Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

ANTARA RINDU DAN KENANGAN

antara rindu dan kenangan

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 23 mins read
ANTARA RINDU DAN KENANGAN

Daftar Isi

  • Bab 1: Kenangan yang Tertinggal
  • Bab 2: Mengungkap Perasaan yang Tertahan
  • Bab 3: Rindu yang Tumbuh Perlahan
  • Bab 4: Pertemuan yang Menyentuh Hati
  • Bab 5: Cinta yang Muncul dengan Sendirinya
  • Bab 6: Ketidakpastian yang Datang
  • Bab 7: Kenangan yang Kembali Menghantui

Bab 1: Kenangan yang Tertinggal

Alya masih ingat dengan jelas hari itu. Sebuah pertemuan yang awalnya tampak biasa, bahkan mungkin tak berarti apa-apa, namun menjadi kenangan yang tak pernah hilang dalam ingatannya. Sejak saat itu, segalanya berubah. Kehadiran Rizky—pria yang baru saja dikenalnya—telah meninggalkan jejak yang mendalam di hati dan pikirannya.

Hari itu dimulai seperti biasa, dengan langkah-langkah ringan menuju kampus, tempat yang selalu ramai dengan suara langkah kaki dan canda tawa teman-teman sekelas. Alya, seperti biasa, berjalan sendirian menuju ruang kuliah. Tidak ada yang istimewa tentang rutinitas pagi itu, sampai akhirnya langkah kakinya terhenti di depan pintu kelas yang tak terkunci.

Di sanalah dia melihatnya untuk pertama kalinya—Rizky. Pria itu sedang duduk di sudut ruangan, matanya tertunduk pada buku catatan di tangan. Ada sesuatu yang berbeda dengan cara Rizky membaca buku itu. Ia tampak begitu fokus, seperti orang yang sedang mencari jawaban atas sesuatu yang penting, tapi di sisi lain, ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya yang lembut.

“Alya, kan?” suara seorang teman menyapa, mengalihkan perhatiannya dari sosok Rizky yang masih tenggelam dalam dunia bukunya.

“Eh, iya,” jawab Alya agak tergesa. Perasaannya masih terperangah oleh kehadiran Rizky yang tak terduga. Tanpa sadar, Alya pun melangkah masuk ke dalam kelas dan duduk di tempat yang biasanya ia tempati.

Namun, tak lama setelah duduk, pandangannya kembali tertarik pada Rizky. Matanya bertemu dengan mata Rizky, yang seketika itu pula membuat jantung Alya berdebar keras. Dalam sekejap, dunia sekitar mereka tampak menghilang. Tak ada suara kelas, tak ada teman-teman yang berbicara, hanya ada mereka berdua yang terhubung oleh pandangan yang tiba-tiba terasa begitu dalam. Seperti ada magnet yang menarik mereka tanpa bisa ditahan.

Rizky tersenyum samar, seolah menyadari bahwa Alya sedang memperhatikannya. Alya buru-buru mengalihkan pandangannya, berusaha menenangkan diri, namun ada sesuatu yang terus menggema di dalam hatinya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kenapa perasaan ini datang begitu cepat? Kenapa dia merasa begitu terikat dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia ajak bicara sebelumnya?

Sejak saat itu, kenangan tentang Rizky terus hadir dalam setiap pikirannya. Setiap kali berjalan melewati ruang kuliah, dia selalu berharap bisa bertemu lagi dengan pria itu, meskipun hanya untuk sekadar menyapa. Tapi saat itu, Rizky lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya, dan Alya, meskipun ingin mendekati, tidak tahu bagaimana caranya.

Pernah suatu ketika, mereka bertemu di lorong kampus. Alya, yang sedang terburu-buru menuju kelas, hampir saja menabrak Rizky. Wajah mereka hanya terpisah beberapa inci, dan untuk detik yang terasa panjang itu, Alya merasa ada getaran yang aneh, seakan-akan waktu berhenti sejenak.

“Maaf, Rizky,” kata Alya gugup, wajahnya memerah karena malu.

Rizky hanya tersenyum, senyuman yang membuat Alya merasa seperti diselimuti rasa hangat. “Gak apa-apa, Alya. Hati-hati, ya,” jawab Rizky dengan nada yang lembut.

Itu adalah kali pertama mereka berbicara, meskipun hanya sepatah kata. Namun, kalimat sederhana itu sudah cukup untuk menambah kenangan yang menyelimuti hati Alya. Setiap kali Alya mengingatnya, senyuman Rizky terasa begitu nyata, seolah-olah ia sedang berdiri di depannya, bukan sekadar ingatan.

Alya mulai menyadari bahwa semakin lama dia menghabiskan waktu di kampus, semakin sering dirinya melirik ke arah tempat yang biasa Rizky duduki. Mungkin itu sudah menjadi kebiasaan yang tak disadari, namun setiap kali matanya berpapasan dengan Rizky, dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kenangan-kenangan kecil seperti itu mulai terukir dalam benaknya, meskipun ia tak tahu apakah Rizky merasakan hal yang sama.

Hingga suatu hari, saat pulang kuliah, tanpa sengaja mereka bertemu lagi di halte bus. Alya yang sedang duduk sambil menunggu bus, kaget melihat Rizky yang juga duduk di sana. Tidak ada yang menyangka mereka akan bertemu di tempat yang sama, apalagi setelah beberapa minggu tidak ada komunikasi di luar kelas.

“Alya?” suara Rizky terdengar, memecah keheningan yang ada.

Alya menoleh, melihat Rizky yang sedang berdiri di depan pintu halte. Matanya bertemu dengan mata Alya, dan sekali lagi, dunia seakan berhenti sejenak. Senyuman Rizky muncul di wajahnya, membuat Alya merasa nyaman meskipun perasaan gugup itu kembali datang.

“Hai, Rizky. Gimana kabarnya?” tanya Alya, berusaha tersenyum meskipun hatinya berdebar kencang.

“Kabarku baik. Gimana kamu?” Rizky menjawab dengan nada yang santai, namun ada sesuatu yang berbeda di dalam tatapannya.

Alya merasa seolah-olah mereka sudah lama saling kenal. Percakapan yang dimulai dengan hal-hal sederhana tentang kuliah dan tugas-tugas yang menumpuk, tiba-tiba terasa begitu akrab. Mereka berbicara dengan lancar, seolah-olah tak ada jarak yang memisahkan. Waktu berjalan begitu cepat, dan sebelum mereka sadar, bus yang biasa mereka tumpangi sudah datang.

“Sama-sama, ya. Semoga tugasnya selesai tepat waktu,” ujar Rizky dengan senyum yang tidak bisa Alya lupakan.

“Terima kasih, Rizky. Semoga kamu juga,” jawab Alya.

Sejak saat itu, kenangan tentang Rizky semakin kuat. Meski mereka tidak langsung menjadi teman dekat, namun setiap pertemuan yang tak terduga itu meninggalkan kesan yang dalam. Ada perasaan yang terus tumbuh dalam diri Alya—perasaan yang belum bisa dia ungkapkan, tetapi terus mengisi hari-harinya. Rasa penasaran tentang siapa Rizky sebenarnya, kenapa senyumannya bisa begitu menenangkan, dan mengapa perasaan ini terasa begitu nyata meskipun mereka baru saja saling mengenal.

Kenangan itu terus menghantui Alya, kenangan tentang pertemuan pertama yang penuh dengan rasa ingin tahu, tentang senyuman Rizky yang hangat, tentang saat-saat kecil yang terasa begitu penting meskipun hanya sekadar percakapan singkat. Kenangan yang tertinggal itu, meskipun sepele, mulai merangkai cerita di dalam hati Alya—cerita tentang rasa yang belum terungkap, tentang seseorang yang tak tahu bahwa dia sudah mulai memiliki tempat yang istimewa di dalam hidupnya.

Dan meskipun Alya belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan, satu hal yang pasti—kenangan tentang Rizky, kenangan yang mulai tertinggal di dalam hatinya, akan terus ada.*

Bab 2: Mengungkap Perasaan yang Tertahan

Alya duduk di bangku perpustakaan, matanya menerawang ke luar jendela yang besar. Rintik hujan yang turun perlahan membuat suasana di dalam ruangan menjadi semakin sunyi, hanya diiringi oleh suara pena yang menari di atas kertas dan halaman buku yang dibalik. Namun, pikirannya tidak terfokus pada tugas kuliah yang tengah ia kerjakan, melainkan pada seseorang yang sudah beberapa minggu terakhir mengisi pikirannya—Rizky.

Pertemuan pertama mereka yang tak terduga di ruang kuliah telah membuka pintu bagi hubungan yang penuh teka-teki dan perasaan yang belum bisa ia pahami. Seiring berjalannya waktu, Alya semakin merasa terhubung dengan Rizky, meskipun hanya melalui tatapan mata yang singkat dan obrolan-obrolan ringan yang kadang terjadi di luar kelas. Perasaan itu semakin tumbuh, perlahan tapi pasti. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya—bagaimana ia harus mengungkapkan perasaan ini?

“Alya!” suara teman dekatnya, Mira, memecah lamunannya. Mira duduk di sebelahnya, menatap Alya dengan ekspresi yang tampaknya sudah tahu ada yang mengganggu pikiran Alya. “Kamu kok diam aja? Ada apa?”

Alya tersentak, seolah baru saja terbangun dari mimpinya. Ia mengalihkan pandangan ke Mira, mencoba tersenyum meskipun hatinya dipenuhi kebingungan. “Hah? Oh, nggak apa-apa kok, Mira. Lagi mikirin tugas.”

Tapi Mira tidak terpengaruh oleh jawaban itu. Sahabatnya yang satu ini, yang sudah mengenalnya sejak lama, bisa tahu persis kapan Alya sedang berbohong. “Alya, jangan bohong deh. Kamu nggak bisa nyembunyiin apa yang lagi ada di pikiran kamu. Pasti ada sesuatu soal Rizky kan?”

Nama itu terdengar begitu familiar di telinga Alya, dan seketika wajahnya memerah. Rizky—dia sudah sering membayangkan pria itu dalam diam, membayangkan apa yang akan terjadi jika ia berani mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam.

Alya menghela napas, meletakkan bolpoinnya dengan perlahan, kemudian menatap Mira. “Iya, aku… aku suka sama Rizky, Mira. Tapi… aku nggak tahu harus gimana. Rasanya, aku nggak bisa begitu aja mengungkapkan itu. Dia… dia selalu ada di pikiranku, tapi aku nggak tahu apakah dia merasakan hal yang sama.”

Mira tersenyum lebar, jelas-jelas sudah menunggu Alya untuk membuka suara. “Alya, kenapa harus ragu? Kalau kamu nggak pernah bilang, kamu nggak akan tahu kan? Kalau dia nggak merasakan hal yang sama, ya setidaknya kamu bisa melangkah maju. Kalau pun iya, berarti kamu punya kesempatan untuk lebih dekat sama dia.”

Alya terdiam. Kata-kata Mira itu seperti angin segar yang menyentuh hatinya. Ia tahu Mira benar. Kenapa ia harus terus memendam perasaan ini dalam diam? Tetapi, ada rasa takut yang begitu mendalam, ketakutan akan penolakan yang bisa menghancurkan segalanya. Alya memang sudah pernah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta, namun perasaan ini berbeda. Ini adalah perasaan yang tumbuh perlahan, berakar dalam-dalam, dan semakin sulit untuk disembunyikan.

Sejak pertama kali bertemu Rizky, Alya merasa seperti ada sesuatu yang menghubungkan mereka, meskipun hanya dengan tatapan atau senyuman singkat. Setiap kali melihat Rizky, hatinya berdebar kencang, bahkan perasaan itu lebih kuat saat mereka berbicara. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, mereka berbincang dengan nyaman tentang berbagai hal, mulai dari tugas kuliah, hingga film yang baru mereka tonton. Namun, setiap kali percakapan itu berakhir, Alya merasa seolah-olah ada perasaan yang belum terungkap, sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan biasa.

Namun, ketakutan itu masih menghantui Alya. Ketakutan akan kemungkinan bahwa Rizky tidak merasakan hal yang sama, atau bahkan lebih buruk lagi, mereka menjadi canggung setelah mengungkapkan perasaan ini. Bagaimana jika persahabatan mereka hancur begitu saja?

Alya memandang Mira dengan tatapan penuh keraguan. “Tapi, Mira, aku nggak yakin… kalau sampai dia nggak merasakan hal yang sama, kita bisa tetap teman. Aku takut banget kalau hubungan ini jadi aneh. Aku nggak mau kehilangan dia, walaupun kalau cuma sebagai teman.”

Mira memegang tangan Alya dengan lembut. “Alya, hidup ini penuh dengan risiko. Kamu nggak akan tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak coba. Kamu nggak akan kehilangan dia kalau dia memang benar-benar temanmu. Dan siapa tahu, mungkin dia juga merasakan hal yang sama, dan perasaan kalian bisa berkembang jadi sesuatu yang lebih.”

Alya menundukkan kepala, mengingat kembali setiap momen yang mereka habiskan bersama. Saat Rizky membantu menjelaskan materi kuliah yang sulit, saat mereka tertawa bersama di kantin, saat Rizky mengingatkan Alya untuk membawa tugas tepat waktu. Setiap interaksi itu terasa lebih dari sekadar kebetulan. Ada kehangatan yang tidak bisa diabaikan, ada perasaan yang terus tumbuh dalam hatinya.

“Jadi, gimana?” Mira memecah keheningan. “Kamu mau nyoba ngomong ke dia?”

Alya merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Rasa takut masih ada, namun ada juga rasa ingin tahu yang kuat. Apa yang akan terjadi jika dia mengungkapkan perasaannya? Jika Rizky juga merasa hal yang sama, mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih indah. Jika tidak, setidaknya dia tahu bahwa dia sudah berusaha untuk membuka hatinya.

Alya mengangkat kepala, menatap Mira dengan penuh tekad. “Aku akan coba. Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang perasaan ini.”

Malam itu, Alya mempersiapkan dirinya. Dia tahu dia harus berbicara dengan Rizky, mengungkapkan perasaan yang sudah lama ia pendam. Hati Alya berdebar-debar saat ia mengetik pesan untuk Rizky, mengundangnya untuk bertemu setelah kuliah selesai. “Rizky, bisa ketemu sebentar setelah kuliah? Aku ada yang ingin dibicarakan.”

Alya menghela napas panjang setelah mengirimkan pesan itu. Apa yang akan terjadi nanti? Dia tidak tahu. Tapi yang pasti, dia tidak ingin terus hidup dengan perasaan ini yang tertahan di dalam hatinya. Alya ingin tahu apa yang akan terjadi jika dia berani mengambil langkah itu. Jika perasaan ini adalah cinta yang sejati, maka dia harus mengungkapkannya.

Rizky membalas pesan itu tidak lama kemudian. “Tentu, aku tunggu di kafe dekat kampus. Aku juga ingin ngobrol.”

Setelah membaca balasan itu, Alya merasa seolah ada beban yang sedikit terangkat dari pundaknya. Mungkin ini adalah kesempatan yang tepat, kesempatan untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam. Dengan langkah penuh keyakinan, Alya mempersiapkan dirinya untuk pergi. Dia tahu malam ini akan menjadi salah satu malam yang tak akan pernah ia lupakan. Entah itu akan berakhir dengan senyuman atau tangisan, dia sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan.*

Bab 3: Rindu yang Tumbuh Perlahan

Setiap kali Alya melangkah ke kampus, ada perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Suasana pagi yang tenang, dengan udara segar dan langit biru yang cerah, selalu membawa ingatannya kembali pada Rizky. Sosok yang sudah mulai mengisi hari-harinya, meski hanya dalam cara yang sederhana—tatapan mata, senyuman kecil, atau percakapan ringan yang terjadi di sela-sela kesibukan kuliah. Semua itu sudah cukup untuk menumbuhkan rasa yang tak bisa ia kontrol, sebuah perasaan yang semakin tumbuh perlahan, namun kuat, yang tak bisa ia sembunyikan lagi.

Hari itu, seperti biasa, Alya berjalan menuju kelas. Meskipun tampaknya hari itu tidak ada yang istimewa, perasaan dalam hatinya tetap terasa berbeda. Rindu. Rindu yang muncul begitu saja setiap kali ia teringat pada Rizky. Rindu yang tumbuh tanpa disadari, perlahan namun pasti. Sejak percakapan terakhir mereka di kafe dua minggu yang lalu, Alya merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sesuatu yang semakin mendalam. Setiap hari tanpa Rizky, hatinya terasa sepi. Setiap kali melihat ponselnya, ada rasa ingin menghubungi Rizky, ingin mendengar suaranya, berbicara dengannya.

Namun, Alya tahu bahwa dia harus bersabar. Mereka sudah berbicara tentang perasaan itu. Rizky sudah mengatakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama, namun tidak ada yang terburu-buru. Mereka memutuskan untuk menjalani hubungan ini dengan perlahan. Alya mengerti, meskipun terkadang hatinya merasa begitu gelisah.

Setelah masuk ke ruang kuliah, Alya mencari tempat duduknya. Tanpa sengaja, matanya bertemu dengan mata Rizky yang duduk di barisan depan. Dalam sekejap, perasaan itu kembali muncul. Ada sesuatu yang begitu menggetarkan di dalam dada Alya setiap kali melihat pria itu. Senyuman Rizky yang penuh pengertian, tatapan matanya yang tenang, membuat hati Alya terasa nyaman meski mereka belum banyak berbicara.

Alya duduk dengan tenang, mencoba untuk fokus pada materi yang sedang diajarkan dosen. Namun pikirannya melayang jauh. Rindu. Itu kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya sekarang. Rindu yang sudah mulai tumbuh perlahan, tanpa bisa dibendung. Rindu yang datang bukan hanya dari pertemuan fisik, tetapi juga dari rasa ingin berbagi kisah, ingin mendengar suara satu sama lain, ingin berbicara tanpa ada beban.

Setelah kuliah selesai, Alya keluar dari ruang kelas dan berjalan menuju kantin. Langkah kakinya terhenti saat melihat Rizky yang sedang duduk sendirian di meja yang biasa mereka tempati. Alya merasa hatinya berdebar, perasaan yang sudah mulai akrab setiap kali ia berdekatan dengan Rizky. Tanpa ragu, ia mendekati meja itu dan duduk di hadapan Rizky.

“Hei,” kata Alya, tersenyum sedikit canggung meski hatinya berbunga-bunga.

Rizky menoleh dan memberikan senyum manis yang selalu berhasil membuat Alya merasa hangat. “Hai, Alya. Kenapa kelihatan begitu serius?”

Alya tertawa pelan, mencoba untuk menenangkan diri. “Nggak kok, cuma… lagi mikirin tugas aja.”

Rizky mengangguk, lalu menggali tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. “Kebetulan aku juga lagi mikirin tugas yang sama. Ayo, kita kerjain bareng.”

Alya merasa senang, meskipun tugas kuliah itu bukanlah hal yang menarik untuk dibicarakan. Tapi, saat bersama Rizky, segalanya terasa lebih menyenangkan. Rindu yang mulai tumbuh perlahan itu seolah terobati dengan kebersamaan yang sederhana. Mereka berbincang santai, sambil mengerjakan tugas bersama-sama. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat.

Namun, ketika melihat jam tangan, Alya menyadari bahwa waktu sudah hampir menjelang sore. Dia harus pulang. “Aku harus pergi dulu, Rizky. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan,” ucap Alya dengan sedikit enggan.

“Yah, padahal kita baru mulai ngobrol,” balas Rizky dengan nada menyesal, meskipun senyumannya tetap membuat Alya merasa hangat.

Alya tersenyum. “Iya, nanti kita bisa lanjut lagi. Kamu nggak akan kemana-mana kan?”

Rizky tertawa pelan. “Tentu saja, kita bisa lanjut nanti.”

Saat Alya berjalan keluar dari kantin, dia merasa seolah ada sesuatu yang kosong. Ada rasa kehilangan yang tiba-tiba muncul begitu saja, meskipun baru saja beberapa menit yang lalu ia sedang berada bersama Rizky. Rindu itu kembali datang dengan begitu kuat, seperti ombak yang menghantam pantai tanpa bisa ia hentikan. Rindu yang tak bisa ia jelaskan, yang terus tumbuh seiring berjalannya waktu, meskipun mereka tidak banyak bertemu.

Selama beberapa hari setelah itu, Alya terus merasakan hal yang sama. Setiap kali ia tidak melihat Rizky, ada rasa kosong di dalam hatinya. Namun, perasaan itu tidak hanya datang dari rasa ingin bertemu, tetapi juga dari rasa ingin dekat, ingin saling mengenal lebih dalam lagi. Setiap kali mereka berbicara, setiap kali mereka tertawa bersama, Alya merasa bahwa ada koneksi yang lebih dalam di antara mereka, meskipun keduanya belum mengatakannya secara langsung.

Suatu hari, saat mereka sedang berjalan pulang setelah kuliah, Rizky berkata dengan lembut, “Alya, aku tahu kamu mulai merasa cemas. Tapi kita nggak perlu terburu-buru, kan? Kita bisa jalani semuanya dengan pelan-pelan.”

Alya menatap Rizky, matanya sedikit berbinar. “Aku cuma… kadang merasa rindu. Rindu yang tumbuh perlahan, yang datang tanpa aku bisa mengendalikannya.”

Rizky berhenti sejenak dan menatap Alya dengan serius. “Aku juga merasakannya, Alya. Rindu yang sama. Tapi kita bisa menjalani ini dengan sabar, dengan waktu yang tepat. Aku nggak mau ada yang tergesa-gesa.”

Alya merasa hatinya dipenuhi kehangatan. Meski ia tidak bisa mengungkapkan seluruh perasaannya, kata-kata Rizky sudah cukup membuatnya merasa tenang. Rindu yang tumbuh perlahan, yang terasa semakin dalam setiap hari, bisa mereka jalani bersama. Mereka tidak perlu terburu-buru untuk menentukan apa yang akan terjadi, karena perasaan itu, meskipun bertumbuh pelan, sudah cukup kuat untuk mengikat mereka.

Saat mereka sampai di ujung jalan yang memisahkan arah rumah masing-masing, Rizky berhenti dan menoleh ke Alya. “Aku akan menghubungimu nanti, ya? Kita bisa ketemu lagi minggu depan.”

Alya mengangguk, senyum tipis terlukis di bibirnya. “Aku tunggu.”

Perasaan rindu itu semakin kuat, dan meskipun mereka harus berpisah, Alya tahu bahwa setiap kali ia bertemu dengan Rizky, rasa itu akan terus tumbuh lebih dalam. Rindu yang perlahan-lahan menjadi cinta, yang semakin mengakar dalam hatinya. Seiring berjalannya waktu, Alya tahu bahwa perasaan ini bukanlah sekadar perasaan sementara. Ini adalah perasaan yang akan terus berkembang, dan suatu hari nanti, akan terungkap dalam bentuk yang lebih jelas. Namun untuk saat ini, Alya hanya bisa menikmati setiap detik bersama Rizky, merasakan rindu yang tumbuh perlahan, dan berharap suatu hari, perasaan itu akan sampai pada titik di mana mereka bisa saling mengungkapkan apa yang ada di hati mereka.*

Bab 4: Pertemuan yang Menyentuh Hati

Hari itu, cuaca di kampus terasa lebih cerah dari biasanya. Meski musim hujan belum sepenuhnya berlalu, namun langit tampak bersih dan matahari menyinari jalan setapak yang sering dilalui oleh mahasiswa. Alya berjalan menuju kantin dengan langkah santai, namun hatinya terasa berdebar lebih kencang dari biasanya. Mungkin karena ia tahu, hari ini akan ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.

Sebelumnya, Rizky sudah menghubunginya melalui pesan singkat, mengajaknya bertemu setelah kuliah selesai. Kata-kata sederhana itu—”Aku ingin bicara serius denganmu, bisa ketemu nanti?”—telah cukup membuat Alya cemas dan penuh tanda tanya. Ada apa? Apa yang ingin dibicarakan Rizky? Hatinya berdebar-debar, seakan-akan ada sesuatu yang menunggu untuk terungkap. Namun, apa itu? Dia tidak tahu pasti, tetapi ia merasa bahwa pertemuan kali ini akan menjadi titik balik dalam hubungan mereka.

Alya tiba lebih awal di kantin. Ia memilih duduk di sudut dekat jendela besar, berharap bisa sedikit menenangkan diri sebelum pertemuan itu. Setiap detik terasa sangat panjang. Beberapa teman sekelas yang datang untuk makan siang tampak berbicara riang, sementara Alya hanya menundukkan kepala, berusaha untuk tidak terlihat gelisah. Bahkan secangkir teh hangat di depannya tidak bisa mengusir kecemasan yang menyelimutinya.

Tak lama kemudian, pintu kantin terbuka, dan sosok yang sudah sejak tadi mengisi pikirannya muncul. Rizky. Ia masuk dengan langkah tenang, matanya mencari-cari sosok Alya di antara meja-meja yang ramai. Begitu mata mereka bertemu, Alya merasa jantungnya berdebar. Ada perasaan hangat yang meluap di dalam dada, namun di sisi lain, ketegangan yang semula ia coba redakan, kini kembali muncul dengan lebih kuat.

Rizky mendekat, senyuman tipis menghiasi wajahnya, dan dengan langkah yang pasti, ia duduk di hadapan Alya. “Hai,” sapa Rizky dengan lembut.

“Hai, Rizky,” jawab Alya dengan suara yang agak parau. Ia berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa begitu bergejolak.

Sejenak mereka hanya duduk diam, saling menatap, mencoba menenangkan perasaan yang terlampau canggung. Alya bisa melihat bahwa wajah Rizky juga sedikit tegang, seolah-olah dia sendiri sedang memikirkan sesuatu yang berat. Keheningan di antara mereka terasa panjang, seperti menunggu sesuatu yang tak terucapkan.

“Jadi… ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Alya, akhirnya memecah keheningan yang semakin membuatnya resah.

Rizky mengangguk perlahan. “Ya. Tapi sebelumnya… aku ingin kamu tahu kalau aku juga merasa ada yang berbeda antara kita. Mungkin sudah sejak lama, hanya aku nggak tahu bagaimana cara mengatakannya.”

Alya menatap Rizky dengan penasaran, hatinya mulai penasaran sekaligus cemas. “Apa maksudmu?”

Rizky menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Alya, kamu tahu kan kalau aku selalu merasa nyaman setiap kali kita ngobrol, atau bahkan cuma saling lihat di kelas? Aku nggak tahu kapan, tapi perasaan itu makin besar. Perasaan yang… lebih dari sekadar teman.”

Alya merasa seolah-olah dunia berhenti berputar sejenak. Semua yang ia dengar terasa seperti mimpi, sesuatu yang tidak bisa ia percaya begitu saja. Apa yang baru saja dikatakan Rizky? Apakah dia juga merasakan hal yang sama?

“Apa maksudmu, Rizky?” tanya Alya dengan suara bergetar, meski ia berusaha menjaga ketenangannya.

Rizky menatapnya dengan serius, dan ada sesuatu yang begitu dalam di matanya—sesuatu yang membuat Alya merasa seolah-olah ada ikatan kuat yang terbentuk di antara mereka. “Aku rasa aku sudah mulai jatuh cinta padamu, Alya. Aku tahu ini mungkin terdengar tiba-tiba, tapi aku nggak bisa lagi menahan perasaan ini. Aku nggak mau hanya jadi temanmu kalau aku punya perasaan yang lebih dari itu.”

Alya terdiam. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah cuaca cerah. Tidak ada yang lebih ia inginkan selain mendengar kalimat itu keluar dari mulut Rizky, namun saat itu, ia merasa dunia di sekitarnya seperti berputar begitu cepat. Jantungnya berdegup keras, dan rindu yang sudah begitu lama ia pendam pun akhirnya terungkap.

“Aku juga… aku juga merasakan hal yang sama,” akhirnya Alya berkata dengan suara yang nyaris terbisik. “Aku selalu merasa ada yang berbeda sejak pertama kali kita bertemu. Tapi aku takut, aku takut kalau itu hanya perasaanku saja, kalau kamu nggak merasakannya.”

Rizky tersenyum, senyuman yang penuh kelegaan. “Kamu nggak sendirian, Alya. Aku merasakannya juga. Aku ingin kita mulai lebih dari sekadar teman. Aku ingin kita coba, berdua.”

Alya merasa ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya, sesuatu yang sangat indah, seperti cahaya yang tiba-tiba datang setelah kegelapan yang panjang. Selama ini, dia selalu ragu, bertanya-tanya apakah perasaan ini hanya ada dalam imajinasinya saja. Tapi sekarang, dia tahu bahwa perasaan itu bukanlah hal yang sepele. Itu adalah cinta, yang tumbuh perlahan, yang kini menjadi kenyataan.

“Aku… aku nggak tahu harus berkata apa, Rizky. Rasanya, ini semua seperti mimpi.”

Rizky mengulurkan tangannya ke arah Alya, dengan senyum yang penuh ketulusan. “Ini bukan mimpi, Alya. Ini kenyataan yang kita bisa jalani bersama. Aku ingin kita berusaha, apapun yang terjadi. Kamu mau, kan?”

Alya menatap tangan Rizky sejenak, lalu dengan perlahan, ia menggenggamnya. Tangan itu terasa hangat, dan sentuhannya membawa rasa aman yang selama ini ia cari. Tidak ada kata-kata yang lebih indah daripada saat itu, ketika mereka saling memandang dengan penuh pengertian.

“Ya, aku mau,” jawab Alya dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan.

Perasaan yang selama ini mereka pendam akhirnya bisa mereka ungkapkan. Dan saat itu, dunia seakan berhenti, seolah mereka berdua saja yang ada di ruang itu. Tak ada lagi keraguan, tak ada lagi ketakutan. Yang ada hanyalah perasaan yang saling mengikat, yang baru saja ditemukan, namun sudah terasa begitu kuat dan nyata.

Hari itu, pertemuan mereka bukan hanya sekadar pertemuan biasa. Itu adalah pertemuan yang menyentuh hati, yang mengubah arah hidup mereka berdua. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus berputar, mereka menemukan satu sama lain, dan di antara keduanya, ada cinta yang perlahan tumbuh. Cinta yang akan mereka jalani bersama, dengan penuh harapan, dan tanpa ada lagi keraguan.*

Bab 5: Cinta yang Muncul dengan Sendirinya

Waktu terus berjalan, dan meskipun Alya dan Rizky mulai saling terbuka tentang perasaan mereka, ada hal-hal yang tetap terasa baru dan sedikit membingungkan. Setelah pengakuan yang begitu manis dan penuh harapan itu, mereka berdua memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat, namun tanpa terburu-buru. Mereka sepakat untuk menjalani semuanya dengan pelan, membiarkan perasaan itu tumbuh dengan alami, mengikuti alurnya tanpa ada tekanan.

Alya, yang sebelumnya sering terjaga oleh pertanyaan-pertanyaan tentang perasaan ini, kini mulai merasa sedikit lega. Cinta yang tumbuh perlahan, tanpa paksaan, membuatnya merasa lebih tenang. Rizky pun selalu tahu bagaimana cara membuatnya merasa nyaman, baik saat mereka bertemu maupun hanya melalui pesan singkat yang sering mereka tukar. Mereka tidak terburu-buru dalam menjalani hubungan ini, dan itulah yang membuat Alya merasa sangat dihargai. Tidak ada paksaan, tidak ada tuntutan, hanya keinginan untuk saling mengenal lebih dalam.

Setiap pertemuan dengan Rizky kini terasa lebih berarti. Mereka sering menghabiskan waktu berdua, hanya untuk duduk di taman kampus atau mengobrol ringan di kafe yang menjadi tempat favorit mereka. Meskipun hal-hal itu terlihat sederhana, bagi Alya, setiap detiknya penuh dengan makna. Tidak ada yang lebih indah daripada mendengar Rizky tertawa, atau mendengarkan ceritanya tentang hari-hari yang mereka jalani di kampus. Ada sesuatu yang begitu menyentuh hatinya saat mereka berbicara tentang mimpi dan harapan-harapan mereka.

Pada suatu sore, mereka duduk bersama di bangku taman kampus, menikmati angin yang berhembus lembut, menghabiskan waktu tanpa harus terburu-buru. Rizky sedang menceritakan pengalamannya ketika pertama kali mengikuti sebuah acara di kampus, dan Alya mendengarkan dengan seksama, sesekali tertawa kecil mendengar cerita kocaknya. Rasanya, semuanya begitu alami—seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal dan tidak ada yang perlu dijelaskan lebih lanjut.

Namun, di tengah percakapan itu, Alya merasakan sesuatu yang berbeda. Rasa yang selama ini ia simpan, perlahan tumbuh menjadi perasaan yang lebih dalam. Setiap kali Rizky berbicara, setiap kali ia melihat senyumannya, ada perasaan yang begitu kuat mengalir dalam dirinya—sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan biasa. Sesuatu yang lebih dalam, yang membangkitkan perasaan hangat di hatinya. Itu adalah cinta, cinta yang muncul dengan sendirinya, tanpa pernah dipaksakan.

“Alya, kamu tahu nggak, aku sering mikirin kita berdua,” kata Rizky tiba-tiba, dengan nada serius namun lembut.

Alya menoleh padanya, sedikit terkejut. “Maksudnya?”

Rizky tersenyum, tapi ada sedikit keraguan di matanya. “Maksudku, aku merasa kita sudah cukup lama kenal, dan semakin aku mengenalmu, semakin aku merasa nyaman. Aku merasa, meskipun kita belum lama bersama, ada sesuatu yang nyata di antara kita. Aku tahu kita nggak perlu terburu-buru, tapi aku mulai merasa bahwa… aku mulai jatuh cinta padamu.”

Alya terdiam. Kata-kata itu terdengar begitu tulus, dan Alya merasa seolah-olah perasaan yang selama ini ia rasakan sudah terjawab. Cinta itu datang bukan karena dipaksakan, bukan karena ada harapan atau tekanan. Itu datang dengan sendirinya, tumbuh secara alami, seperti bunga yang perlahan mekar tanpa disadari. Cinta yang datang begitu tenang dan mendalam, tanpa ada rasa ragu sedikit pun.

“Aku juga merasakannya, Rizky,” jawab Alya akhirnya, suaranya bergetar karena emosi yang begitu dalam. “Aku nggak tahu kapan persisnya, tapi… sejak aku mulai lebih sering dekat dengan kamu, aku merasa kalau ini bukan sekadar perasaan biasa. Aku merasa nyaman, dan aku merasa kamu adalah orang yang aku cari selama ini.”

Rizky tersenyum lebar, dan saat itu juga, perasaan mereka yang sudah lama terpendam akhirnya saling terungkap. Cinta yang mereka rasakan bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul atau dipaksakan oleh keadaan. Itu adalah sesuatu yang tumbuh perlahan, yang berkembang seiring berjalannya waktu dan semakin mendalam setiap harinya.

Mereka berdua merasa lega, namun ada kebahagiaan yang tidak bisa mereka sembunyikan. Rizky meraih tangan Alya dengan lembut, menggenggamnya erat seakan memastikan bahwa perasaan mereka bukan hanya sekadar kata-kata belaka. “Aku nggak mau kehilangan kesempatan ini, Alya. Aku ingin kita berdua terus berjalan bersama, saling mendukung, dan menjalani hubungan ini dengan pelan-pelan, tapi penuh dengan rasa cinta.”

Alya menatap tangan mereka yang saling terjalin, merasakan kehangatan yang mengalir melalui genggaman itu. “Aku juga, Rizky. Aku ingin kita berjalan bersama, menghadapinya dengan hati yang penuh.”

Mereka duduk bersebelahan, menikmati waktu yang terasa begitu sempurna. Dalam keheningan itu, Alya merasakan sesuatu yang lebih daripada sekadar perasaan cinta. Ada kedamaian, ada rasa saling mengerti, dan yang paling penting, ada keyakinan bahwa perasaan ini adalah perasaan yang akan tumbuh dan berkembang tanpa batas. Cinta yang muncul dengan sendirinya, tidak dipaksakan oleh apa pun, tetapi datang begitu alami, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti mengalir.

Hari-hari berlalu dengan lebih indah sejak saat itu. Alya dan Rizky semakin sering menghabiskan waktu bersama, meskipun mereka berdua masih sibuk dengan tugas kuliah dan kegiatan masing-masing. Mereka tidak pernah terburu-buru untuk menentukan apa yang akan terjadi di masa depan, karena bagi mereka, yang terpenting adalah menikmati perjalanan ini, bersama-sama. Mereka berbicara tentang hal-hal sederhana—tentang impian mereka, tentang kebahagiaan kecil yang mereka rasakan, dan tentang bagaimana mereka merasa saling melengkapi.

Pada suatu malam, saat mereka duduk di kafe favorit mereka, Alya mendengarkan Rizky dengan seksama. Rizky bercerita tentang cita-cita masa depan, tentang bagaimana ia ingin bisa membuat perubahan dalam hidup orang-orang di sekitarnya. Alya, yang sudah semakin mengenal Rizky, merasa terinspirasi. Ia merasa, selain perasaan cinta yang mereka miliki, ada banyak hal lain yang membuat mereka semakin kuat bersama. Mereka saling menghargai dan mendukung, tak hanya dalam hal-hal besar, tetapi juga dalam hal-hal kecil yang mungkin sering dilupakan.

Saat Rizky selesai berbicara, Alya tersenyum dan berkata, “Aku percaya, Rizky. Aku yakin kita bisa meraih semua yang kita impikan. Aku akan selalu ada untuk kamu.”

Rizky menatapnya, mata mereka bertemu, dan senyuman di wajahnya semakin lebar. “Aku merasa begitu beruntung bisa mengenalmu, Alya. Terima kasih sudah membuat hari-hariku lebih berarti.”

Cinta yang mereka miliki, yang tumbuh dengan sendirinya, bukan hanya tentang perasaan yang romantis. Itu adalah tentang saling percaya, tentang mendukung satu sama lain, dan tentang menjalani hidup bersama meskipun dunia terus berubah. Alya tahu, tak ada yang bisa memaksakan cinta. Cinta itu datang ketika waktunya tepat, dan ketika dua hati benar-benar siap untuk saling berbagi. Dan bagi Alya, cintanya pada Rizky adalah cinta yang tak terduga, yang datang dengan begitu alami, begitu tulus, dan begitu indah.

Cinta yang tumbuh perlahan, namun semakin kuat seiring berjalannya waktu.*

Bab 6: Ketidakpastian yang Datang

Hari-hari yang penuh kebahagiaan mulai dirasakan Alya dan Rizky. Setelah beberapa bulan menjalani hubungan yang mereka bangun dengan hati-hati, segalanya tampak berjalan mulus. Mereka mulai semakin mengenal satu sama lain, berbagi banyak hal, dan merasakan keindahan dalam setiap momen kebersamaan. Namun, seperti halnya kehidupan yang tidak pernah dapat diprediksi, ketidakpastian mulai datang perlahan, mengganggu ketenangan yang semula mereka rasakan.

Malam itu, mereka duduk di bangku taman kampus setelah selesai kuliah. Udara malam yang segar dan bintang yang bertaburan di langit tampak begitu indah, namun ada ketegangan yang mengambang di udara. Alya dapat merasakan sesuatu yang berbeda dari sikap Rizky malam ini. Wajahnya terlihat serius, bahkan sedikit cemas. Rizky, yang biasanya penuh dengan energi dan senyuman, kini tampak lebih pendiam, sesekali menatap ke bawah, dan tangan kanannya terus bergerak-gerak seperti mencari-cari sesuatu di udara.

Alya memandangnya dengan cemas. “Rizky, ada apa? Kenapa kamu terlihat berbeda malam ini?” tanyanya pelan, suaranya penuh dengan rasa khawatir.

Rizky menarik napas dalam-dalam, seolah ragu untuk mengucapkan apa yang ada di pikirannya. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya dia memandang Alya dengan tatapan serius yang berbeda dari biasanya.

“Alya, aku harus memberitahumu sesuatu,” kata Rizky dengan suara berat.

Alya merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam suara Rizky yang membuatnya merasa tidak enak. Ada ketidakpastian yang begitu jelas dalam kata-katanya. “Apa itu, Rizky?” tanyanya, sedikit tidak sabar, namun penuh dengan kecemasan.

Rizky menunduk, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku sedang dihadapkan dengan sebuah keputusan besar, Alya. Sebuah pilihan yang… mungkin akan mengubah banyak hal, termasuk hubungan kita.” Rizky berhenti sejenak, lalu menatap Alya dengan pandangan yang sulit dibaca. “Aku ditawari kesempatan untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Ada kesempatan untuk belajar di luar negeri, di tempat yang aku impikan selama ini.”

Alya merasa seolah-olah seluruh dunia berhenti berputar. Tubuhnya kaku, dan kalimat Rizky terasa berat untuk diterima. Ia tahu betul apa yang dimaksud Rizky. Beberapa kali Rizky bercerita tentang cita-citanya untuk melanjutkan studi ke luar negeri, namun itu terasa begitu jauh, seperti mimpi yang hanya ada di dalam benaknya. Tetapi sekarang, tawaran itu datang dengan nyata. Ini adalah kenyataan yang tak bisa dihindari.

“Rizky…” Alya mulai berbicara, tetapi kata-katanya terhenti. Ia bingung harus merespons apa. Bagaimana mungkin mereka bisa berhadapan dengan kenyataan ini? Bagaimana mereka bisa menjaga hubungan mereka jika Rizky harus pergi jauh dari sini? Ada banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, namun tidak ada satu pun yang bisa ia jawab.

“Ini bukan keputusan yang mudah buatku, Alya,” lanjut Rizky, matanya penuh dengan kebingungan dan kekhawatiran. “Aku tahu, kalau aku pergi, akan ada banyak hal yang berubah, terutama di antara kita. Aku nggak tahu apakah hubungan ini bisa bertahan, atau justru menjadi beban untukmu. Aku nggak mau kamu merasa terbebani hanya karena aku mengambil kesempatan ini.”

Alya menatap Rizky dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dia tahu bahwa Rizky mencintainya. Dan dia juga tahu, keputusan ini bukanlah hal yang mudah untuk diambil. Namun, bagaimana dengan dirinya? Bagaimana dengan perasaan mereka berdua? Apakah mereka bisa menghadapinya, ataukah ini adalah ujian yang terlalu berat untuk hubungan mereka yang baru saja berkembang?

“Aku nggak tahu harus berkata apa, Rizky. Aku paham ini adalah kesempatan besar buat kamu. Tapi… aku juga nggak bisa mengabaikan perasaan kita. Aku takut, jika kamu pergi, kita nggak akan pernah bisa kembali seperti dulu lagi,” jawab Alya dengan suara pelan, hampir tidak terdengar.

Rizky menggenggam tangan Alya dengan erat, seolah berharap dapat memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketidakpastian ini. “Aku nggak ingin itu, Alya. Aku nggak ingin kehilangan kamu. Tapi, aku juga nggak bisa melewatkan kesempatan ini begitu saja. Aku juga nggak bisa hidup dengan menyesal seumur hidup.”

Alya terdiam, hatinya diliputi kegelisahan yang begitu dalam. Ada perasaan bingung dan takut yang bercampur aduk dalam dirinya. Apakah mereka bisa bertahan dengan jarak yang jauh? Bagaimana jika salah satu dari mereka merasa terabaikan, atau lebih buruk lagi, jika perasaan mereka pudar seiring berjalannya waktu?

“Rizky, kita berdua tahu bahwa hubungan jarak jauh itu nggak mudah. Aku takut kita akan kehilangan satu sama lain. Aku takut, nanti kita nggak bisa saling menjaga seperti sekarang,” Alya akhirnya mengungkapkan ketakutannya, yang selama ini ia pendam.

Rizky menghela napas panjang, tampak berat. “Aku juga takut, Alya. Tapi, aku nggak bisa mengabaikan kesempatan ini begitu saja. Aku juga nggak ingin hubungan ini jadi beban buat kita berdua. Kalau akhirnya kita memang harus memilih jalan yang berbeda, aku ingin kita bisa melakukannya dengan hati yang lapang.”

Alya menatap Rizky dalam-dalam, mencoba memahami perasaan pria yang telah menjadi bagian dari hidupnya ini. Namun, semakin lama ia merenung, semakin ia merasa bahwa ini adalah situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan. Mereka berdua mungkin sudah merasakan cinta yang mendalam satu sama lain, namun kenyataan hidup sering kali tidak bisa diprediksi. Kadang, cinta saja tidak cukup untuk mengatasi segala rintangan yang ada.

“Rizky… aku tahu ini keputusan yang besar, dan aku nggak bisa menghalangi mimpi kamu,” kata Alya akhirnya, suaranya berat. “Tapi, aku juga nggak bisa mengabaikan perasaan aku. Aku takut kalau kita berdua nggak bisa mempertahankan apa yang kita punya sekarang.”

Rizky menatap Alya dengan penuh pengertian. “Aku paham, Alya. Aku nggak ingin kamu merasa tertekan. Ini adalah keputusan yang harus aku buat, dan aku tahu ini juga berpengaruh ke kita berdua. Aku nggak bisa memaksakan kamu untuk ikut dengan keputusan ini. Tapi, apapun yang terjadi, aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu menghargai kamu, apa pun yang terjadi nanti.”

Alya merasakan sebuah kehangatan mengalir dalam dirinya. Meskipun ketidakpastian ini terasa begitu besar, ia menyadari satu hal—cinta mereka bukanlah sesuatu yang bisa diukur dengan jarak atau waktu. Itu adalah perasaan yang kuat, yang tumbuh dari hati yang saling memahami. Namun, keputusan ini, entah bagaimana, akan menguji kekuatan cinta mereka.

Malam itu, perasaan keduanya terasa begitu berat, namun di balik ketidakpastian yang ada, mereka tahu bahwa perasaan mereka tetap ada—meski mereka belum tahu bagaimana kelanjutannya. Yang jelas, apapun yang terjadi, mereka akan berusaha menjalani dengan hati yang terbuka.*

Bab 7: Kenangan yang Kembali Menghantui

Minggu-minggu setelah percakapan yang berat itu, Alya merasa segala sesuatunya berubah. Meskipun Rizky masih ada, meskipun mereka masih saling berkomunikasi, ada sesuatu yang tidak bisa dipungkiri—ketidakpastian yang menghantui setiap detik kebersamaan mereka. Waktu terasa berjalan lambat, seolah-olah dunia memaksa mereka untuk menghadapi kenyataan pahit, bahwa perubahan yang datang bukanlah sesuatu yang bisa dihindari.

Alya selalu mencoba untuk berpikir positif. Namun, meskipun ia ingin terlihat tegar, kenangan tentang masa lalu dan ketakutannya terhadap apa yang akan terjadi selalu mengintai di setiap langkahnya. Setiap kali melihat pesan dari Rizky, ada perasaan campur aduk yang datang—bahagia karena masih terhubung, namun takut akan kehilangan segalanya dalam waktu yang singkat.

Suatu malam, setelah Rizky mengirimkan pesan tentang rencananya yang semakin dekat untuk berangkat ke luar negeri, Alya duduk sendirian di kamarnya. Dia membuka album foto yang sudah lama tidak disentuh, mengenang masa-masa mereka bersama sebelum semuanya menjadi begitu rumit. Satu foto menarik perhatiannya. Itu adalah foto mereka berdua di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota, tempat pertama kali mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama sebagai sepasang kekasih.

Alya memandang foto itu lama. Di sana, Rizky tersenyum lebar, dan Alya, meskipun masih terlihat agak canggung pada waktu itu, bisa merasakan kebahagiaan yang memancar dari mata mereka berdua. Sejak saat itu, semuanya terasa begitu sederhana. Mereka berbicara tentang banyak hal, tentang masa depan yang tampak begitu cerah, tentang perjalanan yang ingin mereka jalani bersama. Tak ada yang terasa rumit, tak ada keraguan yang mengganggu, hanya dua hati yang saling berpadu dengan penuh harapan.

Namun, kenangan itu kini terasa begitu jauh. Semakin ia memikirkan masa lalu, semakin ia merasa takut akan perpisahan yang semakin nyata. Kenangan indah yang dahulu seakan tak terhapus, kini seolah menjadi bayang-bayang yang menghantui, mengguncang perasaan yang sudah rapuh. Ia memikirkan masa depan, dan seketika itu juga, ketidakpastian kembali menghampiri hatinya.

Kenangan tentang masa lalu bukan hanya melibatkan Rizky. Ada kenangan lain yang lebih dalam, kenangan tentang dirinya—tentang bagaimana ia dulu selalu menahan diri untuk tidak terlalu berharap, bagaimana ia selalu menjaga jarak dengan perasaan. Sebelum bertemu dengan Rizky, ia lebih memilih untuk hidup dalam kenyamanan kesendirian, meyakini bahwa cinta hanya akan mengacaukan segalanya. Namun, pertemuan dengan Rizky mengubah segalanya. Ia mulai percaya pada cinta, dan perasaan itu mulai tumbuh dengan cepat, seiring berjalannya waktu.

“Kenapa harus seperti ini?” gumamnya dalam hati, suara itu hampir tenggelam dalam suara detakan jam dinding yang tak henti-hentinya mengalun. Alya menutup album foto itu, tetapi bayangan masa lalu terus mengikutinya, memaksa dirinya untuk menghadapi perasaan yang semakin berat.

Rizky. Cinta pertama yang begitu berarti, yang datang begitu tiba-tiba, dan kini berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa mereka mungkin harus berpisah. Teringat bagaimana mereka dulu selalu berbicara tentang masa depan bersama, tentang impian yang sama, tentang harapan yang seolah tidak terbatas. Tetapi kenyataannya sekarang sangat berbeda. Ada jarak, ada waktu, dan ada banyak hal yang menghalangi mereka untuk bisa berjalan bersama seperti yang mereka inginkan.

Kenangan itu terus berputar dalam benaknya—kenangan tentang tawa mereka yang begitu tulus, tentang percakapan panjang yang tidak pernah ada habisnya, tentang semua hal kecil yang mereka lakukan bersama. Alya tahu, perasaan yang ia rasakan pada Rizky bukanlah sesuatu yang bisa dilupakan begitu saja. Tetapi apa yang harus ia lakukan jika kenyataan menyodorkan pilihan yang begitu berat?

Alya mengingat lagi, bagaimana setelah percakapan malam itu, perasaan bingung dan cemas semakin menguasai dirinya. Rizky selalu mengatakan bahwa dia tidak ingin perasaan mereka menjadi beban. Tapi bagaimana dengan perasaannya? Bagaimana ia bisa menerima kenyataan bahwa orang yang sangat ia cintai akan pergi jauh, meninggalkan semuanya di sini? Rindu yang kini menggerogoti hatinya terasa semakin kuat, semakin tak tertahankan.

Suatu malam, di tengah perenungannya, Alya terbangun karena suara ponselnya berdering. Itu adalah pesan dari Rizky. “Alya, aku… aku akan pergi dalam dua minggu. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku harap kita bisa tetap menjaga hubungan ini. Aku ingin kamu tahu, apapun yang terjadi, kamu tetap orang yang sangat berarti bagiku.”

Alya menatap pesan itu dalam diam. Kata-kata Rizky seperti pisau tajam yang mengiris hatinya. “Aku ingin kamu tahu, apapun yang terjadi…” Kalimat itu terus bergema di telinganya, membuat perasaan takut semakin mendalam. Apakah benar mereka bisa menjaga hubungan ini meskipun dengan jarak yang begitu jauh? Apakah mereka bisa tetap saling percaya, tetap saling mencintai, tanpa ada perasaan cemas yang mengganggu?

Kenangan akan masa lalu kembali menghantui Alya, tidak hanya tentang kebersamaan mereka yang penuh kebahagiaan, tetapi juga tentang ketidakpastian yang datang begitu mendalam. Ada rasa takut akan kehilangan, ada perasaan rindu yang tak terbendung, ada ketakutan bahwa hubungan ini mungkin tidak akan bertahan. Apa yang harus dilakukan saat cinta bertemu dengan kenyataan yang tak terduga?

Dengan hati yang penuh keraguan, Alya mulai menulis di buku harian kecil yang selalu ia bawa. Ia menulis tentang perasaannya yang tercabik-cabik, tentang cintanya yang tumbuh begitu dalam kepada Rizky, namun juga tentang ketakutan yang begitu besar. Bagaimana ia bisa bertahan jika semuanya berubah? Bagaimana ia bisa terus mencintai Rizky jika masa depan mereka terasa begitu kabur?

Ia menulis, “Mungkin inilah yang disebut cinta yang tak bisa dipaksakan. Cinta yang harus melepaskan jika waktunya telah tiba. Aku takut kehilanganmu, Rizky. Tetapi aku juga tahu, jika aku terlalu menggenggammu, aku mungkin akan kehilangan diriku sendiri.”

Tetesan air mata mulai membasahi buku harian itu. Alya tidak tahu apa yang akan terjadi dua minggu ke depan, tetapi ia tahu satu hal—kenangan mereka akan selalu ada dalam dirinya. Cinta itu mungkin tak terucapkan dengan kata-kata, namun itu akan terus hidup dalam kenangan yang terpatri di hati mereka berdua. Tapi apakah kenangan itu cukup untuk mengatasi ketidakpastian yang datang?

Hanya waktu yang akan menjawabnya.***

——–THE END——–

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#cintapertama#kenangan#perpisahan#rindu
Previous Post

DIBAWAH BAYANG DENDAM

Next Post

KILAU CINTA LINTAS SAMUDRA

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
KILAU CINTA LINTAS SAMUDRA

KILAU CINTA LINTAS SAMUDRA

MELANGKAH DI ANTARA DUA CINTA

MELANGKAH DI ANTARA DUA CINTA

LUKA YANG TERSEMBUNYI

LUKA YANG TERSEMBUNYI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id