ada di sekitar mereka tampak jauh. Tidak ada yang pernah membuatnya merasa seperti itu sebelumnya. Namun, kini, seiring berjalannya waktu, perasaan itu mulai terasa seperti api yang terus membakar hatinya. Rivan, yang awalnya hanya seorang pria yang tak dikenalnya, kini menjadi bagian dari dirinya, bahkan meski ia tahu hubungan mereka adalah hubungan terlarang.
Mira menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. Ia tidak bisa terus-menerus melarikan diri dari kenyataan. Rivan adalah teman dekat kakaknya. Hubungan ini akan menjadi bencana jika Dita mengetahuinya. Dia tidak bisa membiarkan segalanya hancur hanya karena perasaan yang tidak seharusnya ada. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa menahan diri dari perasaan itu. Setiap pesan dari Rivan terasa seperti dorongan yang tak bisa dihindari. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa nyaman, aman, dan bahkan dicintai.
Rivan, di sisi lain, juga merasakan hal yang sama. Setelah percakapan panjang dengan Mira beberapa malam lalu, ia merasa hatinya semakin berat. Ia tahu bahwa ia harus memilih—antara menuruti perasaannya atau menjaga hubungan dengan Dita yang sudah terjalin lama. Namun, setiap kali ia berpikir untuk mundur, ada perasaan yang menahan. Mira bukan hanya seorang wanita biasa baginya. Dia adalah seseorang yang mampu membuatnya merasa hidup kembali, seseorang yang telah mengisi kekosongan yang selama ini ia rasakan. Namun, dia juga tahu bahwa hubungan ini bisa menghancurkan semuanya. Jika Dita tahu, mereka semua akan hancur.
Malam-malam yang panjang itu terasa semakin sulit bagi keduanya. Meskipun mereka sering berkomunikasi, mereka berdua tahu bahwa semakin lama mereka bersembunyi, semakin sulit untuk keluar dari perasaan ini. Mereka seolah terperangkap dalam suatu permainan yang hanya membawa mereka lebih jauh ke dalam kebingungan. Mira merasa dirinya tak lagi bisa berpikir jernih. Ada dua sisi dalam dirinya yang saling bertentangan. Di satu sisi, ia ingin melarikan diri dari perasaan ini, membiarkan semuanya berlalu dan kembali ke kehidupan normalnya. Tetapi di sisi lain, ada suara dalam hatinya yang terus mendorongnya untuk melanjutkan. Rivan adalah sesuatu yang baru, yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Sementara itu, Rivan juga merasa terjebak. Setiap hari ia mencoba untuk menahan diri, namun semakin ia mencoba menjauh dari Mira, semakin kuat tarikannya. Dia tahu bahwa dirinya sudah jatuh ke dalam lubang yang dalam, dan setiap langkah yang ia ambil, ia semakin terjerumus. Ia mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini semua tidak benar, bahwa ini hanya perasaan sesaat yang bisa dia lupakan. Tetapi, setiap kali ia melihat wajah Mira dalam bayangannya, setiap kali ia mengingat senyum lembut yang sering ditunjukkan Mira padanya, rasa itu semakin sulit untuk diabaikan.
Pagi itu, ketika mereka berbicara melalui telepon, suara Rivan terdengar lebih berat dari biasanya. Mira merasakannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya. Ia menahan napas, berusaha menenangkan diri, takut jika ia terlalu mendalam dalam percakapan ini.
“Mira,” suara Rivan terdengar rendah, “Aku tidak bisa terus begini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”
Mira merasakan kekhawatiran dalam suara Rivan. Ia tahu bahwa perasaan ini semakin membebani mereka berdua. “Rivan, kita tidak bisa terus melanjutkan ini. Kamu tahu itu. Aku tidak ingin kehilangan Dita, dan aku tidak ingin kita semua terperangkap dalam kebohongan.”
Ada keheningan sejenak. Mira bisa merasakan betapa beratnya kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Setiap kata terasa seperti beban yang menekan dadanya, tetapi ia tahu itu adalah satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari perasaan yang semakin sulit dikendalikan.
Rivan menarik napas panjang. “Aku tahu,” jawabnya, “Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Aku ingin lebih dari sekadar teman. Aku ingin lebih dekat denganmu, Mira.”
Mira menggigit bibirnya, perasaan itu semakin memuncak. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang cukup untuk menjelaskan perasaannya. Cinta yang terlarang, yang penuh dengan rahasia dan kebingungan, seolah-olah telah menguasai seluruh tubuhnya.
“Rivan,” bisiknya, “Aku juga merasakannya. Tetapi kita tidak bisa begitu saja mengabaikan segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Kita harus berhati-hati.”
Mereka berdua terdiam. Dalam keheningan itu, hanya ada suara detak jantung mereka yang mengisi ruang kosong. Perasaan itu semakin menguat, namun mereka berdua tahu bahwa hubungan ini akan membawa mereka pada sebuah titik di mana mereka harus memilih—untuk mempertahankan cinta yang terlarang ini, atau menghadapinya dan melepaskan diri.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti sebuah ujian. Mira dan Rivan kini tahu bahwa pergulatan batin mereka tidak akan selesai hanya dengan kata-kata. Mereka harus membuat pilihan—dan itu tidak akan mudah. Cinta yang terlarang ini tidak akan berhenti begitu saja.*
Bab 5: Keputusan yang Sulit
Mira duduk di meja kerjanya, matanya menatap layar komputer yang kosong. Pikirannya terasa berat, dan tak bisa ia elakkan, pikirannya terus menerus kembali kepada Rivan. Setiap kali ia mencoba fokus pada pekerjaan, ada bayang-bayang wajah pria itu yang menghantui. Senyumnya yang hangat, suara lembutnya yang penuh perhatian, dan tatapan matanya yang penuh dengan harapan. Semakin ia berusaha melupakan, semakin perasaan itu tumbuh kuat. Namun, di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia pertimbangkan: Dita, kakaknya yang sangat ia cintai, dan kesetiaan yang telah ia jaga selama ini.
Mira merasa terperangkap dalam dilema yang tak kunjung selesai. Seperti sebuah pusaran air yang terus menariknya ke dalam, semakin lama ia berada di dalamnya, semakin sulit untuk keluar. Setiap pesan dari Rivan membuatnya merasa lebih dekat dengan pria itu, namun juga semakin jauh dari kenyataan yang ada. Ia tahu apa yang terjadi antara mereka tidak bisa terus berlanjut. Cinta itu terlarang, dan meskipun terasa indah, ia tidak bisa membiarkan dirinya menghancurkan segala yang telah ia bangun dengan Dita.
Hari itu, setelah menghabiskan waktu berjam-jam di kantor, Mira pulang ke rumah dengan perasaan yang sangat berat. Setiap langkah terasa seperti beban yang menekan hatinya. Ia memasuki rumah dengan kepala yang penuh dengan berbagai pertanyaan yang belum ada jawabannya. Tanpa disadari, ia telah mencapai titik di mana ia harus memilih. Semua kebingungan ini tak bisa dibiarkan terus berlarut-larut. Apa yang lebih penting baginya? Cinta yang tumbuh secara alami atau menjaga hubungan keluarganya tetap utuh?
Saat memasuki rumah, Dita, kakaknya, sedang duduk di ruang tamu sambil menonton televisi. Mira berusaha tersenyum, tetapi senyum itu terasa terpaksa. Dita menatapnya sebentar sebelum kembali fokus pada layar.
“Kenapa tampak seperti baru saja berlari maraton?” tanya Dita sambil tersenyum, menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan adiknya.
Mira menggelengkan kepala, mencoba menenangkan diri. “Tidak apa-apa, hanya merasa sedikit lelah,” jawab Mira dengan suara yang tenang. Namun, dalam hatinya, kata-kata itu terasa kosong. Tidak ada yang bisa menjelaskan kegelisahan yang sedang ia rasakan.
Mira tahu bahwa Dita selalu menjadi kakak yang perhatian. Mereka berdua sudah melalui banyak hal bersama, dan Mira tidak ingin ada yang merusak hubungan mereka. Ia merasa bersalah karena telah terjebak dalam perasaan yang tidak seharusnya ada. Namun, setiap kali ia berpikir untuk mundur, ada rasa yang membangkitkan hasratnya untuk melanjutkan.
Dita menatapnya lebih lama. “Mira, ada yang ingin kau bicarakan? Aku merasa seperti ada yang mengganjal dari sikapmu belakangan ini.”
Mira merasa dirinya semakin terpojok. Ia tahu ini saatnya untuk membuat keputusan. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Berbicara tentang Rivan, tentang perasaan yang tumbuh di antara mereka, adalah sesuatu yang tak bisa ia bayangkan. Kakaknya tidak akan pernah bisa menerima hal itu, dan itu mungkin akan menghancurkan segala yang telah mereka bangun bersama.
“Aku baik-baik saja, Dita,” Mira akhirnya berkata, berusaha menenangkan kakaknya. “Jangan khawatir. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk diriku sendiri.”
Dita mengangguk, meskipun ia tampaknya tidak sepenuhnya percaya. “Baiklah, kalau begitu. Tapi ingat, kalau ada yang ingin dibicarakan, aku selalu ada untukmu.”
Mira tersenyum, berusaha menunjukkan kesan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, begitu ia masuk ke kamarnya malam itu, ia kembali merasa terjebak. Perasaannya terhadap Rivan semakin kuat, dan setiap kali ia mencoba untuk menjauh, ia merasa semakin terjerat. Tapi, di sisi lain, ia tidak ingin menyakiti kakaknya. Ia tidak ingin Dita merasa dikhianati. Hubungan mereka terlalu berharga untuk dihancurkan hanya karena cinta yang terlarang.
Pada malam itu, Rivan kembali menghubunginya lewat pesan singkat. “Mira, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku tahu ini sulit, tapi aku rasa kita tidak bisa terus mengabaikan apa yang kita rasakan.”
Pesan itu membuat hati Mira berdebar. Ia tahu bahwa Rivan juga merasakan hal yang sama. Ada ketertarikan yang tak bisa disangkal, dan ia merasa terhubung dengannya lebih dari yang ia kira. Namun, pesan itu juga mengingatkannya pada kenyataan yang tak bisa dihindari. Jika mereka terus melanjutkan hubungan ini, mereka akan berisiko kehilangan segalanya—terutama hubungan dengan Dita, yang selama ini selalu menjadi prioritasnya.
Mira menarik napas panjang dan mengetik balasan dengan hati-hati. “Rivan, aku tahu apa yang kita rasakan. Tetapi aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku tidak ingin menghancurkan semuanya. Aku tidak bisa membuat keputusan seperti itu. Aku tidak bisa mengkhianati kakakku.”
Beberapa detik setelahnya, Rivan membalas pesan tersebut. “Aku mengerti, Mira. Aku juga tidak ingin ada yang terluka. Tapi, aku harus jujur, perasaan ini sangat sulit untuk aku abaikan. Aku akan menghormati keputusanmu, tapi aku harap suatu saat nanti kita bisa mencari jalan yang lebih baik.”
Mira menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Setiap kata dari Rivan membuat hatinya semakin terbelah. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah membuat keputusan, tetapi di sisi lain, ia merasa seolah-olah telah kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupnya. Perasaan itu tidak akan pernah hilang, tetapi ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang benar.
Keputusan itu memang sulit, dan meskipun Mira tahu bahwa dia telah mengambil langkah yang tepat untuk menjaga keharmonisan dengan kakaknya, hatinya masih merasa berat. Cinta yang terlarang ini akan terus menghantui pikirannya, tetapi ia percaya bahwa waktu akan membawa mereka pada jalannya masing-masing.
Saat Mira berbaring di tempat tidurnya, matanya terpejam, namun pikirannya terus berputar. Apa yang sudah ia putuskan ini benar-benar langkah yang tepat? Namun, dalam hatinya, ia tahu tidak ada yang lebih penting daripada menjaga hubungan dengan Dita, meskipun itu berarti melepaskan cinta yang tumbuh di dalam hatinya.
Namun, satu hal yang pasti: cinta itu, meskipun harus terhenti, tidak akan pernah benar-benar hilang dari ingatannya.*
Bab 6: Cinta yang Terkubur
Hari-hari berlalu dengan lambat, membawa Mira dalam rutinitas yang semakin terasa kosong. Keputusan yang ia buat untuk mengakhiri hubungan dengan Rivan tidak semudah yang ia bayangkan. Meskipun di luar, ia mencoba menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja, hatinya meronta-ronta. Rasa kehilangan itu menyusup perlahan, menyelinap ke dalam setiap celah pikirannya, dan bersembunyi di balik setiap senyuman yang ia tampilkan. Cinta yang ia coba kubur malah tumbuh dengan cara yang tak terduga.
Di kantor, Mira lebih sering terperangkap dalam kesunyian. Teman-temannya melihatnya lebih pendiam dari biasanya, lebih fokus pada pekerjaan dan kurang tertarik dengan percakapan ringan. Setiap kali ponselnya berdering, hatinya berdegup kencang, meskipun ia tahu itu bukan Rivan yang menghubunginya lagi. Rivan, pria yang pernah memberikan warna baru dalam hidupnya, kini hanya menjadi kenangan yang sulit untuk dilupakan.
Dita, kakaknya, juga mulai merasakan perubahan dalam sikap Mira. Meskipun Mira berusaha menutupi perasaannya, Dita tahu ada sesuatu yang mengganggu adiknya. Pada suatu sore, setelah makan malam bersama, Dita memutuskan untuk berbicara langsung.
“Mira,” kata Dita dengan lembut, “aku tahu kau tidak baik-baik saja. Aku bisa merasakannya. Ada yang ingin kau bicarakan?”
Mira menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang sudah hampir jatuh. Ia tidak ingin membuat Dita khawatir, tetapi ia juga tidak bisa terus menyembunyikan perasaannya. “Aku hanya merasa… kosong, Dita. Rasanya seperti ada yang hilang, meskipun aku tidak tahu apa itu.”
Dita menatapnya dengan penuh perhatian. “Apakah itu tentang… Rivan?”
Mira terdiam. Dalam sekejap, wajah Rivan muncul dalam benaknya, begitu jelas seperti baru kemarin mereka menghabiskan waktu bersama. Semua kenangan indah yang mereka bagi terasa begitu hidup, begitu nyata, namun juga begitu jauh. “Iya, Dita… itu tentang dia,” jawab Mira pelan.
Dita menunduk sejenak, seolah memikirkan sesuatu. Ia tahu bahwa adiknya masih terikat dengan perasaan yang mendalam terhadap Rivan. “Mira, kau tahu bahwa hubungan itu tak bisa diteruskan. Itu salah. Tidak hanya karena dia teman dekatku, tetapi juga karena… banyak hal yang lebih besar yang harus kita pertimbangkan.”
Mira merasakan dadanya sesak. Dita benar. Mereka tidak bisa terus bersama. Ia tahu itu. Namun, perasaan itu, meskipun terkubur dalam-dalam, terus muncul dan mengganggu pikirannya. Cinta yang ia rasakan terhadap Rivan bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah ia hapuskan.
“Kenapa semua ini terasa begitu sulit, Dita?” tanya Mira dengan suara bergetar. “Kenapa aku merasa kehilangan, meskipun aku tahu aku harus melupakan dia?”
Dita mendekat, meletakkan tangan di bahu Mira. “Karena cinta itu bukan hal yang bisa kita kendalikan, Mira. Itu datang tanpa kita bisa menebaknya. Namun, kau harus ingat, ada hal-hal yang lebih penting yang harus kau jaga. Kita punya keluarga, kita punya hidup kita masing-masing. Cinta itu bisa datang dan pergi, tapi keluarga akan selalu ada.”
Mira mengangguk, meskipun hatinya masih terasa berat. Ia tahu kata-kata Dita benar, tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Cinta yang terlarang ini telah mengubah hidupnya, meskipun ia berusaha untuk melupakan. Setiap kali ia berpikir tentang Rivan, perasaan itu kembali hadir, dan ia merasa seperti terjebak dalam sebuah lingkaran yang tidak bisa ia hancurkan.
Hari-hari berlalu, dan Mira mencoba untuk menenangkan hatinya. Ia mulai berfokus pada pekerjaan, mencoba menggali kedalam dirinya untuk menemukan kekuatan yang selama ini ia rasakan hilang. Namun, meskipun segala usaha itu ia lakukan, perasaan itu tetap ada—perasaan terhadap Rivan yang masih mengganggu setiap detik yang ia jalani.
Pada suatu sore yang cerah, Mira menerima sebuah email dari Rivan. Itu adalah email yang sederhana, tanpa embel-embel kata-kata manis atau rayuan. Hanya sebuah pesan singkat yang berisi, “Aku berharap kau baik-baik saja, Mira.”
Mira menatap layar ponselnya dengan napas yang tertahan. Hatinya bergejolak, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan sebuah kedamaian di dalam dirinya. Namun, juga sebuah rasa sakit yang menyayat. Rivan tidak memaksanya untuk kembali, tidak meminta lebih dari apa yang telah terjadi, tetapi pesan itu mengingatkan Mira bahwa perasaan mereka tetap ada, meskipun dunia mereka telah berubah.
Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, di antara dua pilihan yang sulit. Di satu sisi, ia merasa ingin merespon pesan itu, ingin melanjutkan apa yang mereka mulai, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa itu bukan jalan yang benar. Jika ia kembali pada Rivan, ia tahu bahwa ia akan melukai Dita, dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa ia lakukan.
Malam itu, Mira duduk di balkon rumahnya, menatap bintang-bintang yang bersinar terang di langit. Angin malam terasa sejuk, tetapi hatinya tetap panas dengan perasaan yang membara. Cinta itu telah terkubur dalam dirinya, tetapi kenangan tentang Rivan tak bisa hilang begitu saja. Ia tidak tahu bagaimana cara melupakan seseorang yang telah begitu berpengaruh dalam hidupnya.
Dengan perlahan, Mira mengetik balasan pesan untuk Rivan, meskipun hatinya merasa sangat berat. “Aku baik-baik saja, Rivan. Terima kasih sudah peduli. Tapi aku rasa sudah saatnya kita berpisah. Aku tidak bisa terus seperti ini.”
Ketika ia mengirim pesan itu, Mira merasakan seolah-seolah sebuah beban besar terangkat dari pundaknya. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Rivan mungkin akan pergi dari hidupnya, tetapi perasaan itu akan selalu ada, terkubur dalam-dalam, tak pernah benar-benar hilang.
Dalam keheningan malam, Mira menyadari bahwa cinta yang ia coba kubur tidak akan pernah benar-benar terkubur. Ia akan selalu ada di dalam dirinya, meskipun ia tidak bisa memilikinya. Tetapi, di saat yang sama, ia tahu bahwa terkadang cinta memang harus terpendam, untuk memberi ruang bagi kehidupan yang lebih besar.*
Bab 7: Menatap Masa Depan
Waktu terus berjalan, dan Mira semakin menyadari bahwa hidup tidak bisa terus berputar di tempat. Cinta yang terkubur, meskipun tetap ada di dalam hatinya, harus dihadapi dengan kenyataan. Keputusan untuk melepaskan Rivan, meskipun sulit, telah membantunya menyadari bahwa hidupnya harus melangkah maju, mencari kebahagiaan yang tidak bergantung pada masa lalu. Meskipun perasaan itu terkadang datang seperti bayangan yang menyesakkan, Mira tahu bahwa ia harus mencari jalan baru untuk dirinya sendiri.
Hari-hari pertama setelah pesan terakhir yang ia kirim kepada Rivan terasa penuh dengan kegelisahan. Ia merasa hampa, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa luka itu adalah bagian dari proses penyembuhan. Sakit hati, meskipun datang begitu mendalam, akan surut jika diberi waktu. Dan itulah yang Mira butuhkan: waktu.
Pekerjaan di kantor mulai kembali mengisi sebagian besar pikirannya. Meskipun tidak sepenuhnya mengalihkan perhatian dari perasaan yang masih mengganggu, pekerjaan memberikan struktur dan tujuan baru yang Mira perlukan. Ia kembali terlibat dalam proyek-proyek besar yang menantang, berinteraksi dengan rekan-rekan kerjanya, dan perlahan mulai merasa bahwa hidupnya memiliki arah yang lebih jelas. Tetapi, meskipun fokus pada karir, saat-saat sepi tetap datang, dan kenangan tentang Rivan muncul begitu saja.
Pada suatu hari, saat Mira sedang menatap langit kota yang mulai berwarna oranye di sore hari, Dita mengajaknya keluar untuk sekadar berlibur. “Kau sudah lama tidak keluar dengan aku, Mira. Ayo, ikut aku sebentar. Kita perlu waktu untuk diri kita sendiri,” ajak Dita dengan senyum lebar yang penuh harap.
Mira tahu bahwa Dita khawatir padanya. Kakaknya selalu menjadi sosok yang bisa diandalkan, selalu ada ketika ia membutuhkan dukungan. “Baiklah, aku ikut. Ke mana kita akan pergi?” jawab Mira, merasa sedikit lebih ringan mendengar ajakan itu.
Keduanya pergi ke sebuah kafe kecil di pinggiran kota, tempat yang tenang dan penuh dengan tanaman hijau. Atmosfer yang santai dan jauh dari keramaian kota memberi ruang bagi Mira untuk lebih membuka dirinya. Mereka duduk di meja yang terletak di sudut, menikmati secangkir kopi panas dan berbincang tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga impian-impian kecil mereka. Dita, dengan cara khasnya, mencoba membuat Mira tertawa dengan cerita-cerita lucu yang ia temui sehari-hari.
“Kadang aku merasa hidup itu terlalu berat, Dita,” kata Mira setelah beberapa lama terdiam. “Rasanya seperti aku terus melangkah, tetapi tidak tahu ke mana arahku.”
Dita memandang adiknya dengan penuh perhatian. “Aku mengerti perasaanmu, Mira. Tapi kau tahu, hidup tidak selalu harus mengikuti rencana yang kita buat. Terkadang, kita hanya perlu membiarkan diri kita merasa dan menerima semua yang datang. Cinta, kehilangan, harapan—semua itu adalah bagian dari perjalanan hidup.”
Mira mengangguk pelan. Kata-kata Dita terasa menenangkan, meskipun hatinya masih terasa sepi. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus meratapi masa lalu, apalagi jika ia ingin menemukan kebahagiaan sejati. Namun, itu bukan hal yang mudah. Rivan telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam hidupnya, dan meskipun mereka berdua telah berpisah, bayang-bayang cinta itu masih ada, terpatri di dalam dirinya.
Seiring berjalannya waktu, Mira mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari orang lain atau hubungan yang harus ia pertahankan. Kebahagiaan itu datang dari dalam diri sendiri, dari kemampuan untuk berdamai dengan masa lalu dan menatap masa depan dengan kepala tegak. Ia tidak lagi mencari kebahagiaan dari seseorang yang tidak bisa ia miliki, melainkan berusaha menemukan makna dalam hal-hal kecil yang sehari-hari.
Pada suatu sore, setelah beberapa minggu berlalu, Mira mendapatkan tawaran pekerjaan baru yang sangat menarik. Sebuah peluang yang selama ini ia impikan, bekerja di perusahaan internasional yang menawarkan pengalaman dan tantangan besar. Tawaran itu datang tiba-tiba, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, dan Mira merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk memulai babak baru dalam hidupnya.
“Apa yang kau pikirkan, Mira?” tanya Dita dengan cemas ketika Mira menceritakan tawaran itu.
Mira terdiam sejenak, merenung. “Aku merasa ini adalah kesempatan besar. Mungkin aku bisa belajar banyak dan menemukan arah baru dalam hidupku. Meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi, aku merasa ini adalah langkah yang benar.”
Dita tersenyum bangga. “Aku yakin kau bisa melakukannya. Kadang, kita harus meninggalkan zona nyaman untuk menemukan diri kita yang sebenarnya.”
Mira merasa didukung. Rasanya seperti ada kekuatan baru dalam dirinya yang tumbuh, memberikan semangat untuk bergerak maju. Meskipun perasaan terhadap Rivan belum sepenuhnya hilang, ia tahu bahwa kehidupan terus berjalan, dan ia harus mengikuti alur yang ada, berani melangkah meskipun terkadang takut akan hal yang belum diketahui.
Hari-hari setelah itu dipenuhi dengan persiapan untuk pekerjaan baru yang akan dimulai. Mira merasa ada perubahan besar dalam hidupnya. Ia tidak lagi terikat pada bayang-bayang masa lalu, meskipun kenangan itu masih ada. Cinta yang terkubur perlahan mulai menemukan tempatnya, tidak lagi menguasai hidupnya, tetapi sebagai bagian dari perjalanan yang telah membentuk siapa dirinya.
Pada malam terakhir sebelum memulai pekerjaan barunya, Mira duduk di balkon rumahnya, menatap bintang-bintang yang bersinar terang. Seperti bintang-bintang itu, hidupnya pun bisa bersinar kembali, meskipun ia harus melalui gelapnya malam terlebih dahulu. Ia tahu bahwa di masa depan, banyak hal yang menantinya—tantangan, peluang, dan mungkin cinta yang baru. Namun, yang paling penting, ia kini siap untuk menatap masa depan dengan lebih percaya diri.
Cinta, kehilangan, dan perjalanan hidup telah mengajarinya banyak hal. Dan meskipun tak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, Mira yakin bahwa masa depan akan memberi kesempatan baru bagi siapa saja yang berani melangkah, berani mencintai, dan berani melepaskan.
Dengan perasaan lega, ia menutup mata, membiarkan angin malam menyapu wajahnya, dan menyambut pagi yang baru dengan harapan yang lebih besar.***
—————-THE END—————-