Daftar Isi
- Bab 1: Pernikahan yang Indah, Bayangan yang Mengintai
- Bab 2: Perhatian yang Berlebihan
- Bab 3: Jarak dengan Suami, Kedekatan dengan Mertua
- Bab 4: Godaan yang Tak Terhindarkan
- Bab 5: Hasrat yang Tak Terkendali
- Bab 6: Batas yang Kian Menipis
- Bab 7: Makin Tak Bisa Menghindar
- Bab 8: Larut dalam Dosa yang Manis
- Bab 9: Makin Dalam, Makin Tak Mampu Berhenti
- Bab 10: Akhir yang Tak Terelakkan
Bab 1: Pernikahan yang Indah, Bayangan yang Mengintai
Laras berdiri di depan cermin rias, memandangi bayangan dirinya dalam balutan kebaya putih yang anggun. Hari ini adalah hari yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan dalam hidupnya—hari di mana ia resmi menjadi istri Reza, lelaki yang telah ia cintai selama bertahun-tahun. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang tak bisa ia abaikan meskipun ia terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya ilusi.
Di luar kamar pengantin, suara tamu yang masih berbincang terdengar samar. Pernikahan mereka berlangsung meriah, dengan banyak tamu undangan yang datang memberi selamat. Reza, pria yang kini resmi menjadi suaminya, begitu tampan dalam balutan jas hitamnya. Tatapannya penuh cinta dan kebahagiaan. Namun, ada sepasang mata lain yang diam-diam mengamati Laras—sepasang mata yang tajam dan penuh misteri.
Arman, ayah Reza, berdiri di sudut ruangan. Meski wajahnya menyiratkan kebanggaan atas pernikahan putranya, ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Laras merasa aneh. Sejak pertama kali bertemu dengan mertuanya itu, Laras selalu merasakan ketegangan yang sulit dijelaskan. Pria berusia 48 tahun itu masih tampak gagah untuk usianya. Dengan wajah yang masih tampan dan tubuh yang terjaga, ia lebih terlihat seperti kakak laki-laki Reza daripada ayahnya.
Saat Laras berjalan melewati para tamu, Arman menyapanya dengan senyum hangat. “Selamat, Laras. Sekarang kamu resmi menjadi bagian dari keluarga kami.”
Laras tersenyum, meskipun hatinya berdebar aneh. “Terima kasih, Pak.”
Arman tertawa kecil. “Jangan panggil saya Pak. Sekarang kamu anak saya juga. Panggil saya Papa, seperti Reza.”
Laras terdiam sesaat, lalu mengangguk. “Baik, Papa.”
Arman menatapnya sejenak, lalu mengusap pelan pundak Laras sebelum beranjak pergi. Sentuhan itu seharusnya terasa biasa, namun entah mengapa Laras merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah getaran yang tak seharusnya ada.
Malam itu, setelah semua tamu pulang dan acara selesai, Laras masuk ke kamar pengantin dengan perasaan campur aduk. Reza yang sudah lebih dulu masuk ke kamar duduk di tepi ranjang, menatapnya dengan penuh cinta.
“Kamu cantik sekali malam ini,” ucapnya sambil menarik tangan Laras agar duduk di sampingnya.
Laras tersenyum tipis, meski pikirannya masih melayang ke arah lain. “Terima kasih.”
Reza mengusap lembut wajah istrinya. “Aku janji akan membuatmu bahagia, Laras.”
Laras mengangguk. Ia ingin percaya, ingin menyerahkan seluruh hatinya kepada Reza. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ada sesuatu yang mengganjal—sebuah perasaan asing yang mulai tumbuh tanpa ia sadari.
Sementara itu, di kamar sebelah, Arman duduk di kursinya sambil menatap ke arah pintu kamar pengantin. Ia menghela napas panjang, matanya berkilat dalam kegelapan. Dalam diam, ia tahu bahwa sesuatu dalam dirinya telah terguncang sejak kedatangan Laras ke dalam keluarganya.
Dan malam itu, tanpa ada yang menyadari, takdir mulai memainkan perannya dalam kisah yang terlarang.*
Berikut pengembangan **Bab 2: Perhatian yang Berlebihan** dengan sekitar 900 kata.
Bab 2: Perhatian yang Berlebihan
Hari-hari setelah pernikahan berjalan seperti yang diharapkan. Laras mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya sebagai istri Reza. Mereka tinggal di rumah keluarga Reza, sebuah rumah besar bergaya klasik yang dihuni oleh Arman dan seorang asisten rumah tangga.
Awalnya, Laras merasa nyaman. Reza adalah suami yang penuh perhatian, meskipun pekerjaannya sebagai manajer proyek sering membuatnya pulang larut malam. Namun, ada satu hal yang semakin ia sadari seiring berjalannya waktu—perhatian Arman yang terasa berlebihan.
Setiap pagi, saat Laras turun untuk sarapan, Arman sudah menunggunya di meja makan. Reza biasanya sudah berangkat lebih awal, jadi hanya ada mereka berdua.
“Pagi, Laras. Tidurmu nyenyak?” tanya Arman, tersenyum ramah.
Laras mengangguk. “Iya, Papa.”
Arman menuangkan teh ke cangkir Laras sebelum ia sempat melakukannya sendiri. “Aku tahu kamu suka teh melati. Ini favoritku juga,” ujarnya.
Laras tersenyum tipis. Ia memang menyukai teh melati, tapi bagaimana Arman tahu?
Seiring waktu, perhatian kecil dari Arman semakin sering terjadi. Ia selalu memastikan Laras tidak kelelahan, menanyakan kabarnya setiap saat, bahkan membelikan barang-barang kecil yang menurutnya cocok untuk Laras.
Suatu hari, saat Laras sedang mencuci piring di dapur, Arman tiba-tiba berdiri di belakangnya.
“Kamu tak perlu melakukan ini, Laras. Ada Mbak Rina yang bisa mengurus semuanya,” katanya sambil mengambil piring dari tangan Laras.
Laras tersenyum. “Tidak apa-apa, Papa. Aku terbiasa melakukan ini sendiri.”
Arman tertawa kecil. “Tetap saja, aku tidak suka melihat menantuku kelelahan.”
Laras merasakan dada Arman hampir menyentuh punggungnya saat pria itu mengambil piring. Sentuhan sekilas itu membuatnya menegang. Ia buru-buru menghapus pikirannya dan mundur selangkah.
Hari demi hari, Laras semakin sadar akan keanehan ini. Arman bukan hanya sekadar mertua yang baik, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda. Ia terlalu sering memperhatikannya, terlalu sering muncul di saat-saat Laras membutuhkan sesuatu.
Satu sore, Laras pulang dari supermarket setelah berbelanja. Ia baru saja menutup bagasi mobil ketika Arman tiba-tiba muncul di sampingnya.
“Kamu butuh bantuan?” tanyanya sambil mengambil kantong belanja dari tangan Laras.
Laras tersenyum canggung. “Tidak perlu, Papa. Aku bisa sendiri.”
“Tidak usah sungkan. Papa senang bisa membantumu,” jawabnya.
Saat mereka berjalan masuk ke rumah, Arman tiba-tiba berkata, “Reza beruntung sekali mendapatkanmu, Laras. Kamu bukan hanya cantik, tapi juga begitu perhatian.”
Laras terdiam. Kalimat itu terdengar seperti pujian biasa, tapi cara Arman mengatakannya terasa berbeda. Ia mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menggelayuti pikirannya.
Namun, semua itu mencapai puncaknya pada suatu malam. Reza belum pulang, dan Laras sedang duduk di ruang tamu sambil membaca novel. Arman masuk dan duduk di sofa di seberangnya.
“Kamu tidak merasa kesepian saat Reza sering pulang larut?” tanyanya.
Laras menutup bukunya. “Kadang, tapi aku mengerti. Pekerjaannya menuntutnya untuk sering lembur.”
Arman menghela napas. “Papa mengerti. Aku dulu juga sering begitu saat masih seusianya. Kadang aku menyesal tidak bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan istri Papa dulu.”
Laras menatapnya. Ini pertama kalinya Arman berbicara tentang almarhum istrinya.
“Papa sangat mencintainya, ya?”
Arman tersenyum samar. “Tentu saja. Tapi terkadang, hidup mempertemukan kita dengan seseorang yang membuat kita berpikir… seandainya takdir membawa kita ke arah yang berbeda.”
Laras tidak mengerti maksudnya. Ia hanya mengangguk, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul.
Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Arman menatapnya dalam-dalam dan berkata, “Laras, Papa ingin kamu tahu bahwa kamu sangat berharga. Jangan ragu untuk bercerita apa pun pada Papa, ya?”
Laras menelan ludah. Ada sesuatu dalam tatapan Arman yang begitu intens, begitu dalam, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar kasih sayang seorang mertua kepada menantunya.
Malam itu, Laras tidak bisa tidur. Bayangan tatapan Arman terus terngiang di pikirannya. Ada sesuatu yang sedang terjadi, sesuatu yang mulai mengarah ke arah yang tidak seharusnya.
Dan entah mengapa, jauh di dalam hatinya, ada bagian kecil dari dirinya yang mulai goyah.*
Berikut pengembangan **Bab 3: Jarak dengan Suami, Kedekatan dengan Mertua** dengan sekitar 900 kata.
Bab 3: Jarak dengan Suami, Kedekatan dengan Mertua
Laras mulai merasakan perubahan dalam rumah tangganya. Sejak menikah, ia berharap bisa menghabiskan banyak waktu bersama Reza, tapi kenyataan berkata lain. Pekerjaan suaminya semakin menyita waktu, dan Reza sering pulang larut malam atau bahkan terkadang membawa pekerjaannya ke rumah.
Awalnya, Laras berusaha memahami. Ia tahu bahwa Reza ingin memberikan kehidupan yang layak untuk mereka berdua. Namun, semakin hari, ia mulai merasa kesepian. Makan malam yang seharusnya dinikmati berdua kini lebih sering ia habiskan sendirian, atau terkadang dengan Arman.
Mertuanya itu selalu ada, seolah menggantikan kehadiran Reza. Jika dulu Laras masih bisa mengabaikan keanehan yang ia rasakan, kini ia mulai menyadari sesuatu yang tak bisa ia elakkan—perhatiannya kepada Arman semakin besar, dan lebih parahnya lagi, perasaan aneh itu mulai bertumbuh di hatinya.
Suatu malam, Laras menyiapkan makan malam seperti biasa. Ia menunggu Reza pulang, tetapi pesan singkat yang masuk ke ponselnya membuat harapannya pupus.
**”Maaf sayang, aku harus lembur lagi. Kamu makan duluan ya.”**
Laras menghela napas panjang. Ia mematikan layar ponselnya dan meletakkannya di meja.
“Ditinggal lagi?”
Suara berat itu membuat Laras menoleh. Arman berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kaus lengan panjang dan celana santai.
Laras mencoba tersenyum. “Iya, Papa. Sepertinya Reza masih sibuk.”
Arman melangkah mendekat dan duduk di kursi makan. “Papa bisa menemanimu makan malam, kalau kamu mau.”
Laras ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah, Papa.”
Mereka makan dalam keheningan sesaat, sampai akhirnya Arman bersuara.
“Kamu pasti merasa kesepian,” katanya pelan.
Laras menunduk, memainkan sendok di tangannya. “Sedikit. Tapi aku mengerti. Reza bekerja untuk masa depan kami.”
Arman menatapnya dalam. “Kesepian itu berat, Laras. Papa tahu bagaimana rasanya.”
Laras menatap pria itu dengan rasa penasaran. “Papa juga merasa kesepian?”
Arman mengangguk. “Setelah ibumu Reza meninggal, Papa sering merasa kehilangan. Rasanya hampa pulang ke rumah tanpa ada seseorang yang menunggu.”
Laras merasakan sesuatu yang aneh dalam suara Arman—seperti kesedihan yang mendalam. Ia bisa memahami perasaan itu.
Tanpa sadar, percakapan mereka semakin mendalam. Arman berbicara tentang istrinya, tentang bagaimana ia merasa kehilangan setelah bertahun-tahun bersama. Laras mendengarkan dengan penuh perhatian, dan tanpa ia sadari, ia mulai membuka dirinya lebih jauh.
Malam itu, mereka berbicara lebih lama dari yang seharusnya. Laras mulai merasa nyaman dengan Arman, dan anehnya, kehadiran pria itu membuat kesepiannya sedikit berkurang.
**Hari-Hari Berikutnya**
Sejak malam itu, kedekatan mereka semakin terasa. Arman selalu ada ketika Laras butuh seseorang untuk berbicara. Setiap pagi mereka sarapan bersama, dan terkadang Laras menemani Arman berbelanja atau sekadar duduk berbincang di teras rumah.
Pada suatu siang, Laras sedang menyiram tanaman di halaman belakang ketika Arman keluar dari rumah.
“Kamu suka berkebun?” tanyanya sambil mendekat.
Laras mengangguk. “Iya, sejak kecil aku suka melihat tanaman tumbuh.”
Arman tersenyum. “Kamu mirip ibunya Reza. Dia juga suka berkebun. Mungkin kamu bisa membantu Papa merawat tanaman di rumah ini.”
Laras mengangguk. “Tentu, Papa.”
Saat Laras hendak melangkah ke arah lain, kakinya tersandung selang air. Ia hampir jatuh, tapi sebelum tubuhnya menyentuh tanah, tangan Arman dengan sigap menangkapnya.
Laras terkejut. Ia bisa merasakan tangan Arman melingkar di pinggangnya, mendekapnya erat. Nafas pria itu begitu dekat, dan jantung Laras berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Kamu tidak apa-apa?” bisik Arman.
Laras menelan ludah. “A-aku baik-baik saja, Papa.”
Namun, Arman tak segera melepaskannya. Mereka saling menatap, dan dalam beberapa detik yang terasa begitu lama, Laras merasakan sesuatu yang tak seharusnya ia rasakan.
Arman akhirnya melepaskan pelukannya, dan Laras buru-buru mundur. Wajahnya terasa panas, dan ia berusaha mengabaikan getaran aneh yang tadi ia rasakan.
“Sebaiknya aku masuk,” ucap Laras buru-buru.
Arman hanya mengangguk, tapi ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang tidak bisa Laras artikan.
**Malam Itu**
Laras duduk di tempat tidur, merenung. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang terjadi tadi hanyalah kebetulan. Tapi, kenapa ia tidak bisa melupakan bagaimana perasaan itu muncul?
Reza masih belum pulang. Ponselnya kembali berbunyi dengan pesan yang sama—ia harus lembur.
Laras menatap langit-langit kamar. Hatinya berkecamuk. Ia mulai sadar bahwa jarak dengan suaminya semakin jauh, sementara kedekatannya dengan Arman semakin dalam.
Dan yang lebih menakutkan lagi, ia tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.*
Bab 4: Godaan yang Tak Terhindarkan
Malam itu hujan turun dengan deras. Petir sesekali menyambar, menerangi langit gelap di luar jendela kamar Laras. Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan singkat dari Reza.
**”Sayang, maaf. Aku harus lembur lagi. Jangan tunggu aku, tidur duluan ya.”**
Laras menghela napas panjang. Entah sudah berapa kali ia menerima pesan serupa dalam sebulan terakhir. Ia mencoba memahami, mencoba mengerti, tapi lama-lama perasaan kesepian itu semakin sulit ia abaikan.
Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Saat melewati ruang tengah, ia melihat Arman duduk di sofa, masih terjaga. Pria itu tampak santai dengan kaus oblong dan celana pendek, matanya fokus pada layar televisi yang menyala redup.
“Kamu belum tidur?” suara Arman memecah keheningan saat menyadari kehadiran Laras.
Laras menggeleng. “Aku haus.”
Arman menepuk sofa di sebelahnya. “Duduklah sebentar. Hujan deras, suasananya enak buat ngobrol.”
Laras ragu sejenak, tapi akhirnya melangkah mendekat dan duduk di sampingnya. Hujan di luar masih turun deras, menciptakan suara menenangkan di atap rumah.
“Apa kamu merasa kesepian, Laras?” tanya Arman tiba-tiba.
Laras menoleh. Tatapan pria itu begitu dalam, seolah mampu membaca isi hatinya.
“Kadang,” jawab Laras jujur. “Aku tahu Reza bekerja keras untuk kami, tapi… aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku merasa seperti istri yang ditinggalkan.”
Arman mengangguk pelan. “Papa mengerti perasaan itu.”
Mereka terdiam beberapa saat. Laras menyesap air di gelasnya, sementara Arman tetap menatap layar televisi, meskipun jelas pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.
“Kamu wanita yang luar biasa, Laras,” kata Arman pelan. “Reza seharusnya lebih sering ada di sisimu.”
Laras tersenyum tipis. “Aku tak ingin menuntut terlalu banyak.”
Arman menoleh ke arahnya. Tatapannya begitu intens, membuat Laras tiba-tiba merasa canggung.
“Kamu pantas mendapatkan perhatian lebih, Laras.”
Laras menelan ludah. Ada sesuatu dalam cara Arman mengatakannya yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Hujan di luar semakin deras, dan tanpa sadar, jarak di antara mereka terasa semakin kecil. Laras bisa mencium aroma maskulin dari tubuh pria itu, campuran antara sabun dan sesuatu yang khas dari Arman.
“Kamu cantik, Laras…”
Laras terdiam. Ia tahu ia seharusnya menghentikan ini, seharusnya berdiri dan pergi, tapi tubuhnya seolah tak mampu bergerak.
Arman mengangkat tangannya perlahan, jari-jarinya menyentuh dagu Laras, mengangkatnya sedikit hingga mata mereka benar-benar bertemu.
Detik itu, Laras tahu ada batas yang hampir mereka lewati.
“Papa…” suaranya nyaris tak terdengar.
Arman tak menjawab, hanya menatapnya lebih dalam. Ada keinginan di mata pria itu—keinginan yang terlarang, tapi juga menggoda.
Laras akhirnya tersadar dan buru-buru menjauh. “Aku… aku harus kembali ke kamar.”
Tanpa menunggu jawaban Arman, Laras bangkit dan berjalan cepat menuju kamarnya. Ia menutup pintu dengan napas memburu, dadanya naik turun dengan cepat.
Apa yang baru saja terjadi?
Kenapa ia tidak segera menolak?
Laras menggelengkan kepala, berusaha mengusir segala pikiran yang mulai bercampur aduk.
Tapi meskipun ia mencoba menepisnya, ia tahu satu hal—ada sesuatu yang telah berubah di antara mereka.
Dan itu sangat berbahaya.*
Bab 5: Hasrat yang Tak Terkendali
Sejak malam itu, Laras merasa dunianya berubah. Ia mulai melihat Arman dengan cara yang berbeda. Setiap kali mereka berpapasan, dadanya berdebar tanpa alasan. Tatapan pria itu kini terasa lebih intens, seolah menyimpan sesuatu yang selama ini terpendam.
Laras mencoba menyangkalnya. Ia berusaha menjaga jarak, menghindari momen-momen di mana mereka berdua saja di dalam rumah. Namun, Arman seolah selalu menemukan cara untuk mendekatinya.
Suatu siang, Laras sedang menjemur pakaian di halaman belakang. Angin bertiup lembut, menerpa rambutnya yang tergerai. Ia menikmati kesibukannya hingga suara Arman menyadarkannya.
“Kamu tidak kepanasan, Laras?”
Laras menoleh. Arman berdiri di ambang pintu belakang, mengenakan kemeja santai dengan lengan yang tergulung.
“Oh, tidak, Papa,” jawabnya cepat, lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
Tapi Arman tidak pergi. Ia justru melangkah lebih dekat, memperhatikan Laras dengan sorot mata yang sulit ditebak.
“Kenapa belakangan ini kamu menghindari Papa?” tanyanya pelan.
Laras terkejut. “Aku tidak menghindari Papa,” sangkalnya gugup.
Arman tersenyum tipis, seolah tak percaya. “Jangan berbohong, Laras. Aku bisa merasakannya.”
Laras menggigit bibirnya, tidak tahu harus menjawab apa. Ia ingin berbohong, tapi sorot mata Arman seolah bisa menembus hatinya yang rapuh.
“Kamu tahu, sejak pertama kali aku melihatmu, aku sudah merasa ada sesuatu yang berbeda,” lanjut Arman, suaranya rendah tapi penuh keyakinan.
Laras mengalihkan pandangan. “Papa… ini tidak benar.”
“Tapi kenapa kita tidak bisa menolaknya?” Arman mendekat, berdiri hanya beberapa inci dari Laras.
Laras menahan napas. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu begitu dekat. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia takut Arman bisa mendengarnya.
Seharusnya ia pergi. Seharusnya ia menolak.
Tapi saat tangan Arman perlahan mengangkat dagunya, membuat mata mereka kembali bertemu, Laras merasa seolah terjebak dalam pusaran yang tak bisa ia hindari.
“Laras…” suara Arman begitu lembut, nyaris seperti bisikan.
Detik berikutnya, sebelum akal sehatnya bisa menghentikannya, Laras merasakan bibir Arman menyentuh bibirnya.
Ciuman itu lembut, perlahan, seolah memberikan kesempatan bagi Laras untuk mundur. Tapi Laras tidak bergerak. Tubuhnya membeku, pikirannya kacau.
Ketika akhirnya Arman menarik diri, Laras terengah-engah, wajahnya memanas.
“Apa yang baru saja kita lakukan?” bisiknya, matanya penuh kebingungan.
Arman menatapnya dalam. “Sesuatu yang seharusnya tidak kita lakukan, tapi kita inginkan.”
Laras menggeleng. “Tidak, ini salah… aku… aku harus pergi.”
Tanpa menunggu reaksi Arman, Laras berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan pria itu berdiri di halaman dengan tatapan yang sulit diartikan.
Di dalam kamarnya, Laras menjatuhkan diri di tempat tidur, menekan dadanya yang masih berdebar.
Ia tahu ia telah melewati batas yang seharusnya tidak boleh disentuh.
Tapi yang lebih menakutkan, ia tidak yakin apakah ia mampu menghentikannya.*
Berikut pengembangan **Bab 6: Batas yang Kian Menipis** dengan sekitar 900 kata.
—
Bab 6: Batas yang Kian Menipis
Laras duduk di tepi ranjang, jari-jarinya saling bertaut dengan gelisah. Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian di halaman belakang, tapi pikirannya masih terus dipenuhi dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Arman.
Ia masih bisa merasakan sentuhan bibir pria itu, kelembutan yang menyesakkan dadanya. Seharusnya ia marah pada dirinya sendiri. Seharusnya ia merasa bersalah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—ada bagian dalam dirinya yang merindukan perasaan itu.
**Ini salah, Laras. Sangat salah.**
Ia mencoba mengabaikan pikirannya, tetapi sulit. Apalagi saat ia terus berhadapan dengan Arman di rumah ini.
Pagi ini, Laras sengaja bangun lebih awal untuk menghindari mertuanya. Ia ingin membuat sarapan cepat dan kembali ke kamarnya sebelum mereka bertatap muka. Namun, rencananya berantakan ketika ia menemukan Arman sudah ada di dapur lebih dulu, sedang menyesap secangkir kopi.
Laras berhenti di ambang pintu. Ia bisa saja berbalik dan kembali ke kamarnya, tapi itu hanya akan membuat keadaan semakin canggung. Maka dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju meja makan dan mulai menyiapkan sarapan.
“Tidurmu nyenyak?” Suara Arman memecah keheningan.
Laras mengangguk tanpa menoleh. “Iya.”
Arman menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas. “Laras… kita harus bicara.”
Laras terdiam. Ia tahu ini akan terjadi, tapi ia tidak siap.
“Apa yang terjadi antara kita… itu seharusnya tidak terjadi,” lanjut Arman. “Aku tahu kamu pasti merasa bersalah, begitu juga aku.”
Laras menelan ludah. “Lalu kenapa Papa melakukannya?”
Arman terdiam, seolah mencari jawaban yang tepat. “Karena aku manusia, Laras. Aku bukan pria suci yang bisa mengendalikan semua perasaan. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi.”
Laras akhirnya menatap Arman. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”
Arman meletakkan cangkirnya dengan pelan. “Kita harus berhenti.”
Jawaban itu seharusnya membuat Laras lega, tapi entah kenapa ada sedikit rasa sakit di dadanya. Ia tidak ingin mengakui perasaannya, tetapi ia tahu bahwa ia telah terjerat dalam sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan.
Laras mengangguk pelan. “Baik. Kita harus berhenti.”
Namun, saat matanya bertemu dengan mata Arman, ia tahu bahwa ucapan mereka berdua hanyalah kebohongan. Karena bagaimana mungkin mereka bisa berhenti ketika api yang sudah terlanjur menyala masih terus berkobar?
### **Godaan yang Datang Tanpa Diduga**
Hari-hari berikutnya, Laras dan Arman berusaha menjaga jarak. Mereka membatasi percakapan, tidak lagi duduk berdua di ruang tengah, dan menghindari kontak mata terlalu lama. Namun, semakin mereka berusaha menjauh, semakin besar pula godaan yang muncul di antara mereka.
Suatu sore, Laras baru saja selesai mandi ketika ia menyadari handuknya tertinggal di jemuran belakang. Dengan sedikit ragu, ia mengintip ke luar kamar. Rumah terasa sepi. Reza masih di kantor, dan Arman mungkin ada di ruang kerjanya.
Merasa aman, Laras keluar dari kamar hanya dengan mengenakan baju tidur tipisnya. Ia melangkah cepat menuju jemuran, tapi saat hendak kembali ke kamarnya, ia dikejutkan oleh sosok Arman yang berdiri di ujung lorong, menatapnya dalam diam.
Jantung Laras berdebar kencang. Ia bisa merasakan tatapan pria itu menyapu tubuhnya, membuatnya sadar betapa tipis dan membentuknya pakaian yang ia kenakan.
Laras buru-buru berbalik dan berjalan cepat ke kamarnya, tetapi sebelum ia sempat menutup pintu, sebuah tangan kuat menahannya.
Arman berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit berat.
“Laras…” suaranya serak, seolah berjuang melawan sesuatu dalam dirinya.
Laras menelan ludah. “Papa… jangan.”
Arman tidak segera menjawab. Mata mereka saling bertemu, dan dalam keheningan itu, mereka tahu bahwa mereka telah melewati batas yang seharusnya tidak mereka langkahi.
Dengan gemetar, Laras melepaskan pegangan Arman di pintu. “Tolong… jangan lakukan ini.”
Arman mengepalkan tangannya, seolah menahan diri dengan sekuat tenaga. “Aku berusaha, Laras. Aku sungguh berusaha.”
Namun, kedekatan mereka semakin menyesakkan. Laras bisa merasakan panas tubuh pria itu, bisa mendengar degup jantungnya.
Laras akhirnya menutup mata, berusaha mengusir godaan yang begitu kuat.
“Kalau begitu… pergilah, Papa.”
Arman terdiam beberapa saat sebelum akhirnya melangkah mundur. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Laras yang masih berdiri dengan tubuh lemas, berjuang mengendalikan perasaannya sendiri.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini belum berakhir.
Karena api yang sudah membara tidak akan padam begitu saja.*
Bab 7: Makin Tak Bisa Menghindar
Laras duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri. Pikirannya kacau sejak kejadian di depan pintu kamarnya tadi. Ia bisa merasakan sorot mata Arman yang penuh pergolakan, sama seperti yang ia rasakan dalam dirinya sendiri.
Mereka sudah berjanji untuk berhenti. Namun, semakin mereka berusaha menjauh, semakin besar tarikan di antara mereka.
**Ini salah, Laras. Kau harus menghentikannya sebelum semuanya terlambat.**
Namun, bagaimana bisa ia menghentikan sesuatu yang terus menerus menggodanya?
### **Reza yang Kian Sibuk**
Hari-hari berlalu dengan lebih berat bagi Laras. Reza semakin sibuk dengan pekerjaannya, bahkan kini pulang lebih larut dari sebelumnya.
“Maaf, Sayang. Aku benar-benar harus menyelesaikan proyek ini. Mungkin akhir pekan nanti kita bisa menghabiskan waktu bersama,” kata Reza di telepon malam itu.
Laras tersenyum tipis meski hatinya kosong. “Iya, tidak apa-apa. Kerja yang baik, ya.”
Setelah panggilan itu berakhir, Laras menghela napas panjang. Ia ingin merasa bahagia dengan janji suaminya, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang terasa kosong.
Saat ia beranjak keluar kamar menuju dapur, ia kembali mendapati Arman sedang duduk di meja makan, membaca koran sambil menyeruput teh.
Laras hampir berbalik, tapi suara Arman menghentikannya.
“Kemarilah, Laras.”
Laras ragu. Namun, ia tahu jika terus menghindar, kecurigaan bisa muncul. Maka dengan langkah hati-hati, ia berjalan mendekat dan duduk di kursi seberang Arman.
Arman menatapnya sejenak, lalu meletakkan korannya. “Kamu baik-baik saja?”
Laras mengangguk cepat. “Aku baik.”
Arman mendengus pelan. “Bohong.”
Laras mengalihkan tatapannya. “Kenapa Papa bilang begitu?”
“Karena aku tahu kamu tidak baik-baik saja, Laras. Aku melihatnya di matamu.”
Laras terdiam.
Arman menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Aku tahu ini sulit bagimu. Sama sulitnya seperti untukku. Tapi kita tidak bisa terus seperti ini.”
Laras menggigit bibirnya. “Aku tahu.”
“Tapi kenapa semakin kita berusaha menjauh, semakin sulit rasanya?” Arman menatapnya dalam, dan Laras merasa seolah pria itu bisa membaca isi hatinya.
Laras menggelengkan kepala, merasa semakin tersesat dalam perasaannya sendiri. “Aku tidak tahu, Papa… Aku benar-benar tidak tahu.”
### **Sebuah Sentuhan yang Tak Disengaja**
Malam itu, hujan kembali turun. Laras yang sedang sendirian di ruang tengah mencoba menenangkan pikirannya dengan membaca novel, tapi pikirannya terus melayang pada sosok Arman.
Tiba-tiba, lampu di rumah berkedip-kedip sebelum akhirnya mati total. Laras tersentak kaget dan refleks berdiri.
“Papa?” panggilnya pelan.
Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Arman muncul dari lorong dengan senter di tangannya.
“Tenang, sepertinya listrik padam karena hujan,” katanya.
Laras mengangguk, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat. Gelapnya ruangan membuat suasana terasa lebih intens. Hanya ada cahaya redup dari senter Arman, menciptakan bayangan di wajahnya yang semakin menambah aura maskulin pria itu.
“Duduklah, aku akan mencari lilin,” kata Arman.
Namun, saat Arman berbalik untuk melangkah, Laras tanpa sengaja menyentuh tangannya. Ia hanya bermaksud mencari pegangan dalam kegelapan, tapi sentuhan itu menyalakan kembali percikan di antara mereka.
Arman berhenti.
Laras bisa merasakan ketegangan dalam tubuh pria itu, dan sebelum ia sempat menarik tangannya, Arman sudah berbalik menatapnya.
“Laras…” suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.
Laras menelan ludah. “Maaf, aku tidak sengaja…”
Arman tidak menjauh. Sebaliknya, ia semakin mendekat.
“Kenapa kita terus seperti ini?” bisik Arman.
Laras menggeleng, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu…”
Dalam sekejap, Arman menariknya ke dalam pelukan. Laras bisa merasakan detak jantung pria itu yang berpacu cepat, sama seperti dirinya.
“Ini salah,” bisik Laras, meski ia tidak bergerak menjauh.
“Tapi kenapa rasanya begitu benar?” balas Arman.
Hujan di luar semakin deras, menenggelamkan suara hati yang mulai goyah. Laras tahu bahwa mereka sudah berdiri di tepi jurang, dan sekali saja mereka melangkah lebih jauh, tak ada jalan untuk kembali.
Namun, dalam dekapan itu, Laras juga tahu satu hal yang pasti—ia sudah terlalu jauh tenggelam.
Dan ia tak yakin bisa menghentikannya lagi.*
Bab 8: Larut dalam Dosa yang Manis
Hujan masih deras di luar, menyelimuti malam dengan suara gemuruh yang tak henti-hentinya. Dalam kegelapan ruang tengah, Laras masih terjebak dalam dekapan Arman.
Seharusnya ia melepaskan diri. Seharusnya ia mundur sebelum semuanya semakin dalam.
Tapi tubuhnya tak bergerak.
Napas Arman yang hangat menyapu tengkuknya, membuat Laras semakin kehilangan akal sehat. Ia bisa merasakan denyut jantung pria itu yang berirama cepat, seolah mencerminkan kegelisahan dan keinginan yang membuncah dalam dirinya.
“Laras…” Arman berbisik nyaris tanpa suara, namun Laras bisa merasakan betapa besar pertempuran dalam hatinya.
Laras memejamkan mata, menghirup aroma maskulin yang selalu membuatnya merasa nyaman sekaligus tersiksa. Ia tahu ini salah, tapi mengapa hatinya justru terasa begitu hangat dalam dekapan pria ini?
Sebuah tarikan halus membuat Laras mendongak. Mata mereka bertemu dalam cahaya redup, saling mencari jawaban dalam kebisuan. Arman mengangkat tangannya, mengusap lembut pipi Laras seolah ingin memastikan bahwa ini bukan mimpi.
Laras menelan ludah. “Papa…”
Arman tidak menjawab, tapi perlahan menundukkan wajahnya. Laras bisa merasakan embusan napas pria itu di bibirnya, begitu dekat hingga membuatnya semakin sulit bernapas.
Dan akhirnya, batas terakhir yang mereka coba pertahankan runtuh seketika.
Bibir Arman menyentuh bibir Laras, lembut pada awalnya, seolah masih ragu apakah ini yang benar-benar mereka inginkan. Tapi ketika Laras tidak menolak, ciuman itu semakin dalam, semakin menuntut.
Laras terhanyut. Tangannya tanpa sadar naik ke dada Arman, meremas kemeja pria itu seolah mencari pegangan. Sebuah desahan lirih lolos dari bibirnya ketika Arman menariknya lebih dekat, mendekapnya erat seolah tak ingin melepaskan.
Hujan semakin deras di luar, tetapi di dalam rumah, badai yang jauh lebih berbahaya tengah terjadi.
### **Penyesalan yang Terlambat**
Ketika akhirnya mereka melepaskan diri, Laras menatap Arman dengan napas tersengal. Matanya membulat, menyadari apa yang baru saja mereka lakukan.
“Apa yang kita lakukan?” bisiknya, suaranya bergetar.
Arman masih memegang pinggang Laras, tapi ada kebingungan di matanya. Ia seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak satu pun kata keluar dari bibirnya.
Laras mundur selangkah, lalu dua langkah. Dadanya naik turun cepat, seolah udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi sulit dihirup.
“Tuhan… aku… aku harus pergi.”
Tanpa menunggu respons Arman, Laras berbalik dan berlari menuju kamarnya. Ia mengunci pintu di belakangnya, menyandarkan tubuhnya yang lemas di pintu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
**Apa yang baru saja aku lakukan?**
Matanya mulai basah. Ia baru saja mengkhianati suaminya. Ia baru saja jatuh ke dalam dosa yang seharusnya tidak pernah ia lakukan.
Tapi yang lebih menakutkan dari rasa bersalah yang menghantamnya adalah kenyataan bahwa ia tidak menyesali setiap detiknya.
Ia menyentuh bibirnya yang masih terasa hangat karena ciuman Arman. Ada sesuatu di dalam dirinya yang justru menginginkan lebih.
**Laras, kau sudah gila…**
Tapi bagian terdalam dalam dirinya tahu—ia sudah terjebak, dan mungkin tidak akan pernah bisa keluar lagi.
### **Menjauh yang Mustahil**
Keesokan harinya, Laras mengurung diri di dalam kamar hampir sepanjang hari. Ia hanya keluar ketika benar-benar perlu, dan itu pun ia pastikan Arman tidak ada di sekitar.
Namun, menghindari Arman di rumah ini bukanlah hal yang mudah.
Sore itu, saat ia hendak pergi ke dapur, Laras terkejut saat mendapati Arman sudah berdiri di sana, bersandar pada meja dengan tangan terlipat di dada.
Laras langsung berhenti di ambang pintu. “Aku akan kembali nanti,” katanya cepat, berniat berbalik.
“Tunggu.”
Laras menutup matanya sesaat, berusaha menguatkan dirinya. Tapi akhirnya, ia tetap berdiri diam, menunggu Arman bicara.
“Kita harus bicara,” kata pria itu, suaranya terdengar dalam.
Laras menghela napas. “Tidak ada yang perlu dibicarakan, Papa. Apa yang terjadi semalam… anggap saja itu tidak pernah terjadi.”
Arman tersenyum miring. “Kamu benar-benar bisa menganggapnya tidak pernah terjadi?”
Laras menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan ‘ya’, tapi hatinya justru berteriak sebaliknya.
Arman melangkah mendekat. “Kalau benar kamu bisa melupakannya, kenapa kamu menghindar dariku?”
Laras tidak menjawab.
Arman semakin dekat, hingga akhirnya berdiri hanya beberapa inci dari Laras. “Aku tahu ini salah. Aku tahu kita seharusnya berhenti. Tapi, Laras… kenapa aku merasa aku tidak bisa berhenti?”
Laras menundukkan wajahnya, menahan air mata yang mulai terbentuk di pelupuk matanya. “Tolong, Papa… jangan lakukan ini.”
Arman mengangkat tangannya, hendak menyentuh wajah Laras, tetapi kali ini Laras melangkah mundur lebih dulu.
“Aku mohon… jangan mendekat lagi.” Suaranya terdengar nyaris seperti isakan.
Arman terdiam. Ia mengepalkan tangannya, menahan sesuatu dalam dirinya. Kemudian, dengan helaan napas berat, ia akhirnya mundur.
Laras segera berbalik dan pergi, tetapi ia tahu ini bukan akhir.
Ia tahu bahwa semakin ia berusaha menjauh, semakin besar tarikan yang akan menariknya kembali.
Dan ia takut, pada akhirnya, ia akan benar-benar menyerah pada godaan yang seharusnya tidak pernah ia biarkan tumbuh.*
Bab 9: Makin Dalam, Makin Tak Mampu Berhenti
Laras semakin sulit mengendalikan dirinya. Setiap kali ia berusaha menjauh dari Arman, keadaan justru mempertemukan mereka dalam situasi yang semakin berbahaya.
Ia tidak pernah menduga bahwa perasaan ini akan tumbuh sedalam ini. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hubungannya dengan Arman—mertuanya sendiri—akan sampai di titik di mana mereka nyaris tidak bisa berhenti.
Malam itu, Laras berbaring di tempat tidur, memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dipenuhi oleh Arman. Bibirnya masih mengingat sentuhan bibir pria itu, hatinya masih merasakan debaran saat berada di dalam pelukannya.
Dan yang paling menakutkan, ia merindukan semuanya.
Hatinya berperang dengan akal sehatnya.
**Laras, kau masih bisa berhenti. Kau masih bisa menarik diri sebelum semuanya benar-benar terlanjur.**
Namun, apakah ia benar-benar menginginkannya?
### **Perhatian yang Berbeda**
Sejak malam itu, Arman tidak lagi terang-terangan mencari Laras. Pria itu tetap menjaga jarak, meskipun Laras bisa merasakan sorot matanya setiap kali mereka berada dalam satu ruangan.
Namun, justru jarak itu yang membuat Laras semakin gelisah.
Sore itu, saat ia sedang menyiapkan teh di dapur, suara lembut Arman tiba-tiba terdengar di belakangnya.
“Kau kelihatan lelah.”
Laras tersentak. Ia tidak menyadari kehadiran Arman sebelumnya. Dengan cepat, ia menunduk dan berusaha mengontrol ekspresinya.
“Tidak, aku baik-baik saja,” jawabnya pelan.
Arman tidak langsung membalas. Laras bisa merasakan pria itu masih menatapnya, seolah ingin menelusuri kebohongan dalam kata-katanya.
“Kamu tidak harus berpura-pura, Laras.”
Laras menggigit bibirnya, masih tidak berani menatap pria itu. Namun, saat ia hendak menjauh, Arman tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.
Sentuhan itu membuat Laras membeku.
“Laras…” suara Arman nyaris bergetar, penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Laras menoleh, dan saat mata mereka bertemu, seketika semua pertahanan yang selama ini mereka coba bangun runtuh begitu saja.
Dalam sekejap, Arman menariknya ke dalam pelukan. Laras seharusnya menolak, tetapi tubuhnya justru bereaksi sebaliknya. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan pria itu, merasakan kehangatan yang selama ini ia rindukan.
Arman mengecup puncak kepalanya, lalu berbisik, “Aku tidak bisa lagi, Laras. Aku tidak bisa berpura-pura tidak menginginkanmu.”
Laras meremas lengan baju Arman, matanya mulai memanas. “Ini salah…”
Arman mengangkat wajahnya, menatapnya dalam-dalam. “Lalu kenapa rasanya begitu benar?”
Tanpa menunggu jawaban, Arman kembali mencium Laras, dan kali ini Laras tidak berusaha melawan.
### **Janji yang Semakin Samar**
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mendebarkan sebelum akhirnya mereka melepaskan diri. Laras menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Kita harus berhenti,” katanya lemah.
Arman menghela napas, mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Laras. “Kamu benar… Tapi bisakah kita benar-benar berhenti?”
Laras menggigit bibirnya, tidak berani menjawab.
Tiba-tiba, suara deru mobil terdengar dari luar. Laras langsung tersentak sadar. Itu pasti Reza.
Dengan cepat, ia menarik diri dari Arman dan mundur beberapa langkah. Napasnya masih memburu, tetapi ia harus segera menguasai dirinya sebelum semuanya terungkap.
Arman tampak sama tegangnya, tetapi ia segera mengendalikan ekspresinya. “Aku akan ke ruang kerja,” katanya pelan sebelum berbalik pergi.
Laras menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya melangkah keluar dari dapur.
Saat Reza masuk ke dalam rumah, ia langsung tersenyum ke arah Laras dan menghampirinya.
“Hai, Sayang,” katanya sambil mencium kening istrinya.
Laras berusaha membalas senyuman itu, tetapi hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah yang luar biasa.
Reza tidak menyadari apa pun. Pria itu masih memandangnya dengan penuh kasih sayang, mempercayainya sepenuh hati.
Dan itu membuat dada Laras semakin sesak.
### **Ketakutan yang Mulai Menyerang**
Malam itu, Laras tidak bisa tidur. Ia berbaring di samping Reza, tetapi pikirannya terus melayang pada Arman.
Ia tahu ini tidak boleh berlanjut. Ia harus menghentikan semuanya sebelum terlambat.
Namun, bagaimana caranya?
Laras tahu bahwa perasaannya pada Arman bukan sekadar godaan sesaat. Ia benar-benar jatuh, terlalu dalam hingga sulit kembali.
Tangannya meremas selimut. Apakah ia harus pergi dari rumah ini? Apakah ia harus mencari alasan untuk tinggal di tempat lain agar bisa menjauh?
Tetapi bagaimana dengan Reza?
Laras mengerang pelan. Tidak peduli seberapa besar ia berusaha mencari jalan keluar, semua kemungkinan selalu kembali pada satu kenyataan: ia dan Arman sudah terjebak.
Dan semakin mereka berusaha menghindari satu sama lain, semakin kuat tarikan di antara mereka.
Laras menoleh ke arah Reza, yang masih tertidur pulas di sampingnya.
Sebuah ketakutan baru mulai menghantui pikirannya.
Bagaimana jika semua ini terbongkar?
Bagaimana jika Reza tahu bahwa istri yang selama ini ia cintai telah mengkhianatinya dengan pria yang seharusnya menjadi ayahnya sendiri?
Laras memejamkan mata, menahan air mata yang mulai menggenang.
Ia telah melangkah terlalu jauh ke dalam jurang dosa ini.
Dan kini, ia tidak tahu apakah masih ada jalan untuk kembali.*
Bab 10: Akhir yang Tak Terelakkan
Malam itu, Laras duduk di tepi tempat tidurnya, tangannya mengepal di pangkuan. Hatinya bergejolak, pikirannya dipenuhi oleh rasa takut, penyesalan, dan sesuatu yang bahkan lebih kuat—kerinduan yang menyakitkan.
Sejak kejadian di dapur beberapa hari lalu, ia dan Arman semakin sulit menahan diri. Setiap tatapan mereka mengandung sesuatu yang tak terucapkan. Setiap sentuhan sekilas membuat tubuhnya bergetar.
Namun, yang paling menakutkan dari semuanya adalah kenyataan bahwa mereka sudah terlalu dalam.
Mereka sudah melanggar batas.
Dan sekarang, hanya masalah waktu sebelum semuanya hancur.
### **Kebenaran yang Tak Bisa Lagi Ditutupi**
Saat Laras masih larut dalam pikirannya, suara dering ponsel di meja membuatnya tersentak. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar.
**Arman.**
Laras menelan ludah. Sudah larut malam, mengapa pria itu meneleponnya sekarang?
Setelah ragu beberapa detik, akhirnya ia mengangkat panggilan itu.
“Halo?” suaranya bergetar.
“Laras, aku harus bertemu denganmu. Sekarang.” Suara Arman terdengar tegang, seolah ada sesuatu yang mendesaknya.
Jantung Laras berdetak lebih cepat. “Di mana?”
“Di taman belakang. Aku menunggumu.”
Laras menutup telepon dan segera mengenakan jaket tipis. Ia mengintip ke arah tempat tidur, memastikan Reza masih tertidur lelap sebelum keluar dari kamar dengan langkah hati-hati.
Udara malam terasa dingin saat Laras melangkah ke taman belakang. Arman sudah berdiri di sana, kedua tangannya diselipkan ke dalam saku celana, ekspresinya penuh kegelisahan.
Ketika melihat Laras datang, pria itu langsung berjalan mendekat.
“Ada apa, Papa?” Laras berbisik, mencoba meredam kegugupan dalam suaranya.
Arman menghela napas dalam sebelum akhirnya berkata, “Reza mulai curiga.”
Laras membelalakkan mata. “Apa?”
“Tadi sore, dia bertanya padaku apakah aku memperhatikan perubahan sikapmu belakangan ini.”
Laras merasa tubuhnya melemas. Ia tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi, tetapi mendengarnya langsung dari Arman tetap saja membuatnya panik.
“Apa yang harus kita lakukan?” suaranya nyaris tak terdengar.
Arman mendekat dan menggenggam tangannya. “Laras, kita harus mengakhiri ini sebelum semuanya terbongkar.”
Laras merasa jantungnya mencelos. Ia tahu Arman benar. Mereka sudah bermain api terlalu lama, dan jika mereka tidak segera berhenti, mereka akan kehilangan segalanya.
Namun… bisakah ia benar-benar melepaskan pria ini?
Tatapan mereka bertaut, dan dalam keheningan yang mencekam, Laras menyadari satu hal: ia tidak bisa.
### **Godaan Terakhir**
Tanpa sadar, Laras meremas tangan Arman lebih erat. “Aku tidak tahu apakah aku bisa…” suaranya penuh luka.
Arman menutup mata sejenak, seolah sedang menahan perasaan yang bergemuruh di dadanya. Ketika ia kembali menatap Laras, ada tekad dalam sorot matanya.
“Aku juga tidak tahu apakah aku bisa,” bisiknya.
Dan dalam sekejap, batas terakhir yang mereka coba pertahankan kembali runtuh.
Arman menarik Laras ke dalam pelukannya, dan bibir mereka kembali menyatu dalam ciuman yang penuh dengan keputusasaan dan gairah yang tak terbendung.
Ini adalah ciuman perpisahan.
Namun, justru karena itu, ciuman ini terasa lebih dalam, lebih menyakitkan.
Mereka tahu ini adalah yang terakhir, tetapi mereka ingin mengukir setiap detiknya ke dalam ingatan mereka.
Seolah-olah dengan cara ini, mereka bisa tetap memiliki satu sama lain, meski kenyataan berkata lain.
Ketika akhirnya mereka melepaskan diri, Laras merasakan air mata mengalir di pipinya.
“Aku akan pergi dari rumah ini,” katanya lirih. “Aku akan mencari alasan untuk tinggal di rumah orang tuaku sementara waktu.”
Arman mengangguk, meskipun jelas terlihat bahwa keputusan ini juga menyakitinya. “Itu yang terbaik.”
Laras mengangguk, lalu perlahan mundur. Setiap langkah terasa seperti belati yang menusuk hatinya.
Ketika ia sampai di pintu, ia menoleh sekali lagi.
Arman masih berdiri di tempatnya, menatapnya dengan ekspresi penuh kehilangan.
Dan di situlah Laras tahu—meskipun mereka memilih untuk berpisah, hati mereka sudah terikat satu sama lain selamanya.
### **Takdir yang Pahit**
Keesokan harinya, Laras mengemas barang-barangnya. Ia memberi tahu Reza bahwa ia ingin tinggal di rumah orang tuanya selama beberapa minggu untuk ‘menenangkan diri’.
Reza tidak banyak bertanya, meskipun Laras bisa melihat kebingungan di matanya.
Saat ia melangkah keluar rumah dengan koper di tangan, ia menoleh sekali lagi.
Arman berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan.
Laras ingin berlari kembali ke pelukannya. Ingin membuang semua akal sehatnya dan memilih pria itu.
Tetapi ia tahu, jika ia benar-benar melakukannya, maka kehancuran yang menunggu mereka jauh lebih besar.
Maka dengan berat hati, ia memaksakan senyum tipis, lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu…
Cinta ini tidak akan pernah benar-benar berakhir.
Ia dan Arman mungkin telah memilih untuk berpisah.
Tapi hati mereka tetap terjerat dalam dosa yang tidak akan pernah bisa mereka lupakan.***
—–the end——