Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

RAHASIA DI BALIK TIRAI

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 27 mins read
DIANTARA MEREKA

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
  • Bab 2: Awal Mula Kedekatan
  • Bab 3: Jarak yang Memisahkan
  • Bab 4: Rahasia yang Tersimpan
  • Bab 5: Puncak Ketegangan
  • Bab 6: Rahasia Terungkap
  • Bab 7: Pilihan yang Menentukan
  • Bab 8: Masa Depan yang Tak Pasti

Bab 1: Pertemuan Tak Terduga

 

Lara duduk di depan laptopnya di sebuah kafe kecil di luar kampus. Lampu-lampu yang redup dan aroma kopi yang hangat memberikan suasana nyaman, jauh dari keramaian kota yang sibuk. Sambil menunggu teman-temannya, ia membuka forum diskusi online yang biasa ia kunjungi. Lara adalah seorang mahasiswa jurusan Sastra Inggris yang kini sedang melanjutkan studi di London. Walau jauh dari rumah, ia menikmati kehidupan barunya meskipun terkadang merasa kesepian.

 

Di tengah kepenatan tugas-tugas kuliah dan rindu yang menyelinap di hati, Lara merasa forum ini menjadi pelarian yang menyenangkan. Ia bisa berdiskusi dengan banyak orang tentang topik yang ia sukai, terutama tentang buku dan film yang menginspirasi. Seperti biasa, Lara melayangkan komentar di sebuah topik tentang buku fiksi favorit, berharap bisa berbagi pendapat dengan orang lain.

 

Tiba-tiba, sebuah balasan muncul dari seorang pengguna yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Nama penggunanya hanya tertulis “Dian”. Pada awalnya, Lara tidak terlalu memperhatikannya. Namun, setelah membaca balasan Dian yang penuh antusiasme dan pemahaman mendalam tentang buku yang mereka bahas, ia merasa tertarik. Tidak banyak orang yang bisa berbicara tentang buku dengan cara seperti itu. Ada kecerdasan yang membuatnya terkesan, dan mungkin sedikit rasa penasaran.

 

“Hmm, dia sepertinya orang yang menarik,” pikir Lara sambil tersenyum sendiri. Tanpa berpikir panjang, ia membalas komentar tersebut, berharap bisa melanjutkan diskusi.

 

“Setuju sekali dengan pendapatmu tentang karakter utama di buku ini. Aku rasa pengarang memang ingin menunjukkan sisi gelap manusia melalui cara yang sangat halus. Apa kamu juga membaca buku terbarunya?”

 

Pesan itu dikirimkan dan Lara menunggu balasan dengan hati sedikit berdebar. Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya layar komputer menampilkan balasan dari Dian.

 

“Ya, aku juga membaca buku itu! Menurutku, pengarang kali ini lebih banyak bermain dengan konflik batin karakter, yang menurutku sangat menarik. Kalau kamu suka buku itu, kamu pasti akan suka karya-karya lain yang dia tulis.”

 

Lara merasa senang bisa berbicara lebih lanjut dengan Dian. Obrolan mereka terus mengalir lancar, membahas berbagai topik seputar buku dan film. Tanpa disadari, waktu berjalan begitu cepat. Mereka saling bertukar cerita tentang kehidupan pribadi mereka, meskipun percakapan tersebut masih terasa ringan dan santai. Lara merasa nyaman dengan Dian, dan sebaliknya, Dian tampaknya senang berbicara dengan Lara yang penuh semangat dan pandangan yang mendalam.

 

Malam itu, mereka melanjutkan obrolan lewat pesan pribadi. Lara tidak bisa menahan rasa penasaran dan mulai bertanya lebih banyak tentang Dian. Ia mengetahui bahwa Dian adalah seorang mahasiswa yang sedang mengambil jurusan Teknik Mesin di sebuah universitas di Indonesia. Meskipun jurusan mereka berbeda, keduanya memiliki banyak kesamaan dalam hal minat terhadap sastra dan seni. Setiap pesan yang mereka tukar terasa seperti percakapan yang sudah lama tertunda, meskipun baru saja dimulai.

 

“Apakah kamu sering mendiskusikan buku dan film seperti ini?” tanya Lara setelah beberapa saat berbalas pesan.

 

Dian menjawab dengan cepat. “Aku lebih sering ngobrol soal teknik dan hal-hal yang berkaitan dengan kuliah. Tapi, rasanya menyenangkan bisa ngobrol tentang hal yang berbeda. Sejujurnya, aku jarang menemukan orang yang suka hal-hal seperti ini.”

 

Lara tersenyum mendengar itu. Terkadang, ia merasa bahwa hidup di luar negeri membuatnya merasa terasing, tetapi di sini, di dunia maya, ia merasa bisa menemukan seseorang yang memiliki kesamaan minat.

 

Obrolan mereka terus berlanjut hingga malam semakin larut. Lara merasa sedikit canggung, namun di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang menarik tentang Dian. Tidak hanya kecerdasan dan pandangannya yang berbeda tentang dunia, tetapi juga cara Dian berbicara, yang penuh dengan rasa hormat dan ketertarikan terhadap setiap hal yang dibicarakan. Rasanya, seperti mereka sudah lama saling mengenal.

 

“Kamu di Indonesia ya?” tanya Lara, penasaran dengan kehidupan Dian.

 

“Iya,” jawab Dian. “Di sebuah kota kecil yang jauh dari keramaian. Kadang aku merasa sepi, tapi ya, itulah bagian dari kehidupan, bukan?”

 

Lara bisa merasakan ada kedalaman dalam kata-kata Dian. Meski mereka baru saja berkenalan, ia merasa ada koneksi yang lebih dari sekadar obrolan biasa.

 

“Sepertinya hidupmu penuh dengan tantangan,” balas Lara, mencoba untuk lebih mengenal lagi.

 

“Hmm, bisa dibilang begitu. Tapi aku yakin setiap orang punya tantangannya sendiri, kan? Bagaimana denganmu, Lara? Kehidupan di London pasti berbeda dengan di Indonesia.”

 

Lara tertawa kecil, “Bisa dibilang begitu. Aku sering merasa rindu rumah, tapi di sisi lain, aku menikmati setiap momen di sini. Banyak hal baru yang aku pelajari.”

 

Percakapan mereka berlanjut hingga malam semakin larut. Seiring berjalannya waktu, Lara merasa semakin tertarik untuk mengenal Dian lebih dalam. Meski mereka terpisah oleh ribuan kilometer, percakapan ini terasa begitu dekat, bahkan seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal. Ada rasa nyaman yang hadir di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.

 

Ketika akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berhenti berbicara karena waktu yang sudah larut, Lara menutup laptopnya dengan perasaan campur aduk. Ada rasa penasaran yang belum terjawab, dan di saat yang sama, ia merasa senang bisa berbicara dengan seseorang yang begitu memahami. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar percakapan biasa.

 

Namun, satu hal yang Lara tidak tahu adalah, percakapan ini akan mengubah segalanya. Dengan setiap pesan yang mereka tukar, jarak yang memisahkan mereka semakin terasa tipis, dan kisah ini baru saja dimulai.*

Bab 2: Awal Mula Kedekatan

 

Hari-hari berlalu setelah pertemuan pertama mereka di forum diskusi, dan Lara mulai menantikan pesan-pesan dari Dian setiap harinya. Percakapan mereka semakin intens, dan meskipun hanya berbicara lewat layar, kedekatan di antara mereka terasa nyata. Setiap pesan dari Dian membawa senyum di wajah Lara, yang mulai merasakan bahwa mungkin, hubungan ini lebih dari sekadar teman berbicara.

 

Setelah beberapa minggu berinteraksi, mereka mulai membuka lebih banyak tentang kehidupan masing-masing. Lara mengetahui bahwa Dian adalah anak pertama dari dua bersaudara, tumbuh besar di sebuah kota kecil yang tenang di Jawa Timur. Ia bercerita bagaimana ia selalu merasa ingin menjelajahi dunia lebih luas, meskipun kondisi keluarganya yang sederhana membuatnya merasa terbatas. Lara mendengarkan cerita-cerita Dian dengan penuh perhatian, merasa terhubung dengan banyak hal yang ia ungkapkan.

 

Di sisi lain, Dian semakin tertarik dengan kehidupan Lara yang jauh dari rumah. Ia bercerita tentang betapa sulitnya beradaptasi dengan budaya dan kehidupan di London. Meskipun ia merasa kesepian, Lara selalu menemukan cara untuk bertahan dengan semangat yang tak mudah padam. Terkadang, Lara merasa rindu kampung halaman dan keluarga, tetapi ia tahu ini adalah bagian dari perjalanannya untuk mengejar impian.

 

Suatu malam, setelah seharian berkuliah dan mengerjakan tugas, Lara menerima pesan dari Dian yang sedikit berbeda dari biasanya.

 

“Aku lihat foto-foto kamu di Instagram. Kamu terlihat sangat bahagia di sana, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang kamu sembunyikan,” tulis Dian.

 

Lara terkejut membaca pesan itu. Dia tidak pernah merasa ada yang salah dengan fotonya, tetapi Dian sepertinya bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar gambar. Dengan perasaan campur aduk, Lara mengetik balasan.

 

“Kenapa kamu berpikir seperti itu?” tanya Lara, sedikit penasaran dan cemas.

 

Dian menjawab dengan cepat, “Aku hanya merasa ada sisi dari dirimu yang tidak bisa kamu tunjukkan ke orang lain. Kadang-kadang, kita berusaha menunjukkan bahwa kita baik-baik saja, padahal hati kita sedang tidak tenang. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa seperti itu.”

 

Lara terdiam sejenak, terkejut dengan kepekaan Dian. Ia tidak pernah berpikir bahwa orang lain bisa melihat sisi tersembunyi dalam dirinya, apalagi orang yang hanya mengenalnya melalui pesan-pesan singkat. Dalam hati, Lara tahu bahwa Dian benar. Terkadang, di balik senyum yang ia tunjukkan, ada perasaan rindu dan kesepian yang sulit diungkapkan.

 

“Benar juga. Mungkin kamu bisa melihatnya, ya. Aku memang merasa sedikit kesepian di sini, tapi aku tidak ingin mengganggu orang lain dengan perasaan itu,” balas Lara setelah beberapa saat berpikir.

 

Dian tidak langsung membalas, tetapi Lara bisa merasakan adanya keheningan yang berbeda dalam percakapan mereka. Tidak ada lagi canda tawa seperti biasa, hanya ada pemahaman yang mendalam antara mereka. Dian akhirnya menulis lagi.

 

“Aku mengerti. Mungkin aku tidak berada di tempat yang sama, tapi aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Terkadang, kita perlu menemukan seseorang yang bisa membuat kita merasa tidak sendirian meskipun jarak memisahkan.”

 

Lara membaca pesan itu berulang kali. Ada kehangatan yang mengalir di dalam hatinya. Ia merasa seperti menemukan seseorang yang bisa memahami dirinya, meskipun mereka belum pernah bertemu secara langsung. Setiap kata dari Dian memberi rasa nyaman yang tak bisa dijelaskan dengan mudah. Mereka mulai berbicara lebih dalam tentang perasaan mereka, tentang mimpi dan ketakutan, serta apa yang mereka inginkan dalam hidup.

 

Puncaknya terjadi pada suatu malam ketika Dian mengajak Lara untuk melakukan sesuatu yang belum pernah mereka coba sebelumnya: video call. Awalnya, Lara merasa canggung dan sedikit ragu, mengingat mereka baru saling mengenal beberapa minggu. Namun, rasa ingin tahu dan keinginan untuk lebih dekat dengan Dian membuatnya akhirnya setuju.

 

Saat panggilan video pertama mereka dimulai, Lara merasa canggung. Ia duduk di meja belajarnya dengan rambut yang sedikit berantakan, mengenakan kaos oblong yang nyaman. Namun, ketika wajah Dian muncul di layar, semua kecanggungan itu terasa hilang seketika. Dian tersenyum lebar, mengenakan jaket hoodie yang membuatnya terlihat santai.

 

“Hai, Lara! Gimana kabarnya?” tanya Dian dengan senyum hangat yang membuat hati Lara berdebar.

 

“Hai, Dian! Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah karena tugas kuliah. Kamu?” jawab Lara, berusaha menjaga suasana tetap santai.

 

Percakapan mereka terus mengalir dengan mudah. Lara merasa seperti berbicara dengan teman lama, meskipun mereka baru beberapa minggu berkenalan. Mereka tertawa bersama, saling bertanya tentang hal-hal kecil dalam hidup mereka, seperti makanan favorit, tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi, hingga perasaan mereka tentang dunia yang semakin terbuka berkat teknologi.

 

Namun, ada satu hal yang Lara tidak bisa pungkiri. Semakin lama mereka berbicara, semakin kuat perasaan yang tumbuh di dalam hatinya. Bukan hanya sekadar kedekatan emosional, tetapi juga perasaan yang lebih dalam, yang mungkin lebih dari sekadar pertemanan biasa.

 

Di sisi lain, Dian juga mulai merasakan hal yang sama. Meskipun ia tak mengungkapkannya langsung, ia merasa nyaman dengan Lara. Setiap kali mereka berbicara, waktu seperti terhenti. Jarak yang memisahkan mereka terasa semakin tidak penting.

 

“Lara, aku senang bisa mengenalmu lebih jauh. Rasanya aku bisa berbicara denganmu tanpa ada yang menghakimi,” kata Dian tiba-tiba, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya.

 

Lara terdiam sejenak, merasa ada kedalaman dalam kata-kata Dian. “Aku juga merasa begitu. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa kita bisa jadi teman baik, bahkan lebih dari itu.”

 

Pernyataan itu menggantung di udara. Keduanya saling bertatapan lewat layar, masing-masing mencoba mencerna perasaan yang baru saja diungkapkan. Ada ketegangan ringan, namun juga rasa nyaman yang mendalam. Mungkin inilah yang disebut kedekatan yang tumbuh tanpa disadari.

 

Malam itu, setelah percakapan panjang yang penuh tawa dan sedikit keheningan, mereka mengucapkan selamat tidur dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Meskipun mereka terpisah oleh ribuan kilometer, kedekatan mereka terasa semakin nyata. Lara tahu, perasaan yang ia rasakan bukan hanya sebuah kenangan sementara. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih, yang bisa jadi akan mengubah hidup mereka selamanya.*

Bab 3: Jarak yang Memisahkan

 

Meskipun setiap percakapan yang mereka lakukan semakin mempererat hubungan Lara dan Dian, kenyataan bahwa mereka terpisah oleh ribuan kilometer tak bisa dihindari. Setiap malam, Lara merenung panjang setelah mengakhiri percakapan mereka. Ia merasa bahwa kehadiran Dian, meskipun hanya melalui layar, memberikan kenyamanan yang luar biasa. Namun, di sisi lain, rasa rindu dan kerinduan yang mendalam mulai merayap masuk, mengingatkan Lara bahwa mereka hanya bisa terhubung secara virtual, dan itu tidak cukup.

 

Lara duduk di meja belajarnya pada suatu malam yang dingin. Ia baru saja selesai dengan tugas kuliah yang menguras tenaga. Matanya terasa berat, namun ia memutuskan untuk membuka laptop dan menghubungi Dian. Ia berharap percakapan mereka bisa sedikit mengusir rasa lelah. Tak lama kemudian, suara pesan masuk terdengar dari ponselnya. Dian, seperti biasa, mengirim pesan untuk memulai percakapan.

 

“Hei, Lara! Sudah selesai dengan tugasmu?” pesan Dian masuk dengan cepat.

 

Lara tersenyum membaca pesan itu. Dian selalu tahu bagaimana cara membuatnya merasa lebih baik, bahkan dengan kata-kata yang sederhana. Lara membalas dengan cepat, “Iya, baru saja. Lumayan melelahkan, sih. Bagaimana denganmu?”

 

“Masih sibuk sama ujian, tapi aku berhasil menyelesaikan sebagian besar. Kita harus merayakan itu nanti, ya?” jawab Dian dengan nada yang ceria.

 

Lara tertawa kecil. Sejak mereka mulai saling mengenal, Dian selalu membawa suasana hati yang ringan. Namun, belakangan ini, Lara merasakan ada perubahan dalam cara mereka berkomunikasi. Meskipun tetap ada percakapan ringan yang mereka nikmati bersama, ada jarak emosional yang mulai muncul—sebuah ketegangan yang tak bisa dijelaskan.

 

“Seru, kalau kita bisa merayakan ini, ya,” balas Lara, namun ada sedikit kekosongan dalam kata-katanya. Jarak yang memisahkan mereka terasa semakin nyata. Hanya ada layar yang memisahkan mereka, dan kadang-kadang, itu membuat segalanya terasa lebih sulit.

 

Beberapa hari kemudian, perasaan itu semakin kuat. Lara mulai merasa sedikit tertekan. Kuliah yang sibuk, rindu yang kian mendalam, dan kenyataan bahwa ia dan Dian tidak bisa bertemu langsung membuatnya merasa terasing. Meskipun mereka berbicara hampir setiap hari, kenyataan bahwa mereka tidak bisa merasakan kehadiran fisik satu sama lain mulai membuat hati Lara ragu. Setiap pesan, setiap panggilan video terasa seperti pengingat bahwa meskipun mereka saling mencintai, ada hal besar yang menghalangi mereka untuk bersama—jarak yang tak bisa diukur hanya dengan kata-kata.

 

Suatu sore, Lara mengirim pesan yang agak berbeda dari biasanya.

 

“Di mana kita akan berada jika tidak ada jarak ini, Dian?” tanya Lara dengan hati yang penuh keraguan.

 

Pesan itu terasa seperti sebuah pertanyaan yang menggantung, lebih kepada perasaan yang sudah lama terpendam. Lara berharap Dian bisa memberi jawabannya, meskipun ia tahu bahwa tidak ada jawaban yang mudah. Mereka sudah berbicara tentang rencana masa depan sebelumnya—tentang bagaimana suatu saat nanti mereka bisa bertemu, tetapi kenyataan bahwa pertemuan itu belum terjadi membuat segalanya terasa lebih sulit.

 

Dian membalas beberapa menit kemudian. “Aku tahu apa yang kamu rasakan, Lara. Aku juga merasa hal yang sama. Aku ingin berada di sana untukmu. Tetapi aku tahu, kita berdua sedang berjuang untuk sesuatu yang lebih besar, kan?”

 

Lara membaca pesan itu dengan perlahan. Ada kejujuran dalam kata-kata Dian, namun itu juga mengingatkan Lara bahwa mereka terjebak dalam situasi yang tidak bisa mereka kendalikan. Mereka berdua memiliki impian dan tujuan yang berbeda, namun mereka juga ingin berjuang untuk hubungan ini. Jarak itu, meskipun menguji kesabaran mereka, juga mengajarkan mereka tentang pengorbanan dan tekad.

 

Keesokan harinya, Lara kembali merasa cemas. Ada momen ketika ia merasa kesepian, terperangkap dalam rutinitas kuliah yang menumpuk dan hari-hari yang terasa monoton. Ia bertanya-tanya, apakah Dian juga merasakan hal yang sama? Di balik pesan-pesan singkat dan video call yang terbatas, apakah mereka benar-benar saling memahami perasaan satu sama lain?

 

Pada saat itulah Lara memutuskan untuk berbicara lebih terbuka tentang perasaannya. Ketika mereka melakukan video call pada malam hari, ia mengungkapkan kegelisahannya.

 

“Dian, aku merasa terjebak di antara dua dunia,” kata Lara dengan suara pelan. “Di satu sisi, aku senang bisa berbicara denganmu setiap hari, tetapi di sisi lain, aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Aku tidak tahu apakah kita bisa bertahan dengan hanya komunikasi seperti ini.”

 

Dian mendengarkan dengan seksama, lalu mengambil napas panjang sebelum menjawab. “Aku juga merasakannya, Lara. Kadang aku merasa ada sesuatu yang menghalangi kita untuk lebih dekat, meskipun kita sudah melakukan yang terbaik untuk tetap terhubung. Aku ingin berada di sana untukmu, bukan hanya melalui layar, tapi benar-benar ada di sampingmu.”

 

Lara merasa hati kecilnya berdebar mendengar kata-kata itu. Ia tahu, Dian benar. Mereka berdua merasakan hal yang sama—keinginan untuk berada bersama, untuk merasakan kehadiran satu sama lain di dunia nyata. Namun, kenyataan bahwa mereka terpisah oleh jarak yang begitu jauh membuat segalanya lebih sulit. Meski demikian, mereka tidak bisa menyerah begitu saja.

 

“Dian, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa kita semakin jauh, meskipun kita semakin dekat. Apakah kamu merasa seperti itu juga?” tanya Lara, suaranya penuh keraguan.

 

Dian mengangguk, meskipun tidak bisa dilihat oleh Lara. “Aku paham. Kita terpisah oleh jarak yang besar, Lara, dan itu bukan hal yang mudah. Tapi aku percaya kita bisa menghadapinya bersama. Jarak ini hanya akan menguji seberapa kuat kita.”

 

Setelah beberapa detik hening, Lara merasa sedikit lebih tenang. Meskipun ada banyak ketidakpastian di depan mereka, setidaknya ia merasa bahwa ia dan Dian saling memahami satu sama lain. Mereka memiliki tujuan yang sama, meskipun perjalanannya tidak mudah. Jarak yang memisahkan mereka bukanlah akhir dari segalanya, tapi justru sebuah tantangan yang harus mereka hadapi bersama.

 

Malam itu, setelah percakapan yang penuh emosi, mereka saling mengucapkan selamat tidur, dengan perasaan yang lebih ringan. Meskipun mereka masih terpisah oleh jarak yang besar, Lara merasa ada kekuatan baru dalam dirinya untuk menghadapi hari-hari yang akan datang. Jika ada satu hal yang ia tahu, itu adalah bahwa mereka berdua akan terus berjuang untuk hubungan ini—meskipun dunia mereka terpisah oleh jarak yang tak terlihat.*

Bab 4: Rahasia yang Tersimpan

 

Seiring berjalannya waktu, kedekatan Lara dan Dian semakin berkembang meskipun jarak fisik yang memisahkan mereka. Setiap pesan, setiap panggilan video, semakin mempererat ikatan antara mereka. Namun, meskipun mereka sudah begitu dekat, ada sesuatu yang tersisa di dalam hati Lara—sebuah rahasia yang tak pernah ia ungkapkan kepada Dian. Ia merasa ada bagian dari dirinya yang tidak bisa ia tunjukkan, sesuatu yang ia simpan jauh di dalam hatinya.

 

Lara duduk di kamarnya pada suatu sore, memandangi layar laptopnya. Kegiatan kuliah sudah selesai, dan ia memiliki beberapa waktu untuk dirinya sendiri. Ia membuka aplikasi pesan dan melihat nama Dian muncul di daftar percakapan mereka. Keinginan untuk berbicara dengan Dian selalu ada, tetapi kali ini, hati Lara terasa berat. Ada perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata, sebuah rahasia yang terus mengusiknya.

 

Sejak pertemuan pertama mereka, Lara merasa begitu nyaman berbicara dengan Dian. Ia merasa bisa terbuka, bisa berbagi hal-hal kecil dalam hidupnya. Namun, ada satu hal yang selalu ia tahan—sesuatu yang ia takutkan akan mengubah segalanya jika Dian mengetahuinya.

 

Lara meraih ponselnya dan membuka pesan dari Dian yang baru saja masuk.

 

“Apa kabar, Lara? Sudah selesai dengan tugasmu?” pesan Dian muncul di layar.

 

Lara tersenyum kecil, merasakan kehangatan dari kata-kata itu. Ia membalas dengan cepat, “Iya, baru saja selesai. Lumayan capek, tapi aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”

 

“Masih sibuk dengan ujian. Tapi aku senang bisa berbicara denganmu, jadi semua rasa lelah jadi hilang,” jawab Dian dengan penuh semangat.

 

Lara merespons dengan senyuman, namun hatinya masih merasa berat. Ia ingin berbicara lebih banyak dengan Dian, tetapi ada sesuatu yang menghalangi. Seiring waktu, Lara semakin merasa bahwa dirinya sedang memendam sesuatu yang besar—sesuatu yang mungkin akan membuat segalanya berubah jika ia mengungkapkannya.

 

Pada malam hari, saat mereka melakukan video call seperti biasa, Lara bisa merasakan adanya keheningan di antara mereka. Dian terlihat lebih serius dari biasanya, meskipun mereka selalu berbicara dengan ringan sebelumnya. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan mata Dian.

 

“Hei, Lara, ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” kata Dian, suaranya lebih berat dari biasanya. “Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di antara kita. Kita sudah cukup lama berbicara, dan aku merasa kita mulai semakin dekat. Tapi ada satu hal yang ingin aku ketahui. Apa kamu punya sesuatu yang ingin kamu ungkapkan padaku?”

 

Lara terdiam sejenak, merasa seolah-olah waktu berhenti. Suara Dian yang penuh perhatian membuat hatinya berdebar, namun di saat yang sama, Lara merasa seperti ada beban yang terlalu berat untuk diangkat. Ia ingin mengungkapkan rahasianya, tetapi ia takut itu akan merusak segalanya. Meskipun ia merasa nyaman berbicara dengan Dian, ada ketakutan yang membelenggu dirinya—ketakutan bahwa rahasia itu akan mengubah pandangan Dian tentang dirinya.

 

“Apa maksudmu, Dian?” tanya Lara, mencoba terdengar biasa meskipun hatinya bergetar.

 

Dian menghela napas sebelum melanjutkan. “Aku tahu kita terpisah jarak, dan kadang-kadang kita hanya bisa berbicara lewat layar, tapi aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Aku ingin kamu tahu bahwa apapun itu, aku akan tetap ada untukmu.”

 

Lara menatap layar, merasakan ketulusan dalam kata-kata Dian. Tetapi hatinya masih terombang-ambing antara keinginan untuk mengungkapkan rahasia dan rasa takut akan kehilangan. Ia menyadari bahwa ini adalah momen penting, sebuah titik balik dalam hubungan mereka. Namun, ia tidak tahu apakah ia siap untuk membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat.

 

“Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana,” kata Lara dengan suara yang bergetar. “Ada sesuatu yang aku simpan dalam diriku, sesuatu yang aku takutkan akan mengubah segalanya jika aku ungkapkan.”

 

Dian menatapnya lewat layar dengan penuh perhatian. “Lara, apapun itu, aku ingin kamu tahu bahwa aku menghargaimu. Aku akan selalu mendukungmu, dan aku percaya kita bisa melalui apapun itu bersama.”

 

Lara merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu, tetapi ketakutan yang ia rasakan masih ada. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

 

“Aku… aku sebenarnya sudah lama merasa terasing,” ujar Lara dengan suara pelan. “Sejak aku datang ke London, aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri. Tidak ada yang benar-benar mengenalku di sini, dan aku merasa kesepian. Bahkan ketika kita mulai berbicara, aku merasa takut untuk terlalu terbuka, karena aku tidak ingin kamu melihat aku sebagai orang yang rapuh.”

 

Dian terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Lara. Setelah beberapa detik, Dian membuka mulutnya, “Lara, aku tidak melihatmu sebagai orang yang rapuh. Justru, aku mengagumi keberanianmu untuk menjalani hidup jauh dari rumah dan mengejar impianmu. Semua orang punya sisi rapuh, termasuk aku, dan itu tidak membuat kita lebih lemah. Itu justru membuat kita lebih manusiawi.”

 

Lara merasa matanya mulai berkaca-kaca mendengar kata-kata Dian. Ia merasa lega, seolah ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Untuk pertama kalinya, ia merasa diterima sepenuhnya, tanpa ada penilaian atau rasa takut. Ia tahu bahwa rahasia yang ia simpan bukanlah hal yang perlu disembunyikan lagi. Dian tidak akan meninggalkannya hanya karena ketakutannya akan kelemahan yang ia rasakan.

 

“Aku takut kehilangan diriku, Dian,” kata Lara, suaranya sedikit bergetar. “Aku takut jika aku terlalu terbuka, aku akan kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Aku takut aku akan membuat semua orang menjauh.”

 

Dian tersenyum hangat, meskipun hanya lewat layar. “Lara, kamu tidak akan kehilangan dirimu. Justru, semakin kamu terbuka, semakin kamu menemukan siapa dirimu sebenarnya. Aku di sini untukmu, dan aku tidak akan pergi. Kamu tidak perlu takut untuk menunjukkan siapa dirimu.”

 

Mendengar kata-kata itu, Lara merasa seperti ada cahaya yang mulai masuk ke dalam hatinya. Ia merasa bahwa ia tidak perlu lagi menyembunyikan perasaannya, tidak perlu lagi takut akan kelemahan yang ada dalam dirinya. Dian membuatnya merasa lebih kuat, lebih siap untuk menghadapi segala hal yang datang.

 

Malam itu, setelah lama berbicara dan saling mengungkapkan perasaan, mereka mengucapkan selamat tidur dengan rasa yang lebih ringan. Lara merasa lebih tenang, seolah-olah rahasia yang selama ini ia simpan telah mengalir keluar dengan cara yang benar. Ia tahu bahwa meskipun jalan yang mereka pilih tidak mudah, mereka bisa menghadapinya bersama—dengan kepercayaan dan keberanian untuk terbuka satu sama lain.*

Bab 5: Puncak Ketegangan

 

Waktu terus berjalan, dan meskipun Lara dan Dian sudah lebih terbuka satu sama lain, ada ketegangan yang semakin terasa di antara mereka. Jarak yang memisahkan mereka seolah menjadi semakin nyata seiring dengan berkembangnya perasaan mereka satu sama lain. Setiap kali mereka berbicara, Lara merasa semakin dekat dengan Dian, namun pada saat yang sama, ia juga merasa semakin terpisah. Keinginan untuk bertemu langsung semakin kuat, namun realitas bahwa mereka terpisah ribuan kilometer membuat segalanya terasa semakin sulit.

 

Pada suatu malam, Lara duduk di ruang tamunya, menatap layar laptopnya dengan mata yang lelah. Tugas kuliah menumpuk, dan ia merasa tertekan. Namun, di balik kepenatan itu, perasaan yang lebih besar mulai menguasai dirinya—rasa rindu yang tak tertahankan. Ia merindukan Dian, merindukan suara dan tatapan mata yang selalu bisa menenangkan hatinya. Meskipun mereka sering berbicara lewat panggilan video, ada bagian dari Lara yang merasa bahwa itu tidak cukup. Ia ingin berada di sana, merasakan kehadiran Dian di sampingnya.

 

Ketika pesan masuk dari Dian, Lara segera membuka aplikasi percakapan mereka. Seperti biasa, Dian menyapa dengan ceria.

 

“Hai, Lara! Sudah makan malam?” pesan Dian muncul di layar.

 

Lara tersenyum, namun ada sedikit kecemasan di dalam dirinya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, ada ketegangan yang perlahan tumbuh di antara mereka. Rindu yang semakin dalam, ditambah dengan keinginan untuk bertemu, menciptakan perasaan cemas yang sulit dijelaskan. Lara membalas pesan itu dengan cepat, mencoba untuk terdengar ringan meskipun hatinya gelisah.

 

“Iya, baru saja makan. Kamu gimana?” balas Lara.

 

“Capek banget. Tapi aku senang bisa ngobrol denganmu. Aku merasa lebih baik setelah bercakap-cakap denganmu,” jawab Dian, seperti biasa, dengan nada yang hangat.

 

Lara membaca pesan itu dengan hati yang campur aduk. Rasa senang yang ia rasakan setiap kali mendengar kabar dari Dian kini bercampur dengan rasa cemas yang semakin menekan. Mereka berdua sudah saling mengungkapkan perasaan satu sama lain, tetapi ada hal-hal yang tak bisa diungkapkan hanya lewat kata-kata. Lara merasa semakin terperangkap dalam perasaannya sendiri—rindu, cemas, dan ketakutan yang menguasai dirinya.

 

Beberapa hari kemudian, perasaan itu semakin kuat. Setiap percakapan yang mereka lakukan, meskipun tetap menyenangkan, selalu meninggalkan rasa hampa di dalam hati Lara. Ia mulai meragukan apakah hubungan mereka bisa bertahan hanya melalui layar, tanpa ada pertemuan nyata yang bisa menguatkan ikatan mereka. Setiap kali ia membayangkan masa depan, bayangan tentang pertemuan yang tidak kunjung datang semakin mengganggu pikirannya.

 

Pada suatu malam, saat mereka melakukan video call, Lara memutuskan untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama ia simpan. Meskipun hatinya berat, ia merasa bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara terbuka dengan Dian.

 

“Dian, aku harus jujur sama kamu,” kata Lara dengan suara yang serius. “Aku merasa semakin tertekan dengan jarak ini. Aku tahu kita sudah berusaha, tapi aku tidak tahu seberapa lama aku bisa bertahan seperti ini.”

 

Dian terdiam sejenak, seolah-olah terkejut mendengar kata-kata Lara. Biasanya, mereka berbicara dengan ringan, namun malam itu ada sesuatu yang berbeda. Ketegangan di antara mereka terasa begitu nyata, seolah-olah sebuah kabut gelap menghalangi percakapan mereka.

 

“Apa maksudmu, Lara?” tanya Dian, suaranya terdengar ragu. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku kira kita bisa menghadapinya bersama.”

 

Lara menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir menetes. “Aku tahu, Dian. Aku ingin percaya kita bisa, tetapi… aku merasa semakin jauh dari kamu. Setiap kali aku ingin berbicara, aku merasa seperti ada tembok besar yang menghalangi kita. Aku ingin kamu ada di sini, bukan hanya lewat layar.”

 

Dian menarik napas panjang, wajahnya terlihat bingung dan cemas. “Lara, aku juga merasakan hal yang sama. Aku ingin berada di sana untukmu, lebih dari apapun. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara mengubah semuanya. Kita berdua terjebak dalam situasi yang sulit, dan aku tidak tahu apakah kita bisa menghadapinya.”

 

Lara menatap mata Dian melalui layar, merasa perasaan mereka semakin berjarak. Kata-kata Dian yang penuh keraguan membuat hatinya semakin sakit. Ia merasa seolah-olah hubungan ini mulai goyah, bahkan meskipun mereka sudah berusaha sebaik mungkin. Ketegangan yang telah lama tumbuh kini mencapai puncaknya, dan Lara merasa terjebak dalam kebingungan dan ketakutan.

 

“Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan seperti ini, Dian,” ujar Lara dengan suara yang bergetar. “Aku merasa kita mulai terpisah, dan aku takut kita akan kehilangan satu sama lain.”

 

Dian terdiam lama, seolah mencerna kata-kata Lara. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, Dian akhirnya berbicara, “Aku tidak ingin kehilanganmu, Lara. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara mengatasi semua ini. Aku takut kita hanya akan berputar di tempat jika terus seperti ini.”

 

Malam itu, percakapan mereka berakhir dengan perasaan yang teramat berat. Lara menutup laptopnya dan duduk terdiam di ruang tamu, merenung. Perasaan cemas dan rindu yang menyelimutinya semakin kuat, dan ia merasa tidak tahu harus berbuat apa. Ketegangan yang telah mengendap dalam hubungan mereka kini terasa semakin nyata. Mereka berdua merasa terjebak dalam situasi yang tidak mereka inginkan—terpisah oleh jarak, dengan perasaan yang semakin berat di hati masing-masing.

 

Beberapa hari setelah percakapan itu, Lara merasa bahwa jarak semakin mengubah mereka. Setiap kali mereka berbicara, ada ketegangan yang tidak bisa dihindari. Meskipun mereka saling mencintai, mereka berdua merasa semakin kesulitan untuk menghadapinya. Lara merasa bahwa hubungan ini mungkin tidak akan bertahan jika terus seperti ini—terhalang oleh jarak, dengan perasaan yang semakin sulit untuk diungkapkan.

 

Puncak ketegangan ini membuat Lara bertanya-tanya apakah mereka benar-benar bisa melewati semua rintangan ini. Ia mencintai Dian dengan sepenuh hati, tetapi apakah itu cukup untuk mengatasi perbedaan yang semakin besar antara mereka? Seiring dengan perasaan cemas yang semakin menguasai dirinya, Lara merasa bahwa keputusan besar harus segera diambil—apakah mereka akan terus berjuang untuk hubungan ini, atau apakah mereka akan menyerah karena jarak yang terlalu besar untuk dijembatani?

 

Dalam keheningan malam itu, Lara tahu bahwa ini adalah momen yang akan menentukan arah hubungan mereka. Ketegangan yang ada bukan hanya tentang jarak fisik, tetapi juga tentang perasaan yang semakin berat di dalam hati mereka. Sebuah keputusan besar harus dibuat, dan Lara tidak tahu apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan bahwa hubungan ini mungkin tidak akan bertahan.*

Bab 6: Rahasia Terungkap

 

Kehidupan Lara seolah-olah tiba-tiba berhenti bergerak setelah percakapan tegang yang terjadi beberapa malam sebelumnya. Puncak ketegangan yang mereka alami telah membuka luka yang tak terlihat dalam hubungan mereka. Meskipun mereka masih saling berkomunikasi, ada perasaan yang tertahan, seperti ada sesuatu yang belum sepenuhnya terungkap. Lara merasa semakin cemas, karena meskipun ia sudah membuka perasaannya kepada Dian, ia tahu bahwa ada satu rahasia yang belum ia ungkapkan—sebuah rahasia yang ia simpan dalam hati selama ini.

 

Hari-hari setelah perbincangan itu terasa berbeda. Lara sering terjaga larut malam, memikirkan kata-kata Dian yang terus terngiang di telinganya. Mereka berdua merasa terjebak dalam jarak yang tak teratasi, dan Lara mulai merasa bahwa apa yang mereka miliki tidak cukup kuat untuk mengatasi kesulitan yang ada. Namun, dalam hati Lara, ada sebuah rahasia yang terus menghantuinya, yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Ia merasa bahwa jika ia tidak mengungkapkan rahasia itu, maka hubungan mereka mungkin akan berakhir lebih cepat dari yang ia inginkan.

 

Pagi itu, setelah beberapa hari penuh dengan kecemasan yang mengganggu pikirannya, Lara memutuskan untuk menulis. Ia membuka aplikasi catatan di ponselnya dan mulai menulis, mencoba menumpahkan segala perasaan yang selama ini terpendam. Tangan Lara terasa gemetar saat ia mengetik, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam dirinya. Ia menulis:

 

“Dian, ada hal yang harus aku katakan. Ini bukan hal yang mudah bagiku, tapi aku merasa sudah saatnya untuk terbuka. Aku ingin kamu tahu bahwa selama ini aku menyembunyikan sesuatu darimu. Sesuatu yang aku takutkan akan mengubah pandanganmu tentang aku.”

 

Setelah menulis kalimat itu, Lara terdiam. Ia merasa seolah-olah kata-kata itu lebih berat daripada yang ia bayangkan. Tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi hidup dalam ketakutan dan keraguan. Ia harus mengungkapkan rahasia yang selama ini ia simpan, meskipun itu mungkin akan merusak hubungan mereka.

 

Lara memutuskan untuk mengirimkan pesan itu kepada Dian, meskipun hatinya berdebar kencang. Beberapa detik setelah pesan terkirim, ponselnya berbunyi. Lara menatap layar, dan melihat nama Dian muncul di bagian atas layar. Jantungnya berdebar kencang, dan ia merasa tak bisa berpaling lagi. Dian sudah membaca pesan itu.

 

“Hai, Lara. Aku membaca pesanmu. Apa yang kamu maksud dengan ‘sesuatu yang harus kamu katakan’? Aku di sini, dan aku akan mendengarkanmu,” balas Dian, suaranya terdengar lembut namun penuh perhatian.

 

Lara menarik napas dalam-dalam dan mengetik balasan. “Dian, selama ini aku merasa takut untuk mengatakan ini. Tapi aku merasa semakin lama semakin sulit untuk menyembunyikannya. Aku ingin kamu tahu bahwa aku sebenarnya sudah memiliki seseorang yang sangat dekat dengan hidupku—seseorang yang mungkin tidak kamu ketahui selama ini. Itu bukan berarti aku tidak mencintaimu, tapi aku merasa bahwa kamu perlu tahu semuanya.”

 

Lara berhenti menulis, dan matanya mulai berusaha menahan air mata. Ia tahu bahwa kata-kata ini akan membuat segalanya menjadi lebih rumit. Namun, ia tidak bisa lagi menahan diri. Ia melanjutkan mengetik dengan tangan yang gemetar:

 

“Aku sudah memiliki hubungan lama dengan seseorang sebelum aku bertemu denganmu. Kami pernah dekat, dan hubungan itu berakhir dengan cara yang sangat menyakitkan. Aku tak ingin kamu merasa terabaikan atau merasa diriku tidak sepenuhnya untukmu. Aku hanya takut jika aku mengungkapkan semuanya, kita akan jauh lebih terpisah dari yang kita bayangkan.”

 

Pesan itu terkirim, dan Lara merasa seperti dunia berhenti berputar. Ia duduk dengan cemas, menunggu balasan dari Dian. Setiap detik terasa panjang, dan hati Lara semakin berat. Apakah Dian akan marah? Apakah hubungan mereka akan berakhir di sini?

 

Beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam berlalu, akhirnya pesan dari Dian muncul.

 

“Lara, aku merasa sangat terkejut mendengar ini,” tulis Dian dengan nada yang lebih serius. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menghargai kejujuranmu. Aku ingin tahu lebih banyak tentang hubunganmu yang lalu. Aku rasa ini penting bagi kita berdua.”

 

Lara menghela napas panjang. Ternyata, Dian tidak langsung marah atau merasa tersakiti. Sebaliknya, ia menunjukkan pemahaman yang membuat hati Lara sedikit lega. Namun, ketegangan yang mengalir di antara mereka masih sangat terasa. Lara tidak bisa menahan perasaan bersalah yang memenuhi dirinya. Ia merasa telah merusak kepercayaan Dian, meskipun Dian mencoba untuk memahami.

 

Beberapa hari berikutnya, Lara dan Dian menghabiskan banyak waktu untuk berbicara lebih dalam mengenai masa lalu Lara. Dian mendengarkan dengan penuh perhatian saat Lara menjelaskan lebih lanjut tentang hubungan lamanya, bagaimana perasaan itu berakhir begitu pahit, dan bagaimana ia merasa takut untuk membuka hatinya lagi. Lara merasa lega bisa berbicara lebih terbuka, namun pada saat yang sama, ia juga merasakan sebuah beban berat yang terangkat dari hatinya.

 

“Aku tahu, Lara, ini tidak mudah,” kata Dian pada salah satu percakapan mereka. “Tapi aku menghargai keberanianmu untuk membuka diri. Aku percaya, meskipun kamu punya masa lalu, itu tidak akan merusak hubungan kita. Kita bisa menghadapinya bersama, asal kita tetap saling jujur.”

 

Lara terdiam, merasakan kata-kata Dian yang menghangatkan hatinya. Meski begitu, ia merasa bahwa hubungan mereka kini berada di titik yang krusial. Rahasia yang ia ungkapkan ternyata bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan baru dalam hubungan mereka. Mereka kini harus lebih banyak berdiskusi, mengerti satu sama lain, dan saling menerima segala hal yang terjadi di masa lalu.

 

Namun, di balik perasaan lega yang mulai tumbuh, Lara juga tahu bahwa hubungan ini akan diuji lebih lanjut. Rahasia yang ia ungkapkan telah membuka pintu untuk kejujuran yang lebih dalam, tetapi juga menantang mereka untuk mempertahankan hubungan ini dengan lebih kuat, meskipun ada bayangan masa lalu yang sulit dilupakan.

 

Dalam keheningan malam itu, Lara merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa meskipun rahasia telah terungkap, itu bukan berarti segalanya berakhir. Sebaliknya, itu adalah awal dari sebuah babak baru yang penuh tantangan dan harapan. Bersama Dian, ia berharap bisa menemukan jalan untuk mengatasi segala rintangan yang ada, dan membangun kembali kepercayaan yang sempat tergores oleh ketakutan dan keraguan.*

Bab 7: Pilihan yang Menentukan

 

Malam itu, setelah percakapan yang panjang dan penuh emosi, Lara duduk termenung di depan jendela kamarnya. Hujan deras membasahi jalanan, dan suara gemericik air yang jatuh dari langit seolah mengiringi pikirannya yang sedang kacau. Ia tahu bahwa sesuatu telah berubah, tetapi entah itu perubahan yang baik atau buruk, ia tidak bisa sepenuhnya memahaminya. Rahasia yang ia ungkapkan kepada Dian seakan membuka pintu untuk percakapan yang lebih dalam, tetapi di saat yang sama, Lara merasa semakin terperangkap dalam ketidakpastian.

 

Mereka berbicara lebih sering akhir-akhir ini, membahas segala hal tentang hubungan mereka—tentang perasaan mereka, masa lalu, dan harapan untuk masa depan. Namun, meskipun mereka berusaha saling memahami, Lara merasa bahwa ada jurang yang semakin lebar antara mereka. Setiap kali mereka berbicara, ada rasa cemas yang tumbuh di dalam hati Lara, seperti sebuah beban yang semakin berat untuk dihadapi. Meskipun ia merasakan kedekatan emosional dengan Dian, ia tahu bahwa pilihan besar akan segera datang—pilihan yang akan menentukan arah hubungan mereka.

 

Keesokan harinya, saat Lara sedang duduk di kafe dekat kampus, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Dian, yang membuat jantungnya berhenti sejenak. Ia membuka pesan itu dengan perasaan campur aduk.

 

“Lara, aku berpikir banyak setelah percakapan kita kemarin. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku merasa kita perlu membuat keputusan yang lebih jelas tentang hubungan kita. Jarak ini, masa lalu kita, semuanya terasa semakin membebani kita. Aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan. Apa yang kamu inginkan?”

 

Lara memandang layar ponselnya, dan hatinya berdegup kencang. Kata-kata Dian seakan menguji semuanya. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang tak bisa dihindari—momen di mana mereka harus memilih, apakah mereka akan terus berjuang untuk hubungan ini ataukah akan menyerah. Lara merasa takut dengan pilihan yang ada, karena apapun yang ia pilih, itu akan mengubah segalanya.

 

Apakah ia siap untuk melanjutkan hubungan ini, meskipun masih ada banyak ketidakpastian? Atau apakah ia harus merelakan semuanya karena jarak yang begitu jauh, serta rasa takut akan masa depan yang tak menentu? Setiap pilihan seolah membawa konsekuensinya sendiri, dan Lara merasa semakin bingung untuk menentukan mana yang terbaik.

 

Ia kemudian membalas pesan Dian dengan tangan yang gemetar.

 

“Aku juga berpikir banyak, Dian. Aku merasa kita memang harus membuat keputusan. Tapi aku takut kalau kita memilih jalan yang salah, kita akan kehilangan satu sama lain. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku cinta sama kamu, tapi… entah kenapa, semakin kita berbicara, semakin aku merasa ada hal yang mengganjal. Jarak ini… terlalu besar, dan aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan lebih lama lagi seperti ini.”

 

Pesan itu terkirim, dan Lara merasa seolah-olah sebuah dinding besar tiba-tiba terbentuk di antara mereka. Ia tahu bahwa kata-katanya mengandung keraguan, tetapi itu adalah perasaan yang jujur. Ia merasa terjepit di antara cinta yang begitu besar untuk Dian dan ketakutan akan masa depan yang tak pasti.

 

Beberapa menit kemudian, Dian membalas.

 

“Aku mengerti, Lara. Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku tidak ingin kita hanya mengandalkan kata-kata atau perasaan semata. Aku ingin kita membuat keputusan yang benar-benar kita yakini. Mungkin ini saatnya untuk kita memikirkan apakah kita bisa tetap bersama meskipun terpisah jauh, atau apakah kita harus menyerah demi kebaikan kita berdua.”

 

Lara membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencari kekuatan dalam setiap kalimat yang Dian tuliskan. Rasanya seperti sebuah ujian besar yang harus mereka hadapi. Tidak ada jalan yang mudah, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi yang harus mereka tanggung. Lara merasa dirinya terjebak dalam kebingungan, berjuang antara perasaan yang ia miliki untuk Dian dan kenyataan bahwa hubungan ini semakin terasa penuh dengan keraguan dan ketakutan.

 

Setelah berjam-jam merenung, Lara memutuskan untuk melakukan langkah yang lebih besar. Ia mengajak Dian untuk berbicara langsung melalui panggilan video, berharap bahwa percakapan ini akan memberikan kejelasan bagi keduanya. Ketika Dian menerima panggilan itu, wajah mereka saling menatap, namun keduanya tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan yang berat ini.

 

“Ada hal penting yang harus kita bahas, Dian,” kata Lara dengan suara yang sedikit bergetar. “Aku tahu kita sudah berusaha untuk tetap bertahan, tapi aku merasa semakin sulit. Jarak ini benar-benar membebani kita. Aku rindu kamu, dan aku rasa itu tidak cukup lagi hanya dengan percakapan melalui layar.”

 

Dian terdiam sejenak, seolah-olah meresapi kata-kata Lara. Wajahnya tampak serius, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. “Aku juga merasa demikian, Lara. Mungkin aku memang terlalu berharap, tapi aku ingin kita bisa bertemu langsung, melihat satu sama lain tanpa ada batasan apapun. Namun, aku tahu itu tidak mudah, dan aku tidak tahu apakah kita siap untuk itu.”

 

Lara menatap mata Dian, merasakan ketegangan yang semakin besar di antara mereka. “Apa yang harus kita lakukan, Dian?” tanyanya dengan suara lirih. “Kita sudah terlalu banyak membicarakan ini, tapi rasanya kita masih belum menemukan jalan keluarnya. Apakah kita akan terus bertahan dengan ketidakpastian ini, atau apakah kita harus mengakhiri semuanya?”

 

Dian menghela napas panjang. “Lara, aku tidak ingin kehilanganmu. Tetapi aku juga tidak ingin kita hidup dalam kebingungan seperti ini. Kita butuh keputusan yang pasti, dan aku rasa kita tidak bisa terus begini selamanya. Apa yang kamu pilih?”

 

Lara menunduk, merasa hatinya semakin berat. Ia tahu bahwa keputusan ini akan mengubah segalanya. Apakah ia akan memilih untuk berjuang lebih keras untuk hubungan ini, ataukah ia akan merelakan Dian untuk mencari kebahagiaan tanpa dirinya? Setiap pilihan terasa begitu sulit, dan Lara tahu bahwa keputusan ini akan menentukan masa depan mereka.

 

“Aku… aku belum tahu, Dian,” jawab Lara dengan jujur. “Aku takut jika kita memilih jalan yang salah, kita akan saling menyakiti. Tapi aku juga tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu.”

 

Dian menatap Lara dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Lara. Kita butuh waktu untuk berpikir. Ini bukan keputusan yang mudah, dan aku tidak ingin kita terburu-buru.”

 

Percakapan itu berakhir dengan perasaan penuh keraguan, namun Lara tahu bahwa mereka akan segera menemukan jawabannya. Pilihan yang menentukan akan segera datang, dan mereka harus siap untuk menghadapi kenyataan, apapun itu. Seiring dengan berlalunya waktu, Lara dan Dian akan menghadapinya bersama, mencoba mencari jalan yang terbaik, meskipun hati mereka penuh dengan ketakutan akan kehilangan.*

Bab 8: Masa Depan yang Tak Pasti

 

Hari-hari berlalu setelah percakapan berat itu, dan Lara merasa seolah-olah dirinya berada dalam ruang yang penuh dengan kabut. Setiap kali ia mencoba melihat ke depan, ada begitu banyak ketidakpastian yang menghalangi pandangannya. Pilihan yang mereka buat kini semakin mendekat, tetapi ia merasa seolah-olah masa depan adalah sesuatu yang sangat jauh dan tak terjangkau. Ia masih mencintai Dian, tetapi seiring berjalannya waktu, rasa takut dan kebingungannya semakin besar. Setiap percakapan dengan Dian terasa semakin penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka tak bisa dipertahankan hanya dengan perasaan semata—ada keputusan yang harus dibuat.

 

Lara tidak bisa membohongi dirinya lagi. Ia merasa jantungnya sering berdebar lebih cepat ketika memikirkan Dian, tetapi ada sisi lain dari dirinya yang merasa takut dengan kenyataan yang mereka hadapi. Jarak yang teramat jauh, perbedaan yang mereka miliki, dan ketakutan akan masa depan yang penuh ketidakpastian membuatnya merasa terperangkap di antara dua dunia yang tak pernah benar-benar bisa disatukan. Ia merindukan Dian, tetapi di sisi lain, ia merasa bahwa ada hal yang lebih besar yang sedang menghalangi mereka.

 

Saat itu, pagi yang sepi, Lara duduk di depan laptop di kamar kosnya, menatap layar kosong. Ia sudah mencoba menulis beberapa kali, tetapi kata-kata tak kunjung muncul. Pikirannya kacau. Semua perasaan yang ia rasakan begitu berat, dan ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ia membuka aplikasi pesan dan melihat chat dari Dian yang sudah masuk beberapa kali. Sepertinya Dian masih berharap, masih mencoba untuk membuat semuanya menjadi lebih jelas, tetapi Lara merasa semakin terjauh. Apa yang harus ia lakukan?

 

Dengan hati yang berat, Lara akhirnya memutuskan untuk menulis pesan kepada Dian, meskipun hatinya dipenuhi dengan keraguan.

 

“Dian, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa seperti kita terjebak dalam lingkaran yang tak ada ujungnya. Aku masih mencintaimu, itu pasti, tapi semakin lama aku berpikir, semakin aku merasa takut. Takut jika kita memilih jalan yang salah, takut jika kita saling melukai satu sama lain. Jarak ini… semakin membuatku merasa semakin jauh dari kamu, dan aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk terus bertahan seperti ini.”

 

Lara menatap pesan yang baru saja ia tulis. Rasanya, kata-kata itu begitu berat untuk diucapkan. Tetapi itu adalah kebenaran yang ia rasakan—ketakutan yang terus menghantuinya. Ia tidak ingin menjadi egois dengan meminta Dian untuk ikut merasakan rasa sakit yang sama, tetapi ia juga tahu bahwa ia tak bisa terus berjuang sendiri. Lara merasakan beratnya beban ini semakin hari semakin tak tertahankan. Pilihan yang mereka hadapi adalah pilihan yang akan mengubah arah hidup mereka.

 

Dian membalas pesan itu beberapa menit kemudian.

 

“Aku mengerti, Lara. Aku merasa sama. Semakin aku berpikir, semakin aku merasa kita berdua tidak siap dengan kenyataan ini. Jarak yang jauh, waktu yang terbatas, dan segala hal yang menghalangi kita. Aku ingin sekali bisa berada di sampingmu, tapi aku tidak tahu apakah kita benar-benar bisa terus seperti ini. Aku ingin kamu bahagia, Lara, dan aku ingin kita berdua bisa memilih jalan yang tepat untuk kita.”

 

Lara menatap pesan itu, hatinya bergejolak. Kata-kata Dian begitu penuh dengan pengertian, tetapi di balik itu, Lara merasakan ada perasaan yang tak terucapkan—kebingungan yang mendalam. Dian juga merasakan beban yang sama, dan meskipun mereka berdua saling mencintai, mereka tahu bahwa cinta saja tidak cukup untuk mengatasi segala halangan yang ada. Keputusan yang harus mereka ambil tidak hanya berdampak pada hubungan mereka, tetapi juga pada hidup mereka masing-masing.

 

Pikiran Lara melayang jauh. Apa yang akan terjadi jika mereka berdua memilih untuk menyerah? Apakah itu akan menjadi akhir dari semuanya, atau justru awal dari kebebasan yang mereka butuhkan? Namun, di sisi lain, apa yang akan terjadi jika mereka memutuskan untuk bertahan? Apakah jarak ini bisa mereka atasi? Apakah cinta mereka akan cukup untuk menjaga mereka tetap kuat? Atau apakah mereka akan terus terjebak dalam hubungan yang penuh dengan ketakutan dan keraguan?

 

Lara tidak tahu jawabannya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak memiliki kontrol atas hidupnya. Semua hal yang terjadi seakan berada di luar jangkauannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau apa yang seharusnya ia pilih. Semua pilihan tampak sulit, dan ia tidak bisa memilih salah satu tanpa merasa kehilangan sesuatu yang berharga.

 

Keesokan harinya, Lara memutuskan untuk bertemu dengan sahabatnya, Rina, yang selalu ada untuk memberikan pendapat yang jujur. Lara merasa perlu untuk mendengar perspektif lain, seseorang yang tidak terlibat dalam hubungan ini, tetapi bisa memberikan pandangan yang lebih objektif. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, tempat yang sering mereka kunjungi untuk berbicara tentang segala hal.

 

Rina melihat wajah Lara yang muram. “Kamu terlihat lelah, Lara,” katanya. “Apa yang terjadi? Ceritakan padaku.”

 

Lara menghela napas panjang dan mulai menceritakan semua yang terjadi—tentang hubungan jarak jauh dengan Dian, ketakutannya tentang masa depan, dan keraguannya tentang apakah hubungan itu bisa bertahan. “Aku merasa bingung, Rin. Aku mencintainya, tapi aku tidak tahu apakah kita bisa terus bersama dengan semua halangan ini. Aku takut, jika aku memilih untuk terus berjuang, aku akan kehilangan diriku sendiri. Tapi aku juga takut jika aku menyerah, aku akan kehilangan dia selamanya.”

 

Rina mendengarkan dengan seksama, kemudian memberikan senyum penuh pengertian. “Lara, aku tahu kamu sangat mencintainya, tapi kadang kita harus memilih untuk bahagia, bukan hanya untuk orang lain, tapi juga untuk diri kita sendiri. Tidak ada yang salah dengan melepaskan sesuatu yang tidak membuatmu merasa aman atau bahagia. Tapi aku juga tahu, jika kamu merasa bahwa hubungan itu layak diperjuangkan, maka kamu harus berani mengambil langkah yang lebih besar.”

 

Lara terdiam, mencerna kata-kata Rina. Ia tahu bahwa sahabatnya itu benar. Keputusan yang harus ia buat bukan hanya untuk Dian, tetapi untuk dirinya sendiri. Apa yang akan membuatnya merasa utuh dan bahagia? Apa yang akan membuatnya merasa tidak menyesal di kemudian hari? Rina melanjutkan, “Tidak ada yang tahu pasti bagaimana masa depan akan berjalan, Lara. Tapi kamu harus memilih dengan hati, dan yang terpenting, kamu harus memilih dengan kebijaksanaan, bukan karena takut.”

 

Setelah pertemuan itu, Lara merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, ia tahu bahwa keputusan apapun yang ia buat, itu adalah pilihannya sendiri. Tidak ada yang bisa memberinya jawaban yang pasti, dan masa depan memang tidak bisa diprediksi. Tetapi ia bisa memilih untuk menghadapi ketidakpastian itu dengan keberanian, dan menjalani hidupnya dengan keyakinan bahwa apapun yang terjadi, ia bisa menghadapinya.

 

Malam itu, Lara kembali duduk di kamarnya, memandang langit malam yang gelap. Meski masa depan terasa begitu jauh dan tak pasti, ia tahu bahwa ia harus memilih—apakah ia akan terus berjuang untuk cinta yang telah ia bangun, atau apakah ia akan melepaskannya demi mencari kebahagiaan yang lebih sejati. Pilihan itu ada di tangannya, dan hanya ia yang bisa menentukan arah hidupnya.***

—————THE END—————

Source: Muhammad Reyhan Sandafa
Tags: cinta yang tak terdugadi pisahkan oleh jarakketegangan yang memuncak
Previous Post

DENDAM DIBALIK JANJI

Next Post

RASA YANG TUMBUH PERLAHAN

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
RASA YANG TUMBUH PERLAHAN

RASA YANG TUMBUH PERLAHAN

MENCINTAI YANG TAK SEHARUSNYA

MENCINTAI YANG TAK SEHARUSNYA

Hati Yang Terlalu Dalam

CINTA YANG MENUNGGU DI UJUNG WAKTU

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id