Daftar Isi
- Bab 1: Luka yang Tak Pernah Sembuh
- Bab 2: Membangun Kekuatan dari Kepedihan
- Bab 3: Kembali ke Tempat yang Menggores Luka
- Bab 4: Permainan Dimulai
- Bab 5: Jerat yang Memikat
- Bab 6: Bara di Balik Pertemuan
- Bab 7: Topeng yang Mulai Retak
- Bab 8: Api dalam Diri Lara
- Bab 9: Benturan Kebenaran
- Bab 10: Akhir dari Semua Awal
Bab 1: Luka yang Tak Pernah Sembuh
Langit senja di kota kecil itu terlihat redup, seolah memantulkan suasana hati Lara yang hancur berkeping-keping. Ia duduk di sudut taman yang dulu menjadi tempat favoritnya bersama Aditya. Di tangannya ada sebuah buku harian yang biasa ia tulis dengan penuh cinta dan harapan, namun kini hanya berisi coretan amarah dan air mata.
Hari itu seharusnya menjadi hari bahagia, hari ulang tahun hubungan mereka yang kelima. Lara telah menyiapkan segalanya—sebuah pesta kecil di apartemen mereka dengan balon, kue, dan hadiah berupa jam tangan yang telah ia tabung berbulan-bulan untuk membelinya. Tapi semua rencana itu hancur ketika ia pulang lebih awal dan menemukan pintu apartemennya tidak terkunci.
Awalnya, ia mengira Aditya sedang menyiapkan kejutan. Namun, apa yang dilihatnya di kamar tidur adalah kejutan paling menyakitkan. Di sana, Aditya dan Melisa, sahabatnya sendiri, berada di atas tempat tidur, tertawa tanpa rasa bersalah. Dunia Lara runtuh seketika.
“Apa yang kalian lakukan?” suara Lara gemetar, menahan tangis yang hampir pecah.
Aditya dan Melisa sontak terdiam, wajah mereka berubah pucat. Aditya, yang hanya mengenakan celana pendek, segera berdiri. “Lara, aku bisa jelaskan…”
“Jelaskan apa?” Lara memotong, matanya penuh dengan air mata. “Kau menghancurkan segalanya! Kau… kau mengkhianatiku!”
Melisa, yang biasanya anggun dan manis, hanya bisa menunduk. “Lara, maaf… aku tidak pernah berniat menyakitimu. Ini terjadi begitu saja.”
“Begitu saja?” Lara tertawa getir. “Kau tahu betapa aku percaya padamu. Kau sahabatku, Melisa. Kau orang terakhir yang kupikir akan menusukku dari belakang.”
Tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut, Lara pergi meninggalkan apartemen itu. Ia tidak tahu harus ke mana, tetapi ia tahu satu hal—ia tidak bisa tinggal di sana lagi. Semua kenangan bersama Aditya kini terasa seperti duri yang menusuk setiap bagian hatinya.
Selama beberapa minggu setelah kejadian itu, Lara mengurung diri di kamar hotel kecil yang ia sewa. Ia mencoba mencari jawaban di dalam dirinya, namun yang ia temukan hanyalah rasa sakit. Setiap malam ia terbangun dengan mata bengkak karena menangis. Ia terus bertanya pada dirinya sendiri, apa yang salah? Mengapa Aditya melakukan ini padanya?
Namun, semakin lama ia memikirkannya, semakin ia sadar bahwa rasa sakit ini tidak bisa terus menghancurkannya. Ia harus bangkit, meski sulit. Ia tidak akan membiarkan mereka yang menghancurkannya menjalani hidup dengan bahagia sementara ia tenggelam dalam kepedihan.
Lara mulai merancang rencana hidupnya yang baru. Ia meninggalkan kota kecil itu, membawa semua luka dan rasa sakitnya menuju ibu kota. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi seseorang yang tidak pernah bisa diremehkan oleh siapa pun, terutama oleh orang-orang seperti Aditya dan Melisa.
Dengan tekad yang kuat, ia mendaftar di sebuah universitas terkemuka, mengambil jurusan bisnis, dan bekerja keras untuk membiayai hidupnya sendiri. Di sela-sela waktu kuliah, ia bekerja paruh waktu di sebuah kafe kecil. Setiap malam, ia mengingat lagi wajah Aditya dan Melisa, membakar dendam itu di dalam hatinya sebagai bahan bakar untuk terus maju.
Tahun-tahun berlalu, dan Lara mulai melihat hasil dari kerja kerasnya. Ia lulus dengan nilai tertinggi dan diterima di perusahaan besar sebagai analis keuangan. Dari sana, ia mendaki tangga kesuksesan dengan cepat, membangun reputasi sebagai wanita yang cerdas dan ambisius. Namun, meski ia memiliki segalanya—uang, karier, dan kekuatan—rasa sakit di hatinya tidak pernah hilang.
Setiap kali ia melihat pasangan bahagia di sekitarnya, ia merasa dihantui oleh bayang-bayang masa lalunya. Dendam itu tidak pernah pudar. Lara tahu, satu-satunya cara untuk benar-benar bebas adalah dengan mengembalikan rasa sakit yang ia alami kepada mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Suatu malam, Lara duduk di apartemennya yang mewah di tengah kota. Ia membuka laptopnya, mengetik nama Aditya di kolom pencarian media sosial. Saat melihat profilnya, hatinya kembali bergejolak. Aditya terlihat berbeda—lebih lusuh, lebih terpuruk. Namun, itu tidak cukup untuk meredakan dendam di hati Lara. Ia ingin lebih dari itu.
“Aku akan membuatmu merasakan apa yang aku rasakan, Aditya. Kau dan Melisa akan tahu bagaimana rasanya dihancurkan oleh seseorang yang kau percayai,” gumamnya dengan penuh tekad.
Malam itu, Lara memutuskan untuk kembali ke kota asalnya. Tidak sebagai Lara yang lemah dan penuh luka, tetapi sebagai Lara yang kuat dan penuh perhitungan. Balas dendam akan menjadi tujuannya, dan ia tidak akan berhenti sampai semuanya terbalaskan.*
Bab 2: Membangun Kekuatan dari Kepedihan
Malam itu, di sudut apartemen kecil yang ia sewa di ibu kota, Lara menatap dirinya di cermin. Wajahnya tampak lebih tirus, lingkar hitam di bawah matanya menunjukkan kurangnya tidur selama berminggu-minggu. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang baru—tekad yang tak tergoyahkan.
“Jika aku ingin balas dendam, aku tidak bisa begini terus,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Ia memulai hidupnya dari nol di kota besar ini. Dengan uang tabungan yang tersisa, ia mendaftarkan diri ke universitas yang memiliki reputasi tinggi. Jurusan bisnis menjadi pilihannya—ia tahu, untuk menjadi seseorang yang berkuasa, ia harus paham cara dunia bekerja. Namun, kuliah saja tidak cukup. Biaya hidup di ibu kota tidak murah, dan ia tidak ingin meminta bantuan dari siapa pun. Maka, ia melamar pekerjaan paruh waktu di sebuah kafe kecil.
Hari-hari Lara penuh perjuangan. Ia harus bangun pagi untuk bekerja di kafe, melayani pelanggan dengan senyum palsu sambil menahan rasa lelah. Setelah itu, ia langsung menuju kampus, mengikuti kuliah hingga larut malam. Waktu untuk dirinya sendiri hampir tidak ada, tapi ia tidak peduli. Dalam pikirannya, semua ini adalah bagian dari rencana besar.
Setiap kali ia merasa lelah atau hampir menyerah, bayangan Aditya dan Melisa muncul di pikirannya. Ia membayangkan mereka sedang tertawa, menikmati hidup tanpa beban, sementara ia harus bersusah payah memperbaiki hidupnya yang telah mereka hancurkan. Dendam itu menjadi api yang terus menyala, mendorongnya untuk melangkah lebih jauh.
Suatu hari, di sela-sela waktu istirahatnya di kafe, Lara membuka buku catatan kecilnya. Di halaman pertama, ia menuliskan tujuan hidupnya:
1. Menjadi wanita sukses.
2. Menghancurkan Aditya dan Melisa.
3. Membuktikan bahwa mereka telah memilih untuk menghancurkan orang yang salah.
Ia tahu bahwa untuk mencapai itu semua, ia tidak hanya membutuhkan kecerdasan, tetapi juga jaringan yang kuat. Maka, ia mulai membangun hubungan dengan orang-orang penting di kampus—dosen, teman sekelas yang berpengaruh, dan bahkan alumni yang sudah sukses. Meskipun awalnya sulit, Lara memiliki pesona alami yang membuat orang merasa nyaman di sekitarnya. Dalam waktu singkat, ia berhasil mendapatkan perhatian dari beberapa tokoh penting di kampus.
Empat tahun berlalu seperti kilat. Lara lulus dengan predikat cum laude, nilai tertinggi di jurusannya. Saat wisuda, ia berdiri di podium untuk memberikan pidato kelulusan. Semua mata tertuju padanya, termasuk para eksekutif perusahaan yang hadir sebagai tamu. Salah satu dari mereka, CEO sebuah perusahaan investasi terkemuka, langsung mengajaknya berbicara setelah acara selesai.
“Anda memiliki masa depan yang cerah, Nona Lara. Kami membutuhkan orang seperti Anda di tim kami,” katanya sambil menyodorkan kartu nama.
Tawaran itu menjadi pintu gerbang bagi Lara ke dunia bisnis yang sesungguhnya. Ia bekerja keras di perusahaan tersebut, belajar setiap detail tentang investasi, keuangan, dan strategi perusahaan. Dalam waktu lima tahun, Lara tidak hanya berhasil mendapatkan posisi manajerial, tetapi juga cukup uang untuk membangun bisnisnya sendiri.
Namun, di balik semua pencapaiannya, dendam itu masih ada. Ia belum bisa melupakan malam ketika dunianya runtuh. Setiap malam, sebelum tidur, ia membuka akun media sosial Aditya dan Melisa. Ia melihat bagaimana hidup mereka berubah.
Aditya, yang dulu penuh percaya diri, sekarang terlihat lebih suram. Bisnis kecil yang ia bangun tampaknya mengalami kesulitan. Melisa, di sisi lain, tampak hidup bahagia, menjadi model dengan ribuan pengikut di media sosial. Lara tahu, ini adalah waktu yang tepat untuk kembali.
Ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kota ini dan kembali ke tempat asalnya, ia sudah bukan Lara yang dulu. Ia kini adalah seorang wanita mandiri, sukses, dan berbahaya. Ia memiliki kekuasaan dan kekayaan yang cukup untuk melakukan apa pun yang ia inginkan, termasuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Dalam perjalanan kembali ke kota kecil itu, Lara duduk di kursi belakang mobil mewahnya, memandang ke luar jendela. Kenangan pahit mulai menyeruak di kepalanya, tapi kali ini ia tidak merasa lemah. Ia merasa kuat, seperti seorang ratu yang akan merebut tahtanya kembali.
Setibanya di kota asalnya, Lara memesan kamar hotel mewah di pusat kota. Ia tidak langsung menghubungi siapa pun. Sebaliknya, ia menyewa seorang detektif pribadi untuk mencari tahu segala sesuatu tentang Aditya dan Melisa—tempat tinggal mereka, pekerjaan mereka, bahkan hubungan mereka dengan orang lain.
Laporan pertama datang seminggu kemudian. Detektif itu memberitahu Lara bahwa Aditya sekarang menjalankan sebuah toko kecil yang hampir bangkrut. Ia terlilit utang dan tidak memiliki banyak teman. Sementara itu, Melisa telah pindah ke kota lain, tetapi sering kembali untuk menghadiri acara-acara sosial.
Lara tersenyum tipis saat membaca laporan itu. “Bagus,” katanya pelan. “Aku akan mulai dengan Aditya. Aku ingin dia tahu bagaimana rasanya menjadi tidak berdaya.”
Ia mengatur pertemuan pertama dengan Aditya, berpura-pura sebagai seseorang yang kebetulan berada di kota itu. Lara mengenakan gaun elegan yang menunjukkan kesuksesannya, memastikan Aditya melihat betapa jauh ia telah berkembang.
Ketika akhirnya mereka bertemu di sebuah kafe kecil, Aditya terlihat terkejut. Matanya yang dulu penuh percaya diri kini tampak lelah dan redup.
“Lara?” panggilnya, setengah tidak percaya.
Lara tersenyum. “Aditya. Lama tidak bertemu.”
Dalam hatinya, Lara tahu, permainan ini baru saja dimulai.*
Bab 3: Kembali ke Tempat yang Menggores Luka
Kota kecil itu tidak banyak berubah. Jalanan masih sama, toko-toko kecil berjejer di sisi kanan dan kiri, dan aroma roti segar dari toko roti tua di sudut jalan masih terasa seperti dulu. Namun, bagi Lara, setiap sudut kota ini menyimpan kenangan pahit yang ia coba lupakan bertahun-tahun lamanya. Kini ia kembali, bukan sebagai gadis polos yang lemah, tetapi sebagai wanita yang siap menuntut balas.
Mobil hitam mewah yang dikendarainya berhenti di depan sebuah hotel bintang lima di pusat kota. Lara mengenakan kacamata hitam, menyembunyikan tatapan tajamnya. Dengan langkah anggun, ia masuk ke lobi hotel, menandai dimulainya babak baru dalam rencana balas dendamnya. Tidak ada yang mengenalinya, dan ia lebih suka begitu. Ia ingin mengamati dari kejauhan sebelum membuat langkah pertamanya.
Di malam pertamanya di kota itu, Lara duduk di balkon kamar hotelnya, memandangi gemerlap lampu jalanan. Ia membuka laporan detektif yang telah ia terima beberapa hari sebelumnya. Setiap detail kehidupan Aditya dan Melisa tertulis di sana, seperti sebuah peta yang membimbingnya menuju tujuannya.
Aditya kini tinggal di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota. Bisnisnya, toko elektronik yang pernah ia bangun dengan penuh ambisi, kini hampir bangkrut. Utang-utang menumpuk, dan ia hidup dalam keterbatasan. Sementara itu, Melisa telah menjauh dari Aditya. Setelah kariernya sebagai model mulai menanjak, ia pindah ke ibu kota, hanya sesekali kembali untuk urusan pekerjaan. Mereka tampaknya sudah tidak bersama, tetapi bagi Lara, itu belum cukup. Ia ingin keduanya benar-benar hancur.
Keesokan harinya, Lara memutuskan untuk mengunjungi toko Aditya. Ia tidak memberi tahu detektifnya atau siapa pun tentang rencana itu. Ia ingin melihat reaksi Aditya secara langsung, melihat apakah ia masih mengenali wanita yang dulu ia tinggalkan begitu saja.
Lara mengenakan gaun sederhana, tetapi tetap elegan. Ia tidak ingin terlihat mencolok, tetapi cukup untuk meninggalkan kesan. Dengan langkah penuh percaya diri, ia masuk ke dalam toko elektronik kecil itu. Tempat itu sepi, hanya ada Aditya yang sedang membereskan rak.
Awalnya, Aditya tidak menyadari kedatangan Lara. Ia terlalu sibuk memeriksa stok barang. Namun, ketika ia mengangkat kepala, matanya membelalak. Wajahnya yang dulu penuh percaya diri kini tampak lelah dan kusut.
“Lara?” suaranya bergetar, seolah tidak percaya.
Lara tersenyum tipis, senyum yang ia latih di depan cermin berulang kali untuk momen ini. “Aditya. Lama tidak bertemu,” katanya dengan nada tenang, tetapi penuh arti.
Aditya terlihat gugup. “Apa… apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku kebetulan kembali ke kota ini untuk urusan bisnis,” jawab Lara, matanya menyapu ruangan yang tampak berantakan. “Dan aku teringat pada beberapa kenangan lama.”
Aditya menunduk, tidak berani menatap mata Lara. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa.”
Lara berpura-pura tersenyum ramah. “Kau tidak perlu berkata apa-apa. Aku hanya ingin mampir dan melihat keadaanmu.”
Aditya mengangguk canggung. “Aku tidak menyangka kau… kau terlihat sangat berbeda sekarang.”
“Ya,” jawab Lara dengan dingin. “Banyak hal berubah sejak terakhir kali kita bertemu.”
Setelah beberapa menit berbasa-basi, Lara berpamitan. Namun, sebelum ia pergi, ia meletakkan kartu namanya di meja kasir. “Jika kau butuh sesuatu, jangan ragu untuk menghubungiku. Aku senang bisa membantu.”
Aditya tampak bingung, tetapi ia mengangguk. “Terima kasih, Lara.”
Ketika Lara melangkah keluar dari toko, senyum dingin muncul di wajahnya. Ia tahu Aditya akan menghubunginya. Dengan keadaannya yang terpuruk, ia tidak akan melewatkan kesempatan untuk mendapatkan bantuan dari seseorang seperti Lara.
Beberapa hari kemudian, telepon Lara berdering. Seperti yang ia duga, itu adalah Aditya. “Lara,” suaranya terdengar ragu, “aku tahu ini mungkin tidak pantas, tapi aku ingin meminta bantuanmu.”
Lara tersenyum, tetapi ia memastikan suaranya terdengar hangat. “Tentu saja, Aditya. Apa yang bisa aku bantu?”
Aditya menjelaskan kesulitan finansialnya dan bagaimana ia kesulitan mempertahankan tokonya. Ia meminta Lara untuk meminjamkan sedikit uang, berjanji akan mengembalikannya secepat mungkin. Lara berpura-pura berpikir sejenak sebelum menjawab. “Baiklah, aku akan membantumu. Anggap saja ini sebagai tanda bahwa aku sudah melupakan masa lalu.”
Di sisi lain telepon, Aditya terdengar lega. “Terima kasih, Lara. Aku benar-benar berterima kasih.”
Namun, dalam hati Lara, ia tahu bantuan ini bukanlah kemurahan hati. Ini adalah langkah pertama dalam jeratnya. Ia ingin membuat Aditya bergantung padanya, perlahan-lahan menyerahkan kendali hidupnya ke tangan Lara.
Setelah pertemuan itu, Lara mulai mendekati Aditya lebih sering. Ia membuat dirinya terlihat seperti penyelamat, seseorang yang hadir di saat Aditya paling membutuhkan. Pada saat yang sama, ia juga mulai memantau pergerakan Melisa, memastikan ia tahu kapan wanita itu kembali ke kota.
Permainan ini baru saja dimulai, dan Lara tidak akan berhenti sampai mereka berdua merasakan penderitaan yang sama seperti yang ia alami bertahun-tahun lalu.*
Bab 4: Permainan Dimulai
Lara berdiri di depan cermin besar di apartemennya yang elegan, mengenakan gaun hitam sederhana yang memancarkan kesan profesional namun penuh pesona. Malam itu, ia telah mengatur pertemuan makan malam dengan Aditya di restoran mewah di pusat kota. Bagi Aditya, ini mungkin terlihat seperti undangan ramah dari teman lama. Namun, bagi Lara, ini adalah langkah strategis berikutnya dalam permainannya.
Sementara di sisi lain, Aditya menghabiskan sore itu dengan gugup. Ia mengenakan kemeja terbaik yang dimilikinya, meskipun warnanya sudah mulai pudar. Hidupnya kini jauh dari gemilang; kesulitan finansial membuatnya kehilangan banyak hal, termasuk harga dirinya. Lara datang seperti cahaya di tengah kegelapan hidupnya, dan ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Restoran itu terletak di puncak gedung pencakar langit, dengan pemandangan malam kota yang memukau. Ketika Aditya tiba, Lara sudah duduk di sana, menunggunya. Ia tampak begitu tenang, anggun, dan jauh lebih percaya diri dibandingkan gadis yang dulu ia tinggalkan.
“Aditya,” sapa Lara dengan senyum tipis saat ia mendekat. “Senang kau bisa datang.”
Aditya tersenyum canggung dan duduk di hadapannya. “Terima kasih sudah mengundangku. Tempat ini luar biasa.”
Lara hanya mengangguk kecil. “Aku pikir, setelah semua yang kau alami, kau pantas mendapatkan sedikit keindahan.”
Percakapan mereka dimulai dengan topik ringan. Lara dengan lihai mengarahkan pembicaraan, membuat Aditya semakin nyaman untuk membuka diri. Dalam waktu singkat, ia mulai menceritakan semua masalahnya: bagaimana bisnisnya hampir bangkrut, bagaimana ia kehilangan kepercayaan dari banyak orang, dan bagaimana Melisa meninggalkannya.
“Melisa,” gumam Aditya dengan nada getir, “dia pergi begitu saja saat aku sedang berjuang. Padahal aku berpikir… dia orang yang akan selalu mendukungku.”
Lara pura-pura menyimak dengan penuh simpati. Dalam hatinya, ia tertawa sinis. Ia tahu Melisa tidak lebih dari seorang oportunis yang hanya peduli pada dirinya sendiri.
“Aditya,” kata Lara dengan suara lembut, “kadang, hidup mengajarkan kita untuk melihat siapa yang benar-benar peduli dan siapa yang hanya ada saat semuanya berjalan baik.”
Aditya mengangguk, matanya menatap Lara dengan penuh rasa terima kasih. “Kau benar, Lara. Dan aku bersyukur kau ada di sini sekarang.”
Setelah makan malam, Lara menawarkan untuk membantu Aditya lebih jauh. Ia mengusulkan rencana untuk menyuntikkan modal ke bisnis Aditya, tetapi dengan syarat bahwa Lara akan memiliki sebagian besar saham. “Aku ingin memastikan uangku digunakan dengan baik,” katanya dengan senyum yang terlihat tulus.
Aditya merasa terpojok. Di satu sisi, ia membutuhkan bantuan itu. Di sisi lain, ia tahu ini berarti menyerahkan sebagian kontrol bisnisnya. Namun, pada akhirnya, ia tidak punya pilihan. “Baiklah,” jawabnya dengan berat hati. “Aku setuju.”
Langkah pertama Lara berhasil. Dengan ini, ia tidak hanya memiliki kendali atas bisnis Aditya, tetapi juga atas hidupnya. Ia tahu bahwa Aditya sekarang sepenuhnya bergantung padanya.
—
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, Lara mulai melibatkan dirinya dalam kehidupan Aditya lebih dalam. Ia sering mengunjungi toko elektroniknya, memberi saran tentang cara mengelola bisnis, dan bahkan membantu menyusun strategi pemasaran baru. Di mata Aditya, Lara adalah penyelamat. Namun, yang tidak ia sadari, Lara perlahan-lahan meruntuhkan kepercayaannya pada dirinya sendiri.
“Kau harus memperbaiki sistem manajemenmu,” kata Lara suatu hari saat mereka duduk di kantor kecil toko itu. “Tidak heran kau sampai di titik seperti ini.”
Aditya hanya bisa mengangguk, menerima kritik itu tanpa perlawanan. Lara tahu, semakin ia membuat Aditya merasa kecil, semakin besar ketergantungan pria itu padanya.
Sementara itu, Lara mulai mempersiapkan langkah berikutnya: menghubungi Melisa. Ia tahu bahwa Melisa sering kembali ke kota untuk menghadiri acara sosial. Dengan koneksi yang ia miliki sekarang, tidak sulit baginya untuk mendapatkan undangan ke salah satu acara tersebut.
Ketika akhirnya mereka bertemu, Melisa terlihat jauh lebih glamor dibandingkan terakhir kali Lara melihatnya. Ia mengenakan gaun mahal dan berbicara dengan penuh percaya diri, seperti seseorang yang merasa telah meninggalkan masa lalunya jauh di belakang.
“Lara? Ini kau?” seru Melisa, terlihat terkejut namun berusaha tetap ramah.
Lara tersenyum. “Melisa. Sudah lama sekali.”
Percakapan mereka dimulai dengan nostalgia ringan, tetapi Lara memastikan untuk menyisipkan beberapa komentar yang membuat Melisa penasaran. “Aku baru saja bertemu dengan Aditya,” kata Lara dengan nada santai. “Dia tampak… sangat membutuhkan dukungan.”
Melisa tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya. “Oh, Aditya. Aku harap dia baik-baik saja.”
Lara hanya tersenyum samar. Ia tahu, Melisa masih menyimpan rasa bersalah terhadap Aditya, meskipun ia tidak akan pernah mengakuinya.
Setelah pertemuan itu, Lara memastikan untuk tetap terhubung dengan Melisa. Ia menawarkan kerja sama bisnis, menjanjikan kesempatan besar yang sulit ditolak. Melisa, yang haus akan peluang dan pengakuan, dengan cepat menerima tawaran tersebut.
—
Kini, Lara memiliki kedua targetnya di genggamannya. Aditya bergantung padanya untuk bertahan hidup, sementara Melisa mengandalkannya untuk kariernya. Ia mulai memainkan mereka satu sama lain, menanamkan keraguan dan ketidakpercayaan secara perlahan.
“Aditya, kau tahu Melisa sedang bekerja denganku sekarang?” tanya Lara suatu hari dengan nada santai. “Dia tampak sangat sukses. Mungkin dia tidak pernah benar-benar peduli pada hubungan kalian.”
Aditya hanya terdiam, tetapi Lara bisa melihat kemarahan perlahan muncul di matanya.
Di sisi lain, ia mengatakan pada Melisa, “Aditya sering menyebut namamu. Aku rasa dia masih belum bisa melupakanmu.”
Melisa tampak terganggu, tetapi ia mencoba mengabaikan komentar itu.
Lara menikmati setiap momen ini. Ia tahu bahwa konflik antara Aditya dan Melisa akan segera meletus, dan saat itu terjadi, ia akan berada di sana untuk menyaksikannya.
Permainan ini baru saja dimulai, tetapi Lara sudah memegang kendali penuh.*
Bab 5: Jerat yang Memikat
Langkah-langkah yang telah Lara ambil mulai menunjukkan hasilnya. Aditya semakin bergantung padanya, baik secara emosional maupun finansial, sementara Melisa, tanpa sadar, telah masuk ke dalam jaringan yang Lara ciptakan dengan sangat hati-hati. Namun, bagi Lara, ini baru awal dari klimaks yang ia rencanakan.
Malam itu, Lara duduk di ruang kerjanya, membaca laporan terbaru dari detektif pribadinya. Semua pergerakan Aditya dan Melisa terekam dengan jelas: aktivitas mereka, pola komunikasi, bahkan rahasia kecil yang mungkin mereka sendiri ingin sembunyikan. Lara tersenyum tipis. Informasi adalah senjata terkuat, dan ia memiliki semua yang ia butuhkan untuk membuat mereka saling menghancurkan.
—
Di hari berikutnya, Lara mengatur pertemuan makan siang dengan Melisa di sebuah restoran bergaya klasik di pinggir kota. Melisa tiba dengan penampilan anggun, seperti biasanya, dengan senyum penuh percaya diri yang khas. Lara menyambutnya dengan ramah, memberikan kesan bahwa pertemuan ini hanya perbincangan bisnis biasa.
“Melisa,” Lara memulai dengan nada ringan, “aku tahu ini mungkin agak mendadak, tapi ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”
Melisa menyesap kopinya, matanya menyiratkan rasa ingin tahu. “Tentu, Lara. Apa itu?”
Lara mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan, memastikan setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar tulus. “Ini tentang Aditya. Aku tahu kalian punya sejarah bersama, dan aku merasa dia masih memikirkanmu.”
Melisa terlihat terkejut, tetapi ia mencoba menyembunyikan emosinya. “Oh, itu sudah lama sekali. Aku yakin Aditya sudah melupakan semuanya.”
Lara tersenyum kecil, seolah memahami. “Mungkin. Tapi beberapa kali dia menyebutkan namamu saat kami berbicara. Aku hanya berpikir, mungkin dia masih memiliki perasaan tertentu.”
Melisa terdiam sejenak, pikirannya jelas terganggu. Lara tahu bahwa meskipun Melisa telah meninggalkan Aditya, sebagian dari dirinya masih ingin diingat dan diinginkan. Itu adalah kelemahan yang bisa dimanfaatkan.
“Kalau aku boleh jujur,” lanjut Lara dengan nada hati-hati, “dia tampaknya sedang berada di masa-masa sulit. Aku membantunya sedikit, tapi kurasa dia butuh seseorang yang lebih mengenalnya untuk mendukungnya.”
Melisa menghela napas. “Aditya itu orang yang baik, Lara. Tapi aku… aku tidak yakin aku bisa membantunya lagi.”
Lara menunduk seolah mengerti. “Tentu saja, aku hanya berpikir kau harus tahu. Kadang-kadang, menutup bab lama membantu kita maju lebih baik.”
Percakapan itu berakhir dengan Melisa yang tampak lebih bingung daripada sebelumnya. Lara tahu ia telah menanamkan keraguan di benak wanita itu.
—
Di sisi lain, Lara juga mengatur pertemuan pribadi dengan Aditya. Kali ini di ruang kerjanya di kantor. Dengan sengaja, ia memilih suasana formal untuk menunjukkan posisi kekuasaannya atas pria itu.
“Aditya,” kata Lara sambil meletakkan dokumen di atas meja, “aku ingin bicara serius tentang rencana bisnis kita ke depan.”
Aditya mengangguk, meskipun matanya menunjukkan kegugupan. “Tentu, Lara. Apa yang perlu aku lakukan?”
Lara menatapnya dengan tajam, memberikan kesan bahwa setiap kata yang akan ia ucapkan sangat penting. “Aku ingin kau fokus pada peningkatan reputasi bisnismu. Kita tidak bisa terus-terusan seperti ini. Tapi aku juga ingin memastikan kau tidak terdistraksi.”
Aditya tampak bingung. “Terdistraksi? Apa maksudmu?”
Lara bersandar di kursinya, berpura-pura ragu sebelum menjawab. “Aku tahu kau masih memiliki hubungan emosional dengan masa lalumu, terutama Melisa. Aku hanya ingin memastikan kau bisa benar-benar fokus.”
Mendengar nama Melisa, ekspresi wajah Aditya berubah. Ia tampak terkejut dan sedikit terganggu. “Melisa? Tidak, aku sudah melupakan semuanya.”
Lara tersenyum tipis, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda. “Benarkah? Karena aku dengar Melisa kembali ke kota beberapa kali. Aku hanya ingin memastikan hal itu tidak mengganggumu.”
Aditya menggeleng cepat. “Tidak. Aku tidak ingin ada hubungannya lagi dengannya.”
Namun, Lara bisa melihat kebohongan itu. Aditya mungkin mencoba menyembunyikan perasaannya, tetapi Lara tahu pria itu masih menyimpan luka yang belum sembuh.
—
Setelah pertemuan itu, Lara mulai mempercepat langkahnya. Ia mengatur agar Aditya dan Melisa “kebetulan” bertemu dalam sebuah acara sosial yang ia sponsori. Ia memastikan keduanya berada di tempat yang sama, namun tidak tahu bahwa Lara yang mengatur segalanya.
Di malam acara, Lara memperhatikan dari kejauhan ketika Aditya dan Melisa saling melihat untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun. Wajah mereka menyiratkan berbagai emosi: keterkejutan, kebingungan, dan mungkin sedikit kerinduan.
“Melisa,” panggil Aditya pelan saat ia mendekati wanita itu.
Melisa berbalik, mencoba tersenyum meskipun jelas ia merasa canggung. “Aditya. Sudah lama sekali.”
Mereka mulai berbicara, percakapan yang awalnya penuh kecanggungan berubah menjadi nostalgia. Lara mengamati dengan penuh perhatian, memastikan mereka tidak menyadari bahwa ia adalah dalang di balik pertemuan itu.
Di tengah percakapan mereka, Lara mendekat dengan anggun, membawa segelas anggur di tangannya. “Oh, kalian sudah saling bertemu,” katanya dengan senyum lebar, seolah semuanya kebetulan.
Aditya dan Melisa tampak terkejut, tetapi mereka tidak curiga. Lara berpura-pura menjadi mediator yang hangat, menyatukan dua orang yang pernah memiliki hubungan.
Namun, di balik senyum itu, Lara sudah merencanakan langkah berikutnya. Ia tahu bahwa pertemuan ini hanya awal dari konflik yang lebih besar. Ia akan memastikan bahwa Aditya dan Melisa tidak hanya saling bertemu, tetapi juga saling menghancurkan.*
Bab 6: Bara di Balik Pertemuan
Pertemuan antara Aditya dan Melisa di acara sosial itu meninggalkan ketegangan yang mendalam. Lara, seperti seorang maestro, dengan hati-hati memantau efek dari setiap langkah yang ia ambil. Ia tahu bahwa apa yang ia tanam mulai tumbuh menjadi benih konflik. Namun, pekerjaan Lara belum selesai. Ia ingin memastikan hubungan antara Aditya dan Melisa menjadi lebih rumit dan beracun.
—
Setelah acara itu, Aditya tidak bisa berhenti memikirkan Melisa. Ingatan tentang masa lalu terus menghantuinya, membuatnya sulit berkonsentrasi pada bisnis. Namun, ia tidak tahu bahwa Lara, yang tampaknya berada di sisinya untuk mendukungnya, sebenarnya mendorong perasaan itu semakin dalam.
“Aditya,” ujar Lara suatu sore saat mereka sedang membahas rencana bisnis, “kau terlihat tidak fokus akhir-akhir ini. Apa ada yang mengganggumu?”
Aditya menghela napas, ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Aku tidak tahu, Lara. Setelah bertemu Melisa lagi, rasanya semua kenangan lama itu kembali. Aku pikir aku sudah melupakannya, tapi ternyata tidak.”
Lara memasang ekspresi penuh simpati. “Aditya, aku mengerti perasaanmu. Tapi kau harus berhati-hati. Melisa adalah bagian dari masa lalumu. Jangan biarkan itu mengganggu apa yang sedang kau bangun sekarang.”
Aditya mengangguk, meskipun keraguan masih terlihat di matanya. Lara tahu ia telah berhasil membuat Aditya semakin terjebak dalam pikirannya sendiri.
—
Sementara itu, di sisi lain, Melisa juga tidak bisa mengabaikan efek pertemuan itu. Ia mencoba bersikap seperti tidak ada yang terjadi, tetapi rasa bersalah yang ia simpan selama bertahun-tahun mulai menghantui.
“Kenapa aku harus memikirkan dia lagi?” gumamnya pada dirinya sendiri sambil menatap langit-langit kamar apartemennya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa Aditya adalah masa lalu, tetapi dalam hatinya, ia tahu itu tidak sepenuhnya benar.
Lara, yang mengetahui hal ini melalui koneksinya, memanfaatkan momen itu untuk mendekati Melisa lebih jauh. Suatu hari, ia mengundang Melisa ke kantornya dengan alasan membahas kerja sama bisnis.
“Melisa,” ujar Lara dengan senyum ramah, “aku ingin memastikan kita memiliki visi yang sama dalam proyek ini. Tapi aku juga ingin memastikan kau tidak terlalu terganggu dengan hal-hal lain.”
Melisa mengerutkan kening, merasa sedikit bingung. “Maksudmu?”
Lara berpura-pura ragu sebelum menjawab. “Aku tahu pertemuanmu dengan Aditya mungkin membawa banyak kenangan. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”
Melisa tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku baik-baik saja, Lara. Itu hanya… sesuatu yang tidak kuharapkan.”
Lara mengangguk seolah mengerti. “Aku hanya ingin kau tahu, jika kau membutuhkan seseorang untuk berbicara, aku ada di sini.”
Melisa tersenyum, merasa lega memiliki seseorang seperti Lara di sisinya. Namun, ia tidak tahu bahwa Lara memiliki agenda tersembunyi.
—
Minggu-minggu berikutnya, Lara mulai mempertemukan Aditya dan Melisa secara tidak langsung. Ia mengatur agar mereka berada di acara yang sama atau membuat alasan agar mereka harus berkomunikasi. Setiap pertemuan itu dipenuhi dengan ketegangan emosional yang semakin meningkat.
Suatu malam, Lara mengundang mereka berdua ke makan malam kecil di apartemennya. Ia membuat suasana tampak santai, tetapi setiap elemen di ruangan itu dirancang untuk memancing kenangan masa lalu mereka. Lagu-lagu lama yang pernah mereka dengarkan bersama diputar di latar belakang, sementara makanan yang disajikan adalah makanan favorit mereka saat masih bersama.
“Ini kebetulan sekali,” ujar Lara sambil tersenyum. “Aku tidak tahu kalian berdua memiliki banyak kesamaan.”
Melisa mencoba tersenyum, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan rasa tidak nyamannya. Aditya, di sisi lain, tampak gelisah.
“Melisa,” kata Aditya pelan, “bagaimana kabarmu setelah semua ini?”
Melisa terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku baik-baik saja, Aditya. Aku hanya… tidak pernah berpikir kita akan bertemu lagi.”
Lara memperhatikan percakapan mereka dengan penuh perhatian. Ia tahu momen ini penting untuk rencananya.
“Kadang-kadang, pertemuan tak terduga seperti ini bisa menjadi cara untuk menutup masa lalu,” ujar Lara dengan nada lembut, seolah-olah ia adalah seorang mediator yang netral.
Namun, ia tahu bahwa pertemuan ini bukan tentang penutupan. Ini tentang membuka kembali luka lama dan memperdalam konflik di antara mereka.
—
Setelah malam itu, Aditya dan Melisa semakin sering memikirkan satu sama lain. Hubungan mereka yang dulu rumit kini menjadi lebih sulit dipahami. Aditya merasa masih memiliki perasaan terhadap Melisa, tetapi ia juga marah pada dirinya sendiri karena membiarkan perasaan itu kembali.
Melisa, di sisi lain, merasa bersalah tetapi juga bingung. Ia mulai meragukan pilihannya di masa lalu, bertanya-tanya apakah meninggalkan Aditya adalah keputusan yang benar.
Sementara itu, Lara menikmati kekacauan yang ia ciptakan. Ia tahu bahwa mereka berdua semakin terjebak dalam jerat yang ia buat. Namun, ia juga tahu bahwa ini baru permulaan. Konflik yang sebenarnya masih menunggu, dan ia akan memastikan bahwa ketika saatnya tiba, Aditya dan Melisa akan saling menghancurkan tanpa perlu campur tangannya lagi.*
Bab 7: Topeng yang Mulai Retak
Hubungan antara Aditya dan Melisa mulai semakin rumit, tepat seperti yang Lara inginkan. Dalam bayang-bayang, Lara memegang kendali penuh atas permainan ini. Namun, meskipun ia merasa berada di puncak kekuasaan, ada sesuatu yang mulai bergeser.
Lara mulai merasa ada bagian dari dirinya yang terguncang setiap kali melihat Aditya dan Melisa berbicara. Luka lama yang seharusnya sudah terkubur kini perlahan muncul kembali, membuat hatinya berdetak lebih cepat. Ia tidak mengerti apakah ini karena amarah yang masih ia pendam, atau ada emosi lain yang mulai menggerogotinya.
—
Sementara itu, Aditya semakin larut dalam kebingungan. Semakin sering ia bertemu Melisa, semakin banyak kenangan yang muncul, membawa kebahagiaan sekaligus rasa sakit. Namun, ia juga mulai merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Lara.
Aditya mulai menyadari bahwa Lara bukan hanya sekadar teman lama yang membantunya. Ia melihat sisi lain dari Lara—ketangguhan, kecerdasan, dan daya tariknya. Namun, ia merasa bersalah memikirkan hal itu, karena ia tahu Lara tidak pantas diseret ke dalam kekacauan emosional yang ia ciptakan sendiri.
Suatu hari, Aditya memutuskan untuk berbicara dengan Lara secara langsung. Ia datang ke apartemen Lara tanpa memberi tahu sebelumnya. Lara yang tengah duduk di ruang tamu dengan segelas anggur di tangannya, tampak terkejut melihat Aditya berdiri di depan pintunya.
“Aditya? Kau tidak memberitahu bahwa kau akan datang,” kata Lara sambil menyembunyikan keterkejutannya.
“Aku butuh bicara denganmu,” ujar Aditya dengan nada serius.
Lara mengangguk dan mempersilakan Aditya masuk. Mereka duduk berhadapan di sofa, suasana terasa tegang.
“Aku ingin berterima kasih atas semua yang kau lakukan untukku,” Aditya memulai. “Tapi aku merasa ada sesuatu yang harus kujelaskan.”
Lara menatapnya dengan tenang, meskipun jantungnya berdegup kencang. “Apa itu, Aditya?”
Aditya menghela napas. “Melisa… aku tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadapnya. Setiap kali aku melihatnya, semua kenangan itu kembali. Tapi aku juga sadar, aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku ingin melupakan semuanya, tapi itu sulit.”
Lara memiringkan kepalanya, pura-pura berpikir. “Aditya, mungkin kau hanya membutuhkan waktu. Melisa adalah bagian dari masa lalumu, dan kadang-kadang, masa lalu sulit untuk dilupakan. Tapi kau harus bertanya pada dirimu sendiri, apakah perasaan itu masih nyata, atau hanya bayangan dari apa yang pernah ada?”
Aditya terdiam mendengar pertanyaan itu. Ia tidak tahu bagaimana menjawabnya.
“Tapi ada hal lain,” lanjutnya dengan nada ragu. “Aku merasa… aku mulai melihatmu dengan cara yang berbeda, Lara.”
Kata-kata itu membuat Lara terkejut. Ia tidak menyangka Aditya akan mengungkapkan perasaannya seperti ini.
“Aditya,” kata Lara dengan suara lembut, “kau sedang berada dalam posisi yang sulit. Perasaanmu mungkin campur aduk sekarang. Jangan membuat keputusan yang akan kau sesali nanti.”
Aditya mengangguk pelan. “Kau benar. Aku hanya ingin jujur dengan apa yang kurasakan.”
Setelah Aditya pergi, Lara duduk diam di ruang tamunya, memandangi gelas anggurnya. Ia merasa aneh. Apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap Aditya? Apakah ini masih tentang balas dendam, atau ada sesuatu yang lain yang perlahan merusak rencananya?
—
Di sisi lain, Melisa mulai merasa ada yang tidak beres. Semakin sering ia bertemu Lara, semakin ia merasa bahwa Lara memiliki agenda tersembunyi. Meskipun Lara selalu bersikap ramah dan membantu, ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Melisa merasa cemas.
Suatu malam, Melisa memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Lara. Ia mulai menggali informasi tentang kehidupan Lara setelah mereka terakhir kali bertemu. Ia terkejut mengetahui bahwa Lara kini memiliki kekuasaan besar, dengan jaringan yang kuat di berbagai bidang.
“Bagaimana mungkin dia bisa mencapai semua ini dalam waktu singkat?” gumam Melisa pada dirinya sendiri.
Semakin banyak ia menggali, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Ia mulai bertanya-tanya apakah keterlibatan Lara dalam hidupnya dan Aditya adalah kebetulan atau sesuatu yang direncanakan.
Melisa akhirnya memutuskan untuk menghadapi Lara secara langsung. Ia mengatur pertemuan dengan Lara di sebuah kafe kecil di pinggir kota, jauh dari keramaian.
“Lara, aku ingin bertanya sesuatu,” kata Melisa dengan nada serius.
Lara tersenyum kecil. “Tentu, Melisa. Ada apa?”
“Apa yang sebenarnya kau inginkan dari aku dan Aditya?” tanya Melisa tanpa basa-basi.
Lara terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku tidak mengerti maksudmu, Melisa. Aku hanya ingin membantu kalian berdua.”
Melisa menatap Lara tajam. “Benarkah? Karena aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan.”
Lara tetap tenang, tetapi di dalam hatinya ia tahu bahwa Melisa mulai curiga. Namun, ia tidak akan membiarkan segalanya runtuh begitu saja.
“Melisa,” kata Lara dengan nada dingin, “jika kau merasa aku memiliki agenda tersembunyi, mungkin itu hanya perasaanmu saja. Aku hanya ingin memastikan kalian berdua mendapatkan apa yang kalian butuhkan.”
Melisa tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, tetapi ia tahu tidak ada gunanya mendesak lebih jauh.
—
Setelah pertemuan itu, Lara mulai menyadari bahwa rencananya mungkin tidak berjalan semulus yang ia harapkan. Aditya mulai menunjukkan perasaan yang tidak ia duga, dan Melisa mulai meragukan niat baiknya. Namun, Lara tidak akan mundur.
Ia tahu bahwa ini adalah ujian untuk dirinya sendiri. Jika ia ingin memenangkan permainan ini, ia harus memastikan bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari kebenarannya.
Namun, di balik semua itu, Lara mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah semua ini benar-benar tentang balas dendam, atau ia sudah kehilangan kendali atas permainannya sendiri.*
Bab 8: Api dalam Diri Lara
Lara menghabiskan malam itu di ruang kerjanya, memandangi papan besar yang penuh dengan foto, catatan, dan koneksi yang telah ia ciptakan untuk menyusun rencana balas dendamnya. Aditya dan Melisa ada di tengah-tengahnya, seperti dua bidak catur yang siap ia gerakkan kapan saja. Namun, kali ini, tatapan Lara kosong.
Segala sesuatu yang sebelumnya terasa seperti kemenangan kini mulai terasa seperti beban. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya—rasa ragu yang perlahan tapi pasti merusak fokusnya. Ia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ini tentang keadilan untuk masa lalu, atau tentang sesuatu yang jauh lebih pribadi?
—
Hari-hari berikutnya, Lara memutuskan untuk mengubah taktiknya. Ia harus kembali menguasai situasi sebelum segalanya lepas kendali. Langkah pertamanya adalah mendekati Aditya lebih dalam, memastikan pria itu tetap berada di bawah pengaruhnya.
“Aditya,” ujar Lara suatu sore ketika mereka bertemu di kafe favorit mereka. “Aku memikirkan percakapan kita terakhir kali.”
Aditya mengerutkan kening, berusaha mengingat. “Yang mana? Tentang Melisa atau…”
Lara tersenyum tipis. “Tentang perasaanmu terhadapku.”
Mendengar itu, Aditya terlihat sedikit gugup. Ia mengalihkan pandangannya, tidak tahu bagaimana harus merespons.
“Lara, aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu,” ujar Aditya akhirnya. “Aku hanya… merasa sangat terbantu olehmu. Mungkin aku terlalu bergantung padamu.”
Lara menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Aditya, aku tidak ingin kau merasa seperti itu. Aku ada di sini bukan untuk membuatmu bingung, tapi untuk membantumu menemukan jalanmu.”
Perkataan itu terdengar tulus, tetapi di dalam hati, Lara tahu itu adalah kebohongan. Ia ingin memastikan Aditya tetap berada dalam kendalinya, tidak peduli apa yang harus ia lakukan.
—
Di sisi lain, Melisa semakin curiga terhadap Lara. Setelah pertemuan terakhir mereka, ia mulai merasa bahwa kehadiran Lara dalam hidupnya dan Aditya bukanlah kebetulan. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang hubungan masa lalu antara Lara dan Aditya.
Melisa menghubungi salah satu teman lamanya yang masih memiliki koneksi dengan orang-orang di sekitar mereka. Dari percakapan itu, ia akhirnya menemukan potongan informasi yang mengejutkan.
“Lara?” tanya temannya dengan nada terkejut. “Dia dulu sangat dekat dengan Aditya. Mereka hampir menikah sebelum semuanya hancur.”
Melisa membeku. “Hancur? Apa maksudmu?”
“Ada insiden besar,” lanjut temannya. “Aditya dituduh berselingkuh dengan seseorang, dan Lara yang paling terluka. Setelah itu, dia pergi begitu saja. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya.”
Kata-kata itu membuat Melisa terdiam. Tiba-tiba, semua kepingan teka-teki mulai masuk akal. Lara tidak hanya sekadar membantu Aditya; ia memiliki alasan yang jauh lebih dalam untuk terlibat dalam hidup mereka.
—
Melisa tidak bisa menahan diri untuk menghadapi Aditya. Ia menemui pria itu di kantornya, tanpa memperdulikan kesibukannya.
“Aditya,” ujar Melisa dengan nada serius. “Aku butuh bicara denganmu.”
Aditya yang sedang membaca dokumen terkejut melihat Melisa berdiri di depannya. “Melisa? Ada apa?”
“Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan Lara,” ujar Melisa tanpa basa-basi.
Aditya tampak bingung. “Apa maksudmu? Lara hanya membantuku keluar dari masalah ini.”
Melisa menggeleng. “Tidak, Aditya. Ini lebih dari itu. Aku tahu kalian memiliki sejarah bersama, dan aku yakin Lara tidak ada di sini hanya untuk membantumu.”
Aditya terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan hubungannya dengan Lara tanpa membuka luka lama. Namun, ia akhirnya memutuskan untuk jujur.
“Lara adalah mantan tunanganku,” kata Aditya pelan. “Kami hampir menikah sebelum semuanya hancur. Aku membuat kesalahan besar, Melisa. Kesalahan yang tidak pernah bisa kuperbaiki.”
Melisa terkejut mendengar pengakuan itu. “Jadi, ini semua tentang balas dendam?”
Aditya menggeleng. “Aku tidak tahu, Melisa. Lara tidak pernah menunjukkan apa pun yang mencurigakan. Aku pikir dia sudah melupakan semuanya.”
Melisa tidak yakin dengan jawaban itu. Ia tahu bahwa Lara adalah seseorang yang tidak akan melupakan begitu saja.
—
Di saat yang sama, Lara mulai merasakan bahwa sesuatu telah berubah. Ia melihat Melisa dan Aditya berbicara lebih sering, dan ia tahu bahwa keduanya mungkin mulai mencurigainya. Namun, alih-alih merasa terancam, Lara justru merasa lebih tertantang.
“Jika mereka ingin mengetahui kebenarannya, biarkan mereka,” gumam Lara pada dirinya sendiri. “Tapi aku akan memastikan bahwa saat mereka tahu, semuanya sudah terlambat.”
Namun, dalam hatinya, Lara tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang terus mengganggunya. Ada bagian dari dirinya yang mulai merindukan hubungan yang tulus, sesuatu yang ia tahu tidak akan pernah ia dapatkan dari permainan ini.
Malam itu, Lara berdiri di balkon apartemennya, memandangi keramaian kota di bawah. Ia merasa terjebak antara masa lalu dan masa kini, antara balas dendam dan kebutuhan akan kedamaian.
“Apakah ini benar-benar sepadan?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Namun, sebelum ia bisa menjawab pertanyaannya sendiri, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari Melisa: “Aku tahu siapa dirimu sebenarnya. Kita perlu bicara.”
Lara menatap layar ponselnya, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia tahu bahwa permainan ini mulai mendekati klimaksnya.*
Bab 9: Benturan Kebenaran
Melisa menunggu Lara di sebuah restoran kecil di pinggiran kota. Tempat itu jauh dari hiruk-pikuk, pilihan yang disengaja agar mereka dapat berbicara tanpa gangguan. Di dalam dirinya, Melisa penuh dengan kegelisahan. Ia telah mengumpulkan semua informasi yang ia bisa, dan sekarang ia siap untuk menghadapi Lara.
Lara tiba tepat waktu, seperti biasa. Mengenakan setelan formal yang memancarkan kekuatan dan ketenangan, ia melangkah masuk dengan senyuman tipis yang sulit diartikan. Melisa memperhatikannya dari kejauhan, mencoba membaca wanita itu, tetapi Lara seperti dinding batu yang tidak dapat ditembus.
“Melisa,” sapa Lara sambil duduk. “Pesannya cukup menarik. Apa yang ingin kau bicarakan?”
Melisa menatap Lara tajam, berusaha menahan emosinya. “Aku tahu semuanya, Lara. Aku tahu tentang masa lalumu dengan Aditya. Aku tahu kau ada di sini bukan hanya untuk membantu kami.”
Lara menaikkan alisnya, lalu tersenyum tipis. “Oh? Dan apa yang kau pikirkan tentang aku?”
“Balas dendam,” jawab Melisa tanpa ragu. “Semua yang kau lakukan, dari mendekati Aditya hingga memasukkan dirimu ke dalam hidup kami, semuanya adalah bagian dari rencanamu, bukan?”
Lara terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kau pintar, Melisa. Aku harus mengakui itu. Tapi kalaupun itu benar, apa yang akan kau lakukan? Membongkar semuanya kepada Aditya?”
Melisa terkejut dengan jawaban Lara yang tenang dan langsung. Ia tidak menyangka Lara akan mengakui hal itu tanpa mencoba menyangkalnya.
“Kenapa, Lara? Apa yang kau dapatkan dari semua ini?” tanya Melisa, suaranya mulai bergetar.
Lara menatap Melisa dengan tatapan dingin. “Apa yang kudapatkan? Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa sakit yang harus kutanggung. Aditya menghancurkan hidupku, dan kau… kau adalah bagian dari itu.”
Melisa terdiam, merasa bersalah tetapi juga bingung. “Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu, Lara. Aku bahkan tidak tahu tentang hubungan kalian saat itu.”
“Tidak peduli apa niatmu,” jawab Lara dengan nada tegas. “Kau mengambil sesuatu dariku. Dan sekarang, aku mengambilnya kembali.”
Melisa menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. “Lara, aku mengerti rasa sakitmu, tapi apa yang kau lakukan sekarang tidak akan membuatmu bahagia. Kau hanya akan menciptakan luka baru untuk dirimu sendiri.”
Lara tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan dalam tawanya. “Melisa, aku tidak mencari kebahagiaan. Aku mencari keadilan.”
—
Sementara itu, Aditya mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia mencoba menghubungi Melisa beberapa kali, tetapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke tempat Lara, berharap mendapat penjelasan.
Ketika Aditya tiba di apartemen Lara, ia disambut dengan keheningan. Lara tidak ada di sana, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya: papan besar di ruang kerja Lara.
Aditya mendekat, matanya membelalak saat melihat foto dirinya dan Melisa, catatan, serta koneksi yang mengarah pada satu kesimpulan: Lara telah merencanakan sesuatu selama ini.
“Ini… apa semua ini?” gumam Aditya, merasa marah dan bingung.
Pada saat itulah Lara masuk ke apartemen, wajahnya berubah saat melihat Aditya berdiri di depan papan tersebut.
“Aditya,” kata Lara dengan nada rendah. “Kau tidak seharusnya melihat itu.”
Aditya berbalik, kemarahan terlihat jelas di wajahnya. “Apa semua ini, Lara? Kau merencanakan sesuatu selama ini? Aku pikir kau ada di sini untuk mendukungku!”
Lara mencoba tenang, tetapi ia tahu bahwa semuanya mulai terungkap. “Aditya, dengarkan aku…”
“Dengarkan apa? Penjelasan tentang bagaimana kau mencoba menghancurkan hidupku? Aku percaya padamu, Lara. Aku pikir kau adalah teman yang tulus!”
Lara tersenyum pahit. “Teman? Setelah semua yang kau lakukan padaku, Aditya? Kau pikir aku bisa melupakan begitu saja bagaimana kau menghancurkan hidupku?!”
Aditya terdiam, merasa bersalah tetapi juga bingung. “Aku tahu aku membuat kesalahan, Lara. Aku menyesalinya setiap hari. Tapi apakah ini caramu membalasnya? Dengan menghancurkan aku dan Melisa?”
Lara menatap Aditya dengan mata penuh emosi. “Kau tidak tahu apa artinya kehilangan segalanya, Aditya. Aku kehilangan hidupku, reputasiku, semuanya. Dan kau melanjutkan hidupmu seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.”
Aditya menggeleng. “Aku tidak tahu kau merasa seperti ini, Lara. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Tapi membalas dendam tidak akan memperbaiki apa pun.”
Lara terdiam, merasa emosinya memuncak. Untuk pertama kalinya, ia merasa ragu dengan apa yang ia lakukan. Namun, ia tidak ingin mengakui kelemahannya di depan Aditya.
—
Pada saat yang sama, Melisa tiba di apartemen Lara. Ia mendengar suara mereka dari luar, dan rasa penasaran mendorongnya untuk masuk.
“Lara,” ujar Melisa ketika ia masuk. “Cukup. Permainan ini harus berhenti.”
Lara menoleh, terkejut melihat Melisa di sana. “Melisa, ini bukan urusanmu.”
“Ini urusanku,” jawab Melisa tegas. “Aku dan Aditya berhak tahu kebenarannya, tapi kau juga berhak untuk melanjutkan hidupmu. Apa yang kau lakukan sekarang hanya akan menyakiti dirimu sendiri.”
Aditya menatap Melisa, lalu kembali ke Lara. “Melisa benar, Lara. Jika kau merasa aku pantas dihukum, hukum aku. Tapi jangan menyeret Melisa ke dalamnya.”
Lara merasakan dinding yang ia bangun selama ini mulai runtuh. Semua emosi yang ia simpan selama bertahun-tahun meledak, membuatnya tidak mampu berkata-kata. Ia tahu bahwa kebenaran telah terbongkar, tetapi ia tidak tahu bagaimana melanjutkan dari sini.
Dalam keheningan itu, Lara akhirnya berkata dengan suara gemetar, “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku hanya ingin rasa sakit ini berhenti.”
Melisa mendekati Lara, menatapnya dengan penuh empati. “Lara, rasa sakitmu tidak akan hilang dengan menghancurkan orang lain. Kau harus membiarkan dirimu sembuh.”
Air mata mengalir di pipi Lara, sesuatu yang tidak pernah ia izinkan terjadi sebelumnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa rapuh, terbuka di depan dua orang yang telah menjadi pusat dari rasa sakitnya.
Di dalam apartemen itu, ketiga orang itu akhirnya berdiri di tengah kenyataan pahit yang mereka ciptakan bersama. Namun, pertanyaan terbesar masih ada: apakah mereka bisa melanjutkan hidup setelah semua ini.*
Bab 10: Akhir dari Semua Awal
Hari itu, hujan turun dengan deras. Lara duduk sendirian di balkon apartemennya, memandangi gemuruh langit yang terasa seperti mencerminkan isi hatinya. Setelah percakapan malam itu, semuanya berubah. Dinding kebohongan yang ia bangun selama bertahun-tahun telah runtuh. Kini, yang tersisa hanyalah reruntuhan rasa sakit, kebingungan, dan kehampaan.
Pikirannya melayang ke masa lalu. Ia mengingat hari ketika ia pertama kali bertemu Aditya—betapa ia jatuh cinta pada pria itu tanpa ragu. Ia mengingat rencana pernikahan mereka, janji-janji yang diucapkan, dan mimpi yang pernah mereka bangun bersama. Semua itu hancur dalam sekejap karena sebuah pengkhianatan yang ia rasa tidak pernah bisa dimaafkan.
Namun, malam itu, saat ia menghadapi Aditya dan Melisa, ia menyadari sesuatu yang tidak pernah ia sadari sebelumnya. Rasa sakit yang ia bawa selama bertahun-tahun bukanlah karena ia kehilangan Aditya atau karena Melisa. Itu adalah rasa sakit karena ia kehilangan dirinya sendiri—kehilangan versi dirinya yang percaya pada cinta, kepercayaan, dan kebahagiaan.
—
Sementara itu, Aditya dan Melisa juga mencoba memproses apa yang telah terjadi. Melisa memutuskan untuk memberi ruang kepada Aditya, memberinya waktu untuk menyelesaikan perasaannya sendiri. Ia tahu bahwa cinta mereka tidak bisa kembali seperti dulu jika Aditya tidak benar-benar melepaskan bayang-bayang masa lalunya dengan Lara.
Aditya, di sisi lain, merasa dihantui oleh rasa bersalah. Ia tahu bahwa tindakan masa lalunya adalah awal dari semua kekacauan ini. Namun, ia juga sadar bahwa Lara telah terluka jauh lebih dalam daripada yang pernah ia bayangkan.
Aditya memutuskan untuk menemui Lara sekali lagi, bukan untuk membela diri, tetapi untuk memberinya penutupan yang layak. Ia tidak tahu apakah Lara akan menerima kehadirannya, tetapi ia merasa harus mencoba.
—
Lara terkejut ketika mendengar ketukan di pintunya. Ketika ia membukanya, ia melihat Aditya berdiri di sana, basah kuyup oleh hujan.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Lara dengan nada datar, meskipun di dalam hatinya ia merasa gelisah.
“Aku harus bicara denganmu,” jawab Aditya. “Aku tidak bisa pergi tanpa mengatakan ini.”
Lara menghela napas dan mempersilakan Aditya masuk. Mereka duduk di ruang tamu, keheningan yang canggung menyelimuti mereka.
“Lara,” kata Aditya akhirnya, “aku tahu aku telah menyakitimu. Aku tahu apa yang kulakukan tidak bisa dimaafkan. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku menyesal. Aku menyesal telah menghancurkanmu.”
Lara menatap Aditya dengan mata yang berkaca-kaca. “Penyesalanmu tidak akan mengubah apa pun, Aditya. Semua sudah terjadi. Aku kehilangan segalanya karena kau.”
“Aku tahu,” kata Aditya pelan. “Tapi aku juga tahu bahwa kau lebih dari apa yang telah kau alami. Kau lebih kuat dari rasa sakit itu, Lara. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan, bukan balas dendam.”
Kata-kata itu mengguncang Lara. Ia ingin marah, ingin membenci Aditya, tetapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya merasa tersentuh.
“Aku tidak tahu bagaimana cara memaafkanmu,” kata Lara dengan suara bergetar.
“Kau tidak perlu memaafkanku sekarang,” jawab Aditya. “Tapi aku berharap suatu hari nanti, kau bisa melepaskan semua rasa sakit itu, untuk dirimu sendiri.”
Aditya berdiri, bersiap untuk pergi. Namun, sebelum ia melangkah keluar, ia berkata, “Aku harap kau menemukan kebahagiaanmu, Lara. Itu yang benar-benar kau pantas dapatkan.”
Lara tidak berkata apa-apa, hanya menatap kepergian Aditya dengan air mata yang mengalir di pipinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa beban di dadanya sedikit berkurang.
—
Hari-hari berlalu, dan Lara memutuskan untuk mengambil langkah besar dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk meninggalkan kota, meninggalkan semua kenangan yang menghantuinya. Sebelum pergi, ia menulis surat kepada Melisa, sesuatu yang ia rasa perlu dilakukan.
Untuk Melisa,
Aku ingin meminta maaf untuk semua yang telah kulakukan. Kau benar, aku terjebak dalam masa laluku, dan aku membiarkan rasa sakit itu mendikte hidupku. Tapi aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku berharap kau dan Aditya menemukan kebahagiaan yang aku pernah dambakan.
Ini bukan tentang kalian. Ini tentang aku yang belajar melepaskan. Terima kasih telah mengingatkanku bahwa aku masih bisa memilih jalan yang berbeda.
– Lara
Melisa menerima surat itu dengan campuran emosi. Ia tahu Lara masih dalam perjalanan untuk menemukan kedamaian, tetapi ia merasa lega mengetahui bahwa Lara akhirnya memilih untuk melepaskan masa lalu.
—
Beberapa bulan kemudian, Aditya dan Melisa kembali mencoba membangun hubungan mereka. Meskipun luka-luka dari masa lalu belum sepenuhnya sembuh, mereka merasa lebih jujur satu sama lain, lebih terbuka tentang perasaan dan ketakutan mereka.
Sementara itu, di kota yang jauh, Lara memulai hidup baru. Ia memutuskan untuk mengejar hal-hal yang dulu ia tinggalkan: seni, membaca, dan berinteraksi dengan orang-orang tanpa prasangka. Ia tahu bahwa perjalanan menuju kedamaian akan panjang, tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa siap untuk melangkah ke depan.
Hidup mereka bertiga tidak lagi terhubung dengan benang kebencian atau dendam, tetapi dengan pemahaman bahwa masa lalu tidak dapat diubah. Namun, mereka memiliki kuasa atas bagaimana mereka memilih untuk melanjutkan hidup.
Di balik semua luka dan keretakan, ada harapan yang muncul. Sebuah akhir dari balas dendam, dan awal dari perjalanan untuk menemukan diri sendiri.***
——–THE AND———