Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA DI UJUNG DUNIA

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 22 mins read
KETIKA MATA BERTEMU

Daftar Isi

  • Bab 1: Perkenalan di Dunia Maya
  • Bab 2: Melawan Jarak dengan Rindu
  • Bab 3: Ujian Cinta Jarak Jauh
  • Bab 4: Membangun Kepercayaan dan Komitmen
  • Bab 5: Menunggu Pertemuan
  • Bab 6: Pertemuan yang Menakjubkan
  • Bab 7: Cinta yang Terus Berjalan

Bab 1: Perkenalan di Dunia Maya

Aria menatap layar ponselnya dengan penuh perhatian. Di hadapannya, sebuah aplikasi kencan yang sudah beberapa bulan terakhir ia gunakan menampilkan profil seorang wanita bernama Lina. Nama itu mengingatkan Aria pada sebuah kenangan lama yang dulu sering ia dengar dari orang tuanya. Tapi Lina yang ini bukan siapa-siapa selain seorang wanita muda yang tinggal jauh di sebuah desa kecil, entah di mana, yang tampaknya sangat berbeda dari kehidupan kota besar yang ia jalani.

 

Aria bukan tipe pria yang mudah terpesona, apalagi oleh seseorang yang hanya ada di layar ponselnya. Namun, sesuatu dalam profil Lina membuatnya ingin mengenalnya lebih jauh. Lina memposting sebuah foto dirinya di sebuah taman kecil, dikelilingi bunga yang tampak sangat cerah. Senyum manisnya yang sederhana, bersama dengan deskripsi yang ia tulis di bawah foto itu, membuat Aria merasa seolah-olah ada ikatan yang tak terungkapkan antara mereka. “Mencari kebahagiaan dalam kesederhanaan,” tulis Lina di deskripsinya.

 

Tanpa banyak berpikir, Aria mengirimkan pesan pertama. “Hai, Lina. Senyummu membuat hari saya lebih cerah, meski saya baru pertama kali melihatnya.”

 

Beberapa menit setelahnya, Aria merasa sedikit gugup. Biasanya, ia lebih nyaman berkomunikasi dengan orang-orang yang sudah ia kenal. Tetapi kali ini berbeda. Lina membalas dengan cepat. “Terima kasih, Aria! Senyummu juga terlihat sangat menawan dalam profilmu.”

 

Perbincangan yang dimulai dengan pesan singkat itu ternyata berkembang lebih cepat dari yang mereka bayangkan. Setiap hari, mereka berbagi cerita, bercanda, dan bahkan berbagi hal-hal kecil tentang kehidupan mereka. Aria bercerita tentang kehidupannya yang sibuk di kota besar, rutinitas kerjanya yang padat, dan kegemarannya pada musik jazz. Lina, di sisi lain, menceritakan tentang kehidupannya yang lebih tenang di desa kecil. Ia bekerja sebagai guru di sekolah dasar, dan banyak waktu luangnya dihabiskan untuk berkebun dan merawat hewan peliharaan yang ia rawat.

 

Mereka merasa seolah-olah sudah saling mengenal lebih lama dari yang sebenarnya. Percakapan mereka tak pernah habis, bahkan meskipun hanya berlangsung lewat teks. Meskipun mereka berada di dua dunia yang sangat berbeda, ada perasaan saling tertarik yang mulai tumbuh di antara mereka.

 

Suatu malam, setelah percakapan panjang tentang mimpi dan harapan, Lina bertanya, “Apa yang membuatmu tertarik untuk menghubungiku, Aria?”

 

Pertanyaan itu membuat Aria terdiam sejenak. Ia tahu bahwa Lina bukan hanya seorang wanita yang menarik secara fisik. Ada sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang sulit ia ungkapkan. Namun, ia memutuskan untuk jujur. “Aku tidak tahu, Lina. Mungkin ada sesuatu dalam caramu melihat dunia yang membuatku ingin lebih banyak tahu. Kamu punya cara berbicara yang membuatku merasa nyaman.”

 

Lina tertawa pelan. “Aku senang bisa membuatmu merasa nyaman. Aku juga merasa ada yang berbeda saat kita berbicara.”

 

Perasaan itu terus berkembang. Setiap pesan yang mereka tukar semakin dalam dan berarti. Meskipun komunikasi mereka terbatas pada layar ponsel, keduanya merasa ada koneksi yang lebih kuat daripada sekadar saling berbicara. Aria merasa seperti mengenal Lina sejak lama, meskipun mereka baru saja bertemu di dunia maya. Lina merasa hal yang sama—seolah-olah dia telah menemukan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya, seseorang yang bisa dia percayai meskipun mereka belum pernah bertemu langsung.

 

Beberapa minggu berlalu sejak pertama kali mereka mulai berbicara, dan percakapan mereka semakin akrab. Aria merasa ingin lebih dekat dengan Lina, ingin melihat senyum itu secara langsung, bukan hanya melalui layar ponsel. Namun, ada satu hal yang menjadi penghalang besar: jarak. Lina tinggal di sebuah desa kecil yang terpencil, sedangkan Aria sibuk dengan pekerjaannya di kota besar yang padat. Jarak itu tak hanya fisik, tetapi juga penuh dengan ketidakpastian.

 

Lina merasakan hal yang sama. Meskipun ia menikmati setiap momen bersama Aria, ia merasa sedikit takut untuk melangkah lebih jauh. Apa jadinya jika perasaan yang tumbuh ini hanyalah fantasi dari dunia maya? Bagaimana jika jarak yang memisahkan mereka terlalu besar untuk dijembatani? Tapi, meskipun ada keraguan, perasaan yang tumbuh di dalam hatinya tak bisa ia pungkiri. Setiap kali pesan dari Aria masuk, hatinya terasa lebih ringan, dan rindu yang tak terucapkan mulai tumbuh dalam dirinya.

 

Pada suatu malam, mereka berbicara lebih dalam tentang perasaan mereka. Aria mengungkapkan keraguannya tentang hubungan jarak jauh. “Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, Lina, tetapi aku merasa sangat terhubung denganmu. Aku ingin kita bisa lebih dari sekadar berbicara lewat ponsel. Aku ingin bertemu, meskipun aku tahu itu sangat sulit.”

 

Lina, yang sebenarnya merasa hal yang sama, menanggapi dengan hati-hati. “Aku juga merasa hal yang sama, Aria. Tapi ada banyak hal yang harus kita pertimbangkan. Jarak ini sangat besar. Kita tidak tahu kapan bisa bertemu, atau apakah itu akan menjadi kenyataan.”

 

Kendati demikian, mereka berdua sepakat untuk tidak terlalu terbebani oleh ketidakpastian itu. Mereka tahu bahwa waktu dan jarak tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mencoba. Mereka akan menjalani hubungan ini dengan keyakinan bahwa apa yang mereka rasakan adalah nyata. Cinta bisa tumbuh, bahkan di ujung dunia, bahkan di dunia maya yang penuh.*

Bab 2: Melawan Jarak dengan Rindu

 

Hari demi hari, Aria dan Lina terus berkomunikasi melalui pesan singkat, panggilan video, dan sesekali surat elektronik. Namun, semakin lama, keduanya mulai merasakan betapa jarak yang memisahkan mereka bukan hanya tentang lokasi fisik, tetapi juga tentang waktu yang berjalan dengan begitu lambat. Meskipun mereka berusaha sekuat tenaga untuk menjaga komunikasi tetap hangat dan teratur, perasaan rindu yang mendalam mulai tumbuh dan mengguncang hati mereka. Rindu yang tak bisa segera dipuaskan hanya dengan sebuah pesan atau suara lewat layar.

 

Aria, yang sibuk dengan pekerjaan kantornya, merasa rindu yang kian menggerogoti setiap kali ia terjaga di pagi hari. Tidak seperti dulu, ketika ia terbiasa menghabiskan waktu dengan kolega atau bertemu teman-temannya, kini setiap detik terasa lebih lambat tanpa pesan dari Lina. Pada siang hari, saat ia beristirahat di antara rapat dan tugas-tugasnya, hatinya selalu teringat pada suara Lina yang hangat dan penuh semangat. Ia tahu bahwa Lina juga merasakan hal yang sama, meskipun mereka tidak selalu mengungkapkan kerinduan itu secara langsung.

 

Di sisi lain, Lina merasa bahwa setiap hari terasa seperti berjalan sangat lambat. Desa kecil tempat ia tinggal seakan menjadi dunia yang lebih kecil lagi tanpa Aria. Setiap kali ia melangkah keluar rumah untuk menghirup udara segar, pikirannya justru terbang ke kota besar tempat Aria berada. Ia membayangkan bagaimana kehidupan Aria yang sibuk, dengan gedung-gedung tinggi dan keramaian kota yang jauh berbeda dengan keheningan desa tempatnya tinggal. Setiap kali ia duduk di bawah pohon atau di depan rumahnya, ia berharap bisa merasakan kedekatan fisik dengan Aria, meskipun hanya dalam beberapa detik.

 

Namun, meskipun mereka berdua merasakan kerinduan yang mendalam, mereka juga tahu bahwa jarak ini bukan sesuatu yang bisa mereka ubah dalam waktu singkat. Aria dan Lina saling memberikan semangat, berbicara tentang impian mereka untuk bertemu suatu hari nanti, tetapi kenyataan bahwa mereka harus menunggu masih sangat berat.

 

“Lina, kadang aku merasa seperti waktu berhenti saat aku tidak bisa mendengar suaramu,” kata Aria dalam sebuah panggilan video pada malam yang hening. Matanya tampak lelah, namun senyum kecil yang terlihat di wajahnya menyiratkan rasa rindu yang tak tertahankan.

 

Lina tersenyum kecil, meskipun di dalam hatinya ia merasa sama. “Aku juga merasakannya, Aria. Rasanya hari-hari seperti terhenti, tidak ada yang menyenangkan selain berbicara denganmu. Setiap pagi, aku bangun dan berharap bisa mendengarmu, tapi selalu harus menunggu lagi.”

 

Meskipun komunikasi mereka bisa dibilang lancar dan terus menerus, rindu yang tak terucapkan itu terus bertumbuh. Lina kadang merasa cemas, apakah perasaan mereka bisa bertahan dalam ketidakpastian ini. Meskipun jarak menjadi penghalang utama, rindu adalah tantangan yang lebih besar lagi. Rindu yang tak terungkapkan, yang mengisi setiap ruang kosong dalam hati mereka, menjadi sesuatu yang sangat nyata, meskipun tidak bisa mereka sentuh dengan tangan.

 

Aria sering terbangun di tengah malam, hanya untuk melihat layar ponselnya. Ia berharap ada pesan dari Lina, meskipun ia tahu bahwa perbedaan waktu di antara mereka membuat hal itu sulit terjadi. Ia sering menulis pesan di tengah malam, meskipun akhirnya dihapusnya kembali karena ia tahu Lina baru akan membacanya keesokan pagi. Begitu juga dengan Lina yang sering terjaga di malam hari, mengenang percakapan mereka yang penuh tawa atau berbagi momen-momen kecil yang terasa berarti.

 

“Aria, kamu tahu kan, setiap detik tanpa kamu terasa begitu panjang?” ujar Lina dalam sebuah pesan yang panjang suatu malam. “Aku sering merasa terjebak dalam kebosanan, dan rasanya tidak ada yang lebih menyenangkan selain bisa berbicara denganmu. Aku berusaha sibuk, tapi hatiku selalu ingin mendekat kepadamu.”

 

Aria tersenyum membaca pesan itu. Terkadang, kata-kata seperti ini memberi kekuatan, meskipun dalam bentuk yang tidak bisa langsung menyentuh hatinya. Ia tahu betul apa yang dirasakan Lina, karena ia merasakannya juga. Setiap kali ia berada dalam keramaian, pikirannya melayang jauh kepada Lina, membayangkan bagaimana seandainya mereka bisa berbagi waktu bersama. Bahkan di tengah kesibukannya, Aria merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, yang hanya bisa ditemukan dalam percakapan mereka.

 

“Aku tahu, Lina. Aku merasakannya juga. Setiap hari, aku ingin lebih dekat, ingin mendengar suaramu lebih sering. Tetapi aku tahu kita harus sabar. Mungkin kita tidak bisa bertemu sekarang, tetapi aku percaya waktu kita akan datang. Aku akan berusaha lebih keras untuk menunggu,” balas Aria, mencoba memberikan semangat meskipun hatinya juga penuh kerinduan.

 

Mereka berdua tahu bahwa perasaan ini bukan sesuatu yang mudah untuk ditahan. Tetapi mereka juga tahu, meskipun ada jarak yang memisahkan, cinta mereka lebih kuat dari itu. Setiap malam, mereka saling mengirim pesan rindu, dan meskipun itu tidak bisa menghapus perasaan sakit karena tidak bisa bertemu, mereka merasa sedikit lebih dekat dengan kata-kata yang mereka bagi.

 

Aria pun mulai merencanakan untuk mengunjungi Lina suatu saat nanti, meskipun ia tahu itu akan memakan waktu dan usaha yang besar. Namun, setiap kali mereka berbicara tentang masa depan, mereka menemukan harapan baru. Ketika Lina berbicara tentang desa kecilnya yang penuh ketenangan, Aria membayangkan dirinya berjalan bersamanya, berbagi waktu di bawah pohon besar yang sering ia ceritakan.

 

“Suatu hari nanti,” kata Aria, suara penuh harap. “Aku akan ke sana, Lina. Kita akan berjalan bersama di taman itu. Aku akan melihat bunga-bunga yang kau cintai, dan kita akan merasakan kebahagiaan yang tak terkatakan.”

 

Lina mengangguk meskipun mereka tidak bertatap muka langsung. “Aku menunggumu, Aria. Kita akan melawan jarak ini bersama.”

 

Meski mereka berdua tahu bahwa perjalanan itu masih jauh, mereka sepakat bahwa rindu yang tak terucapkan ini akan menjadi bahan bakar untuk terus melangkah. Rindu itu, meskipun kadang menyakitkan, menjadi tanda cinta yang mendalam—sebuah bukti bahwa meskipun terpisah jarak dan waktu, mereka tidak akan pernah menyerah.*

Bab 3: Ujian Cinta Jarak Jauh

 

Aria dan Lina telah melewati banyak hal bersama. Setiap pesan yang mereka kirim, setiap panggilan video yang mereka lakukan, semakin menguatkan ikatan mereka meskipun jarak yang memisahkan. Namun, seperti halnya setiap hubungan, ujian mulai datang perlahan. Ujian yang datang bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam diri mereka masing-masing.

 

Di awal hubungan mereka, semua terasa mudah. Percakapan mengalir dengan lancar, rindu yang mendalam terasa seperti bahan bakar untuk setiap pertemuan virtual yang mereka lakukan. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan itu mulai dipenuhi dengan keraguan dan kekhawatiran. Lina merasakan hal itu lebih dari siapa pun. Kadang-kadang, ia merasa seolah-olah hubungan mereka hanya ada di dunia maya, sebuah dunia yang kadang tampak lebih indah daripada kenyataan. Meskipun ia mencintai Aria, ketakutannya mulai muncul: Apakah ini akan bertahan?

 

Lina mulai berpikir tentang masa depan mereka. Apa yang akan terjadi jika mereka tidak bisa terus bertahan dalam hubungan ini? Bagaimana mereka bisa menjaga cinta ini jika pertemuan yang mereka harapkan selalu tertunda? Dalam beberapa kesempatan, ia mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. Namun, seiring waktu, perasaan itu semakin sulit untuk dipendam.

 

Di sisi lain, Aria juga mulai merasakan perasaan yang sama. Setiap kali ia melangkah lebih jauh dalam pekerjaan dan rutinitas sehari-hari, ia merasa semakin terisolasi dari Lina. Meskipun ia berusaha keras untuk tetap terhubung dan memberi dukungan, ada saat-saat di mana ia merasa seperti berada di dua dunia yang sangat berbeda. Aria sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia benar-benar bisa menjalani hubungan ini dalam jangka panjang. Apakah jarak ini bisa mereka atasi? Bagaimana mereka bisa mempertahankan komitmen ini jika mereka terus-menerus terpisah?

 

Pada suatu malam, perasaan itu akhirnya meledak. Mereka berdua, dalam percakapan panjang melalui video call, mulai berbicara lebih terbuka tentang keraguan yang mereka rasakan. Lina yang biasanya pendiam dan hati-hati, kali ini tidak bisa menahan diri. “Aria,” kata Lina dengan suara yang sedikit bergetar, “Aku mulai merasa ragu. Aku tahu kita sudah mencoba sekuat tenaga, tetapi terkadang aku merasa kita hanya berjuang melawan waktu. Aku takut aku mulai lelah.”

 

Aria yang mendengar kata-kata itu merasakan hatinya teriris. Ia tahu bahwa Lina tidak berbicara hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mereka berdua. “Lina, aku juga merasakannya,” jawab Aria, suaranya penuh kejujuran. “Aku tahu kita berdua sudah berusaha, tetapi kadang-kadang, aku merasa seperti kita semakin terpisah. Tidak ada yang bisa menggantikan pertemuan nyata, sentuhan, atau kebersamaan kita yang nyata.”

 

Silence mengisi percakapan mereka. Hati keduanya dipenuhi dengan rasa takut, seolah-olah mereka berada di ujung sebuah jalan yang tidak tahu harus menuju ke mana. Aria tahu bahwa mereka harus jujur satu sama lain, bahkan jika itu berarti membuka luka yang selama ini mereka coba sembunyikan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Lina akhirnya berbicara lagi, dengan suara yang lebih tenang.

 

“Aku tidak ingin hubungan ini berakhir, Aria. Tapi aku juga tidak bisa terus merasa seperti ini. Rindu yang tak terbalas, dan ketidakpastian yang terus menghantui. Apa kita benar-benar bisa bertahan?” tanya Lina, matanya sedikit berkaca-kaca meskipun ia berusaha untuk tetap tegar.

 

Aria menatap layar dengan hati yang berat. Ia merasa cemas. Namun, dalam kekhawatiran itu, ia menyadari satu hal yang penting. “Lina, kita tidak bisa mengubah jarak ini, kita tidak bisa mengatur waktu. Tapi yang bisa kita atur adalah bagaimana kita memilih untuk menghadapinya. Aku masih percaya kita bisa melewati ini. Mungkin kita tidak akan punya banyak waktu untuk bersama sekarang, tapi aku ingin mencoba. Aku tidak ingin menyerah begitu saja.”

 

Lina terdiam sejenak, meresapi kata-kata Aria. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia juga tidak ingin menyerah. Namun, perasaan ragu itu tetap menggelayuti. “Aku takut, Aria,” ujarnya dengan suara pelan. “Aku takut kita akan kehilangan satu sama lain, meskipun kita berusaha keras.”

 

Aria menarik napas panjang. “Aku juga takut, Lina. Tetapi kalau kita menyerah sekarang, kita akan menyesal. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kalau kita tidak berusaha. Mungkin kita harus lebih sabar, lebih terbuka tentang perasaan kita. Kita bisa merencanakan pertemuan nyata. Kita bisa menjaga komitmen ini meskipun jarak memisahkan kita.”

 

Perlahan, Lina mulai merasa sedikit lega mendengar kata-kata Aria. Ia tahu bahwa hubungan mereka bukanlah hal yang mudah. Cinta jarak jauh selalu penuh dengan ujian—ujian tentang kesabaran, kepercayaan, dan pengorbanan. Tetapi mereka berdua mulai menyadari bahwa ujian tersebut tidaklah berarti harus berakhir dengan perpisahan. Justru, ujian itu bisa menjadi sebuah pelajaran berharga tentang betapa dalamnya perasaan mereka satu sama lain.

 

Mereka berdua memutuskan untuk tidak menyerah begitu saja. Mereka berjanji untuk saling lebih terbuka, untuk lebih sering berbicara tentang kekhawatiran dan ketakutan yang mereka rasakan. Mereka menyadari bahwa kadang-kadang, komunikasi yang jujur adalah kunci untuk mengatasi keraguan yang ada.

 

Namun, meskipun mereka telah membuat keputusan untuk bertahan, kenyataan tentang jarak dan waktu tidak bisa diabaikan begitu saja. Terkadang, ujian cinta jarak jauh terasa semakin berat, terutama saat kesulitan hidup datang dan membuat mereka merasa terisolasi. Mungkin mereka tidak selalu bisa bertemu secara langsung, tetapi mereka mulai belajar untuk saling menguatkan dalam cara-cara yang tidak mereka bayangkan sebelumnya.

 

Lina mulai merencanakan kunjungan ke kota tempat Aria tinggal, dan Aria berusaha mengatur waktunya agar bisa berkunjung ke desa Lina. Mereka tahu bahwa meskipun pertemuan mereka tidak bisa segera terjadi, usaha yang mereka lakukan untuk menjaga cinta ini adalah bukti nyata dari komitmen yang mereka buat satu sama lain.

 

Ujian cinta jarak jauh ini memang belum selesai. Namun, Aria dan Lina mulai memahami bahwa setiap ujian yang mereka hadapi, setiap rintangan yang ada, hanya akan semakin menguatkan ikatan mereka. Mungkin tidak ada yang bisa menggantikan pertemuan fisik, tetapi cinta mereka, yang tumbuh dari komunikasi yang jujur dan pengertian, adalah sesuatu yang lebih kuat daripada jarak yang memisahkan mereka.*

Bab 4: Membangun Kepercayaan dan Komitmen

 

Setiap hubungan, terutama yang terbentang oleh jarak, membutuhkan dua hal yang sangat penting: kepercayaan dan komitmen. Tanpa keduanya, cinta akan sulit bertahan. Aria dan Lina tahu betul bahwa mereka harus membangun kedua fondasi ini dengan hati-hati jika mereka ingin hubungan mereka tetap tumbuh meskipun dipisahkan oleh jarak yang begitu jauh. Mereka sudah menghadapi banyak ujian, mulai dari rasa rindu yang tak tertahankan hingga keraguan yang muncul seiring waktu, tetapi mereka tahu bahwa untuk bisa tetap bersama, mereka harus saling mempercayai dan berkomitmen satu sama lain.

 

Membangun kepercayaan dalam hubungan jarak jauh bukanlah hal yang mudah. Tanpa kehadiran fisik satu sama lain, tanpa dapat merasakan sentuhan atau melihat ekspresi wajah secara langsung, terkadang rasa curiga dan ketakutan bisa muncul begitu saja. Namun, bagi Aria dan Lina, kepercayaan bukan hanya tentang mempercayai kata-kata yang diucapkan, tetapi juga tentang mempercayai niat dan komitmen yang lebih dalam. Kepercayaan adalah hal yang tak bisa dibangun dalam semalam, tetapi harus dipupuk secara perlahan-lahan melalui tindakan nyata.

 

Suatu sore, Aria duduk di depan komputernya, menatap layar yang menampilkan pesan video dari Lina. Lina sedang tersenyum lebar di depan layar, dan meskipun mereka hanya berbicara melalui gambar yang terputus-putus, senyum itu terasa tulus dan hangat. Tetapi Aria tahu bahwa hubungan mereka tak bisa terus berkembang hanya dengan berbicara melalui layar. Mereka membutuhkan lebih dari itu; mereka membutuhkan kedekatan yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

 

“Lina, aku ingin kita lebih jujur satu sama lain tentang apa yang kita rasakan. Aku tahu kita sudah berbicara tentang banyak hal, tetapi aku merasa kita perlu lebih membuka diri,” ujar Aria dengan suara yang penuh ketulusan. “Aku percaya padamu, tetapi terkadang aku merasa kita harus lebih terbuka mengenai ketakutan dan keraguan kita.”

 

Lina mengangguk, matanya yang penuh pengertian mencerminkan keinginan yang sama. “Aku juga merasa begitu, Aria. Aku tahu kita tidak selalu mudah, tapi aku ingin kita membangun kepercayaan ini lebih kuat. Aku ingin tahu bahwa kita akan selalu ada satu sama lain, meskipun terpisah jauh. Kepercayaan itu harus datang dari kedua sisi.”

 

Percakapan mereka malam itu menjadi titik balik dalam hubungan mereka. Setelah beberapa waktu mencoba mengatasi ketidakpastian dan keraguan masing-masing, Aria dan Lina akhirnya memutuskan untuk berkomitmen pada hubungan ini dengan cara yang lebih serius. Mereka tahu bahwa meskipun mereka tidak bisa bertemu langsung setiap hari, mereka bisa saling menjaga hati dan menjaga komunikasi dengan lebih terbuka. Mereka memutuskan untuk berbicara lebih banyak tentang perasaan mereka, untuk berbagi ketakutan dan kekhawatiran tanpa rasa takut dihakimi atau disalahpahami.

 

Bagi Lina, ini adalah langkah besar. Ia telah melalui banyak kegagalan dalam hubungan sebelumnya, dan selalu merasa takut bahwa jarak akan mengubah segalanya. Namun, dengan Aria, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Aria tidak hanya mendengarkan, tetapi ia juga mengerti bagaimana meresapi setiap kata yang Lina ucapkan. Mereka memiliki komunikasi yang terbuka dan saling mendukung, dan itu membuat Lina mulai membangun kembali kepercayaan yang sempat hilang dalam dirinya.

 

“Aria, aku tahu ini tidak mudah,” kata Lina dengan suara lembut suatu malam setelah beberapa minggu menjalani hubungan yang semakin intens. “Tapi aku merasa lebih percaya diri sekarang. Aku tahu kita akan menghadapi banyak tantangan, tetapi aku juga tahu bahwa kita bisa menghadapinya bersama. Aku ingin kita saling mempercayai dan berkomitmen satu sama lain.”

 

Aria tersenyum, hatinya penuh dengan rasa haru. “Aku juga merasa begitu, Lina. Setiap kali aku merasa ragu, aku ingat betapa besar perasaan kita satu sama lain. Aku tahu kita bisa menghadapinya. Kita hanya perlu lebih sabar dan lebih percaya pada apa yang kita miliki.”

 

Kedua hati mereka mulai semakin dekat, meskipun fisik mereka tetap terpisah. Kepercayaan yang mereka bangun melalui percakapan panjang, melalui dukungan yang tulus, dan melalui pengertian yang mendalam, semakin menguatkan ikatan mereka. Namun, komitmen itu tidak hanya soal kata-kata, tetapi juga tindakan.

 

Aria mulai meluangkan waktu lebih banyak untuk Lina, tidak hanya sekadar mengirim pesan atau menelepon. Ia membuat rencana untuk mengunjungi Lina dalam beberapa bulan ke depan, meskipun itu memerlukan banyak pengorbanan waktu dan usaha. Baginya, itu adalah bentuk komitmen nyata bahwa ia serius dalam hubungan ini. Ia tidak hanya berbicara tentang rindu, tetapi juga berusaha mewujudkannya dengan cara yang lebih konkret.

 

Di sisi Lina, komitmen itu juga terlihat dalam setiap langkah yang ia ambil. Meskipun ia tinggal jauh di desa kecil, ia memulai untuk merencanakan perjalanan ke kota tempat Aria tinggal. Setiap kali mereka berbicara tentang masa depan, Lina semakin yakin bahwa ia tidak bisa menunggu hanya dalam khayalan. Ia ingin bertemu Aria, ingin merasakan keberadaannya yang nyata, dan membuktikan bahwa cinta mereka lebih dari sekadar kata-kata di dunia maya.

 

“Aria, aku sudah memikirkan rencanaku untuk pergi ke kota. Aku ingin melihatmu, ingin merasakan bagaimana rasanya berada di dekatmu,” ujar Lina dengan semangat yang berbeda. “Aku tahu itu tidak akan mudah, tetapi aku percaya ini adalah langkah yang tepat.”

 

Aria tersenyum bahagia mendengar kata-kata Lina. “Aku juga merindukanmu, Lina. Aku tidak sabar menunggu pertemuan kita yang sebenarnya. Itu akan menjadi momen yang sangat berarti bagi kita berdua.”

 

Seiring berjalannya waktu, Aria dan Lina semakin percaya bahwa mereka mampu menjalani hubungan jarak jauh ini dengan penuh komitmen dan pengertian. Meskipun ada saat-saat penuh keraguan, mereka berdua tahu bahwa satu-satunya cara untuk melewati semuanya adalah dengan terus menjaga komunikasi, selalu jujur dengan perasaan, dan membuktikan komitmen mereka lewat tindakan nyata.

 

Bagi mereka berdua, kepercayaan dan komitmen bukanlah sesuatu yang bisa diberikan begitu saja, tetapi harus dipupuk dan dibangun dari hari ke hari. Mereka menyadari bahwa hubungan ini bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang bagaimana mereka saling menjaga hati, saling mendukung, dan berjuang bersama meskipun jarak dan waktu menjadi penghalang yang besar.

 

Dan meskipun perjalanan mereka masih panjang, mereka mulai merasa yakin bahwa tidak ada yang bisa menghalangi cinta yang telah dibangun dengan penuh pengertian dan komitmen.*

Bab 5: Menunggu Pertemuan

 

Menunggu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hubungan jarak jauh. Bagi Aria dan Lina, menunggu bukan hanya tentang menghitung hari hingga mereka akhirnya bisa bertemu, tetapi juga tentang belajar untuk tetap kuat meskipun mereka tidak bisa berada di dekat satu sama lain. Setiap detik yang berlalu, setiap pesan yang mereka kirimkan, setiap panggilan video yang mereka lakukan, semuanya terasa penuh dengan harapan. Namun, di balik itu, ada rasa rindu yang mendalam dan keinginan untuk segera bertemu yang kadang-kadang membuat hati mereka terasa kosong.

 

Bagi Lina, menunggu adalah ujian yang tak kalah berat. Sejak awal hubungan mereka, ia sudah merasakan betapa besar perasaan cinta yang tumbuh antara dirinya dan Aria. Tetapi meskipun cinta itu begitu kuat, tidak ada yang bisa menggantikan rasa rindu yang menghantui setiap kali mereka harus berpisah. Setiap hari, ia selalu berharap bahwa suatu hari nanti, mereka bisa bertemu, bisa merasakan kehadiran satu sama lain tanpa batasan layar komputer atau telepon. Namun, hari itu masih belum datang, dan Lina tahu bahwa ia harus bersabar lebih lama lagi.

 

Suatu malam, setelah beberapa minggu penuh dengan komunikasi intens antara mereka, Lina duduk di jendela kamar sambil menatap langit yang gelap. Pikirannya melayang jauh, mengenang setiap percakapan yang pernah mereka lakukan. Aria sering mengatakan bahwa mereka akan segera bertemu, bahwa mereka akan merencanakan segala sesuatunya agar bisa berjumpa secara langsung. Tetapi entah mengapa, setiap kali berbicara tentang pertemuan itu, perasaan rindu di hati Lina semakin dalam. Setiap kali ia mendengar suara Aria, setiap kali ia melihat senyum Aria di layar ponsel, hatinya terasa seperti ada yang mengganjal. Ia ingin lebih dari sekadar kata-kata dan gambar di layar—ia ingin merasakannya secara nyata.

 

“Aria, kapan kita bisa bertemu?” pikir Lina dalam hati, meskipun ia tahu bahwa pertanyaan itu bukan sesuatu yang bisa dijawab dengan mudah. “Aku ingin melihatmu. Aku ingin merasakan ada di dekatmu. Apa kita bisa membuatnya terjadi?”

 

Pikiran tentang pertemuan yang tertunda ini membuat Lina merasa lebih cemas. Kadang-kadang, ia merasa seperti terperangkap dalam dunia maya yang tidak bisa memberi kepastian apapun. Ada banyak hal yang ingin ia lakukan bersama Aria, banyak tempat yang ingin mereka kunjungi, dan banyak hal yang ingin mereka rasakan bersama-sama. Namun, semuanya seolah berada di luar jangkauan, jauh dari tangan mereka.

 

Aria pun merasakan hal yang sama. Ia tahu bahwa menunggu adalah ujian yang paling berat dalam hubungan mereka. Setiap kali mereka berbicara tentang pertemuan, ia merasa ada secercah harapan yang menyalakan kembali semangatnya. Tetapi harapan itu sering kali bertemu dengan kenyataan yang keras. Waktu yang terbatas, pekerjaan yang harus diselesaikan, dan keterbatasan dana sering kali menjadi penghalang yang membuat pertemuan itu tertunda. Meskipun begitu, ia tidak pernah berhenti merencanakan dan berusaha. Ia selalu meyakinkan dirinya bahwa suatu hari nanti, mereka pasti akan bertemu.

 

“Setiap hari adalah langkah lebih dekat,” begitu kata Aria dalam salah satu percakapan mereka, mencoba memberikan semangat pada Lina yang terlihat sedikit lelah dengan menunggu. “Aku tahu ini berat, tapi kita harus percaya bahwa waktu kita akan datang.”

 

Lina tersenyum tipis mendengar kata-kata Aria, meskipun hatinya merasa terombang-ambing. Ia merasa semakin sulit untuk menahan rindu yang begitu dalam. Setiap kali mereka berbicara, ia merasa seperti mereka hampir mencapai tujuan mereka. Namun, kenyataan tentang jarak yang memisahkan mereka membuat semuanya terasa seolah tak bisa dijangkau.

 

Malam demi malam berlalu, dan Aria dan Lina semakin sering berbicara tentang rencana mereka untuk bertemu. Mereka mulai merencanakan tanggal, mencoba mencari waktu yang tepat, dan saling memberi semangat untuk tetap kuat. Meskipun pertemuan mereka belum terwujud, mereka merasa bahwa harapan mereka untuk bertemu adalah hal yang penting—hal yang bisa menjaga mereka tetap teguh menghadapi segala kesulitan.

 

Namun, di balik harapan itu, ada juga ketakutan yang muncul. Lina kadang merasa khawatir bahwa ketika mereka akhirnya bertemu, semuanya tidak akan seperti yang ia bayangkan. Apakah mereka akan merasa canggung? Apakah cinta yang mereka bangun di dunia maya akan tetap sama ketika mereka berada dalam kenyataan? Lina tidak tahu pasti, tetapi ia tahu satu hal—ia ingin mencobanya. Ia ingin melihat Aria, berbicara langsung dengan Aria, dan merasakan kehadirannya yang nyata.

 

Pada suatu malam, setelah berbicara panjang lebar tentang rencana pertemuan mereka, Lina mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. “Aria,” katanya dengan suara yang agak ragu, “aku ingin kita bertemu, tetapi aku juga takut. Aku takut kalau kita tidak bisa menghadapinya dengan baik. Apa yang terjadi kalau kita merasa canggung saat bertemu?”

 

Aria mendengarkan dengan penuh perhatian. “Lina, aku juga merasa hal yang sama. Aku takut, tapi aku percaya kita bisa menghadapinya. Kita sudah banyak berbicara, sudah banyak berbagi, dan aku yakin kita akan baik-baik saja ketika akhirnya kita bertemu. Jangan khawatir tentang apa yang akan terjadi. Yang penting adalah kita berusaha bersama.”

 

Kata-kata Aria memberikan ketenangan bagi Lina. Ia tahu bahwa rasa takut itu adalah hal yang normal, tetapi yang lebih penting adalah usaha mereka untuk tetap bertahan dan berkomitmen untuk bertemu. Dalam setiap percakapan, mereka semakin merasa dekat, semakin yakin bahwa meskipun pertemuan itu tertunda, mereka akan sampai pada titik itu suatu hari nanti.

 

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan meskipun pertemuan mereka masih jauh, kedekatan yang terjalin semakin kuat. Mereka berdua belajar untuk menikmati setiap detik yang ada, belajar untuk lebih menghargai waktu mereka bersama, dan belajar bahwa menunggu adalah bagian dari cinta itu sendiri. Setiap hari yang mereka jalani adalah hari yang semakin mendekatkan mereka pada pertemuan yang telah lama mereka impikan.

 

Lina mulai menyadari bahwa meskipun menunggu itu sulit, itu juga memberikan mereka kesempatan untuk memperkuat cinta mereka. Selama menunggu, mereka terus belajar satu sama lain, terus berkembang bersama, dan terus berharap bahwa suatu hari nanti, waktu dan jarak akan memberi mereka kesempatan untuk bertemu dalam kenyataan, bukan hanya dalam mimpi dan percakapan virtual.

 

Bagi Aria dan Lina, menunggu bukan hanya soal waktu yang berjalan, tetapi tentang bagaimana mereka menghadapinya bersama. Mereka tahu bahwa cinta ini lebih dari sekadar menunggu; ini adalah tentang menjaga hati satu sama lain tetap hangat meskipun jarak memisahkan mereka, dan tentang meyakini bahwa pertemuan itu akan tiba pada waktunya, meskipun mereka harus sabar lebih lama.*

Bab 6: Pertemuan yang Menakjubkan

 

Setelah berbulan-bulan menunggu, akhirnya hari yang mereka impikan datang juga. Waktu yang telah lama terasa begitu lambat, seolah berjalan dengan langkah yang berat, tiba-tiba saja kini terasa begitu cepat. Aria dan Lina tidak bisa lagi menahan rasa gugup dan bahagia yang bercampur aduk. Mereka sudah mengatur segala sesuatunya, dan meskipun pertemuan ini telah lama ditunggu-tunggu, rasa cemas tetap ada. Mungkinkah segalanya akan berjalan seperti yang mereka bayangkan? Mungkinkah cinta yang mereka bangun di dunia maya akan tetap sama ketika mereka bertemu di dunia nyata?

 

Lina memandang dirinya di depan cermin kamar hotel tempatnya menginap. Tubuhnya terasa gemetar, dan setiap detik yang berlalu seakan memperburuk kegelisahannya. “Apakah aku terlihat cukup baik? Apakah Aria akan merasa senang melihatku?” pikir Lina sambil menata rambutnya dan memastikan wajahnya tampak segar. Meskipun ia tahu bahwa Aria mencintainya apa adanya, rasa cemas tetap muncul. Apa yang ia rasakan adalah hal yang sangat manusiawi, tapi itu tidak mengurangi kegembiraannya.

 

Pukul 10 pagi, Lina keluar dari hotel dan melangkah ke tempat yang sudah mereka sepakati. Taman kota yang luas dengan pemandangan indah menjadi tempat yang tepat untuk pertemuan pertama mereka. Aria sudah berada di sana, menunggu dengan mata yang tidak sabar untuk bertemu. Setelah bertahun-tahun berhubungan lewat layar, kini mereka akan berdiri di hadapan satu sama lain.

 

Lina melangkah perlahan, semakin dekat dengan tempat pertemuan. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat, namun juga semakin mendekatkan dirinya pada momen yang penuh harapan. Hatinya berdetak kencang. Ia tidak tahu apakah ia harus tersenyum atau menangis. Ketika matanya menangkap sosok Aria yang berdiri di bawah pohon besar di ujung taman, dunia seakan berhenti sejenak.

 

Aria juga melihat Lina. Jantungnya berdegup kencang, dan perasaan yang campur aduk muncul begitu saja. Ia tidak percaya bahwa setelah sekian lama, akhirnya ia bisa melihat Lina di depan matanya. Lina terlihat sama seperti di foto dan video, namun lebih hidup, lebih nyata. Senyum Lina yang cerah, mata yang penuh rasa ingin tahu, dan gerak tubuhnya yang canggung namun penuh harapan membuat Aria merasakan sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

 

Mereka saling memandang satu sama lain dalam diam, hanya beberapa langkah yang memisahkan mereka. Seolah-olah waktu berhenti sejenak, memberi mereka kesempatan untuk meresapi momen yang begitu luar biasa ini. Kemudian, tanpa bisa menahan diri lagi, mereka bergerak cepat menuju satu sama lain.

 

“Aria…” suara Lina lirih, hampir berbisik, tetapi Aria sudah mendekat dan membuka kedua tangannya. Lina tidak bisa menahan diri lagi, ia langsung berlari menuju Aria, melemparkan dirinya ke dalam pelukan yang begitu lama ia rindukan. Saat tubuh mereka bersentuhan, dunia seakan kembali berputar. Rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Semua kata-kata yang selama ini mereka ucapkan lewat pesan dan panggilan telepon terasa begitu nyata dalam sentuhan ini.

 

Aria memeluk Lina erat, seolah takut ia akan hilang jika ia melepas pelukan itu. “Aku tidak percaya, Lina,” kata Aria dengan suara penuh haru. “Kamu di sini. Benar-benar di sini.”

 

Lina mengangkat kepala dan tersenyum. “Aku juga tidak percaya. Rasanya seperti mimpi.”

 

Keduanya tertawa kecil, tertawa dengan bahagia. Meskipun ada rasa canggung di awal, keduanya segera merasa nyaman. Cinta yang mereka bangun selama ini tidak hanya berbentuk kata-kata atau foto, tetapi kini menjadi sesuatu yang lebih nyata. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di taman, berbicara tentang segala hal yang tidak sempat dibicarakan sebelumnya. Mereka menceritakan pengalaman hidup mereka, berbagi tawa, dan saling menggali lebih dalam tentang keinginan dan harapan mereka.

 

Momen-momen kecil yang mereka habiskan bersama terasa begitu istimewa. Mereka berjalan berdampingan, berbincang tentang masa depan, dan merencanakan banyak hal yang ingin dilakukan bersama. Mereka menikmati setiap detik kebersamaan itu, seolah waktu berjalan begitu cepat.

 

Lina merasa begitu bahagia. Semua rasa cemas dan keraguan yang ia rasakan sebelum bertemu kini hilang begitu saja. Aria adalah orang yang sama seperti yang ia kenal di dunia maya—hangat, perhatian, dan penuh kasih sayang. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dari itu, sesuatu yang hanya bisa dirasakan ketika mereka berada bersama secara langsung. Ketika Aria menggenggam tangannya, Lina merasakan kehangatan yang luar biasa. Rasanya seperti menemukan bagian dari dirinya yang selama ini hilang.

 

Mereka menghabiskan sore itu dengan berbicara, berjalan, dan saling berbagi. Ketika matahari mulai terbenam, mereka duduk di bangku taman, menatap langit yang mulai berubah warna. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa berartinya momen ini bagi mereka. Cinta yang sudah terjalin lewat dunia maya kini terasa lebih kuat dan lebih mendalam, lebih nyata.

 

“Aria,” kata Lina pelan, “aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan perasaan ini. Selama ini kita hanya berbicara lewat layar, dan sekarang kita ada di sini. Rasanya luar biasa.”

 

Aria menatap Lina dengan tatapan lembut. “Aku juga merasa begitu, Lina. Ini lebih dari yang aku bayangkan. Aku tahu kita sudah melalui banyak rintangan, tapi sekarang kita ada di sini, bersama.”

 

Mereka duduk dalam keheningan, hanya mendengarkan suara angin yang berbisik lembut. Saling menyandarkan kepala di bahu masing-masing, mereka merasa tenang dan penuh rasa syukur. Selama ini, mereka telah belajar untuk saling mengandalkan meskipun jarak memisahkan. Dan sekarang, mereka merasa yakin bahwa pertemuan ini adalah awal dari sebuah babak baru dalam hubungan mereka.

 

Seiring malam semakin larut, Aria dan Lina tidak ingin pertemuan ini berakhir. Mereka tahu bahwa meskipun pertemuan pertama ini sangat berarti, perjalanan mereka masih panjang. Namun, satu hal yang mereka yakini: tidak ada lagi yang bisa menghalangi cinta mereka, karena sekarang mereka tahu bahwa cinta mereka lebih dari sekadar jarak, lebih dari sekadar layar ponsel. Cinta mereka nyata, dan mereka akan terus melangkah bersama, menghadapi apa pun yang akan datang.

 

Mereka berpisah dengan janji untuk selalu bersama, tidak peduli seberapa besar jarak yang harus mereka tempuh. Kini, pertemuan itu sudah terjadi, dan mereka berdua tahu bahwa tidak ada lagi yang akan menghalangi mereka untuk terus melangkah menuju masa depan yang penuh harapan.*

Bab 7: Cinta yang Terus Berjalan

 

Setelah pertemuan yang menakjubkan itu, Aria dan Lina merasakan perubahan yang luar biasa dalam hubungan mereka. Segala keraguan dan ketakutan yang dulu menghantui mereka tentang jarak dan perbedaan semakin pudar. Mereka kini sadar bahwa cinta yang mereka miliki bukan hanya bertahan di dunia maya, tetapi juga tumbuh subur di dunia nyata. Pertemuan itu adalah awal dari sebuah perjalanan baru yang lebih penuh makna dan penuh dengan harapan.

 

Meskipun pertemuan pertama mereka begitu indah, kehidupan nyata tidak selalu sesederhana yang mereka bayangkan. Setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama, mereka harus kembali menjalani kehidupan mereka yang masing-masing—Aria dengan pekerjaannya yang menuntut di luar kota, dan Lina yang harus kembali ke rutinitasnya di kota asal. Tapi kali ini, perpisahan mereka terasa berbeda. Mereka tidak lagi merasa takut atau cemas, karena mereka sudah merasakan kehadiran satu sama lain secara langsung. Cinta mereka bukan hanya berdasarkan komunikasi jarak jauh, tetapi kini sudah menjadi kenyataan yang bisa mereka sentuh dan rasakan.

 

Saat perpisahan tiba, Aria dan Lina merasa sedikit berat, tetapi mereka tahu ini hanyalah sementara. Mereka sudah melalui masa-masa sulit sebelumnya dan berhasil bertahan. Mereka yakin, kali ini pun mereka bisa menghadapinya. “Aku akan merindukanmu,” kata Lina saat mereka berpelukan untuk terakhir kalinya sebelum berpisah.

 

Aria tersenyum dan membalas pelukannya. “Aku juga akan merindukanmu, Lina. Tapi kita sudah melalui banyak hal, dan kita pasti akan bertahan. Cinta kita lebih kuat dari jarak.”

 

Kata-kata Aria memberikan ketenangan bagi Lina. Ia merasa yakin bahwa meskipun jarak kembali memisahkan mereka, cinta mereka tetap akan bertahan. Mereka berjanji untuk tetap berkomunikasi dengan lebih intens, meskipun situasi kembali seperti sebelumnya. Namun, kali ini mereka merasa lebih siap untuk menghadapi rindu yang datang, karena mereka tahu bahwa rindu itu adalah bagian dari cinta yang terus berkembang.

 

Hari-hari setelah perpisahan itu kembali diwarnai dengan komunikasi yang penuh makna. Aria dan Lina tidak lagi merasa jauh, meskipun jarak masih ada di antara mereka. Mereka saling berbagi cerita, berbicara tentang hal-hal kecil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak pernah membiarkan satu hari pun berlalu tanpa mendengar suara satu sama lain. Mereka merasa lebih dekat dari sebelumnya, meskipun terpisah oleh ribuan kilometer.

 

Namun, tidak semua hari berjalan mulus. Kadang, rasa rindu itu datang begitu kuat hingga mereka merasa hampir tak bisa menahan air mata. Lina terkadang merindukan suara Aria di malam hari, atau ingin merasakan pelukan hangatnya ketika dunia terasa berat. Begitu juga dengan Aria, yang kadang merasa kesepian tanpa kehadiran Lina di sampingnya. Tetapi mereka belajar untuk tetap kuat, untuk saling mendukung meskipun jarak memisahkan mereka. Mereka tahu bahwa rindu itu akan selalu ada, tetapi mereka juga tahu bahwa cinta mereka jauh lebih besar daripada rasa sakit yang ditimbulkan oleh jarak.

 

Suatu malam, setelah beberapa minggu berlalu, Aria menghubungi Lina lewat video call. Lina tersenyum begitu melihat wajah Aria di layar ponselnya. Walaupun terpisah oleh jarak, mereka tetap bisa merasakan kedekatan yang luar biasa. “Aku merindukanmu,” kata Lina dengan suara lembut, matanya sedikit berkaca-kaca.

 

Aria mengangguk, wajahnya serius tetapi penuh kehangatan. “Aku juga merindukanmu, Lina. Tapi kita harus kuat, kan? Kita sudah berjanji untuk tetap berjalan bersama.”

 

Lina menghela napas panjang. “Iya, kita sudah berjanji. Aku tahu kita bisa melewati ini. Meskipun terkadang rasanya sulit, aku tahu kita lebih kuat dari itu.”

 

Mereka berbicara lama malam itu, berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing, tentang apa yang terjadi di hari-hari mereka tanpa satu sama lain. Mereka merencanakan pertemuan berikutnya, meskipun belum tahu pasti kapan itu bisa terjadi. Namun, yang terpenting bagi mereka adalah saling mendukung dan menjaga komitmen mereka untuk tetap bersama, meskipun dunia mereka terpisah oleh jarak yang besar.

 

Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka masih berpisah, cinta mereka terus berkembang. Aria dan Lina mulai merencanakan masa depan mereka bersama. Mereka berbicara tentang kemungkinan untuk tinggal di kota yang sama suatu hari nanti, berbicara tentang impian mereka, dan bagaimana mereka akan menghadapinya bersama. Meskipun ada banyak tantangan yang harus dihadapi, mereka tahu bahwa selama mereka tetap bersama, mereka akan mampu melewati segala hal.

 

Aria mulai merencanakan kunjungan ke kota Lina pada musim panas mendatang. Lina juga tidak sabar menunggu waktu itu, meskipun masih ada banyak rintangan yang harus mereka lewati. Mereka tahu bahwa meskipun jarak memisahkan mereka untuk sementara waktu, pertemuan mereka berikutnya akan menjadi langkah besar dalam hubungan mereka.

 

Pernah suatu ketika, Lina merasa cemas apakah hubungan mereka bisa bertahan dengan jarak yang begitu jauh. Namun, saat ia berbicara dengan Aria, segala keraguan itu hilang begitu saja. “Lina,” kata Aria suatu malam, “jika kita bisa melewati semua ini, kita pasti bisa melewati apa pun bersama. Cinta kita bukan hanya tentang bertemu fisik. Ini tentang perjalanan kita bersama, tentang saling mendukung dan percaya.”

 

Kata-kata Aria begitu menenangkan, memberi Lina kekuatan untuk terus bertahan. “Aku percaya padamu, Aria. Aku tahu kita akan selalu menemukan cara untuk bersama.”

 

Cinta mereka, yang awalnya hanya tumbuh lewat kata-kata dan layar ponsel, kini menjadi sesuatu yang lebih kuat, lebih nyata. Mereka telah belajar untuk saling mengerti, untuk saling memberi ruang, dan untuk menghargai setiap detik yang mereka habiskan bersama, meskipun dalam bentuk komunikasi jarak jauh. Mereka tahu bahwa cinta sejati tidak mengenal batasan—baik itu jarak, waktu, atau tantangan yang datang.

 

Aria dan Lina menyadari bahwa meskipun perjalanan mereka belum selesai, mereka sudah berada di jalur yang benar. Cinta mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga terus berkembang, tumbuh lebih kuat dengan setiap tantangan yang mereka hadapi. Mereka tahu bahwa suatu hari nanti, mereka akan berada di satu tempat yang sama, menjalani kehidupan bersama, tetapi untuk saat ini, mereka cukup bahagia dengan setiap langkah yang mereka ambil bersama, meskipun terpisah oleh jarak.

 

Dengan keyakinan itu, mereka melangkah maju, percaya bahwa cinta mereka akan terus berjalan, tak peduli seberapa jauh jarak yang memisahkan.***

————THE END———-

 

Source: Muhammad Reyhan Sandafa
Tags: cinta yang berjalan teruscinta yang lama untuk pertemuancinta yang tak di sangka
Previous Post

SERIBU MIL CINTA

Next Post

KETIKA HATI MENENTANG TAKDIR

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
KETIKA HATI MENENTANG TAKDIR

KETIKA HATI MENENTANG TAKDIR

ANTARA CINTA DAN PENGHIANAT

ANTARA CINTA DAN PENGHIANAT

TUNGGU AKU DISANA

TUNGGU AKU DISANA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id