Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

TUMBUH BERSAMA WALAU TERPISAH JARAK

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 24 mins read
CINTA PERTAMA YANG TAK TERLUPAKAN

Daftar Isi

  • BAB 1: Awal Pertemuan
  • BAB 2: Jarak yang Memisahkan
  • BAB 3: Menjaga Komunikasi
  • BAB 4: Tumbuh Bersama Meski Terpisah
  • BAB 5: Ketegangan dan Keraguan
  • BAB 6: Perjuangan dan Puncak Hubungan
  • BAB 7: Menjaga Harapan
  • BAB 8: Cinta yang Tumbuh

BAB 1: Awal Pertemuan

Aira tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Fadli akan mengubah hidupnya. Hari itu dimulai seperti hari-hari biasa di kampus, dengan cuaca yang cerah, langit biru tanpa awan, dan angin yang sejuk menyapa wajahnya. Namun, ada satu hal yang berbeda. Di tengah rutinitas perkuliahan yang padat, Aira merasa seperti ada yang hilang—sebuah keinginan untuk menemukan sesuatu yang lebih dalam hidupnya, entah itu seseorang atau pengalaman baru yang menarik.

 

Aira adalah seorang mahasiswi yang aktif di berbagai kegiatan organisasi kampus. Meski terlihat percaya diri di depan teman-temannya, dalam hati ia merasa kesepian. Tidak ada yang benar-benar memahami dirinya. Semua orang sepertinya hanya tertarik dengan kegiatannya yang sibuk, bukan siapa dirinya sebenarnya. Bahkan, hubungan dengan keluarga pun terasa semakin renggang seiring berjalannya waktu. Aira merindukan seseorang yang bisa melihat dirinya dengan lebih dalam, yang bisa memahami kebutuhannya akan hubungan yang lebih tulus.

 

Pada suatu sore di kampus, Aira mendapati dirinya berada di perpustakaan untuk menyelesaikan tugas kuliah. Ia mencari tempat duduk di sudut yang biasanya sepi, berharap bisa fokus pada bacaannya. Namun, di saat ia baru saja membuka bukunya, suara langkah kaki menghampiri dan duduk di meja sebelahnya. Aira tidak terlalu peduli dan mencoba untuk melanjutkan bacaannya. Namun, rasa penasaran mulai muncul saat ia mendengar suara seseorang yang membuka buku dengan keras, diikuti oleh sesekali gumaman pelan yang membuatnya merasa terganggu.

 

Tanpa berpikir panjang, Aira memalingkan wajahnya, dan saat itulah matanya bertemu dengan sepasang mata cokelat yang menatapnya langsung. Aira terkejut sejenak, tetapi kemudian lelaki itu tersenyum, seolah tidak ada yang aneh. Ia mengenakan jaket hitam sederhana dengan celana jeans, rambutnya yang sedikit acak-acakan menambah kesan santai dan tidak terlalu peduli dengan penampilan. Senyumnya membuat Aira merasa sedikit canggung, namun ada sesuatu yang menarik dari tatapan mata itu.

 

“Maaf, aku gak sengaja mengganggu. Tapi sepertinya kita punya satu buku yang sama,” kata pria itu dengan suara yang lembut dan penuh percaya diri.

 

Aira terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Ia sempat ragu apakah harus menjawab atau tetap fokus pada tugasnya. Namun, ketulusan dalam suara pria itu membuatnya memutuskan untuk menanggapi.

 

“Oh, iya, aku juga sedang membaca ini. Tugas dari dosen,” jawab Aira sambil menunjuk buku yang ada di meja.

 

“Berarti kita sama-sama terjebak di dunia tugas yang gak ada habisnya,” jawab pria itu sambil tertawa pelan. “Aku Fadli, mahasiswa Teknik. Apa kabar?”

 

Aira hanya tersenyum kecil, masih merasa sedikit bingung dengan perkenalan yang tiba-tiba ini. “Aira, mahasiswa Psikologi,” jawabnya singkat.

 

Setelah beberapa detik hening, percakapan yang awalnya canggung mulai mengalir. Fadli mulai bercerita tentang betapa banyaknya tugas yang harus diselesaikan dalam waktu singkat, dan Aira pun merasa sedikit lega karena ternyata mereka berbagi keluhan yang sama tentang beratnya kehidupan kampus. Ternyata, percakapan ringan ini membuka ruang bagi keduanya untuk saling mengenal. Mereka berbicara tentang minat dan hobi masing-masing, dan tanpa disadari, Aira merasa nyaman dengan Fadli. Ia jarang merasa seperti ini, terutama dengan orang yang baru dikenalnya.

 

Pada saat yang tidak terduga, Fadli memutuskan untuk mengajak Aira berbincang lebih lama di luar perpustakaan. Mereka berjalan menuju taman kampus yang teduh, duduk di bangku panjang di bawah pohon rindang. Percakapan mereka semakin hangat, dan Aira merasa bahwa Fadli adalah tipe orang yang mudah diajak bicara. Keberanian Fadli untuk membuka pembicaraan membuat Aira merasa dihargai, sesuatu yang sulit ia temui di kehidupan sehari-harinya.

 

“Aku senang bisa bertemu denganmu di sini, Aira. Rasanya dunia kampus ini lebih menyenangkan kalau bisa ngobrol seperti ini,” kata Fadli sambil tersenyum. “Terkadang aku merasa terjebak dengan rutinitas kuliah yang cuma berfokus pada tugas dan ujian.”

 

Aira mengangguk setuju, merasa bahwa kata-kata Fadli begitu menggambarkan perasaannya juga. “Aku juga merasa begitu. Kadang, aku merindukan momen-momen di luar kampus, yang lebih santai, yang bisa membuatku merasa lebih hidup.”

 

Percakapan mereka berlanjut hingga senja. Aira merasa bahwa Fadli adalah seseorang yang bisa membuatnya merasa lebih terbuka, meski baru pertama kali bertemu. Di akhir pertemuan itu, mereka saling bertukar nomor telepon, berjanji untuk tetap saling menghubungi dan melanjutkan percakapan mereka.

 

Setelah pertemuan itu, Aira merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia mulai menantikan pesan-pesan singkat dari Fadli yang terkadang datang di waktu yang tidak terduga. Setiap pesan yang masuk membuat hatinya berdebar, dan ia merasa bahwa ada ikatan khusus yang mulai terbentuk di antara mereka. Meski baru pertama kali bertemu, Aira merasa seperti telah mengenal Fadli sejak lama.

 

Dalam waktu singkat, keduanya semakin sering bertemu, baik di kampus maupun di luar kampus, untuk sekadar mengobrol atau mengerjakan tugas bersama. Aira mulai merasakan ketertarikan yang mendalam pada Fadli, yang ternyata juga memiliki banyak kesamaan dalam hal minat dan pandangan hidup. Fadli membuat Aira merasa bahwa dunia ini lebih besar dan lebih menarik ketika ada seseorang yang bisa diajak berbagi.

 

Namun, di balik semua itu, Aira menyadari bahwa perasaan ini bisa menjadi rumit. Ia mulai merasakan ketegangan dalam hatinya—apakah hubungan ini hanya sebuah kebetulan atau bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih? Meski ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, satu hal yang jelas: pertemuan dengan Fadli telah membuka hati Aira untuk kemungkinan-kemungkinan baru, yang akan membawa mereka pada perjalanan panjang yang penuh tantangan, dan mungkin, cinta yang tak terduga.*

BAB 2: Jarak yang Memisahkan

Kehidupan Aira dan Fadli berubah drastis ketika kabar yang tidak terduga datang menghampiri mereka. Setiap langkah yang telah mereka lalui bersama, setiap percakapan panjang yang mereka bagi, tiba-tiba terguncang oleh kenyataan pahit yang harus diterima. Fadli, yang selama ini menjadi teman dekat Aira, mendapat kesempatan emas untuk melanjutkan studi di luar negeri. Satu kesempatan yang sangat penting bagi masa depannya. Namun, kesempatan itu datang dengan sebuah harga: mereka harus berpisah, jarak yang memisahkan mereka akan semakin jauh.

 

Aira dan Fadli duduk berdua di taman kampus, tempat yang selama ini menjadi saksi perjalanan mereka. Matahari mulai terbenam, memberi nuansa keemasan yang hangat di sekitar mereka. Suasana ini berbeda dari pertemuan-pertemuan sebelumnya yang selalu penuh tawa dan canda. Kali ini, wajah Fadli tampak lebih serius dari biasanya.

 

“Aira, aku baru saja menerima pemberitahuan tentang beasiswa yang aku dapat. Aku… aku harus berangkat ke Australia dalam beberapa minggu,” kata Fadli dengan suara pelan, seolah tak yakin dengan kata-katanya sendiri.

 

Aira terdiam, seolah kata-kata itu membekukan dunia di sekelilingnya. Meskipun ia sudah mendengar bahwa Fadli mengincar beasiswa itu sejak lama, namun mendengarnya langsung dari mulut Fadli tetap membuat dadanya terasa sesak. Ia menatap Fadli, berusaha mencari arti di balik kata-kata itu, tapi yang ada hanya kebingungannya.

 

“Jadi, kamu akan pergi?” tanya Aira dengan suara yang hampir tak terdengar, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja diterimanya.

 

Fadli mengangguk, dan senyum tipis muncul di bibirnya, meski senyum itu tampak lebih penuh dengan kepedihan daripada kebahagiaan. “Iya, Aira. Ini kesempatan besar yang sulit untuk dilewatkan. Aku harus pergi. Aku ingin membuatmu bangga. Tapi…”

 

Aira menunduk, menatap jemarinya yang bergetar di atas meja. Ada rasa sakit yang mendera hatinya, bukan karena Fadli pergi, tetapi karena mereka harus menghadapinya tanpa tahu apa yang akan terjadi pada hubungan mereka. “Tapi, kita… bagaimana dengan kita? Kita baru saja mulai saling mengenal lebih dalam, Fadli. Bagaimana jika… bagaimana jika kita terpisah?” Aira merasa emosinya meluap, dan suaranya mulai bergetar.

 

Fadli meraih tangan Aira, menggenggamnya erat. “Aku tahu ini sulit, Aira. Aku juga tidak ingin pergi. Aku suka saat-saat kita bersama, tapi aku rasa ini adalah langkah yang harus aku ambil untuk masa depan kita. Aku akan tetap berusaha untuk menjaga hubungan ini, meskipun jarak memisahkan kita.”

 

Aira menatap mata Fadli dengan tatapan penuh pertanyaan, campuran antara harapan dan ketakutan. “Bagaimana kita bisa mempertahankan hubungan jarak jauh? Apakah itu mungkin?”

 

Fadli menarik napas panjang, tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku tidak tahu, Aira. Tapi aku percaya kita bisa. Kita harus menjaga komunikasi, saling mendukung, dan lebih dari itu, kita harus bisa percaya satu sama lain. Kita harus berkomitmen untuk tumbuh bersama, meski terpisah jarak.”

 

Aira merasa kata-kata Fadli sedikit menenangkan, namun ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Memang, mereka sudah berbicara tentang hubungan jarak jauh sebelumnya, tapi sekarang semuanya terasa lebih nyata dan lebih menantang. Bagaimana mungkin dua orang yang telah terbiasa berbagi hari-hari mereka bisa saling menjaga jarak begitu jauh? Apalagi mereka berdua tahu bahwa Fadli akan pergi untuk waktu yang sangat lama—bukan hanya berbulan-bulan, tetapi bertahun-tahun.

 

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan. Aira merasa bingung antara mendukung impian Fadli atau merasakan kehilangan yang begitu dalam. Di satu sisi, ia ingin Fadli meraih impiannya, tetapi di sisi lain, ia takut akan kehilangan orang yang begitu berarti baginya. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Fadli di dekatnya, tanpa mendengar suara Fadli yang menghibur, tanpa canda tawa mereka yang tak pernah absen setiap hari.

 

Aira mencoba untuk tetap tegar di hadapan Fadli. Mereka masih sering menghabiskan waktu bersama sebelum Fadli berangkat, berbicara tentang masa depan, berbagi impian dan harapan mereka. Setiap kali mereka berdua duduk bersama, berbicara tentang apa yang akan terjadi, ada semacam perasaan yang membuncah—perasaan yang membuat mereka sadar bahwa meskipun jarak akan memisahkan, mereka tidak akan pernah bisa benar-benar terpisah, karena cinta mereka telah mengakar begitu dalam.

 

Namun, kenyataan mulai menguji mereka. Ketika hari keberangkatan Fadli semakin dekat, Aira merasa kesulitan untuk mengendalikan perasaannya. Setiap pesan singkat yang masuk dari Fadli membuatnya merasa rindu, meskipun mereka baru saja berbicara. Setiap percakapan telepon semakin terasa singkat dan penuh kesedihan, karena mereka tahu waktu bersama akan segera berakhir.

 

“Jangan khawatir, Aira. Aku akan selalu ada untukmu. Kita akan berusaha untuk tetap terhubung, bahkan jika kita terpisah ribuan kilometer,” kata Fadli pada malam sebelum keberangkatannya.

 

Aira menatapnya, mencoba menahan air matanya. “Aku tahu, Fadli. Tapi tetap saja, rasanya sangat sulit. Aku takut semuanya akan berubah.”

 

Fadli tersenyum lembut, menyeka pelan air mata yang mulai menggenang di mata Aira. “Aku juga takut, Aira. Tapi kita harus percaya bahwa kita bisa melewati ini. Kita bisa tumbuh bersama, meski jarak memisahkan kita.”

 

Keberangkatan Fadli akhirnya tiba. Aira mengantarnya ke bandara, menyaksikan sosok Fadli yang semakin jauh saat ia melewati gerbang keberangkatan. Aira berdiri di sana, menatap punggung Fadli yang semakin menjauh, dan hatinya terasa kosong. Meskipun ada harapan di dalam dirinya, namun perasaan kehilangan itu sangat kuat. Jarak yang memisahkan mereka kini menjadi kenyataan yang tak bisa dihindari.

 

Aira tahu bahwa cinta mereka akan terus diuji, dan ia harus menemukan cara untuk bertahan. Namun, satu hal yang pasti: mereka berdua sudah berjanji untuk tetap menjaga cinta ini, meski jarak akan menjadi tantangan terbesar yang harus mereka hadapi.*

BAB 3: Menjaga Komunikasi

Setelah Fadli meninggalkan tanah air, Aira merasa dunia seakan menjadi hampa. Meski mereka sepakat untuk menjaga hubungan ini, tetap ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh percakapan singkat melalui pesan atau telepon. Hari-hari terasa lebih panjang dan lebih sepi, namun Aira berusaha untuk tetap kuat. Ia tahu bahwa menjaga komunikasi adalah hal terpenting yang harus mereka lakukan agar hubungan mereka tetap hidup, meskipun jarak yang memisahkan begitu besar.

 

Di awal-awal perpisahan, komunikasi antara mereka berjalan dengan lancar. Fadli selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Aira meskipun tengah sibuk dengan kuliah dan adaptasi dengan lingkungan baru. Setiap malam, mereka berbicara melalui video call, saling berbagi cerita tentang kehidupan baru mereka, meski terkadang percakapan mereka berakhir dengan tawa canggung karena perbedaan waktu yang cukup signifikan.

 

Aira juga berusaha untuk tetap sibuk dengan kegiatan kampusnya. Ia tahu, jika ia terlalu banyak memikirkan Fadli, hatinya akan semakin merasa kosong. Namun, meskipun ia mencoba untuk sibuk, setiap kali ponselnya bergetar, ia selalu berharap itu adalah pesan dari Fadli. Setiap pesan yang datang dari Fadli selalu membuatnya merasa lebih baik, meskipun hanya untuk beberapa detik. Ada kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan ketika melihat nama Fadli muncul di layar ponselnya.

 

Namun, seiring berjalannya waktu, Aira mulai merasa cemas. Percakapan yang dulunya terasa begitu mudah mulai terasa berat. Fadli yang dulu begitu sering menghubunginya kini tampak lebih jarang. Waktu yang mereka habiskan untuk berbicara mulai berkurang. Fadli sibuk dengan kuliah dan aktivitas lainnya, dan Aira pun merasakan betapa kesibukannya di kampus membuatnya semakin sulit untuk menemukan waktu untuk sekadar berbicara dengan Fadli.

 

“Aira, aku minta maaf. Akhir-akhir ini aku memang lebih banyak sibuk. Kuliah di sini lebih padat daripada yang aku bayangkan. Tapi aku selalu berpikir tentang kamu,” kata Fadli suatu malam saat mereka berbicara melalui video call.

 

Aira mencoba untuk tersenyum meski hatinya sedikit terluka. “Aku mengerti, Fadli. Aku juga sibuk dengan banyak tugas di kampus. Tapi kadang aku merasa kita semakin jauh, meskipun kita terus berkomunikasi. Seperti ada sesuatu yang hilang,” jawab Aira dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.

 

Fadli terdiam sejenak, seolah merenung. “Aku juga merasakannya, Aira. Rasanya kita berdua sedang berjalan di jalur yang berbeda, meskipun kita terus mencoba untuk berjalan bersama. Tapi aku berjanji, aku akan berusaha lebih keras untuk menjaga hubungan kita.”

 

“Aku ingin kita tetap dekat, Fadli. Tapi aku takut, kalau kita tidak bisa menjaga komunikasi ini, semuanya akan berubah,” ujar Aira dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia mencoba menahan air mata, namun perasaan rindu yang begitu besar membuatnya sulit untuk tetap tegar.

 

Fadli menghela napas panjang. “Aku tahu, Aira. Aku juga takut kehilanganmu. Tapi aku janji, kita akan melewati ini bersama. Aku akan lebih sering menghubungimu. Kita harus berusaha, kan?”

 

Malam itu, Aira merasa sedikit lebih tenang. Fadli berjanji untuk berusaha lebih keras lagi menjaga hubungan ini, dan Aira merasa bahwa kata-kata itu memberi sedikit harapan. Mereka berdua tahu bahwa menjaga komunikasi dalam hubungan jarak jauh bukanlah hal yang mudah. Akan ada banyak rintangan yang harus mereka lewati, dan kadang-kadang, kesulitan itu datang begitu mendalam.

 

Beberapa minggu kemudian, Aira dan Fadli mencoba untuk lebih rutin berbicara, meskipun terkadang percakapan mereka terasa lebih singkat dari yang diinginkan. Fadli selalu memberi kabar tentang kuliahnya, tentang teman-teman baru yang ia kenal, dan tentang segala hal yang terjadi di sana. Aira pun menceritakan kesehariannya di kampus, berbagi tentang tugas yang menumpuk dan berbagai kegiatan yang ia ikuti.

 

Namun, meskipun mereka berusaha untuk berbicara setiap hari, Aira merasa ada sesuatu yang tidak bisa digantikan dengan kata-kata atau gambar di layar ponsel. Ada kekosongan yang terasa semakin nyata setiap kali mereka berdua hanya saling mengirim pesan atau melakukan panggilan singkat. Aira merindukan kedekatan fisik, merindukan saat-saat mereka duduk berdua di taman kampus, saling berbagi tawa dan cerita tanpa perlu menatap layar ponsel.

 

“Fadli, aku rindu kamu,” kata Aira suatu malam, suaranya penuh dengan kejujuran yang tidak bisa ia sembunyikan.

 

“Aku juga rindu kamu, Aira. Setiap hari, aku merasa seperti ada yang kurang tanpa kamu di sini. Tapi aku tahu, kita harus kuat. Kita harus bisa menjaga hubungan ini,” jawab Fadli dengan nada yang lebih serius.

 

Aira menatap layar ponselnya, mencoba untuk tidak terlalu merasa terhanyut dalam rasa rindu yang begitu besar. “Aku ingin kita tetap kuat, Fadli. Tapi kadang, aku merasa kita sudah terlalu jauh, meskipun kita masih berbicara setiap hari.”

 

Fadli menghela napas. “Aku mengerti, Aira. Hubungan jarak jauh memang tidak mudah. Tapi aku percaya kita bisa melewati ini. Kita harus selalu menjaga komunikasi, menjaga kepercayaan satu sama lain. Kalau kita berdua berjuang, kita bisa membuatnya berhasil.”

 

Percakapan itu membuat Aira merasa sedikit lebih lega, meskipun rasa rindu masih menghantui. Mereka berdua tahu bahwa tidak ada yang bisa menggantikan kebersamaan fisik yang mereka rasakan sebelum Fadli pergi. Namun, mereka juga tahu bahwa cinta mereka bukan hanya tentang kehadiran fisik, tetapi tentang usaha yang mereka berikan untuk tetap terhubung, meskipun terpisah ribuan kilometer.

 

Aira mulai menyadari bahwa menjaga komunikasi dalam hubungan jarak jauh membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata. Itu membutuhkan komitmen, kesabaran, dan usaha yang lebih besar dari yang dibayangkan. Setiap pesan, setiap panggilan, setiap percakapan malam yang mereka lakukan adalah bagian dari usaha mereka untuk tetap menjaga cinta yang tumbuh meskipun terpisah oleh jarak.

 

Mereka berdua mulai menyusun rencana untuk menjaga komunikasi tetap hidup dengan cara-cara yang lebih kreatif. Selain video call dan pesan singkat, mereka mulai berbagi playlist musik yang mereka sukai, mengirim foto dan cerita dari kehidupan sehari-hari, dan bahkan menulis surat panjang yang mereka baca pada setiap kesempatan. Semua ini membantu mereka merasa lebih dekat, meskipun jarak tetap menjadi penghalang fisik yang tak bisa dihindari.

 

Aira tahu bahwa komunikasi adalah kunci utama untuk membuat hubungan ini bertahan. Dan meskipun jarak memisahkan mereka, ia merasa yakin bahwa jika mereka berdua berjuang bersama, mereka bisa terus menjaga cinta ini tumbuh, meskipun dengan cara yang berbeda dari sebelumnya.*

BAB 4: Tumbuh Bersama Meski Terpisah

 

Beberapa bulan setelah Fadli berangkat, Aira mulai merasakan perubahan yang tak bisa dihindari. Awalnya, mereka berdua bisa berbicara setiap hari, merencanakan masa depan bersama, dan merasa seolah-olah tak ada yang berubah. Namun, seiring berjalannya waktu, tantangan besar dalam hubungan jarak jauh mulai terasa. Meskipun mereka berusaha untuk tetap terhubung, ada banyak hal yang tidak bisa mereka bagi lagi. Ada banyak momen yang terlewat, banyak tawa yang tidak bisa mereka dengar secara langsung, dan banyak perasaan yang tidak bisa mereka sampaikan dengan kata-kata.

 

Aira sering kali merasa sepi setelah percakapan dengan Fadli berakhir. Meskipun dia tahu Fadli sedang sibuk, rasa rindu yang tak terkatakan selalu datang begitu kuat. Terkadang ia bertanya-tanya, apakah hubungan ini masih bisa bertahan lama, atau apakah jarak ini akan semakin memperburuk segalanya. Namun, satu hal yang selalu membuat Aira bertahan adalah perasaan Fadli yang tetap kuat padanya, meskipun mereka terpisah oleh lautan dan benua.

 

Suatu malam, saat mereka sedang berbicara melalui video call, Fadli terlihat berbeda. Aira bisa melihat sedikit kelelahan di wajahnya, yang tak bisa disembunyikan. “Fadli, kamu kelihatan capek. Apa semuanya baik-baik saja di sana?” tanya Aira dengan nada lembut, khawatir.

 

Fadli tersenyum lemah, mencoba menenangkan Aira. “Aku baik-baik saja, Aira. Cuma sedikit kelelahan karena banyaknya tugas yang harus diselesaikan. Tapi aku baik-baik saja. Aku cuma… kangen kamu,” jawabnya dengan suara yang penuh kejujuran.

 

Aira merasakan kehangatan dari kata-kata itu, namun ada rasa cemas yang muncul. “Aku juga kangen kamu, Fadli. Aku merasa seperti ada yang hilang tanpa kamu di sini. Tapi aku tahu kamu harus fokus di kuliahmu, kan?”

 

Fadli mengangguk, matanya menatap dalam-dalam ke mata Aira. “Iya, Aira. Aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk kita berdua. Tapi aku percaya, meskipun terpisah, kita bisa tetap tumbuh bersama. Aku ingin kita saling mendukung dalam mencapai impian masing-masing.”

 

Aira menunduk, meresapi kata-kata Fadli. Tumbuh bersama meskipun terpisah. Itu adalah janji yang mereka buat sejak awal. Walaupun jarak memisahkan, mereka berdua ingin tumbuh, tidak hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai pasangan yang bisa saling mendukung dan memahami. Ini adalah ujian terbesar dalam hubungan mereka, dan Aira tahu bahwa mereka harus melewati ini bersama, apapun yang terjadi.

 

Aira mulai menyadari bahwa hubungan jarak jauh bukan hanya tentang komunikasi yang terjaga. Itu tentang bagaimana mereka bisa terus berkembang, bagaimana mereka bisa saling memberi ruang untuk tumbuh, baik secara pribadi maupun dalam hubungan mereka. Mereka harus bisa mendukung satu sama lain dalam mengejar impian dan tujuan masing-masing, meskipun kadang-kadang itu berarti mereka harus mengorbankan waktu bersama.

 

Selama beberapa bulan berikutnya, Aira mulai menemukan kedamaian dalam dirinya. Dia mulai lebih fokus pada dirinya sendiri—menyelesaikan tugas kuliah dengan lebih baik, mengikuti kegiatan organisasi, dan menjalin hubungan yang lebih dalam dengan teman-temannya. Meskipun ada rasa rindu yang selalu ada di dalam hati, Aira menyadari bahwa dirinya juga perlu tumbuh sebagai individu. Dia tidak bisa terus mengandalkan Fadli untuk memenuhi segala kebutuhannya. Ini adalah waktu untuknya untuk menemukan siapa dirinya tanpa harus bergantung pada orang lain.

 

Fadli, di sisi lain, juga mengalami hal yang sama. Dengan rutinitas kuliah yang padat, dia mulai menemukan dirinya yang berbeda. Dia belajar untuk lebih mandiri, untuk menghadapi tantangan baru, dan untuk menjadi lebih kuat dalam menghadapi kesulitan yang ada. Meskipun ia merindukan Aira, ia tahu bahwa hubungan mereka membutuhkan ruang untuk tumbuh, dan itu berarti memberi kesempatan bagi diri mereka masing-masing untuk berkembang secara pribadi.

 

Aira dan Fadli sering berbicara tentang perubahan yang mereka rasakan. Mereka saling berbagi tentang apa yang telah mereka capai, baik itu dalam studi atau dalam kehidupan pribadi. Aira merasa bangga mendengar cerita Fadli tentang bagaimana ia mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar negeri, bagaimana ia mendapatkan teman-teman baru, dan bagaimana ia semakin matang dalam menghadapi hidup. Sementara itu, Fadli juga mendengar dengan penuh perhatian ketika Aira bercerita tentang keberhasilannya dalam kegiatan kampus, tentang pencapaian-pencapaian kecil yang membuatnya merasa lebih baik tentang dirinya sendiri.

 

Suatu malam, setelah beberapa bulan mereka menjalani hubungan jarak jauh, Fadli berkata, “Aira, aku merasa kita berdua sudah berkembang jauh sejak pertama kali bertemu. Kita sudah jauh lebih dewasa, lebih mengerti tentang apa yang kita inginkan. Aku merasa hubungan ini semakin kuat, meskipun kita jauh.”

 

Aira tersenyum mendengar kata-kata Fadli. “Aku juga merasa begitu, Fadli. Mungkin kita tidak bisa bertemu setiap hari, tapi kita sudah tumbuh bersama. Kita saling mendukung untuk mencapai tujuan masing-masing. Dan itu membuatku merasa semakin yakin bahwa kita bisa melewati semua ini.”

 

Percakapan itu membuka mata Aira tentang bagaimana hubungan mereka telah berkembang. Mereka tidak hanya berjuang untuk mempertahankan hubungan, tetapi juga berusaha untuk tumbuh sebagai individu yang lebih baik. Mereka belajar untuk menghargai waktu yang mereka punya bersama, tetapi juga memberi ruang untuk diri mereka masing-masing untuk tumbuh dan berkembang.

 

Tumbuh bersama meskipun terpisah ternyata bukan hal yang mustahil. Aira dan Fadli belajar untuk menghargai momen-momen kecil yang mereka miliki, dan mereka juga belajar bahwa mereka tidak harus selalu bersama secara fisik untuk bisa tumbuh bersama. Mereka bisa berkembang, mengejar impian masing-masing, dan saling mendukung dalam proses itu.

 

Dengan waktu yang terus berjalan, Aira mulai merasa lebih tenang. Ia merasa bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, Fadli dan dirinya tetap bisa tumbuh bersama. Mereka tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk saling mendukung dan mencapai kebahagiaan bersama. Jarak bukanlah penghalang bagi mereka, tetapi justru menjadi ujian yang memperkuat hubungan mereka.

 

Aira tahu bahwa perasaan rindu akan selalu ada, tetapi ia juga tahu bahwa mereka bisa bertahan, tumbuh, dan akhirnya mencapai impian mereka bersama. Meskipun terpisah oleh jarak, cinta mereka tetap kuat, dan mereka akan terus tumbuh bersama, meski tak lag idalam kehadiran fisik yang sama.*

BAB 5: Ketegangan dan Keraguan

Seiring berjalannya waktu, meskipun Aira dan Fadli berusaha menjaga komunikasi mereka, ketegangan mulai muncul dalam hubungan mereka. Komunikasi yang dulu terasa lancar kini sering terhalang oleh kesibukan masing-masing. Meskipun mereka berdua berusaha keras untuk tetap terhubung, perasaan keraguan dan ketegangan mulai merayapi hati mereka berdua. Jarak yang semula hanya tampak sebagai sebuah rintangan fisik mulai menguji mereka dalam cara yang lebih dalam.

 

Aira mulai merasakan perbedaan dalam hubungan mereka. Sebelumnya, setiap kali mereka berbicara, selalu ada kehangatan dan keceriaan yang menambah rasa kedekatan. Namun sekarang, setiap percakapan terasa seperti kewajiban. Pesan-pesan mereka terasa semakin singkat, dan percakapan video yang dulunya penuh dengan cerita lucu kini hanya diisi dengan topik yang datar, membicarakan tugas kuliah atau kegiatan sehari-hari yang terasa begitu biasa. Aira mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tetapi hati kecilnya mulai merasakan bahwa ada yang berubah.

 

Pada suatu malam, ketika Fadli sedang berbicara tentang kesibukannya dengan tugas-tugas di universitas, Aira merasa kesal tanpa alasan yang jelas. Ada rasa cemburu yang tiba-tiba muncul ketika Fadli mulai menceritakan tentang teman-temannya yang baru di luar negeri. Fadli tampak begitu nyaman berbicara tentang mereka, seolah-olah dunia barunya sudah begitu sempurna, sementara Aira merasa terisolasi dengan kehidupannya yang monoton dan penuh dengan rasa rindu.

 

“Fadli, kamu sering banget cerita tentang teman-teman baru di sana. Aku… aku cuma merasa semakin jauh dari kamu. Kamu lebih sering berbicara tentang mereka, bukan tentang aku,” ujar Aira, mencoba menahan emosinya.

 

Fadli terdiam sejenak, seolah terkejut mendengar perkataan Aira. “Aira, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin berbagi cerita tentang apa yang terjadi di sini. Tapi aku tahu kamu pasti merasa kesepian dan aku minta maaf kalau aku terlalu banyak bercerita tentang orang lain.”

 

Aira merasa ada ketegangan yang muncul dalam suara Fadli. Ia merasa bersalah, tetapi perasaan cemburu itu sulit untuk disembunyikan. “Aku cuma… aku cuma ingin kamu mengerti, Fadli. Aku merasa kita semakin jauh. Bahkan saat kita berbicara, aku merasa seperti kamu sudah tidak benar-benar mendengarkan aku.”

 

Fadli menarik napas panjang. “Aira, aku benar-benar mendengarkanmu. Aku tahu hubungan ini tidak mudah, dan aku tahu aku tidak bisa menggantikan kehadiranku di sini. Tapi aku berusaha, Aira. Aku berusaha menjaga hubungan ini. Aku juga rindu kamu.”

 

Namun, meskipun Fadli berkata demikian, Aira tetap merasa keraguan itu semakin menguat. Ia merasa hubungan mereka tidak lagi seperti dulu. Ketegangan yang timbul karena kesibukan dan perbedaan waktu semakin terasa. Tidak hanya itu, keraguan tentang masa depan hubungan mereka pun mulai menggerogoti hati Aira. Apakah hubungan ini akan bertahan jika mereka terus terpisah seperti ini? Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melewati segala rintangan?

 

Di sisi lain, Fadli juga mulai merasakan keraguan yang sama. Kehidupannya di luar negeri semakin sibuk dan penuh dengan tuntutan, sementara Aira semakin merasa kesepian. Fadli merasa terjepit di antara tuntutan kuliah yang memerlukan perhatian penuh dan keinginan untuk menjaga hubungan dengan Aira. Setiap kali ia mencoba menghubungi Aira, rasanya selalu ada ketegangan yang tak bisa dihindari. Seperti ada ruang kosong yang tumbuh di antara mereka, meskipun mereka berusaha untuk terus berkomunikasi.

 

Suatu hari, Fadli menulis pesan panjang yang sulit untuk diungkapkan secara langsung. “Aira, aku tahu hubungan ini semakin sulit. Aku merasa kita semakin terpisah, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Aku mencintaimu, tetapi aku juga merasa semakin kehilangan diriku sendiri dalam hubungan ini. Aku butuh waktu untuk berpikir tentang semuanya.”

 

Pesan itu menghantam Aira seperti petir di siang bolong. Jantungnya berdebar kencang, dan rasanya seolah semua dunia runtuh begitu saja. Fadli, orang yang selalu ada untuknya, kini meragukan hubungan mereka. Keraguan yang sudah lama disembunyikan akhirnya terungkap, dan Aira merasa kehilangan arah.

 

Ketika mereka berbicara setelah pesan itu, Aira merasa kalut. “Fadli, apa maksudmu dengan itu? Kamu… kamu merasa kehilangan dirimu sendiri?” Aira bertanya dengan suara yang gemetar, tidak bisa menyembunyikan kepedihannya.

 

Fadli mengangguk perlahan. “Aku merasa terjebak, Aira. Aku merasa hubungan ini mulai menguras tenagaku. Aku ingin tetap mendukungmu, tapi aku juga merasa aku kehilangan sebagian dari diriku. Aku hanya ingin kita bisa menemukan cara untuk membuat hubungan ini tetap sehat, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.”

 

Aira merasa seperti terjaga dari mimpi buruk. Kata-kata Fadli membuatnya merasa hancur. Di satu sisi, ia memahami perasaan Fadli. Mereka berdua sedang menjalani kehidupan yang berbeda dan penuh dengan tantangan masing-masing. Namun, di sisi lain, ia merasa seperti dunia yang selama ini mereka bangun bersama mulai retak. Ketegangan dan keraguan yang semakin menumpuk mulai menggerogoti fondasi hubungan mereka.

 

“Aku takut, Fadli. Aku takut kalau kita terus seperti ini, kita akan kehilangan satu sama lain. Aku sudah merasa kita mulai jauh, dan aku tidak tahu bagaimana caranya agar kita tetap dekat,” Aira mengungkapkan rasa takutnya.

 

Fadli terdiam lama, seolah merenungkan kata-kata Aira. “Aku juga takut, Aira. Aku takut jika kita terus begini, kita akan kehilangan apa yang telah kita miliki. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku juga tidak ingin menyakiti perasaanmu.”

 

Percakapan itu berakhir dengan ketegangan yang menggantung di udara. Keduanya merasa tidak tahu harus melangkah ke mana. Mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka telah teruji, dan sekarang mereka harus menghadapi kenyataan bahwa tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan kata-kata indah atau janji-janji kosong. Mereka perlu lebih dari sekadar berbicara, mereka harus menemukan cara untuk mengatasi keraguan dan ketegangan yang semakin besar.

 

Aira merasa cemas tentang masa depan mereka. Apakah hubungan ini akan bertahan? Apakah mereka bisa mengatasi rasa rindu yang semakin mendalam dan ketegangan yang semakin besar? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepala Aira, sementara Fadli juga berada dalam kebimbangan yang sama.

 

Malam itu, mereka berdua tidur dengan perasaan yang tidak tenang. Meskipun jarak yang memisahkan mereka, ketegangan dan keraguan yang muncul membuat mereka merasa seperti terjebak dalam kegelapan yang tidak mereka pahami. Aira tahu, hubungan mereka sedang berada di titik krusial, dan mereka berdua harus menemukan cara untuk bertahan—atau mungkin, untuk melepaskan satu sama lain.*

BAB 6: Perjuangan dan Puncak Hubungan

 

Setelah percakapan yang penuh ketegangan dan keraguan, Aira dan Fadli merasa bahwa hubungan mereka berada di ujung tanduk. Namun, mereka berdua tidak bisa begitu saja menyerah. Meskipun rasa rindu yang mendalam dan ketegangan yang muncul semakin memperburuk keadaan, mereka tetap merasa bahwa hubungan ini layak untuk diperjuangkan. Masing-masing menyadari bahwa tantangan terbesar dalam hubungan jarak jauh bukan hanya tentang komunikasi, tetapi juga tentang seberapa besar kedua belah pihak bersedia berusaha untuk menjaga cinta yang ada.

 

Hari-hari berikutnya penuh dengan refleksi bagi Aira dan Fadli. Mereka masing-masing menyadari bahwa selama ini mereka terlalu fokus pada apa yang tidak ada—jarak yang memisahkan mereka—dan bukan pada apa yang mereka miliki: rasa cinta yang tetap kuat meski diuji oleh waktu dan ruang. Mereka berdua tahu bahwa meskipun perjalanan ini sulit, ada hal-hal yang tak bisa dibantah, dan salah satunya adalah cinta yang tumbuh di antara mereka.

 

Aira memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Pada suatu malam, ia mengirimkan pesan panjang untuk Fadli, yang isinya adalah ungkapan hatinya yang telah lama terpendam. “Fadli, aku sadar kalau selama ini aku terlalu fokus pada rasa rindu dan ketegangan yang ada. Aku merasa seperti aku kehilangan arah, padahal aku harusnya lebih mempercayaimu. Aku ingin kita kembali ke tempat kita dulu, di mana kita bisa saling mendukung dan berbicara tanpa ada rasa cemas. Aku tahu, kita berdua mengalami banyak perubahan, tetapi itu bukan berarti kita tidak bisa tumbuh bersama.”

 

Pesan itu mengandung kejujuran yang dalam, dan Aira berharap Fadli bisa merasakannya. Ia ingin Fadli tahu bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, ia tetap berkomitmen untuk berjuang. Fadli membalas pesan itu beberapa saat kemudian. “Aira, aku minta maaf jika selama ini aku membuatmu merasa jauh. Aku juga merasa sama. Aku merasa kita perlu kembali ke tempat di mana kita dulu merasa dekat, berbagi segalanya tanpa ada rasa takut akan kehilangan. Aku ingin kita terus tumbuh bersama, meskipun ini sulit.”

 

Aira tersenyum membaca balasan itu. Ternyata, di balik rasa cemas dan keraguan, Fadli juga merasakan hal yang sama. Mereka berdua masih saling mencintai, dan itu adalah dasar yang cukup kuat untuk memulai perjuangan baru.

 

Sejak saat itu, mereka berdua memutuskan untuk tidak hanya berfokus pada komunikasi yang lebih baik, tetapi juga pada cara mereka bisa saling memberi dukungan. Mereka mulai menyusun rencana untuk menjaga hubungan mereka tetap hidup dan berkembang, meskipun terpisah oleh jarak yang begitu jauh. Fadli berjanji untuk lebih mengutamakan Aira dalam kehidupannya, meskipun ia sibuk dengan kuliah dan aktivitas lainnya. Begitu pula dengan Aira, yang berusaha untuk lebih sabar dan tidak terlarut dalam rasa kesepian yang sering muncul.

 

Mereka memutuskan untuk berbicara lebih banyak tentang impian dan tujuan hidup masing-masing. Fadli mulai menceritakan lebih banyak tentang rencananya untuk masa depan dan bagaimana ia melihat peran Aira dalam hidupnya. Aira, yang semula lebih banyak menyimpan perasaan, kini merasa lebih nyaman untuk berbagi segala hal yang ada dalam pikirannya. Mereka berdua mulai merasa bahwa komunikasi bukan hanya tentang bertukar kabar, tetapi juga tentang berbagi impian, kekhawatiran, dan harapan mereka untuk masa depan.

 

Setelah beberapa bulan menjalani proses ini, hubungan mereka mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Ketegangan yang sempat menguasai percakapan mereka kini perlahan menghilang, digantikan oleh rasa pengertian yang lebih dalam. Meskipun mereka masih merindukan kebersamaan fisik, mereka mulai belajar untuk*

BAB 7: Menjaga Harapan

 

Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan, Aira dan Fadli merasa bahwa mereka sudah sampai pada titik yang sangat penting dalam hubungan mereka. Meskipun jarak yang memisahkan mereka masih ada, kedekatan mereka semakin terasa. Percakapan mereka semakin mendalam, komunikasi yang dulu terasa seperti kewajiban kini menjadi momen yang ditunggu-tunggu setiap harinya. Namun, meskipun hubungan mereka semakin kuat, tantangan baru tetap datang, dan mereka menyadari bahwa untuk bertahan, mereka harus terus menjaga harapan yang mereka bangun bersama.

 

Aira tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah. Ketika Fadli kembali ke negaranya untuk melanjutkan studinya, ia merasa kekosongan yang cukup besar. Meskipun mereka telah membuat banyak kemajuan, rindu tetap menjadi teman setia mereka. Waktu yang terbatas untuk berbicara, perbedaan zona waktu, serta kesibukan masing-masing kadang-kadang membuat mereka merasa terisolasi. Namun, Aira berusaha untuk tidak terbawa perasaan. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari proses.

 

Di sisi lain, Fadli juga merasakan hal yang sama. Meskipun ia merasa lebih kuat dari sebelumnya dalam hubungan ini, tetap saja ada momen-momen ketika ia merasa lelah dan kesepian. Rutinitas di luar negeri yang sangat padat kadang-kadang membuatnya merasa jauh dari Aira. Namun, Fadli selalu mengingat kembali komitmen yang telah mereka buat—bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, harapan akan masa depan bersama adalah alasan mereka terus berjuang. Setiap kali keraguan datang, ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa mereka telah melalui banyak hal bersama, dan mereka telah melewati puncak-puncak kesulitan. Apa pun yang datang berikutnya, mereka bisa menghadapinya.

 

Pada suatu malam, setelah beberapa hari tidak berkomunikasi karena kesibukan masing-masing, Aira mengirimkan pesan kepada Fadli, sebuah pesan yang penuh dengan harapan dan tekad. “Fadli, aku tahu kita sudah melalui banyak hal bersama, dan meskipun kadang aku merasa rindu yang sangat dalam, aku yakin kita bisa melewati ini. Aku ingin kita selalu ingat bahwa hubungan ini bukan hanya tentang jarak atau waktu, tetapi tentang apa yang kita perjuangkan. Kita bisa menghadapi semua ini, asal kita saling percaya dan menjaga harapan.”

 

Fadli membaca pesan itu dengan hati-hati. Ia merasa terharu mendengar kata-kata Aira. Ia tahu bahwa menjaga harapan adalah salah satu hal terpenting dalam hubungan jarak jauh. Tanpa harapan, tanpa tujuan bersama, semua perjuangan mereka akan sia-sia. Fadli kemudian membalas pesan itu dengan penuh keyakinan. “Aira, aku juga percaya kita bisa melewati ini. Setiap kali aku merasa lelah, aku hanya perlu mengingat betapa besar harapan yang kita punya untuk masa depan bersama. Kita sudah berjuang begitu keras, dan aku yakin, kita akan terus tumbuh dan berkembang. Aku berjanji, aku akan selalu berusaha menjaga hubungan ini.”

 

Kata-kata Fadli membawa ketenangan dalam hati Aira. Meskipun mereka terpisah oleh jarak, keduanya merasa semakin yakin dengan arah hubungan mereka. Namun, di balik keyakinan itu, mereka juga menyadari bahwa harapan bukanlah sesuatu yang bisa diandalkan begitu saja. Harapan harus dijaga dengan tindakan nyata, bukan hanya dengan kata-kata. Mereka berdua tahu bahwa mereka harus bekerja lebih keras untuk menjaga hubungan ini tetap hidup, karena hubungan yang sehat tidak hanya dibangun dengan cinta, tetapi juga dengan komitmen, kesabaran, dan usaha yang berkelanjutan.

 

Selama beberapa bulan ke depan, Aira dan Fadli terus berusaha menjaga harapan mereka. Mereka berkomitmen untuk berbicara lebih sering, meskipun itu hanya sebentar. Mereka mulai menyusun jadwal percakapan untuk memastikan bahwa mereka tetap bisa saling mendengar di tengah kesibukan masing-masing. Meskipun tidak selalu mudah, mereka saling mendukung dalam mencapai tujuan pribadi dan berusaha tetap hadir dalam kehidupan masing-masing. Setiap kali salah satu dari mereka merasa cemas atau kehilangan arah, yang lainnya selalu ada untuk memberi semangat.

 

Salah satu cara mereka menjaga harapan adalah dengan merencanakan masa depan bersama. Mereka mulai berbicara lebih serius tentang apa yang ingin mereka capai dalam waktu dekat. Fadli menceritakan tentang cita-citanya setelah lulus nanti, dan bagaimana ia ingin Aira berada di sampingnya, baik dalam perjalanan karier maupun kehidupan pribadi. Aira, yang awalnya ragu tentang bagaimana mereka akan menyelaraskan masa depan masing-masing, mulai merasa lebih yakin. Mereka mulai merencanakan bagaimana mereka akan hidup bersama di masa depan, bagaimana mereka akan bertemu lebih sering, dan bagaimana mereka akan membangun kehidupan bersama meskipun terpisah oleh jarak untuk sementara.

 

Mereka juga mulai berbicara tentang pertemuan-pertemuan di masa depan. Setiap kali mereka merencanakan kapan mereka bisa bertemu, Aira merasa lebih termotivasi. Melihat bahwa Fadli juga berkomitmen untuk merencanakan masa depan mereka memberi Aira kekuatan. Mereka mulai mencari cara untuk mengatasi masalah-masalah praktis, seperti biaya perjalanan, waktu yang terbatas, dan lain-lain. Meskipun pertemuan itu terasa jauh di depan mata, mereka merasa lebih dekat karena mereka tahu ada masa depan yang lebih cerah yang mereka perjuangkan bersama.

 

Namun, meskipun harapan dan keyakinan mereka terus tumbuh, masih ada momen-momen sulit yang datang. Ada hari-hari di mana rindu terasa begitu berat, dan ada juga hari-hari ketika mereka merasa cemas apakah hubungan ini akan bertahan. Aira, yang terkadang merasa cemas, berusaha mengingatkan dirinya sendiri bahwa mereka telah melalui banyak hal yang lebih sulit. Ia mulai memahami bahwa hubungan jarak jauh bukan hanya tentang menjaga komunikasi, tetapi juga tentang bagaimana mereka saling memberi ruang untuk tumbuh dan berkembang.

 

Fadli pun merasa hal yang sama. Ketika ia merasa tertekan dengan tugas kuliah yang menumpuk, ia mengingat kembali komitmennya kepada Aira. Ia tahu bahwa Aira mengandalkan dirinya untuk menjaga harapan dan menjaga hubungan mereka tetap kuat. Setiap kali ia merasa lelah, ia mencoba untuk menyemangati dirinya dengan mengingat masa depan yang mereka impikan bersama. Meskipun tantangan datang silih berganti, mereka tahu bahwa mereka harus menjaga harapan itu tetap hidup, karena itulah yang akan membawa mereka ke tujuan mereka bersama.

 

Pada akhirnya, Aira dan Fadli menyadari bahwa menjaga harapan bukanlah tugas yang mudah, tetapi itu adalah kunci untuk menjaga hubungan mereka tetap hidup. Meskipun jarak tetap ada, harapan mereka menjadi pengikat yang lebih kuat dari apapun. Mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi selama mereka bisa menjaga harapan dan komitmen mereka, tidak ada yang tak mungkin. Setiap hari yang mereka jalani bersama—baik itu dalam komunikasi jarak jauh maupun dalam perencanaan masa depan—adalah langkah kecil menuju impian mereka.

 

Mereka berdua tahu bahwa menjaga harapan berarti berjuang bersama, meskipun dunia mereka terpisah oleh jarak. Harapan itu adalah cahaya yang akan membawa mereka melewati kegelapan, dan mereka akan terus berjuang untuk menjaga api itu tetap menyala. Karena pada akhirnya, mereka tahu bahwa meskipun waktu dan jarak terus menguji mereka, harapan adalah satu-satunya hal yang tak bisa diambil oleh siapa pun.*

BAB 8: Cinta yang Tumbuh

 

Waktu berlalu, dan meskipun jarak antara Aira dan Fadli masih tetap ada, mereka merasakan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Cinta yang semula tumbuh di antara keduanya seperti benih yang baru ditanam kini mulai berakar kuat dan berkembang pesat. Meskipun hubungan mereka diuji dengan berbagai tantangan—baik itu kesibukan yang menyita waktu, perbedaan zona waktu, atau kerinduan yang semakin mendalam—mereka merasa lebih dekat satu sama lain daripada sebelumnya. Seiring berjalannya waktu, mereka belajar bahwa cinta yang sejati bukan hanya tentang kebersamaan fisik, tetapi juga tentang bagaimana mereka dapat tumbuh bersama dalam pengertian, rasa saling percaya, dan komitmen yang tak tergoyahkan.

 

Aira, yang semula merasa cemas tentang kemampuan mereka untuk bertahan lama dalam hubungan jarak jauh, kini merasakan ketenangan yang lebih besar. Meskipun terkadang perasaan rindu datang begitu mendalam, ia tahu bahwa ini adalah ujian yang harus dilewati bersama. Hubungannya dengan Fadli sudah melewati banyak fase, dan setiap fase tersebut membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat. Dulu, ia sering bertanya-tanya apakah mereka akan mampu melewati rintangan ini, namun kini ia bisa merasakan bagaimana setiap tantangan yang mereka hadapi bersama justru membuat cinta mereka semakin kokoh.

 

Setiap kali mereka berkomunikasi, Aira merasa lebih banyak hal yang bisa ia bagikan dengan Fadli. Mereka berbicara bukan hanya tentang hal-hal yang terjadi dalam hidup mereka, tetapi juga tentang perasaan mereka, impian mereka, dan bagaimana mereka membayangkan masa depan bersama. Ada rasa saling mengerti yang semakin mendalam, dan ini adalah sesuatu yang tidak bisa diperoleh hanya dengan bertemu setiap hari. Aira merasa bahwa Fadli benar-benar mendengarkannya, bukan hanya mendengar kata-katanya, tetapi juga merasakan emosi di balik setiap kalimat. Inilah yang membuatnya merasa dihargai, dan itulah yang membuat cintanya kepada Fadli semakin dalam.

 

Fadli pun merasakan hal yang sama. Ketika ia kembali ke tempat asalnya untuk melanjutkan studinya, ia merasakan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan ritme kehidupannya yang baru. Namun, ketika ia berbicara dengan Aira, ia merasa seolah-olah waktu berhenti. Ia merasakan kedekatan yang kuat, meskipun mereka terpisah oleh ribuan kilometer. Fadli menyadari bahwa ia mulai mengandalkan Aira lebih dari sebelumnya. Setiap kali ia merasa kesulitan atau tertekan, Aira adalah tempat ia meluapkan perasaannya. Begitu pula sebaliknya. Mereka sudah belajar untuk saling memberi ruang, namun juga untuk selalu hadir dalam kehidupan masing-masing, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

 

Pada suatu malam, setelah beberapa hari sibuk dengan tugas kuliah dan pekerjaan masing-masing, Aira dan Fadli memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama melalui video call. Meskipun mereka hanya bisa berbicara dari jarak jauh, mereka merasa seperti sedang duduk berdampingan. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita tentang hari-hari mereka, dan merencanakan masa depan. Momen sederhana itu terasa begitu berarti bagi keduanya. Mereka sadar, bahwa meskipun mereka tidak dapat merasakan sentuhan fisik, mereka masih dapat merasakan kedekatan emosional yang lebih kuat daripada sebelumnya.

 

Dalam percakapan mereka, Fadli dengan serius berbicara tentang masa depan. “Aira,” kata Fadli dengan suara yang tenang, “Aku tahu kita masih punya banyak tantangan di depan, tapi aku ingin kita selalu ingat bahwa kita bukan hanya berjuang untuk diri kita sendiri, tetapi untuk masa depan kita bersama. Aku ingin kita tumbuh bersama, dalam segala hal—baik itu dalam karier, impian, atau kehidupan pribadi. Aku ingin kita bisa saling mendukung dan membangun masa depan yang kita impikan.”

 

Aira merasa hatinya berdebar mendengar kata-kata Fadli. Ia tahu bahwa selama ini, meskipun kadang-kadang ia merasa ragu, Fadli selalu memiliki pandangan yang jelas tentang masa depan mereka. “Aku juga ingin itu, Fadli,” jawab Aira dengan suara lembut. “Aku ingin kita tumbuh bersama. Aku tahu, ini mungkin tidak mudah, tapi aku yakin kita bisa melakukannya.”

 

Keduanya saling menatap layar, ada keheningan sesaat, tetapi bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh makna. Dalam momen itu, mereka merasakan betapa besar cinta yang tumbuh di antara mereka, dan betapa mereka telah mengatasi begitu banyak hal untuk sampai ke titik ini. Cinta mereka bukan hanya tentang kebersamaan fisik, tetapi tentang bagaimana mereka bisa saling memahami dan mendukung meskipun terpisah oleh jarak.

 

Seiring berjalannya waktu, Aira dan Fadli semakin menyadari bahwa cinta itu bukan sesuatu yang statis, tetapi sesuatu yang harus terus tumbuh. Mereka memahami bahwa hubungan mereka bukan hanya tentang berbagi kebahagiaan, tetapi juga tentang berbagi beban, mengatasi kesulitan bersama, dan mendukung satu sama lain dalam setiap langkah hidup. Mereka semakin kuat dalam meyakini bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, cinta mereka adalah sesuatu yang tidak bisa dihancurkan oleh apapun.

 

Pada suatu hari, setelah berbulan-bulan merencanakan dan mengatasi berbagai tantangan, Aira menerima kejutan dari Fadli. Ia mengiriminya sebuah surat yang panjang, penuh dengan kata-kata indah dan harapan untuk masa depan. Fadli menulis tentang perjalanan mereka yang panjang, tentang bagaimana mereka sudah melewati banyak ujian, dan bagaimana ia berharap bisa terus bersama Aira dalam setiap langkah hidup mereka. “Aira,” tulis Fadli di surat itu, “Cinta kita telah tumbuh lebih kuat dari yang pernah aku bayangkan. Aku tahu ada banyak hal yang harus kita lalui, tetapi aku percaya, jika kita bisa terus tumbuh bersama, kita akan bisa mengatasi apa pun.”

 

Aira membaca surat itu dengan mata berkaca-kaca. Kata-kata Fadli membangkitkan perasaan yang sangat dalam dalam hatinya. Ia merasa begitu dihargai dan dicintai, dan ia tahu bahwa cinta mereka tidak hanya tumbuh, tetapi juga menjadi lebih dalam seiring berjalannya waktu. Cinta itu tidak lagi hanya sekadar perasaan, tetapi telah menjadi komitmen yang mendalam untuk selalu ada satu sama lain, dalam suka dan duka, dalam jarak maupun dekat.

 

Mereka menyadari bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak lagi takut akan masa depan. Cinta mereka telah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan, tetapi menjadi fondasi yang kuat untuk masa depan bersama. Mereka berdua berjanji untuk terus merawat cinta ini, untuk terus tumbuh bersama, meskipun dunia di sekitar mereka berubah. Karena mereka tahu, selama cinta itu tumbuh, mereka akan selalu menemukan cara untuk bersama, apapun yang terjadi.***

———–THE END———

 

Source: Muhammad Reyhan Sandafa
Tags: cinta yang tidak mudahhubungan jarak jauh bukanlah hal mudahhubungan yang berkomitmen
Previous Post

LUKA YANG TERSEMBUNYI

Next Post

LANGKAH AWAL DI JALAN CINTA

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
LANGKAH AWAL DI JALAN CINTA

LANGKAH AWAL DI JALAN CINTA

CINTA YANG TERBAKAR

CINTA YANG TERBAKAR

MENUNGGU DIANTARA BINTANG

MENUNGGU DIANTARA BINTANG

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id