Daftar Isi
- Bab 1 – Chat Pertama, Deg-Degan Juga
- Bab 2 – Pagi yang Selalu Ada Namamu
- Bab 3 – Janji Ketemu yang Terus Diundur
- Bab 4 – Ketika Hati Mulai Serius, Tapi Dia Bercanda
- Bab 5 – Tanda-tanda Red Flag yang Diabaikan
- Bab 6 – Aku yang Nunggu, Dia yang Hilang
- Bab 7 – Antara Realita dan Ekspektasi
- Bab 8 – Langkah Kecil Menuju Kebahagiaan yang Sejati
- Bab 9 – Seseorang yang Tidak Pernah Pergi
- Pertemuan yang Tak Terduga
- Kilasan Masa Lalu
- Konflik Batin
- Dialog Emosional
- Arah Baru
- Bab 10 – Membedakan Antara Pemberi Harapan dan Pemberi Kepastian
- Pertanyaan yang Mengusik
- Dialog yang Membuka Mata
- Keputusan yang Berat
- Perlahan, Namun Pasti
- Refleksi Akhir
- Bab 11 – Tawa Baru di Hati yang Lama Terluka
- Membangun Tawa dari Dalam
- Reyhan dan Kehadiran yang Menenangkan
- Liana dan Proses Penyembuhan
- Kehadiran Cinta yang Tulus
- Tawa yang Tidak Lagi Terpaksa
- Penutupan Bab
- Bab 12 – Jodoh Itu Bukan Tentang Cepat Datang, Tapi Siapa yang Bertahan
- Proses yang Tidak Bisa Dikejar-kejar
- Diuji oleh Waktu dan Jarak
- Ketika Bertahan Lebih Penting daripada Sekadar Hadir
- Belajar Membedakan antara Singgah dan Bertahan
- Jodoh yang Menjadi Proses, Bukan Tujuan
- Penutup Bab
Bab 1 – Chat Pertama, Deg-Degan Juga
Pertemuan awal lewat DM yang nggak sengaja tapi bikin deg-degan. Perkenalan sederhana yang berubah jadi rutinitas penuh candaan dan perhatian kecil.
Namanya Arga. Foto profilnya biasa aja: senyum tipis, latar belakang cafe, gaya tangan menyangga dagu. Tapi ada satu hal yang bikin dia beda—komentarnya di story Liana tentang kopi susu kemarin malam bikin Liana mikir ulang soal DM dari orang asing.
“Kopi susu di tempat itu emang enak sih. Tapi kamu yang bikin manis kayaknya.” 😅
Liana menatap layar ponselnya lama. Tangannya udah mau ngetik “wkwk”, tapi dihapus. Ganti jadi “makasih”, lalu dihapus lagi. Akhirnya dia cuma kirim emoji senyum. Standar. Aman.
Tapi siapa sangka, dari satu emoji senyum itu, obrolan malah mengalir. Mulai dari bahas kopi, lanjut ke musik, film favorit, sampai bahas soal mantan (yang katanya bikin trauma ngopi di Senopati karena putus di sana).
Arga beda. Bukan tipe yang buru-buru minta nomor WhatsApp atau ngajak video call. Tapi juga nggak terlalu basa-basi. Setiap balasan dia, ada waktu tunggu 2-5 menit. Pas. Cukup buat Liana penasaran, tapi nggak sampai insecure.
Yang bikin Liana deg-degan bukan cuma isi chat-nya. Tapi caranya memperlakukan obrolan mereka seperti hal penting—bukan sekadar iseng.
“Ngobrol sama kamu, kayak ngelepasin penat habis kerja. Tenang, tapi nggak ngebosenin.”
Kalimat itu muncul satu malam di jam yang sepi, saat Liana lagi meringkuk di tempat tidur, lampu kamar sudah redup, dan playlist lagu mellow mulai jalan. Deg-degan. Bukan karena gombalannya, tapi karena dia mulai suka cara Arga memperlakukannya.
Padahal mereka belum pernah ketemu.
Dan di situlah konflik batin Liana mulai muncul.
Dia yang selama ini selalu menghindari “cowok random dari Instagram”, tiba-tiba kepikiran buat stalking semua highlight dan reels Arga.
Ending Bab:
Di akhir bab, Liana memandangi layarnya yang menyala. Jari-jarinya menggantung di atas keyboard.
“Aku suka cara kamu balas chat.”
Tapi dia nggak kirim.
Dia cuma tersenyum, lalu mengetik ulang:
“Besok kerja jam berapa?”
Ringan, tapi cukup untuk tetap dekat.
Kalau kamu ingin bab ini dikembangkan jadi full scene lengkap dengan dialog dan suasana lebih detail, aku bisa bantu lanjutkan. Mau dibuat dalam gaya first person atau narasi orang ketiga?
Bab 2 – Pagi yang Selalu Ada Namamu
Kebiasaan saling menyapa di pagi hari mulai terasa manis. Hati mulai berharap, tapi akal masih mencoba waspada.
Bunyi alarm dari ponsel Liana masih sama seperti biasanya: lagu mellow dengan petikan gitar akustik. Tapi sekarang, ada satu rutinitas baru yang membuat pagi-paginya terasa beda. Bukan kopi. Bukan playlist. Tapi notifikasi dari seseorang yang kini mulai mengisi ruang di pikirannya: Arga.
“Pagi, Liana. Udah sarapan belum? Jangan cuma minum kopi, nanti lambungmu protes kayak kemarin.”
Pesan itu muncul pukul 06.42. Sejak kapan ada orang yang begitu perhatian bahkan sebelum matahari naik sempurna?
Liana tersenyum kecil. Bukan karena pesan itu luar biasa manis. Tapi karena rasanya… hangat. Akrab. Seolah dia benar-benar sedang diinginkan untuk tetap baik-baik saja hari ini.
Setiap pagi, entah kenapa, notifikasi dari Arga selalu muncul di waktu yang hampir sama. Seperti sudah dijadwalkan. Seperti… sudah jadi bagian dari hidupnya.
Padahal mereka belum pernah bertemu.
Liana membalas dengan foto roti bakar dan secangkir teh manis yang baru saja dibuatnya. Caption-nya singkat:
“Pagi juga, chef Arga. Sarapanku disetujui nggak, nih?”
Balasan Arga muncul lima menit kemudian disertai emoji ceklis hijau dan stiker chef kartun. Sepele, tapi cukup buat Liana senyum sambil nyuap sarapannya pelan-pelan.
Dalam Hati Liana:
“Kenapa ya, rasanya kayak aku sedang menjalani hubungan tak resmi? Tanpa status, tanpa janji, tapi penuh perhatian yang tak pernah kulupa.”
Setiap pagi, Liana merasa ada yang menantinya bangun. Ada yang ingin tahu kabarnya. Dan perlahan, rutinitas itu jadi candu. Mencari nama Arga sebelum buka notifikasi lain. Menunggu balasan tanpa sadar mengecek layar tiap lima menit.
Tapi di balik semua rasa manis itu, mulai tumbuh satu pertanyaan yang belum punya jawaban:
“Kalau selama ini cuma dari chat aja bisa sebahagia ini, gimana kalau suatu hari kita ketemu dan ternyata… aku berharap lebih?”
Ending Bab:
Pagi itu ditutup dengan Arga mengirim voice note singkat berisi gumaman lagu lama yang Liana suka. Suaranya agak serak, tapi jelas niatnya bukan untuk pamer suara—lebih ke menunjukkan bahwa dia ada.
Dan Liana? Dia memutar voice note itu dua kali. Lalu tidur siang dengan senyum di wajah.
Kalau kamu ingin melanjutkan ke Bab 3 atau memperluas kisah ke versi first person penuh, aku siap bantu! Mau dibuat lebih mellow, lucu, atau mulai ada konflik kecil?
Bab 3 – Janji Ketemu yang Terus Diundur
Harapan untuk kopi darat makin tinggi, tapi janji ketemu selalu gagal. Apakah dia serius, atau cuma ngulur waktu?
Berikut pengembangan cerita dari Bab 3 – Janji Ketemu yang Terus Diundur dalam novel “Jodohku, Semoga Bukan PHP”:
Tiga bulan sudah Liana dan Arga saling berkabar. Mulai dari chat pagi hari, kirim meme lucu saat istirahat kerja, sampai voice note sebelum tidur. Rasanya, Arga bukan sekadar teman chatting—ia sudah seperti sosok yang hadir nyata di keseharian Liana. Hanya satu yang belum pernah terjadi: pertemuan langsung.
Padahal, Arga sendiri yang berkali-kali mengusulkan.
“Minggu depan, ya. Kita ketemu. Aku penasaran sama senyummu yang selalu kamu samarkan lewat emoji.”
Liana masih ingat betul pesan itu. Hatinya sempat deg-degan, jari-jari sampai dingin saat membalas dengan:
“Beneran mau ketemu?”
Tapi seminggu berlalu. Lalu dua minggu. Dan minggu berikutnya, alasan demi alasan datang.
“Maaf, kerjaan numpuk.”
“Bokap sakit, aku harus pulang kampung.”
“Lagi nggak enak badan. Nanti aja, ya?”
Liana mengerti, tentu. Hidup tak melulu soal janji temu. Tapi semakin sering ditunda, semakin muncul pertanyaan di dalam hatinya: Apakah aku sedang digantung? Atau ini cuma ilusi perasaan sepihak?
Suatu malam, Liana bertanya tanpa basa-basi:
“Arga, jujur aja deh. Kamu emang belum siap ketemu? Atau… emang nggak mau ketemu?”
Voice note Arga datang beberapa menit kemudian. Suaranya terdengar berat.
“Bukan nggak mau. Aku pengin banget. Tapi aku takut… kalau kita ketemu, kamu kecewa. Kamu lihat aku dan ternyata nggak seperti yang kamu bayangin. Dan semua ini… hancur.”
Dalam hati Liana:
“Lucu ya. Kita bisa saling jatuh hati tanpa pernah bertemu. Tapi juga bisa saling menyakiti tanpa pernah menyentuh.”
Ending Bab:
Liana menatap layar ponselnya lama. Di ujung sana, ada seseorang yang katanya takut mengecewakan, tapi tanpa sadar sudah membuatnya menunggu terlalu lama. Bukan masalah tampang. Bukan soal penampilan. Tapi kejujuran dan usaha.
“Kalau kamu aja takut bertemu dengan versi aslimu, gimana aku bisa percaya bahwa perasaan ini nyata?”
Untuk pertama kalinya, Liana tidak membalas pesan Arga malam itu.
Ingin lanjut ke Bab 4 – “Tanda Tanya yang Tak Kunjung Terjawab”? Mau dibawa ke arah lebih emosional, dramatis, atau mulai muncul karakter baru?
Bab 4 – Ketika Hati Mulai Serius, Tapi Dia Bercanda
Rasa mulai tumbuh, tapi sinyal dari dia makin membingungkan. Antara baper dan takut dibilang halu.
Liana mulai menyadari sesuatu: perasaan yang tumbuh itu tak lagi ringan. Bukan sekadar suka, bukan sekadar nyaman—tapi harapan yang diam-diam mulai dibangun. Ia mulai membayangkan bagaimana jika Arga benar-benar menjadi bagian dari hidupnya. Ia bahkan pernah tanpa sadar menyimpan tangkapan layar percakapan manis mereka, sebagai pengingat bahwa rasa ini pernah tumbuh.
Tapi belakangan, Arga mulai berubah.
Balas chat makin lama.
Candaan makin tidak jelas.
Dan saat Liana mencoba bicara serius, Arga justru menertawakannya.
“Eh, kamu kalau ngomong kayak gitu, jadi kayak sinetron, Li,” balas Arga saat Liana mengungkapkan perasaannya.
“Aku beneran ngerasa hubungan ini udah lebih dari sekadar teman ngobrol, Ga.”
Arga cuma ketawa.
“Yah, jangan baper, dong. Kita kan seru-seruan aja.”
Seru-seruan?
Kata itu seperti tamparan bagi Liana. Ternyata perasaan yang dia rawat, dijaga, dan dirawat setiap hari… dianggap ringan, seperti candaan lewat layar. Ia menatap layar ponsel dengan napas tercekat.
“Jadi semua ini cuma permainan buat kamu?” pikirnya.
Malam itu Liana duduk di balkon kosnya, menatap langit yang gelap tanpa bintang.
“Salah aku apa, ya? Salah karena terlalu berharap? Salah karena percaya kamu punya rasa yang sama?”
Ia membuka kembali percakapan lama. Semua kata manis, semua perhatian, semua janji ingin bertemu. Semuanya kini terasa seperti skrip dalam komedi romantis yang tak pernah jadi nyata.
Ending Bab:
Liana memutuskan satu hal malam itu:
“Aku nggak bisa terus menggantungkan hati pada seseorang yang cuma menganggapku hiburan. Hati ini serius, dan aku pantas dicintai oleh seseorang yang menganggapku nyata.”
Ia mengetik pesan terakhir untuk Arga:
“Kalau kamu cuma anggap ini candaan, anggap aja aku keluar dari permainan.”
Lalu ia tekan delete… dan tak jadi mengirimnya.
“Besok aja,” pikirnya.
Padahal ia tahu, besok pun luka ini tetap akan terasa sama.
Ingin dilanjutkan ke Bab 5 – “Tanda Tanya yang Tak Kunjung Terjawab”? Ingin dibawa ke arah introspeksi Liana atau pertemuan tak terduga yang membuka mata?
Bab 5 – Tanda-tanda Red Flag yang Diabaikan
Sikap dia mulai berubah, mulai ghosting tipis-tipis. Tapi karena sayang, semua alasan tetap dimaklumi.
Liana mulai menelusuri kembali semua percakapan dan kenangan yang selama ini ia simpan dalam hati. Di tengah patahnya harapan, ia perlahan menyadari: ternyata tanda-tanda sudah ada sejak awal. Ia hanya terlalu sibuk menambal keyakinannya sendiri, hingga lupa bahwa cinta juga butuh konsistensi dan kejujuran.
Dulu, Arga sering hilang tanpa kabar, berdalih sibuk, tapi mendadak aktif kalau dia butuh teman cerita.
Dulu, Arga tak pernah benar-benar menjawab ketika Liana menyinggung soal masa depan, selalu mengelak dengan candaan.
Dan dulu, saat Liana merasa ada yang salah, ia malah menenangkan diri dengan kalimat:
“Dia mungkin memang belum siap. Aku harus lebih sabar.”
Tapi hari ini, semua itu tak terdengar seperti pengertian lagi.
Melainkan seperti pengabaian yang sengaja dibungkus manis.
Flashback:
Suatu malam, Arga pernah tiba-tiba membatalkan video call yang sudah dijadwalkan, dengan alasan “lagi bareng temen lama.”
Liana hanya menjawab, “Nggak apa-apa, lain kali aja.”
Padahal ia sudah menyiapkan dirinya berjam-jam, memastikan penampilannya rapi hanya demi bertemu lewat layar.
Lalu saat Arga pernah berkata,
“Aku bukan cowok romantis yang bisa kayak di drama-drama.”
Liana tertawa, “Nggak masalah, aku juga bukan cewek drama.”
Tapi kenyataannya? Ia sedang hidup dalam naskah yang Arga tulis dengan banyak plot twist.
Konflik Internal:
Liana bergulat dengan kenyataan bahwa ia tak sedang dicintai, ia sedang digunakan. Sebagai pelampiasan, sebagai pelarian, sebagai hiburan ketika Arga sedang bosan.
“Aku melihat red flag-nya… tapi aku pura-pura buta, karena aku ingin percaya.”
Liana pun akhirnya membuka diri ke sahabatnya, Rani. Dan dengan jujur Rani berkata:
“Li, cinta itu nggak bikin kamu bingung, nggak bikin kamu ngerasa kurang, apalagi terus-terusan bertanya.”
Ending Bab:
Liana duduk sendiri di kafe tempat mereka dulu janjian bertemu tapi Arga tak pernah datang. Kali ini, ia tak lagi menunggu. Ia memesan kopi favoritnya, lalu membuka catatan di ponsel.
Judul catatan itu: “Daftar Red Flag yang Nggak Akan Aku Abaikan Lagi.”
Ia mulai menulis:
- Hilang tanpa kabar berhari-hari
- Selalu menghindar dari obrolan serius
- Menganggap perhatian sebagai beban
- Menghindar ketika dibutuhkan
- Tidak pernah menepati janji
Ia tersenyum pahit. Tapi kali ini senyum itu membawa satu hal baru: kesadaran.
Ingin dilanjutkan ke Bab 6 – “Logika yang Akhirnya Bersuara”? Bab ini bisa menjadi titik balik emosional dan mental bagi Liana. Mau dilanjut?
Bab 6 – Aku yang Nunggu, Dia yang Hilang
Titik di mana tokoh utama benar-benar ditinggal tanpa penjelasan. Hati remuk, tapi tetap diam.
Berikut pengembangan cerita dari Bab 6 – Aku yang Nunggu, Dia yang Hilang dalam novel “Jodohku, Semoga Bukan PHP”:
Hari itu, Liana duduk di halte kecil dekat taman kota, tempat yang seharusnya menjadi lokasi pertemuan mereka untuk pertama kalinya. Sudah tiga kali janji temu dibatalkan oleh Arga, dan kali ini… tak ada pembatalan. Tak ada kabar. Tak ada pesan. Hanya diam.
Ponselnya digenggam erat. Notifikasi hanya datang dari aplikasi belanja dan pesan-pesan otomatis dari grup keluarga. Tidak ada tanda-tanda dari Arga. Lagi.
Jam sudah menunjukkan lewat satu jam dari waktu yang dijanjikan. Angin sore meniup rambut Liana, seakan ingin membisikkan kenyataan yang selama ini ia hindari: dia nggak datang lagi.
Flashback:
Satu minggu sebelumnya, Arga begitu meyakinkan.
“Serius, Li. Kali ini aku nggak akan batal. Aku juga pengen ketemu kamu.”
Kata-kata yang diulang-ulang, begitu manis, begitu menenangkan—tapi juga begitu kosong.
Konflik Emosional:
Liana mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Apakah dia terlalu berharap? Terlalu naif? Terlalu mudah percaya?
Matanya berkaca-kaca, bukan karena kecewa pada Arga, tapi karena kecewa pada dirinya yang terus memilih bertahan meski tahu dia sedang ditinggalkan secara perlahan.
“Aku nunggu, dia nggak datang. Aku nunggu, dia nggak bilang apa-apa. Aku nunggu… dia malah hilang.”
Sore itu, tak ada hujan. Tapi dada Liana seperti diguyur air dingin. Sepi. Hampa. Dan akhirnya… sadar.
Konflik Internal:
Ia pulang dengan langkah gontai, menatap layar ponsel kosong, lalu memutuskan untuk mengetik:
“Arga, kamu ke mana?”
Tidak ada balasan.
Satu jam… dua jam… tiga jam berlalu.
Akhirnya pesan itu hanya dibaca. Tanpa jejak biru. Tanpa kata maaf. Tanpa penjelasan.
Ending Bab:
Malamnya, Liana berdiri di depan cermin.
Matanya sembab. Tapi ada satu hal yang berubah:
Tatapan itu mulai lelah… dan ingin sembuh.
Ia membuka WhatsApp, membuka obrolan dengan Arga, lalu memindahkannya ke arsip.
“Yang ngilang nggak pantas dicari. Yang nggak datang nggak layak ditunggu.”
Perlahan, Liana mulai menyusun ulang keberaniannya untuk melepaskan seseorang yang bahkan tak pernah benar-benar hadir.
Bab 7 – Antara Realita dan Ekspektasi
ini bisa mengangkat momen pencerahan emosional Liana saat ia mulai berani memilih dirinya sendiri. Mau?
Hari-hari setelah Liana menghapus Arga dari daftar obrolan WhatsApp, sebuah keheningan yang berbeda menghampiri hidupnya. Di satu sisi, ada rasa lega yang perlahan merayap masuk, tapi di sisi lain, masih ada sedikit ruang kosong yang dipenuhi oleh harapan yang tak pernah terwujud.
Liana duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang sudah lama mati. Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, namun pikirannya masih mengembara ke percakapan-percakapan yang pernah dia alami dengan Arga. Harapan-harapan yang ia bangun bersama dia seakan menyatu dengan ketidakpastian yang tak pernah berujung.
“Kenapa aku selalu berharap lebih pada orang yang jelas-jelas nggak bisa memberi?” gumamnya pelan.
Liana membuka kembali chat lama mereka. Beberapa kalimat Arga yang dulu terdengar seperti janji kini hanya menjadi bayang-bayang kosong. “Aku nggak bakal bikin kamu kecewa.”
“Kita pasti ketemu, Li, nanti…”
“Aku serius kok, nanti ada waktunya kita jalan bareng.”
Semua janji yang terlontar kini hanya terasa seperti angin lalu. Bagaimana bisa dia begitu mudah percaya, seolah dia hanya menerima omongan tanpa memperhitungkan kenyataan yang ada di depan mata?
Konflik Internal:
Liana merasa seolah-olah hidupnya dipenuhi ekspektasi yang tak pernah menjadi kenyataan. Dalam hatinya, dia tahu bahwa apa yang dia harapkan dari Arga—sebuah hubungan yang nyata, sebuah komitmen—hanya akan menjadi sebuah mimpi yang tidak pernah diwujudkan. Tapi kenyataannya, dia masih merindukan sosok itu. Rasa rindu yang aneh, yang terkadang datang saat dia ingin melupakan semuanya.
“Apa yang salah dengan aku?” Liana sering bertanya-tanya dalam diam. “Kenapa aku harus merasa kosong setelah dia pergi?”
Liana merasa dirinya terjebak antara ekspektasi tinggi tentang cinta yang ideal, dan kenyataan bahwa hidup tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Dalam dunia nyata, tidak semua orang bisa menjadi seperti yang kita bayangkan. Tidak semua janji bisa ditepati, dan tidak semua hubungan bisa bertahan.
Pertemuan Tak Terduga:
Suatu hari, di kafe favoritnya yang dulu pernah menjadi tempat pertama mereka bertemu, Liana tak sengaja bertemu dengan Aldo, teman lama yang pernah dekat dengannya beberapa tahun yang lalu. Aldo, yang kini sudah berkeluarga, menyapa Liana dengan hangat.
“Li, sudah lama ya nggak ketemu. Kamu baik-baik aja?”
Liana tersenyum tipis, meski hatinya masih diliputi kegelisahan. Aldo mulai bercerita tentang keluarganya yang kini bahagia, dan bagaimana dia merasa bahwa hidupnya berjalan sesuai dengan jalur yang seharusnya. Semua yang Aldo katakan begitu sederhana, tapi Liana merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ada ketenangan dalam kata-kata Aldo, yang membuat Liana sadar bahwa kenyataan hidup, meski tidak sempurna, kadang bisa memberi kebahagiaan yang lebih besar daripada ekspektasi yang berlebihan.
Kenyataan Baru:
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, Liana mulai membiarkan dirinya untuk menerima kenyataan. Dia mulai melihat hubungan dengan Arga sebagai bagian dari proses hidup yang mengajarkan sesuatu yang penting: tidak semua hal bisa kita kontrol. Cinta mungkin datang dengan segala ketidakpastian, tetapi itu tidak berarti dia harus tetap menunggu pada sesuatu yang tidak pasti.
Liana mulai menerima bahwa ekspektasi yang tinggi kadang justru menjadi beban, dan belajar untuk menikmati setiap momen dengan lebih realistis. Dia mulai membuka hati untuk kemungkinan lain, untuk kebahagiaan yang sederhana, bukan berdasarkan pada idealisme semata.
Ending Bab:
Liana menutup laptopnya dan berdiri di depan jendela, menatap langit senja yang mulai memerah. Dalam keheningan itu, ia merasakan sebuah ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak ada lagi ekspektasi tinggi yang membebani, hanya ada diri Liana yang kini lebih siap menerima hidup dalam segala bentuknya—baik itu suka maupun duka.
“Kenyataan itu lebih indah daripada yang aku bayangkan,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Senyum kecil muncul di wajah Liana, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti dirinya sendiri lagi.
Ingin melanjutkan ke Bab 8 – Langkah Kecil Menuju Kebahagiaan yang Sejati? Bab ini bisa melanjutkan perjalanan Liana dalam belajar untuk kembali membuka diri, bukan hanya kepada cinta, tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Bab 8 – Langkah Kecil Menuju Kebahagiaan yang Sejati
Babak penuh perjuangan. Melepaskan bukan karena sudah tidak sayang, tapi karena sadar pantas untuk dicintai dengan sungguh-sungguh.
Liana mengatur langkahnya dengan hati-hati, melangkah keluar dari zona nyaman yang selama ini mengikatnya pada kenangan dan harapan yang tak pernah terwujud. Hari-hari yang sebelumnya dipenuhi dengan pertanyaan tentang cinta dan perasaan yang tak terbalas kini mulai terasa lebih ringan. Ada kedamaian yang mulai menyelimuti hatinya, meski jalan menuju kebahagiaan masih panjang.
Hari itu, Liana memutuskan untuk pergi ke taman kota sendirian. Ia tidak merasa perlu lagi menunggu seseorang untuk menemani, karena kini, dia sudah bisa merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Langkah pertama menuju kebahagiaan yang sejati adalah melepaskan beban-beban yang selama ini ia bawa, terutama beban cinta yang tidak terbalaskan.
Konflik Internal:
Namun, meski langkahnya terasa ringan, terkadang bayang-bayang masa lalu masih menguntit. Liana tak bisa sepenuhnya mengabaikan rasa sakit yang datang setiap kali memikirkan Arga. Ada bagian dari dirinya yang masih berharap, meski tahu bahwa hubungan mereka sudah selesai tanpa kata penutupan yang jelas. Seperti sebuah cerita yang dibaca tanpa bab terakhir.
“Apa yang kurang dalam diriku hingga aku merasa begitu dihargai hanya ketika aku menerima cinta dari orang lain?” pikir Liana, duduk di bangku taman dengan secangkir kopi di tangan.
Dia merenung dalam keheningan, merasa bahwa selama ini dirinya terlalu fokus mencari kebahagiaan melalui orang lain. Liana sadar bahwa ia harus belajar untuk memberi kebahagiaan itu kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Bahwa cinta yang sejati, dimulai dari mencintai diri sendiri.
Pertemuan yang Menenangkan:
Di tengah perenungannya, seseorang mendekat. Seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyapanya.
“Hei, kamu sendirian? Aku juga suka datang ke sini untuk merenung,” kata wanita itu sambil duduk di sebelah Liana.
Ternyata, wanita itu adalah seorang seniman lokal yang sudah lama tinggal di kota tersebut. Namanya Tia, dan dia menceritakan betapa seringnya dia merasa kesepian di masa muda, tetapi akhirnya menemukan kebahagiaan dengan belajar menjalani hidup dengan penuh rasa syukur dan tidak terlalu menuntut banyak hal dari orang lain.
Tia bercerita tentang proses dirinya menemukan kedamaian batin, dengan menerima segala kekurangan dan ketidaksempurnaan hidup. Dia menekankan bahwa, “Cinta itu bukan tentang siapa yang ada di sampingmu, tapi bagaimana kamu bisa mencintai dirimu sendiri dengan tulus.”
Liana mendengarkan dengan penuh perhatian. Tia mengingatkannya tentang pentingnya memberi ruang untuk diri sendiri, untuk tumbuh dan berkembang tanpa perlu bergantung pada orang lain. Kadang, kebahagiaan datang dari langkah kecil yang kita ambil untuk menemukan diri kita sendiri.
Proses Penerimaan:
Hari demi hari, Liana mulai menanamkan dalam dirinya bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang diberikan oleh orang lain. Kebahagiaan itu datang dari dalam diri, dari menerima diri apa adanya, dan memberi ruang untuk berkembang. Liana mulai kembali mengejar minatnya yang dulu sempat terlupakan: menulis. Dia menulis cerita-cerita kecil tentang perjalanannya mencari kedamaian batin, tentang cinta yang tidak harus memiliki, tentang menerima ketidakpastian.
Tia dan Liana mulai menjadi teman dekat. Mereka sering bertemu di taman untuk berbicara tentang kehidupan, seni, dan bagaimana keduanya bisa menjadi lebih baik tanpa terikat pada masa lalu. Setiap pertemuan membuat Liana merasa semakin kuat, semakin yakin bahwa ia tak lagi membutuhkan orang lain untuk merasa lengkap.
Transformasi:
Liana menyadari bahwa cinta yang sejati datang saat kita bisa mengasihi diri kita sendiri dengan sepenuh hati. Saat kita menerima kekurangan dan kelemahan kita tanpa rasa malu atau penyesalan, saat kita berdamai dengan semua hal yang pernah membuat kita terluka. Saat kita berhenti mencari kebahagiaan di luar diri, dan mulai menemukannya di dalam.
Langkah kecilnya menuju kebahagiaan sejati bukan berarti ia melupakan masa lalu atau mengabaikan perasaan yang pernah ada. Namun, Liana tahu kini bahwa ia memiliki kontrol atas hidupnya sendiri, dan bahwa dirinya layak untuk bahagia tanpa harus menunggu seseorang untuk memberikannya.
Ending Bab:
Liana menatap langit senja yang mulai berubah warna. Senyum tipis terukir di wajahnya, bukan karena kebahagiaan yang datang dari luar, tetapi karena dia akhirnya menemukan kebahagiaan yang sudah lama dia cari, yang selama ini tersembunyi dalam dirinya sendiri.
“Kadang kita harus kehilangan sesuatu untuk menemukan diri kita sendiri,” bisiknya dalam hati, merasa seperti seseorang yang baru saja terlahir kembali.
Dengan penuh keyakinan, Liana melangkah pulang, menyadari bahwa setiap langkah kecil yang ia ambil kini membawanya semakin dekat pada kebahagiaan sejati—sebuah kebahagiaan yang tidak bergantung pada orang lain, tetapi pada bagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Dengan bab ini, perjalanan Liana dalam menemukan kebahagiaan sejati berlanjut, dan cerita bisa melanjutkan ke Bab 9 – Menjadi Versi Terbaik dari Diri Sendiri, di mana Liana lebih fokus pada pengembangan diri dan mengejar impian-impian yang sempat tertunda.
Bab 9 – Seseorang yang Tidak Pernah Pergi
Saat mulai sembuh, hadir seseorang yang sejak dulu diam-diam peduli. Bukan rayuan manis, tapi tindakan nyata.
Hari itu hujan turun pelan, seperti mengetuk pelan-pelan pintu masa lalu yang perlahan mulai terbuka kembali. Liana sedang membaca buku di kafe langganannya ketika suara yang familiar menyapanya dari belakang.
“Masih suka baca buku sambil ngopi ya?”
Suara itu membuat jantungnya berdegup tak karuan.
Ia menoleh pelan, dan di sana berdiri Reyhan — seseorang dari masa lalunya yang pernah singgah sebentar namun meninggalkan jejak yang dalam. Bukan Arga, bukan pula seseorang yang pernah dia perjuangkan habis-habisan. Reyhan adalah pria yang diam-diam selalu hadir di latar belakang hidupnya, menemani dalam diam, tanpa pernah benar-benar pergi.
Pertemuan yang Tak Terduga
Reyhan duduk di hadapannya, masih dengan senyum lembut yang sama seperti dulu. Obrolan mereka mengalir begitu saja, seolah waktu tidak pernah menciptakan jarak. Reyhan tidak menanyakan apa yang terjadi selama ini, tidak menyudutkan atau menyentuh luka. Ia hanya hadir—dan itu cukup.
“Aku sempat lihat kamu beberapa kali, tapi selalu nunggu waktu yang pas buat nyapa,” kata Reyhan.
Liana mengangguk kecil. Di dalam hatinya, ada rasa hangat yang mulai muncul. Reyhan memang tak pernah pergi. Ia bukan sosok yang mengumbar janji manis, bukan pula yang membuat Liana terbang dengan harapan. Tapi ia ada, konsisten, tanpa pamrih. Ia selalu menjadi seseorang yang siap mendengarkan, bahkan ketika tidak diminta.
Kilasan Masa Lalu
Liana teringat bagaimana Reyhan dulu diam-diam membantunya mengerjakan skripsi saat dia kelelahan, bagaimana ia selalu jadi yang pertama mengucapkan “semangat” setiap kali Liana akan menghadapi sesuatu penting, meski hanya lewat pesan singkat. Liana, yang dulu terlalu sibuk mengejar cinta dari orang yang salah, baru menyadari bahwa yang tulus sering kali tak bersuara nyaring.
Konflik Batin
Malamnya, Liana duduk di kamarnya memikirkan pertemuan itu. Perasaannya campur aduk. Ia tidak ingin mengulang kesalahan dengan menggantungkan kebahagiaan pada seseorang lagi. Namun, dia juga tidak bisa memungkiri bahwa kehadiran Reyhan membawa rasa tenang yang berbeda.
“Apakah ini cinta, atau hanya rasa nyaman yang datang karena luka mulai sembuh?” pikirnya dalam diam.
Liana mulai menulis lagi malam itu, mencurahkan isi hati di blog pribadinya, sebuah kebiasaan yang dulu dia tinggalkan. Tulisannya bukan tentang Reyhan, tapi tentang seseorang yang tak pernah pergi, tentang ketulusan yang diam-diam menjaga.
Dialog Emosional
Beberapa hari kemudian, mereka bertemu lagi. Kali ini, Liana memberanikan diri bertanya,
“Kenapa dulu kamu nggak pernah bilang apa-apa?”
Reyhan hanya tersenyum.
“Karena aku tahu kamu belum siap untuk melihat seseorang yang hanya berdiri di belakangmu. Aku lebih pilih ada untukmu, daripada harus kehilanganmu karena menuntut sesuatu.”
Jawaban itu membuat Liana terdiam. Ada kejujuran yang dalam di dalamnya—sebuah cinta yang tidak meminta balasan, hanya ingin ada.
Arah Baru
Di akhir bab ini, Liana belum memutuskan apa-apa. Tapi dia tahu, ada seseorang yang tak pernah benar-benar pergi darinya, dan mungkin—hanya mungkin—dia bisa belajar membuka hatinya lagi. Bukan untuk mengisi kekosongan, tapi untuk berjalan berdampingan.
“Mungkin, bahagia itu bukan tentang menemukan orang baru. Tapi menyadari bahwa yang lama tak pernah benar-benar meninggalkan kita.”
Dengan menutup bab ini, pembaca diajak melihat bahwa kadang, cinta tidak datang dalam bentuk kembang api yang meledak, tapi seperti lilin kecil yang terus menyala, bahkan saat angin kencang datang menerpa.
Apakah kamu ingin saya lanjutkan ke Bab 10 – Belajar Memulai, Bukan Mengulang?
Bab 10 – Membedakan Antara Pemberi Harapan dan Pemberi Kepastian
Belajar membedakan cinta yang tulus dan cinta yang cuma pintar bermain kata. Ada pelajaran penting tentang mengenal nilai diri sendiri.
Liana duduk di kursinya di kafe, menatap secangkir kopi yang sudah hampir dingin. Hujan masih turun di luar, menambah kesunyian yang mendalam dalam hatinya. Beberapa hari setelah pertemuan dengan Reyhan, pikirannya masih terombang-ambing antara harapan dan kenyataan. Hati Liana yang mulai terbuka untuk Reyhan kini dihantui oleh kebingungannya sendiri.
Dia merasa seperti berada di persimpangan jalan—antara seseorang yang selalu memberi harapan tanpa jaminan dan seseorang yang menawarkan kepastian dengan cara yang lebih sederhana. Tapi, mana yang lebih penting? Mana yang lebih membuatnya merasa utuh?
Pertanyaan yang Mengusik
Liana tidak bisa tidur malam itu. Pertanyaan yang menggantung di benaknya semakin hari semakin sulit untuk diabaikan. Apakah dia hanya terjebak dalam harapan yang tak pasti, atau apakah dia akhirnya menemukan seseorang yang bisa memberi kepastian?
Pemberi harapan itu adalah sosok yang membuatnya terbang tinggi, menggantungkan ekspektasi pada janji-janji manis. Sedangkan pemberi kepastian adalah seseorang yang lebih tenang, yang tidak membangkitkan ilusi besar, tetapi selalu ada ketika dibutuhkan.
Di masa lalu, Liana pernah terjebak dalam hubungan yang hanya memberi harapan. Harapan yang membuatnya terluka ketika kenyataan tak sesuai dengan yang dia bayangkan. Lalu, apakah Reyhan termasuk dalam kategori pemberi harapan, ataukah ia bisa menjadi pemberi kepastian yang selama ini dia butuhkan?
Dialog yang Membuka Mata
Hari berikutnya, Reyhan mengajak Liana bertemu. Mereka duduk di taman kota, sebuah tempat yang selalu membawa mereka pada kenangan lama. Di sana, Reyhan berbicara dengan cara yang berbeda—tidak seperti biasanya yang penuh dengan candaan, tetapi lebih serius.
“Liana, aku tahu kita belum membicarakan ini, tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Aku bukan orang yang pandai menulis janji atau kata-kata manis. Aku hanya bisa memberikan kepastian. Aku tidak akan menjanjikan apapun selain bahwa aku akan selalu ada jika kamu membutuhkan.”
Liana tertegun mendengar kata-kata Reyhan. Terkadang, pemberi harapan berbicara banyak tentang masa depan yang indah, tetapi pemberi kepastian justru berbicara tentang hadir di sini dan sekarang—dalam segala kekurangan dan ketidaksempurnaan.
“Jadi, kamu tidak akan pergi, ya?” Liana bertanya, perlahan.
Reyhan tersenyum lembut.
“Tidak, aku tidak akan pergi. Aku tidak akan menghilang, Liana. Tapi itu bukan karena aku punya banyak kata-kata manis untukmu, melainkan karena aku percaya bahwa terkadang, yang kamu butuhkan bukanlah janji. Kamu hanya butuh seseorang yang tetap ada tanpa perlu berkata banyak.”
Keputusan yang Berat
Liana terdiam, mencoba menyaring kata-kata itu dalam pikirannya. Semua yang selama ini dia impikan tentang cinta—romansa yang penuh janji, harapan yang melambung tinggi—ternyata hanyalah ilusi.
Dia teringat pada Arga, pria yang dulu mengisi sebagian besar hidupnya. Arga sering memberi harapan tanpa kepastian, menjanjikan masa depan yang tak kunjung datang. Pada akhirnya, Liana sadar, harapan-harapan itu hancur begitu saja ketika kenyataan tak sesuai dengan apa yang dia bayangkan. Tetapi Reyhan, yang datang dengan ketulusan dan kejelasan, menawarkan sesuatu yang jauh lebih berharga: kepastian.
Liana akhirnya tersadar. Dalam hidup, terkadang kita membutuhkan seseorang yang tidak hanya memberi kita harapan untuk masa depan, tetapi juga seseorang yang memberi kita kepastian untuk hari ini. Kepastian bahwa dia akan ada, meskipun dunia sedang bergejolak.
Perlahan, Namun Pasti
Beberapa minggu berlalu setelah percakapan itu. Liana mulai membangun hidupnya kembali dengan langkah yang lebih hati-hati. Ia tidak ingin terjebak dalam lingkaran harapan yang tak pasti lagi. Namun, ia juga tidak ingin menutup hatinya untuk kemungkinan yang ada. Reyhan memberi ruang bagi Liana untuk berkembang, tidak membebani dengan ekspektasi besar, tetapi hadir dengan ketulusan yang sederhana.
Suatu malam, Liana menulis di blog pribadinya, sesuatu yang baru ia sadari.
“Ada kalanya kita terlalu sibuk mencari cinta yang indah dengan janji-janji manis, hingga lupa bahwa yang kita butuhkan mungkin hanya seseorang yang akan tetap ada, tanpa banyak kata. Cinta yang datang tanpa harapan berlebihan, tetapi penuh dengan kepastian.”
Liana menutup laptopnya dan menatap langit malam yang cerah. Terkadang, hal-hal yang paling berarti dalam hidup datang dengan cara yang paling sederhana. Dan untuk pertama kalinya, Liana merasa bahwa dia tidak perlu lagi mencari cinta yang sempurna. Dia hanya perlu seseorang yang bisa memberinya kepastian.
Refleksi Akhir
Di bab ini, pembaca dibawa untuk merenungkan antara harapan yang indah namun menipu dan kepastian yang lebih nyata namun kadang terasa kurang membangkitkan gairah. Namun pada akhirnya, Liana memahami bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dengan harapan yang melambung tinggi. Kepastian yang ditawarkan Reyhan mungkin lebih sederhana, namun jauh lebih berarti dalam hidupnya yang sudah cukup penuh dengan ketidakpastian.
Apakah Liana akan memutuskan untuk menerima Reyhan dan memberi hubungan ini kesempatan? Atau akankah dia kembali terjebak dalam perasaan yang hanya menawarkan harapan tanpa jaminan? Bab berikutnya akan mengungkap bagaimana Liana akhirnya memilih untuk membuka hatinya pada kenyataan yang lebih matang.
Apakah kamu ingin saya lanjutkan ke Bab 11 – Menyusun Kembali Cinta yang Terpecah?
Bab 11 – Tawa Baru di Hati yang Lama Terluka
Kehidupan mulai penuh warna kembali. Luka masih ada, tapi sudah tak lagi berdarah.
Liana duduk di balkon apartemennya, menatap ke luar jendela. Pagi itu, matahari bersinar cerah, dan angin sepoi-sepoi mengusap wajahnya. Ia tersenyum pelan, merasakan sebuah kedamaian yang baru pertama kali ia rasakan sejak lama. Hatinya, yang selama ini dipenuhi luka dan kepedihan, kini mulai dipenuhi oleh sesuatu yang lebih ringan—sebuah tawa yang baru, yang tumbuh di antara bayang-bayang masa lalu.
Reyhan sudah berada di luar kota untuk urusan pekerjaan, namun Liana merasa baik-baik saja. Tidak ada perasaan cemas, tidak ada kekosongan yang mengganggu. Ia merasa tidak perlu selalu berada dekat dengan seseorang untuk merasa bahagia. Tawa yang datang dari dalam dirinya adalah tanda bahwa ia kini mulai bisa berdamai dengan dirinya sendiri.
Membangun Tawa dari Dalam
Liana mengingat kembali perjalanan panjang yang telah ia lalui. Dulu, setiap kali tawa datang, itu selalu disertai dengan rasa khawatir. Tawa itu terasa seperti kebohongan, sesuatu yang dipaksakan untuk menutupi kesedihan yang mendalam. Tetapi kini, tawa itu terasa tulus. Seiring berjalannya waktu, ia mulai menemukan kembali dirinya.
Bersama Reyhan, ia belajar bahwa tidak ada yang perlu dipaksakan. Cinta tidak selalu harus datang dengan intensitas yang membakar. Kadang, itu hanya tentang dua orang yang saling menerima, yang mampu berbagi ketenangan tanpa harus menunggu segala sesuatunya sempurna.
Liana menyadari bahwa dia tidak lagi mencari cinta yang mengisi kekosongan hatinya, tetapi lebih kepada hubungan yang memberi ruang untuk tumbuh. Di dalam dirinya, ada kekuatan baru yang terbentuk—kekuatan untuk tertawa, untuk merayakan kebahagiaan tanpa rasa bersalah, tanpa takut terluka lagi.
Reyhan dan Kehadiran yang Menenangkan
Meskipun Reyhan tidak selalu ada di dekatnya, Liana merasa kedamaian itu tetap hadir karena kehadirannya yang tidak terburu-buru. Reyhan bukanlah sosok yang menuntut perhatian, apalagi membuatnya merasa terjepit. Sebaliknya, ia memberi Liana ruang untuk menjadi dirinya sendiri, untuk mengejar apa yang ia inginkan tanpa harus takut meninggalkan dirinya di belakang.
Suatu malam, saat Reyhan kembali setelah beberapa hari di luar kota, Liana menyambutnya dengan senyum yang berbeda—senyum yang penuh kelegaan. Tak ada lagi kecemasan yang membayangi pikirannya. Mereka berdua duduk bersama, menikmati keheningan yang nyaman.
“Kamu terlihat berbeda, Liana. Sepertinya kamu semakin bahagia,” kata Reyhan sambil memandangnya dengan senyum lembut.
Liana mengangguk, meskipun tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan apa yang dirasakannya. Hatinya sudah mulai mengisi dirinya dengan kebahagiaan yang datang dari dalam. Ia tahu bahwa tawa yang ia rasakan bukanlah sekadar kebahagiaan yang datang dari luar dirinya, tetapi sesuatu yang ia bangun dari dalam hati.
Liana dan Proses Penyembuhan
Liana melanjutkan perjalanan hidupnya dengan cara yang lebih ringan. Ia mulai aktif kembali dalam kegiatan yang membuatnya merasa hidup—menggambar, menulis, bahkan berkumpul dengan teman-temannya. Ia merasa hidupnya kembali penuh dengan warna, dan ia tidak perlu lagi bergantung pada hubungan atau orang lain untuk merasa berarti.
Suatu sore, saat sedang duduk di taman dengan secangkir teh hangat, Liana berpikir tentang perjalanan panjang yang telah ia lalui. Dulu, setiap langkah terasa berat, setiap keputusan terasa seperti beban. Namun kini, ia bisa menatap ke masa depan dengan rasa optimis. Ia telah melewati kegelapan yang panjang, dan kini, sinar matahari itu terasa begitu hangat di kulitnya.
“Aku tidak lagi mencari seseorang untuk menyembuhkan hatiku, karena aku telah belajar untuk menyembuhkan diriku sendiri. Dan kini, aku bisa tertawa tanpa merasa bersalah, karena aku tahu, kebahagiaan itu adalah hakku.”
Kehadiran Cinta yang Tulus
Saat Liana melihat Reyhan di matanya, ia tidak melihat hanya sebuah hubungan atau komitmen yang penuh dengan harapan yang belum pasti. Ia melihat seseorang yang hadir dengan tulus, tanpa menuntut lebih, yang memberi dukungan tanpa syarat. Reyhan bukan hanya bagian dari hidupnya, tetapi bagian dari proses penyembuhannya—seseorang yang membuatnya merasa dihargai, tetapi juga memberi ruang untuk tumbuh.
Liana mengerti bahwa hidup memang tidak selalu sempurna, dan kadang cinta datang dengan cara yang berbeda dari yang kita bayangkan. Tetapi, yang terpenting adalah bagaimana kita belajar untuk menghargai diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum berharap ada orang lain yang akan menghargai kita.
Tawa yang Tidak Lagi Terpaksa
Pada malam yang tenang itu, saat mereka duduk berdua, Reyhan menatap Liana dengan mata penuh makna. “Aku senang melihatmu bahagia, Liana. Tidak perlu berpura-pura lagi.”
Liana tersenyum, tawa yang keluar dari mulutnya adalah tawa yang paling tulus yang pernah ia rasakan. Ia tidak merasa ada yang hilang, tidak merasa ada yang kurang. Karena akhirnya, ia tahu bahwa kebahagiaan sejati berasal dari dalam dirinya.
“Terima kasih,” jawab Liana dengan penuh perasaan. “Aku bisa tertawa lagi, bukan karena aku mencari sesuatu dari hidup, tapi karena aku sudah belajar untuk mencintai diri sendiri.”
Tawa itu bukan hanya tentang kegembiraan, tetapi juga tentang rasa syukur dan penerimaan. Liana tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, tetapi ia sudah siap menghadapi hari-hari depan dengan hati yang lebih kuat.
Penutupan Bab
Dalam bab ini, Liana mulai menemukan kembali tawa yang pernah hilang. Setelah melalui masa-masa kelam dan penuh dengan keraguan, ia akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri. Tawa yang selama ini terasa seperti kebohongan kini menjadi tanda bahwa ia telah tumbuh menjadi pribadi yang lebih utuh. Ia tidak lagi mencari kebahagiaan di luar dirinya, karena ia telah belajar untuk menciptakan kebahagiaan itu sendiri.
Apakah Liana akan terus melangkah dengan penuh keyakinan? Akankah cinta dengan Reyhan menjadi bagian dari kebahagiaannya yang baru? Bab selanjutnya akan mengungkap lebih jauh perjalanan hidupnya setelah ia menemukan kekuatan dalam dirinya.
Jika kamu ingin saya lanjutkan ke bab berikutnya, “Bab 12 – Jalan Baru yang Terbuka Tanpa Rasa Takut,” beri tahu saya!
Bab 12 – Jodoh Itu Bukan Tentang Cepat Datang, Tapi Siapa yang Bertahan
Penutup penuh makna: jodoh bukan yang datang dengan gombal, tapi yang hadir dan tetap tinggal bahkan tanpa diminta.
Liana duduk di kafe kecil langganannya, memandangi hujan yang turun perlahan membasahi jendela kaca. Di hadapannya, secangkir cokelat hangat mengepul, aroma manisnya menyatu dengan udara dingin sore itu. Sudah lama sejak ia merasa setenang ini—bukan karena semuanya berjalan sempurna, tetapi karena ia mulai mengerti bahwa hidup, seperti cinta, tidak pernah benar-benar bisa ditebak.
Proses yang Tidak Bisa Dikejar-kejar
Liana teringat bagaimana dulu ia begitu ingin segalanya cepat. Cepat jatuh cinta, cepat dilamar, cepat menikah, cepat bahagia. Tapi waktu dan luka mengajarkannya bahwa jodoh bukanlah soal siapa yang datang lebih dulu, tetapi siapa yang mampu bertahan ketika segala hal terasa sulit, ketika godaan hadir, dan ketika cinta mulai diuji dengan kenyataan.
Reyhan datang bukan sebagai tokoh utama dalam kisah cinta klise. Dia datang sebagai sahabat, kemudian menjadi seseorang yang mengisi ruang hati Liana perlahan-lahan. Tidak ada janji bombastis, tidak ada gombalan yang membuat hati melayang. Yang ada hanyalah kehadiran yang konsisten, perhatian kecil yang terus berulang, dan kesabaran yang tak pernah habis meski kadang Liana masih ragu-ragu.
Diuji oleh Waktu dan Jarak
Reyhan pernah menjauh. Bukan karena kehilangan perasaan, tetapi karena keduanya sama-sama belum siap. Namun ketika mereka kembali berpapasan di waktu yang lebih matang, ada kedewasaan yang tumbuh di antara mereka. Tidak ada lagi pertanyaan “kapan kita jadi?” yang dulu sering membuat Liana cemas. Yang ada kini adalah keyakinan bahwa mereka sedang berjalan di arah yang sama—perlahan, tapi pasti.
Liana mulai paham bahwa cinta sejati bukan tentang tergesa-gesa menemukan pasangan, melainkan tentang seseorang yang rela berjalan bersama, bahkan ketika jalannya tidak mudah. Seseorang yang memilih untuk bertahan ketika hal-hal indah berubah menjadi sulit, ketika harapan tidak sejalan dengan kenyataan.
Ketika Bertahan Lebih Penting daripada Sekadar Hadir
Hubungan mereka bukan tanpa tantangan. Ada perbedaan cara pandang, ada luka dari masa lalu yang sesekali muncul, ada jeda panjang yang kadang membuat ragu. Tapi setiap kali Liana hendak menyerah, Reyhan selalu menjadi sosok yang mengulurkan tangan lebih dulu. Ia tidak selalu tahu cara memperbaiki segalanya, tetapi ia tidak pernah menyerah untuk mencoba.
“Aku tidak menjanjikan masa depan yang mulus, Li,” ucap Reyhan pada suatu malam. “Tapi kalau kamu bersedia berjalan bersamaku, aku akan bertahan. Sekuat yang aku bisa.”
Itulah momen ketika Liana sadar, jodoh bukan tentang siapa yang paling memikat hati di awal, tapi siapa yang tetap memilih untuk tinggal saat badai datang.
Belajar Membedakan antara Singgah dan Bertahan
Dulu, Liana pernah tersesat di kisah cinta yang hanya datang untuk singgah. Dia belajar bahwa tidak semua yang memberi perhatian ingin menetap, dan tidak semua yang hadir berarti jodoh. Tapi kini, dengan Reyhan, ia belajar bahwa cinta yang tulus adalah yang tidak buru-buru, tidak menuntut dibalas segera, dan tidak pergi ketika keadaan menjadi sulit.
“Aku bukan orang pertama yang kamu cintai, dan mungkin bukan yang paling romantis,” kata Reyhan sambil menggenggam tangan Liana, “Tapi aku ingin jadi yang terakhir, yang tetap ada sampai akhir.”
Jodoh yang Menjadi Proses, Bukan Tujuan
Liana tersenyum. Kini ia tahu, jodoh bukanlah titik akhir dari sebuah pencarian, melainkan perjalanan panjang yang diisi dengan ketulusan, pengorbanan, dan kesabaran. Dan perjalanan itu baru bisa dijalani bersama seseorang yang tidak hanya ingin mencintai di saat bahagia, tetapi juga bertahan di saat segalanya terasa sulit.
Penutup Bab
Di tengah hujan yang mulai reda, Liana menggenggam cangkir cokelat hangatnya lebih erat. Ia memandangi Reyhan yang berjalan masuk ke kafe, membawa dua payung—satu untuknya, satu untuk Liana.
Mungkin ia belum tahu kapan pernikahan akan digelar. Mungkin masih ada hal-hal yang harus mereka perjuangkan. Tapi satu hal yang pasti: ia tidak sendiri lagi. Ia bersama seseorang yang bertahan.
Karena jodoh bukan tentang siapa yang datang lebih dulu, tapi siapa yang tidak pergi ketika cinta diuji.***