Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

RINDU YANG TERSIMPAN DI BALIK LAYAR

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 18 mins read
RINDU YANG TERSIMPAN DI BALIK LAYAR

Daftar Isi

  • Bab 1: Layar yang Menyimpan Cerita
  • Bab 2: Perjalanan Cinta yang Terpisah Jarak
  • Bab 3: Rindu yang Mulai Membebani
  • Bab 4: Kenangan yang Menguatkan
  • Bab 5: Mencari Jalan Tengah
  • Bab 6: Kejutan yang Tak Terduga
  • Bab 7: Rindu yang Akhirnya Terbayar

Bab 1: Layar yang Menyimpan Cerita

 

Aisyah menatap layar ponselnya yang masih menampilkan foto terakhirnya bersama Bima. Dalam foto itu, mereka tersenyum lebar di depan gerbang bandara, sebuah momen yang penuh dengan kehangatan namun juga kesedihan. Hari itu adalah hari perpisahan mereka, saat Bima harus terbang ke Jepang untuk sebuah proyek besar yang akan berlangsung selama dua tahun.

 

Sudah enam bulan berlalu sejak hari itu, dan panggilan video menjadi satu-satunya jembatan yang menghubungkan mereka. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Aisyah kembali duduk di kursinya dengan secangkir teh hangat di meja. Wajahnya diterangi oleh cahaya dari layar ponsel. Di sisi lain layar, Bima tampak duduk di meja kerjanya, masih mengenakan kemeja putih dan dasi yang sedikit longgar.

 

“Aku baru selesai meeting. Maaf, agak telat,” ujar Bima dengan suara serak, namun senyumnya tetap hangat.

“Tidak apa-apa. Aku tahu kamu sibuk,” jawab Aisyah sambil mencoba menyembunyikan raut kecewa.

 

Percakapan mereka mengalir seperti biasa. Bima bercerita tentang proyek yang sedang dikerjakannya, tentang rekan-rekan kerja baru yang mulai akrab dengannya, dan tentang cuaca musim gugur di Tokyo yang menurutnya sangat indah. Sementara itu, Aisyah berbagi cerita tentang ilustrasi yang baru saja selesai ia kerjakan untuk seorang klien, juga tentang kunjungannya ke rumah orang tua akhir pekan lalu.

 

Namun, meskipun percakapan itu berlangsung hangat, Aisyah merasa ada sesuatu yang kurang. Jarak ribuan kilometer di antara mereka membuat setiap kata terasa datar. Tidak ada sentuhan, tidak ada tatapan mata yang langsung, hanya suara dan bayangan wajah di balik layar.

 

“Bim,” kata Aisyah tiba-tiba, memotong cerita Bima tentang ramen yang baru saja ia coba di sebuah restoran kecil dekat kantornya.

“Iya, Sayang?” Bima menatapnya dengan ekspresi lembut.

“Kamu pernah merasa… rindu yang sampai sakit?” Aisyah bertanya pelan.

 

Pertanyaan itu membuat Bima terdiam sesaat. Ia tahu pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi. Ia sendiri sering merasakan hal yang sama. Ada banyak malam ketika ia menatap ponselnya, berharap Aisyah ada di sampingnya, bukan hanya sebagai bayangan di layar. Namun, ia selalu berusaha menekan perasaan itu, mengingatkan dirinya bahwa ini semua adalah demi masa depan mereka.

 

“Aku merasa rindu itu setiap hari,” jawab Bima akhirnya, suaranya terdengar berat. “Tapi aku juga selalu ingat kalau kita sedang berjuang bersama. Ini semua akan terbayar nanti, Aisyah.”

 

Aisyah mengangguk, meskipun hatinya masih terasa kosong. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini layak diperjuangkan. Tapi tetap saja, malam-malam yang sepi di kamarnya terasa seperti ujian yang tak ada habisnya.

 

Setelah beberapa menit berlalu, panggilan video itu harus berakhir. Bima mengatakan ia harus tidur lebih awal karena ada presentasi penting keesokan paginya. Dengan enggan, Aisyah mengucapkan selamat malam dan menutup panggilan. Kini, hanya ada dirinya dan keheningan.

 

Ia menyandarkan tubuhnya di kursi dan memandangi ponselnya yang kini hanya menampilkan layar hitam. Aisyah menarik napas panjang, mencoba menenangkan rasa rindu yang terus menggumpal di dadanya. Di meja samping tempat tidur, sebuah kalender kecil tergeletak. Kalender itu adalah hadiah dari Bima sebelum ia pergi. Setiap tanggal yang dianggap penting oleh mereka berdua diberi tanda khusus dengan warna merah.

 

Aisyah membuka halaman bulan ini. Di salah satu tanggal, ada tulisan kecil dari Bima: “Jangan lupa kita nonton bareng online, ya!”. Ia tersenyum kecil, mengingat betapa seriusnya Bima merencanakan segala hal untuk menjaga hubungan mereka tetap berjalan.

 

Namun, tetap saja, itu tidak cukup untuk mengusir rasa kesepiannya. Aisyah merindukan momen-momen sederhana seperti menggenggam tangan Bima saat berjalan di taman, atau tertawa bersama tanpa harus memikirkan jarak. Ia merindukan kehadiran yang nyata, bukan sekadar bayangan di balik layar.

 

Aisyah bangkit dari kursinya dan berjalan ke balkon. Malam itu, bulan bersinar terang, seperti menertawakan dirinya yang berdiri sendirian. Ia memejamkan mata dan membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Dalam hati, ia berdoa agar waktu segera berlalu, agar ia bisa kembali bertemu dengan Bima tanpa harus dibatasi oleh jarak.

 

“Bima, aku percaya kita bisa melewati ini,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada bulan yang menggantung di langit.

 

Meski terasa berat, Aisyah tahu bahwa cinta mereka layak diperjuangkan. Ia hanya perlu lebih kuat, lebih sabar, dan lebih percaya bahwa di balik semua kesulitan ini, ada akhir bahagia yang menanti mereka berdua.*

Bab 2: Perjalanan Cinta yang Terpisah Jarak

 

Aisyah masih ingat dengan jelas bagaimana semuanya dimulai. Hubungannya dengan Bima tidak selalu sekompleks sekarang. Dahulu, segalanya terasa lebih mudah, lebih sederhana, dan lebih dekat. Mereka pertama kali bertemu di sebuah kelas fotografi di kampus. Bima adalah mahasiswa teknik yang iseng mengikuti kelas seni, sementara Aisyah adalah mahasiswa seni rupa yang sering kali kehilangan fokus jika membahas teori terlalu banyak.

 

“Kalau kamera ini diatur ke manual, hasilnya pasti lebih bagus,” ujar Bima sambil menunjuk kamera analog milik Aisyah.

“Kalau aku tahu cara mengaturnya,” balas Aisyah sambil terkekeh.

 

Itu adalah awal dari segalanya. Pertemuan kecil itu berkembang menjadi obrolan panjang di kafe kampus, berbagi ide tentang seni, teknologi, dan mimpi masing-masing. Bima bercerita tentang keinginannya menjadi seorang insinyur yang bisa bekerja di proyek internasional, sementara Aisyah berbagi mimpinya untuk menjadi ilustrator lepas yang karyanya bisa dinikmati banyak orang.

 

Mereka saling melengkapi. Bima yang cenderung praktis sering kali menjadi penyeimbang bagi Aisyah yang lebih idealis. Sementara itu, Aisyah selalu menjadi tempat bagi Bima untuk berbagi pikiran-pikiran yang jarang ia utarakan pada orang lain.

 

Hubungan mereka berjalan mulus selama bertahun-tahun. Setelah lulus kuliah, Bima mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan teknik ternama di Jakarta, sementara Aisyah memutuskan untuk menjadi ilustrator lepas agar memiliki fleksibilitas lebih dalam berkarya. Selama beberapa waktu, mereka menikmati hari-hari penuh kebersamaan—bertemu di akhir pekan, menonton film di bioskop favorit mereka, atau sekadar berbagi cerita di taman kota.

 

Namun, kehidupan tidak selalu seperti yang diharapkan. Pada suatu sore, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran kecil, Bima mengutarakan kabar yang mengejutkan.

“Aku dapat tawaran kerja di Jepang,” katanya sambil menatap Aisyah.

Aisyah, yang sedang menyendok makanan, berhenti sejenak. “Serius?” tanyanya, antara senang dan cemas.

 

Bima mengangguk. “Iya, ini proyek besar, Sayang. Dua tahun di Jepang, bekerja dengan tim internasional. Kesempatan ini cuma datang sekali seumur hidup.”

 

Aisyah tersenyum, meski hatinya mulai diliputi rasa khawatir. “Kalau itu yang terbaik untukmu, aku akan mendukung. Tapi… apa kita bisa menjalani hubungan ini?”

“Bisa,” jawab Bima yakin. “Kita sudah melewati banyak hal bersama. Jarak tidak akan mengubah itu.”

 

Percakapan itu menjadi awal dari babak baru dalam hubungan mereka. Aisyah berusaha menanamkan keyakinan dalam hatinya bahwa hubungan jarak jauh ini akan berhasil, sementara Bima mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuk masa depan mereka.

 

Hari keberangkatan Bima tiba lebih cepat dari yang Aisyah harapkan. Ia masih ingat jelas suasana pagi itu di bandara. Langit mendung seolah mencerminkan perasaannya. Bima berdiri di depannya dengan koper besar di tangan, mengenakan jaket abu-abu yang sering ia pakai saat udara dingin.

 

“Jaga dirimu di sana,” ujar Aisyah, mencoba menyembunyikan getar di suaranya.

“Kamu juga. Jangan terlalu sering begadang, oke?” balas Bima sambil menyelipkan seutas senyum.

 

Mereka saling berpelukan untuk terakhir kalinya sebelum Bima harus pergi. Aisyah tidak pernah lupa rasa dingin dari jaketnya dan aroma parfum yang selalu membuatnya merasa nyaman. Saat Bima melangkah menuju pintu keberangkatan, Aisyah merasa hatinya seperti ditarik ke dua arah—antara ingin memanggilnya kembali dan membiarkannya pergi demi mimpi yang lebih besar.

 

Minggu-minggu pertama tanpa Bima adalah ujian terberat bagi Aisyah. Ia harus beradaptasi dengan jadwal yang kini bergantung pada zona waktu Tokyo. Panggilan video menjadi rutinitas baru mereka, menggantikan pertemuan fisik yang dulu selalu ia nikmati.

 

“Aku kangen kamu,” kata Aisyah suatu malam saat mereka berbicara melalui layar ponsel.

“Aku juga,” balas Bima dengan nada lembut. “Tapi ingat, ini hanya sementara. Dua tahun tidak akan terasa lama.”

 

Namun, semakin lama, Aisyah menyadari bahwa jarak bukan hanya tentang perbedaan tempat, tetapi juga tentang perjuangan emosional. Ada hari-hari ketika ia merasa sangat kesepian, terutama saat melihat pasangan lain menikmati kebersamaan mereka. Ada pula saat-saat ketika ia ingin berbagi sesuatu dengan Bima, tetapi terhalang oleh jadwal yang tidak selaras.

 

Di sisi lain, Bima juga merasakan tekanan yang sama. Ia sering kali merasa bersalah karena tidak bisa selalu ada untuk Aisyah. Ada momen-momen ketika ia merasa ingin menyerah, tetapi setiap kali melihat foto Aisyah di meja kerjanya, ia kembali ingat alasan mengapa ia berjuang.

 

Meski begitu, di tengah semua kesulitan itu, ada juga momen-momen manis yang membuat mereka tetap bertahan. Bima sering mengirimkan kejutan kecil untuk Aisyah, seperti kartu pos dari tempat-tempat yang ia kunjungi atau hadiah sederhana yang ia pesan secara online. Sementara itu, Aisyah selalu memastikan untuk mengirimkan ilustrasi khusus yang ia buat sendiri, sebagai pengingat bahwa cinta mereka tetap hidup meski terpisah oleh jarak.

 

Hubungan jarak jauh mereka adalah perjalanan penuh liku, tetapi juga penuh makna. Setiap rindu yang mereka rasakan, setiap panggilan yang mereka lakukan, semuanya menjadi bagian dari perjuangan untuk menjaga cinta tetap utuh. Meskipun jarak memisahkan mereka, Aisyah dan Bima tahu bahwa cinta mereka lebih besar dari sekadar ruang dan waktu.*

Bab 3: Rindu yang Mulai Membebani

 

Hari-hari terasa semakin berat bagi Aisyah. Rutinitas yang biasanya membuatnya sibuk kini justru terasa seperti beban. Setiap pagi, ia bangun dengan perasaan hampa. Pekerjaannya sebagai ilustrator lepas memberinya kebebasan untuk bekerja kapan saja, tetapi kebebasan itu justru mempertegas kesepiannya.

 

Di meja kerja, sebuah ponsel tergeletak, tak jauh dari laptop dan tablet gambarnya. Sesekali Aisyah melirik layar ponselnya, berharap ada pesan dari Bima. Namun, layar itu tetap sunyi. Di Tokyo, Bima mungkin sedang sibuk dengan rapat-rapat dan tugas-tugas yang menumpuk, sementara Aisyah hanya bisa menunggu.

 

Sore itu, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan menyelesaikan sebuah ilustrasi untuk klien. Karya itu adalah permintaan khusus untuk ilustrasi pemandangan kota Tokyo. Ironis, pikir Aisyah. Kota yang selama ini terasa asing kini seolah menjadi bagian dari hidupnya karena Bima. Setiap kali ia membayangkan Tokyo, ia tak bisa menghindar dari rindu yang terus menggerogoti hatinya.

 

Aisyah akhirnya menyerah pada pikirannya sendiri. Ia meletakkan tablet gambarnya dan beralih ke balkon. Dari sana, ia bisa melihat matahari yang mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi. Langit sore yang keemasan tampak indah, tetapi keindahan itu tak mampu mengusir rasa kesepian yang mendalam.

 

“Apa kabarnya sekarang?” gumam Aisyah, berbicara kepada dirinya sendiri. “Apakah dia juga merasakan rindu seperti ini?”

 

Malam harinya, akhirnya Bima menelepon. Panggilan itu datang lebih lambat dari biasanya, hampir tengah malam waktu Jakarta. Aisyah langsung menyambar ponselnya, meski matanya sudah setengah terpejam.

 

“Halo, Sayang,” suara Bima terdengar lelah, tetapi tetap penuh kehangatan.

“Halo,” balas Aisyah dengan suara pelan. “Kamu baru selesai kerja?”

“Iya, maaf baru bisa telepon. Tadi ada presentasi yang harus diselesaikan.”

 

Mereka berbicara selama beberapa menit, membahas hal-hal kecil seperti aktivitas harian dan cuaca. Namun, percakapan itu terasa berbeda. Ada jeda yang lebih panjang, ada ragu dalam suara mereka. Aisyah merasakan bahwa kelelahan Bima tidak hanya fisik, tetapi juga emosional.

 

“Bima,” kata Aisyah akhirnya, memecah keheningan.

“Iya?”

“Apa kamu pernah merasa kita seperti… kehilangan sesuatu?”

 

Pertanyaan itu membuat Bima terdiam. Ia tahu apa yang dimaksud Aisyah. Meski mereka berusaha menjaga hubungan ini tetap berjalan, jarak dan waktu telah menciptakan dinding yang sulit ditembus.

 

“Kadang aku merasa begitu,” jawab Bima akhirnya. “Tapi aku selalu ingat tujuan kita. Aku tahu ini sulit, Sayang. Aku juga rindu kamu, lebih dari yang bisa aku ungkapkan.”

 

Aisyah menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku juga rindu kamu. Tapi kadang… aku merasa rindu ini terlalu berat.”

 

Percakapan itu berakhir dengan perasaan yang campur aduk. Meski mereka saling mengungkapkan perasaan, Aisyah merasa ada sesuatu yang belum tersampaikan. Rindu yang terus menumpuk di hatinya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata, bahkan kepada Bima.

 

Beberapa hari setelahnya, Aisyah mencoba mencari pelarian. Ia menghabiskan waktu dengan teman-temannya, pergi ke kafe favorit mereka, dan bahkan mulai mengikuti kelas yoga untuk mengalihkan pikirannya. Namun, tak peduli seberapa sibuk ia mencoba, pikirannya selalu kembali kepada Bima.

 

Sementara itu, di Tokyo, Bima juga merasakan tekanan yang sama. Ia sering kali merasa bersalah karena tak bisa memberikan perhatian penuh kepada Aisyah. Suatu malam, ia menatap foto Aisyah yang terpajang di meja kerjanya. Dalam foto itu, Aisyah tersenyum cerah, memegang es krim di taman kota. Senyum itu adalah salah satu hal yang paling dirindukannya.

 

Bima meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat:

“Aku tahu ini sulit, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Aku rindu kamu setiap hari.”

 

Pesan itu sampai ke Aisyah di tengah malam. Ketika membacanya, air mata Aisyah tak tertahan lagi. Kata-kata sederhana itu mengingatkannya bahwa mereka berdua sedang berjuang bersama.

 

Namun, meskipun pesan itu membawa kehangatan, Aisyah tahu bahwa perjuangan ini tidak akan mudah. Rindu yang ia rasakan bukan hanya tentang keinginan untuk bersama, tetapi juga tentang kebutuhan akan kehadiran yang nyata.

 

Hari-hari berlalu dengan pola yang sama: rindu, harapan, dan usaha untuk tetap bertahan. Aisyah dan Bima mencoba untuk tetap saling menguatkan, meskipun jarak terus menjadi bayangan yang menghantui hubungan mereka.

 

Di akhir bab ini, Aisyah menatap layar ponselnya yang menampilkan foto mereka berdua di bandara saat Bima akan pergi. Ia menggenggam ponsel itu erat dan berbisik pelan, “Aku hanya ingin kamu tahu, aku akan tetap bertahan. Tapi aku harap, waktu bisa segera mempertemukan kita lagi.”*

Bab 4: Kenangan yang Menguatkan

 

Aisyah membuka kotak kecil di atas mejanya. Kotak itu berwarna biru muda, dengan pita putih yang mulai pudar warnanya. Di dalamnya tersimpan barang-barang kecil yang penuh dengan kenangan: tiket bioskop, foto-foto polaroid, surat-surat pendek dari Bima, hingga sebuah gantungan kunci berbentuk kamera. Setiap benda di dalam kotak itu seolah menyimpan cerita tentang momen-momen bahagia mereka.

 

Hari itu, Aisyah sedang merasa sangat rindu. Rasanya terlalu berat untuk menjalani hari tanpa kehadiran Bima. Dalam usaha mencari penghiburan, ia memutuskan untuk membuka kembali kenangan mereka, berharap bisa menemukan sedikit kehangatan di tengah kesepian.

 

Tangannya meraih salah satu foto polaroid. Foto itu diambil saat mereka pergi ke sebuah taman kota untuk merayakan ulang tahun Aisyah. Di foto itu, mereka tampak ceria, tertawa lepas dengan latar belakang air mancur. Aisyah masih ingat betapa spesialnya hari itu.

 

“Kamu harus menutup matamu,” kata Bima saat itu sambil memegang sesuatu di tangannya.

“Apa lagi ini? Kamu tidak pernah bisa menjaga rahasia,” balas Aisyah sambil tertawa.

“Tapi kali ini aku berhasil, kan? Sekarang, buka matamu!”

 

Ketika Aisyah membuka matanya, ia melihat sebuah ilustrasi besar yang menggambarkan dirinya sedang menggambar di sebuah taman. Itu adalah karya Bima yang diam-diam ia buat dengan menggabungkan beberapa foto Aisyah. Aisyah tidak menyangka bahwa Bima, yang tidak begitu ahli dalam seni, bisa membuat sesuatu yang begitu personal dan indah.

 

“Ini untuk mengingatkan kamu betapa berbakatnya kamu,” ujar Bima sambil tersenyum. “Jangan pernah meragukan dirimu sendiri.”

 

Mengingat momen itu membuat Aisyah tersenyum kecil, meski air mata mulai menggenang di sudut matanya. Kenangan seperti itu adalah pengingat betapa tulusnya cinta mereka.

 

Aisyah kemudian mengambil sebuah surat kecil yang terselip di antara tiket bioskop. Surat itu ditulis tangan oleh Bima pada malam sebelum keberangkatannya ke Jepang. Isinya sederhana, tetapi penuh makna:

“Aisyah, jika suatu hari kamu merasa rindu, ingatlah bahwa aku juga merasakannya. Kita mungkin terpisah oleh jarak, tapi hatiku selalu bersamamu. Jangan pernah merasa sendiri, karena aku akan selalu ada untukmu, meskipun hanya melalui doa dan kenangan.”

 

Surat itu adalah salah satu benda yang paling sering Aisyah baca. Setiap kali ia merasa lemah, surat itu selalu menjadi penguatnya. Kata-kata Bima mengingatkannya bahwa mereka sedang berjuang bersama, dan perjuangan itu tidak akan sia-sia.

 

Malam itu, Aisyah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia membuka laptopnya dan mencari folder foto yang sudah lama tidak ia sentuh. Folder itu berisi dokumentasi perjalanan mereka selama bertahun-tahun: perjalanan ke pantai, kunjungan ke pameran seni, hingga momen-momen sederhana seperti menikmati kopi di kafe kecil dekat kampus.

 

Salah satu video menarik perhatiannya. Dalam video itu, Bima terlihat sedang mencoba menggambar di sebuah taman, sementara Aisyah terus menggoda dan tertawa.

“Apa ini? Garisnya saja melenceng semua!” ujar Bima, menyerah pada usahanya untuk menggambar sebuah pohon.

“Yah, setidaknya niat kamu sudah ada,” balas Aisyah sambil terkikik.

 

Tawa mereka memenuhi video itu, membawa kembali ingatan tentang betapa bahagianya mereka ketika bersama.

 

Di tengah perjalanan menyusuri kenangan itu, Aisyah menyadari sesuatu: meskipun rindu yang ia rasakan sering kali terasa menyakitkan, kenangan-kenangan itu justru menjadi penguatnya. Setiap tawa, setiap kata-kata manis, dan setiap momen kecil yang mereka bagikan adalah bukti bahwa cinta mereka nyata dan layak diperjuangkan.

 

Sementara itu, di Tokyo, Bima juga memiliki caranya sendiri untuk mengenang Aisyah. Di meja kerjanya, sebuah kalender kecil pemberian Aisyah tergeletak dengan rapi. Setiap lembar kalender itu berisi ilustrasi yang Aisyah buat sendiri, menggambarkan momen-momen mereka bersama. Kalender itu adalah pengingat sehari-hari bagi Bima bahwa ia tidak sendirian dalam perjuangan ini.

 

Ketika ia merasa lelah setelah seharian bekerja, Bima sering kali membuka galeri di ponselnya. Ia akan memutar ulang video-video pendek yang Aisyah kirimkan, seperti video Aisyah yang sedang menggambar di studio, atau sekadar video dirinya menyapa dengan senyuman. Video-video itu adalah caranya untuk tetap merasa dekat, meskipun jarak memisahkan mereka.

 

Kenangan-kenangan itu bukan hanya sekadar masa lalu. Bagi Aisyah dan Bima, kenangan adalah jembatan yang menghubungkan hati mereka, yang menjaga cinta tetap hidup meskipun mereka berada di dua tempat yang berbeda.

 

Di akhir bab ini, Aisyah menutup kotak kenangannya dengan senyuman kecil. Ia merasa lebih kuat, lebih yakin bahwa cinta mereka akan mampu bertahan. Dengan hati yang sedikit lebih ringan, ia menatap kalender di dinding dan berkata pelan, “Satu hari lagi, Bima. Satu hari lebih dekat ke hari kita bertemu lagi.”*

Bab 5: Mencari Jalan Tengah

 

Bulan-bulan berlalu, dan hubungan Aisyah serta Bima semakin diuji oleh waktu dan jarak. Meski cinta mereka tetap kuat, keduanya tak bisa memungkiri bahwa ada saat-saat di mana semuanya terasa begitu berat. Rindu yang tak kunjung terobati membuat percakapan mereka di telepon sering kali terasa hambar, bahkan sesekali diwarnai dengan pertengkaran kecil.

 

“Aku merasa kamu sudah mulai jauh,” keluh Aisyah pada suatu malam saat mereka berbicara melalui panggilan video. Matanya menatap layar ponsel dengan cemas.

“Aku nggak pernah bermaksud begitu,” balas Bima dengan nada bersalah. “Tapi kamu tahu kan, pekerjaanku di sini sangat menuntut. Kadang aku bahkan nggak sempat makan dengan benar.”

 

“Tapi, Bima,” potong Aisyah, “aku cuma ingin kamu lebih meluangkan waktu untuk kita. Aku rindu obrolan panjang kita, rindu merasa dekat meski hanya lewat layar.”

 

Pertengkaran kecil itu menjadi alarm bagi keduanya. Mereka sadar bahwa meskipun cinta mereka tetap ada, mereka tidak bisa terus-menerus mengabaikan kenyataan bahwa hubungan ini membutuhkan usaha yang lebih besar.

 

Malam itu, setelah panggilan berakhir, Aisyah merenung. Ia duduk di depan meja kerjanya, mencoba mencari cara untuk memperbaiki keadaan. Ia membuka sebuah buku harian yang sudah lama ia tinggalkan. Di halaman-halaman pertama, tertulis berbagai mimpi yang pernah ia rencanakan bersama Bima: membuka galeri seni kecil, traveling ke berbagai negara, hingga memiliki rumah dengan ruang kerja masing-masing.

 

“Mimpi itu masih mungkin terwujud,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Tapi kita harus menemukan cara untuk bertahan sampai saat itu tiba.”

 

Esok harinya, Aisyah memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Ia mengirim pesan singkat kepada Bima:

“Kita perlu bicara serius. Aku ingin hubungan ini tetap berjalan, tapi kita harus menemukan cara agar kita berdua merasa lebih baik. Kapan kamu punya waktu untuk diskusi?”

 

Bima, yang sedang dalam perjalanan menuju kantor, membaca pesan itu dengan hati-hati. Ia tahu Aisyah benar. Selama ini, ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tanpa sadar mengorbankan waktu yang seharusnya ia berikan untuk hubungan mereka.

 

Setelah menjadwalkan waktu yang tepat, mereka akhirnya berbicara. Percakapan kali ini bukan hanya sekadar keluhan atau ungkapan rindu, tetapi diskusi mendalam tentang bagaimana mereka bisa membuat hubungan ini lebih sehat dan saling mendukung.

 

“Aku sadar aku sering mengabaikan kamu,” kata Bima dengan nada serius. “Tapi aku nggak mau hubungan kita hancur hanya karena jarak. Kita harus punya rencana.”

“Aku juga merasa selama ini terlalu bergantung pada kamu,” balas Aisyah. “Mungkin aku perlu lebih banyak fokus pada diriku sendiri, pada mimpi-mimpi yang sempat aku abaikan.”

 

Dari percakapan itu, mereka mulai merancang beberapa hal yang bisa mereka lakukan untuk menjaga hubungan tetap hangat meskipun jarak memisahkan.

 

1. Jadwal Komunikasi yang Konsisten

Mereka sepakat untuk menetapkan jadwal komunikasi yang lebih teratur. Jika sebelumnya mereka berbicara kapan saja sesuai waktu luang, kini mereka menentukan waktu khusus untuk menelepon atau mengirim pesan. Bima juga berjanji untuk lebih jujur tentang kesibukannya, agar Aisyah tidak merasa diabaikan.

 

2. Aktivitas Bersama Meski Berjarak

Aisyah mengusulkan ide untuk melakukan aktivitas bersama meski secara virtual. Mereka mulai menonton film melalui layanan streaming yang memungkinkan mereka berbagi layar. Kadang-kadang, mereka juga mencoba bermain game online sederhana untuk menciptakan suasana santai.

 

3. Mengejar Mimpi Masing-Masing

Aisyah memutuskan untuk kembali mengejar mimpinya membuka galeri seni online. Ia mulai lebih serius mempromosikan karyanya di media sosial dan menjalin kerja sama dengan komunitas seniman lokal. Di sisi lain, Bima juga berbagi mimpi-mimpinya tentang proyek yang sedang ia kerjakan di Jepang. Mereka saling mendukung, memberi semangat, dan merayakan pencapaian masing-masing.

 

4. Menentukan Tujuan Jangka Panjang

Di tengah percakapan, Aisyah mengutarakan kekhawatirannya tentang masa depan. “Apa rencana kita setelah dua tahun ini selesai, Bima? Apa kita akan terus seperti ini?”

Bima terdiam sejenak, lalu menjawab dengan mantap, “Setelah proyek ini selesai, aku akan kembali ke Indonesia. Aku akan mencari pekerjaan di sini, dekat dengan kamu. Tapi untuk sementara, kita harus fokus pada tujuan kita masing-masing.”

 

Kesepakatan itu memberi Aisyah sedikit ketenangan. Setidaknya kini ia memiliki harapan bahwa mereka tidak akan selamanya terpisah.

 

Beberapa minggu setelah percakapan itu, hubungan mereka mulai terasa lebih ringan. Jadwal komunikasi yang konsisten membantu mereka merasa lebih terhubung, sementara aktivitas bersama menciptakan momen-momen kecil yang membuat mereka tetap bahagia.*

Bab 6: Kejutan yang Tak Terduga

 

Matahari sore perlahan meredup di ufuk barat, menciptakan semburat jingga di langit Jakarta. Aisyah baru saja menyelesaikan pekerjaannya ketika sebuah pesan dari Bima muncul di layar ponselnya. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya berdebar.

 

“Jangan lupa kosongkan jadwalmu akhir pekan ini. Aku punya sesuatu untukmu.”

 

Aisyah membaca pesan itu dengan alis terangkat. Bima jarang memberikan kejutan, apalagi saat mereka terpisah seperti sekarang. Rasa penasaran mulai menghantui pikirannya. Namun, Bima menolak memberikan petunjuk lebih lanjut, hanya menyuruhnya menunggu.

 

“Sabtu, jam tiga sore. Jangan lupa,” pesan terakhir dari Bima sebelum ia kembali tenggelam dalam kesibukan kantornya di Tokyo.

 

Hari yang dinantikan pun tiba. Sejak pagi, Aisyah sudah merasa gelisah. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan mengerjakan beberapa ilustrasi, tetapi pikirannya terus melayang ke pesan misterius Bima. Apa yang sedang direncanakannya?

 

Pukul tiga kurang lima belas menit, ponsel Aisyah berdering. Sebuah notifikasi email masuk dengan subjek: “Petunjuk Pertama.” Aisyah buru-buru membukanya. Di dalam email itu, terdapat sebuah peta lokasi dengan titik yang diarahkan ke sebuah kafe kecil di kawasan Menteng.

 

“Menteng? Apa ini?” gumamnya sambil menatap layar ponselnya.

 

Meski bingung, Aisyah memutuskan untuk mengikuti petunjuk itu. Ia segera bersiap, mengenakan gaun kasual favoritnya, lalu memesan ojek daring menuju lokasi. Dalam perjalanan, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah Bima mengirimkan sesuatu untuknya? Atau ini hanya permainan kecil untuk menghiburnya?

 

Setibanya di kafe, suasana terasa hangat dan tenang. Kafe itu cukup kecil, dengan dekorasi kayu yang memberikan nuansa vintage. Aisyah masuk dan langsung disambut oleh seorang pelayan yang tampaknya sudah menunggunya.

 

“Apakah Anda Mbak Aisyah?” tanya pelayan itu dengan senyum ramah.

“Iya, benar,” jawab Aisyah.

“Ada pesan untuk Anda. Silakan duduk di meja nomor tujuh.”

 

Dengan penasaran, Aisyah berjalan menuju meja yang ditunjukkan. Di atas meja itu, ada sebuah amplop kecil berwarna cokelat. Ia membuka amplop itu dengan hati-hati dan menemukan sebuah catatan kecil di dalamnya.

 

“Pesan ini adalah bagian dari kejutan kecilku. Nikmati segelas kopi favoritmu, lalu buka paket yang akan dikirimkan ke meja ini. Dengan cinta, Bima.”

 

Aisyah tersenyum membaca catatan itu. Tak lama kemudian, seorang pelayan lain datang membawa secangkir kopi latte dengan art berbentuk hati di atasnya. Tepat seperti yang biasa ia pesan saat pergi ke kafe bersama Bima.

 

Sambil menikmati kopinya, Aisyah mulai merasa bahwa kejutan ini membawa kembali kenangan-kenangan manis yang selama ini ia rindukan. Bima selalu tahu bagaimana membuatnya merasa istimewa, bahkan dari jarak ribuan kilometer.

 

Tak lama setelah kopinya habis, seorang kurir masuk ke kafe dengan membawa sebuah kotak besar. Kurir itu langsung menuju ke meja Aisyah dan menyerahkan kotak itu kepadanya. Di atas kotak tersebut, tertulis nama Aisyah dengan tulisan tangan yang ia kenali sebagai milik Bima.

 

Dengan rasa penasaran yang tak tertahankan, Aisyah membuka kotak itu. Di dalamnya, ada beberapa benda yang membuat matanya berkaca-kaca. Pertama, sebuah buku sketsa baru dengan sampul kulit berwarna hitam. Di dalam buku itu, ada beberapa sketsa awal yang dibuat oleh Bima: gambar wajah Aisyah, pemandangan taman tempat mereka sering bertemu, dan berbagai momen kecil yang pernah mereka habiskan bersama.

 

Selain buku sketsa, ada juga sebuah foto polaroid mereka berdua yang dimasukkan ke dalam bingkai kecil. Di bawah foto itu, terdapat tulisan tangan Bima: “Jarak tidak akan pernah memisahkan dua hati yang saling mencintai.”

 

Namun, yang paling mengejutkan adalah sebuah tiket pesawat dengan nama Aisyah tercetak di atasnya. Tiket itu adalah tiket pulang-pergi Jakarta-Tokyo, dengan keberangkatan yang dijadwalkan minggu depan.

 

Aisyah terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Ia mengambil tiket itu dengan tangan gemetar dan membaca detailnya berulang kali, memastikan bahwa ini bukan lelucon. Air mata mulai mengalir di pipinya, tapi kali ini bukan karena kesedihan.

 

Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bima muncul di layar. Dengan suara yang masih bergetar, Aisyah menjawab panggilan itu.

“Kamu… serius?” tanyanya sambil terisak.

“Tentu saja,” jawab Bima di ujung sana. Suaranya terdengar hangat dan penuh kebahagiaan. “Aku tahu betapa sulitnya ini untuk kita berdua. Jadi, aku ingin memberi kita sesuatu yang spesial. Aku ingin kamu datang ke sini, meski hanya sebentar. Kita perlu momen nyata, bukan hanya layar yang memisahkan kita.”

 

Aisyah terdiam, berusaha mencerna semua ini. Kejutan ini adalah hal yang tak pernah ia bayangkan, tetapi di saat yang sama, ini adalah sesuatu yang sangat ia butuhkan.

“Aku nggak tahu harus bilang apa, Bima…”

“Kamu nggak perlu bilang apa-apa,” potong Bima. “Aku cuma ingin kamu tahu bahwa aku selalu memikirkanmu. Aku ingin kita tetap kuat, apa pun yang terjadi.”

 

Percakapan itu berakhir dengan tawa dan air mata bahagia. Aisyah merasa seperti beban yang selama ini ia pikul perlahan terangkat. Kejutan dari Bima bukan hanya hadiah, tetapi juga pengingat bahwa cinta mereka tetap hidup dan layak diperjuangkan.

 

Hari itu, Aisyah pulang dengan hati yang penuh kehangatan. Tiket di tangannya bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga simbol dari upaya mereka untuk terus menjaga cinta, meski jarak sempat menjadi penghalang. Bab ini menjadi titik balik dalam hubungan mereka, di mana harapan dan kebahagiaan kembali tumbuh dengan kuat.*

Bab 7: Rindu yang Akhirnya Terbayar

 

Pesawat mulai menurunkan ketinggiannya, memberikan pemandangan kota Tokyo yang tampak memukau dari jendela kecil di sisi Aisyah. Lampu-lampu kota berkilauan seperti bintang-bintang di malam hari, menciptakan keindahan yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Ia hampir tidak percaya bahwa setelah berbulan-bulan hanya saling berbicara melalui layar, ia akhirnya akan bertemu langsung dengan Bima.

 

Tiket yang Bima kirimkan seminggu lalu menjadi awal perjalanan penuh emosi ini. Selama seminggu itu, Aisyah merasakan berbagai macam perasaan: gugup, bahagia, dan tak sabar. Ia bahkan menghabiskan waktu berjam-jam memikirkan pakaian apa yang akan ia kenakan untuk pertemuan mereka.

 

Ketika pesawat akhirnya mendarat, Aisyah merasakan gelombang emosi yang lebih besar. Ia tidak sabar untuk melihat wajah yang selama ini hanya ia lihat melalui layar ponsel. Ia ingin mendengar suara Bima tanpa perantara, merasakan keberadaannya yang nyata.

 

Setelah melewati proses imigrasi dan mengambil bagasinya, Aisyah berjalan menuju pintu keluar. Setiap langkah terasa seperti penantian panjang yang akhirnya mendekati akhirnya. Pandangannya terus menyapu kerumunan orang di ruang kedatangan, mencari sosok yang begitu ia rindukan.

 

Dan di sana, berdiri di antara kerumunan, adalah Bima. Ia mengenakan jaket abu-abu yang Aisyah kenali sebagai salah satu favoritnya, dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya. Di tangannya, ada sebuah papan kecil bertuliskan, “Welcome, My Love.”

 

Aisyah berhenti sejenak, memandangi Bima dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Semua rasa rindu, kesepian, dan perjuangan selama ini seolah mencair dalam satu momen itu. Ia kemudian berlari ke arah Bima, tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.

 

Bima membuka tangannya lebar, menyambut Aisyah yang langsung memeluknya erat.

“Akhirnya,” bisik Aisyah, suaranya bergetar karena tangis bahagia.

“Akhirnya,” balas Bima sambil mengusap lembut punggungnya. “Aku rindu kamu, Aisyah. Lebih dari yang bisa aku ungkapkan.”

 

Pelukan itu terasa seperti obat bagi luka yang selama ini mereka rasakan. Rasanya begitu hangat, begitu menenangkan, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberikan mereka momen yang sempurna.

 

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya melepaskan pelukan dan saling menatap. Aisyah melihat wajah Bima yang sedikit lebih tirus dibanding terakhir kali ia lihat, mungkin karena tekanan pekerjaan. Tapi senyum di wajahnya tetap sama, senyum yang selalu membuat Aisyah merasa dicintai.

 

“Bagaimana perjalananmu?” tanya Bima sambil mengambil koper kecil Aisyah.

“Lelah, tapi semua terbayar begitu aku melihat kamu,” jawab Aisyah sambil tersenyum kecil.

 

Mereka kemudian berjalan keluar dari bandara, menuju kereta yang akan membawa mereka ke apartemen Bima. Sepanjang perjalanan, mereka berbicara tentang banyak hal, dari cuaca di Tokyo yang dingin hingga rencana mereka untuk beberapa hari ke depan.

 

Setibanya di apartemen, Bima memberikan Aisyah waktu untuk beristirahat. Apartemen itu kecil, tetapi tertata rapi. Aisyah melihat ada beberapa foto mereka terpajang di meja kecil dekat jendela, sesuatu yang membuat hatinya hangat. Bima selalu memastikan bahwa Aisyah tetap menjadi bagian dari hidupnya, bahkan di tempat yang jauh seperti ini.

 

Malam itu, Bima memasakkan makan malam untuk mereka berdua. Meski hanya hidangan sederhana berupa nasi goreng dan sup miso, momen itu terasa begitu istimewa bagi Aisyah. Mereka duduk bersama di meja makan kecil, berbicara tentang hal-hal yang tidak sempat mereka bahas selama ini.

 

“Terima kasih sudah datang,” ujar Bima tiba-tiba. “Aku tahu ini tidak mudah untuk kamu, meninggalkan pekerjaan dan rutinitasmu di Jakarta.”

“Aku harus datang,” balas Aisyah. “Aku ingin kita punya momen seperti ini. Aku ingin mengingatkan diri sendiri kenapa kita terus bertahan selama ini.”

 

Percakapan itu berlanjut hingga larut malam, diiringi dengan tawa dan senyuman. Meski mereka hanya duduk di apartemen kecil, momen itu terasa seperti dunia hanya milik mereka berdua.

 

Hari-hari berikutnya, Bima membawa Aisyah berkeliling Tokyo. Mereka mengunjungi tempat-tempat ikonik seperti Menara Tokyo, Asakusa, dan Shibuya. Tapi yang paling berkesan bagi Aisyah adalah ketika mereka menghabiskan waktu di sebuah taman kecil yang tidak terlalu ramai.

 

Di taman itu, mereka duduk di bangku sambil menikmati pemandangan dedaunan yang mulai berguguran. Aisyah merasa damai, seolah seluruh kerinduannya selama ini akhirnya terbayar lunas.

“Aku berharap waktu bisa berhenti,” kata Aisyah sambil menatap langit.

“Aku juga,” balas Bima. “Tapi kita harus percaya, waktu kita akan tiba. Kita hanya perlu bersabar sedikit lagi.”

 

Momen itu menjadi pengingat bahwa meski kebersamaan mereka sementara, cinta mereka tetap kuat. Aisyah dan Bima menyadari bahwa meski mereka harus kembali berpisah, momen ini akan menjadi penguat mereka untuk terus melangkah ke depan.

 

Pada hari terakhir Aisyah di Tokyo, mereka menghabiskan malam dengan berjalan-jalan di sekitar apartemen Bima. Tidak ada destinasi khusus, hanya menikmati kebersamaan. Saat mereka kembali, Bima memberikan sebuah kotak kecil kepada Aisyah.

 

“Apa ini?” tanya Aisyah sambil membuka kotak itu. Di dalamnya, ada gelang sederhana yang terbuat dari tali kulit dengan liontin berbentuk hati kecil.

“Ini untuk kamu,” ujar Bima. “Agar kamu selalu ingat bahwa hatiku selalu bersamamu, di mana pun kamu berada.”

 

Air mata kembali menggenang di mata Aisyah. Ia memakai gelang itu dan memeluk Bima dengan erat.

“Terima kasih, Bima. Untuk semuanya,” bisiknya.***

———————-THE END——————-

 

Source: Muhammad Reyhan Sandafa
Tags: cinta di balik layar yang kembali bertemucinta yang tidak bisa di pisahkanperjalanan cinta yang kuat
Previous Post

CINTA YANG TERLAMBAT

Next Post

ASMARA DI BALIK LARANGAN

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
ASMARA DI BALIK LARANGAN

ASMARA DI BALIK LARANGAN

CINTA PERTAMA YANG TAK TERLUPAKAN

CINTA PERTAMA YANG TAK TERLUPAKAN

DIANTARA MEREKA

DIANTARA MEREKA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id