Daftar Isi
- Bab 1: Awal yang Tak Terduga
- Bab 2: Godaan yang Halus
- Bab 3: Batas yang Mulai Kabur
- Bab 5: Hasrat yang Tak Terbendung
- Bab 5: Hasrat yang Tak Terbendung
- Bab 6: Godaan yang Kian Menggila
- Bab 7: Melawan atau Menyerah
- Bab 8: Kian Terjerat dalam Dosa
- Bab 9: Antara Cinta dan Pengkhianatan
- Bab 10: Melepaskan atau Terus Bertahan
Bab 1: Awal yang Tak Terduga
Nadine menatap bayangan dirinya di cermin besar yang tergantung di ruang tamu rumah Dinda. Gaun biru tua yang membalut tubuhnya tampak anggun, rambut panjangnya yang digulung rapi membuatnya terlihat lebih dewasa. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran halus di dadanya.
Malam ini, Dinda mengadakan pesta kecil untuk merayakan ulang tahun pernikahannya dengan Adrian. Sebagai sahabat dekat, Nadine tentu saja hadir, bahkan ia yang membantu Dinda mempersiapkan segala sesuatu sejak sore tadi.
“Semua sudah siap?” tanya Nadine sambil merapikan beberapa gelas wine di meja.
Dinda, yang sedang mengatur lilin di atas kue ulang tahun, menoleh dan tersenyum lelah. “Ya, hampir. Terima kasih banyak sudah membantu, Nadine. Aku benar-benar nggak bisa bayangin ngurus ini sendirian.”
Nadine tersenyum lembut. “Sudah tugas sahabat, kan?”
Dinda tertawa kecil, lalu tiba-tiba meraih tangan Nadine dengan ekspresi penuh haru. “Aku bersyukur banget kamu selalu ada buatku. Sejak dulu, sampai sekarang.”
Ucapan itu membuat Nadine tersentuh. Ia dan Dinda sudah berteman sejak kuliah. Persahabatan mereka bertahan meskipun banyak hal telah berubah—termasuk pernikahan Dinda dengan Adrian dua tahun lalu.
Mereka dulu hampir tidak terpisahkan, tapi sejak Dinda menikah, segalanya sedikit berubah. Kini, ada jarak yang kadang terasa. Nadine tidak pernah menyalahkan keadaan, meski dalam hati, ia merindukan persahabatan mereka yang dulu.
“Nadine, kamu cantik sekali malam ini.”
Sebuah suara berat menyela lamunannya. Nadine menoleh dan mendapati Adrian berdiri di ambang pintu dengan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat lebih berwibawa. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya tampak bersih dan segar.
Nadine tersenyum, berusaha mengabaikan sesuatu yang aneh dalam cara pria itu menatapnya. “Ah, kamu bisa saja, Mas Adrian. Aku hanya tamu biasa malam ini.”
Adrian melangkah mendekat, senyum di wajahnya tetap terukir. “Tapi tetap saja, aku hampir tidak bisa mengalihkan pandanganku sejak tadi.”
Nadine mengerjapkan mata, sedikit terkejut dengan ucapan pria itu. Ia terkekeh kecil, mencoba menganggapnya hanya sebagai basa-basi. “Jangan bercanda, Mas. Hari ini malam spesial untuk kalian berdua.”
Adrian tidak langsung menjawab, tetapi matanya tetap mengunci pada wajah Nadine. Sejenak, ada keheningan di antara mereka, sebelum akhirnya suara Dinda memecah suasana.
“Sayang, ayo potong kue. Semua orang sudah menunggu,” kata Dinda sambil meraih tangan suaminya dengan penuh cinta.
Adrian mengangguk dan tersenyum pada istrinya, sebelum sekali lagi melirik ke arah Nadine. Tatapan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Nadine merasa ada sesuatu yang berbeda.
Pesta berlangsung meriah. Dinda dan Adrian berdiri di tengah ruangan, meniup lilin bersama-sama, lalu berciuman di depan tamu yang bertepuk tangan. Nadine tersenyum melihat mereka. Mereka tampak bahagia, dan seharusnya memang begitu.
Namun, saat ia menyesap jus jeruknya di sudut ruangan, ia kembali menangkap tatapan Adrian. Sekali lagi, pria itu menatapnya, dengan sorot yang tidak bisa dijelaskan.
Nadine segera mengalihkan pandangannya. Ia tidak ingin membaca terlalu banyak dari situasi ini. Mungkin Adrian hanya iseng. Mungkin ia hanya sedang terlalu lelah dan pikirannya terlalu sensitif.
“Nadine, kamu baik-baik saja?” tanya seorang pria yang berdiri di sebelahnya.
Nadine menoleh dan melihat Rangga, salah satu teman lama dari kampus yang juga diundang malam ini. Pria itu tampak ramah seperti biasanya.
“Ah, iya. Aku baik,” jawab Nadine buru-buru. “Cuma sedikit lelah, mungkin.”
“Kamu jarang keluar, ya? Aku hampir nggak pernah lihat kamu di acara seperti ini,” kata Rangga sambil menyesap anggurnya.
Nadine tersenyum tipis. “Aku lebih suka di rumah. Lagi pula, aku sibuk dengan pekerjaanku.”
Rangga tertawa kecil. “Dinda pasti sering protes soal itu.”
“Iya, sering,” Nadine ikut tertawa. Ia merasa sedikit lega bisa berbicara dengan seseorang yang membuatnya nyaman, mengalihkan pikirannya dari perasaan aneh yang tadi sempat muncul.
Namun, saat ia menoleh ke arah Adrian lagi, ia mendapati pria itu masih melihat ke arahnya. Kali ini, ekspresinya lebih intens, lebih dalam.
Ada sesuatu yang tak biasa.
Dan Nadine tahu, malam ini mungkin hanya awal dari sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi.*
Bab 2: Godaan yang Halus
Nadine terbangun dengan kepala yang sedikit pening. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menyelinap melalui celah tirai kamarnya. Pesta semalam masih jelas dalam ingatannya—tawa, kebahagiaan, dan… tatapan itu.
Tatapan Adrian.
Nadine menggeleng pelan, mencoba menepis bayangan yang tiba-tiba muncul di pikirannya. Ia tidak boleh berpikir macam-macam. Adrian adalah suami sahabatnya, dan apa yang ia rasakan semalam mungkin hanya ilusi semata.
Tapi, kenapa ada perasaan aneh yang terus mengganggunya?
Ponselnya berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Sebuah pesan masuk dari Dinda.
**Dinda:**
_”Terima kasih sudah datang semalam! Aku senang banget kamu bisa hadir. Kita harus hangout bareng lagi nanti!”_
Nadine tersenyum kecil dan segera membalas.
**Nadine:**
_”Tentu! Aku juga senang bisa ikut merayakan hari bahagiamu. Semoga kalian selalu bahagia.”_
Tak butuh waktu lama, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini, bukan dari Dinda, melainkan dari Adrian.
Nadine terdiam. Ia menatap nama yang tertera di layar ponselnya dengan ragu sebelum akhirnya membuka pesannya.
**Adrian:**
_”Pagi, Nadine. Aku cuma mau bilang kalau kamu benar-benar terlihat cantik semalam.”_
Jantung Nadine berdegup kencang.
Tangannya menegang di atas layar ponsel, tidak tahu harus membalas apa. Pujian ini terasa berbeda, lebih pribadi.
Setelah berpikir beberapa saat, Nadine akhirnya mengetik balasan yang seaman mungkin.
**Nadine:**
_”Terima kasih, Mas. Tapi kamu tidak perlu mengatakan itu.”_
Pesan itu terkirim, tapi dalam hitungan detik, balasan dari Adrian masuk lagi.
**Adrian:**
_”Kenapa tidak? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”_
Nadine menarik napas dalam. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kata-kata Adrian mungkin terdengar sederhana, tapi ada sesuatu di baliknya yang membuatnya gelisah.
Nadine meletakkan ponselnya dan mencoba mengalihkan pikirannya dengan menyalakan televisi. Namun, pikirannya tetap dipenuhi oleh pesan Adrian.
***
Sore harinya, Nadine memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe di dekat kantornya. Ia butuh udara segar, tempat di mana ia bisa berpikir jernih.
Namun, baru saja ia duduk dan memesan kopi, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, panggilan telepon.
Dari Adrian.
Nadine ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Halo, Mas Adrian?”
“Hei, Nadine. Kamu sedang sibuk?”
Nadine melirik sekeliling kafe. “Tidak terlalu. Ada apa, Mas?”
“Aku sedang dekat dengan kantormu. Mungkin kita bisa minum kopi bersama?”
Nadine terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebagian dari dirinya ingin menolak, tapi di sisi lain, ia juga tidak ingin terlihat menghindar.
“Um… Mas Adrian, bukannya ini kurang pantas?”
Adrian tertawa kecil di ujung telepon. “Kenapa tidak pantas? Kita cuma teman ngobrol, kan?”
Nadine menggigit bibirnya. Suara Adrian terdengar santai, tapi ada sesuatu yang membuatnya enggan menolak.
“Baiklah,” akhirnya Nadine menyerah. “Aku di Café Deluna. Kalau Mas Adrian memang ingin ngobrol, aku di sini.”
“Bagus. Aku akan segera ke sana.”
***
Lima belas menit kemudian, Adrian muncul di kafe dengan setelan kasual—kemeja putih yang lengannya digulung dan celana jeans gelap. Ia tampak begitu rileks, berbeda dari citra pria serius yang biasa ditunjukkannya saat bersama Dinda.
“Maaf kalau mengganggu waktumu,” kata Adrian setelah duduk di seberang Nadine.
“Tidak apa-apa,” jawab Nadine singkat.
Adrian tersenyum. “Aku jarang punya kesempatan untuk ngobrol santai seperti ini. Biasanya kalau kita bertemu, selalu ada Dinda di dekat kita.”
Nadine tersenyum canggung. “Ya, karena memang seharusnya begitu, kan?”
Adrian tertawa kecil. “Kamu benar. Tapi aku ingin mengenalmu lebih jauh, Nadine. Dinda selalu bilang kalau kamu adalah sahabat terbaiknya, tapi aku merasa kita belum terlalu akrab.”
Nadine menelan ludah. Ada sesuatu di cara Adrian berbicara yang membuatnya gelisah.
“Kita memang belum terlalu sering mengobrol,” jawab Nadine hati-hati.
“Dan menurutku itu harus diubah.” Adrian menatapnya dengan intens. “Kita bisa mulai dari sekarang, kan?”
Nadine merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu seharusnya ia menjaga jarak, tapi ada sesuatu dalam cara Adrian berbicara yang membuatnya sulit menolak.
Kopi mereka tiba, memberi Nadine sedikit waktu untuk mengatur pikirannya. Ia mencoba mengubah topik pembicaraan ke hal yang lebih umum—pekerjaan, hobi, bahkan film yang baru-baru ini ia tonton.
Namun, setiap kali ia berpikir bahwa percakapan mereka sudah kembali ke jalur yang aman, Adrian selalu berhasil membawa mereka kembali ke suasana yang lebih pribadi.
“Kamu pernah jatuh cinta, Nadine?” tanyanya tiba-tiba.
Nadine tertegun. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan terasa terlalu pribadi.
“Aku… pernah,” jawabnya hati-hati.
Adrian tersenyum tipis. “Bagaimana rasanya?”
Nadine mengerutkan kening. “Apa maksudnya?”
“Apakah rasanya membahagiakan atau menyakitkan?”
Nadine terdiam. Ia tidak tahu mengapa Adrian menanyakan hal ini, tapi tatapan pria itu begitu tajam, seolah mencari sesuatu di dalam dirinya.
“Aku rasa… cinta selalu memiliki dua sisi,” jawab Nadine akhirnya. “Kadang membahagiakan, kadang menyakitkan.”
Adrian menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya tersenyum. “Aku setuju.”
Ada sesuatu dalam cara pria itu menatapnya yang membuat Nadine merasa seolah dirinya sedang jatuh ke dalam perangkap yang tidak ia sadari.
Dan ketika mereka akhirnya berpisah malam itu, Nadine tahu satu hal—Adrian tidak hanya sekadar ingin mengenalnya lebih baik.
Ia menginginkan sesuatu yang lebih.*
Bab 3: Batas yang Mulai Kabur
Malam itu, Nadine duduk di tepi ranjangnya dengan pikiran yang berantakan. Ia mencoba mengabaikan perasaan yang mulai mengusiknya sejak pertemuannya dengan Adrian tadi sore. Tapi semakin ia berusaha, semakin pikirannya dihantui oleh tatapan pria itu—tatapan yang begitu dalam dan sulit diartikan.
Ia menghela napas berat dan mengambil ponselnya. Ada pesan masuk dari Dinda.
**Dinda:**
_”Sayang, aku lagi kangen banget sama kamu! Besok kita lunch bareng, ya?”_
Nadine tersenyum tipis. Dinda selalu seperti ini, manis dan perhatian. Tapi perasaan bersalah tiba-tiba menyelimutinya. Bagaimana bisa ia bertemu dengan suami sahabatnya tadi sore tanpa sepengetahuan Dinda?
Tangannya sudah hampir mengetik jawaban ketika satu pesan lain muncul.
**Adrian:**
_”Aku senang bisa ngobrol denganmu tadi. Rasanya sudah lama aku tidak merasa sesejuk ini.”_
Jantung Nadine berdegup kencang. Ia menatap pesan itu lama, sebelum akhirnya menaruh ponselnya tanpa membalas.
Ia tidak boleh memberi celah.
***
Keesokan harinya, Nadine bertemu dengan Dinda di sebuah restoran di pusat kota. Dinda tampak ceria seperti biasa, mengenakan dress putih yang membuatnya terlihat segar.
“Aku benar-benar butuh ngobrol sama kamu,” kata Dinda setelah pelayan mengantarkan pesanan mereka. “Aku merasa akhir-akhir ini Adrian agak berbeda.”
Nadine membeku. “Berbeda bagaimana?”
Dinda mengaduk jusnya dengan sedotan, tampak berpikir. “Aku nggak tahu pasti. Dia tetap perhatian dan sayang sama aku, tapi… rasanya ada sesuatu yang disembunyikannya. Kadang dia lebih banyak diam, kadang tiba-tiba pergi tanpa memberitahuku lebih dulu.”
Nadine meneguk ludah. Ia teringat bagaimana Adrian menghubunginya kemarin dan mengajaknya bertemu. Apakah ini yang Dinda rasakan?
“Kamu tahu nggak kalau ada sesuatu di kepalanya?” tanya Dinda, menatap Nadine penuh harap.
Nadine berusaha tersenyum. “Mungkin dia hanya sibuk dengan pekerjaannya?”
Dinda menghela napas. “Mungkin. Aku cuma takut kalau ada sesuatu yang salah dalam pernikahan kami.”
Nadine menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan bahwa Adrian baik-baik saja, tapi bagaimana mungkin ia bisa mengatakannya ketika ia sendiri sedang berusaha mengabaikan sinyal-sinyal halus dari pria itu?
Saat mereka mengobrol, ponsel Nadine bergetar di dalam tasnya. Sekilas ia melihat nama Adrian di layar.
Ia tidak menjawab.
***
Malamnya, Nadine masih memikirkan pembicaraan dengan Dinda saat ia duduk di balkon apartemennya. Angin malam berhembus lembut, namun tidak cukup untuk menenangkan pikirannya.
Ponselnya kembali berbunyi. Kali ini, Adrian menelepon.
Nadine menatap layar itu dengan ragu sebelum akhirnya mengangkat.
“Halo, Mas Adrian?”
“Hai, Nadine.” Suara Adrian terdengar tenang, namun ada sesuatu di baliknya yang terasa berbeda. “Kenapa tadi siang kamu nggak menjawab pesanku?”
Nadine menghela napas. “Aku sibuk, Mas. Aku juga makan siang dengan Dinda.”
Di seberang, Adrian terdiam sejenak sebelum berkata, “Dinda bicara sesuatu tentang aku?”
Nadine menggigit bibir. “Dia hanya bilang kalau dia merasa kamu berubah.”
Adrian tertawa kecil, tapi terdengar pahit. “Dinda memang selalu peka. Tapi kadang dia juga terlalu khawatir.”
Nadine tidak tahu harus menjawab apa. Ia bisa merasakan sesuatu yang tersirat dalam ucapan Adrian, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
“Tapi Nadine…” Adrian melanjutkan, suaranya lebih rendah. “Apa kamu sadar kalau aku juga merasa berubah?”
Nadine membeku. “Maksudnya?”
“Aku tidak tahu kapan ini dimulai,” kata Adrian pelan. “Tapi setiap kali aku melihatmu, aku merasa… berbeda.”
Jantung Nadine berdebar keras. Ia menggenggam ponselnya erat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Mas Adrian… jangan bicara seperti itu,” ucapnya nyaris berbisik.
“Aku nggak bisa mengabaikan perasaanku, Nadine.” Suara Adrian terdengar begitu jujur, begitu meyakinkan. “Aku tahu ini salah. Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”
Nadine menutup matanya. Ini tidak seharusnya terjadi. Ia tidak boleh terlibat lebih jauh.
“Mas Adrian, ini salah. Kamu suami Dinda. Kita tidak boleh—”
“Aku tahu,” potong Adrian cepat. “Aku tahu ini gila. Tapi aku nggak bisa membohongi diriku sendiri.”
Nadine merasa tubuhnya melemas. Ia ingin menutup telepon, ingin mengakhiri pembicaraan ini, tapi ada sesuatu dalam suara Adrian yang membuatnya tetap diam.
“Nadine, aku hanya ingin tahu… apa aku satu-satunya yang merasakan ini?”
Pertanyaan itu membuatnya kehilangan kata-kata.
Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu jawabannya.
Tapi ia tidak boleh mengakuinya.
Dengan tangan gemetar, Nadine akhirnya berkata, “Aku harus pergi, Mas. Selamat malam.”
Tanpa menunggu jawaban, ia memutuskan panggilan dan melempar ponselnya ke atas tempat tidur.
Dadanya naik turun cepat. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya kesalahpahaman. Bahwa ia tidak merasakan hal yang sama.
Namun, yang lebih menakutkan dari pernyataan Adrian barusan adalah kenyataan bahwa Nadine tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri.
Ada sesuatu dalam dirinya yang juga merindukan kehadiran pria itu.
Dan ia tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.*
Bab 5: Hasrat yang Tak Terbendung
Malam itu, Nadine duduk di tepi ranjangnya dengan perasaan yang kacau. Pertemuannya dengan Adrian di kafe tadi siang masih terus terbayang dalam pikirannya. Kata-kata pria itu berputar di kepalanya tanpa henti.
*”Aku tidak akan bisa berhenti memikirkanmu.”*
Nadine menggeleng keras. Ia tidak boleh membiarkan hatinya lemah. Ia harus menjaga batas, harus tetap waras. Ini bukan hanya tentang dirinya dan Adrian, tapi juga tentang Dinda—sahabatnya sendiri.
Namun, sekeras apa pun ia mencoba menolak, ia tahu bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang mulai retak.
***
Keesokan harinya, Nadine mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan. Ia berharap, dengan tetap fokus pada tugas-tugasnya, ia bisa mengalihkan pikirannya dari Adrian.
Namun, siang itu, saat ia sedang berada di meja kerjanya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
**Adrian:**
_”Kamu sibuk?”_
Nadine menatap layar ponselnya lama, sebelum akhirnya mengetik balasan.
**Nadine:**
_”Ya. Ada apa, Mas?”_
Tak butuh waktu lama, balasan Adrian masuk.
**Adrian:**
_”Aku ingin bertemu denganmu lagi.”_
Nadine menelan ludah. Jari-jarinya gemetar saat hendak mengetik jawaban.
**Nadine:**
_”Mas Adrian, aku rasa kita tidak seharusnya sering bertemu.”_
Beberapa detik kemudian, balasan Adrian muncul.
**Adrian:**
_”Aku tahu. Tapi semakin aku berusaha menjauh, semakin aku menginginkanmu.”_
Nadine menggigit bibirnya. Ada sesuatu dalam pesan itu yang membuat dadanya berdebar lebih kencang.
Sebelum ia sempat membalas, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, sebuah panggilan.
Dari Dinda.
Dengan panik, Nadine segera menjawab. “Halo, Dinda?”
“Hai, sayang! Kamu ada waktu malam ini? Aku ingin mengajakmu makan malam di rumahku. Aku akan masak sesuatu yang spesial!”
Nadine tercekat. Makan malam di rumah Dinda berarti… bertemu dengan Adrian.
“Aku… mungkin sedang sibuk, Din,” jawabnya ragu.
Dinda tertawa di seberang telepon. “Ayolah, cuma makan malam! Aku sudah lama tidak menghabiskan waktu denganmu. Adrian juga pasti senang kalau kamu datang.”
Nama Adrian disebut, dan seketika tubuh Nadine menegang.
Namun, ia tidak bisa menolak. Jika ia menolak, itu justru akan semakin mencurigakan.
“Baiklah,” ucapnya akhirnya. “Aku akan datang.”
***
Malam itu, Nadine berdiri di depan pintu rumah Dinda dengan perasaan campur aduk. Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya mengetuk pintu.
Pintu terbuka, dan Dinda menyambutnya dengan senyum cerah.
“Nadine! Aku senang sekali kamu datang!” Dinda langsung memeluknya erat.
Nadine tersenyum tipis. “Tentu saja, Din. Aku tidak mungkin menolak ajakanmu.”
Saat ia masuk ke dalam, matanya secara refleks mencari sosok Adrian. Dan di sanalah pria itu—berdiri di dekat meja makan, mengenakan kemeja santai dengan lengan yang tergulung.
Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, dunia di sekeliling Nadine terasa menghilang.
Adrian menatapnya dengan intens, seolah berbicara tanpa kata.
*”Aku menginginkanmu.”*
Nadine berusaha mengalihkan pandangannya, tapi tatapan Adrian seakan menguncinya di tempat.
Dinda tidak menyadari ketegangan di antara mereka. Ia justru menggandeng tangan Nadine dan mengajaknya ke meja makan. “Ayo, aku sudah memasak banyak makanan. Aku ingin kalian berdua mencobanya!”
Sepanjang makan malam, Nadine berusaha bertindak sewajar mungkin. Namun, ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Adrian terus mencuri-curi pandang ke arahnya. Setiap kali pandangan mereka bertemu, jantungnya berdetak lebih cepat.
Setelah makan malam, Dinda pergi ke dapur untuk mengambil dessert. Momen itu meninggalkan Nadine dan Adrian berdua di ruang makan.
Kesunyian yang terjadi di antara mereka begitu mencekam.
“Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu,” bisik Adrian tiba-tiba.
Nadine tersentak. Ia menoleh ke arah pria itu dengan mata melebar. “Mas Adrian, jangan bicara seperti itu. Dinda ada di sini!”
“Tapi itu kenyataannya,” Adrian menatapnya dalam. “Kamu juga merasakannya, kan?”
Nadine menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tidak bisa, Mas. Aku tidak boleh.”
Adrian tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Saat itu, Dinda kembali dari dapur dengan sepiring kue di tangannya. Ia tersenyum lebar. “Aku harap kalian tidak bosan menungguku!”
Nadine segera memasang ekspresi normal dan tersenyum ke arah sahabatnya. “Tentu saja tidak, Din.”
Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa batas di antara dirinya dan Adrian semakin kabur.
Dan ia tidak yakin bisa menghentikannya lebih lama lagi.*
Bab 5: Hasrat yang Tak Terbendung
Malam itu, Nadine duduk di tepi ranjangnya dengan perasaan yang kacau. Pertemuannya dengan Adrian di kafe tadi siang masih terus terbayang dalam pikirannya. Kata-kata pria itu berputar di kepalanya tanpa henti.
*”Aku tidak akan bisa berhenti memikirkanmu.”*
Nadine menggeleng keras. Ia tidak boleh membiarkan hatinya lemah. Ia harus menjaga batas, harus tetap waras. Ini bukan hanya tentang dirinya dan Adrian, tapi juga tentang Dinda—sahabatnya sendiri.
Namun, sekeras apa pun ia mencoba menolak, ia tahu bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang mulai retak.
***
Keesokan harinya, Nadine mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan. Ia berharap, dengan tetap fokus pada tugas-tugasnya, ia bisa mengalihkan pikirannya dari Adrian.
Namun, siang itu, saat ia sedang berada di meja kerjanya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
**Adrian:**
_”Kamu sibuk?”_
Nadine menatap layar ponselnya lama, sebelum akhirnya mengetik balasan.
**Nadine:**
_”Ya. Ada apa, Mas?”_
Tak butuh waktu lama, balasan Adrian masuk.
**Adrian:**
_”Aku ingin bertemu denganmu lagi.”_
Nadine menelan ludah. Jari-jarinya gemetar saat hendak mengetik jawaban.
**Nadine:**
_”Mas Adrian, aku rasa kita tidak seharusnya sering bertemu.”_
Beberapa detik kemudian, balasan Adrian muncul.
**Adrian:**
_”Aku tahu. Tapi semakin aku berusaha menjauh, semakin aku menginginkanmu.”_
Nadine menggigit bibirnya. Ada sesuatu dalam pesan itu yang membuat dadanya berdebar lebih kencang.
Sebelum ia sempat membalas, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, sebuah panggilan.
Dari Dinda.
Dengan panik, Nadine segera menjawab. “Halo, Dinda?”
“Hai, sayang! Kamu ada waktu malam ini? Aku ingin mengajakmu makan malam di rumahku. Aku akan masak sesuatu yang spesial!”
Nadine tercekat. Makan malam di rumah Dinda berarti… bertemu dengan Adrian.
“Aku… mungkin sedang sibuk, Din,” jawabnya ragu.
Dinda tertawa di seberang telepon. “Ayolah, cuma makan malam! Aku sudah lama tidak menghabiskan waktu denganmu. Adrian juga pasti senang kalau kamu datang.”
Nama Adrian disebut, dan seketika tubuh Nadine menegang.
Namun, ia tidak bisa menolak. Jika ia menolak, itu justru akan semakin mencurigakan.
“Baiklah,” ucapnya akhirnya. “Aku akan datang.”
***
Malam itu, Nadine berdiri di depan pintu rumah Dinda dengan perasaan campur aduk. Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya mengetuk pintu.
Pintu terbuka, dan Dinda menyambutnya dengan senyum cerah.
“Nadine! Aku senang sekali kamu datang!” Dinda langsung memeluknya erat.
Nadine tersenyum tipis. “Tentu saja, Din. Aku tidak mungkin menolak ajakanmu.”
Saat ia masuk ke dalam, matanya secara refleks mencari sosok Adrian. Dan di sanalah pria itu—berdiri di dekat meja makan, mengenakan kemeja santai dengan lengan yang tergulung.
Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, dunia di sekeliling Nadine terasa menghilang.
Adrian menatapnya dengan intens, seolah berbicara tanpa kata.
*”Aku menginginkanmu.”*
Nadine berusaha mengalihkan pandangannya, tapi tatapan Adrian seakan menguncinya di tempat.
Dinda tidak menyadari ketegangan di antara mereka. Ia justru menggandeng tangan Nadine dan mengajaknya ke meja makan. “Ayo, aku sudah memasak banyak makanan. Aku ingin kalian berdua mencobanya!”
Sepanjang makan malam, Nadine berusaha bertindak sewajar mungkin. Namun, ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Adrian terus mencuri-curi pandang ke arahnya. Setiap kali pandangan mereka bertemu, jantungnya berdetak lebih cepat.
Setelah makan malam, Dinda pergi ke dapur untuk mengambil dessert. Momen itu meninggalkan Nadine dan Adrian berdua di ruang makan.
Kesunyian yang terjadi di antara mereka begitu mencekam.
“Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu,” bisik Adrian tiba-tiba.
Nadine tersentak. Ia menoleh ke arah pria itu dengan mata melebar. “Mas Adrian, jangan bicara seperti itu. Dinda ada di sini!”
“Tapi itu kenyataannya,” Adrian menatapnya dalam. “Kamu juga merasakannya, kan?”
Nadine menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tidak bisa, Mas. Aku tidak boleh.”
Adrian tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Saat itu, Dinda kembali dari dapur dengan sepiring kue di tangannya. Ia tersenyum lebar. “Aku harap kalian tidak bosan menungguku!”
Nadine segera memasang ekspresi normal dan tersenyum ke arah sahabatnya. “Tentu saja tidak, Din.”
Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa batas di antara dirinya dan Adrian semakin kabur.
Dan ia tidak yakin bisa menghentikannya lebih lama lagi.*
Bab 6: Godaan yang Kian Menggila
Setelah malam makan bersama di rumah Dinda, Nadine merasa pikirannya semakin tidak tenang. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya kebetulan, bahwa Adrian hanya mengalami kebingungan sesaat.
Namun, semakin ia mencoba menghindar, semakin Adrian mendekat.
Hari-hari berlalu dengan penuh kecanggungan. Nadine berusaha untuk tetap bersikap normal, tetapi tatapan Adrian yang selalu mencarinya membuat segalanya semakin sulit. Bahkan dalam pertemuan-pertemuan kecil bersama Dinda, ia selalu merasa ada ketegangan yang tidak bisa dihindari.
Sampai akhirnya, satu kejadian membuat segalanya semakin rumit.
***
Siang itu, Nadine sedang bekerja di kantornya ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya.
**Adrian:**
_”Aku di luar kantormu.”_
Nadine menatap pesan itu dengan mata melebar. Jari-jarinya mengetik cepat.
**Nadine:**
_”Mas Adrian, kenapa kamu ke sini?”_
**Adrian:**
_”Aku ingin bicara denganmu. Hanya sebentar.”_
Nadine menggigit bibirnya. Ia tahu ia seharusnya mengabaikan pesan itu. Tapi sesuatu dalam dirinya membuatnya bangkit dari kursinya dan melangkah ke luar.
Saat ia sampai di luar gedung, Adrian sudah menunggunya di dalam mobil. Begitu melihatnya, pria itu langsung membuka kaca jendela.
“Masuklah,” katanya pelan.
Nadine menoleh ke sekitar, memastikan tidak ada yang melihatnya, sebelum akhirnya membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang.
“Apa yang Mas Adrian lakukan di sini?” tanya Nadine dengan suara pelan.
Adrian menatapnya dalam. “Aku tidak tahan, Nadine.”
Nadine menghela napas panjang. “Mas Adrian, kita sudah membahas ini—”
“Aku mencoba menjauh,” potong Adrian. “Tapi semakin aku berusaha, semakin aku ingin dekat denganmu.”
Nadine merasakan dadanya sesak. “Kita tidak bisa seperti ini, Mas. Ini salah.”
Adrian tidak menjawab, hanya menatapnya dengan sorot mata yang begitu dalam hingga membuat Nadine kehilangan kata-kata.
“Aku tahu ini salah,” kata Adrian akhirnya, suaranya bergetar. “Tapi aku tidak bisa mengabaikan apa yang aku rasakan. Aku menginginkanmu, Nadine. Dan aku tahu… kamu juga merasakan hal yang sama.”
Nadine menahan napas. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa Adrian salah. Tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa pria itu benar.
Sebelum ia sempat berkata apa pun, Adrian mengulurkan tangannya dan menyentuh jemarinya. Sentuhan itu begitu ringan, tetapi mampu membuat tubuh Nadine bergetar hebat.
“Mas Adrian…” bisiknya, nyaris tanpa suara.
“Aku tidak meminta jawaban sekarang,” kata Adrian pelan. “Aku hanya ingin kamu tahu… aku akan selalu ada di sini, menunggumu.”
Nadine menarik tangannya dengan cepat, seolah sentuhan itu membakar kulitnya. Ia segera membuka pintu mobil dan melangkah keluar dengan tergesa-gesa.
Namun, sebelum menutup pintu, ia mendengar suara Adrian sekali lagi.
“Nadine…”
Ia menoleh, dan melihat pria itu menatapnya dengan mata penuh perasaan.
“Hati-hati,” katanya lembut.
Nadine menggigit bibirnya dan segera berbalik, berjalan menjauh dengan langkah cepat.
Tapi jantungnya berdetak begitu kencang.
Ia tahu bahwa ia semakin berada di tepi jurang.
Dan sebentar lagi, ia mungkin akan jatuh.*
Bab 7: Melawan atau Menyerah
Setelah pertemuan di mobil siang itu, Nadine semakin sulit mengendalikan pikirannya. Kata-kata Adrian terus terngiang dalam kepalanya.
*”Aku menginginkanmu, dan aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama.”*
Nadine ingin menyangkal, ingin meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah ilusi sesaat. Tapi semakin ia berusaha mengusir perasaan itu, semakin kuat hasrat itu tumbuh.
Ia mulai takut pada dirinya sendiri.
Takut bahwa suatu saat ia tidak akan bisa lagi menahan diri.
***
Beberapa hari berlalu, dan Nadine berusaha menjaga jarak dari Adrian. Ia menghindari semua pesan dan panggilannya, serta menolak ajakan Dinda untuk berkunjung ke rumahnya.
Namun, sejauh apa pun ia mencoba menghindar, takdir seolah mempertemukan mereka kembali.
Siang itu, saat Nadine sedang berada di sebuah café untuk makan siang sendirian, sebuah suara yang begitu familiar menyapanya.
“Nadine.”
Jantungnya seketika berdebar kencang. Ia menoleh dan mendapati Adrian berdiri di samping mejanya, menatapnya dengan sorot mata yang tidak bisa ia artikan.
“Mas Adrian…” Nadine tergagap, merasa panik.
“Boleh aku duduk?” tanyanya, meskipun Nadine tahu bahwa pria itu tidak akan menerima penolakan.
Dengan berat hati, Nadine mengangguk. Adrian pun menarik kursi dan duduk di hadapannya.
“Aku mencarimu,” kata Adrian pelan.
Nadine menghela napas. “Mas Adrian, kita tidak boleh terus seperti ini.”
Adrian menatapnya tajam. “Kenapa tidak? Karena Dinda?”
“Ya,” jawab Nadine tegas. “Dia sahabatku, dan kamu suaminya!”
Adrian tersenyum miris. “Lalu, kenapa hati kita tidak bisa mengikuti aturan itu?”
Nadine terdiam. Ia tahu, ini bukan hanya tentang Adrian. Ini juga tentang dirinya sendiri—tentang betapa lemahnya ia saat berhadapan dengan pria itu.
Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya merendah. “Kamu bisa membohongi siapa pun, Nadine. Tapi jangan bohongi dirimu sendiri.”
Nadine mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia ingin membantah, ingin menolak kata-kata itu.
Tapi hatinya justru berbisik sebaliknya.
“Kita sudah terlalu jauh,” lanjut Adrian. “Aku tahu aku seharusnya tidak seperti ini, tapi aku tidak bisa mengendalikannya.”
Nadine menggigit bibirnya. “Mas Adrian, aku tidak tahu harus berbuat apa.”
Adrian mengulurkan tangannya di atas meja, seolah mengharapkan Nadine untuk meraihnya.
“Jangan menjauh lagi,” pintanya.
Nadine menatap tangan itu lama, sebelum akhirnya berdiri dengan cepat. “Aku harus pergi.”
Ia meraih tasnya dan berjalan meninggalkan meja tanpa menoleh ke belakang.
Namun, meski ia telah pergi, suara Adrian masih menggema di kepalanya.
Dan hatinya terasa lebih hancur dari sebelumnya.*
Bab 8: Kian Terjerat dalam Dosa
Malam itu, Nadine berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Pikirannya tak henti-henti berputar, memikirkan pertemuannya dengan Adrian di kafe tadi siang.
Ia sudah berusaha keras untuk menjaga jarak, untuk menutup semua celah yang bisa membuat mereka semakin dekat. Tapi Adrian selalu menemukan cara untuk menembus pertahanannya.
*”Jangan menjauh lagi,”* kata-kata pria itu terus terngiang di benaknya.
Nadine memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Ia harus tegas. Ia harus bisa menghentikan semua ini sebelum segalanya terlambat.
Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa dirinya sudah terlalu jauh terjerat.
***
Keesokan harinya, Nadine berusaha untuk kembali ke rutinitasnya. Ia fokus pada pekerjaannya dan menghindari segala hal yang bisa membawanya kembali pada Adrian.
Namun, takdir seolah terus mempermainkannya.
Menjelang sore, saat Nadine baru saja selesai rapat, ponselnya bergetar di atas meja.
**Adrian:**
_”Aku ingin bertemu denganmu. Tolong jangan menolak kali ini.”_
Nadine menggigit bibirnya. Jari-jarinya gemetar saat hendak mengetik balasan.
**Nadine:**
_”Mas, kita tidak boleh terus seperti ini.”_
Beberapa detik kemudian, balasan Adrian muncul.
**Adrian:**
_”Hanya sebentar. Aku mohon.”_
Nadine menatap pesan itu lama. Ia tahu ia seharusnya tidak mengiyakan. Ia seharusnya mengabaikannya.
Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang ingin bertemu dengan pria itu.
Dengan tangan gemetar, ia akhirnya mengetik balasan.
**Nadine:**
_”Di mana?”_
***
Sore itu, Nadine berdiri di depan sebuah kamar hotel yang disebutkan Adrian dalam pesannya. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, dadanya naik turun karena gugup.
*”Aku tidak seharusnya ada di sini.”*
Namun, sebelum ia sempat berbalik pergi, pintu kamar terbuka, dan Adrian berdiri di hadapannya.
Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua pertahanan Nadine runtuh.
Tanpa berkata apa-apa, Adrian meraih tangannya dan menariknya masuk ke dalam kamar.
Begitu pintu tertutup, Nadine merasa dunianya berubah. Suara detak jantungnya terdengar lebih kencang dari biasanya, dan napasnya terasa berat.
“Mas Adrian…” Nadine berbisik, suaranya bergetar.
Adrian menatapnya dengan sorot mata penuh hasrat. “Aku sudah mencoba untuk menjauh, Nadine. Tapi aku tidak bisa.”
Nadine menelan ludah. “Ini salah, Mas.”
“Tapi kita berdua menginginkannya,” bisik Adrian sambil melangkah mendekat.
Nadine mundur setengah langkah, tapi punggungnya menabrak dinding. Adrian semakin dekat, hingga jarak mereka nyaris tak bersisa.
“Jangan takut,” ucap Adrian serak. “Aku tidak akan memaksamu.”
Tapi Nadine tahu, ini bukan soal paksaan. Ini tentang bagaimana ia juga menginginkan pria itu.
Saat Adrian mengangkat tangannya untuk menyentuh pipinya, Nadine tidak lagi bisa menahan diri.
Ia memejamkan mata, dan dalam sekejap, bibir mereka bertemu.
Ciuman itu lembut, tetapi penuh gairah yang selama ini mereka tahan. Tangan Adrian melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat, seolah takut kehilangannya.
Nadine merasakan tubuhnya gemetar dalam pelukan pria itu, tetapi ia tidak ingin melepaskannya.
Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya larut dalam perasaan yang selama ini ia tolak.
Namun, di balik kenikmatan yang mereka rasakan, ada bayangan dosa yang mulai menghantui mereka.
Dan Nadine tahu, setelah ini, tidak akan ada jalan untuk kembali.*
Bab 9: Antara Cinta dan Pengkhianatan
Malam itu, Nadine terbangun dengan perasaan gelisah. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang masih diterangi cahaya redup dari lampu di sudut ruangan. Tubuhnya masih berselimut, dan di sampingnya, Adrian tertidur dengan napas teratur.
Mereka telah melewati batas.
Nadine menggigit bibirnya. Tubuhnya masih merasakan jejak sentuhan Adrian, tetapi pikirannya penuh dengan penyesalan. Ia menundukkan kepala, merasa hancur oleh kesalahan yang baru saja mereka lakukan.
*”Bagaimana bisa aku melakukan ini pada Dinda?”*
Dinda, sahabatnya. Wanita yang selama ini selalu ada untuknya. Wanita yang begitu mempercayai dirinya, yang selalu bercerita tentang pernikahannya, tentang betapa ia mencintai Adrian.
Dan sekarang, Nadine telah merusak segalanya.
Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin melarikan diri, ingin kembali ke dunia sebelum semua ini terjadi. Tapi ia tahu, semuanya sudah terlambat.
***
Adrian menggeliat pelan, lalu membuka matanya. Saat melihat Nadine yang duduk dengan ekspresi kosong, ia segera bangun dan menyentuh bahunya.
“Nadine…” suaranya serak.
Nadine menegang, tetapi ia tidak berani menatapnya. “Kita sudah melakukan kesalahan, Mas.”
Adrian menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, lalu berkata dengan suara berat, “Aku tahu.”
Nadine akhirnya menoleh, menatap pria itu dengan mata penuh air mata. “Lalu… apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Adrian tidak langsung menjawab. Ia menatapnya lama, seolah mencari jawaban di dalam dirinya sendiri. “Aku tidak tahu, Nadine.”
Jawaban itu membuat dada Nadine semakin sesak.
“Aku mencintaimu,” lanjut Adrian. “Aku tahu ini salah, aku tahu kita seharusnya tidak seperti ini. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku.”
Nadine menutup matanya. “Bagaimana dengan Dinda?”
Adrian mengusap rambutnya dengan frustrasi. “Aku juga tidak ingin menyakitinya.”
Nadine tertawa getir. “Tapi kita sudah melakukannya, Mas. Kita sudah mengkhianatinya.”
Keheningan menyelimuti mereka. Nadine merasakan kepedihan yang luar biasa.
Lalu, suara ponselnya berbunyi, memecah keheningan.
Dengan tangan gemetar, Nadine mengambil ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Dan saat melihat nama yang tertera di layar, tubuhnya langsung membeku.
**Dinda.**
Jantungnya berdebar kencang. Ia menatap layar itu dengan panik, seolah telepon itu adalah bom yang siap meledak kapan saja.
“Nadine?” suara Adrian terdengar cemas.
Nadine menelan ludah, lalu dengan ragu-ragu menekan tombol jawab. “Halo… Dinda?”
“Nadine, kamu di mana?” Suara Dinda terdengar ceria, tanpa sedikit pun curiga.
Nadine berusaha mengendalikan napasnya yang tidak beraturan. “Aku… aku di rumah. Kenapa, Din?”
“Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku tadi mimpi buruk, dan entah kenapa aku kepikiran kamu.”
Dada Nadine semakin sesak. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh di pipinya.
“Aku baik-baik saja, Din,” katanya pelan, suaranya hampir bergetar.
“Syukurlah,” kata Dinda lega. “Jangan lupa istirahat, ya. Aku sayang kamu!”
Kalimat itu seperti tamparan keras bagi Nadine.
“Aku juga sayang kamu, Din,” bisiknya sebelum menutup telepon.
Begitu panggilan berakhir, Nadine menundukkan kepala dan menangis dalam diam.
Adrian mengulurkan tangannya untuk menyentuhnya, tetapi Nadine segera menjauh.
“Aku harus pergi,” katanya sambil bangkit dari tempat tidur.
“Nadine, tunggu—”
“Tidak, Mas Adrian.” Nadine menatapnya dengan mata yang masih berair. “Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku… aku tidak sanggup.”
Adrian menatapnya dengan ekspresi terluka. “Lalu, kita harus bagaimana?”
Nadine menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti…” Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya. “Aku tidak bisa mengkhianati Dinda lagi.”
Ia berbalik, mengambil pakaiannya, dan mengenakannya dengan terburu-buru.
Saat ia melangkah menuju pintu, Adrian masih menatapnya dengan sorot mata yang penuh kesedihan.
Tapi Nadine tidak bisa lagi tinggal di sana.
Ia harus pergi.
Ia harus mengakhiri semuanya.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa semua ini tidak akan semudah itu.
Karena perasaan yang telah terlanjur tumbuh… tidak bisa begitu saja dilupakan.*
Bab 10: Melepaskan atau Terus Bertahan
Nadine berjalan cepat menyusuri lorong hotel, dadanya sesak oleh berbagai emosi yang bergejolak. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang menahannya.
Begitu keluar dari pintu utama, udara malam yang dingin menerpa kulitnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir segala kekacauan yang berputar di pikirannya.
Tapi semuanya sudah terlanjur berantakan.
Pikirannya terus dipenuhi wajah Dinda dan suara cerianya di telepon tadi. Nadine menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh.
*”Aku harus berhenti. Aku tidak bisa terus menyakiti Dinda.”*
Namun, ketika ia baru saja melangkah ke tepi jalan untuk mencari taksi, suara yang sangat ia kenal menghentikannya.
“Nadine!”
Ia memejamkan mata sesaat sebelum berbalik.
Adrian berdiri di depan pintu hotel, mengenakan kemeja yang belum sempat dikancingkan dengan sempurna. Napasnya sedikit memburu, dan matanya menatap Nadine dengan penuh keputusasaan.
“Jangan pergi,” pintanya, suaranya nyaris bergetar.
Nadine menatap pria itu dengan mata yang juga berkaca-kaca. “Mas Adrian, ini salah.”
“Tapi aku mencintaimu.”
Kata-kata itu menghantam Nadine tepat di hatinya.
“Jangan mengatakan itu, Mas,” bisiknya. “Semakin Mas mengatakan hal itu, semakin sulit bagiku untuk pergi.”
Adrian melangkah mendekat. “Kalau begitu, jangan pergi.”
Nadine mundur selangkah, berusaha menciptakan jarak. “Lalu, bagaimana dengan Dinda? Bagaimana dengan pernikahan kalian?”
Adrian terdiam. Ia mengusap wajahnya dengan frustrasi.
“Aku tidak bisa pura-pura bahagia lagi, Nadine. Aku mencoba mempertahankan rumah tanggaku, aku mencoba setia… tapi hatiku sudah memilihmu.”
Nadine menggeleng cepat. “Jangan katakan itu, Mas! Ini bukan tentang siapa yang kau pilih, ini tentang kesalahan yang telah kita lakukan!”
Keheningan menyelimuti mereka.
Mereka berdua saling menatap, menyadari kenyataan yang menyakitkan—bahwa perasaan ini tidak akan membawa kebahagiaan.
Bahwa cinta yang mereka bagi adalah cinta yang penuh luka.
***
Hari-hari berlalu, dan Nadine benar-benar menjauh dari Adrian.
Ia menolak semua telepon dan pesan yang dikirim pria itu. Ia bahkan menghindari Dinda sebisa mungkin, takut bahwa sahabatnya akan menyadari sesuatu.
Namun, luka itu masih ada.
Setiap malam, ia berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka, bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang benar.
Hingga suatu hari, saat ia sedang duduk di ruang kerjanya, ponselnya bergetar.
**Dinda:**
_”Nadine, aku butuh bicara. Ini penting.”_
Nadine merasakan dadanya mencelos. Tangannya gemetar saat mengetik balasan.
**Nadine:**
_”Ada apa, Din?”_
**Dinda:**
_”Aku di café biasa. Tolong datang.”_
Tanpa pikir panjang, Nadine segera mengambil tasnya dan bergegas keluar.
Di dalam kepalanya, berbagai kemungkinan buruk berputar.
*”Apakah Dinda tahu? Apakah ia mencurigai sesuatu?”*
Dengan hati yang berdebar, Nadine melangkah masuk ke café tempat mereka biasa bertemu. Dinda sudah duduk di sudut ruangan, terlihat gelisah.
Begitu melihat Nadine, ia langsung tersenyum tipis.
“Nadine… aku tidak tahu harus bicara dengan siapa lagi,” kata Dinda dengan suara lemah.
Nadine duduk di hadapannya, berusaha menutupi kegugupannya. “Kenapa, Din? Ada apa?”
Dinda menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Aku merasa Adrian berubah.”
Jantung Nadine nyaris berhenti berdetak.
“Berubah… bagaimana?” tanyanya hati-hati.
“Aku tidak tahu,” Dinda menghela napas. “Dia sering melamun, sering pulang terlambat. Dan tadi malam… aku mencoba berbicara dengannya, tapi dia hanya diam.”
Nadine menelan ludahnya dengan susah payah.
“Aku takut, Nadine,” lanjut Dinda, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku takut kehilangan dia.”
Kata-kata itu bagaikan belati yang menancap di hati Nadine.
Dinda menggenggam tangannya erat. “Aku tahu mungkin ini hanya perasaanku saja. Tapi aku mohon… kalau kau melihat atau mendengar sesuatu tentang Adrian, tolong katakan padaku.”
Nadine merasakan matanya panas.
Sahabatnya ini begitu mempercayainya.
Dan ia telah mengkhianatinya dengan cara yang paling menyakitkan.
Ia ingin mengakui segalanya, ingin meminta maaf, ingin mengatakan bahwa dirinya adalah alasan perubahan Adrian.
Tapi ia tidak sanggup.
Jadi, ia hanya menggenggam tangan Dinda erat, menahan air matanya, dan berkata,
“Kamu tidak akan kehilangannya, Din. Aku janji.”
Dinda tersenyum lega, tidak menyadari betapa hancurnya Nadine di dalam.
Dan di saat itulah, Nadine akhirnya mengambil keputusan.
***
Malam itu, Nadine berdiri di depan apartemennya, menunggu Adrian datang.
Begitu pria itu tiba, Nadine segera berkata dengan tegas, “Ini pertemuan terakhir kita.”
Adrian menatapnya dengan kaget. “Apa maksudmu?”
“Aku tidak bisa terus seperti ini, Mas. Aku mencintaimu, tapi aku lebih mencintai diriku sendiri. Aku lebih mencintai persahabatanku dengan Dinda.”
Adrian menggenggam tangannya. “Nadine, tolong—”
Nadine menggeleng, matanya penuh air mata. “Mas harus kembali pada Dinda. Aku tidak bisa menjadi orang yang menghancurkan hidupnya.”
Air mata mengalir di pipinya, tetapi ia tetap tegar.
“Jangan cari aku lagi, Mas,” katanya dengan suara bergetar. “Kita harus mengakhiri semuanya… sebelum semuanya menjadi lebih buruk.”
Adrian terdiam, sorot matanya menunjukkan kepedihan yang mendalam.
Namun akhirnya, ia mengangguk pelan.
“Aku mengerti,” bisiknya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Nadine berbalik dan melangkah masuk ke dalam apartemennya.
Begitu pintu tertutup, ia jatuh terduduk, menangis tersedu-sedu.
Ia telah melepaskan pria yang ia cintai.
Namun, untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai, ia merasa telah melakukan hal yang benar***.
——-the end—–