Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTAI ATAU DIABAIKAN?

SAME KADE by SAME KADE
April 19, 2025
in Bucin
Reading Time: 12 mins read
CINTAI ATAU DIABAIKAN?

💔 Bab 1: Pertemuan yang Tak Disangka
Awal kisah saat tokoh utama bertemu seseorang yang mengubah hidupnya. Apakah ini pertanda cinta atau sekadar persinggahan?

Langit sore mulai berwarna jingga ketika Aurel melangkah keluar dari kafe tempatnya bekerja. Hari itu, ia merasa lelah setelah seharian berhadapan dengan pelanggan yang silih berganti. Di tangannya, ada segelas kopi latte yang baru saja dibuatnya untuk menghilangkan penat.

Saat hendak menyebrang jalan, sebuah suara mengagetkannya.

“Hati-hati!”

Aurel spontan menoleh dan dalam hitungan detik, sebuah sepeda melintas begitu dekat hingga hampir menabraknya. Ia terhuyung ke belakang, dan tanpa diduga seseorang menarik tangannya dengan cepat, membuatnya jatuh dalam pelukan orang asing.

Detik itu terasa seperti terhenti sejenak. Aurel menatap wajah pemuda di depannya—mata tajam berwarna coklat gelap, ekspresi khawatir, dan nafasnya sedikit terengah. Pemuda itu tampak mengenakan jaket hitam dengan headphone tergantung di lehernya.

“Maaf, kamu nggak apa-apa?” tanyanya sambil tetap memegang lengan Aurel.

Aurel yang masih kaget hanya bisa mengangguk pelan. Namun, kejutan belum berakhir. Saat ia menatap pria itu lebih lama, ada sesuatu yang familiar. Seolah ia pernah melihatnya sebelumnya, tapi di mana?

Sebelum Aurel bisa berkata apa-apa, pemuda itu tersenyum kecil dan melepas pegangannya.

“Hati-hati kalau jalan, jangan melamun.” ucapnya sebelum berbalik pergi.

Aurel masih berdiri di tempatnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Siapa dia?” gumamnya pelan, tanpa sadar bahwa pertemuan singkat itu akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.

💭 Bab 2: Rasa yang Tak Terdefinisi
Ketertarikan mulai tumbuh, tetapi apakah perasaan itu nyata atau hanya ilusi semata?

Sejak kejadian di depan kafe, Aurel merasa pikirannya selalu kembali kepada pria misterius yang menolongnya. Ia bahkan tidak tahu namanya, tapi ada sesuatu yang aneh—seperti perasaan familiar yang sulit dijelaskan. Setiap kali ia memejamkan mata, senyum tipis pria itu kembali terbayang.

Di sela-sela kesibukan kerjanya di kafe, Aurel sering tanpa sadar menoleh ke luar jendela, seakan berharap pria itu muncul lagi. Namun, hari demi hari berlalu, dan ia tetap tak menemukan sosoknya.

Hingga suatu sore, saat Aurel sedang menata meja, suara pintu kafe yang terbuka membuatnya menoleh. Dan di sanalah dia—pria itu, dengan jaket hitam yang sama, melangkah masuk dengan santai.

Jantung Aurel berdebar lebih cepat. Ia merasa gugup tanpa alasan yang jelas. Apakah pria itu mengingatnya?

Pemuda itu berjalan menuju kasir, dan tanpa sadar, Aurel mengambil alih pesanan.

“Mau pesan apa?” tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.

Pria itu menatapnya sejenak sebelum tersenyum kecil. “Kamu yang hampir kutabrak tempo hari, kan?”

Aurel merasakan pipinya sedikit memanas. “Kamu yang menarik tanganku duluan.” jawabnya cepat.

Pemuda itu terkekeh ringan. “Oke, berarti kita impas. Aku Adrian.”

Aurel terdiam sesaat sebelum akhirnya menyebutkan namanya. “Aurel.”

Adrian mengangguk sambil melirik menu. “Baik, Aurel. Aku pesan cappuccino. Oh, dan satu pertanyaan, apa aku boleh duduk di sini agak lama?”

Aurel mengerutkan kening. “Tentu. Memangnya kenapa?”

Adrian tersenyum samar. “Aku sedang mencari tempat yang nyaman. Dan sepertinya, aku menemukannya.”

Aurel tak tahu apa maksud kata-kata itu. Tapi sejak saat itu, ia tahu ada sesuatu yang berbeda. Perasaan yang belum bisa ia definisikan. Sesuatu yang baru, asing, tapi juga membuatnya nyaman dan penasaran pada saat yang bersamaan.

😢 Bab 3: Antara Harapan dan Keraguan
Saat hubungan semakin dekat, muncul tanda-tanda yang membingungkan. Apakah ini cinta atau hanya kebiasaan?

Sejak pertemuan itu, Adrian semakin sering datang ke kafe tempat Aurel bekerja. Kadang ia hanya memesan secangkir kopi lalu duduk berjam-jam di sudut ruangan, tenggelam dalam laptopnya. Kadang ia datang hanya untuk membaca buku. Tapi setiap kali Aurel melewati mejanya, pria itu selalu mengangkat kepala dan memberikan senyum tipis yang entah kenapa membuat Aurel sulit berpaling.

Seiring waktu, interaksi mereka menjadi lebih alami. Percakapan ringan di antara mereka berkembang menjadi obrolan panjang tentang banyak hal—tentang film, buku, bahkan tentang hujan yang turun terlalu sering akhir-akhir ini.

Namun, di balik semua itu, Aurel menyimpan sesuatu. Keraguan.

Setiap kali ia merasa nyaman dengan keberadaan Adrian, ada bisikan kecil dalam hatinya yang mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Ia pernah terluka sebelumnya. Ia tahu bagaimana rasanya menaruh harapan pada seseorang, hanya untuk akhirnya dikecewakan.

Dan ada satu hal lagi yang membuatnya bertanya-tanya: siapa sebenarnya Adrian?

Adrian selalu hadir, tetapi tidak pernah benar-benar terbuka. Ia lebih banyak mendengarkan daripada bercerita. Setiap kali Aurel bertanya sesuatu yang lebih personal—tentang keluarganya, tentang pekerjaannya, tentang masa lalunya—Adrian hanya tersenyum samar dan mengalihkan pembicaraan.

Suatu sore, ketika hujan turun deras di luar kafe, Aurel memberanikan diri bertanya, “Kenapa kamu selalu datang ke sini, Adrian?”

Adrian menatapnya sejenak, lalu mengaduk kopinya pelan. “Karena di sini aku merasa tenang.”

Jawaban itu seharusnya cukup. Tapi entah kenapa, Aurel merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata itu. Dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya…

Apakah Adrian hanya seseorang yang kebetulan hadir dalam hidupnya? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu?

Di antara harapan dan keraguan, Aurel sadar… ia mulai takut. Takut jika hatinya kembali jatuh, dan kali ini, tidak ada yang menangkapnya.

🖤 Bab 4: Mencari Jawaban dalam Kebingungan
Tokoh utama mulai mempertanyakan perasaannya sendiri. Apakah dia dicintai atau hanya dimanfaatkan?

Setelah mendengar jawaban Adrian sore itu—“Karena di sini aku merasa tenang.”—Aurel mulai merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria itu. Ia tidak tahu apakah ia hanya berlebihan atau memang ada alasan mengapa Adrian selalu hadir, tetapi tetap menjaga jarak.

Hari-hari berlalu, dan semakin Aurel berusaha untuk tidak peduli, semakin pikirannya dipenuhi pertanyaan.

Siapa sebenarnya Adrian?

Kenapa ia lebih sering mendengarkan daripada berbicara?

Dan… kenapa Aurel merasa seakan-akan Adrian adalah seseorang yang bisa menghancurkan pertahanannya dengan mudah?

Malam itu, Aurel duduk di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan. Ia memutar kembali semua momen yang pernah ia lalui bersama Adrian. Terkadang pria itu terasa begitu dekat, tapi di lain waktu, ia terasa begitu jauh.

Ia menghela napas panjang, mencoba menepis pikirannya. Namun, seperti kebiasaan barunya, tangannya dengan sendirinya meraih ponselnya dan membuka percakapan terakhirnya dengan Adrian.

Aurel: Kamu sibuk?
Adrian: Tidak juga. Kenapa?
Aurel: Bisa kita ketemu sebentar?
Adrian: Di kafe?
Aurel: Enggak. Tempat lain. Aku yang tentuin.
Adrian: Oke.

Sejujurnya, Aurel tidak tahu apa yang ingin ia tanyakan. Ia hanya ingin melihat Adrian, mencari sesuatu yang bisa menjawab semua pertanyaan yang terus menghantuinya.

Mereka bertemu di taman kota, di sebuah bangku kayu yang sepi pengunjung malam itu. Adrian datang dengan jaket hitamnya, wajahnya tetap terlihat tenang seperti biasa.

“Kamu ingin bicara soal apa?” tanya Adrian, suaranya lembut, tapi ada sedikit kewaspadaan di dalamnya.

Aurel menggigit bibirnya ragu. Haruskah ia langsung bertanya? Atau lebih baik menunggu?

“Aku hanya ingin tahu…” katanya pelan, menatap Adrian, mencoba membaca ekspresinya, “kenapa kamu selalu datang, tapi kamu tidak pernah benar-benar ada?”

Adrian terdiam. Matanya menatap ke arah lain sejenak, sebelum kembali menatap Aurel.

“Apa itu penting?” tanyanya balik.

Aurel tertawa kecil, sedikit getir. “Tentu saja penting, Adrian. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara kita, atau mungkin aku hanya terlalu berharap. Tapi aku benci merasa bingung. Aku benci bertanya-tanya apakah seseorang benar-benar ada untukku atau hanya sekadar singgah.”

Adrian menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Aku tidak ingin menyakitimu, Aurel.”

Jawaban itu justru membuat Aurel semakin bingung. “Kalau begitu, katakan sesuatu yang jelas, Adrian. Aku bukan orang yang suka menerka-nerka.”

Hening.

Untuk pertama kalinya, Aurel melihat ada sedikit kegelisahan di mata pria itu.

“Aku belum siap,” kata Adrian akhirnya.

Aurel menatapnya lama. Ia ingin bertanya lebih lanjut, ingin mendesak jawaban yang lebih lengkap. Tapi ia tahu, terkadang, seseorang hanya bisa berbicara sejauh yang hatinya izinkan.

Malam itu, Aurel pulang dengan hati yang tetap penuh tanya.

Namun satu hal yang pasti…

Adrian menyimpan sesuatu. Dan Aurel hanya bisa berharap, ketika saatnya tiba, ia cukup kuat untuk menerima jawabannya.

💔 Bab 5: Luka dari Sebuah Harapan
Ekspektasi yang tinggi mulai berbalik menjadi kekecewaan. Ketidakpastian semakin menyakitkan.

Aurel berpikir bahwa keputusannya untuk menanyakan langsung perasaan Adrian akan memberikan kejelasan. Namun, yang ia dapatkan justru lebih banyak kebingungan. Jawaban Adrian—“Aku belum siap.”—terus terngiang di kepalanya.

Belum siap untuk apa? Untuk bersikap jujur? Untuk menerima perasaannya? Atau untuk sekadar mengakui bahwa di antara mereka memang ada sesuatu?

Setiap harinya, Aurel berusaha untuk mengabaikan rasa sakit yang perlahan muncul. Namun, semakin ia mencoba mengalihkan pikirannya, semakin kuat perasaan kecewa itu mengikat hatinya.

Adrian tidak pernah menjanjikan apa pun.

Tapi Aurel, tanpa sadar, sudah berharap terlalu dalam.


Malam itu, hujan turun deras. Aurel duduk di kafe favoritnya, menatap tetesan air yang jatuh membasahi jendela. Pikirannya kacau, tapi hatinya lebih kacau lagi.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

Adrian: Kamu di mana?
Aurel: Kafe biasa.
Adrian: Aku ke sana.

Aurel menatap layar ponselnya lama. Biasanya, hatinya akan berdebar setiap kali Adrian ingin bertemu. Tapi kali ini… ia merasa ragu.

Haruskah ia membiarkan Adrian terus hadir dalam hidupnya, tanpa kejelasan?

Atau haruskah ia melindungi hatinya sebelum terluka lebih dalam?

Lima belas menit kemudian, Adrian muncul di depan pintu kafe, sedikit basah oleh hujan. Aurel menatapnya dari jauh, memperhatikan bagaimana pria itu mengibas rambutnya yang basah sebelum berjalan mendekatinya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Adrian, suaranya seperti biasa—tenang dan hangat.

Aurel mengangguk kecil, meskipun hatinya mengatakan sebaliknya.

“Ada yang ingin kubicarakan,” kata Adrian lagi, duduk di hadapannya.

Aurel menggenggam cangkir kopinya lebih erat, bersiap untuk mendengar sesuatu yang mungkin bisa mengubah segalanya.

“Aku tahu selama ini aku membiarkanmu menebak-nebak perasaanku,” Adrian mulai berbicara, “dan itu tidak adil untukmu.”

Aurel menelan ludah, mencoba menahan napasnya.

“Aku menyukaimu, Aurel.”

Hatinya berdegup lebih cepat.

“Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa pun.”

Deg.

Seperti ombak besar yang menghantam karang, harapannya yang telah ia bangun selama ini tiba-tiba runtuh begitu saja.

Aurel menatap Adrian dalam diam. Ia ingin bertanya, ingin menuntut alasan. Tapi, di sisi lain, ia juga tahu bahwa terkadang, beberapa orang memang tidak bisa memberikan lebih dari yang mereka sanggup.

Dan ia harus menerima kenyataan itu.

Sebuah harapan telah melukainya.

Kini, hanya ia sendiri yang bisa menentukan apakah ia akan bertahan, atau mulai melepaskan.

💥 Bab 6: Menghadapi Kenyataan yang Pahit
Sebuah kejadian membuka mata tokoh utama bahwa cinta yang dia perjuangkan tidak selalu berbalas.

Setelah pengakuan Adrian malam itu, Aurel merasa seakan dirinya jatuh dari ketinggian. Ia mengira Adrian akan memberikan jawaban yang lebih jelas, lebih pasti. Tapi nyatanya, yang ia dapatkan hanyalah ketidakpastian yang semakin membuatnya sakit.

“Aku menyukaimu, tapi aku tidak bisa menjanjikan apa pun.”

Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, seolah menjadi mantra yang mengingatkannya bahwa cinta tidak selalu berarti kepastian.

Sejak malam itu, hubungan Aurel dan Adrian terasa berbeda.

Mereka masih sering bertemu, masih saling menyapa, tetapi ada sesuatu yang tidak lagi sama.

Adrian tetap hadir, tapi dengan batasan yang semakin jelas.

Dan Aurel, meskipun ingin berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, tidak bisa mengabaikan perasaan yang semakin menyesakkan.

Suatu hari, ia memberanikan diri untuk bertanya pada sahabatnya, Nadin.

“Apa aku bodoh kalau tetap bertahan dalam situasi ini?” tanyanya saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Aurel, menikmati angin sore.

Nadin menatapnya lama sebelum menjawab. “Menurutku, kamu bukan bodoh, Rel. Kamu hanya terlalu berharap.”

Aurel tersenyum pahit. “Jadi aku harus berhenti berharap?”

Nadin menghela napas. “Aku nggak bisa bilang kamu harus berhenti atau tetap bertahan. Tapi satu hal yang pasti, kamu berhak mendapatkan seseorang yang tidak membuatmu merasa digantung seperti ini.”

Kata-kata Nadin menusuk hatinya lebih dalam daripada yang ia duga.

Beberapa hari kemudian, Aurel bertemu dengan Adrian di kafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Kali ini, ia bertekad untuk tidak lagi menghindari kenyataan.

“Aku ingin tanya satu hal,” katanya, suaranya lebih tegas dari biasanya.

Adrian menatapnya dengan sorot mata tenang seperti biasa. “Apa itu?”

Aurel menarik napas dalam. “Apa kamu benar-benar tidak bisa menjanjikan apa pun? Atau kamu memang tidak ingin menjanjikan apa pun?”

Adrian terdiam.

Pertanyaan itu membuatnya terpojok, dan untuk pertama kalinya, Aurel melihat ketidakyakinan di mata pria itu.

“Aurel…” Adrian akhirnya membuka suara, “aku takut menyakitimu.”

Aurel tersenyum kecil, getir. “Terlambat, Adrian. Kamu sudah melakukannya.”

Adrian tampak terkejut dengan jawabannya.

“Tapi aku sadar sekarang,” lanjut Aurel, suaranya bergetar, “bahwa yang membuatku sakit bukan hanya perasaan ini… tapi harapan yang aku ciptakan sendiri.”

Adrian membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi Aurel sudah memutuskan.

Ia tidak ingin lagi hidup dalam ketidakpastian.

Ia tidak ingin terus mencintai seseorang yang bahkan tidak yakin dengan hatinya sendiri.

Mungkin, menghadapi kenyataan ini pahit.

Tapi ia lebih memilih sakit sekarang… daripada terus menunggu sesuatu yang tak pasti.

🔁 Bab 7: Pergi atau Bertahan?
Dilema besar muncul: apakah harus bertahan dengan cinta yang tak pasti atau memilih melepaskan?

Malam itu, Aurel berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang terlihat begitu rapuh. Matanya sembab karena tangis yang tak kunjung reda sejak pertemuannya dengan Adrian di kafe kemarin.

Ia selalu tahu bahwa mencintai Adrian bukanlah hal yang mudah. Sejak awal, pria itu bukan seseorang yang mudah ditebak, bukan seseorang yang bisa dengan mudah memberikan kepastian.

Namun, Aurel tetap bertahan.

Ia bertahan dengan harapan bahwa mungkin, suatu hari nanti, Adrian akan berubah.

Tapi sampai kapan?

Keesokan harinya, Aurel duduk di taman kota, tempat ia dan Adrian sering menghabiskan waktu bersama. Dedaunan kering berguguran tertiup angin, menciptakan suasana yang begitu sendu, seakan alam pun merasakan kegelisahannya.

Nadin tiba-tiba datang dan duduk di sampingnya. “Aku tahu kamu masih berharap,” katanya tanpa basa-basi.

Aurel menghela napas. “Apa aku terlihat sebodoh itu?”

Nadin tersenyum simpati. “Bukan bodoh, hanya terlalu cinta.”

Aurel menunduk, jemarinya meremas ujung syalnya yang melilit lehernya. “Aku hanya ingin tahu… jika aku pergi, apakah Adrian akan mencariku? Atau dia akan tetap diam seolah tidak terjadi apa-apa?”

Nadin menatapnya lama sebelum berkata, “Kadang, kita harus berani pergi untuk tahu siapa yang benar-benar ingin mempertahankan kita.”

Kata-kata itu menggema di benaknya sepanjang hari.

Aurel akhirnya memutuskan untuk menghilang sementara dari kehidupan Adrian.

Ia berhenti mengirim pesan lebih dulu. Berhenti menanyakan kabar. Berhenti muncul di tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi bersama.

Ia menunggu… menunggu apakah Adrian akan sadar akan kehilangannya.

Tapi hari demi hari berlalu, dan tidak ada satu pun pesan atau panggilan dari pria itu.

Hatinya mulai hancur.

Sampai akhirnya, suatu malam, Adrian muncul di depan pintu apartemennya.

“Aku pikir kamu pergi,” katanya dengan suara rendah.

Aurel menatapnya, hatinya berkecamuk antara marah, sedih, dan rindu. “Aku memang pergi, Adrian. Tapi kamu tidak mencariku.”

Adrian mengusap wajahnya dengan frustasi. “Aku takut kalau aku mencarimu, aku malah semakin menyakitimu.”

Aurel tertawa kecil, getir. “Jadi kamu memilih diam dan membiarkanku pergi?”

Adrian tidak bisa menjawab.

Saat itu, Aurel menyadari satu hal.

Cinta yang harus diperjuangkan seorang diri bukanlah cinta yang layak dipertahankan.

Dengan suara yang nyaris bergetar, ia berkata, “Aku lelah, Adrian.”

Tatapan Adrian dipenuhi kepanikan. “Jadi, kamu memilih untuk pergi?”

Aurel menghela napas panjang. “Bukan aku yang memilih pergi, Adrian. Tapi kamu yang tidak pernah berusaha membuatku bertahan.”

Malam itu, untuk pertama kalinya, Aurel benar-benar merasa yakin dengan keputusannya.

Kadang, cinta bukan hanya tentang bertahan. Tapi juga tentang tahu kapan harus melepaskan.

✨ Bab 8: Mencintai Diri Sendiri
Tokoh utama belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki orang lain, tetapi juga tentang menghargai diri sendiri.

Aurel duduk di tepi danau kecil di pinggir kota, tempat yang baru pertama kali ia kunjungi. Ia sengaja memilih tempat yang jauh dari hiruk-pikuk, dari ingatan yang masih menyakitkan, dan dari seseorang yang dulu ingin ia perjuangkan.

Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya, membawa ketenangan yang sudah lama ia lupakan. Ia menatap permukaan air yang tenang, lalu mengambil napas dalam-dalam. Ini pertama kalinya dalam waktu yang lama ia merasa damai.

Selama ini, ia selalu berusaha mencintai Adrian. Berjuang untuk dipandang, didengar, dan diterima.

Tapi ia lupa satu hal: dirinya sendiri.

Hari-hari berlalu, dan Aurel mulai melakukan hal-hal yang dulu ia tinggalkan demi Adrian.

Ia kembali menulis di jurnalnya—sebuah kebiasaan yang dulu selalu membantunya meluapkan perasaan. Kata-kata mengalir dari tangannya, menceritakan betapa ia pernah merasa kecil, betapa ia pernah merasa tidak cukup baik hanya karena seseorang tidak bisa mencintainya dengan sepenuh hati.

Ia juga mulai melukis lagi. Di dalam kanvasnya, ia menuangkan segala emosi yang tertahan. Kali ini, bukan lukisan tentang cinta yang menyakitkan, melainkan tentang kebebasan dan harapan baru.

Di sela-sela kesibukannya menemukan kembali dirinya, Aurel menyadari bahwa ia tidak lagi menunggu pesan dari Adrian. Tidak lagi berharap akan sebuah keajaiban yang membuat pria itu berubah pikiran.

Ia mulai mencintai dirinya sendiri lebih dari siapapun.

Suatu sore, saat sedang duduk di kafe favoritnya, Nadin menatapnya dengan penuh kagum.

“Kamu terlihat lebih bahagia,” katanya sambil menyeruput kopinya.

Aurel tersenyum. “Aku pikir selama ini yang membuatku bahagia adalah cinta dari seseorang. Tapi ternyata, aku bisa menciptakan kebahagiaanku sendiri.”

Nadin mengangguk setuju. “Karena kamu sudah berhenti mencari kebahagiaan di tempat yang salah.”

Aurel terdiam sesaat, membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam pikirannya.

Dulu, ia berpikir bahwa kebahagiaan datang ketika seseorang yang ia cintai membalas perasaannya.

Tapi kini, ia sadar bahwa kebahagiaan sejati datang saat ia bisa menerima dan mencintai dirinya sendiri… tanpa bergantung pada siapapun.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya, Aurel benar-benar merasa utuh.

💖 Bab 9: Dicintai dengan Tulus
Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka. Ada seseorang yang diam-diam selalu ada dan mencintainya dengan tulus.

Aurel tidak pernah menyangka bahwa hari itu akan datang.

Saat ia sudah melepaskan Adrian, saat ia sudah berhenti berharap dan mulai mencintai dirinya sendiri, justru ada seseorang yang datang dengan cinta yang tak terduga.

Raka.

Ia adalah teman yang selama ini ada di dekatnya, yang selalu mendengar keluh kesahnya tanpa menghakimi. Yang selalu hadir di saat Aurel merasa terpuruk, tanpa pernah meminta apa pun sebagai balasan.

Aurel tidak pernah berpikir bahwa Raka menyimpan perasaan untuknya.

Namun, pada suatu malam, di bawah langit berbintang, Raka mengungkapkan semuanya.

“Aku sudah lama menyukaimu, Aurel.”

Aurel tersentak mendengar kata-kata itu. Ia menatap Raka, mencari keseriusan dalam matanya. Tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan.

“Kenapa?” Aurel akhirnya bertanya, masih tidak percaya.

Raka tersenyum kecil. “Karena kamu adalah kamu. Bukan karena bagaimana kamu berusaha keras untuk dicintai seseorang, bukan karena kamu ingin terlihat sempurna. Aku menyukaimu karena kamu apa adanya. Bahkan ketika kamu sendiri lupa bagaimana cara mencintai dirimu sendiri, aku tetap melihat betapa berharganya kamu.”

Aurel terdiam.

Ia sudah terlalu lama berusaha untuk dicintai seseorang yang tidak pernah benar-benar menginginkannya. Tapi di saat ia berhenti mencari, cinta itu datang dari arah yang tidak pernah ia duga.

Cinta yang tulus.

Cinta yang tidak membuatnya harus berjuang sendirian.

Cinta yang tidak membuatnya merasa kurang.

Air mata menggenang di sudut matanya, tapi kali ini bukan karena kesedihan. Melainkan karena kehangatan yang memenuhi hatinya.

Mungkin, inilah yang selama ini ia cari.

Bukan cinta yang menyakitkan, bukan cinta yang membuatnya merasa tidak cukup.

Tapi cinta yang menerima dan mencintainya apa adanya.

❤️ Bab 10: Dicintai atau Diabaikan?
Akhir kisah yang mengajarkan bahwa cinta sejati tidak seharusnya membuat seseorang merasa diabaikan.

Raisa duduk di bangku taman yang sama, tempat ia dan Adrian pernah menghabiskan sore bersama, berbicara tentang impian dan masa depan. Tapi kali ini, ia sendirian. Hujan rintik-rintik turun, membasahi trotoar dan menciptakan bayangan yang bergetar di permukaan genangan air. Di tangannya, ada secarik surat yang baru saja ia terima dari Adrian.

Isi surat itu seperti pisau tajam yang mengiris hatinya.

“Maaf jika selama ini aku ragu. Maaf jika aku tak pernah bisa memberimu kepastian. Aku takut mencintai, Raisa. Aku takut kehilanganmu, tapi aku juga takut untuk benar-benar bersamamu.”

Raisa menghela napas panjang. Sudah berbulan-bulan ia bertahan dalam ketidakpastian, berharap Adrian akhirnya memilih untuk memperjuangkannya. Tapi yang ia dapatkan hanyalah kata maaf dan ketakutan yang sama dari Adrian.

“Lalu apa artinya semua ini? Aku hanya seseorang yang kau jaga tapi tak pernah kau perjuangkan?” bisik Raisa dalam hati.

Di saat yang sama, langkah kaki seseorang mendekat. Bukan Adrian. Tapi Raka—seseorang yang diam-diam selalu ada di sisinya selama ini.

“Raisa, aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi… Aku tidak akan membiarkanmu terus bertanya-tanya apakah kamu dicintai atau hanya diabaikan. Aku di sini. Aku ingin bersamamu, bukan sekadar menunggumu seperti bayangan,” kata Raka dengan suara mantap.

Hati Raisa bergetar. Setelah sekian lama ia mengejar sesuatu yang tak pasti, seseorang berdiri di hadapannya, menawarkan kejelasan yang selama ini ia cari.

Kini, pilihan ada di tangannya. Bertahan pada cinta yang abu-abu, atau menerima seseorang yang siap memperjuangkannya?

—— THE END ——

Source: MELDA
Tags: ❤️ KisahHati❓ CintaAtauIlusi🌿 AntaraHarapanDanRealita💔 DicintaiAtauDiabaikan🔥 DramaPercintaan🎭 LukaDanHarapan💭 MencariJawaban📖 NovelRomantis🔍 PerjuanganCinta
Previous Post

CINTA JARAK JAUH

Next Post

BALAS DENDAM SANG MANTAN

Related Posts

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

May 13, 2025
JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

May 4, 2025
AKU CINTA, KAMU CUEK

AKU CINTA, KAMU CUEK

May 1, 2025
BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

April 30, 2025
PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

April 29, 2025
CINTA ATAU MIE INSTAN?

CINTA ATAU MIE INSTAN?

April 28, 2025
Next Post
BALAS DENDAM SANG MANTAN

BALAS DENDAM SANG MANTAN

Terlarang Tapi Membara: Aku dan Anak Majikanku

Terlarang Tapi Membara: Aku dan Anak Majikanku

CINTA YANG KU KEJAR

CINTA YANG KU KEJAR

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id