Daftar Isi
- Bab 1 – Takdir Mempertemukan Kita
- Bab 2 – Dekat Namun Jauh
- Bab 3 – Luka yang Tersembunyi
- Bab 4 – Cinta yang Tumbuh Diam-Diam
- Bab 5 – Rintangan yang Menghalangi
- Bab 6 – Pergi atau Bertahan?
- Bab 7 – Keputusan yang Menyakitkan
- Bab 8 – Mencari Jalan Kembali
- Bab 9 – Cintaku Sejauh Nafasku
- Bab 10 – Akhir yang Tak Terduga
Bab 1 – Takdir Mempertemukan Kita
Dira menatap layar laptopnya dengan frustrasi. Sudah hampir satu jam ia duduk di café kecil di sudut kota ini, tetapi ide untuk artikel yang harus ia selesaikan tak kunjung datang. Ia meraih cangkir kopinya yang sudah mulai dingin, lalu menghela napas pelan.
Café ini selalu menjadi tempat favoritnya sejak pertama kali pindah ke kota ini. Suasananya tenang, dengan aroma kopi yang khas dan musik instrumental yang mengalun lembut di latar belakang. Namun, hari ini pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati ketenangan itu.
Saat itulah, pintu café terbuka, membunyikan lonceng kecil yang tergantung di atasnya. Seorang pria tinggi dengan jaket hitam masuk, membawa serta hawa dingin dari luar. Dira sempat melirik sekilas, lalu kembali menatap layar laptopnya. Tapi sesuatu dari pria itu menarik perhatiannya—bukan karena ketampanannya, tapi karena tatapan matanya yang begitu kosong, seperti seseorang yang kehilangan arah.
Arian, pria yang baru saja masuk itu, berjalan ke kasir dan memesan kopi tanpa gula. Tanpa banyak bicara, ia mengambil tempat di sudut ruangan, tak jauh dari meja Dira. Tatapannya lurus ke luar jendela, seperti sedang menunggu sesuatu—atau seseorang.
Dira mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, tetapi tak bisa menghindari perasaan aneh yang muncul. Ia merasa pernah melihat pria itu sebelumnya. Atau mungkin hanya perasaannya saja?
Tanpa sadar, tangannya menyenggol gelas kopi hingga tumpah ke meja dan mengenai selembar kertas di sampingnya. Dira panik, buru-buru menarik tisu untuk mengelapnya. Namun, sebelum ia sempat meraih kertas itu, sebuah tangan lebih dulu mengambilnya.
“Sepertinya ini milikmu.”
Dira mendongak dan bertemu dengan sepasang mata kelam yang tengah menatapnya. Itu adalah pria tadi.
“Ah, maaf… Aku ceroboh sekali.” Dira tersenyum kikuk sambil menerima kertas yang sedikit basah itu.
Pria itu menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Tidak apa-apa.” Suaranya dalam, nyaris seperti bisikan.
Dira ingin kembali bekerja, tetapi rasa penasaran menguasainya. “Kau sering ke sini?” tanyanya spontan.
Arian menghela napas sebelum menjawab, “Dulu. Tapi sudah lama tidak.”
Jawaban itu singkat, namun entah kenapa membuat Dira semakin ingin tahu lebih banyak. Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara—atau lebih tepatnya, dalam kesunyian yang menyertainya—yang membuat Dira merasa bahwa pertemuan mereka ini bukan sekadar kebetulan.
Dan di situlah semuanya dimulai.
Bagaimana menurutmu? Mau ditambahkan elemen lain seperti konflik kecil atau misteri di awal? 😊✨
Bab 2 – Dekat Namun Jauh
Arian mulai tertarik dengan keceriaan Dira, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya menjaga jarak. Sementara itu, Dira merasakan ada misteri di balik tatapan sendu Arian.
Dira mulai menyadari satu hal tentang Arian—pria itu seperti teka-teki yang sulit dipecahkan. Mereka sudah beberapa kali bertemu di café yang sama, duduk di sudut yang tak jauh berbeda, tetapi jarak di antara mereka terasa lebih luas dari yang seharusnya.
Sejak pertemuan pertama itu, Arian tidak banyak bicara. Dia selalu datang dengan ekspresi yang sulit ditebak, memesan kopi hitam tanpa gula, lalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kadang-kadang, Dira memperhatikannya dari kejauhan, mencoba membaca sosoknya yang penuh misteri.
Namun, setiap kali Dira mencoba mendekat—baik dengan sekadar menyapa atau mengajak bicara—Arian selalu menjaga batasnya. Jawaban yang ia berikan selalu singkat, nyaris seperti seseorang yang takut terlibat lebih dalam dalam percakapan.
Suatu sore, saat hujan turun deras di luar, café terasa lebih sepi dari biasanya. Dira duduk di tempat favoritnya, mencoba menyelesaikan artikelnya yang tertunda. Namun, pikirannya terus kembali ke sosok Arian yang duduk tak jauh darinya.
Tanpa berpikir panjang, Dira memberanikan diri untuk mendekat. Dengan membawa cangkir kopinya, ia duduk di kursi kosong di seberang Arian.
“Kopi hitam tanpa gula, ya?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana.
Arian mengangkat alis, tampak sedikit terkejut dengan keberanian Dira. “Iya.”
“Kamu tidak suka yang manis?”
Arian menatap cangkirnya sejenak sebelum menjawab, “Aku sudah terlalu sering merasakan yang pahit.”
Jawaban itu membuat Dira terdiam. Ada sesuatu di balik kata-kata itu yang terdengar lebih dari sekadar selera kopi. Seolah ada beban yang Arian bawa, sesuatu yang tak bisa ia ceritakan dengan mudah.
Dira tersenyum kecil, mencoba menghilangkan ketegangan. “Kalau begitu, kamu harus coba sesekali yang manis. Hidup ini tidak harus selalu pahit, kan?”
Arian menatapnya, kali ini lebih lama. Ada sesuatu di matanya—seperti keraguan, atau mungkin… ketakutan.
Dira merasa bahwa Arian ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia memilih untuk tetap diam.
Hujan di luar semakin deras, menciptakan suara yang menenangkan. Di antara mereka, keheningan menjadi bahasa yang lebih berbicara daripada kata-kata.
Dan di situlah Dira menyadari satu hal: ia semakin penasaran dengan Arian.
Pria itu begitu dekat, tetapi terasa begitu jauh.
Namun, Dira tidak berniat menyerah begitu saja.
Bagaimana menurutmu? Mau ditambahkan elemen lain seperti latar belakang masa lalu Arian atau konflik kecil yang mulai terlihat? 😊✨
Bab 3 – Luka yang Tersembunyi
Dira mulai menyelami kehidupan Arian dan mengetahui bahwa pria itu pernah kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Luka yang tak pernah sembuh membuatnya takut mencintai lagi.
Hujan baru saja reda ketika Dira kembali ke café tempatnya biasa bertemu Arian. Aroma tanah basah bercampur wangi kopi memenuhi udara, menciptakan suasana yang tenang namun mengandung misteri. Sejak percakapan terakhir mereka, Dira semakin penasaran dengan pria itu—dengan kata-katanya yang seolah menyiratkan luka yang tak terlihat.
Hari ini, Arian datang lebih awal. Ia duduk di sudut café, seperti biasa, dengan kopi hitam tanpa gula di depannya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari sorot matanya.
Dira menghela napas, berusaha mengumpulkan keberanian sebelum melangkah ke arahnya.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya pelan setelah duduk di seberang Arian.
Pria itu mendongak, tampak sedikit terkejut. “Kenapa tanya begitu?”
Dira mengangkat bahu. “Entahlah. Aku hanya merasa… ada sesuatu yang kamu sembunyikan.”
Arian terdiam lama sebelum akhirnya menghela napas. Tangannya menggenggam cangkir kopi, jemarinya sedikit bergetar.
“Kamu pernah merasa… kehilangan seseorang begitu dalam hingga rasanya kamu tidak bisa bernapas?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lirih.
Dira menelan ludah. Ia tidak menyangka Arian akan bertanya hal semacam itu.
“Aku pernah kehilangan ayahku,” jawabnya pelan. “Saat aku masih kecil.”
Arian menatapnya, seolah mencari kejujuran dalam kata-katanya. “Sakit?”
“Awalnya, iya. Tapi waktu membuatku belajar menerima.”
Arian tersenyum tipis, namun tidak sampai ke matanya. “Beruntung kalau bisa menerima. Aku… belum bisa.”
Dira tidak langsung bertanya lebih jauh. Ia tahu, beberapa luka terlalu dalam untuk dibahas dalam satu percakapan. Jadi, ia hanya duduk di sana, menunggu, membiarkan Arian berbicara dengan ritmenya sendiri.
Dan akhirnya, setelah beberapa menit berlalu, Arian membuka suara.
“Dia… seseorang yang sangat penting bagiku. Aku kehilangan dia karena aku terlalu bodoh. Terlalu percaya diri bahwa aku bisa menyelamatkannya. Tapi nyatanya, aku gagal.”
Matanya yang biasanya penuh misteri kini terlihat rapuh. Ada kesedihan yang begitu nyata, begitu mentah.
Dira tidak tahu siapa yang dimaksud Arian—apakah kekasihnya, keluarganya, atau seseorang dari masa lalunya. Tapi ia tahu satu hal: luka itu masih ada.
Dan entah kenapa, ia ingin menjadi seseorang yang bisa menyembuhkannya.
Namun, apakah Arian akan membiarkannya masuk ke dalam dunianya?
Bagaimana menurutmu? Mau ditambahkan detail lain, seperti kejadian yang lebih spesifik tentang masa lalu Arian? 😊✨
Bab 4 – Cinta yang Tumbuh Diam-Diam
Tanpa disadari, perhatian dan kebersamaan mereka membuat benih cinta tumbuh. Namun, Arian masih ragu. Ia takut jika akhirnya harus kehilangan lagi.
Dira tidak tahu kapan perasaannya mulai berubah. Awalnya, ia hanya ingin mengenal Arian lebih jauh, memahami luka yang ia sembunyikan di balik sikap dinginnya. Namun, semakin lama ia mengenal pria itu, semakin dalam perasaannya tanpa ia sadari.
Setiap pertemuan di café kecil itu, setiap tatapan mata yang penuh rahasia, setiap percakapan yang mereka bagi—semuanya seperti benih yang perlahan tumbuh di hatinya. Diam-diam, tanpa disadari, tanpa diinginkan.
Hari ini, hujan turun lagi, seperti pertemuan mereka sebelumnya. Dira datang dengan sweater abu-abu kesukaannya, rambutnya sedikit basah terkena gerimis. Saat ia masuk, Arian sudah di sana, duduk di sudut yang sama, dengan kopi hitam yang sudah setengah dingin.
“Kenapa selalu datang lebih awal?” Dira tersenyum saat duduk di depannya.
Arian mengangkat bahu. “Kebiasaan.”
Dira menatapnya dalam diam, memperhatikan bagaimana mata pria itu menerawang keluar jendela. Selama ini, ia sering mendengar bahwa orang yang paling kesepian adalah mereka yang terlihat paling tenang. Dan ia semakin yakin bahwa Arian adalah salah satunya.
“Aku penasaran…” suara Dira akhirnya memecah keheningan.
Arian mengalihkan pandangannya. “Tentang apa?”
“Tentang seseorang yang kamu sebut waktu itu. Orang yang kamu kehilangan.”
Arian terdiam. Untuk pertama kalinya, ada keraguan di wajahnya. Namun, setelah beberapa detik, ia menghela napas dan meletakkan cangkir kopinya.
“Namanya Naya,” katanya pelan.
Dira merasakan jantungnya berdebar. Entah kenapa, ia tidak siap mendengar nama seorang wanita.
“Dia… sahabatku sejak kecil. Kami tumbuh bersama. Dia tahu semua tentang aku, lebih dari siapa pun. Aku pikir, dia akan selalu ada.”
Dira menelan ludah, menunggu Arian melanjutkan.
“Tapi aku salah. Aku terlalu sibuk dengan hidupku sendiri, dengan egoku sendiri. Aku pikir aku bisa melindunginya. Tapi pada akhirnya, aku hanya bisa melihatnya pergi.”
Dira tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu, beberapa luka tidak perlu diungkit jika orang yang memilikinya belum siap berbagi.
Namun, di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang baru. Perasaan yang sebelumnya hanya sebatas perhatian, kini tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dari itu.
Diam-diam, Dira tahu bahwa ia mulai mencintai Arian.
Tapi, apakah hatinya memiliki tempat di dunia pria itu? Atau ia hanya akan menjadi bayangan yang tidak pernah terlihat?
Gimana? Mau ditambahkan lebih banyak interaksi antara Dira dan Arian, atau adegan yang lebih emosional? 😊✨
Bab 5 – Rintangan yang Menghalangi
Di saat cinta mulai mekar, mantan kekasih Arian kembali, membawa kenangan yang menghancurkan hatinya. Dira pun mulai merasa tersisih.
Dira mulai menyadari bahwa kedekatannya dengan Arian bukan lagi sekadar pertemanan biasa. Ada perasaan yang berkembang di hatinya, meskipun ia sendiri belum berani mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
Namun, semakin dekat ia dengan Arian, semakin ia merasakan tembok yang tinggi di antara mereka.
Sore itu, di café yang biasa mereka kunjungi, Dira melihat Arian lebih muram dari biasanya. Tatapan kosongnya menembus jendela, seakan pikirannya melayang jauh ke tempat yang tidak bisa dijangkau.
“Kamu kelihatan lelah,” kata Dira pelan.
Arian menoleh, tersenyum tipis. “Biasa saja.”
“Tapi aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu.”
Arian terdiam, tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah mendingin. Beberapa detik berlalu sebelum ia akhirnya berkata, “Ada seseorang yang tidak ingin aku bahagia.”
Dira mengerutkan kening. “Maksudmu?”
Arian menarik napas dalam. “Ibuku.”
Dira tidak menyangka jawaban itu. Ia tahu Arian tidak pernah banyak bercerita tentang keluarganya, dan ini adalah kali pertama ia menyebut ibunya.
“Ibuku… selalu mengontrol hidupku. Dia tidak suka aku dekat dengan siapa pun yang menurutnya tidak sesuai dengan harapannya,” lanjut Arian.
Dira menatapnya dengan penuh perhatian. “Jadi, aku termasuk salah satu orang yang tidak sesuai dengan harapannya?”
Arian menatapnya dalam, dan sesuatu di matanya membuat dada Dira berdegup kencang.
“Kamu adalah sesuatu yang baru dalam hidupku, Dira,” katanya pelan. “Dan justru itu yang membuatnya ingin menjauhkanmu dariku.”
Dira merasa hatinya mencelos. “Kenapa?”
“Ibuku tidak percaya pada kebahagiaan yang datang dari luar kendalinya. Setiap orang yang mendekatiku akan dianggap ancaman. Aku sudah terlalu sering melihat bagaimana dia menghancurkan hubungan-hubungan yang berusaha kubangun.”
Dira menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa untuk sekadar mengenal Arian lebih dalam pun, ada rintangan sebesar ini.
“Tapi, kamu tidak akan membiarkannya mengatur hidupmu selamanya, kan?” tanyanya penuh harap.
Arian terdiam.
Dan di saat itu, Dira sadar—bukan hanya ibunya yang menghalangi, tapi juga ketakutan Arian sendiri.
Apakah Arian akan memilih melawan atau membiarkan dirinya terus terjebak dalam bayang-bayang ibunya?
Dan apakah Dira cukup kuat untuk bertahan di sampingnya?
Gimana menurutmu? Mau ditambahkan konflik lain atau tokoh baru yang bisa memperumit cerita? 😊✨
Bab 6 – Pergi atau Bertahan?
Dira harus memilih, tetap tinggal meski hatinya sakit atau pergi sebelum ia semakin terluka. Arian dihadapkan pada dilema terbesar dalam hidupnya.
Dira menatap layar ponselnya yang sejak tadi bergetar. Nama Arian muncul di sana, namun ia ragu untuk menjawab. Sudah tiga hari sejak terakhir kali mereka berbicara, sejak Arian mengungkapkan bahwa ibunya ingin menjauhkannya dari siapa pun yang bisa “mengancam” kendalinya.
Dira menghela napas, perasaannya berkecamuk. Ia ingin bertahan, ingin terus ada di sisi Arian, tapi ia juga tidak ingin menjadi seseorang yang dipertanyakan keberadaannya dalam hidup pria itu.
Akhirnya, ia menjawab panggilan itu.
“Dira,” suara Arian terdengar di seberang, lebih pelan dari biasanya.
“Hai,” jawabnya singkat.
“Kita bisa bertemu?”
Dira ragu sejenak, namun akhirnya mengiyakan.
Mereka bertemu di tempat biasa, café kecil yang kini menjadi saksi perjalanan perasaan mereka. Hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang menyegarkan.
Saat Dira tiba, Arian sudah ada di sana, seperti biasa dengan kopi hitam di hadapannya. Namun kali ini, wajahnya tampak lebih letih.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Dira saat ia duduk.
Arian menatapnya lama, seakan ingin menghafal setiap detail wajahnya. “Aku harus memilih.”
Dira menelan ludah. “Memilih?”
“Aku harus memilih antara mempertahankan kita, atau mengikuti apa yang diinginkan ibuku.”
Kata-kata itu terasa seperti pukulan di dada Dira. Ia sudah tahu ini akan terjadi, tapi mendengarnya langsung dari Arian tetap membuat hatinya nyeri.
“Lalu?”
“Aku tidak ingin kehilanganmu, Dira. Tapi aku juga tahu ibuku tidak akan pernah berhenti mencoba memisahkan kita.”
Dira merasakan matanya panas. Ia ingin bertanya, ingin berteriak, ingin memaksa Arian untuk melawannya. Tapi apakah itu adil?
“Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya dengan suara yang hampir berbisik.
Arian menatapnya penuh keraguan. “Aku ingin bertahan. Tapi aku takut… bahwa bertahan hanya akan membuatmu terluka lebih dalam.”
Dira terdiam. Pilihan itu ternyata tidak hanya milik Arian, tapi juga dirinya sendiri. Pergi atau bertahan—mana yang lebih menyakitkan?
Ia menatap mata Arian yang dipenuhi konflik. Lalu, dengan suara bergetar, ia berkata,
“Aku tidak butuh janji. Aku hanya ingin tahu… apakah aku cukup berharga bagimu untuk diperjuangkan?”
Keheningan melingkupi mereka. Di luar, gerimis mulai turun lagi.
Dira tahu, jawaban Arian akan menentukan segalanya.
Gimana? Mau ditambahkan lebih banyak konflik atau momen emosional antara mereka? 😊✨
Bab 7 – Keputusan yang Menyakitkan
Dira akhirnya memilih menjauh. Ia tak ingin menjadi bayangan masa lalu Arian. Namun, kepergiannya justru membuat Arian sadar bahwa ia telah jatuh cinta sepenuhnya pada Dira.
Hujan turun lebih deras malam itu, seakan langit ikut merasakan beban yang ada di hati Dira. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponselnya yang masih memperlihatkan pesan terakhir dari Arian:
“Aku sudah memutuskan. Kita harus berhenti di sini.”
Tangannya gemetar saat membaca kata-kata itu berulang kali. Hatinya menolak percaya, meski sejak pertemuan terakhir mereka, ia sudah bisa menebak akhir yang akan terjadi.
Dira menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi nyatanya, tidak ada cara mudah untuk menerima keputusan yang meremukkan hati. Arian telah memilih—bukan dirinya, bukan mereka, tetapi sesuatu yang lebih besar dari perasaan mereka berdua.
Keesokan harinya, Dira berjalan tanpa tujuan di taman dekat rumahnya. Ingatan tentang Arian memenuhi kepalanya—senyum lembutnya, caranya menatap penuh perhatian, bagaimana tangannya selalu terasa hangat saat menggenggamnya. Semua itu kini hanya akan menjadi kenangan.
“Pagi-pagi melamun sendirian?” suara familiar menyapanya.
Dira menoleh dan mendapati Sarah, sahabatnya, berdiri dengan dua gelas kopi di tangan. Tanpa menunggu jawaban, Sarah duduk di sampingnya dan menyerahkan salah satu gelas.
“Arian?” tebak Sarah.
Dira mengangguk pelan, menatap cairan hitam di dalam gelasnya. “Dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya.”
Sarah menghela napas. “Aku tahu ini berat. Tapi, kamu tahu kan, terkadang cinta saja tidak cukup?”
Dira tersenyum miris. “Aku ingin marah, ingin menyalahkannya. Tapi aku juga tahu dia tidak punya pilihan lain. Aku hanya tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa perasaan ini.”
Sarah menepuk bahunya dengan lembut. “Kamu akan melewatinya, Dira. Tidak hari ini, mungkin tidak besok, tapi suatu saat nanti.”
Dira menggigit bibirnya, menahan air mata yang kembali menggenang. Ia ingin percaya bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya, tapi untuk saat ini, luka itu masih terlalu nyata.
Di kejauhan, awan mulai menipis, membiarkan sedikit cahaya matahari menerobos di antara mendung.
Mungkin, sama seperti langit, hatinya juga akan menemukan terangnya kembali—suatu hari nanti.
Gimana? Mau ditambahkan momen perpisahan langsung antara Dira dan Arian atau ada konflik lain yang ingin dimasukkan? 😊✨
Bab 8 – Mencari Jalan Kembali
Arian berusaha memperbaiki semuanya. Ia ingin menunjukkan bahwa cintanya pada Dira bukan sekadar pelarian, tetapi sesuatu yang nyata.
Dira menatap bayangannya di cermin. Mata yang dulu berbinar kini terlihat sayu, senyum yang biasanya terukir kini terasa asing. Sudah tiga bulan sejak kepergian Arian dari hidupnya, tapi lukanya masih terasa segar.
Ia pikir waktu akan membantunya melupakan, tapi justru setiap harinya ia merasa kehilangan semakin dalam.
Malam itu, ia duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang penuh bintang. Tangan kanannya menggenggam secangkir teh hangat, sementara pikirannya melayang jauh.
Lalu, ponselnya bergetar.
Arian.
Jantungnya berdegup kencang. Ia ragu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkatnya.
“Halo?” suaranya terdengar lebih lemah dari yang ia harapkan.
Di seberang, Arian terdiam sebelum akhirnya berkata, “Dira… aku nggak tahu apakah aku berhak menghubungimu, tapi aku perlu bicara.”
Dira menarik napas dalam. “Apa lagi yang mau kamu katakan, Arian? Bukankah semuanya sudah berakhir?”
“Aku mencoba untuk menjauh. Aku pikir itu keputusan terbaik,” suara Arian terdengar penuh penyesalan. “Tapi aku salah. Aku kehilangan kamu, dan itu adalah hal paling menyakitkan yang pernah aku rasakan.”
Dira memejamkan matanya. “Kamu yang memilih untuk pergi.”
“Aku tahu.”
Keheningan menyelimuti mereka. Dira bisa merasakan ketulusan di suara Arian, tapi apakah itu cukup? Apakah cinta bisa begitu saja diperbaiki setelah hancur?
“Aku mau ketemu kamu,” lanjut Arian, suaranya nyaris berbisik. “Tolong, Dira. Satu kali saja.”
Dira menatap langit. Hatinya masih menyimpan luka, tapi jauh di dalam dirinya, ia juga rindu.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya menjawab, “Baiklah.”
Esok harinya
Dira tiba di café tempat mereka biasa bertemu. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pintu.
Di sudut ruangan, Arian sudah menunggunya. Pria itu tampak lebih kurus, matanya tidak seterang biasanya.
Saat tatapan mereka bertemu, waktu seakan berhenti.
“Aku merindukanmu,” kata Arian pelan.
Dira tersenyum tipis, lalu duduk. “Jadi, apa yang ingin kamu katakan?”
Arian menarik napas panjang. “Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita mencari jalan kembali.”
Dira menatapnya, ragu. “Dan bagaimana jika kita terluka lagi?”
Arian menggenggam tangannya. “Kali ini, aku akan memperjuangkan kita. Aku janji.”
Dira merasakan air mata menggenang di matanya. Mungkin, ini bukan tentang pergi atau bertahan. Ini tentang mencari jalan kembali—bersama.
Tapi apakah mereka benar-benar bisa kembali seperti dulu?
Jawabannya masih menjadi misteri.
Gimana? Mau ditambahkan lebih banyak konflik atau momen emosional lainnya? 😊✨
Bab 9 – Cintaku Sejauh Nafasku
Di titik akhir perjalanan mereka, Arian akhirnya berani melepaskan masa lalunya dan memperjuangkan Dira. Namun, ada satu rahasia yang Dira sembunyikan—rahasia yang bisa membuat semuanya berubah selamanya.
Dira duduk di tepi danau, menatap riak air yang tenang, tetapi hatinya masih bergejolak. Pertemuan dengan Arian kemarin membuka kembali luka yang ia coba sembuhkan, tetapi di sisi lain, ada kehangatan yang sulit ia abaikan.
“Aku ingin kita mencari jalan kembali,” kata-kata Arian terus terngiang dalam pikirannya.
Sejauh mana ia harus percaya? Sejauh mana ia harus berjuang?
Suara langkah kaki mendekat. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Aroma khas parfum Arian terbawa angin.
“Dira,” suara Arian terdengar lembut.
Dira tetap menatap air danau, berusaha menenangkan debaran hatinya. “Kenapa kamu di sini?”
“Aku ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja,” jawab Arian seraya duduk di sampingnya.
Dira menghela napas. “Kamu tahu, Arian? Aku selalu berpikir bahwa cinta kita sekuat itu. Tapi, kenapa rasanya rapuh?”
Arian menatapnya penuh penyesalan. “Karena aku yang membuatnya begitu. Aku pergi saat seharusnya aku bertahan. Aku diam saat seharusnya aku berbicara. Aku menyerah saat seharusnya aku memperjuangkan.”
Dira akhirnya menoleh, menatap Arian dalam-dalam. “Dan sekarang? Kamu yakin tidak akan melakukan itu lagi?”
Arian menggenggam tangannya erat. “Cintaku sejauh nafasku, Dira. Aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu, selama aku masih bisa bernapas.”
Dira merasakan hatinya bergetar. Kalimat itu terasa begitu dalam, tetapi apakah cukup untuk menyembuhkan semua yang telah terjadi?
“Aku butuh waktu, Arian,” katanya lirih.
“Aku akan menunggu,” Arian tersenyum tipis. “Sejauh apa pun kamu pergi, aku akan tetap mencintaimu. Sejauh nafasku masih ada.”
Dira menatap Arian, mencoba mencari kepastian di matanya.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada harapan.
Mungkin cinta mereka memang rapuh. Tapi jika diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, siapa tahu cinta itu bisa tetap bertahan—sejauh nafasku.
TAMAT? ATAU LANJUT? 😍✨
Kalau mau twist atau ending yang lebih dramatis, bisa kita kembangkan lagi! 🔥
Bab 10 – Akhir yang Tak Terduga
Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia atau takdir memiliki rencana lain? Semua terjawab dalam bab terakhir yang penuh dengan haru dan kejutan.
Dira menatap pesan di layar ponselnya dengan tangan gemetar.
“Aku di rumah sakit. Tolong datang.”
Arian.
Jantungnya berdegup kencang. Tanpa berpikir panjang, ia segera meraih kunci mobil dan melaju secepat mungkin menuju rumah sakit yang tertera di pesan. Hatinya dipenuhi kecemasan, ketakutan, dan rasa bersalah yang tak terungkapkan.
Apa yang terjadi? Kenapa Arian ada di rumah sakit?
Begitu sampai, Dira langsung menuju ruang IGD. Nafasnya memburu saat ia melihat sosok pria yang begitu familiar terbaring di ranjang dengan selang infus di tangannya. Wajah Arian pucat, tetapi senyum samar tetap menghiasi bibirnya saat melihat Dira datang.
“Kamu datang…” suara Arian lemah, tetapi matanya berbinar.
Dira duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Arian erat. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sakit?”
Arian tertawa kecil, tetapi batuk menutupinya. “Aku nggak mau kamu khawatir.”
Air mata mulai menggenang di mata Dira. “Bodoh! Aku berhak tahu!”
Arian menatapnya dengan penuh cinta. “Aku hanya ingin memastikan kamu bahagia… dengan atau tanpa aku.”
Dira menggeleng, menggigit bibirnya untuk menahan isak. “Aku nggak butuh kebahagiaan tanpa kamu, Arian…”
Hening.
Arian menarik napas dalam, lalu menggenggam tangan Dira semakin erat. “Aku nggak akan ke mana-mana, Dira. Aku janji.”
Tapi janji itu seakan beradu dengan kenyataan. Kondisi Arian ternyata lebih parah dari yang Dira bayangkan.
Dokter memberi tahu bahwa Arian mengidap penyakit yang sudah lama ia sembunyikan—sesuatu yang perlahan merenggut kekuatannya, tetapi ia memilih merahasiakannya demi melihat Dira tersenyum.
Dira merasa dunianya runtuh.
Selama ini, ia berpikir bahwa perpisahan mereka sebelumnya adalah luka terbesar yang bisa ia rasakan. Namun, kini ia menyadari bahwa kehilangan selamanya adalah ketakutan yang jauh lebih besar.
Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Dira menggenggam tangan Arian lebih erat dari sebelumnya. “Aku nggak akan pergi. Aku akan tetap di sini, sampai kapan pun.”
Arian tersenyum lemah, lalu menutup matanya.
Dira merasakan air mata mengalir di pipinya.
Dan di saat itu, ia berdoa…
Untuk sebuah keajaiban. Untuk akhir yang tidak harus menyakitkan.
Namun, apakah takdir akan mengabulkan?
AKHIR? ATAU ADA KEAJAIBAN?
Kalau mau plot twist atau ending yang lebih mengguncang, bisa kita lanjutkan! Mau tragis, bahagia, atau penuh kejutan? 🎭🔥✨.***
———————–THE END—————————