Daftar Isi
- Bab 1: Sahabat Sejati, Atau Bukan?
- Bab 2: Tatapan yang Menggoda
- Bab 3: Perasaan yang Tak Bisa Dibendung
- Bab 4: Menghindar yang Sia-Sia
- Bab 5: Batas yang Semakin Kabur
- Bab 6: Godaan yang Semakin Nyata
- Bab 7: Ketika Batas Itu Dilanggar
- Bab 8: Penyesalan di Balik Hasrat
- Bab 9: Rahasia yang Mulai Tercium
- Bab 10: Kebenaran yang Tak Bisa Disembunyikan
Bab 1: Sahabat Sejati, Atau Bukan?
Dinda menatap refleksi dirinya di cermin, mengatur napasnya yang terasa berat. Hari ini adalah hari istimewa bagi sahabatnya, Anya. Pernikahan yang telah lama dinanti, hari di mana ia akan mengikat janji suci dengan pria yang dicintainya.
Harusnya Dinda ikut bahagia, bukan?
Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Tangannya mencengkeram tepi meja rias, berusaha menahan gemuruh yang tak seharusnya ada. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.
Saat itu, pintu kamar terbuka, memperlihatkan Anya dalam balutan gaun pengantin putih yang begitu anggun. Senyum lebar menghiasi wajahnya, matanya berbinar penuh kebahagiaan.
*”Bagaimana? Aku terlihat cantik, kan?”* tanya Anya dengan nada ceria.
Dinda memaksa bibirnya tersenyum. “Kamu luar biasa, An. Rayhan pasti semakin jatuh cinta padamu.”
Anya terkekeh, lalu melangkah mendekat. Tangannya meraih jemari Dinda, menggenggamnya erat.
“Kamu tahu, Din? Aku benar-benar bersyukur kamu ada di sini. Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa sahabat terbaikku ini,” ucap Anya dengan tulus.
Dinda hanya tersenyum, meski di dalam hatinya ada sesuatu yang terasa pedih.
**Bagaimana jika Anya tahu apa yang ia sembunyikan selama ini?**
Dinda menggeleng pelan. Tidak. Ia tak boleh membiarkan pikirannya melayang ke arah itu. Hari ini adalah hari bahagia Anya, dan ia harus berdiri di sampingnya, bukan sebagai seseorang yang menyimpan perasaan terlarang, melainkan sebagai sahabat yang setia.
—
Suasana pesta pernikahan begitu meriah. Musik romantis mengalun lembut, menghiasi malam yang penuh kebahagiaan. Anya dan Rayhan tampak begitu serasi di pelaminan, menerima ucapan selamat dari para tamu.
Dinda berusaha menikmati malam itu, bercengkerama dengan teman-teman lama, sesekali tertawa agar tak ada yang menyadari keresahan dalam hatinya.
Namun, setiap kali pandangannya bertemu dengan Rayhan, ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya.
Pria itu tampak luar biasa malam ini. Dengan setelan jas hitam yang rapi, sorot matanya yang teduh, dan senyum yang selalu sukses membuat jantung Dinda berdegup lebih cepat.
Dinda berusaha untuk tidak menatap terlalu lama. Tapi hatinya seakan memberontak.
Ia meneguk minuman di tangannya, berharap sedikit dinginnya bisa meredakan gejolak yang membakar hatinya.
Saat ia tengah larut dalam pikirannya sendiri, sebuah suara yang amat dikenalnya menyapanya.
“Dinda?”
Dinda tersentak. Ia menoleh dan mendapati Rayhan berdiri di sampingnya.
Hatinya berdesir.
“Kamu nggak makan?” tanya Rayhan dengan nada ramah.
Dinda mengulas senyum tipis. “Nggak terlalu lapar,” jawabnya singkat.
Rayhan menatapnya sejenak, lalu berkata, “Terima kasih karena selalu ada untuk Anya. Dia sangat beruntung punya sahabat seperti kamu.”
Dinda menahan napas. Ada sesuatu dalam cara Rayhan mengatakannya yang membuat dadanya semakin sesak.
“Aku juga beruntung punya sahabat seperti Anya,” sahutnya, berusaha terdengar setenang mungkin.
Rayhan tersenyum. Senyum yang selalu membuat Dinda tak berdaya.
Senyum yang dulu pernah ia harapkan menjadi miliknya.
Dinda kembali meneguk minumannya, berusaha mengusir perasaan aneh yang mulai menjalari hatinya.
Namun, semakin ia mencoba menepisnya, semakin kuat perasaan itu menggenggamnya.
—
Malam semakin larut, dan pesta mulai mereda. Para tamu perlahan-lahan meninggalkan venue, sementara Dinda masih berdiri di sudut ruangan, memperhatikan dari kejauhan bagaimana Anya dan Rayhan menikmati malam bahagia mereka.
Saat itulah Anya tiba-tiba menghampirinya.
“Dinda, kamu nggak pulang?” tanyanya dengan nada ceria.
Dinda tersenyum kecil. “Aku masih betah di sini.”
Anya mengernyit. “Kamu yakin nggak apa-apa?”
Dinda mengangguk. “Tentu. Aku hanya menikmati suasana.”
Anya tersenyum lalu merangkulnya erat. “Makasih sudah ada di sini. Aku sayang banget sama kamu.”
Dinda memeluk Anya kembali, menutup matanya sejenak.
*”Aku juga sayang kamu, An. Tapi aku takut… Aku takut aku akan menyakitimu dengan perasaan yang aku miliki ini.”*
Setelah Anya berlalu, Dinda kembali menatap pasangan itu dari kejauhan.
Hatinya bertanya, **”Apa aku bisa terus menjadi sahabatnya tanpa melukai siapa pun?”**
Atau…
Apa ia akan tenggelam dalam perasaan yang seharusnya tak pernah ada?*
Bab 2: Tatapan yang Menggoda
Sudah hampir sebulan sejak pernikahan Anya dan Rayhan, dan Dinda berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan, berusaha mengalihkan pikirannya dari perasaan terlarang yang berusaha ia kubur dalam-dalam.
Namun, semakin ia mencoba menjauh, semakin takdir mempertemukan mereka dalam keadaan yang tak terduga.
Hari itu, Dinda baru saja selesai dengan pekerjaannya dan memutuskan untuk singgah di sebuah kafe yang sering ia kunjungi. Ia butuh waktu untuk menenangkan pikirannya sebelum pulang ke apartemennya yang sepi.
Saat ia tengah sibuk dengan ponselnya, suara seseorang menyapanya.
“Dinda?”
Ia mendongak, dan jantungnya langsung berdegup lebih cepat.
Rayhan berdiri di hadapannya, mengenakan kemeja biru tua dengan lengan yang digulung hingga siku. Wajahnya tampak lelah, tetapi senyumnya masih sama—senyum yang selalu bisa membuat hati Dinda bergetar.
“Rayhan?” Dinda berusaha menampilkan ekspresi terkejut yang wajar. “Ngapain di sini?”
Rayhan mengangkat gelas kopinya. “Aku sering ke sini. Tempat ini tenang, enak buat melepas penat setelah kerja.”
Dinda mengangguk pelan. Ia tidak tahu kalau mereka ternyata memiliki tempat favorit yang sama.
“Kalau kamu sendiri?” tanya Rayhan, menarik kursi di hadapan Dinda tanpa menunggu persetujuan.
Dinda mencoba bersikap biasa. “Sama. Lagi butuh suasana tenang aja.”
Rayhan tersenyum, lalu menyesap kopinya. “Anya cerita, katanya kamu lagi sibuk banget akhir-akhir ini. Jarang main ke rumah.”
Dinda menegang sesaat. Ia memang sengaja menjaga jarak, takut perasaan ini semakin dalam jika terus bertemu dengan Rayhan.
“Iya, kerjaan lagi banyak,” jawabnya singkat.
Rayhan mengangguk. “Anya merindukanmu. Dia sering bilang kangen nongkrong bareng kamu.”
Dinda tersenyum kecil. “Aku juga kangen dia.”
Hening sejenak. Hanya suara musik lembut dari kafe yang mengisi keheningan di antara mereka.
Namun, di antara tatapan dan senyum kecil yang mereka bagi, ada sesuatu yang berbeda.
Dinda mencoba mengalihkan perhatiannya dengan mengaduk minumannya, tetapi ia bisa merasakan tatapan Rayhan yang tertuju padanya. Tatapan yang terlalu lama, terlalu intens.
Akhirnya, Dinda mendongak.
“Kamu kenapa?” tanyanya, berusaha terdengar ringan.
Rayhan terkekeh pelan. “Nggak apa-apa. Aku cuma… baru sadar sesuatu.”
“Apa?”
“Kamu cantik malam ini.”
Dinda terdiam. Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak. Ia tahu Rayhan mungkin hanya bercanda, tetapi kalimat itu mengguncang pertahanannya yang selama ini ia bangun.
“Aku bercanda,” tambah Rayhan cepat-cepat, mungkin menyadari ekspresi terkejut Dinda. “Tapi serius, aku jarang melihatmu sesantai ini. Biasanya kalau bareng Anya, kamu lebih banyak bicara.”
Dinda berusaha tersenyum. “Mungkin karena kita jarang ngobrol berdua.”
Rayhan mengangguk, lalu kembali menyeruput kopinya.
Namun, setelah perbincangan singkat itu, ada sesuatu yang berubah. Seolah-olah ada dinding tipis yang mulai runtuh di antara mereka.
—
Beberapa hari setelah pertemuan di kafe, Anya mengajak Dinda untuk makan malam di rumahnya. Awalnya, Dinda ingin menolak, tetapi Anya terus membujuknya, mengatakan bahwa ia sangat merindukan sahabatnya.
“Aku janji nggak akan nyuruh kamu bantuin masak atau bersihin piring, pokoknya kamu cuma duduk dan makan!” Anya tertawa di telepon.
Dinda akhirnya mengiyakan.
Saat tiba di rumah Anya, ia disambut dengan pelukan hangat. “Akhirnya kamu datang juga!” seru Anya.
Dinda tertawa kecil. “Aku nggak ke mana-mana kok.”
Anya menarik tangan Dinda ke ruang makan. “Ayo duduk! Rayhan lagi siapin makanan di dapur. Aku bakal kasih kamu kejutan spesial malam ini!”
Dinda merasa jantungnya berdegup lebih cepat mendengar nama itu.
Beberapa menit kemudian, Rayhan keluar dari dapur, membawa sepiring steak yang terlihat lezat.
“Wow, kamu yang masak, Ray?” tanya Dinda, berusaha terdengar biasa saja.
Rayhan tersenyum sambil meletakkan piring di atas meja. “Iya. Aku belajar dari YouTube. Mudah-mudahan rasanya nggak mengecewakan.”
Dinda tersenyum tipis, berusaha menghindari tatapan Rayhan.
Makan malam berlangsung dengan obrolan santai antara mereka bertiga. Anya bercerita tentang pekerjaannya, sesekali bercanda dengan Rayhan, sementara Dinda lebih banyak menjadi pendengar.
Namun, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya.
Setiap kali Anya tidak melihat, Dinda bisa merasakan tatapan Rayhan mengarah padanya.
Tatapan yang tidak seharusnya ia terima.
Tatapan yang terlalu lama, terlalu intens, terlalu menggoda.
Hingga akhirnya, saat Anya pergi ke dapur untuk mengambil minuman, Rayhan berbicara pelan.
“Kamu sering menghindar dariku, ya?”
Dinda terkejut. Ia menoleh ke arah Rayhan, menatapnya dengan ekspresi bingung.
“Apa maksudmu?” tanyanya, berusaha terdengar santai.
Rayhan menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Entahlah. Rasanya kita jadi jarang ngobrol. Aku merasa seperti… kamu menjauh.”
Dinda menelan ludahnya.
“Aku nggak menjauh,” jawabnya cepat. “Aku cuma sibuk.”
Rayhan masih menatapnya, seolah mencari sesuatu dalam sorot matanya.
Namun, sebelum ia bisa berkata lebih jauh, Anya kembali dari dapur, membawa segelas jus.
“Apa yang kalian bicarakan?” tanyanya ceria.
Dinda buru-buru tersenyum. “Nggak ada. Hanya obrolan biasa.”
Anya tertawa, lalu mulai melanjutkan ceritanya.
Namun, malam itu, Dinda tahu ada sesuatu yang berubah.
Bukan hanya pada dirinya, tetapi juga pada Rayhan.
Dan itu menakutkan.
Karena sekali tatapan itu hadir, Dinda tahu bahwa ia akan semakin sulit untuk berpura-pura tidak merasakan apa-apa.
Dan perlahan, batas yang seharusnya tetap ada mulai memudar.*
Bab 3: Perasaan yang Tak Bisa Dibendung
Sejak malam makan malam di rumah Anya, Dinda merasa pikirannya semakin kacau. Tatapan Rayhan yang begitu intens malam itu terus terbayang dalam benaknya.
Ia tahu ini salah. Ia sadar bahwa perasaannya terhadap Rayhan seharusnya tidak ada. Tetapi semakin ia berusaha mengabaikannya, semakin perasaan itu tumbuh liar.
Dinda memutuskan untuk lebih menjaga jarak. Ia menghindari panggilan dari Anya, menolak setiap ajakan untuk bertemu, dan bahkan menghindari tempat-tempat yang mungkin akan mempertemukannya dengan Rayhan.
Namun, semesta tampaknya punya rencana lain.
Hari itu, saat Dinda baru keluar dari kantor dan berjalan ke parkiran, ia terkejut saat melihat sosok yang berdiri di dekat mobilnya.
**Rayhan.**
Pria itu bersandar di pintu mobilnya dengan tangan diselipkan ke dalam saku celana. Saat menyadari kehadiran Dinda, ia tersenyum tipis.
“Dinda,” sapanya lembut.
Dinda menegang. “Rayhan? Ngapain kamu di sini?”
Rayhan menghela napas. “Aku nungguin kamu. Kita perlu bicara.”
Dinda menelan ludahnya. “Tentang apa?”
Rayhan menatapnya dalam, membuat Dinda semakin gelisah.
“Kamu tahu tentang apa.”
Dinda menggeleng. “Aku nggak ngerti maksudmu.”
Rayhan tertawa kecil, tapi tidak ada keceriaan dalam tawanya. “Dinda, kenapa kamu terus menghindar?”
Dinda terdiam.
“Anya bilang kamu berubah. Kamu jadi dingin, jarang menjawab teleponnya. Tapi aku tahu, ini bukan cuma soal Anya, kan?” Rayhan melangkah lebih dekat, membuat Dinda semakin menegang.
“Kamu salah paham,” kata Dinda, berusaha menghindari tatapannya. “Aku cuma sibuk.”
Rayhan tersenyum miring. “Kalau kamu cuma sibuk, kenapa rasanya kamu berusaha menjauh dariku?”
Dinda menggigit bibirnya. Ia tidak punya jawaban untuk itu.
Ia ingin mengatakan kalau semua ini hanya ada di pikiran Rayhan. Bahwa ia tidak menjauh. Bahwa ia baik-baik saja.
Tapi nyatanya, ia memang sedang melarikan diri.
Karena setiap kali ia bertemu Rayhan, setiap kali pria itu berbicara dengannya dengan suara lembutnya, setiap kali mata mereka bertemu lebih dari sekadar tatapan biasa—Dinda merasa dirinya semakin jatuh.
Dinda menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya. “Rayhan, aku nggak mau membahas ini.”
“Tapi aku mau,” balas Rayhan cepat. “Aku nggak bisa pura-pura nggak merasakan apa-apa, Din.”
Jantung Dinda berdetak lebih cepat.
“Apa maksudmu?” bisiknya.
Rayhan menatapnya tajam. “Aku tahu ini salah, tapi aku juga nggak bisa membohongi diriku sendiri.”
Dinda menggeleng, langkahnya mundur selangkah. “Jangan lanjutkan, Rayhan. Kita nggak bisa—”
“Tapi kita juga nggak bisa terus berpura-pura nggak merasakan ini,” potong Rayhan.
Hening.
Hanya suara mobil yang melintas dan desiran angin malam yang mengisi kekosongan di antara mereka.
Dinda merasa sesak.
“Aku mencintai Anya,” kata Rayhan akhirnya, suaranya pelan tetapi tegas. “Tapi aku juga nggak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku… mulai merasakan sesuatu untukmu.”
Dinda menutup matanya erat. Tidak. Ia tidak ingin mendengar ini.
“Rayhan, aku harus pergi.” Suaranya bergetar saat ia buru-buru membuka pintu mobilnya.
Rayhan tidak menghentikannya. Ia hanya berdiri di sana, menatap Dinda dengan tatapan yang sulit diartikan.
Saat mesin mobil dinyalakan dan Dinda mulai melaju, matanya mulai terasa panas.
Ini salah.
Seharusnya semua ini tidak pernah terjadi.
Tetapi kini, ia tidak bisa lagi berpura-pura bahwa perasaan itu tidak ada.
Dan itu yang paling menakutkan.*
Bab 4: Menghindar yang Sia-Sia
Dinda mengira setelah percakapan itu, semuanya akan kembali seperti semula. Ia berharap jika ia terus menghindari Rayhan, perasaan ini akan menghilang.
Namun, ia salah.
Setiap kali ponselnya berdering dengan nama Anya di layar, dadanya terasa sesak. Setiap kali ia melihat sesuatu yang mengingatkannya pada Rayhan—entah itu secangkir kopi hitam atau lagu yang biasa mereka dengar bersama di masa lalu—ia merasakan perasaan bersalah yang semakin menumpuk.
Ia menghindari semua hal yang bisa membawanya kembali pada kenyataan bahwa ia telah jatuh cinta pada suami sahabatnya sendiri.
Tetapi semakin ia berusaha menjauh, semakin takdir mempertemukan mereka.
—
Hari itu, Dinda mendapat undangan makan siang dari Anya.
*”Aku udah lama banget nggak ketemu kamu! Tolong jangan nolak lagi, ya? Aku bakal jemput kamu kalau perlu!”* pesan Anya di WhatsApp.
Dinda menghela napas panjang. Jika ia terus menolak, Anya pasti akan curiga.
*”Baiklah. Aku datang.”*
Sore itu, ia tiba di rumah Anya dengan hati yang tidak tenang.
Namun, sejak awal memasuki rumah, ia menyadari sesuatu yang berbeda.
Rumah terasa sepi.
Biasanya, Anya akan langsung menyambutnya dengan pelukan hangat, tetapi kali ini rumah terasa lengang.
Dinda melangkah masuk ke ruang tamu, meletakkan tasnya di sofa, lalu berbalik mencari Anya.
Namun, bukan Anya yang ia temui.
Melainkan Rayhan.
Pria itu berdiri di ambang dapur, mengenakan kaus putih dan celana santai. Wajahnya sedikit terkejut saat melihat Dinda, tetapi tatapan itu hanya bertahan sebentar sebelum ia menghela napas.
“Kamu datang,” katanya pelan.
Dinda menegang. “Mana Anya?”
Rayhan mengusap tengkuknya. “Dia ada urusan mendadak. Dia bilang dia akan pulang dalam satu jam lagi.”
Dinda mengerjap. “Jadi… dia nggak ada di rumah?”
Rayhan mengangguk. “Dia menyuruhku menemanimu dulu.”
Dinda ingin mengutuk keberuntungan buruknya. Bagaimana bisa ia justru terjebak berdua dengan Rayhan dalam situasi seperti ini?
“Aku harus pergi,” katanya cepat, berbalik menuju pintu.
Namun, suara Rayhan menghentikannya.
“Dinda.”
Dinda memejamkan mata sejenak sebelum menoleh. “Apa?”
Rayhan menatapnya dalam. “Sampai kapan kamu mau terus menghindar?”
Dinda menghela napas kasar. “Rayhan, aku nggak ingin membahas ini lagi.”
“Tapi aku ingin.”
Dinda menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan emosinya. “Kita nggak bisa terus seperti ini.”
Rayhan menatapnya, ekspresinya sulit diartikan. “Aku tahu. Tapi semakin kamu menjauh, semakin aku sadar kalau aku nggak bisa mengabaikan perasaan ini.”
Dinda tertawa kecil, tetapi tanpa kebahagiaan. “Rayhan, kamu suami Anya. Kamu tahu ini salah.”
“Aku tahu.” Rayhan mendekat, membuat Dinda semakin gugup. “Tapi perasaan ini nggak bisa diatur, Din.”
Dinda mundur selangkah. “Jangan dekati aku.”
Rayhan terdiam. “Apa yang sebenarnya kamu takutkan?”
Dinda mendongak, menatapnya tajam. “Aku takut menghancurkan persahabatanku dengan Anya. Aku takut menyakiti seseorang yang sudah menganggapku keluarganya sendiri. Dan aku takut…”
Ia berhenti, tidak sanggup melanjutkan.
Rayhan menunggu, tetapi saat Dinda tidak berkata apa-apa, ia yang menyelesaikan kalimat itu.
“Kamu takut kalau kamu juga mulai mencintaiku?”
Dinda terkesiap.
Itulah kebenaran yang selama ini ia coba sangkal.
Ia memang takut. Takut bahwa ia benar-benar telah jatuh cinta pada pria yang seharusnya tidak boleh ia cintai.
Dan yang lebih menakutkan lagi, Rayhan juga merasakan hal yang sama.
Suasana semakin tegang di antara mereka.
Namun sebelum Dinda bisa berkata apa pun, suara pintu depan terbuka.
“Dindaaa! Kamu udah datang?”
Suara ceria Anya langsung memenuhi rumah, membuat Dinda tersadar dari keterpurukannya. Ia buru-buru mundur, menjaga jarak dari Rayhan secepat mungkin.
Beberapa detik kemudian, Anya muncul dengan senyum lebarnya.
“Aduh, maaf banget ya, aku tadi harus ambil sesuatu dulu. Kalian nggak bosan nunggu, kan?”
Dinda tersenyum kecil, mencoba mengendalikan emosinya. “Nggak kok.”
Rayhan juga berusaha bersikap biasa, meskipun ekspresinya masih menyiratkan sesuatu yang lain.
Anya tidak menyadari apa pun. Ia hanya tertawa, menggandeng tangan Dinda dan menariknya ke ruang makan.
“Yuk, makan! Aku kangen banget ngobrol sama kamu!”
Dinda tersenyum, tetapi hatinya terasa sesak.
Karena ia tahu, semakin ia berusaha menghindar, semakin sulit untuk melupakan perasaan ini.
Dan cepat atau lambat, semuanya akan meledak.*
Bab 5: Batas yang Semakin Kabur
Sejak pertemuan terakhir di rumah Anya, Dinda merasa dunianya semakin berantakan. Setiap kali ia menatap mata sahabatnya, rasa bersalahnya semakin menggunung. Namun, semakin ia berusaha menghindar, semakin takdir mempertemukan mereka dalam situasi yang tak terduga.
Suatu malam, Dinda baru saja keluar dari kantornya. Hari itu ia sengaja bekerja lebih lama, berharap kelelahan bisa mengalihkan pikirannya. Namun, saat ia berjalan ke parkiran, ia melihat seseorang yang membuat langkahnya terhenti.
Rayhan.
Pria itu berdiri di samping mobilnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Dinda menghela napas panjang sebelum melangkah mendekat.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan nada waspada.
Rayhan menatapnya dalam sebelum menjawab, “Aku butuh bicara denganmu.”
Dinda menggigit bibirnya. “Rayhan, aku sudah bilang—”
“Aku nggak bisa pura-pura nggak merasakan ini, Din,” potong Rayhan. Suaranya pelan, tetapi penuh keyakinan.
Dinda memejamkan mata, mencoba mengendalikan emosinya. “Kita nggak boleh seperti ini.”
Rayhan tersenyum kecil, tetapi ada kepedihan di matanya. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu kamu merasakan hal yang sama.”
Dinda terdiam.
Rayhan melangkah mendekat, hanya beberapa inci dari Dinda. Ia bisa merasakan aroma maskulin pria itu yang begitu familiar.
“Aku mencoba menjauh, Rayhan,” bisik Dinda akhirnya. “Tapi kenapa kamu terus mendekat?”
Rayhan menatapnya dengan intens. “Karena aku nggak bisa berhenti memikirkanmu.”
Dinda tersentak, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa semua ini salah. Tapi tubuhnya membeku di tempat.
Rayhan mengangkat tangannya, jemarinya hampir menyentuh pipi Dinda. Tapi sebelum itu terjadi, Dinda buru-buru mundur.
“Jangan lakukan ini,” suaranya bergetar.
Rayhan menurunkan tangannya perlahan. Wajahnya terlihat frustrasi, tetapi ia tidak memaksa.
“Aku nggak akan memaksa kamu, Dinda,” katanya akhirnya. “Tapi aku harap kamu berhenti berbohong pada dirimu sendiri.”
Tanpa menunggu jawaban, Rayhan berbalik dan pergi, meninggalkan Dinda yang masih berdiri kaku di tempatnya.
Dan saat itu, Dinda sadar… batas di antara mereka semakin kabur.*
Bab 6: Godaan yang Semakin Nyata
Dinda mulai merasa kelelahan. Bukan karena pekerjaannya, bukan pula karena aktivitas sehari-harinya, tetapi karena pergulatan batin yang terus menghantuinya.
Sejak percakapan terakhirnya dengan Rayhan di parkiran kantor, perasaannya semakin tidak menentu. Setiap kali ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya ketertarikan sesaat, hatinya justru berkata sebaliknya.
Ia harus menghindari Rayhan. Ia harus menjaga jarak, demi Anya, demi persahabatan mereka.
Namun, semuanya semakin sulit ketika Anya sendiri yang tanpa sadar terus mempertemukan mereka.
—
Malam itu, Anya mengirim pesan suara di WhatsApp.
*”Dinda, please datang ke rumah malam ini! Aku lagi butuh teman ngobrol. Rayhan juga ada di rumah. Kita bisa makan malam bareng. Kayak dulu!”*
Dinda menggigit bibirnya, menatap layar ponselnya dengan ragu.
Ia tahu ia seharusnya menolak. Tapi jika ia menolak terlalu sering, Anya pasti akan mulai curiga.
Dengan berat hati, Dinda mengetik balasan.
*”Baiklah, aku ke sana.”*
—
Saat Dinda tiba di rumah Anya, suasana terasa hangat seperti biasanya. Anya langsung menyambutnya dengan pelukan erat, wajahnya penuh kebahagiaan.
“Aku senang banget kamu datang! Aku kangen ngobrol lama sama kamu!” ujar Anya ceria.
Dinda tersenyum, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku juga kangen.”
Lalu, tatapannya secara tidak sengaja bertemu dengan mata Rayhan.
Dinda menelan ludah. Rayhan hanya menatapnya sekilas sebelum mengalihkan pandangan, tetapi itu sudah cukup untuk membuatnya merasa tidak nyaman.
Anya menarik Dinda ke ruang makan, dan mereka pun mulai menikmati makan malam bersama.
Awalnya, semuanya terasa normal. Anya banyak bercerita, tertawa lepas, dan seperti biasa, ia sangat menikmati kebersamaan ini.
Namun, Dinda tahu ada sesuatu yang berbeda.
Setiap kali ia menoleh, ia selalu mendapati Rayhan diam-diam mencuri pandang ke arahnya.
Setiap kali tangannya tanpa sengaja bersentuhan dengan tangan Rayhan, jantungnya berdetak lebih cepat.
Dan ketika Anya bangkit dari kursinya untuk mengambil minuman di dapur, Dinda menyadari bahwa ia kini hanya berdua dengan Rayhan.
Ruangan terasa sunyi.
Dinda menunduk, berusaha fokus pada makanannya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Rayhan, suaranya terdengar pelan.
Dinda mengangguk tanpa menatapnya. “Aku baik.”
Rayhan terdiam sejenak sebelum berkata, “Kamu menghindar lagi.”
Dinda menegang. “Rayhan, kita nggak boleh bicara tentang ini di sini.”
Rayhan mendekatkan wajahnya sedikit, suaranya semakin lirih. “Aku tahu. Tapi aku nggak bisa berpura-pura di dekatmu, Dinda.”
Dinda memejamkan mata sejenak, mencoba mengendalikan perasaannya.
Namun sebelum ia bisa menjawab, Anya kembali ke ruangan dengan sebotol wine di tangannya.
“Yuk, kita minum sedikit!” katanya ceria.
Dinda segera menjauh dari Rayhan dan memasang senyum palsunya. “Aku nggak bisa minum banyak, besok harus kerja.”
Anya tertawa. “Santai aja, cuma segelas.”
Dinda mengangguk, menerima gelas yang diberikan Anya. Namun, pikirannya sudah tidak bisa lagi fokus.
Karena ia tahu… godaan ini semakin nyata.
Dan ia takut dirinya tidak cukup kuat untuk melawannya.*
Bab 7: Ketika Batas Itu Dilanggar
Dinda tak bisa memejamkan matanya malam itu.
Sepulang dari rumah Anya, pikirannya penuh dengan bayangan Rayhan—tatapan intensnya, caranya mencuri pandang, bahkan bisikan lembutnya yang seolah terus terngiang di telinganya.
Ia benci perasaan ini. Ia benci bagaimana ia mulai kehilangan kendali.
Ia tahu ini salah.
Ia tahu ia harus pergi sejauh mungkin dari Rayhan.
Tapi kenapa setiap kali ia mencoba melupakan, takdir justru mempertemukan mereka?
—
**Beberapa hari kemudian…**
Dinda terpaksa menghadiri acara kantor yang diadakan di sebuah hotel mewah. Ia tidak terlalu suka acara seperti ini, tetapi sebagai bagian dari tim, ia tidak bisa menolak.
Namun, ada satu hal yang membuat malam itu semakin berat.
Rayhan juga ada di sana.
Ia tidak menyangka bahwa pria itu ternyata diundang sebagai salah satu tamu kehormatan, mewakili perusahaan tempatnya bekerja.
Ketika mata mereka bertemu di tengah keramaian, Dinda merasakan getaran aneh di dadanya. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak melihatnya.
Namun, Rayhan tidak tinggal diam.
Beberapa saat kemudian, saat Dinda sedang berdiri di balkon hotel, menikmati udara malam dan berusaha menghindari keramaian, ia merasakan seseorang mendekat dari belakang.
Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.
“Dinda,” suara Rayhan terdengar lembut, tetapi tegas.
Dinda menggigit bibirnya. “Rayhan, tolong… Jangan lakukan ini.”
Rayhan berdiri di sampingnya, menyandarkan tangannya di pagar balkon. Ia menatap ke arah langit malam, sebelum akhirnya menoleh ke arah Dinda.
“Dinda, aku lelah berpura-pura,” katanya pelan.
Dinda menghela napas panjang. “Aku juga lelah, Rayhan. Tapi kita harus kuat.”
Rayhan tersenyum miring. “Kuat? Kamu yakin kita masih bisa mengendalikan perasaan ini?”
Dinda tidak menjawab. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Kamu menghindar, tapi matamu selalu mencari aku,” lanjut Rayhan. “Kamu mencoba menjauh, tapi di hatimu, kamu tahu kalau kamu ingin aku tetap ada.”
Dinda menutup matanya sejenak, mencoba mengabaikan kebenaran yang diucapkan Rayhan.
“Ini salah,” bisiknya.
Rayhan mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Dinda yang bergetar. “Kalau ini salah, kenapa rasanya begitu sulit untuk melepaskan?”
Dinda menoleh, dan saat itu, ia melihat kejujuran di mata Rayhan.
Ia tahu pria itu sedang berjuang dengan perasaannya, sama seperti dirinya.
Dan tanpa ia sadari, pertahanannya mulai runtuh.
Rayhan melangkah lebih dekat, membuat jarak di antara mereka nyaris tidak ada.
Dinda seharusnya menjauh. Ia seharusnya mendorong pria itu pergi.
Tapi malam itu, dalam hembusan angin yang sejuk dan suasana yang begitu sunyi, Dinda tidak bisa lagi melawan.
Ia membiarkan Rayhan mendekat.
Dan saat bibir mereka akhirnya bertemu dalam kecupan yang lembut namun penuh gairah, Dinda tahu…
Batas itu telah mereka langgar.*
Bab 8: Penyesalan di Balik Hasrat
Dinda terbangun dengan jantung berdegup kencang.
Ia menatap langit-langit kamar hotel yang asing baginya, dan seketika kesadaran menghantamnya seperti gelombang besar.
Perlahan, ia menoleh ke samping.
Di sana, Rayhan masih terlelap, nafasnya teratur, wajahnya terlihat begitu damai.
Dinda menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak tangis yang ingin pecah. Apa yang sudah ia lakukan?
Kilasan kejadian tadi malam kembali memenuhi pikirannya.
Ciuman pertama mereka di balkon… bagaimana Rayhan menariknya ke dalam kamar… bisikan penuh gairah di telinganya… dan akhirnya, bagaimana mereka tenggelam dalam satu sama lain, melupakan semua batas yang seharusnya tetap mereka jaga.
Dinda meremas ujung selimutnya. Dadanya terasa sesak oleh perasaan bersalah yang luar biasa.
Ia telah mengkhianati Anya.
Sahabat yang selalu mempercayainya. Sahabat yang selalu menganggapnya seperti keluarga sendiri.
Dinda merasakan mual menjalar ke seluruh tubuhnya. Dengan cepat, ia bangkit dari tempat tidur, mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai, dan mengenakannya dengan tangan gemetar.
Saat ia baru saja akan mengambil tasnya dan pergi, suara Rayhan menghentikannya.
“Dinda…”
Suara itu serak, masih dipenuhi kantuk.
Dinda menegang, tidak berani menoleh.
“Jangan pergi,” kata Rayhan pelan.
Dinda mengeratkan genggamannya pada tali tasnya. “Rayhan… ini salah. Kita nggak seharusnya melakukan ini.”
Rayhan bangkit, duduk di tepi ranjang, menatapnya dengan mata penuh perasaan. “Aku tahu,” bisiknya. “Tapi aku nggak menyesal.”
Dinda akhirnya menoleh, matanya sudah dipenuhi air mata. “Tapi aku menyesal, Rayhan.”
Rayhan terdiam. Wajahnya yang semula penuh ketenangan berubah menjadi kesedihan.
Dinda menggeleng, setetes air mata jatuh di pipinya. “Aku mencintaimu, tapi aku nggak bisa hidup dengan rasa bersalah ini.”
Rayhan bangkit dan berjalan mendekatinya, tapi Dinda buru-buru mundur.
“Jangan…” bisiknya lemah. “Jangan buat ini semakin sulit.”
Rayhan menatapnya dengan luka di matanya. “Jadi kamu mau pura-pura semua ini nggak pernah terjadi?”
Dinda mengusap wajahnya dengan frustasi. “Aku nggak tahu… Aku cuma tahu kalau ini salah. Aku harus pergi.”
Tanpa menunggu jawaban, Dinda berbalik dan berlari keluar dari kamar.
—
Saat ia akhirnya keluar dari hotel, angin malam menerpa wajahnya, tetapi itu tidak cukup untuk menenangkan kekacauan dalam hatinya.
Tangannya masih gemetar saat ia merogoh ponselnya dari dalam tas.
Ada beberapa pesan dari Anya.
**Anya:** *Dindaaa, aku tadi mimpi kamu! Aku kangen!*
**Anya:** *Kapan kita bisa jalan bareng lagi? Kamu akhir-akhir ini sibuk banget!*
**Anya:** *Aku sayang kamu, bestie!* ❤️
Dinda menahan napas.
Tangan yang memegang ponselnya semakin erat. Rasa bersalah semakin mencekiknya hingga hampir membuatnya sulit bernapas.
Ia telah menghancurkan kepercayaan Anya.
Ia telah mengkhianati satu-satunya orang yang selalu ada untuknya.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, ia tidak tahu apakah ia bisa menghentikan perasaan ini.
Karena meskipun ia menyesal… hatinya tetap menginginkan Rayhan.*
Bab 9: Rahasia yang Mulai Tercium
Sejak malam itu, Dinda merasa hidupnya tak lagi sama. Rasa bersalah terus menghantuinya, membuatnya sulit tidur, sulit makan, dan sulit menatap Anya tanpa merasa ingin menangis.
Ia berusaha menjaga jarak dari Rayhan. Ia tak membalas pesan-pesannya, tak mengangkat teleponnya, dan menghindari tempat-tempat di mana mereka bisa bertemu.
Tapi semakin ia berusaha menjauh, semakin hatinya meronta.
Ia tahu ia mencintai Rayhan. Tapi apakah perasaan itu lebih berharga dibandingkan persahabatannya dengan Anya?
Ia masih bergulat dengan pikirannya saat tiba-tiba ponselnya bergetar di meja kerja.
**Anya menelepon.**
Dinda menatap layar ponselnya dengan jantung berdegup kencang. Sejenak ia ragu, tetapi akhirnya ia menghela napas dan mengangkatnya.
“Halo, Anya…”
“Dindaaa!” suara Anya terdengar ceria seperti biasa. “Kamu sibuk nggak? Aku di dekat kantor kamu nih, mau ketemu sebentar?”
Dinda menelan ludah. “Sekarang?”
“Iya! Aku mau ngobrol sesuatu. Aku tunggu di kafe biasa ya?”
Sebelum Dinda sempat menolak, Anya sudah menutup telepon.
Dinda memijat pelipisnya. Ia tidak bisa menghindari Anya selamanya. Dengan langkah berat, ia pun pergi menemui sahabatnya.
—
Saat sampai di kafe, Anya sudah menunggu di meja dekat jendela, tersenyum cerah seperti biasanya.
“Hey, bestie!” Anya melambaikan tangan.
Dinda mencoba tersenyum, meski hatinya terasa berat. “Hey…”
Begitu ia duduk, Anya langsung menatapnya penuh selidik. “Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok kayaknya menjauh dariku?”
Dinda terkejut. “Enggak, aku nggak menjauh…”
Anya menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Dinda, aku kenal kamu. Aku tahu ada yang kamu sembunyikan dariku.”
Jantung Dinda mencelos. “Aku nggak menyembunyikan apa-apa, Anya.”
Anya mengerucutkan bibirnya, lalu mendekat sedikit. “Jangan bohong, Din. Aku udah lihat sesuatu…”
Dinda menegang. “Lihat apa?”
Anya menatapnya dengan serius, lalu mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah foto.
Dinda membelalakkan mata.
Foto itu menunjukkan dirinya dan Rayhan di acara hotel beberapa malam lalu. Mereka berdiri di balkon, saling menatap dalam.
Dinda merasa darahnya membeku. “A-anu…”
“Aku dapat ini dari teman kantor yang juga datang ke acara itu,” kata Anya pelan. “Dia nggak tahu kalau ini suamiku. Tapi aku tahu.”
Dinda menatap sahabatnya dengan panik. “Anya, aku bisa jelaskan…”
Anya terdiam sejenak sebelum tertawa kecil. “Dinda, kamu kenal aku. Aku nggak akan berpikiran buruk tanpa bukti yang jelas.”
Dinda menahan napas.
“Aku percaya sama kamu,” lanjut Anya. “Aku tahu kamu nggak mungkin mengkhianati aku. Kalian cuma ngobrol biasa, kan?”
Dinda merasa sesak. Lidahnya kelu.
Anya tersenyum lega. “Ya sudahlah, mungkin aku terlalu banyak pikiran. Maaf ya kalau aku bikin kamu nggak nyaman.”
Dinda memaksakan senyum. “I-iya, nggak apa-apa…”
Tapi dalam hatinya, ia tahu…
Rahasia ini sudah mulai tercium.
Dan ia tidak tahu sampai kapan bisa menyembunyikannya.*
Bab 10: Kebenaran yang Tak Bisa Disembunyikan
Sejak pertemuannya dengan Anya di kafe, Dinda merasa hidupnya semakin di ujung tanduk.
Setiap kali ia berbicara dengan Anya, rasa bersalah itu semakin menusuk dadanya. Setiap kali ia mendengar nama Rayhan, ia merasa jantungnya seperti diremas.
Ia ingin melupakan semuanya. Ingin berpura-pura tidak ada yang terjadi.
Tapi kenyataannya, dosa ini telah terjadi.
Dan cepat atau lambat, kebenaran pasti akan terungkap.
—
**Beberapa hari kemudian…**
Dinda baru saja pulang dari kantor ketika ponselnya berdering. Nama **Rayhan** muncul di layar.
Awalnya, ia ingin mengabaikan panggilan itu. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya menggeser tombol hijau.
“Halo…” suaranya terdengar lemah.
“Dinda, kita harus bicara,” suara Rayhan terdengar serius.
Dinda menelan ludah. “Rayhan, kita nggak bisa terus seperti ini…”
“Aku tahu. Tapi ada sesuatu yang harus kamu tahu. Anya…” Rayhan menghela napas berat. “Dia mulai curiga.”
Dinda menegang. “Apa maksudmu?”
“Dia menemukan sesuatu di ponselku,” suara Rayhan semakin pelan. “Sebuah pesan yang seharusnya sudah aku hapus.”
Dinda merasa dunia di sekelilingnya berputar. “Pesan apa?”
“Pesan darimu, malam itu… setelah kita…” Rayhan tidak menyelesaikan kalimatnya.
Dinda memejamkan mata, tubuhnya melemas.
“Aku nggak bisa berbohong lebih lama, Dinda.”
Jantung Dinda berdegup kencang. “Rayhan, jangan bilang kalau—”
“Aku akan mengatakan yang sebenarnya.”
Dinda terperanjat. “Kamu gila?! Kita nggak bisa melakukan itu! Itu akan menghancurkan Anya!”
Rayhan menghela napas berat. “Aku tahu. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup dalam kebohongan.”
Dinda merasa napasnya semakin berat. Kepalanya berdenyut hebat.
Tapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun lagi, ponselnya berbunyi lagi—kali ini dari **Anya**.
Dinda terpaku, tidak tahu harus berbuat apa.
Rayhan masih berbicara di telepon, tapi pikirannya sudah kosong.
Dengan tangan gemetar, Dinda mengangkat telepon dari Anya.
“Dinda…” suara Anya terdengar bergetar.
Dinda menggigit bibirnya. “A-Anya?”
“Kenapa?” hanya satu kata itu yang keluar dari mulut sahabatnya.
Dinda terdiam.
“Kenapa kamu melakukan ini padaku?” suara Anya pecah dalam tangis.
Dinda menutup mata, air matanya ikut mengalir.
Rahasia itu telah terbongkar.
Dan tak ada lagi jalan untuk kembali.***
—–the end——