Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

MENCINTAI YANG TAK SEHARUSNYA

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 22 mins read
MENCINTAI YANG TAK SEHARUSNYA

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
  • Bab 2: Jarak yang Menjadi Penghubung
  • Bab 3: Cinta yang Tidak Seharusnya
  • Bab 4: Terbentur pada Realita
  • Bab 5: Ujian Cinta
  • Bab 6: Keputusan Terakhir
  • Bab 7: Pelajaran dari Cinta yang Tak Seharusnya

Bab 1: Pertemuan Tak Terduga

 

Alya duduk termenung di depan laptopnya, matanya menatap layar yang terang benderang, namun pikirannya kosong. Kuliah online telah selesai, dan sisa waktunya kini dipenuhi oleh rasa hampa yang sulit dijelaskan. Sudah beberapa bulan sejak ia meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan pendidikan di sebuah universitas besar di luar kota. Meskipun kehidupannya tampak sibuk dan teratur, ada satu hal yang selalu mengganjal: kesendirian.

 

Selama ini, ia berusaha keras untuk tidak terlarut dalam perasaan kesepian. Berteman dengan banyak orang, bergabung dalam berbagai kegiatan kampus, namun entah mengapa, rasa kesendirian itu tidak pernah benar-benar hilang. Tak ada yang benar-benar memahami dirinya. Ada yang mengatakan bahwa ia terlalu serius, atau mungkin terlalu tertutup. Namun Alya merasa, tak ada yang benar-benar ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.

 

Suatu malam, setelah selesai menyelesaikan tugas kuliah, Alya memutuskan untuk membuka aplikasi forum diskusi yang sering digunakan untuk saling berbagi informasi tentang kampus dan kegiatan akademik. Tak ada yang spesial, hanya untuk mengisi waktu luangnya. Namun, malam itu sesuatu yang tak terduga terjadi.

 

Alya terhenti pada sebuah topik yang menarik perhatiannya: “Mencari Teman Diskusi: Film dan Sastra”.

 

Tulisan pertama yang ia baca di topik itu ditulis oleh seseorang dengan nama pengguna Raka_18. Isi tulisannya sederhana, berbicara tentang film dan bagaimana ia menemukan filosofi kehidupan dalam berbagai film klasik. Alya merasa ada kesamaan dengan pemikirannya. Ia juga sering memikirkan hal-hal seperti itu, bagaimana film bisa mengubah cara pandangnya terhadap dunia. Tanpa pikir panjang, Alya membalas pesan itu.

 

“Hi, aku juga suka banget film-film klasik. Ada film yang menurutmu wajib tonton?” tulis Alya, tanpa ekspektasi apapun.

 

Beberapa menit kemudian, balasan muncul. “Halo! Senang bisa menemukan seseorang yang punya minat sama. Kalau soal film, aku selalu rekomendasikan The Shawshank Redemption. Menurutku film itu tentang harapan yang tak pernah padam. Bagaimana denganmu?”

 

Alya tersenyum membaca balasan itu. Ia merasa aneh, seperti berbicara dengan seseorang yang sudah lama dikenalnya. Hatinya sedikit berdebar, meskipun ia tidak tahu siapa orang di balik nama Raka_18. Kejutan pertama datang ketika mereka melanjutkan percakapan tentang film dan akhirnya berbicara tentang buku-buku favorit. Tak lama kemudian, obrolan mereka meluas ke topik lainnya—musik, perjalanan, dan kehidupan.

 

Setiap kali Alya membuka percakapan dengan Raka_18, ia merasa seolah dunia di sekelilingnya menghilang. Rasa kesepian yang ia rasakan selama ini sedikit demi sedikit mulai sirna, digantikan dengan perasaan hangat yang aneh. Mereka berbicara lebih banyak tentang mimpi-mimpi mereka, masa lalu, dan harapan-harapan mereka untuk masa depan.

 

Namun, ada satu hal yang Alya sadar sejak awal, yaitu nama pengguna Raka yang tidak pernah menyebutkan identitas asli dirinya. Rasa penasaran pun mulai muncul. Siapa sebenarnya orang ini? Mengapa ia begitu tertutup tentang dirinya?

 

Suatu malam, saat keduanya tengah berbicara tentang pengalaman pribadi yang mereka alami, Alya tak bisa menahan rasa ingin tahunya.

 

“Raka,” tulis Alya dengan cepat, “Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku nama asli kamu? Aku merasa kita sudah cukup dekat untuk itu.”

 

Raka membalas pesan itu dengan sedikit jeda. Beberapa detik yang terasa begitu lama, sampai akhirnya balasannya muncul.

 

“Aku tahu, mungkin itu terdengar aneh. Tapi aku lebih suka tetap anonim di sini. Hanya ingin berbicara tanpa beban atau ekspektasi dari siapa pun. Lagipula, aku rasa kita berbicara lebih jujur kalau tidak tahu terlalu banyak tentang satu sama lain.”

 

Alya merenung sejenak. Ada sesuatu yang dalam dengan jawaban itu. Ia merasa bisa memahami apa yang Raka maksudkan. Kadang-kadang, menyembunyikan identitas atau latar belakang memberi kebebasan untuk menjadi diri sendiri tanpa adanya penilaian dari orang lain. Alya pun tersenyum, merasa semakin tertarik pada orang ini.

 

Malam itu, setelah percakapan panjang yang penuh tawa dan cerita, Alya merasa ada yang berbeda. Ada ikatan yang tak kasat mata antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Meskipun hanya melalui layar laptop, hubungan yang tumbuh terasa nyata. Mereka sudah seperti teman lama yang saling mengerti tanpa harus bertemu.

 

Namun, ketika Alya menutup laptopnya dan berbaring di tempat tidurnya, ia mulai menyadari sesuatu. Sesuatu yang mengusik pikirannya. Kenapa perasaan ini muncul begitu cepat? Apakah ini hanya karena ia merasa kesepian? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam lagi?

 

Alya tidak tahu jawaban pasti, tetapi yang ia tahu adalah, ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang sedang tumbuh itu. Hubungan yang terjalin tanpa rencana, tanpa ada pertemuan fisik, namun begitu kuat dan berharga. Itulah yang mulai mengisi pikirannya, bahkan ketika ia mencoba untuk tidur. Dan malam itu, Alya tertidur dengan perasaan yang campur aduk—bahagia sekaligus bingung.

 

Namun, satu hal yang pasti: ia sudah terjebak dalam percakapan ini. Terjebak dalam hubungan yang, meskipun hanya dimulai dengan ketidak sengajaan, kini telah mengubah segalanya.*

Bab 2: Jarak yang Menjadi Penghubung

 

Hari-hari berlalu dengan cepat setelah percakapan pertama yang tak terduga itu. Alya mulai terbiasa dengan rutinitas barunya—kuliah, tugas, dan pertemuan virtual dengan teman-teman kampus. Namun, ada satu hal yang selalu ia tunggu setiap harinya: pesan dari Raka_18. Setiap kali notifikasi muncul di layar ponselnya, hatinya berdebar. Entah itu sebuah kalimat sederhana atau percakapan panjang lebar tentang film, musik, atau kehidupan, setiap interaksi dengan Raka terasa begitu berarti.

 

Meski hanya berkomunikasi lewat aplikasi chatting, Alya merasa seperti sudah mengenal Raka lebih dari sekadar teman biasa. Setiap kata yang ia baca terasa sangat personal, seolah-olah mereka telah berbagi banyak hal dalam waktu yang sangat singkat. Percakapan mereka sering berlanjut hingga larut malam, ketika keduanya merasa dunia di sekitar mereka seperti menghilang, meninggalkan hanya satu hal yang penting: hubungan yang semakin dalam.

 

Tentu saja, ada hal yang selalu membuat Alya merasa ragu—jarak. Mereka berada di dua tempat yang sangat jauh, bahkan lebih jauh dari yang pernah ia bayangkan. Raka tinggal di sebuah kota kecil di luar pulau, jauh dari kehidupan kampus Alya yang sibuk dan penuh dengan interaksi sosial. Tidak ada kemungkinan untuk bertemu langsung, tidak ada kejelasan apakah hubungan ini akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih, dan apakah keduanya siap untuk itu.

 

Namun, seiring berjalannya waktu, Alya mulai merasa bahwa jarak itu justru menguatkan ikatan mereka. Mereka tidak terikat oleh dunia fisik yang penuh dengan gangguan. Tanpa perlu bertemu langsung, mereka bisa berbicara lebih jujur tentang perasaan mereka. Tanpa tatapan mata yang menghakimi, mereka bisa membicarakan hal-hal yang lebih pribadi, hal-hal yang mungkin tidak akan mereka bagikan pada orang lain.

 

Suatu hari, saat mereka tengah mengobrol tentang buku favorit, Raka menulis pesan yang membuat Alya tersenyum lebar.

 

“Jika aku ada di dekatmu, mungkin kita bisa pergi ke toko buku bersama, kan? Aku ingin tahu lebih banyak tentang pilihan bukumu.”

 

Alya tergelak. Kalimat itu, meskipun sederhana, membuat hatinya terasa hangat. Bayangan tentang Raka, meskipun hanya melalui kata-kata di layar, begitu hidup dalam pikirannya. Ia membayangkan betapa menyenangkannya bisa berjalan berdua di tengah kota, berbicara tentang buku-buku, film, dan segala hal yang mereka sukai.

 

Namun, bayangan itu dengan cepat menghilang ketika Alya kembali pada kenyataan: mereka berada di tempat yang sangat jauh, dan saat itu, bertemu langsung hanyalah sebuah mimpi yang tak bisa segera terwujud.

 

Alya menggigit bibir bawahnya, merenung. “Kenapa aku harus berpikir seperti ini?” gumamnya pada diri sendiri. “Kita bahkan belum pernah bertemu. Ini hanya percakapan di dunia maya, kan?”

 

Tetapi, meskipun ada keraguan yang mengganggu pikirannya, Alya tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia mulai merasa sangat dekat dengan Raka. Perasaan yang tidak seharusnya tumbuh begitu dalam. Ada semacam kenyamanan yang tak bisa ia jelaskan, meski hanya berbicara lewat pesan teks atau panggilan suara.

 

Di sisi lain, Raka juga merasakan hal yang sama. Setiap kali ia membuka ponselnya dan melihat pesan dari Alya, ada semacam kebahagiaan yang mengalir di dalam dirinya. Perbincangan mereka terasa sangat ringan, namun dalam. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari hal-hal kecil sehari-hari hingga topik-topik yang lebih serius tentang kehidupan dan impian masa depan. Meskipun belum pernah bertemu, Raka merasa Alya adalah orang yang sangat ia percayai, seseorang yang bisa memahami dirinya tanpa perlu penjelasan panjang.

 

Namun, meski keduanya merasa nyaman dengan hubungan ini, ada ketakutan yang perlahan merayapi hati mereka. Ketakutan bahwa hubungan ini, meski hangat dan mendalam, hanyalah sebuah ilusi yang dibangun di atas jarak yang membatasi. Bagaimana mungkin dua orang yang tidak pernah bertemu bisa memiliki hubungan yang lebih dari sekadar pertemuan virtual?

 

Suatu malam, setelah beberapa hari tidak berkomunikasi, Alya merasa ada yang aneh. Biasanya, Raka akan membalas pesannya dengan cepat, namun malam itu, ada jeda yang lama. Alya memutuskan untuk mengirim pesan lagi, kali ini lebih panjang, menanyakan bagaimana kabar Raka dan apakah semuanya baik-baik saja.

 

Ternyata, Raka membalas dengan sebuah pesan yang membuat hati Alya sedikit terhentak. “Aku baik-baik saja, Alya. Hanya saja, aku merasa sedikit ragu. Apakah hubungan seperti ini benar-benar bisa bertahan? Kita hanya berbicara lewat layar, tanpa pernah benar-benar bertemu.”

 

Pesan itu membuat Alya terdiam sejenak. Rasa ragu yang muncul di pesan Raka mencerminkan perasaan yang sama dalam dirinya. Ia pun merasa takut, takut jika perasaan ini hanya sementara, atau jika suatu saat mereka akan merasa kecewa setelah bertemu di dunia nyata.

 

Namun, meskipun ada keraguan, Alya merasa bahwa mereka telah membangun sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan biasa. Ada semacam kedekatan yang tumbuh, dan meski jarak memisahkan mereka, Alya merasa hubungan ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia membalas pesan Raka dengan hati-hati.

 

“Aku mengerti. Aku juga merasakannya. Tapi aku percaya kalau perasaan ini tulus. Jarak mungkin membuat kita ragu, tapi bukan berarti kita tidak bisa saling memahami. Setidaknya, selama ini aku merasa kamu ada di sini, dalam percakapan kita.”

 

Raka tidak langsung membalas. Ada jeda yang panjang, namun Alya tidak merasa khawatir. Sebelum tidur, ia memutuskan untuk menutup matanya dengan sebuah harapan kecil: bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, ikatan ini akan terus bertahan. Karena meskipun tak terlihat, rasa saling pengertian dan kenyamanan yang mereka bagi terasa lebih nyata daripada yang pernah ia bayangkan.

 

Jarak tidak selalu menjadi penghalang. Terkadang, justru jarak itulah yang memberikan ruang bagi hubungan untuk tumbuh dengan cara yang berbeda, tanpa beban, dan tanpa ekspektasi berlebihan.*

Bab 3: Cinta yang Tidak Seharusnya

 

Hari-hari berlalu dengan kecepatan yang tak terduga. Setiap kali membuka ponsel atau laptop, Alya tahu dengan pasti bahwa pesan dari Raka_18 selalu menunggunya. Mereka semakin dekat, semakin sering berbicara, dan semakin sulit untuk mengabaikan perasaan yang semakin mendalam. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya. Sesuatu yang membuat hatinya ragu, bahkan saat ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa hubungan ini mungkin bisa bertahan.

 

Alya duduk di meja belajarnya, menatap layar laptop dengan kosong. Sebuah pesan baru muncul dari Raka_18. Matanya tertuju pada kata-kata itu, namun pikirannya seolah tak bisa fokus. Beberapa minggu terakhir, ia merasakan perasaan yang semakin kuat untuk Raka, perasaan yang seharusnya tidak muncul. Cinta, yang semula terasa ringan dan tak terduga, kini terasa seperti beban. Sebuah perasaan yang ia tahu tidak bisa dipertahankan selamanya.

 

“Alya, aku merasa kita sudah cukup dekat. Aku ingin jujur denganmu. Aku suka padamu. Meskipun kita berada di dua tempat yang sangat jauh, perasaan ini semakin nyata. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu,” tulis Raka dalam pesannya.

 

Alya menatap kata-kata itu. Hatinya berdebar, tapi di saat yang sama, ada perasaan cemas yang menjalar. Ia tahu perasaan itu ada, bahkan sudah sejak lama. Raka, dengan cara yang unik dan penuh perhatian, telah menyentuh bagian dari dirinya yang lama terkunci rapat. Namun, ada sesuatu yang terus menghalangi pikirannya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar jarak.

 

Raka melanjutkan, “Aku tahu ini mungkin aneh, dan aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Tapi aku harus jujur tentang sesuatu. Aku datang dari latar belakang yang sangat berbeda, dan ada banyak hal yang membuat hubungan kita terasa… sulit. Cinta ini mungkin tidak seharusnya ada.”

 

Alya menghela napas panjang, seolah-olah beban yang tak terlihat tiba-tiba jatuh di pundaknya. Apa yang sedang Raka katakan? Latar belakang yang berbeda, kata-kata itu bergema di benaknya. Selama ini, Alya hanya terfokus pada koneksi emosional mereka, pada kedekatan yang tumbuh tanpa perlu bertemu secara fisik. Namun, kenyataan yang tiba-tiba muncul ini seakan menamparnya. Cinta ini—perasaan yang mereka bangun, meskipun terjalin lewat layar—mungkin tidak seharusnya terjadi.

 

Alya memikirkan banyak hal. Apakah Raka benar-benar serius? Atau apakah ia hanya merasa terjebak dalam perasaan yang timbul begitu cepat? Namun, ada juga suara lain dalam dirinya yang mengatakan bahwa perasaan ini bukan hanya sekadar ilusi. Itu nyata. Setiap kali mereka berbicara, ia merasa seperti menemukan teman sejati, seseorang yang memahami dirinya tanpa perlu penjelasan berlebihan.

 

Namun, kenyataan bahwa mereka datang dari dunia yang sangat berbeda menjadi peringatan. Raka berasal dari keluarga yang sangat konservatif, dan banyak orang di sekitarnya tidak akan menyetujui hubungan mereka. Alya tahu bahwa cinta seperti ini bisa berbahaya. Perasaan mereka mungkin tak akan diterima oleh keluarga atau teman-teman dekat Raka, atau bahkan oleh dirinya sendiri jika terlalu lama dipertahankan.

 

Alya mengirim balasan, mencoba menenangkan dirinya dan Raka pada saat yang sama. “Aku juga merasa hal yang sama, Raka. Aku suka kamu, sangat suka. Tapi aku mengerti jika kita berada dalam situasi yang sulit. Kita berasal dari dunia yang berbeda, dan aku tahu itu bisa menjadi halangan. Tapi aku ingin tahu apakah ini perasaan yang hanya sementara atau sesuatu yang lebih.”

 

Setelah beberapa menit, balasan Raka datang. “Aku tidak tahu jawabannya, Alya. Aku juga bingung. Aku merasa terhubung denganmu, tetapi ada banyak hal yang membebani pikiranku. Keluargaku… mereka tidak akan pernah menerima hubungan seperti ini. Tidak hanya karena jarak yang memisahkan kita, tapi ada alasan lain yang lebih dalam. Ada hal-hal yang tak bisa aku jelaskan dengan mudah.”

 

Alya merasakan hatinya teriris. Raka tampak seperti sedang bertarung dengan dirinya sendiri, antara perasaan yang tulus terhadapnya dan kenyataan hidup yang memaksa untuk berpikir lebih rasional. Seperti yang sudah Alya duga, hubungan ini tidak semudah yang ia bayangkan. Ada banyak alasan mengapa hubungan ini tidak bisa berlanjut, meskipun keduanya merasa terikat.

 

Sebuah keheningan melanda percakapan mereka. Keduanya saling diam, masing-masing mencoba mencerna apa yang baru saja dibicarakan. Namun, Alya merasa hatinya dipenuhi kebingungannya sendiri. Di satu sisi, ia merasa bahwa cinta ini bukanlah hal yang salah, bahwa ia bisa menerima segala rintangan demi seseorang yang membuatnya merasa hidup. Namun, di sisi lain, ia tahu betul bahwa kadang-kadang, cinta yang tidak seharusnya ada memang harus dilepaskan.

 

Seminggu berlalu, dan meskipun keduanya masih saling mengirim pesan, ada ketegangan yang terasa. Mereka berbicara tentang hal-hal biasa, seperti buku yang sedang mereka baca atau film yang baru ditonton, tetapi ada sesuatu yang hilang. Cinta yang dulu terasa ringan dan bebas kini terhimpit oleh rasa takut dan keraguan. Raka tidak pernah lagi mengungkapkan perasaan yang sama, dan Alya mulai merasa seolah-olah dia sedang kehilangan dirinya sendiri dalam hubungan yang penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban.

 

Suatu malam, setelah beberapa hari tanpa percakapan panjang, Alya mengirim pesan singkat. “Raka, apakah kita benar-benar bisa melanjutkan ini? Aku takut kita hanya berlarut-larut dalam sesuatu yang tidak seharusnya ada.”

 

Raka membalas dengan pesan yang membuat hati Alya berat. “Aku rasa kita harus memberi ruang pada diri kita sendiri. Mungkin ini lebih baik, Alya. Aku tidak ingin kita terus berharap pada sesuatu yang bisa jadi hanya akan melukai kita di akhirnya. Terima kasih sudah ada untukku, meskipun kita tahu ini bukan jalan yang bisa kita tempuh bersama.”

 

Alya menatap layar ponselnya dengan mata yang basah. Cinta itu memang terasa begitu indah, tetapi kadang-kadang cinta yang tidak seharusnya ada memang harus dilepaskan, agar keduanya bisa melanjutkan hidup tanpa rasa sakit yang mendalam.

 

Mereka berdua tahu bahwa, meskipun perasaan ini begitu nyata, cinta yang terlarang mungkin memang harus berakhir di sini. Namun, perasaan itu tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Akan ada kenangan yang selalu hidup, meskipun jarak dan waktu memisahkan mereka.*

Bab 4: Terbentur pada Realita

 

Alya duduk termenung di sudut kamarnya, matanya menatap kosong ke luar jendela yang menghadap ke jalanan kota yang sibuk. Pagi itu seharusnya menjadi awal yang menyegarkan setelah seminggu penuh dengan tugas kuliah yang menguras tenaga. Namun, hatinya terasa berat. Walaupun ia berusaha tersenyum dan berbaur dengan teman-temannya, ada sebuah kekosongan yang tak bisa ia sembunyikan. Perasaan itu datang begitu tiba-tiba, mengisi setiap sudut pikirannya, seolah-olah ia tak bisa berlari darinya.

 

Raka. Semua yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir berkaitan dengan Raka. Pertemuan yang tak terduga, percakapan yang tanpa henti, dan akhirnya—keputusan yang harus mereka ambil bersama. Terkadang, Alya merasa seperti berada dalam mimpi, terjaga dalam keadaan bingung dan bingung tentang langkah yang harus diambil.

 

Kenyataan yang mereka hadapi kini mulai terasa lebih nyata, lebih berat. Setelah berbicara panjang lebar dengan Raka beberapa waktu lalu, Alya tahu bahwa hubungan mereka semakin sulit untuk diteruskan. Mereka sudah mencoba untuk mempertahankan perasaan itu, meskipun ada banyak rintangan yang menghalangi. Namun, pada akhirnya, mereka terbentur pada realita yang tak bisa dipungkiri: jarak, perbedaan latar belakang, dan beban dari kehidupan masing-masing.

 

Alya merasa seperti terjebak di persimpangan. Di satu sisi, ia tidak ingin melepaskan Raka, karena perasaan yang mereka bangun bersama terasa begitu tulus dan kuat. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa melanjutkan hubungan ini hanya akan membawa lebih banyak kesulitan. Cinta itu, meskipun tumbuh begitu alami, tidak bisa melawan kenyataan yang ada di depan mereka.

 

Pada suatu sore, ketika ia sedang duduk di bangku taman kampus, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Raka. Alya sudah lama menunggu, tetapi hati kecilnya tahu bahwa pesan itu mungkin berisi hal yang tidak ingin ia dengar. Ia membuka pesan tersebut dengan sedikit ragu.

 

“Alya, aku sudah banyak berpikir. Aku rasa kita harus berhenti. Aku tidak ingin ada yang terluka lebih jauh. Kita tidak bisa terus seperti ini, dan aku tidak ingin hubungan kita menjadi sesuatu yang membebani kita.”

 

Pesan itu membuat Alya terdiam. Walaupun sudah menduganya, hatinya tetap terasa sakit saat membaca kata-kata itu. Setiap kalimat yang Raka tulis terasa seperti duri yang menusuk. Ia tahu bahwa keputusan itu adalah yang terbaik untuk mereka berdua, tetapi tetap saja, rasa sakit itu datang begitu nyata. Seolah-olah sebuah pintu yang semula terbuka lebar kini tertutup rapat tanpa bisa dibuka lagi.

 

Alya menatap layar ponselnya untuk beberapa saat, seolah mencoba mencari alasan, atau mungkin secercah harapan yang bisa membuatnya mengubah keputusan itu. Tetapi kenyataan sudah terlalu jelas. Raka benar, mereka memang terbentur pada realita yang tak bisa dihindari.

 

“Raka, aku tahu ini bukan keputusan yang mudah. Aku juga merasa hal yang sama. Tetapi, aku juga tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang harapan yang tidak pasti. Terima kasih sudah ada untukku, meskipun kita tahu kita tidak bisa bersama,” balas Alya, meskipun suaranya terasa serak di balik pesan itu.

 

Beberapa detik kemudian, balasan dari Raka muncul. “Alya, aku akan selalu menghargai waktu yang kita habiskan bersama, meskipun kita tidak bisa bertemu. Aku berharap kita bisa menemukan kebahagiaan masing-masing.”

 

Dengan pesan itu, hubungan mereka berakhir. Alya menundukkan kepala, merasakan air mata yang perlahan membasahi pipinya. Bagaimana bisa cinta yang begitu nyata harus berakhir seperti ini? Tetapi, di satu sisi, ia tahu bahwa ini adalah hal yang harus mereka lakukan. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, tidak ada lagi yang bisa ditunggu.

 

Alya merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, namun juga merasa lega, seolah beban yang sudah lama menggunung kini akhirnya jatuh. Setidaknya, mereka tidak perlu terus menjalani hubungan yang penuh dengan ketidakpastian. Tapi mengapa rasanya tetap menyakitkan?

 

Seiring berjalannya waktu, Alya mencoba untuk melanjutkan hidupnya. Ia kembali fokus pada kuliah dan kegiatan kampus. Teman-temannya mencoba menghiburnya, dan meskipun ia tersenyum, hatinya masih sering dihantui oleh kenangan tentang Raka. Ia tidak bisa menghindar dari kenangan-kenangan itu, kenangan tentang percakapan panjang yang mereka jalani, tentang tawa yang mereka bagikan, tentang perasaan yang tulus meskipun tak pernah terwujud dalam kenyataan.

 

Namun, Alya tahu bahwa ia harus belajar menerima kenyataan ini. Ia harus melepaskan perasaan itu, meskipun tidak mudah. Cinta yang ia rasakan untuk Raka, meskipun begitu kuat, harus menjadi kenangan yang indah, bukan sesuatu yang membuatnya terjebak dalam ketidakpastian. Ini adalah bagian dari proses belajar tentang hidup, tentang hubungan, dan tentang menerima kenyataan bahwa tidak semua hal bisa berakhir seperti yang kita harapkan.

 

Pada suatu malam, saat ia sedang duduk di balkon kamar asrama, Alya kembali memikirkan semuanya. Raka, dengan segala kebaikannya, telah menjadi bagian dari hidupnya, meskipun hanya untuk sementara. Ada banyak hal yang ia pelajari darinya—tentang cinta, tentang kehidupan, dan tentang bagaimana cara menerima kenyataan yang pahit sekalipun. Meskipun mereka tidak bisa bersama, Alya merasa bahwa hubungan itu telah mengajarinya banyak hal yang berharga.

 

“Apa yang bisa kita lakukan dengan perasaan yang tidak bisa kita wujudkan?” pikirnya. “Kadang-kadang, kita hanya perlu membiarkannya pergi, menerima bahwa cinta itu tidak selalu harus berakhir dengan kebahagiaan yang kita impikan.”

 

Alya menatap langit malam yang penuh bintang, merasakan angin sejuk yang berhembus. Ia tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan, dan bahwa ia akan menemukan kebahagiaannya sendiri, meskipun jalannya tidak selalu mudah. Tapi, untuk saat ini, ia merasa siap untuk melangkah maju, melepaskan kenangan tentang cinta yang tak seharusnya ada.

 

Karena terkadang, cinta yang tidak seharusnya ada memang harus berakhir. Dan meskipun itu terasa menyakitkan, itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus diterima.*

Bab 5: Ujian Cinta

 

Alya tidak pernah menyangka bahwa suatu hari ia akan menemukan dirinya dalam posisi seperti ini—berjuang dengan perasaan yang begitu berat, terjepit antara cinta yang tulus dan kenyataan yang tak bisa dihindari. Setelah hubungan dengan Raka berakhir, Alya merasa seolah-olah dunia di sekitarnya bergerak lebih cepat daripada dirinya. Ia berusaha melanjutkan hidup, melupakan Raka dan kenangan yang sempat membuatnya merasa bahagia. Namun, semakin ia mencoba melepaskan, semakin kuat rasa itu menggenggamnya, seolah-olah cinta itu menuntut untuk dihargai, meski keduanya terpisah jauh.

 

Alya memutuskan untuk fokus pada kuliah dan kegiatan-kegiatan kampus. Namun, saat malam tiba dan sepinya mulai menyelimuti kamar kostnya, pikiran tentang Raka selalu datang kembali. Meskipun ia tahu perpisahan itu adalah pilihan yang tepat, hatinya tetap terasa kosong. Tidak ada yang bisa menggantikan perasaan yang ia rasakan untuknya. Setiap pesan, setiap suara, setiap tawa yang pernah mereka bagi terasa begitu jelas dalam ingatannya. Raka, dengan segala kehangatannya, adalah seseorang yang selalu ia ingin hadapi setiap hari.

 

Hari itu, saat ia sedang berjalan menuju kelas, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sudah tidak asing lagi di matanya. “Alya, aku tahu ini tidak mudah. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu.”

 

Pesan itu datang dari Raka.

 

Alya terdiam sejenak. Hatinya berdebar hebat. Setelah berbulan-bulan berlalu, mereka belum benar-benar berkomunikasi lagi, dan tiba-tiba Raka menghubunginya kembali. Rasa rindu dan kebingungannya bercampur aduk. Ia tidak tahu harus merespons seperti apa. Perasaan yang telah ia coba atasi kini muncul kembali, begitu kuat dan mengusik.

 

Dengan sedikit keraguan, Alya membalas pesan itu. “Aku baik-baik saja, Raka. Kamu bagaimana?”

 

Sekilas, ada rasa lega di hati Alya setelah pesan itu terkirim, seolah-olah ia baru saja melepaskan sebuah beban yang tidak ia sadari sudah terlalu lama tertahan. Tidak lama kemudian, balasan dari Raka masuk. “Aku kangen ngobrol sama kamu, Alya. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa ada yang hilang dari hidupku tanpa kamu.”

 

Kata-kata itu seperti sabetan pedang yang menembus perasaan Alya. Ia tahu bahwa Raka merasa hal yang sama. Kenyataan bahwa mereka berdua masih merindukan satu sama lain hanya menambah rasa sakit yang sudah cukup menggerogoti hatinya. Ia berjuang keras untuk tidak terjebak dalam perasaan itu lagi, tetapi kadang-kadang, kenangan dan perasaan itu terlalu kuat untuk diabaikan.

 

“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Raka?” tulis Alya dengan hati yang dipenuhi kebingungan. “Kita sudah memutuskan untuk berhenti, dan aku sudah mencoba untuk melanjutkan hidupku tanpa kamu. Tapi sekarang, setelah mendengar kata-katamu, aku merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang sama.”

 

Ada jeda panjang sebelum Raka membalas. Alya merasakan hatinya semakin gelisah. Apa yang akan Raka katakan kali ini? Apakah mereka akan kembali pada titik awal, atau akankah perasaan mereka tetap menjadi kenangan yang harus mereka lupakan?

 

“Kadang-kadang, aku berpikir, mungkin kita tidak pernah benar-benar saling melepaskan, Alya. Mungkin cinta ini memang tidak bisa dihindari. Aku tahu kita harus berpisah, tapi aku juga tahu aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini begitu saja,” tulis Raka, kali ini dengan kata-kata yang penuh emosi.

 

Alya menarik napas dalam-dalam, menahan agar air mata tidak tumpah. Cinta itu, meskipun sempat mereka tinggalkan, ternyata masih tertinggal, berakar dalam hati mereka. Tapi kini, keduanya tahu betul bahwa hubungan ini tidak bisa seperti sebelumnya. Realitas yang mereka hadapi terlalu berat untuk dilawan. Mereka telah kembali pada titik yang sama, berhadapan dengan ujian cinta yang lebih besar dari sebelumnya.

 

“Raka, aku tahu kita tidak bisa terus seperti ini. Ada banyak hal yang harus kita hadapi, bukan hanya perasaan kita. Ada keluarga, ada impian, ada masa depan yang mungkin berbeda. Cinta ini, meskipun sangat kuat, mungkin memang harus tetap terhenti di sini,” tulis Alya, dengan suara yang serak dan hati yang hancur. “Aku takut, kita hanya akan saling menyakiti jika kita terus berjuang dengan cinta ini. Kadang, cinta yang tulus pun tidak cukup untuk mengatasi segala halangan.”

 

Pesan itu adalah kata-kata yang paling sulit ia tulis, tetapi Alya tahu itu adalah hal yang harus dilakukan. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun cinta itu ada, hubungan mereka tidak bisa dilanjutkan. Perasaan mereka tidak cukup kuat untuk menahan semua ujian yang datang.

 

Namun, Raka tidak membiarkan perasaan mereka begitu saja terkubur. Beberapa hari setelah percakapan itu, ia mengirimkan sebuah pesan lagi, yang kali ini terasa lebih serius. “Alya, aku sudah memikirkan semuanya. Aku tahu ini tidak mudah, tetapi aku ingin kita mencoba sekali lagi. Aku tidak bisa melanjutkan hidupku dengan perasaan seperti ini. Jika kita benar-benar saling mencintai, apakah kita bisa menemukan jalan keluar bersama?”

 

Pesan itu adalah ujian terakhir bagi keduanya. Alya tahu bahwa ini adalah titik kritis dalam hubungan mereka. Mereka harus memilih—apakah mereka akan terus melawan kenyataan dan berjuang untuk hubungan yang tidak pasti, atau apakah mereka akan menerima bahwa kadang cinta itu bukanlah segalanya. Ada banyak hal yang lebih besar dari cinta itu sendiri, dan mereka harus belajar untuk melepaskan meskipun itu terasa sangat sulit.

 

Alya menatap ponselnya untuk waktu yang lama, meresapi setiap kata yang ditulis Raka. Rasa rindu dan cinta yang ia rasakan begitu kuat, tetapi ia tahu bahwa keputusan ini bukan hanya tentang mereka berdua. Ini adalah ujian cinta yang lebih besar, sebuah ujian tentang apakah mereka siap untuk menghadapi segala konsekuensi, apakah mereka siap untuk mengambil risiko yang sangat besar.

 

Setelah beberapa saat, Alya akhirnya menulis balasan yang penuh dengan perasaan yang bertentangan. “Raka, aku mencintaimu, tetapi aku juga tahu kita tidak bisa bersama seperti yang kita harapkan. Mungkin ini adalah ujian cinta kita yang sebenarnya. Kadang-kadang, meskipun kita saling mencintai, kita harus melepaskan.”

 

Dengan pesan itu, Alya merasa bahwa ia telah membuat keputusan yang sulit, namun benar. Ia telah belajar bahwa cinta tidak selalu berarti kebersamaan, dan bahwa kadang, melepaskan adalah bentuk cinta yang sejati. Perasaan mereka akan selalu ada, tetapi realitas hidup mengajarkan mereka untuk tidak memaksakan sesuatu yang tidak bisa dipaksakan.

 

Mereka berdua, meskipun terpisah oleh jarak dan waktu, akhirnya menemukan kedamaian dalam keputusan mereka. Cinta yang tulus tetap hidup, meskipun mereka tidak lagi bersatu. Namun, mereka tahu bahwa ujian cinta ini telah mengajarkan mereka banyak hal tentang diri mereka sendiri dan tentang apa yang sebenarnya penting dalam hidup.*

Bab 6: Keputusan Terakhir

 

Alya duduk di meja belajarnya, matanya memandang buku-buku kuliah yang terbuka di depannya, namun pikirannya jauh dari materi yang harus ia pelajari. Beberapa minggu telah berlalu sejak percakapan panjang dengan Raka, dan meskipun ia berusaha untuk melanjutkan hidupnya, bayang-bayang lelaki itu tetap hadir dalam setiap langkahnya. Ketika malam datang dan sepi mulai menyelimuti kamarnya, kenangan tentang Raka seolah-olah kembali hidup, menuntut untuk diingat. Namun kali ini, Alya tahu bahwa ia harus membuat keputusan yang tidak bisa ia tunda lagi.

 

Malam itu, setelah beberapa hari tidak ada komunikasi dengan Raka, ponselnya bergetar. Nama Raka muncul di layar, dan jantung Alya serasa berhenti sejenak. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi terjebak dalam kebingungan yang sama, namun tak bisa dipungkiri, setiap kali mendengar nama itu, hatinya selalu berdebar. Tanpa berpikir panjang, ia membuka pesan tersebut.

 

“Alya, aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku rasa aku sudah memikirkan semuanya dengan sangat matang. Aku tahu kita tidak bisa terus berlarut-larut dalam keadaan ini. Aku ingin kamu tahu bahwa aku siap menghadapi segala konsekuensi jika kita memutuskan untuk mencoba lagi.”

 

Alya menelan ludah, merasakan kesemutan di seluruh tubuhnya. Kata-kata Raka kembali mengusik perasaannya. Ia sudah memutuskan untuk melepaskan, untuk melanjutkan hidup tanpa Raka, tetapi mengapa setiap kali mereka berkomunikasi, perasaan itu kembali muncul? Ia menatap layar ponselnya untuk beberapa saat, memikirkan apa yang harus ia katakan.

 

Namun, sebelum ia sempat membalas pesan itu, sebuah panggilan telepon masuk dari Raka. Alya tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan, momen yang ia rasa sudah lama ia hindari. Dengan sedikit ragu, ia mengangkat telepon tersebut.

 

“Halo, Raka?” suaranya terdengar lebih lemah daripada yang ia harapkan.

 

“Alya, aku tahu ini tidak mudah. Aku sudah memikirkan kita, dan aku tahu kita harus memilih jalan kita masing-masing. Tetapi, aku juga merasa bahwa kita masih punya peluang, kita masih bisa mencoba, meskipun kita tahu ada banyak halangan di depan kita,” suara Raka terdengar begitu serius dan penuh harapan, meskipun ada keputusasaan yang tersembunyi di dalamnya.

 

Alya merasakan air matanya mulai menggenang. Rasanya seperti segala sesuatunya berputar di sekelilingnya, kebingungan dan ketidakpastian yang sama kembali datang menyerangnya. Apakah ini benar-benar yang ia inginkan? Apakah ia siap menghadapi kenyataan bahwa cinta yang dulu ia anggap mustahil bisa muncul kembali? Ia tahu, keduanya tidak bisa kembali ke masa lalu, tetapi apakah mereka harus menyerah begitu saja pada perasaan yang masih ada?

 

“Aku… Aku tidak tahu, Raka,” jawab Alya dengan suara gemetar. “Aku sudah mencoba untuk melupakan, sudah mencoba untuk melanjutkan hidupku tanpa kamu. Tapi setiap kali aku berpikir tentang kita, aku merasa seperti aku sedang berperang dengan diriku sendiri. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk membuka kembali pintu yang sudah kita tutup.”

 

Raka terdiam sejenak, dan Alya bisa merasakan bahwa ia sedang berpikir keras. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Raka berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut, penuh pengertian.

 

“Alya, aku tahu ini sangat sulit. Dan aku tidak ingin memaksamu. Tetapi aku ingin kamu tahu satu hal. Aku tidak bisa berhenti mencintaimu, dan meskipun kita berada di tempat yang berbeda, meskipun kita harus menghadapi banyak hal yang tidak bisa kita kontrol, aku ingin mencoba lagi. Aku percaya kita bisa membuatnya bekerja, jika kita saling berusaha.”

 

Alya merasakan hatinya seperti terbelah. Di satu sisi, kata-kata Raka begitu tulus dan penuh harapan, tetapi di sisi lain, ia tahu betul bahwa cinta saja tidak cukup untuk mengatasi segala rintangan yang ada. Mereka berdua tidak hanya terpisah oleh jarak, tetapi juga oleh perbedaan yang mendalam tentang apa yang mereka inginkan dalam hidup. Raka mungkin ingin mencoba lagi, tetapi apakah ia cukup kuat untuk menanggung beban itu? Apakah ia bisa menerima kenyataan bahwa hubungan mereka tidak akan pernah seperti yang dulu?

 

“Raka… aku mencintaimu, itu tidak pernah berubah. Tetapi kita sudah membuat pilihan, kita sudah memutuskan untuk berpisah. Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Aku takut jika kita kembali bersama, kita hanya akan melukai satu sama lain lebih dalam. Aku sudah belajar bahwa kadang-kadang, melepaskan adalah hal yang terbaik. Cinta kita tidak akan pernah bisa diubah, tetapi masa depan kita bisa berbeda.”

 

Raka terdiam panjang. Alya bisa merasakan beratnya suasana di antara mereka, sebuah keheningan yang begitu dalam, mengisi ruang di antara kata-kata yang tak terucapkan. Raka akhirnya berbicara dengan nada yang lebih rendah, penuh keletihan.

 

“Alya, aku mengerti. Aku tahu kamu benar. Aku tahu kita tidak bisa kembali seperti semula. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah menyesal mencintaimu. Jika keputusan ini adalah yang terbaik untuk kita, maka aku akan menerima kenyataan itu. Aku hanya ingin kamu bahagia, apapun yang terjadi.”

 

Air mata mulai mengalir di pipi Alya. Ia tahu ini adalah keputusan yang benar, tetapi hatinya tetap terasa sakit. Meninggalkan seseorang yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya bukanlah hal yang mudah. Cinta mereka memang besar, tetapi kadang-kadang, cinta itu tidak cukup untuk mengatasi segala hal yang ada di dunia nyata. Keputusan untuk berpisah mungkin lebih sulit dari apapun, tetapi Alya tahu itu adalah hal yang harus mereka lakukan. Ini adalah keputusan terakhir yang harus mereka buat.

 

“Makasih, Raka,” Alya berkata pelan, dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku akan selalu mengingatmu, dan aku berharap yang terbaik untukmu. Jangan pernah lupakan apa yang kita miliki, karena itu akan selalu menjadi bagian dari aku. Tetapi, kita harus terus melangkah, meskipun jalan kita tidak lagi sama.”

 

Setelah panggilan itu berakhir, Alya menatap kosong ke luar jendela, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya. Ini adalah akhir dari sebuah bab dalam hidupnya, tetapi juga awal dari perjalanan baru yang harus ia tempuh. Ia tahu bahwa cinta itu tidak pernah mudah, tetapi ia juga tahu bahwa terkadang, untuk menemukan kebahagiaan sejati, kita harus belajar untuk melepaskan.

 

Dengan satu keputusan terakhir yang harus ia buat, Alya merasa lega. Meskipun hatinya masih terasa sakit, ia tahu bahwa ia telah memilih jalan yang benar—jalan yang akan membawanya ke masa depan yang lebih baik, dengan atau tanpa Raka.*

Bab 7: Pelajaran dari Cinta yang Tak Seharusnya

 

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Alya merasa hidupnya perlahan kembali ke jalurnya. Meskipun awalnya ia merasa terombang-ambing, seiring berjalannya waktu, ia mulai menemukan kedamaian. Keputusan yang ia buat untuk melepaskan Raka tidaklah mudah, tetapi ia tahu itu adalah langkah yang tepat. Kadang-kadang, kita harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan untuk melangkah maju, dan itu adalah pelajaran besar yang Alya dapatkan dari cinta yang tak seharusnya.

 

Alya menghabiskan lebih banyak waktu untuk dirinya sendiri, mengejar cita-cita yang sempat tertunda, dan menikmati momen-momen sederhana yang dulu sering ia abaikan. Ia kembali fokus pada kuliah, bertemu dengan teman-teman, dan mulai menjalani kehidupan dengan cara yang lebih sehat. Namun, meskipun ia berusaha untuk melupakan Raka, kenangan tentang hubungan mereka tetap ada. Ada saat-saat ketika perasaan itu kembali mengusik, ketika ia teringat bagaimana dulu mereka berbicara sepanjang malam, tertawa bersama, dan berbagi impian. Tetapi Alya tahu, di dalam hatinya, bahwa cinta yang mereka miliki tidak cukup kuat untuk mengatasi semua tantangan yang ada di antara mereka.

 

Suatu hari, saat sedang duduk di taman kampus, Alya bertemu dengan salah satu teman lamanya, Dina. Dina adalah teman sekelas yang dulu selalu mendukungnya, bahkan saat ia merasa dunia seperti menghimpitnya. Dina yang ceria dan penuh energi, selalu memiliki cara untuk membuat Alya tertawa, bahkan saat ia merasa paling terpuruk.

 

“Hey, Alya! Apa kabar? Lama nggak ketemu,” sapa Dina dengan senyuman lebar di wajahnya.

 

Alya tersenyum. “Aku baik, Dina. Sedikit sibuk, tapi ya, semuanya berjalan lancar.”

 

Mereka duduk di bangku taman, dan Dina mulai bercerita tentang kehidupan kampus dan segala kegiatan yang tengah ia ikuti. Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, tetapi pikirannya tak bisa sepenuhnya terfokus pada percakapan itu. Di tengah obrolan mereka, Dina bertanya dengan hati-hati, “Alya, gimana hubunganmu dengan Raka? Aku ingat kamu selalu cerita tentang dia.”

 

Alya terdiam sejenak, mengingat kembali hubungan mereka yang sudah berakhir. Cinta yang dulu begitu kuat, kini hanya menjadi kenangan yang tak bisa ia lupakan. Namun, ia merasa sudah cukup lama menyimpan cerita ini sendiri. Inilah saat yang tepat untuk berbicara.

 

“Raka… kita sudah berpisah,” jawab Alya pelan. “Memang sulit, Dina, tapi kadang kita harus menerima kenyataan. Kami saling mencintai, tapi ada terlalu banyak hal yang tidak bisa kami atasi, terlalu banyak perbedaan dan jarak yang memisahkan kami.”

 

Dina menatapnya dengan empati, dan kemudian berkata dengan bijak, “Aku tahu itu pasti berat buat kamu, Alya. Tapi kamu tahu kan, kadang cinta itu bukan soal kita seberapa keras berusaha, tapi soal seberapa realistis hubungan itu dalam menghadapi kenyataan? Cinta itu bisa sangat indah, tapi kalau tidak bisa dihadapi dengan kedewasaan dan penerimaan, malah bisa menjadi beban.”

 

Alya mengangguk pelan, merenung. Kata-kata Dina benar. Cinta itu memang indah, tetapi jika tidak ditopang dengan kedewasaan, pengertian, dan komitmen yang kuat, hubungan itu akan mudah tergerus oleh waktu dan kenyataan. Ada banyak hal yang mereka hadapi, dan meskipun perasaan itu kuat, kenyataan tidak bisa diabaikan begitu saja.

 

“Jadi, kamu sudah ikhlas?” tanya Dina, penuh rasa ingin tahu.

 

Alya tersenyum kecil. “Aku sedang belajar untuk itu, Dina. Aku kira, jika kita mencintai seseorang, kita harus rela untuk melepaskan mereka jika itu yang terbaik. Aku belajar bahwa mencintai bukan hanya tentang bersama, tetapi juga tentang memberi ruang untuk masing-masing tumbuh. Mungkin, inilah yang aku butuhkan, untuk tumbuh dan menjalani hidupku tanpa ketergantungan pada orang lain.”

 

Dina tersenyum bangga. “Itu adalah pelajaran yang luar biasa, Alya. Kadang kita terlalu terfokus pada cinta yang tidak tepat, sehingga kita lupa untuk mencintai diri sendiri. Kamu sudah melalui banyak hal, dan sekarang kamu lebih kuat. Percayalah, masa depan akan membawa kamu pada sesuatu yang lebih baik.”

 

Obrolan mereka berlanjut, namun hati Alya terasa lebih ringan. Ia merasa seolah-olah beban yang selama ini ia pikul sedikit demi sedikit mulai terlepas. Dina tidak hanya mendengarkan, tetapi juga memberinya perspektif yang baru. Ia menyadari bahwa dalam perjalanan hidupnya, ia telah belajar banyak dari cinta yang tak seharusnya—tentang ketulusan, tentang menerima kenyataan, dan tentang bagaimana cinta tidak selalu berakhir seperti yang kita inginkan, tetapi tetap memberikan pelajaran yang tak ternilai harganya.

 

Hari-hari berikutnya berjalan dengan lebih tenang. Alya merasa lebih percaya diri dalam menjalani hidupnya, meskipun ada kalanya perasaan rindu itu datang kembali. Tetapi kali ini, ia tahu cara untuk menghadapinya. Ia memilih untuk tidak membiarkan perasaan itu menguasai hidupnya. Cinta yang tak seharusnya memang meninggalkan luka, tetapi luka itu juga mengajarkan banyak hal.

 

Suatu pagi, saat Alya sedang duduk di kafe kampus sambil membaca buku, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Raka. Ia membuka pesan itu dengan hati yang tenang, meskipun rasa rindu kembali datang.

 

“Alya, aku ingin kamu tahu bahwa aku menghargai semua yang telah kita lalui bersama. Cinta kita mungkin tidak seperti yang kita harapkan, tetapi aku tidak akan pernah melupakan apa yang kita miliki. Aku berharap kamu bahagia dengan jalan yang kamu pilih.”

 

Alya menatap pesan itu dengan hati yang damai. Ia membalasnya dengan senyuman kecil. “Aku juga akan selalu menghargai kita, Raka. Terima kasih untuk segala kenangan yang indah. Semoga kita berdua menemukan kebahagiaan masing-masing.”

 

Setelah mengirimkan pesan itu, Alya merasakan sebuah rasa lega yang mendalam. Cinta yang tak seharusnya memang membawa banyak pelajaran, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita belajar untuk melepaskan dan bergerak maju. Ia tahu bahwa hidupnya akan terus berlanjut, dan ia siap untuk menulis bab baru dengan kebijaksanaan yang didapat dari pengalaman itu.

 

Alya sekarang tahu bahwa tidak ada cinta yang sia-sia. Bahkan cinta yang berakhir dengan kesedihan sekalipun, tetap memberikan pelajaran tentang kedewasaan, ketulusan, dan kekuatan untuk melangkah maju. Semua itu membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih bijaksana. Pelajaran dari cinta yang tak seharusnya tidak akan pernah hilang—ia akan terus membawa pelajaran itu dalam setiap langkah hidupnya ke depan***

———THE END——-

Source: Muhammad Reyhan Sandafa
Tags: jarak jadi penghubungputusan terakhirrealita terbentur cinta
Previous Post

RASA YANG TUMBUH PERLAHAN

Next Post

CINTA YANG MENUNGGU DI UJUNG WAKTU

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
Hati Yang Terlalu Dalam

CINTA YANG MENUNGGU DI UJUNG WAKTU

SAAT CINTA TERBALAS LUKA

SAAT CINTA TERBALAS LUKA

CINTA TAK TERBALAS

CINTA TAK TERBALAS

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id