Daftar Isi
- Bab 1: Pertemuan yang Menggetarkan
- Bab 2: Tatapan yang Menyimpan Rahasia
- Bab 3: Mencoba Menjaga Batasan
- Bab 4: Rahasia yang Terbongkar
- Bab 5: Perasaan yang Tidak Bisa Dihindari
- Bab 6: Pergulatan Batinku
- Bab 7: Keputusan yang Sulit
- Bab 8: Cinta yang Menyakitkan
- Bab 9: Pertaruhan Cinta
- Bab 10: Pilihan yang Menghancurkan
Bab 1: Pertemuan yang Menggetarkan
Aku masih ingat hari itu dengan jelas, hari ketika pertama kali aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diriku saat melihatnya—Reyhan, adik laki-laki suamiku. Selama ini, aku hanya menganggapnya sebagai anggota keluarga yang lain, seseorang yang harus kuhormati sebagai adik iparku. Namun, entah bagaimana, di suatu titik, perasaan itu berubah menjadi sesuatu yang seharusnya tidak ada.
Semua berawal saat keluarga besar suamiku mengadakan perayaan ulang tahun pernikahan orang tua mereka. Kami semua berkumpul di rumah keluarga di luar kota, rumah besar dengan halaman luas yang sering menjadi tempat berkumpulnya keluarga besar. Aku dan suamiku, Adrian, datang lebih awal untuk membantu persiapan acara. Sementara itu, Reyhan baru tiba sore harinya, dengan senyuman khasnya yang membuat banyak wanita tertarik.
Aku selalu tahu bahwa Reyhan memiliki pesona tersendiri. Ia lebih muda dari Adrian lima tahun, namun memiliki karisma yang berbeda. Tatapannya tajam namun lembut, dan cara ia berbicara penuh percaya diri namun tetap santun. Mungkin karena aku sudah terbiasa melihatnya dalam konteks keluarga, aku tidak pernah benar-benar memperhatikan detail itu. Hingga hari itu.
Saat aku sedang menata meja makan, aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku. Aku menoleh dan menemukan Reyhan berdiri di ambang pintu, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan tangan terlipat di dada.
“Kak Hana kelihatan sibuk sekali,” katanya sambil tersenyum.
Aku tersenyum balik. “Namanya juga acara keluarga. Semua harus ikut turun tangan.”
Ia melangkah masuk dan berdiri di sampingku, melihat meja yang sedang kutata. “Biar aku bantu.”
Sebelum aku sempat menolak, ia sudah mengambil beberapa piring dan membantuku menyusunnya di meja. Aku memperhatikannya dari sudut mata. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya hari itu, atau mungkin akulah yang baru menyadarinya.
Saat aku sedang meraih sendok di sisi lain meja, tanpa sengaja tanganku menyentuh tangannya. Seharusnya itu bukan hal yang berarti, tapi anehnya, aku merasa ada getaran aneh yang menjalar di tubuhku. Aku buru-buru menarik tangan dan pura-pura sibuk dengan piring-piring di depanku, berharap Reyhan tidak menyadari kegugupanku.
Namun, dari caranya tersenyum dan menatapku, aku tahu bahwa ia menyadarinya.
***
Malam itu, setelah acara selesai, aku duduk di teras belakang rumah keluarga sambil menikmati angin malam. Adrian sudah masuk ke kamar, merasa lelah setelah seharian berkumpul dengan keluarga. Aku ingin menikmati sedikit ketenangan sebelum ikut masuk.
“Ternyata Kak Hana masih di sini.”
Aku menoleh dan melihat Reyhan berjalan mendekat, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Ia duduk di bangku di sampingku, sedikit lebih dekat dari yang seharusnya.
“Kamu belum tidur?” tanyaku, berusaha terdengar biasa saja.
“Belum ngantuk,” jawabnya sambil menatap langit. “Lagipula, udah lama nggak ngobrol sama Kak Hana.”
Aku tertawa kecil. “Sejak kapan kamu tertarik ngobrol sama kakak iparmu ini?”
Reyhan menoleh padaku, dan untuk sesaat, aku merasa terperangkap dalam tatapannya. “Sejak aku sadar kalau kita jarang benar-benar bicara berdua.”
Ada sesuatu dalam caranya mengatakannya yang membuatku merasa tidak nyaman—bukan karena aku takut, tetapi karena aku mulai menyadari bahwa perasaan ini mulai berkembang ke arah yang salah.
Aku buru-buru berdiri. “Aku masuk dulu, udah ngantuk.”
Namun, saat aku berbalik, aku bisa merasakan tatapan Reyhan masih tertuju padaku, seakan-akan ia sedang membaca sesuatu yang bahkan aku sendiri belum berani akui.
Dan di situlah semuanya dimulai.*
Bab 2: Tatapan yang Menyimpan Rahasia
Beberapa hari setelah acara ulang tahun pernikahan orang tua Adrian, aku merasa ada yang berbeda. Reyhan seakan tidak pernah jauh dari pikiranku, meski aku berusaha keras untuk mengusirnya. Setiap kali aku melakukan kegiatan sehari-hari—mengurus rumah, memasak, bahkan berbicara dengan suamiku—aku merasa seperti ada bayangan yang mengganggu, bayangan Reyhan yang terus mengikuti.
Kami bertemu lagi beberapa hari setelah perayaan itu, ketika aku dan Adrian mengunjungi rumah orang tua Adrian untuk makan malam bersama. Reyhan ada di sana, seperti biasa, duduk di meja makan dengan senyum khasnya yang seolah mampu menarik perhatian semua orang. Namun, kali ini, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya, sesuatu yang sulit kutangkap.
“Reyhan,” panggil Adrian dengan suara ceria. “Ada ide buat liburan akhir tahun, nggak?”
Reyhan mengangguk santai. “Mungkin kita bisa ke pantai. Udah lama juga nggak liburan keluarga, kan?”
Aku ikut bergabung dalam percakapan mereka, meski pikiranku masih terus dipenuhi dengan pertanyaan tentang tatapan Reyhan yang begitu dalam saat aku masuk ke ruang makan tadi. Sepertinya dia memperhatikanku lebih dari yang biasanya—dan aku tak bisa menahan perasaan itu.
Selama makan malam, kami berbicara tentang banyak hal, tetapi aku merasa tatapan Reyhan sering kali jatuh padaku. Setiap kali aku melihat ke arahnya, dia tampak cepat-cepat mengalihkan pandangannya, seolah ingin menyembunyikan sesuatu. Entah apa yang terjadi padaku, aku mulai merasa bahwa tatapan itu bukan sekadar tatapan biasa.
Setelah makan, Adrian memutuskan untuk tidur lebih awal, merasa kelelahan setelah seharian bekerja. Aku memilih untuk tetap duduk di ruang tamu, menyendiri sejenak untuk menenangkan diri. Ternyata, Reyhan ada di sana, duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya.
Aku mencoba tidak memperhatikannya, namun aku merasakan tatapan Reyhan yang tertuju padaku. Ini bukan pertama kalinya, tapi kali ini rasanya lebih intens, lebih membuatku tidak nyaman.
“Lagi ngapain?” tanyaku, berusaha mengalihkan perhatian.
“Kerja, Kak Hana. Lagi mikir-mikir buat proyek baru,” jawab Reyhan sambil mengangguk pelan, matanya tidak lepas dariku.
Aku tersenyum canggung. “Seharusnya kamu istirahat, Reyhan.”
Dia hanya tersenyum tanpa menjawab. Ada keheningan sejenak di antara kami. Aku bisa merasakan ada ketegangan yang tidak bisa dijelaskan, seolah-olah ruang di sekitar kami mengecil. Lalu, tiba-tiba Reyhan meletakkan laptopnya dan berdiri.
“Jangan terlalu capek, Kak Hana,” katanya pelan, hampir seperti bisikan. “Jaga kesehatan.”
Aku hanya mengangguk, merasa tubuhku sedikit kaku oleh kata-kata dan tatapannya. Aku ingin melangkah pergi, tetapi Reyhan mendekatkan dirinya, berdiri sangat dekat di depanku.
“Kadang-kadang, kita tidak bisa menghindari perasaan, kan?”
Aku terkejut mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Pikiranku langsung terputus, dan aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya berdiri di sana, mencoba mencerna kata-kata itu.
“Reyhan, apa maksudmu?” aku bertanya, suaraku sedikit bergetar.
Dia tersenyum tipis, namun tidak menjawab. Dengan langkah pelan, ia kembali menuju sofa dan duduk. “Maaf, Kak Hana. Aku nggak bermaksud bikin canggung. Aku hanya berpikir, mungkin kita bisa lebih sering ngobrol, ya?”
Suasana di sekitar kami semakin berat, dan aku merasa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. “Kita kan sudah sering ngobrol, Reyhan,” jawabku, berusaha menunjukkan ketenangan, meskipun hatiku berdebar hebat.
Namun, Reyhan hanya menatapku dengan cara yang sulit kuterjemahkan. Dia mengangguk pelan. “Iya, Kak Hana. Tapi kadang, ada yang lebih dari sekadar obrolan biasa, kan?”
Aku menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri. Rasanya aku ingin melarikan diri dari ruangan itu, dari perasaan yang semakin sulit dihindari.
“Mungkin, ini hanya perasaan yang sementara,” ujarku sambil berusaha tersenyum, meskipun hatiku ragu dengan kata-kataku sendiri.
Reyhan tidak menjawab, hanya membiarkan keheningan menyelimuti kami. Ketegangan itu semakin terasa kental, dan aku merasa tak tahu lagi bagaimana harus berbuat. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Reyhan akhirnya berdiri dan pergi ke kamar.
Aku duduk terdiam di sana, mencoba untuk mencerna semuanya. Apa yang baru saja terjadi? Tatapan itu, kata-kata itu… Apakah mungkin, perasaan itu bukan hanya datang dariku saja?
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang jelas, sejak saat itu, aku tahu segalanya tidak akan pernah sama lagi.*
Bab 3: Mencoba Menjaga Batasan
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa berat. Aku merasa seolah-olah hidupku terbagi dua—satu sisi yang tetap menjalani rutinitas sebagai istri yang baik bagi Adrian, dan sisi lainnya yang bergejolak dengan perasaan yang tidak seharusnya ada. Setiap kali aku melihat Reyhan, hatiku berdebar, dan aku berusaha keras untuk tidak menunjukkan apa yang sebenarnya sedang kurasakan.
Aku tahu apa yang aku rasakan adalah sebuah kesalahan. Tidak mungkin ada masa depan bagi perasaan yang terlarang ini. Reyhan adalah adik iparku, orang yang seharusnya aku anggap seperti adik sendiri. Cinta terhadapnya adalah sesuatu yang tidak bisa dan tidak seharusnya ada.
Namun, setiap kali kami bertemu, rasanya semakin sulit untuk menahan perasaan itu. Keberadaannya di dekatku mengganggu pikiran dan hatiku. Aku mencoba menjaga jarak, berusaha memperhatikan suamiku lebih baik, dan menjauh dari Reyhan. Tapi sepertinya, takdir tidak memberi ruang untuk itu.
Suatu malam, setelah makan malam dengan keluarga, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah orang tua Adrian. Udara malam yang segar membantu menenangkan pikiranku. Saat aku melangkah menuju taman belakang, aku tidak sengaja bertemu dengan Reyhan. Ia sedang duduk di bangku taman, memandangi langit yang dipenuhi bintang.
Aku merasa ragu apakah harus melanjutkan jalan atau berbicara dengannya, tetapi akhirnya aku memutuskan untuk mendekat. “Reyhan, kamu nggak tidur?” tanyaku, berusaha untuk terdengar santai.
Dia menoleh dan tersenyum. “Aku sedang menikmati malam. Kadang-kadang aku butuh waktu sendiri untuk berpikir.”
Aku mengangguk pelan dan duduk di sebelahnya. Ada keheningan di antara kami yang terasa semakin kental. Aku ingin berbicara tentang hal lain, apapun selain perasaan yang tidak seharusnya ada di antara kami, tetapi kata-kata itu terasa begitu sulit untuk keluar dari mulutku.
“Pikirkan apa, Reyhan?” aku mencoba membuka percakapan.
Dia tersenyum tipis, dan untuk sesaat aku merasa seperti ia mengetahui apa yang sedang aku rasakan. “Pikirkan banyak hal. Tentang keluarga, tentang hidup, dan…” Reyhan berhenti sejenak, menatapku dengan tatapan yang tajam namun lembut. “Tentang kita.”
Aku merasa jantungku berdebar. Semua yang ada dalam diriku ingin segera lari, menjauh, dan bersembunyi, tetapi aku terjebak dalam tatapannya. Apa yang harus aku katakan? Apa yang harus aku lakukan?
“Apa maksudmu?” tanyaku, meskipun aku sudah tahu jawabannya.
Reyhan menunduk sejenak, kemudian kembali menatapku. “Aku tahu ini salah, Kak Hana. Aku juga merasa bahwa kita tidak seharusnya seperti ini. Tapi…” Ia menghela napas, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak bisa menahan perasaanku. Aku… Aku ingin lebih dekat denganmu, lebih dari sekadar hubungan keluarga.”
Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah menghantam jantungku, menghancurkan dinding-dinding yang sudah aku bangun untuk melindungi diri dari perasaan ini. Aku mencoba untuk tetap tenang, untuk tidak terbawa oleh kata-kata itu, tetapi perasaan itu semakin kuat.
“Aku tidak bisa, Reyhan,” jawabku, suaraku sedikit bergetar. “Kita tidak bisa seperti ini. Ini salah.”
Reyhan hanya terdiam, menatapku dengan tatapan yang sulit dibaca. “Aku tahu, Kak Hana. Aku hanya… tidak bisa menahan perasaan ini lagi. Aku rasa, kita harus lebih jujur pada diri sendiri.”
Aku merasa ada sesuatu yang berat mengganjal di dadaku. “Kita tidak bisa lebih jujur, Reyhan. Aku sudah menikah. Aku punya suami yang aku cintai.”
Reyhan menunduk, dan aku bisa melihat keputusasaannya. “Aku tidak ingin menghancurkan rumah tanggamu, Kak Hana. Aku hanya… tidak bisa menghindari perasaan ini.”
Ada keheningan yang mencekam di antara kami. Aku ingin sekali melarikan diri, pergi jauh dari Reyhan, tetapi seolah ada kekuatan yang menarikku untuk tetap berada di sana, di sampingnya. Aku tahu, jika aku tidak berhenti di sini, perasaan ini akan berkembang lebih jauh dan menghancurkan semuanya.
Aku bangkit dari bangku taman itu, berusaha mengendalikan diri. “Kita harus menjauh, Reyhan. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus kembali ke rumah.”
Reyhan hanya mengangguk pelan. “Aku tahu, Kak Hana. Aku akan mencoba untuk menjaga jarak juga.”
Aku berbalik dan berjalan meninggalkan Reyhan, tetapi hatiku terasa hancur. Aku tahu perasaan ini adalah jalan menuju kehancuran, tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa ragu apakah aku bisa benar-benar melepaskannya.*
Bab 4: Rahasia yang Terbongkar
Beberapa hari setelah pertemuan di taman, aku berusaha menghindari Reyhan. Aku sibuk dengan pekerjaan rumah, berusaha lebih fokus pada Adrian, dan menghabiskan waktu dengan teman-teman. Setiap kali aku bertemu dengan Reyhan, aku merasa perasaan itu kembali muncul—perasaan yang berbahaya. Jadi, aku memutuskan untuk menjaga jarak, berharap ini bisa meredakan kegelisahanku.
Namun, takdir sepertinya tidak mengizinkanku untuk melarikan diri. Pada suatu malam, saat Adrian dan aku sedang berada di rumah orang tuanya, aku merasa ada yang tidak beres. Keluarga besar berkumpul, tetapi aku merasa Reyhan menghindariku. Saat aku mencarinya di ruang tamu, ia tidak ada di sana. Aku menemukan dirinya di balkon belakang, berdiri sendiri, menghadap ke luar.
Aku merasa ada dorongan untuk berbicara dengannya, untuk menanyakan apakah semuanya baik-baik saja. Aku tahu bahwa setelah percakapan di taman, Reyhan jelas tidak bisa menerima kenyataan bahwa perasaannya tak mungkin terbalas. Namun, aku pun tahu bahwa semakin lama aku menghindarinya, semakin besar kemungkinan perasaan itu menjadi beban bagi kami berdua.
Aku mendekatinya dengan langkah hati-hati. “Reyhan, kamu baik-baik saja?” tanyaku dengan suara pelan.
Reyhan menoleh dan tersenyum, meskipun senyum itu tampak dipaksakan. “Aku baik, Kak Hana. Hanya butuh sedikit waktu untuk diri sendiri.”
Aku berdiri di sampingnya, menyandarkan tubuh pada pagar balkon. “Aku merasa kita harus bicara, Reyhan. Tentang apa yang terjadi di antara kita.”
Reyhan menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti. Ia mendesah pelan, lalu berkata, “Aku tidak bisa berhenti berpikir tentang itu, Kak Hana. Aku tahu kita sudah sepakat untuk menjauh, tapi semakin aku berusaha melupakanmu, semakin aku sadar bahwa perasaanku… tidak bisa hilang begitu saja.”
Aku menggigit bibir, berusaha menahan perasaan yang mulai meluap. “Reyhan, kita tidak bisa seperti ini. Ini salah. Aku sudah menikah. Aku… aku tidak bisa menghancurkan hidupku, hidupmu, atau hidup keluarga kita.”
Tiba-tiba, Reyhan memutar tubuhnya dan berdiri tepat di depanku. Ia menatapku dengan mata yang penuh keraguan dan harapan. “Tapi, Kak Hana, aku merasa kita… kita punya sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak bisa pura-pura lagi.”
Aku terkejut mendengar kata-katanya. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana harus merespons. Selama ini, aku merasa bahwa kami berdua bisa menahan perasaan ini, tapi sekarang Reyhan mengungkapkannya secara langsung. Ini bukan lagi sekadar permainan perasaan.
“Apa maksudmu?” tanyaku, suaraku hampir tidak terdengar.
Reyhan mengambil napas dalam-dalam, lalu berkata, “Aku mencintaimu, Kak Hana. Aku tidak bisa lagi menutupinya. Aku ingin kita bersama.”
Seketika, dunia di sekitarku terasa berhenti berputar. Jantungku berdebar kencang, dan aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang sangat besar dan berat mengikat tubuhku, membuatku sulit untuk bernapas. “Tidak, Reyhan. Ini tidak bisa terjadi. Kamu adalah adik iparku, dan aku sudah menikah.”
Namun, Reyhan mendekatkan dirinya padaku, memegang kedua bahuku dengan lembut. “Aku tahu ini salah, Kak Hana. Tapi aku tidak bisa menahan perasaan ini lagi. Aku sudah terlalu lama diam, menyimpan semuanya sendiri. Aku ingin kita jujur, baik pada diri kita sendiri maupun pada perasaan ini.”
Aku merasa terjebak. Sebagian dari diriku ingin melawan, ingin berlari jauh dari perasaan ini, tapi sebagian lagi—sebuah bagian yang jauh lebih gelap—merasa cemas akan kehilangan kesempatan untuk merasakan cinta yang begitu mendalam.
“Tolong, Reyhan. Jangan seperti ini. Ini akan menghancurkan kita,” ujarku dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Reyhan melepaskan genggamannya dan mundur beberapa langkah. Wajahnya penuh kekecewaan, namun ada kesedihan yang dalam di matanya. “Aku hanya ingin kamu tahu, Kak Hana. Aku mencintaimu, dan aku tidak bisa lagi berpura-pura bahwa aku tidak merasakannya.”
Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Reyhan berbalik dan berjalan menjauh. Aku berdiri di sana, terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Perasaan itu, yang selama ini kusembunyikan, akhirnya keluar ke permukaan.
Namun, aku tahu bahwa aku tidak bisa membiarkan perasaan ini berkembang lebih jauh. Aku mencintai Adrian, suamiku, dan aku tidak ingin menghancurkan hubungan kami hanya karena perasaan yang tidak seharusnya ada.
Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri?*
Bab 5: Perasaan yang Tidak Bisa Dihindari
Setelah percakapan yang menggetarkan itu, semuanya menjadi semakin rumit. Aku merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak terhingga, antara keinginan untuk melindungi pernikahanku dengan Adrian dan ketakutan akan perasaan yang tak bisa kutahan. Setiap kali aku melihat Reyhan, perasaan itu kembali muncul—perasaan yang seharusnya tidak ada di tempatnya.
Aku berusaha menghindarinya, berusaha tetap fokus pada Adrian. Namun, sepertinya perasaan itu sudah terlalu dalam tertanam di hatiku. Tidak peduli betapa kerasnya aku mencoba untuk menjauh, bayangan Reyhan terus mengganggu pikiranku. Tatapan matanya, kata-katanya, semuanya terus berputar dalam kepalaku.
Hari itu, Adrian dan aku merencanakan liburan kecil untuk menyegarkan pikiran. Kami pergi ke sebuah resort di pinggir kota, berharap itu bisa membantu kami berdua melepas penat. Namun, di dalam hatiku, perasaan itu tak hilang begitu saja. Bahkan di tengah kebersamaan dengan suamiku, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Ada ruang kosong yang hanya bisa diisi dengan kehadiran Reyhan, meski aku tahu itu adalah sebuah kesalahan besar.
Sementara itu, Reyhan juga tidak menjauh. Meskipun ia tidak berbicara banyak, aku bisa merasakan tatapan-tatapan curiga dan penuh makna setiap kali kami bertemu. Aku tahu bahwa ia menunggu, berharap ada kemungkinan baginya untuk bisa memiliki aku, meskipun itu adalah mimpi yang mustahil.
Di satu malam, saat Adrian dan aku duduk di balkon resort, aku mencoba untuk berbicara tentang hal-hal biasa. Namun pikiranku tetap terganggu oleh Reyhan. “Hana, kamu kelihatan lelah,” kata Adrian dengan perhatian, sambil memegang tanganku. “Kamu pasti butuh istirahat lebih banyak.”
Aku tersenyum lembut, berusaha menenangkan perasaan yang semakin gelisah. “Aku baik-baik saja, sayang. Hanya sedikit penat. Mungkin aku butuh tidur yang lebih nyenyak.”
Adrian mengangguk, lalu mencium tanganku. Aku tahu ia peduli, dan aku juga mencintainya. Tapi hatiku terbelah. Aku merasa bersalah, merasa seperti seorang istri yang tak setia meski fisikku ada di samping Adrian.
Beberapa malam kemudian, setelah kembali ke rumah orang tua Adrian, aku merasa semakin sulit untuk menghindari perasaan itu. Reyhan sudah kembali ke rutinitasnya, dan meskipun aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap menjaga jarak, aku merasa seperti dia selalu ada di sekitarku. Aku menyadari bahwa apa yang terjadi antara kami bukan sekadar perasaan yang bisa diabaikan. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melanjutkan hidup seperti ini tanpa membuat keputusan besar.
Suatu malam, ketika hanya aku dan Reyhan yang berada di rumah, Adrian pergi untuk urusan pekerjaan, aku merasa kegelisahan yang semakin mencekam. Reyhan duduk di ruang tamu, membaca sebuah buku. Aku menatapnya dari kejauhan, berusaha untuk tidak terlihat terpengaruh, namun hatiku tak bisa berhenti berdetak kencang.
“Aku ingin bicara, Reyhan,” ujarku pelan, meskipun aku tahu ini adalah jalan menuju jurang yang tak bisa aku hindari.
Reyhan menatapku dengan wajah serius. “Tentang apa, Kak Hana?”
Aku duduk di dekatnya, mencoba menenangkan diri. “Tentang apa yang kita rasakan. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebingungan seperti ini.”
Reyhan meletakkan bukunya, menatapku dengan penuh perhatian. “Aku juga tidak bisa, Kak Hana. Aku sudah mencoba untuk menjauh, tetapi hatiku tidak bisa begitu saja berhenti merasa. Aku tahu ini salah, aku tahu aku seharusnya tidak berpikir seperti ini, tapi aku tidak bisa menahannya lagi.”
Aku menundukkan kepala, merasa air mata sudah hampir menggenang di mataku. “Aku mencintai Adrian, Reyhan. Aku tidak ingin menghancurkan keluargaku, hubungan kami. Tapi aku juga… aku juga tidak bisa menahan perasaan ini.”
Reyhan mendekat, wajahnya dipenuhi keraguan dan kesedihan. “Aku tidak ingin menghancurkan hidupmu, Kak Hana. Aku hanya… aku hanya tidak bisa lagi berpura-pura bahwa kita hanya keluarga. Aku ingin lebih.”
Tatapan itu, suara itu, semuanya membuatku semakin ragu. Aku tahu aku harus membuat keputusan, tapi keputusan itu akan menghancurkan semuanya. Jika aku memilih untuk mengikuti perasaan ini, aku akan kehilangan Adrian, keluarga kami, dan mungkin diriku sendiri. Tapi jika aku terus menekan perasaan ini, aku akan merasa tersiksa selamanya.
Aku berdiri dan melangkah mundur, berusaha untuk menenangkan diri. “Reyhan, kita harus menghentikan ini. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus kembali ke rumah, ke Adrian.”
Reyhan hanya menatapku, matanya penuh dengan rasa sakit. “Aku akan berhenti, Kak Hana. Tapi, aku hanya ingin kamu tahu… aku akan selalu mencintaimu.”
Dengan langkah cepat, aku meninggalkan ruangan itu, berusaha untuk menghindari perasaan yang semakin dalam. Namun, di dalam hatiku, aku tahu bahwa perasaan itu tidak akan mudah hilang.*
Bab 6: Pergulatan Batinku
Seminggu berlalu sejak percakapan itu, namun aku merasa perasaan itu semakin menguasai diriku. Reyhan telah berjanji untuk menjaga jarak, dan aku berusaha keras untuk mengabaikan perasaan yang semakin sulit aku tahan. Namun, semakin aku mencoba untuk melupakan, semakin jelas aku merasakan ketegangan di antara kami. Ada jarak yang semakin melebar, bukan hanya antara aku dan Reyhan, tapi juga antara aku dan Adrian. Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaan yang sedang bergolak di dalam hatiku.
Adrian, suamiku, semakin sibuk dengan pekerjaannya. Ia jarang di rumah, dan saat berada di rumah, ia lebih memilih untuk bekerja daripada menghabiskan waktu bersamaku. Aku tahu itu bukan karena ia tidak mencintaiku. Aku hanya merasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang aku tidak bisa jelaskan. Setiap kali aku melihat Adrian, hatiku merasa kosong. Ada bagian dari diriku yang terus mencari sesuatu yang lebih, meskipun aku tahu itu adalah kesalahan besar.
Suatu malam, setelah makan malam yang terasa hening, aku pergi ke balkon rumah untuk mencoba menenangkan pikiranku. Angin malam yang sejuk membelai wajahku, tapi aku tetap merasa gelisah. Pikiran-pikiran tentang Reyhan terus mengganggu. Bahkan ketika aku berusaha untuk berbicara tentang hal lain dengan Adrian, pikiranku selalu kembali padanya.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka dari dalam rumah. Adrian muncul, berdiri di ambang pintu balkon dengan tatapan penuh perhatian. “Kamu tidak tidur, Hana?” tanyanya dengan lembut.
Aku tersenyum kecil, meskipun hatiku terasa berat. “Aku hanya butuh waktu untuk berpikir.”
Adrian mendekat, lalu berdiri di sampingku. “Kamu selalu mengatakan itu akhir-akhir ini. Ada yang salah?”
Aku menatapnya, merasa bingung. Aku ingin mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya, tetapi aku tahu itu akan menghancurkan semuanya. “Tidak ada yang salah, hanya saja… aku merasa sedikit… terputus. Kita sudah jarang menghabiskan waktu bersama.”
Adrian menghela napas, meletakkan tangannya di bahuku. “Aku minta maaf, Hana. Pekerjaanku memang memakan banyak waktu belakangan ini. Aku janji, setelah minggu ini, kita akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Aku tidak ingin kamu merasa terabaikan.”
Aku mengangguk, meskipun perasaan kosong itu tetap menghantuiku. “Aku tahu, Adrian. Aku hanya butuh lebih banyak perhatian.”
Namun, meskipun aku tahu bahwa Adrian sangat mencintaiku, aku tidak bisa menahan perasaan yang semakin besar untuk Reyhan. Perasaan itu tidak bisa dimaafkan, tidak bisa dipungkiri. Aku merasa terjebak di antara dua dunia yang berbeda—di satu sisi ada suami yang sangat aku cintai, dan di sisi lain ada perasaan terlarang yang kian menguasai hatiku.
Keesokan harinya, aku menerima pesan dari Reyhan. Hanya sebuah pesan singkat, tetapi cukup untuk membuat hatiku berdebar. “Aku tidak bisa terus menghindarimu, Kak Hana. Bisakah kita bicara? Tentang semuanya.”
Pesan itu membuat dadaku sesak. Aku tahu, jika aku bertemu dengannya, akan ada lebih banyak perasaan yang muncul. Tapi, aku juga tahu bahwa aku tidak bisa terus berlarian dari kenyataan. Aku memutuskan untuk bertemu dengannya, meskipun aku tahu bahwa itu adalah pilihan yang berbahaya.
Aku menunggu Reyhan di taman belakang rumah orang tua Adrian. Udara sore itu terasa lembut, dan langit mulai merona dengan warna jingga keemasan. Ketika aku melihat sosok Reyhan mendekat, hati kecilku bergetar.
“Kak Hana,” katanya, suaranya rendah dan penuh keinginan. “Aku ingin kita jujur. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Aku mencintaimu, dan aku ingin kamu tahu itu. Aku tidak ingin lagi menunggu, menahan diri. Aku ingin kita menjadi lebih dari sekadar keluarga.”
Aku menelan ludah, berusaha untuk tetap tenang meskipun hati ini terasa terpecah. “Reyhan, ini bukan hanya tentang kita berdua. Ini tentang keluarga, tentang semuanya yang sudah kita bangun. Aku tidak bisa, aku tidak ingin merusak semuanya.”
Reyhan menatapku, matanya penuh harapan yang tampaknya sulit untuk dipadamkan. “Aku tidak akan memaksamu, Kak Hana. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku. Aku ingin lebih, bahkan jika itu hanya untuk sesaat. Aku ingin kita bersama, meskipun itu hanya untuk satu kesempatan.”
Aku merasa tersedak oleh kata-kata itu. Satu kesempatan. Bagaimana bisa aku begitu mudah tergoda untuk merusak hidupku, hidup kami? Aku mencintai Adrian, aku tahu itu, tapi kenapa perasaan terhadap Reyhan terasa begitu kuat dan memikat?
“Reyhan, kita tidak bisa. Aku sudah berjanji untuk setia pada Adrian. Aku tidak bisa menghancurkan pernikahanku hanya karena perasaan yang tidak seharusnya ada.”
Reyhan menarik napas panjang dan menunduk. “Aku mengerti, Kak Hana. Aku tidak akan memaksamu lagi. Tapi aku ingin kamu tahu… aku akan selalu ada, menunggu kesempatan itu.”
Aku merasa semakin tertekan. Hatiku ingin menjerit, tetapi aku hanya bisa menatap Reyhan dengan perasaan campur aduk. Tidak ada jalan keluar yang mudah dari situasi ini. Aku tahu, di satu sisi, aku harus menjaga jarak dan tetap setia kepada Adrian. Namun, di sisi lain, aku juga merasa seperti terjebak dalam perasaan yang tak bisa aku hindari.
Aku berjalan menjauh dari Reyhan, meninggalkan taman itu dengan perasaan yang semakin berat. Apakah aku benar-benar bisa terus bertahan? Dan apakah aku bisa menyembunyikan perasaan ini lebih lama lagi?*
Bab 7: Keputusan yang Sulit
Hari-hari setelah pertemuan dengan Reyhan semakin terasa berat. Semakin aku mencoba untuk mengabaikan perasaan itu, semakin aku merasa seperti berada di bawah tekanan yang tak tertahankan. Setiap kali aku bertemu dengan Adrian, aku merasa terbelah. Aku mencintainya, itu pasti. Namun, perasaan terhadap Reyhan juga semakin kuat. Rasanya seperti dua dunia yang tidak bisa saling berdampingan, namun aku harus memilih salah satu.
Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan seperti ini. Aku berusaha untuk mengalihkan perhatian dengan pekerjaan rumah, namun pikiranku selalu kembali pada Reyhan. Setiap kata yang dia ucapkan, setiap tatapan yang dia berikan, semakin membayangi pikiranku. Bahkan saat Adrian di rumah, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Ada sesuatu yang membuatku terus berpikir tentangnya, meskipun aku berusaha sekuat hati untuk melupakan.
Pada suatu pagi, Adrian mengajakku untuk pergi ke sebuah acara keluarga. Ia terlihat sangat antusias, tetapi aku merasa cemas. Hari itu, Reyhan juga akan hadir, dan aku tahu, perasaan yang kupendam semakin sulit untuk disembunyikan. Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan lebih lama lagi.
Di acara keluarga itu, suasananya penuh tawa dan obrolan hangat. Adrian duduk di sampingku, memegang tanganku dengan penuh kasih. Aku mencoba untuk menikmati momen itu, namun di sisi lain, mataku tak bisa lepas dari Reyhan. Ia terlihat santai, berbicara dengan beberapa anggota keluarga lainnya. Ketika pandangan kami bertemu, aku merasa perasaan itu kembali muncul, tak terelakkan.
Setelah acara selesai, kami semua berkumpul di ruang tamu untuk minum teh bersama. Reyhan duduk di seberangku, matanya tidak pernah lepas dari tatapanku. Aku berusaha untuk tidak menanggapi, berusaha mengalihkan perhatian dengan berbicara dengan Adrian. Namun, saat aku melihat Adrian tertawa bersama keluarganya, ada rasa cemas yang menyelinap masuk ke dalam hatiku. Apa yang akan terjadi jika aku terus membiarkan perasaan ini berkembang?
Adrian yang melihat aku termenung, bertanya dengan lembut, “Kamu tidak baik-baik saja, Hana. Ada yang mengganggu pikiranmu?”
Aku terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku hanya… hanya merasa sedikit tertekan, sayang. Banyak yang harus dipikirkan belakangan ini.”
Adrian meremas tanganku dengan lembut. “Kamu bisa bicara dengan aku tentang apapun. Aku di sini untukmu, Hana.”
Hatiku terasa sakit. Aku tahu aku harus lebih jujur padanya, tetapi aku takut akan menghancurkan segala yang telah kami bangun. Aku mencintainya, tapi bagaimana jika perasaanku terhadap Reyhan sudah terlalu kuat? Bagaimana jika aku sudah jatuh terlalu dalam?
Saat acara berakhir, aku merasa seperti berada di tepi jurang. Reyhan menatapku satu kali lagi, kali ini tatapannya lebih dalam, lebih penuh makna. Ia berjalan mendekat dan berbicara dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Kak Hana, aku ingin kamu tahu, aku tidak bisa melupakanmu. Aku akan selalu mencintaimu, dan aku ingin kita bisa bersama. Aku tidak akan berhenti menunggu.”
Aku merasa dunia seakan terhenti sejenak. Setiap kata yang diucapkannya membuat hatiku bergetar, dan aku tahu bahwa keputusan yang harus kuambil semakin mendekat. Akankah aku mengikuti perasaan ini dan merusak semuanya, atau akankah aku memilih untuk tetap setia kepada Adrian?
Aku hanya mengangguk, meskipun hatiku dipenuhi dengan kegelisahan. “Reyhan, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak bisa memberikanmu jawaban sekarang.”
Reyhan menatapku dengan ekspresi penuh harapan, tetapi juga ada kesedihan yang mendalam di matanya. “Aku akan menunggumu, Kak Hana. Aku akan selalu ada di sini.”
Saat aku berjalan kembali ke rumah bersama Adrian, hatiku terasa semakin berat. Perasaan itu tak kunjung hilang, malah semakin kuat menguasai diriku. Apakah aku bisa terus hidup dengan perasaan ini tanpa menghancurkan pernikahanku? Bagaimana jika aku memilih Reyhan? Akankah itu membuat aku bahagia, atau justru menghancurkan segalanya?
Malam itu, aku duduk termenung di kamar tidur, menatap langit-langit yang gelap. Aku merasa seperti terjebak di antara dua dunia, dua perasaan yang tidak bisa kupercayakan sepenuhnya. Aku mencintai Adrian, tapi aku juga mencintai Reyhan dengan cara yang berbeda. Dua cinta yang tidak bisa bersatu. Dua jalan yang tak bisa aku pilih sekaligus.
Aku tahu aku harus membuat keputusan. Namun, keputusan itu tidak akan pernah mudah. Tidak ada jalan yang benar-benar benar, dan tidak ada jalan yang benar-benar salah. Semua jalan ini akan membawa konsekuensi, dan aku harus siap menanggungnya.
Apakah aku siap untuk merusak hidupku demi mengikuti perasaan ini? Atau akankah aku memilih untuk melupakan Reyhan dan tetap setia kepada Adrian?
Aku menarik napas dalam-dalam, berharap suatu saat aku bisa menemukan jawabannya. Tetapi untuk saat ini, aku hanya bisa merasa bingung dan terjebak dalam perasaan yang semakin menguasai diriku.*
Bab 8: Cinta yang Menyakitkan
Hari-hari semakin sulit untuk dijalani. Aku merasa seperti terjebak dalam kekosongan emosional yang semakin mendalam. Di satu sisi ada Adrian yang penuh kasih dan perhatian, suamiku yang selalu berusaha membuatku bahagia, dan di sisi lain ada Reyhan, yang perasaannya semakin menguasai pikiranku. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahan yang tumbuh di dalam hatiku. Setiap detik terasa semakin berat, dan aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan.
Adrian semakin sibuk dengan pekerjaannya, dan aku tahu itu membuatnya merasa bersalah. Ia sering kali meminta maaf karena tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersamaku. Meskipun ia berusaha keras, aku merasa semakin terasing. Tidak ada yang bisa menggantikan perasaan yang berkembang di hatiku. Bahkan, setiap kali aku berusaha untuk mendekatkan diri dengannya, pikiranku selalu melayang pada Reyhan. Perasaan itu tidak bisa hilang begitu saja.
Suatu malam, setelah makan malam yang sunyi, Adrian duduk di sampingku di sofa, menatapku dengan mata yang penuh perhatian. “Hana, aku tahu belakangan ini kamu terlihat sangat terbebani. Aku merasa seperti ada sesuatu yang mengganggumu. Kamu bisa bicara dengan aku, kamu tahu itu, kan?”
Aku menatap Adrian dengan perasaan yang kacau. Aku ingin jujur padanya, aku ingin menceritakan semua perasaan ini, tapi aku tahu, jika aku mengatakannya, semuanya akan hancur. Aku tidak ingin kehilangan Adrian, tapi aku juga tidak bisa mengingkari perasaan yang terus berkembang untuk Reyhan. “Aku hanya… merasa sedikit terjebak, sayang,” jawabku dengan suara lembut. “Aku merasa ada yang hilang, dan aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.”
Adrian meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut. “Aku minta maaf, Hana. Aku tahu aku belum cukup ada untukmu. Aku akan berusaha lebih banyak untuk kita. Kamu penting bagiku, lebih dari apapun.”
Aku merasa tersentuh oleh kata-kata Adrian, dan aku ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa aku juga mencintainya, tetapi hatiku masih terbelah. Ada perasaan lain yang tidak bisa kuhindari, dan itu adalah perasaan yang semakin kuat untuk Reyhan. Setiap kali aku berpikir tentangnya, aku merasa seperti ada magnet yang menarikku untuk lebih dekat, meskipun aku tahu itu adalah langkah yang salah.
Hari berikutnya, aku memutuskan untuk bertemu dengan Reyhan. Aku tahu ini adalah pilihan yang berisiko, tetapi aku merasa bahwa aku tidak bisa terus menjalani hidup dalam kebingungan seperti ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya, tetapi aku merasa harus mencari jawaban, harus mengetahui apakah aku bisa mengatasi perasaan ini atau jika aku benar-benar jatuh ke dalamnya.
Aku menemuinya di kafe yang jauh dari keramaian, di tempat yang kami sering kunjungi sebelum perasaan ini mulai berkembang. Reyhan sudah menungguku di sebuah meja pojok, matanya tampak serius saat aku mendekat. Aku duduk di hadapannya, menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. “Reyhan, aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa terjebak. Aku mencintai Adrian, tapi aku juga tidak bisa mengingkari perasaanku padamu.”
Reyhan mengangguk, ekspresinya penuh pengertian, meskipun ada kesedihan di matanya. “Aku tahu, Hana. Aku tidak ingin memaksamu untuk memilih. Tapi aku ingin kamu tahu, aku sangat mencintaimu. Aku akan selalu ada, menunggumu, jika kamu akhirnya memutuskan untuk bersama aku.”
Aku menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku tidak ingin menghancurkan semuanya, Reyhan. Aku tidak ingin kehilangan Adrian, tetapi aku juga tidak ingin hidup dengan perasaan yang terus menghantuiku.”
Reyhan mendekat sedikit, suaranya serak ketika berkata, “Aku mengerti. Aku tidak ingin membuatmu memilih, Hana. Tapi jika suatu saat kamu berubah pikiran, aku akan selalu ada untukmu. Kita bisa memiliki kebahagiaan itu, meskipun itu berarti kita harus melalui banyak rintangan.”
Aku merasa seperti terjepit di antara dua dunia. Aku mencintai Adrian, aku tahu itu, dan aku tidak ingin merusak pernikahanku. Namun, perasaan terhadap Reyhan juga sangat kuat, seakan-akan tak ada yang bisa menghentikan kami. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebingungan ini.
Kami berpisah dengan perasaan yang penuh haru, dan aku kembali ke rumah dengan kepala yang semakin berat. Di sepanjang jalan pulang, pikiranku terus dipenuhi dengan bayangan Reyhan. Aku tahu aku harus segera mengambil keputusan, tetapi bagaimana aku bisa memilih antara dua cinta yang berbeda?
Sesampainya di rumah, Adrian sedang menunggu dengan cemas. “Kamu lama sekali. Apa semuanya baik-baik saja?”
Aku tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan kegelisahanku. “Aku baik-baik saja, sayang. Hanya butuh waktu sebentar untuk berpikir.”
Adrian memelukku dengan lembut, namun aku merasa ada jarak yang tak bisa aku tutupi. Aku berusaha untuk tidak terperangkap dalam perasaan itu, tetapi hatiku terus berontak. Setiap detik terasa semakin menekan. Bagaimana aku bisa tetap setia jika perasaanku begitu kuat untuk seseorang selain Adrian? Dan bagaimana aku bisa memilih antara dua orang yang begitu berarti dalam hidupku?
Aku merasa sangat terpecah. Aku ingin hidup yang bahagia dengan Adrian, tetapi aku juga tidak bisa menyangkal perasaan yang tumbuh untuk Reyhan. Apa yang seharusnya aku lakukan? Akankah aku bisa menjalani hidup yang utuh tanpa menghancurkan semuanya?*
Bab 9: Pertaruhan Cinta
Hari-hari setelah pertemuan dengan Reyhan semakin membebani pikiranku. Aku merasa seperti terperangkap dalam perasaan yang tidak bisa aku kendalikan. Setiap saat aku berada bersama Adrian, pikiranku terbang ke tempat lain, ke sosok Reyhan. Setiap senyumnya, setiap tatapannya, semakin mengingatkan aku pada apa yang aku inginkan—sesuatu yang tak bisa aku miliki tanpa mengorbankan segalanya.
Aku mulai merasakan keputusasaan yang mendalam. Bagaimana bisa aku memilih antara dua orang yang begitu penting dalam hidupku? Aku tahu aku harus memilih, tetapi setiap kali aku berpikir untuk memilih salah satunya, hatiku merasa hancur. Adrian adalah suamiku, orang yang aku janji akan mencintai dan setia padanya, tapi Reyhan… dia adalah seorang yang membawa perasaan baru yang begitu berbeda. Aku tak bisa menahan getaran yang muncul setiap kali dia mendekat.
Pada suatu malam, saat aku sedang duduk bersama Adrian di ruang keluarga, suasana terasa semakin tegang. Adrian sedang berbicara tentang rencana liburan yang ia buat untuk kami berdua. Ia begitu antusias, berbicara tentang tempat-tempat yang ingin kami kunjungi dan kegiatan yang ingin kami lakukan. Aku melihatnya dengan tatapan kosong. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa semakin jauh dariku. Aku merasa bersalah, namun aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang semakin kuat terhadap Reyhan.
Adrian berhenti berbicara dan menatapku dengan cemas. “Hana, ada yang salah? Kamu tampaknya tidak mendengarkan apa yang aku katakan.”
Aku tersentak, merasa seperti baru sadar bahwa aku hampir tidak memberikan perhatian pada apa yang sedang Adrian bicarakan. “Maaf, sayang. Aku hanya… sedang berpikir.”
Adrian menatapku dengan khawatir. “Kamu tidak terlihat baik-baik saja. Kalau ada yang mengganggu, kamu bisa bicara dengan aku. Aku di sini untukmu, Hana.”
Aku menelan ludah, merasa terjepit antara kenyataan dan perasaan yang semakin menguasai diriku. Aku ingin jujur padanya, tetapi aku juga tidak ingin melukai hati Adrian. Aku tidak ingin kehilangan semuanya, tetapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebingungan ini.
“Kita akan pergi, Hana. Aku janji, kita akan pergi dan mencoba untuk memperbaiki segalanya. Aku ingin kita bisa lebih dekat, lebih memahami satu sama lain,” kata Adrian, dengan mata penuh harapan.
Aku hanya mengangguk, berusaha menyembunyikan kebingunganku. Tapi, dalam hatiku, aku tahu aku harus segera membuat keputusan. Aku tidak bisa terus hidup dengan perasaan yang membingungkan ini.
Keesokan harinya, aku menerima pesan dari Reyhan. Hanya satu kalimat singkat, namun cukup membuat hatiku berdegup kencang: “Aku menunggumu, Kak Hana. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”
Aku merasa seolah-olah dunia terhenti. Pesan itu adalah panggilan terakhir. Reyhan tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Apakah itu berarti aku harus membuat pilihan? Haruskah aku memilih untuk hidup bersama Adrian, suamiku yang penuh kasih, atau aku akan mengejar perasaan terlarang ini dengan Reyhan, yang selalu ada dengan harapan yang kuat?
Aku tahu, jika aku memilih Reyhan, aku akan merusak pernikahanku. Namun, jika aku memilih untuk tetap bersama Adrian, aku harus terus berjuang melawan perasaan yang semakin sulit untuk disembunyikan. Setiap pilihan yang aku ambil akan meninggalkan luka, baik pada diriku sendiri, maupun pada orang lain yang aku cintai.
Hari itu, aku pergi ke tempat yang biasa aku kunjungi untuk merenung. Sebuah taman kecil di pinggiran kota, tempat yang selalu memberi ketenangan saat aku merasa bingung. Aku duduk di bangku taman, menatap langit yang cerah. Pikiranku berputar, mencoba mencari jawaban, mencoba meresapi setiap kemungkinan.
Tak lama kemudian, Reyhan muncul di hadapanku. Ia berjalan mendekat dengan langkah yang tenang, tetapi matanya memancarkan keteguhan yang tidak bisa disembunyikan. “Kak Hana,” katanya, suaranya lembut namun penuh harapan. “Aku sudah menunggu lama. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebimbangan ini. Aku ingin kamu tahu, aku ingin kita bersama. Aku ingin membangun masa depan bersama kamu.”
Aku menatapnya dengan hati yang bergejolak. “Reyhan, aku… aku tidak bisa. Aku sudah menikah. Aku sudah berjanji untuk setia kepada Adrian. Aku tidak bisa menghancurkan pernikahanku hanya karena perasaan ini.”
Reyhan menundukkan kepala, namun matanya tetap memancarkan kesedihan yang mendalam. “Aku mengerti, Kak Hana. Aku tidak ingin memaksamu. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, aku akan selalu ada untukmu, menunggu sampai kamu siap untuk memilih.”
Aku merasa hatiku hancur. Setiap kata yang diucapkannya seperti pisau yang menusuk jantungku. Aku tidak bisa terus berlarian dari kenyataan ini. Aku tahu, aku harus memilih. Aku harus membuat keputusan, meskipun itu akan menyakiti seseorang.
“Aku… Aku butuh waktu, Reyhan. Aku tidak bisa memberi jawabannya sekarang,” jawabku, suaraku hampir tercekat.
Reyhan mengangguk, memberikan senyum yang pahit. “Aku akan menunggu, Kak Hana. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu.”
Saat ia berbalik dan berjalan menjauh, hatiku terasa semakin kosong. Aku tahu, setiap pilihan yang aku buat akan mengubah hidupku selamanya. Aku harus memilih antara kebahagiaan yang mungkin aku temukan bersama Reyhan, atau kesetiaan yang aku jaga untuk Adrian.
Namun, tidak ada pilihan yang benar-benar benar, dan tidak ada pilihan yang benar-benar salah. Semua jalan ini akan membawa luka, dan aku harus siap menghadapinya.
Aku pulang dengan perasaan yang semakin berat, semakin bingung. Apakah aku siap untuk merusak hidupku demi mengikuti perasaan ini? Ataukah aku akan memilih untuk terus hidup dengan perasaan yang terpendam, dengan harapan bahwa suatu hari aku bisa kembali merasa utuh?*
Bab 10: Pilihan yang Menghancurkan
Keputusan itu datang, lebih cepat dari yang aku harapkan, namun tetap saja sangat sulit. Aku telah menghabiskan berhari-hari dalam kebimbangan, mencoba mencari jalan keluar dari perasaan yang terpecah ini. Reyhan terus menungguku, memberikan harapan yang semakin sulit untuk diabaikan. Namun, Adrian, suamiku, tetap setia di sisiku, meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat di antara kami.
Hari itu, ketika aku duduk sendirian di taman, perasaan itu kembali datang. Aku harus memilih. Aku tidak bisa terus hidup dengan perasaan yang terbagi. Aku tidak bisa terus menahan hati, menghancurkan diriku sedikit demi sedikit. Setiap hari, aku merasa semakin jauh dari Adrian, dan semakin dekat dengan Reyhan. Namun, apakah itu yang benar-benar aku inginkan? Akankah aku menemukan kebahagiaan dengan Reyhan? Atau justru aku akan kehilangan segalanya?
Aku pulang ke rumah dengan pikiran yang kacau. Adrian sedang menunggu di ruang tamu, wajahnya penuh perhatian. Ia tahu ada yang salah, dan aku tidak bisa lagi menyembunyikannya. “Hana,” katanya dengan suara lembut, “kamu terlihat sangat lelah. Ada yang ingin kamu bicarakan?”
Aku menatapnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Adrian, aku… aku harus memberitahumu sesuatu.”
Adrian menatapku dengan penuh perhatian, dan aku bisa melihat kekhawatiran di matanya. “Apa itu, Hana? Kamu bisa bicara dengan aku.”
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya mengungkapkan semuanya. “Adrian, aku… Aku merasa terjebak. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebimbangan ini. Ada seseorang yang aku cintai selain kamu. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan itu lagi.”
Adrian terdiam, matanya membelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. “Kamu… kamu mencintai orang lain?” suaranya hampir tak terdengar, penuh dengan rasa sakit.
Aku mengangguk, merasa hatiku hancur saat melihat ekspresi di wajahnya. “Aku sangat mencintaimu, Adrian, tapi ada perasaan yang terus tumbuh dalam diriku untuk Reyhan. Aku tidak bisa lagi menahan semuanya.”
Adrian berdiri dengan tubuh yang gemetar, wajahnya menunjukkan kekesalan dan kebingungannya. “Kau tahu apa yang kamu katakan, Hana? Aku sudah memberikan segalanya untuk kita. Aku mencintaimu, dan aku tidak pernah berpikir bahwa kamu bisa seperti ini. Bagaimana bisa kamu mencintai orang lain?”
Aku merasakan perasaan bersalah yang begitu dalam, tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan yang sudah terlalu kuat untuk Reyhan. “Aku tidak pernah menginginkan ini terjadi, Adrian. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus melanjutkannya. Aku ingin tetap bersamamu, tapi aku juga merasa tak bisa mengabaikan perasaan itu.”
Adrian menghela napas panjang, lalu duduk di kursi dengan tatapan kosong. “Jadi, ini tentang Reyhan, bukan? Dia yang kamu pilih?”
Aku terdiam, tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku. Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak memilih siapa pun, bahwa aku hanya bingung dan terluka, tetapi kata-kata itu terasa hampa. Aku tahu, dengan setiap detik yang berlalu, aku semakin menjauh darinya. Keputusan ini, meskipun aku tahu itu adalah jalan yang harus kuambil, terasa seperti pisau yang menusuk hatiku.
“Aku tidak tahu harus bagaimana, Adrian,” jawabku dengan suara yang pecah. “Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintai Reyhan. Aku tidak bisa memilih antara keduanya. Ini bukan sesuatu yang aku inginkan, tapi aku merasa seperti berada di persimpangan jalan.”
Adrian menatapku dengan mata yang penuh luka. “Kamu sudah memilih, Hana. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Jika kamu benar-benar memilih Reyhan, aku tidak bisa menahanmu. Aku tidak bisa hidup dengan seseorang yang hatinya terbagi.”
Kata-kata itu menghancurkan hatiku. Aku tahu aku telah melukai Adrian, dan itu adalah rasa sakit yang tidak akan pernah bisa aku hilangkan. Namun, aku juga tidak bisa menipu diriku sendiri. Perasaan terhadap Reyhan semakin kuat, dan aku tidak bisa mengabaikan kenyataan itu.
Dengan langkah yang berat, aku berbalik dan pergi, meninggalkan Adrian yang terdiam, merasa seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam hidupnya. Aku tahu, hari itu adalah titik terendah dalam hidupku. Aku telah membuat pilihan, meskipun itu adalah pilihan yang menghancurkan.
Ketika aku bertemu dengan Reyhan, aku merasa seakan dunia berhenti sejenak. Wajahnya memancarkan harapan, dan aku tahu bahwa ini adalah momen yang akan mengubah hidup kami berdua. “Kak Hana,” katanya dengan suara penuh harapan. “Apakah kamu sudah siap untuk memulai hidup baru bersama aku?”
Aku mengangguk perlahan, merasa ada beban yang terangkat dari pundakku. Namun, beban baru segera datang. Aku tahu aku telah merusak segalanya. Aku telah memilih untuk hidup dengan Reyhan, tetapi itu berarti aku harus melepaskan Adrian, suamiku yang penuh kasih.
Aku berjalan bersama Reyhan, namun hatiku terasa hampa. Apakah ini benar-benar yang aku inginkan? Apakah aku benar-benar siap untuk menjalani hidup ini dengan Reyhan, setelah menghancurkan pernikahanku sendiri?***
———the end——–