Daftar Isi
Bab 1: Awal yang Tak Terduga
Alya memandang layar ponselnya dengan bosan. Notifikasi media sosial yang terus muncul hanya berisi kabar-kabar sepele: teman-teman yang memposting foto makanan, ucapan ulang tahun yang dipenuhi emotikon, dan berita-berita yang tak menarik. Ia menekan tombol home, kemudian menatap sekeliling ruang kamarnya yang cukup sederhana. Poster band favoritnya menempel di dinding, sebuah rak buku berisi novel-novel yang tak terhitung jumlahnya, serta sebuah meja belajar yang penuh dengan catatan kuliah. Semua terlihat biasa, seperti hari-hari lainnya.
Kuliah di Fakultas Sastra, jurusan yang sudah dipilihnya sejak lama, bukanlah hal yang menyenangkan seperti yang dibayangkan dulu. Beberapa bulan terakhir, Alya merasa semakin terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja. Pagi kuliah, siang bertemu teman-teman, malam belajar atau sekadar berselancar di internet. Dunia yang pernah ia impikan saat masih di bangku SMA kini terasa datar dan penuh kebosanan. Ia ingin sesuatu yang lebih. Tapi entah kenapa, meskipun ada keinginan itu, ia tak tahu harus mulai dari mana.
Hingga suatu hari, sebuah kejadian tak terduga mengubah segalanya.
Pagi itu, seperti biasa, Alya bangun terlambat. Alarm yang berdering sejak pukul 6:30 pagi seakan tak pernah berhasil memaksa dirinya untuk bangun tepat waktu. Ia melirik jam di meja samping tempat tidur, “7:45 pagi? Sial, aku terlambat lagi!”
Dengan terburu-buru, ia menyambar tas kuliah yang tergeletak di lantai dan segera keluar dari apartemennya. Kampus hanya berjarak lima belas menit berjalan kaki, tapi dengan kondisi terburu-buru seperti ini, Alya tahu ia akan tiba tepat saat kuliah dimulai—jika beruntung.
Di tengah perjalanan menuju kampus, hujan yang turun deras semakin membuatnya panik. Ia tak membawa jas hujan, dan sepatu yang ia kenakan mulai basah kuyup. Namun, di saat-saat seperti itu, Alya merasa entah mengapa sedikit tertawa pada dirinya sendiri. “Hari yang sempurna,” gumamnya dengan nada sinis.
Saat memasuki area kampus, langkahnya terhenti sejenak. Di pintu utama, sebuah poster besar terpampang jelas. poster itu bertuliskan nama seorang pembicara terkenal dalam dunia sastra—, seorang penulis muda yang karyanya sangat populer di kalangan mahasiswa. Alya pernah membaca salah satu bukunya, “Sekeping Hati yang Hilang”, sebuah novel tentang cinta dan kehilangan yang mengharu biru. Buku itu berhasil membuatnya menangis selama dua malam berturut-turut.
Dengan sedikit ragu, Alya menatap poster itu lebih lama. Mungkin inilah yang ia butuhkan: sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa membangkitkan kembali semangat yang seakan hilang sejak ia masuk kuliah. Ia memutuskan untuk mendaftar, meskipun awalnya hanya untuk sekadar meredakan rasa bosan.
Siang itu, ruangan di mana workshop diadakan penuh sesak dengan mahasiswa yang tampaknya memiliki antusiasme yang sama dengan Alya. Beberapa orang duduk berkelompok, membicarakan proyek-proyek penulisan mereka, sementara yang lainnya sibuk berinteraksi dengan teman-teman yang sudah mereka kenal lebih dulu. Alya merasa sedikit canggung, duduk di pojokan dengan secangkir kopi di tangan, tidak tahu harus bagaimana. Ia bukan orang yang terlalu terbuka, dan acara seperti ini membuatnya merasa sedikit terasing.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria masuk. Semua orang langsung terdiam, terkesima melihat sosok yang baru saja memasuki ruangan. Rian Darmawan, penulis yang terkenal itu, berdiri di depan dengan postur tegap, mengenakan kemeja hitam dan celana jeans. Ada sesuatu yang memikat dari caranya berjalan—tenang, percaya diri, namun tetap ramah. Beberapa orang berbisik, menyebutkan namanya dengan takjub, seolah tak percaya mereka berada di satu ruangan dengan orang yang begitu mereka kagumi.
Rian memulai acara dengan suara yang tenang dan penuh ketenangan. “Selamat datang, teman-teman. Saya senang bisa berada di sini bersama kalian. Workshop ini bukan hanya tentang teknik menulis, tetapi juga tentang menemukan diri kita dalam setiap cerita yang kita buat. Tulisan itu datang dari dalam hati, dan hanya dengan membuka hati, kita bisa menemukan suara kita sendiri.”
Alya mendengarkan dengan seksama, meskipun ada rasa canggung yang tetap mengganjal. Ia tahu betul bagaimana rasanya terjebak dalam kata-kata, bagaimana sulitnya menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan. Tiba-tiba, Alya merasa seolah-olah kata-kata Rian menembus langsung ke dalam dirinya, menggugah sesuatu yang selama ini terpendam.
Namun, saat sesi diskusi dimulai, ada sesuatu yang benar-benar membuat Alya terkejut. Rian mengajak peserta untuk berdiskusi dalam kelompok kecil. Alya yang terkejut mendapati dirinya duduk di sebelah seorang pria dengan rambut hitam pendek, berkulit cerah, dan mata tajam yang penuh rasa ingin tahu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, pria itu mengulurkan tangannya dengan senyum ramah.
“Hai, aku Dimas. Senang bisa berbicara denganmu.”
Alya hanya bisa tersenyum canggung dan menjabat tangannya. “Alya,” jawabnya singkat.
Sesi diskusi pun dimulai. Ternyata, Dimas adalah seorang mahasiswa Sastra dari fakultas yang berbeda, yang juga tertarik pada dunia penulisan. Mereka mulai berbicara tentang apa yang mereka harapkan dari workshop ini, dan tiba-tiba, Alya merasa sedikit lebih nyaman. Pembicaraan mereka mengalir begitu natural, dan Dimas memiliki banyak pandangan menarik tentang dunia penulisan, yang membuat Alya semakin tertarik. Terkadang, ia bahkan merasa seolah Dimas bisa melihat langsung ke dalam dirinya, seperti ada koneksi yang tak terucapkan.
Saat workshop berakhir, Rian memberikan tugas kepada semua peserta untuk menulis cerita pendek dalam waktu seminggu. Alya merasa terinspirasi, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa kembali hidup. Namun, ada satu hal yang tak terduga terjadi. Sebelum acara benar-benar selesai, Dimas mengajak Alya untuk pergi ke sebuah kafe dekat kampus.
“Aku rasa kita bisa saling berbagi lebih banyak ide di sana. Aku tahu tempat yang enak untuk ngobrol,” kata Dimas dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan.
Alya merasa sedikit ragu. Selama ini, ia tak pernah merasa nyaman dengan seseorang yang baru dikenalnya, tetapi ada sesuatu dalam diri Dimas yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Mungkin ini bisa jadi kesempatan untuk keluar dari zona nyaman, untuk mencari sesuatu yang baru.
“Baiklah, tapi hanya sebentar,” jawab Alya dengan sedikit tertawa, mencoba menghilangkan kecanggungannya.
Mereka berjalan bersama menuju kafe, dan sepanjang perjalanan, Alya merasakan sesuatu yang berbeda. Dimas tidak seperti pria lainnya yang pernah ia temui. Ia tidak terburu-buru, tidak ingin memaksakan apa pun, dan mereka hanya berbicara tentang hal-hal biasa—musik, buku, bahkan film favorit. Percakapan yang sederhana namun terasa begitu menyenangkan.
Setelah sampai di kafe, mereka duduk di meja pojok yang cukup sepi. Dimas langsung memesan kopi hitam, sementara Alya memilih teh hangat. Mereka melanjutkan percakapan, kali ini lebih dalam lagi. Tanpa mereka sadari, waktu berlalu begitu cepat, dan sudah hampir dua jam mereka duduk bersama, berbicara tentang berbagai hal yang menyentuh hati.
Malam semakin larut, dan Alya merasa aneh. Tiba-tiba, ia menyadari bahwa inilah perasaan yang ia cari selama ini—perasaan terhubung dengan seseorang secara nyata, tanpa perlu berpura-pura menjadi seseorang yang lain. Dimas membuatnya merasa diterima begitu saja, tanpa ada tuntutan atau ekspektasi yang membebani. Mereka hanya berbicara, tertawa, dan menikmati kebersamaan tanpa beban.
Ketika pertemuan itu akhirnya berakhir, Alya merasa enggan berpisah. Namun, ia tahu ini adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tidak hanya tentang workshop menulis yang menginspirasi, tetapi juga tentang Dimas, yang entah mengapa, membuat hatinya merasa hangat.
“Alya,” kata Dimas dengan suara pelan saat mereka berpisah di depan kafe. “Terima kasih untuk malam ini. Aku senang bisa berbicara denganmu. Semoga kita bisa lebih sering bertemu lagi.”
Alya hanya tersenyum dan mengangguk, merasa ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya. Mungkin ini baru awal dari cerita yang tak terduga.
Dan saat itu, Alya sadar bahwa hidupnya akan berubah setelah malam ini—mungkin bukan hanya karena workshop menulis yang menginspirasi, tetapi juga karena seorang pria yang tiba-tiba hadir, mengubah jalannya cerita kehidupannya.*
Bab 2: Momen-Momen Manis
Hari-hari setelah workshop menulis itu berlalu dengan cepat, dan Alya merasa seperti memasuki dunia yang baru. Sejak pertemuannya dengan Dimas di kafe, ia mulai merasakan perbedaan dalam hidupnya. Ada semangat baru yang tumbuh dalam dirinya, semangat yang entah dari mana datangnya, tetapi sangat menyegarkan. Setiap kali ia memikirkan Dimas, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Mungkin ini memang yang disebut ketertarikan, atau mungkin sesuatu yang lebih.
Setiap kali mereka bertemu, ada perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Dimas tidak hanya menarik dari segi fisik, tapi juga punya cara berbicara yang membuat Alya merasa nyaman. Mereka berbicara tentang segala hal; mulai dari buku favorit, film yang pernah mereka tonton, hingga cerita-cerita lucu tentang kehidupan sehari-hari. Tidak ada topik yang terlewatkan. Bahkan, kadang mereka bisa tertawa tanpa alasan yang jelas hanya karena lelucon ringan yang terucap secara spontan.
Satu minggu setelah pertemuan pertama mereka, Dimas mengirimkan pesan singkat di WhatsApp. Hanya sebuah kalimat pendek, namun cukup untuk membuat hati Alya berdebar.
“Alya, ada acara menulis di kafe lagi, nih. Kalau kamu bebas, mau datang dan ikut bareng?”
Alya menatap pesan itu beberapa detik, merasa bingung sekaligus senang. Awalnya ia ragu, tetapi kemudian ia membalasnya.
“Boleh juga. Jam berapa?”
Dimas membalas cepat.
“Jam tujuh malam. Aku tunggu di sana.”
Itu adalah awal dari rutinitas baru yang terbentuk antara mereka. Setiap minggu, mereka mulai pergi ke kafe yang sama. Tidak ada agenda yang jelas selain menikmati kebersamaan dan berbicara tentang apa saja. Ada kalanya mereka duduk berjam-jam hanya untuk berbicara tanpa ada jeda, sementara cangkir kopi mereka sudah habis beberapa kali.
Pada suatu malam, setelah beberapa pertemuan yang menyenangkan itu, Dimas memberi Alya kejutan kecil. Ketika mereka bertemu di kafe, Dimas sudah duduk di meja yang biasanya mereka pilih, dan di depannya ada dua cangkir kopi. Namun, di samping cangkir itu ada sebuah kotak kecil berwarna merah.
Alya duduk di hadapannya dengan rasa penasaran yang besar. “Apa itu?” tanyanya sambil menunjuk kotak kecil di meja.
Dimas tersenyum lebar, lalu menyodorkan kotak itu. “Buka saja,” katanya.
Dengan sedikit bingung, Alya membuka kotak itu dan mendapati sebuah gantungan kunci berbentuk hati di dalamnya. Gantungan itu terbuat dari kayu, dengan ukiran nama mereka berdua di bagian depan: Alya & Dimas.
“Ini… untuk apa?” tanya Alya, masih terkejut dengan kejutan kecil tersebut.
“Karena kamu selalu bilang bahwa kita sering melupakan momen-momen penting dalam hidup. Jadi, aku ingin memberimu sesuatu yang bisa kamu bawa ke mana-mana. Kalau kamu melihatnya, kamu akan ingat kita pernah memiliki momen ini bersama.” Dimas menjelaskan dengan suara lembut.
Alya menatap gantungan kunci itu, merasakan kehangatan yang tumbuh di dalam hatinya. Meskipun hadiah itu sederhana, ada makna yang dalam di baliknya. “Terima kasih,” jawabnya, suara sedikit tersekat oleh emosi yang muncul begitu saja.
Sejak saat itu, gantungan kunci itu tidak pernah lepas dari tas Alya. Setiap kali ia menggenggamnya, ia merasakan kehadiran Dimas di sisinya, meskipun mereka hanya berada dalam jarak yang berbeda.
Minggu-minggu berlalu dengan penuh kebersamaan yang semakin intens. Alya merasa seperti dirinya yang dulu—gadis yang selalu penuh semangat dan percaya diri—kembali muncul, berkat pertemuan-pertemuan sederhana bersama Dimas. Mereka tidak hanya berbicara tentang tulisan dan karya, tetapi juga berbagi cerita pribadi yang lebih dalam.
Pada suatu malam yang tenang, saat mereka sedang duduk di taman kampus setelah acara menulis, Dimas memandang Alya dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. “Kamu tahu, Alya,” katanya dengan suara lembut. “Aku selalu merasa nyaman setiap kali bersamamu. Aku bisa jadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura.”
Alya terdiam sejenak, merasakan sesuatu yang berbeda. Ia tahu bahwa Dimas menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertemanan biasa. Namun, ia merasa sedikit cemas, takut jika ia salah paham.
“Aku juga merasa seperti itu,” jawab Alya dengan suara pelan. “Aku merasa bisa menjadi diriku sendiri tanpa merasa terbebani.”
Dimas tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam yang cerah. “Aku rasa kita punya banyak kesamaan, Alya. Kamu tahu, kadang aku merasa seperti dunia ini terlalu sibuk, terlalu cepat berjalan. Tapi ketika aku bersama kamu, semuanya terasa lebih lambat. Seakan kita bisa menikmati setiap detik bersama.”
Alya merasa jantungnya berdegup kencang. Kata-kata itu begitu sederhana, namun mengandung begitu banyak makna. Tanpa sadar, ia tersenyum. “Aku juga merasa seperti itu. Seperti waktu berhenti, dan hanya ada kita di dunia ini.”
Pada malam itu, mereka duduk berdua di bawah cahaya lampu taman, menikmati ketenangan yang hanya bisa ditemukan ketika dua hati saling terhubung. Tidak ada kata-kata berlebihan yang terucap, hanya perasaan yang mengalir begitu saja, seiring dengan angin yang berbisik pelan.
Suatu sore, ketika mereka sedang duduk di taman kampus sambil membaca buku, Dimas tiba-tiba membuka pembicaraan yang agak tidak terduga.
“Alya, aku pikir… kita harus pergi ke suatu tempat,” katanya dengan nada serius, namun masih dengan senyum yang biasa.
Alya menatapnya dengan bingung. “Pergi ke mana?”
Dimas mengedikkan bahunya. “Ke pantai. Aku tahu kamu suka banget laut, kan? Aku pikir kita bisa pergi berdua, menikmati hari tanpa gangguan.”
Alya terkejut dengan usulannya. Selama ini, ia hanya memikirkan hal-hal kecil dalam hidup, tetapi Dimas sepertinya sudah memikirkan hal besar untuk mereka berdua. “Ke pantai? Kapan?”
“Bagaimana kalau akhir pekan ini?” jawab Dimas dengan penuh keyakinan.
Alya tidak bisa menahan senyum lebar. “Aku… aku setuju!” jawabnya tanpa ragu.
Akhir pekan itu, mereka berdua menghabiskan waktu di pantai yang tenang, jauh dari keramaian. Angin laut yang sejuk dan deburan ombak menciptakan suasana yang begitu damai. Mereka berjalan di sepanjang garis pantai, sesekali berbicara tentang hal-hal yang tak pernah mereka bicarakan sebelumnya, atau terkadang hanya diam menikmati kebersamaan.
Saat matahari terbenam, Dimas mengeluarkan kamera dari tasnya dan menyuruh Alya untuk berdiri di dekat tepi pantai. “Aku ingin mengambil gambarmu,” katanya sambil tersenyum.
Alya sedikit bingung, tetapi kemudian ia mengangguk dan berdiri di tempat yang dimaksud. “Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa kita sudah membuat banyak kenangan hari ini.”
Dimas mengatur kamera dengan hati-hati. “Ini hanya awal dari banyak kenangan lainnya,” jawabnya sambil mengklik tombol kamera. Gambar Alya yang tersenyum lebar dengan latar belakang matahari terbenam itu menjadi kenangan manis yang akan terus tersimpan dalam ingatannya.
Setelah foto itu diambil, mereka duduk berdua di atas pasir, menatap laut yang semakin gelap. Di situlah, di bawah langit yang penuh bintang, mereka tahu bahwa momen-momen manis ini akan selalu ada dalam hati mereka.
Setiap detik yang mereka habiskan bersama terasa begitu berharga. Entah kenapa, Alya merasa bahwa perasaan yang tumbuh di hatinya ini bukan sekadar rasa suka biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sulit dijelaskan. Dan yang lebih mengejutkan, ia tidak merasa takut dengan perasaan itu. Ia justru merasa semakin hidup, semakin penuh, dan semakin ingin tahu ke mana kisah ini akan membawa mereka.
Dimas adalah kisah yang tak pernah ia duga sebelumnya. Tapi kini, ia tahu bahwa momen-momen manis bersama Dimas akan selalu menjadi bagian dari cerita hidupnya—cerita yang tak ingin ia lupakan, apapun yang terjadi.*
Bab 3: Momen Patah Hati
Hari itu, suasana kampus terasa lebih sunyi dari biasanya. Alya duduk di bangku taman dekat gedung kuliah, menatap ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan dari Dimas yang baru saja diterimanya membuat hatinya merasa berat, lebih berat daripada sebelumnya.
“Alya, kita perlu bicara. Ada hal yang ingin aku jelaskan. Bisakah kita ketemu?”
Itu saja. Pesan yang singkat, namun penuh arti. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuat dada Alya sesak. Ia tahu, perasaan cemas mulai merayapi tubuhnya. Selama beberapa hari terakhir, Dimas terlihat sedikit berbeda—lebih jarang menghubunginya, lebih sering membatalkan pertemuan mendadak. Setiap kali mereka bertemu, percakapan mereka terasa canggung, seperti ada jarak yang semakin besar di antara mereka.
Alya memandangi layar ponselnya untuk beberapa detik lagi, mencoba mencari tanda-tanda lain yang bisa menjelaskan kebingungannya. Namun, tak ada lagi pesan yang muncul. Dengan perasaan campur aduk, ia memutuskan untuk membalas pesan itu.
“Oke, kita bisa ketemu. Dimana?”
Tak lama, Dimas mengirimkan alamat sebuah kafe kecil di pinggir kota. Alya tahu kafe itu. Mereka pernah ke sana beberapa kali, duduk berjam-jam sambil berbicara tentang segala hal, tertawa, dan berbagi cerita. Kafe yang seakan menjadi tempat perlindungan bagi mereka berdua, tempat di mana dunia luar terasa jauh dan hanya ada mereka berdua.
Setelah membalas pesan itu, Alya berdiri dari bangku taman, menggulung ujung jaketnya, dan berjalan dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya. Langkahnya terasa lambat, seolah-olah tubuhnya menolak untuk pergi ke tempat itu, tempat yang seharusnya penuh dengan kenangan manis. Tapi entah mengapa, perasaan itu mulai berubah.
Kafe kecil itu sudah sepi ketika Alya tiba. Hanya ada beberapa orang yang duduk di pojok-pojok ruangan, sibuk dengan ponsel mereka atau berbincang dengan teman-teman. Alya mencari-cari Dimas, tetapi ia tak tampak di sana. Hatinya semakin berdebar, dan perasaan tidak enak semakin menguasai dirinya.
Alya berjalan menuju meja yang biasa mereka duduki. Dimas belum datang. Ia duduk, menunggu, sambil mencoba menenangkan pikirannya yang semakin kacau. Beberapa menit berlalu, dan pintu kafe terbuka. Dimas masuk dengan wajah yang tidak bisa ia baca. Ada sesuatu yang berbeda. Pria yang biasanya ceria dan penuh semangat itu tampak ragu, bahkan cemas. Langkahnya pelan, matanya tak langsung bertemu dengan mata Alya.
“Dimas,” panggil Alya pelan, suaranya sedikit serak. “Kamu datang juga.”
Dimas tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa kosong. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Alya tanpa berkata-kata. Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara dentingan sendok yang digunakan seseorang di meja sebelah.
“Gimana, Dimas?” tanya Alya lagi, berusaha mencairkan ketegangan di antara mereka. Namun, Dimas hanya mengangguk tanpa berkata-kata.
Alya mulai merasa cemas. Ada sesuatu yang aneh. Jantungnya berdetak lebih cepat. “Ada yang salah, kan?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Dimas menghela napas panjang, seolah-olah mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang berat. Akhirnya, ia menatap Alya dengan mata yang tak bisa menyembunyikan kelelahan. “Alya, aku… aku rasa kita harus berhenti. Kita harus berhenti bertemu, berhenti melanjutkan apa yang kita miliki selama ini.”
Sekejap, dunia sekitar Alya terasa berhenti. Kata-kata itu seolah mengguncang segala yang ia percayai tentang hubungan mereka. Patah hati itu datang dengan sangat cepat, menghancurkan segalanya dalam sekejap.
“Kenapa? Apa yang salah?” Alya bertanya, suaranya bergetar. Ia ingin memahami, ingin tahu alasan di balik keputusan yang begitu mendalam itu. “Aku nggak mengerti, Dimas. Apa yang terjadi?”
Dimas menundukkan kepala, seolah-olah kata-kata itu sulit untuk keluar. “Aku sudah merasa ada sesuatu yang berbeda akhir-akhir ini, Alya. Aku merasa tertekan dengan hubungan ini. Aku… aku takut kita sedang berjalan ke arah yang salah.”
“Berarti ini bukan tentang aku? Tentang kita?” suara Alya hampir tidak terdengar, tetapi setiap kata itu begitu dalam, begitu menyesakkan.
“Alya…” Dimas mencoba berbicara dengan lembut. “Aku suka kamu. Aku sangat suka kamu. Tapi aku juga sadar bahwa aku belum siap untuk melangkah lebih jauh. Aku rasa aku perlu waktu untuk diri sendiri. Aku tidak ingin menyakitimu.”
Alya merasa seperti dunia runtuh di hadapannya. Semua momen indah yang mereka bagi, semua tawa dan percakapan, seakan menguap begitu saja. Kata-kata Dimas itu datang begitu mendalam, seolah-olah membekukan segala kenangan yang sempat mereka bangun bersama. Semua yang ia impikan, yang ia harapkan, lenyap dalam sekejap.
“Tapi kita bahagia, kan?” Alya memaksakan senyum tipis, meskipun hatinya terasa hancur. “Kita… kita selalu bersama, berbicara tentang masa depan, tentang banyak hal. Apa itu semua bohong?”
Dimas terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya, tampaknya kesulitan menjelaskan. “Aku tidak bisa berpura-pura, Alya. Aku sudah mencoba. Tapi aku tidak bisa memberikan apa yang kamu butuhkan. Kamu berhak mendapatkan lebih dari ini, lebih dari apa yang bisa aku beri.”
Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua kata-kata itu terasa begitu pedih, terlalu nyata, terlalu menyakitkan untuk diterima.
“Aku nggak tahu harus bagaimana lagi, Dimas,” Alya akhirnya berkata dengan suara pelan. “Aku sudah percaya padamu. Aku merasa kita bisa lebih dari sekadar teman, tapi sekarang… aku merasa seperti semuanya sia-sia.”
Dimas memejamkan mata, seakan berusaha menahan perasaan yang terpendam. “Aku tidak ingin membuatmu merasa seperti itu, Alya. Tapi aku merasa ini adalah keputusan yang terbaik untuk kita berdua.”
Alya menunduk, mengusap ujung matanya yang sudah mulai memanas. Ada perasaan kosong yang datang begitu cepat, seperti angin yang tiba-tiba datang menghantam hatinya. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, sesuatu yang dulu sangat berarti kini terasa sangat jauh.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Alya mengangkat kepalanya, mencoba untuk berbicara dengan suara yang lebih tegas. “Kalau begitu, kita harus berhenti di sini, ya?” tanyanya dengan tatapan yang tidak lagi terlihat penuh harapan. “Jika itu yang kamu mau.”
Dimas mengangguk, dengan tatapan penuh penyesalan. “Maafkan aku, Alya.”
Alya menghela napas panjang, merasa hatinya semakin hancur. Ia tahu, ini adalah akhir dari kisah yang pernah ia harapkan bisa berlanjut. Mereka tidak bisa lagi melanjutkan jalan yang sama, meskipun perasaan itu tetap ada, meskipun kenangan tentang mereka berdua akan selalu hidup dalam dirinya.
Alya meninggalkan kafe itu dengan langkah yang berat. Setiap langkah terasa lebih berat daripada yang sebelumnya. Ia berjalan menyusuri trotoar, melewati jalan-jalan yang familiar, namun kini semuanya terasa asing. Hatinya kosong. Patah hati itu datang begitu tiba-tiba, menyisakan rasa sakit yang tak terucapkan.
Ia tahu, meskipun waktu akan membantu menghapus sebagian luka, kenangan tentang Dimas—tentang mereka—akan tetap ada. Tidak ada yang bisa menghapus itu. Cinta pertama selalu meninggalkan bekas, meskipun itu harus berakhir dengan cara yang menyakitkan.*
Bab 4: Ketegangan dan Keraguan
Hari-hari setelah pertemuan yang memilukan itu berjalan perlahan. Alya merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya berputar terlalu cepat sementara dirinya tertinggal, terperangkap dalam masa lalu yang belum sepenuhnya bisa ia lepaskan. Meski sudah hampir dua minggu sejak Dimas mengakhirinya, perasaan itu—perasaan hampa, bingung, dan sakit—belum juga menghilang. Bahkan, semakin hari, perasaan itu terasa semakin kuat, seperti bayang-bayang yang mengikuti setiap langkahnya.
Setiap kali Alya keluar rumah, setiap kali ia berada di kampus atau bahkan di tempat-tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama, ia merasa Dimas ada di sana, walau tak terlihat. Hatinya kadang tak bisa menahan rindu, ingin sekali ia mendekat dan bertanya, mengapa semuanya berubah begitu cepat, mengapa perasaan yang mereka bangun bersama bisa hancur dalam sekejap.
Namun, kini ia tahu, bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mengubah itu.
Suatu sore, Alya duduk di bangku taman kampus, menatap layar ponselnya yang bergetar. Ada pesan dari seorang teman yang mengundangnya ke acara kampus yang akan berlangsung malam nanti. Seperti biasa, ia hampir tidak merasa tertarik pada hal-hal seperti itu. Rasanya, segala sesuatu terasa jauh lebih berat tanpa adanya Dimas di sisinya. Tapi entah mengapa, kali ini ia merasa sedikit lebih kuat. Mungkin ini waktunya untuk mencoba melangkah maju.
Tangan Alya ragu-ragu mengetikkan balasan.
“Oke, aku datang.”
Setelah mengirimkan pesan itu, ia menyandarkan tubuhnya pada kursi, menarik napas dalam-dalam. Sore ini langit tampak mendung, seakan mencerminkan suasana hatinya yang tidak kunjung cerah. Keinginan untuk melupakan Dimas, untuk merelakan segala kenangan mereka, begitu kuat—namun, ada satu perasaan yang lebih kuat dari itu: keraguan.
Setiap kali ia memikirkan langkah selanjutnya, perasaan itu kembali datang. Haruskah ia melanjutkan hidup tanpa Dimas? Mungkinkah ia bisa benar-benar mengikhlaskan? Atau apakah ia akan terus mengingatnya, terjebak dalam kenangan yang tak kunjung selesai?
Langkah kaki Alya terasa lambat saat ia berjalan menuju tempat acara berlangsung. Ia tidak tahu mengapa, tetapi semangat yang dulu selalu ada dalam dirinya kini mulai memudar. Sesekali, ia melihat sekeliling, berharap Dimas akan muncul dari antara kerumunan, memberikan senyum khasnya yang dulu selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Namun tentu saja, itu tidak terjadi.
Acara malam itu ternyata cukup ramai. Banyak teman-temannya yang datang, bercengkerama, tertawa, dan saling berbagi cerita. Alya mencoba ikut bergabung, tetapi setiap kali ia tersenyum atau bercanda, ia merasakan ada sesuatu yang hilang, seolah senyum itu tidak berasal dari hatinya. Hatinya tetap kosong, tetap diliputi perasaan yang belum juga bisa ia lepaskan.
Saat acara berlangsung, tiba-tiba matanya tertuju pada seseorang yang tidak asing. Dimas. Tanpa sengaja, ia melihatnya berdiri di tengah kerumunan, berbicara dengan beberapa teman. Wajah Dimas tampak sedikit berbeda, lebih santai, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi di antara mereka. Hatinya berdegup kencang, dan untuk beberapa detik, ia merasa dunia berhenti berputar.
Dimas melihat Alya. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, Alya merasakan ketegangan yang begitu kuat. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka, hanya pandangan yang saling bertemu, penuh makna dan pertanyaan.
Alya merasa seolah ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Sebelum ia sempat melangkah lebih jauh untuk menghampiri Dimas, ia merasakan seseorang menepuk pundaknya. Itu adalah Rina, temannya sejak lama.
“Alya, kenapa sendirian? Ayo, gabung sama kami!” ajak Rina dengan ceria, berusaha mengajak Alya kembali ke kerumunan.
Alya mengangguk, berusaha mengalihkan perhatian dari Dimas. Tetapi, di dalam hatinya, perasaan itu tak kunjung hilang. Apa yang seharusnya ia rasakan sekarang? Haruskah ia berbicara dengan Dimas, atau seharusnya ia melupakan semuanya?
Setelah beberapa jam berlalu, acara mulai usai. Alya berjalan keluar dari gedung dengan langkah pelan, matanya masih mencari-cari Dimas, meskipun ia tahu itu sia-sia. Ia tidak ingin berlama-lama di sana. Semua yang terjadi hanya membuat hatinya semakin kacau, semakin penuh dengan ketegangan dan keraguan. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, tidak tahu arah mana yang harus ia pilih.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Itu adalah pesan dari Dimas.
“Alya, kita bisa bicara sebentar?”
Alya menatap pesan itu dengan tatapan kosong. Tidak tahu harus merasa senang atau justru takut. Setiap kata yang Dimas kirimkan seakan mempengaruhi jantungnya. Hatinya berdebar kencang, namun di saat yang sama, ada keraguan besar yang menghalangi setiap langkahnya. Apakah ia siap untuk mendengarkan penjelasan dari Dimas? Apakah pertemuan itu akan membawa jawaban, atau justru memperburuk semuanya?
Alya menarik napas dalam-dalam dan membalas pesan itu.
“Oke. Di mana?”
Dimas memberikan lokasi yang cukup jauh dari kampus, di sebuah kafe kecil yang tenang, jauh dari keramaian. Alya tidak tahu apa yang sebaiknya ia harapkan. Hatinya penuh dengan pertanyaan, penuh dengan ketegangan yang ia rasakan sejak pertama kali Dimas mengirimkan pesan untuk berbicara.
Kafe itu sepi, hanya ada beberapa meja yang terisi. Alya masuk dengan langkah ragu, matanya mencari-cari sosok yang sudah ia kenal begitu baik. Tak lama, ia melihat Dimas duduk di sudut ruangan, tampak menunggu dengan wajah serius.
Saat mata mereka bertemu, Alya merasakan sensasi yang begitu kuat. Seakan ada sesuatu yang terhubung di antara mereka, meskipun sudah ada jarak yang cukup jauh sejak terakhir kali mereka berbicara.
Alya mendekat, duduk di depan Dimas, dan mereka hanya diam sejenak. Tidak ada kata-kata yang keluar. Hanya suara musik latar yang mengisi kesunyian di antara mereka.
Akhirnya, Dimas membuka mulut, suaranya pelan. “Alya, aku nggak tahu bagaimana harus mulai. Aku merasa sangat bingung dengan semuanya. Aku tahu aku sudah membuat keputusan yang berat waktu itu, tapi sekarang aku malah semakin ragu.”
Alya menatapnya dengan tatapan kosong. “Ragu?” tanyanya, suaranya seakan bergetar. “Jadi, kamu… masih merasa ada harapan?”
Dimas mengangguk, tetapi dengan ekspresi yang penuh ketegangan. “Aku merasa seperti kita tidak seharusnya berhenti begitu saja, Alya. Tapi aku juga takut kalau aku malah menyakitimu lagi. Aku nggak tahu apakah aku cukup kuat untuk menghadapi semuanya.”
Perasaan Alya bercampur aduk. Bagaimana bisa seseorang yang pernah membuat keputusan begitu tegas kini ragu kembali? Apakah ini semua hanya kebingungannya semata, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam di balik keraguan itu?
“Aku nggak tahu apa yang harus aku rasakan lagi, Dimas,” jawab Alya, suaranya penuh dengan ketegangan. “Aku juga ragu, apakah ini yang terbaik. Aku takut kalau kita terus begini, kita malah akan semakin tersakiti.”
Dimas terdiam. Hening sejenak di antara mereka, hanya suara detak jantung yang terdengar begitu keras di telinga Alya.
Alya merasa bingung. Semua yang ia inginkan hanyalah jawaban yang jelas. Apakah mereka bisa melanjutkan semuanya atau harus berpisah dengan perasaan ini? Keraguan itu semakin membesar, dan setiap kata yang diucapkan Dimas terasa semakin berat. Mereka berdua terjebak dalam perasaan yang sama, tetapi tidak tahu bagaimana cara keluar dari kebingungannya.
Di saat itulah Alya menyadari satu hal: kadang, perasaan yang paling sulit adalah ketika kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita inginkan. Ketegangan dan keraguan ini begitu menyesakkan, dan Alya tahu bahwa apapun yang terjadi malam ini, ia harus bisa membuat keputusan. Tetapi, apakah ia benar-benar siap untuk memilih?*
Bab 5: Menerima Kenyataan
Malam itu, setelah percakapan yang penuh ketegangan dan keraguan dengan Dimas, Alya merasa seakan segala perasaan yang selama ini ia simpan tiba-tiba tercurah keluar, namun tetap menyisakan kekosongan yang lebih dalam dari sebelumnya. Ia pulang ke rumah dengan langkah yang lebih berat, pikirannya berputar tanpa henti. Apakah keputusan untuk bertemu Dimas semalam benar-benar keputusan yang tepat? Apakah perasaan yang ia rasakan, yang begitu kuat dan penuh harapan, hanya sebuah bayangan dari masa lalu yang tak akan pernah kembali?
Setibanya di rumah, Alya langsung masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang. Ponselnya masih ada di tangan, tetapi ia tidak tahu harus menghubungi siapa atau apa yang harus dilakukan dengan pikiran yang terus menerus menggelisahkan dirinya. Ia menatap jendela kamarnya yang terbuka, memandangi langit malam yang kelam, bintang-bintang yang tampak jauh, seolah mewakili perasaannya yang terasingkan.
Hidupnya dulu begitu jelas. Semua berjalan dengan lancar. Dimas adalah bagian dari rencana besar yang selalu ia bayangkan—hubungan mereka yang akan tumbuh, berkembang, dan menjadi sesuatu yang permanen. Namun, kenyataan tak selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Pagi berikutnya, Alya duduk di bangku kampus yang biasa mereka duduki bersama. Hari ini tampak cerah, namun entah mengapa perasaan itu tetap menggelayuti dirinya. Setiap langkah yang ia ambil seakan terhalang oleh bayang-bayang Dimas yang kini sudah semakin jauh. Ada semacam kekosongan dalam dirinya, dan Alya tahu, ia harus menghadapi kenyataan pahit itu.
Pagi ini, ia tidak melihat Dimas di antara kerumunan teman-temannya seperti biasanya. Dimas sudah jarang terlihat di kampus setelah percakapan terakhir mereka. Sebagian besar teman-teman mereka bertanya tentang hubungan mereka yang tiba-tiba berakhir, dan Alya hanya bisa tersenyum tipis, berusaha untuk menyembunyikan rasa sakit yang masih ada.
Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikiran Alya. Ia merasa seolah-olah ia tidak bisa melanjutkan hidup dengan perasaan ini terus-menerus menggantung. Ketidakpastian yang ada dalam dirinya terasa lebih menyesakkan daripada perasaan ditinggalkan. Ia merasa seperti ada potongan hidup yang hilang, dan ia tidak tahu harus mencari bagian itu di mana.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Alya mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa, mengikuti kuliah, berbicara dengan teman-temannya, dan bahkan menghadiri beberapa kegiatan kampus. Namun, meskipun ia tampak baik-baik saja di luar, di dalam hatinya ada perasaan yang terus mengganggu. Dimas—yang dulu begitu dekat, yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya—sekarang tampak seperti kenangan yang semakin memudar.
Di tengah keramaian itu, Alya menyadari satu hal: ia merasa terjebak dalam perasaan yang tak kunjung hilang. Kenangan indah tentang mereka berdua selalu datang menghampiri, namun kenyataan bahwa hubungan itu sudah berakhir semakin menorehkan luka yang dalam. Alya berusaha untuk merelakan, untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua cerita cinta harus berakhir bahagia.
Di malam yang sepi, setelah berhari-hari menghindari percakapan tentang Dimas, Alya akhirnya memutuskan untuk menghubunginya lagi. Mungkin ini saat yang tepat untuk menyelesaikan semua kebingungannya. Ia menatap ponselnya, menulis pesan yang sudah ia persiapkan berkali-kali, dan akhirnya menekan tombol kirim.
“Dimas, aku ingin kita bicara lagi. Aku rasa aku sudah siap.”
Tidak lama kemudian, ponselnya bergetar, menandakan sebuah balasan. Alya menahan napas sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum membaca pesan yang muncul.
“Alya, aku juga ingin bicara. Kalau begitu, kita bertemu besok?”
Alya merasa sedikit lega. Setidaknya, ini memberi kesempatan untuk menutup bab ini dengan lebih baik. Meskipun hatinya masih terasa berat, ia tahu bahwa hanya dengan berbicara lagi, ia bisa mendapatkan kejelasan. Ia ingin mengakhiri segala kebingungan yang masih mengganggu dirinya.
Keesokan harinya, mereka bertemu di kafe kecil yang sama, tempat yang dulu menjadi saksi bisu perasaan mereka. Dimas sudah ada di sana, duduk dengan tatapan yang sama sekali tidak ceria. Sejak pertama kali bertemu, Alya merasa ada sesuatu yang berubah dalam diri Dimas. Pria itu tampak lebih matang, lebih dewasa, tetapi ada juga keraguan yang tercermin di matanya. Seperti halnya Alya, Dimas kini sedang berusaha menerima kenyataan.
“Alya, aku tahu kamu merasa kecewa,” ujar Dimas pelan, menyapa dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. “Aku minta maaf, aku sudah banyak membuatmu bingung.”
Alya menatap Dimas, merasakan kehadirannya yang penuh keraguan, namun di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya merasa lebih tenang. Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.
“Aku juga ingin mengatakan hal yang sama, Dimas. Aku tahu kita berdua sudah berusaha sebaik mungkin, tapi… kadang hidup memang tidak bisa berjalan sesuai dengan rencana kita, kan?” Suara Alya bergetar, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar.
Dimas menundukkan kepala, tampak menyadari betapa beratnya situasi ini. “Iya, benar. Aku juga merasa begitu, Alya. Aku terlalu lama berlarut-larut dalam kebingunganku, tapi akhirnya aku menyadari satu hal: kita berdua tidak siap untuk melanjutkan hubungan ini.”
Alya menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang ingin keluar. Ia merasa sesak, tetapi kali ini, ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Ia harus kuat, untuk dirinya sendiri. “Aku sudah mencoba untuk mengerti, Dimas,” katanya dengan suara pelan. “Aku sadar bahwa perasaan kita mungkin memang tidak cukup untuk membuat semuanya bertahan. Tapi aku masih berterima kasih atas semua kenangan yang kita bagi.”
Dimas tersenyum tipis. “Aku juga. Aku tidak pernah menyesali waktu yang kita habiskan bersama, Alya. Hanya saja, aku rasa kita lebih baik berpisah sekarang, sebelum kita saling menyakiti lebih dalam.”
Mendengar kata-kata itu, Alya merasa ada sebuah kepasrahan yang luar biasa dalam dirinya. Ia tahu, ini adalah akhir dari perjalanan mereka, dan ia harus menerima kenyataan itu. Memang tidak mudah untuk melepaskan seseorang yang pernah begitu berarti, tetapi ia sadar bahwa terkadang, melepaskan adalah hal yang paling baik yang bisa dilakukan.
“Terima kasih, Dimas,” ujar Alya dengan suara yang lebih tenang. “Aku harap kita bisa tetap menjadi teman, meskipun mungkin itu akan membutuhkan waktu.”
Dimas mengangguk pelan. “Aku juga berharap begitu, Alya. Semoga kita bisa melanjutkan hidup kita masing-masing dengan lebih baik.”
Setelah itu, mereka duduk dalam keheningan beberapa saat, menikmati kenyataan yang pahit namun perlu diterima. Alya tahu bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Ia masih punya banyak waktu untuk menjalani hidup, untuk menemukan kebahagiaan dalam bentuk yang berbeda. Cinta pertama mungkin telah berakhir, tetapi ia masih punya masa depan yang penuh dengan kemungkinan.
Setelah pertemuan itu, Alya merasa ada sebuah kedamaian yang mulai mengisi kekosongan dalam dirinya. Meskipun ada perasaan yang hilang, ia tahu bahwa dengan menerima kenyataan, ia bisa melangkah maju. Tidak ada lagi kebingungan atau ketegangan yang menghantui dirinya. Cinta pertama memang selalu meninggalkan luka, tetapi ia juga mengajarkan sesuatu yang berharga: bahwa hidup terus berjalan, dan setiap akhir adalah sebuah awal baru.
Dengan hati yang lebih lapang, Alya melangkah ke depan, siap untuk menerima segala yang akan datang, dan belajar untuk mencintai diri sendiri terlebih dahulu.*
Bab 6: Kenangan yang Abadi
Pagi itu, Alya duduk di bangku taman kampus dengan secangkir kopi di tangan. Cuaca cerah, sinar matahari menembus daun-daun pohon yang berayun pelan, menciptakan bayangan lembut di atas meja kayu yang ada di depannya. Namun, meskipun alam di sekitar tampak damai, dalam hati Alya masih ada secuil kesedihan yang sulit diungkapkan. Ia tahu, perasaan itu tidak akan pernah sepenuhnya hilang—kenangan tentang Dimas, tentang cinta pertama yang indah dan penuh lika-liku.
Meskipun mereka sudah memutuskan untuk berpisah dan masing-masing melanjutkan hidup, ada satu hal yang tidak bisa dilupakan oleh Alya: kenangan mereka yang begitu kuat dan abadi. Kenangan yang tidak bisa dihapuskan hanya karena waktu atau jarak. Mereka telah membangun sesuatu yang begitu indah bersama, bahkan jika akhirnya itu berakhir dengan perpisahan yang menyakitkan.
Alya menatap secangkir kopinya, membiarkan aroma kopi yang kuat meresap ke dalam hidungnya. Kenangan itu datang begitu saja, tanpa diminta. Ia ingat betul bagaimana pertama kali ia bertemu dengan Dimas. Waktu itu, mereka berdua sama-sama masih mahasiswa baru yang tengah beradaptasi dengan kehidupan kampus yang penuh tantangan. Dimas dengan senyum hangatnya, dan Alya dengan kepribadiannya yang cenderung tertutup, perlahan mulai saling mengenal.
“Alya, kamu suka baca buku?” tanya Dimas suatu hari saat mereka duduk bersama di perpustakaan kampus.
Alya tersenyum tipis, merasa sedikit canggung. “Iya, sedikit. Tapi lebih suka baca novel daripada buku pelajaran.” Ia mengernyitkan dahi sedikit, tidak yakin apakah Dimas akan menganggapnya aneh karena lebih tertarik pada dunia fiksi daripada dunia nyata yang ada di sekitar mereka.
Dimas tertawa, suaranya ringan dan tulus. “Aku juga suka novel. Mungkin kita bisa tukar buku suatu waktu?”
Dan sejak saat itu, mereka mulai saling berbagi lebih dari sekadar buku. Waktu yang mereka habiskan bersama sering kali terasa seperti dunia milik mereka berdua—dunia yang penuh dengan tawa, percakapan panjang tentang impian, dan masa depan. Mereka menikmati saat-saat sederhana, seperti pergi ke kafe di sore hari setelah kuliah, duduk berdua tanpa peduli dengan dunia yang terus berputar di sekitar mereka.
Di mata Alya, Dimas adalah segala-galanya. Ketika ia merasa cemas tentang ujian, Dimas selalu ada untuk memberi semangat. Ketika ia merasa kesepian, Dimas datang dengan kata-kata yang bisa menghangatkan hati. Seperti musim semi yang datang setelah musim dingin, Dimas membawa warna baru dalam hidup Alya—warna yang dulu ia pikir tak akan pernah ada.
Namun, meskipun begitu banyak kenangan indah yang terukir, Alya tahu, bahwa masa lalu itu tidak bisa dipaksakan untuk bertahan selamanya. Cinta mereka tidak cukup kuat untuk melawan kenyataan yang tak terelakkan: bahwa terkadang, orang yang kita cintai bukanlah orang yang bisa kita pertahankan selamanya.
Hari-hari setelah pertemuan terakhir mereka di kafe itu, Alya mencoba untuk berfokus pada hidupnya, tetapi kenangan tentang Dimas tetap menghantuinya. Setiap sudut kampus, setiap tempat yang dulu mereka kunjungi bersama, seolah menyimpan kenangan yang tak bisa dilupakan. Bahkan saat ia duduk di bangku taman ini, bayangan Dimas masih terlintas dalam pikirannya.
“Alya, kenapa kamu diam saja? Ada yang mengganggu pikiranmu?” tiba-tiba suara Rina, temannya, memecah keheningan.
Alya tersenyum tipis. “Enggak kok, Rin. Aku cuma lagi mikirin sesuatu.”
Rina duduk di sampingnya, menggenggam secangkir teh. “Kamu masih mikirin Dimas, ya?”
Alya menundukkan kepala. Ia tidak perlu menjawab. Rina sudah tahu. Mereka sudah terlalu lama berteman untuk tidak mengetahui apa yang ada dalam pikiran Alya. Bahkan setelah berpisah dengan Dimas, kenangan itu masih terasa seperti bayangan yang terus mengikuti langkahnya. Kenangan-kenangan kecil yang selalu mengingatkannya pada kebahagiaan yang pernah ia rasakan bersama.
“Alya, aku tahu kamu masih sayang dia,” kata Rina pelan. “Tapi kamu juga harus ingat, bahwa kadang kita harus melepaskan sesuatu untuk bisa melangkah maju.”
Alya mengangguk, meskipun hatinya masih terasa berat. Rina benar. Mungkin memang sudah saatnya bagi dirinya untuk melepaskan Dimas, untuk menghormati kenangan yang sudah tercipta, dan untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri agar bisa tumbuh.
Beberapa bulan berlalu sejak pertemuan terakhir itu, dan Alya mulai belajar untuk menerima kenyataan. Meskipun perasaan itu tidak bisa hilang dalam sekejap, ia mulai mencoba untuk melihat ke depan. Ia menyibukkan diri dengan kegiatan kampus, menulis, dan berkumpul dengan teman-temannya. Perlahan-lahan, kenangan tentang Dimas mulai terasa lebih ringan, meskipun kadang-kadang datang menghampiri.
Suatu malam, Alya duduk di depan meja belajarnya, membuka album foto yang sudah lama tidak ia buka. Ia mengamati foto-foto lama yang menampilkan dirinya bersama Dimas—foto mereka saat piknik di luar kota, foto saat mereka merayakan ulang tahun bersama, atau foto mereka berdua tersenyum bahagia di pantai. Setiap gambar itu mengingatkannya pada kebahagiaan yang pernah mereka bagi.
Namun, Alya juga tahu, bahwa meskipun kenangan itu indah, mereka harus tetap menjadi bagian dari masa lalu. Ia bisa mengenang Dimas, menghargai segala yang telah mereka lewati, tetapi ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu.
Malam itu, Alya menulis di jurnalnya. Ia menuliskan perasaan yang selama ini ia simpan, perasaan tentang bagaimana ia belajar untuk melepaskan dan menerima kenyataan. Tentang bagaimana ia menghargai setiap kenangan yang ada, meskipun itu menyakitkan.
“Mungkin aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Mungkin aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tetapi aku tahu satu hal: kenangan kita akan selalu ada. Cinta pertama tidak akan pernah terlupakan, meskipun kita harus berpisah. Aku akan selalu menghargai setiap detik yang kita lewati bersama. Aku akan menyimpanmu dalam hatiku, Dimas. Tidak peduli ke mana aku pergi, kenangan itu akan tetap abadi.”
Alya menutup jurnalnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa lebih ringan. Mungkin ia tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi ia bisa memilih bagaimana ia melangkah ke depan. Kenangan tentang Dimas akan selalu menjadi bagian dari dirinya, namun ia tidak lagi terjebak dalam nostalgia itu. Ia tahu, hidup harus terus berjalan.
Hari-hari selanjutnya, Alya mulai menemukan kebahagiaan yang baru. Ia bergabung dengan lebih banyak kegiatan kampus, bertemu dengan orang-orang baru, dan menikmati proses tumbuh menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Meski cinta pertama selalu meninggalkan kesan yang mendalam, ia tahu bahwa hidup tidak berhenti pada satu titik. Ada banyak hal yang bisa dipelajari, banyak pengalaman baru yang menanti.
Malam itu, setelah menghadiri sebuah acara kampus, Alya duduk di bangku taman yang sama seperti beberapa bulan lalu. Cuaca malam ini sedikit dingin, angin berhembus pelan, menggerakkan daun-daun pohon yang ada di sekitarnya. Di dalam hatinya, Alya merasakan kedamaian yang baru. Ia tidak lagi merasa terjebak oleh kenangan-kenangan itu.
Cinta pertama memang akan selalu menjadi kenangan yang abadi, tetapi kini Alya tahu bahwa ia tidak perlu terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ia akan mengenangnya dengan penuh rasa syukur, tetapi ia juga akan terus melangkah maju, dengan hati yang terbuka untuk segala kemungkinan yang ada di depannya.
Alya menatap langit malam yang penuh bintang. Ia tahu, meskipun perasaan itu masih ada, hidupnya sudah memasuki babak baru. Babak yang penuh dengan harapan dan kesempatan. Kenangan tentang Dimas akan selalu ada, tetapi itu tidak lagi menghalangi langkahnya. Kenangan itu adalah bagian dari perjalanan hidupnya—perjalanan yang tak akan pernah berakhir.***
————THE END———-