Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

Ketika Adik Ipar Menjadi Godaan

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 21, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 16 mins read
Ketika Adik Ipar Menjadi Godaan

Daftar Isi

  • Bab 1: Kedatangan yang Mengusik Hati
  • Bab 2: Senyum yang Membawa Badai
  • Bab 3: Batas yang Kian Samar
  • Bab 4: Sentuhan yang Membakar
  • Bab 5: Dosa yang Terpatri dalam Hati
  • Bab 6: Di Antara Dosa dan Keinginan
  • Bab 7: Pertahanan yang Mulai Runtuh
  • Bab 9: Terperangkap dalam Dosa
  • Bab 10: Harga Sebuah Pengkhianatan

Bab 1: Kedatangan yang Mengusik Hati

Narendra menatap jalanan dari balik jendela ruang tamunya. Matanya terpaku pada sebuah mobil yang perlahan memasuki halaman rumahnya. Ia menarik napas dalam, berusaha mengabaikan kegelisahan yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. Hari ini, adik iparnya, Citra, akan tinggal bersamanya dan Laras untuk sementara waktu.

“Aku berangkat dulu ya, Mas.” Laras, istrinya, menghampiri sambil merapikan tas kerjanya. “Aku tak bisa menjemput Citra di stasiun. Kamu bisa, kan?”

Narendra mengangguk. “Tentu. Aku akan berangkat sekarang.”

Laras tersenyum, lalu mengecup pipinya sekilas sebelum melangkah keluar rumah. Narendra hanya bisa menghela napas. Sejujurnya, ia tak terlalu nyaman dengan keputusan ini. Citra masih muda, baru saja lulus kuliah, dan entah mengapa, keberadaannya selalu membuat Narendra merasa canggung.

Satu jam kemudian, di stasiun, Narendra melihat seorang gadis berambut panjang dengan wajah yang tak asing lagi. Citra. Ia mengenakan blus putih yang melekat pas di tubuhnya dan celana jeans ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Senyumnya mengembang saat melihat Narendra.

“Mas Narendra!” serunya riang sambil melambaikan tangan.

Narendra menelan ludah. Ada sesuatu dalam senyum itu yang membuatnya tak bisa berpaling. Ia segera mengendalikan pikirannya. “Citra, bagaimana perjalananmu?”

“Capek banget,” jawab Citra dengan nada manja, lalu memeluk Narendra sekilas. Pelukan itu seharusnya biasa saja, tapi entah kenapa, bagi Narendra, terasa berbeda.

Dalam perjalanan pulang, Citra tak henti-hentinya bercerita. Suaranya lembut, sesekali diselingi tawa kecil yang renyah. Narendra berusaha fokus pada kemudi, tapi kehadiran gadis itu terasa begitu nyata di sebelahnya.

Setibanya di rumah, Citra meletakkan koper dan menjelajahi ruangan dengan mata berbinar. “Rumah ini nyaman sekali,” katanya.

“Kamar kamu di lantai atas, sebelah kamar kami,” ujar Narendra.

Citra tersenyum dan mengangguk, lalu berjalan menaiki tangga. Narendra tanpa sadar memperhatikan caranya melangkah. Begitu anggun, begitu menggoda. Ia langsung mengutuk pikirannya sendiri. **Tidak! Ini hanya adik ipar. Aku tidak boleh berpikir macam-macam.**

Namun, saat Citra menoleh ke belakang dan tersenyum padanya, Narendra tahu, sesuatu dalam hidupnya akan berubah.*

Bab 2: Senyum yang Membawa Badai

Sejak kedatangannya, kehadiran Citra mulai memberi warna baru dalam rumah tangga Narendra dan Laras. Gadis itu begitu ceria dan penuh energi, berbeda dengan Laras yang lebih serius dan sibuk dengan pekerjaannya. Setiap pagi, Citra selalu bangun lebih awal, membuat sarapan, dan menyapa Narendra dengan senyumannya yang manis.

“Mas Narendra, aku buatkan kopi,” kata Citra suatu pagi, saat Narendra baru saja duduk di meja makan.

Pria itu menoleh, sedikit terkejut. Biasanya, hanya Laras yang menyiapkan kopi untuknya, itupun jika istrinya tidak terburu-buru berangkat kerja.

“Terima kasih, Citra,” ucapnya dengan canggung.

Citra membawa secangkir kopi ke hadapan Narendra, lalu duduk di kursi seberangnya. Ia mengenakan kaus longgar berwarna pastel dan celana pendek yang memperlihatkan kakinya yang jenjang. Sesuatu dalam dirinya seolah menikmati tatapan samar Narendra yang sedikit teralihkan.

“Mas, aku sudah lama nggak tinggal di sini. Rasanya seperti kembali ke masa kecil, dulu waktu aku sering main ke rumah Kak Laras,” kata Citra, sambil mengaduk kopinya dengan senyum penuh nostalgia.

Narendra tersenyum tipis. “Iya, dulu kamu masih kecil. Sekarang sudah dewasa.”

Citra terkekeh. “Jadi aku kelihatan lebih menarik sekarang?” tanyanya, nada suaranya menggoda.

Narendra tersentak. Ia tahu itu hanya gurauan, tapi cara Citra mengatakannya membuat dadanya sedikit berdebar. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Kamu sekarang kerja di mana?”

“Belum kerja. Aku masih cari-cari. Makanya sementara tinggal di sini, sekalian cari peluang di kota,” jawab Citra.

Narendra mengangguk, berusaha bersikap biasa saja. Namun, hatinya tidak bisa membohongi bahwa ada sesuatu dalam diri Citra yang mulai menggoyahkan ketenangannya.

### **Kedekatan yang Tak Disengaja**

Hari-hari berlalu, dan tanpa Narendra sadari, ia dan Citra semakin sering menghabiskan waktu berdua. Laras yang sibuk dengan pekerjaannya sering pulang larut malam, membuat Citra dan Narendra lebih banyak berbincang.

Suatu sore, saat Laras masih di kantor, Narendra duduk di ruang tamu sambil membaca koran. Citra keluar dari kamarnya dengan rambut basah, hanya mengenakan kaus putih tipis dan celana pendek. Narendra segera berpaling, berusaha tidak menatapnya terlalu lama.

“Mas, aku pinjam laptop Kak Laras ya?” tanya Citra.

Narendra berdeham, berusaha terdengar biasa saja. “Tanya Laras dulu.”

“Ah, Kak Laras pasti sibuk. Sebentar aja kok,” ujar Citra sambil tersenyum.

Narendra menghela napas, lalu kembali membaca korannya. Tapi suara langkah kaki Citra yang berjalan mendekat membuatnya sulit berkonsentrasi. Gadis itu duduk di sofa sebelahnya, lalu membuka laptop.

“Mas, bantuin aku dong. Aku mau bikin CV,” katanya sambil mendekatkan layar laptop ke arah Narendra.

Narendra berusaha tetap fokus pada layar, tapi jarak mereka yang terlalu dekat membuatnya sedikit tegang. Ia bisa mencium aroma sampo dari rambut Citra.

“Bagian mana yang perlu diperbaiki?” tanya Narendra, berusaha mengalihkan pikirannya.

Citra menatapnya dengan mata berbinar. “Kak Laras beruntung punya suami yang pintar dan perhatian,” gumamnya pelan.

Narendra menelan ludah. Ia tahu itu hanya kata-kata biasa, tapi ada sesuatu dalam cara Citra mengatakannya yang membuat hatinya bergetar. Ia segera berdiri.

“Aku ambil air dulu,” ujarnya singkat, lalu berjalan menuju dapur.

Di balik meja dapur, ia meremas jemarinya sendiri. **Ini salah. Aku tidak boleh terpengaruh. Dia hanya adik iparku.**

Namun, jauh di dalam hatinya, Narendra sadar bahwa dirinya mulai terseret dalam pesona Citra.

Dan itu membuatnya takut.*

Bab 3: Batas yang Kian Samar

Malam itu, Narendra duduk di teras belakang rumah sambil menyesap kopi hitam yang mulai mendingin. Pikirannya melayang ke kejadian-kejadian kecil bersama Citra. Senyumnya, suaranya, caranya menggoda dengan kata-kata sederhana—semuanya seperti perangkap halus yang perlahan-lahan mengikat hatinya.

Ia menggeleng, mencoba mengusir pikirannya. **Ini salah. Aku suami Laras. Aku tidak boleh tergoda.**

Namun, suara langkah kaki pelan di belakangnya membuatnya menoleh. Citra berdiri di sana dengan gaun tidur tipis, rambutnya tergerai, dan matanya berbinar saat menatapnya.

“Mas, masih belum tidur?” tanyanya lembut.

Narendra berdeham, berusaha terlihat biasa saja. “Belum. Kamu kenapa belum tidur?”

Citra duduk di kursi sebelahnya, mendekat hingga bahu mereka hampir bersentuhan. “Nggak tahu. Rasanya nggak bisa tidur. Mungkin karena suasana baru.”

Narendra mengangguk tanpa berkata-kata. Ia bisa mencium wangi tubuh Citra yang bercampur dengan aroma embun malam.

“Mas Narendra,” suara Citra lirih, “aku boleh tanya sesuatu?”

Narendra menatapnya. “Apa?”

Citra memainkan ujung rambutnya, lalu menatapnya dengan ekspresi serius. “Menurut Mas, aku ini cantik nggak?”

Jantung Narendra berdegup lebih kencang. Ia tahu ini pertanyaan berbahaya. Jika ia menjawab salah, bisa jadi itu hanya candaan. Jika ia menjawab benar, itu bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.

“Kenapa tiba-tiba tanya begitu?” Narendra berusaha menghindar.

Citra tersenyum, lalu mengangkat bahu. “Aku penasaran aja. Soalnya, beberapa orang bilang aku menarik. Tapi aku nggak tahu, apa Mas Narendra juga berpikir begitu?”

Narendra menarik napas dalam. “Citra, kamu tahu kan aku suami Laras?”

Citra terkekeh pelan. “Tahu, Mas. Aku cuma bercanda kok.”

Tapi dalam gelapnya malam, Narendra bisa melihat mata Citra yang menyimpan sesuatu. Godaan itu nyata.

### **Kebersamaan yang Tak Seharusnya**

Hari-hari berikutnya, kedekatan mereka semakin terlihat. Laras semakin sibuk dengan pekerjaannya, sering pulang larut malam atau bahkan membawa pekerjaan ke rumah.

Suatu siang, saat Laras masih di kantor, Citra masuk ke dapur saat Narendra sedang menyiapkan makanan.

“Mas Narendra bisa masak juga, ya?” tanyanya sambil tersenyum.

“Kadang-kadang,” jawab Narendra singkat.

Citra mendekat, lalu mengambil pisau dan mulai membantu memotong sayuran. Gerakannya pelan, sesekali ia mencuri pandang ke arah Narendra.

“Aku jadi suka lihat Mas Narendra di rumah. Rasanya lebih nyaman kalau ada yang nemenin,” katanya pelan.

Narendra menelan ludah. “Citra, kamu harus lebih sering keluar rumah. Cari kerja atau jalan-jalan, biar nggak bosan.”

Citra tertawa kecil. “Mas Narendra ngusir aku, nih?”

“Bukan begitu—”

Tiba-tiba, tangan Citra menyentuh tangan Narendra saat mereka sama-sama ingin mengambil piring. Sentuhan itu hanya sekilas, tapi cukup untuk membuat keduanya terdiam.

Citra menatap Narendra dalam-dalam. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Narendra merasa semakin terjebak dalam dilema yang ia ciptakan sendiri.

Ia tahu, batas antara mereka semakin samar.

Dan ia takut, suatu saat batas itu akan benar-benar hilang.*

Bab 4: Sentuhan yang Membakar

Hari itu hujan turun deras. Langit mendung menggantung rendah, menciptakan suasana yang dingin dan kelabu. Laras masih di kantor, seperti biasa, meninggalkan rumah hanya dengan dua penghuninya: Narendra dan Citra.

Di dalam rumah, Narendra duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya, mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terusik ketika Citra keluar dari kamarnya, hanya mengenakan kaus kebesaran dan celana pendek. Rambutnya masih basah, tampaknya baru selesai mandi.

“Mas, dingin ya?” Citra bergumam sambil memeluk tubuhnya sendiri.

Narendra mengangguk tanpa menoleh. “Iya. Hujannya deras sekali.”

Citra berjalan mendekat, lalu duduk di sampingnya, lebih dekat dari biasanya. “Aku boleh nonton TV di sini?” tanyanya, suaranya terdengar lembut, nyaris menggoda.

Narendra tahu ia harus pergi dari situ, mencari alasan untuk menjauh. Tapi tubuhnya terasa terpaku di tempatnya.

Citra menyalakan televisi, tapi perhatiannya justru tertuju pada pria di sebelahnya. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Narendra, memperhatikan rahang tegasnya, kerutan kecil di dahinya saat ia berpura-pura fokus bekerja.

“Mas, aku boleh pinjam jaket?” tanya Citra tiba-tiba.

Narendra menoleh dan melihat Citra yang tampak menggigil kecil. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit, mengambil jaketnya yang tergantung di dekat pintu, lalu menyerahkannya kepada Citra.

Namun, bukannya langsung memakainya, Citra malah tersenyum dan berkata, “Mas yang pakaikan dong.”

Jantung Narendra berdegup lebih cepat. **Ini bukan hal besar, kan? Aku hanya membantu memakaikan jaket.**

Dengan tangan sedikit gemetar, Narendra mendekat dan meletakkan jaket di bahu Citra. Saat ia menarik resleting ke atas, jemarinya tak sengaja menyentuh kulit halus di bawah dagu Citra.

Seketika, suasana berubah.

Mata mereka bertemu. Nafas Citra sedikit tertahan, dan Narendra bisa merasakan detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang. Ia seharusnya menjauh, tapi tubuhnya seakan membeku di tempat.

“Mas…” suara Citra hampir seperti bisikan.

Narendra tersadar. Ia segera mundur, berpura-pura mengalihkan perhatian ke laptopnya. “Sudah. Pakai baik-baik, nanti masuk angin.”

Citra masih menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Mas.”

Namun, Narendra tahu. Ada sesuatu dalam senyum itu. Sesuatu yang tidak seharusnya ada di antara mereka.

Dan ia semakin takut pada dirinya sendiri.*

Bab 5: Dosa yang Terpatri dalam Hati

Narendra duduk di tepi ranjangnya, wajahnya tertunduk, tangannya saling menggenggam erat. Ia merasakan gelombang rasa bersalah yang semakin hari semakin menekan dadanya. Sejak Citra tinggal di rumah ini, ia merasa seperti orang yang berbeda. Godaan yang dulu hanya berupa senyuman dan tatapan kini semakin nyata, semakin sulit untuk dihindari.

Ia memejamkan mata, mengingat kejadian sore tadi—sentuhan sekilas di bawah dagu Citra, tatapan mata mereka yang bertaut dalam keheningan, dan bagaimana dadanya berdegup tak karuan. Ia ingin berpikir bahwa semua itu hanyalah kebetulan, bahwa ia masih bisa mengendalikan diri.

Namun, benarkah begitu?

### **Godaan yang Kian Menggoda**

Malam itu, Narendra terbangun oleh suara langkah kaki di luar kamarnya. Ia melirik jam di nakas—sudah hampir tengah malam. Awalnya, ia mengira Laras sudah pulang, tetapi ketika ia keluar kamar, ia justru mendapati Citra yang berdiri di dapur, hanya mengenakan gaun tidur tipis.

Narendra menelan ludah. “Citra? Ngapain kamu belum tidur?”

Citra menoleh, matanya sedikit mengantuk. “Haus, Mas. Aku nggak bisa tidur.”

Narendra menghela napas dan berjalan ke kulkas, mengambil sebotol air mineral dan menyerahkannya pada Citra. Namun, saat ia hendak kembali ke kamarnya, Citra menahan pergelangan tangannya.

“Mas,” panggilnya pelan.

Narendra berhenti. Ia bisa merasakan jari-jari Citra yang hangat melingkari tangannya.

“Ada apa?” tanyanya, mencoba terdengar biasa.

Citra menggigit bibirnya sebelum berkata, “Aku merasa kesepian, Mas.”

Narendra mengerutkan kening. “Maksud kamu?”

Citra menunduk, jemarinya masih menggenggam tangan Narendra. “Di rumah ini, aku cuma bisa ngobrol sama Mas. Kak Laras sibuk, hampir nggak pernah ada buat aku. Aku ngerasa… nggak dianggap.”

Narendra merasakan sesuatu berputar di dalam dadanya. Ia tahu Laras memang sibuk, bahkan ia sendiri sering merasa diabaikan. Tapi bukan berarti ini menjadi alasan untuk membenarkan kedekatannya dengan Citra.

“Citra,” katanya pelan, “kamu tahu ini salah, kan?”

Citra menatapnya, mata beningnya tampak berkilat di bawah cahaya lampu dapur. “Salah kalau aku ingin Mas ada di sampingku?”

Narendra terdiam. Ia tahu jawabannya. **Ya, ini salah. Ini berbahaya.**

Namun, tubuhnya tak bergerak, seakan ada kekuatan tak terlihat yang menahannya di tempat.

Citra menarik tangannya perlahan, mendekatkan wajahnya ke arah Narendra. “Mas, apa pernah kepikiran… kalau mungkin kita nggak seharusnya menahan perasaan kita?”

Deg.

Jantung Narendra berdetak lebih cepat. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mencengkeram tenggorokannya, membuatnya sulit bernapas.

“Citra… kita tidak bisa melakukan ini,” bisiknya, meskipun suaranya sendiri terdengar tidak yakin.

Namun, Citra tidak mundur. Sebaliknya, ia semakin mendekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. “Tapi Mas juga ngerasain hal yang sama, kan?”

Narendra mengatupkan rahangnya. Ia ingin mengatakan tidak, ingin mengusir semua perasaan ini. Tapi bohong jika ia berkata bahwa ia tidak terpengaruh.

Ia menutup mata, berusaha mencari kendali dalam dirinya. **Aku tidak boleh jatuh. Aku tidak boleh menghancurkan pernikahanku.**

Narendra membuka matanya kembali, lalu dengan lembut menarik tangannya dari genggaman Citra. “Ini tidak boleh terjadi, Citra.”

Citra terdiam. Ada sedikit kekecewaan di matanya, tapi juga ada sesuatu yang lain—sebuah tantangan.

“Kalau gitu, Mas tidur lagi ya,” katanya, tersenyum tipis sebelum berbalik masuk ke kamarnya.

Narendra menghela napas panjang, lalu berjalan kembali ke kamarnya. Namun, saat ia menutup pintu, ia menyadari satu hal:

**Citra tidak akan berhenti sampai di sini.**

Dan itu membuatnya semakin takut pada dirinya sendiri.*

Bab 6: Di Antara Dosa dan Keinginan

Sejak kejadian malam itu, Narendra berusaha menjaga jarak dengan Citra. Ia menghindari tatapan mata gadis itu, membatasi interaksi, dan mencoba bersikap lebih tegas. Namun, semakin ia menjauh, semakin besar pula dorongan dalam dirinya untuk mendekat.

Citra tidak berhenti menggoda. Setiap kali Laras tidak ada di rumah, ia selalu mencari alasan untuk berbincang dengan Narendra, entah itu meminta bantuan hal sepele atau sekadar duduk di dekatnya dengan senyuman penuh arti.

Pagi ini, saat Narendra sedang membaca koran di ruang tamu, Citra muncul dengan pakaian yang membuatnya menelan ludah—tank top ketat dan celana pendek yang memperlihatkan kulit mulusnya. Ia membawa dua cangkir kopi dan meletakkan satu di depan Narendra.

“Mas, aku buatkan kopi,” katanya sambil tersenyum manis.

Narendra berdeham, mencoba fokus pada korannya. “Terima kasih.”

Citra duduk di sofa sebelahnya, menyilangkan kaki dengan gerakan yang begitu anggun dan menggoda. “Mas Narendra sibuk banget sih belakangan ini. Kayaknya jarang ngobrol sama aku.”

Narendra masih pura-pura membaca koran. “Aku memang lagi banyak kerjaan.”

Citra tersenyum miring. “Atau… Mas sengaja menghindar dariku?”

Deg.

Narendra akhirnya menurunkan korannya dan menatap Citra. “Citra, aku nggak mau ada kesalahpahaman di antara kita.”

Citra mengangkat alisnya, masih dengan senyum menggoda. “Kesalahpahaman apa, Mas?”

Narendra menghela napas, lalu meletakkan korannya di atas meja. “Aku suami kakakmu. Dan kita tidak boleh… terlalu dekat.”

Citra menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum kecil. “Aku tahu, Mas. Tapi salah nggak kalau aku merasa nyaman sama Mas?”

Narendra terdiam. Ia tahu harus menjawab ‘ya,’ harus tegas mengatakan bahwa ini salah. Tapi kata-kata itu seakan tertahan di tenggorokannya.

Citra tersenyum semakin lebar, lalu dengan santai bersandar ke sofa. “Mas, tahu nggak? Dari dulu aku selalu kagum sama Mas. Bahkan sebelum Kak Laras menikah sama Mas, aku sudah sering mendengar cerita tentang Mas dari dia. Waktu kecil, aku sering berkhayal, andai aku punya pasangan seperti Mas Narendra.”

Jantung Narendra berdebar semakin cepat. “Citra, ini sudah kelewatan.”

Citra menghela napas, lalu menatapnya dengan tatapan yang tidak lagi sekadar menggoda—tapi penuh dengan emosi. “Maaf, Mas. Aku nggak bisa pura-pura lagi.”

Tiba-tiba, ia meraih tangan Narendra, menggenggamnya erat. “Aku tahu ini salah. Aku tahu Mas berusaha menjauh. Tapi Mas juga tahu, kan? Kita nggak bisa terus berpura-pura nggak merasakan apa-apa.”

Narendra menelan ludah. Ia bisa merasakan kelembutan tangan Citra, kehangatan yang seharusnya tidak pernah ia rasakan. Tapi ia tidak menarik tangannya.

Ia terlalu lemah.

Ketika Citra sedikit mendekat, mata mereka bertemu dalam ketegangan yang sulit dijelaskan. Hanya ada satu langkah lagi yang akan membawa mereka ke jurang yang lebih dalam.

Namun, sebelum hal itu terjadi, suara mobil Laras di depan rumah membuat mereka berdua tersentak.

Narendra langsung menarik tangannya, sementara Citra buru-buru berdiri dan berusaha bersikap normal.

Laras masuk dengan wajah lelah. “Aku pulang,” katanya singkat, meletakkan tasnya di meja.

Narendra bangkit, berusaha menutupi kegelisahannya. “Kamu mau makan? Aku bisa buatkan sesuatu.”

Laras menggeleng. “Aku capek banget, Mas. Mau istirahat aja.”

Laras pun langsung berjalan ke kamar, meninggalkan Narendra dan Citra yang masih berdiri di ruang tamu dengan ketegangan yang belum reda.

Citra menoleh pada Narendra dan tersenyum tipis. “Lain kali, jangan berusaha terlalu keras buat menolak sesuatu yang sebenarnya Mas inginkan.”

Setelah mengatakan itu, ia pun pergi ke kamarnya, meninggalkan Narendra yang berdiri kaku dengan dada berdebar.

Ia tahu, perang batin ini belum berakhir.

Dan yang lebih menakutkan, ia mulai takut akan kekalahannya sendiri.*

Bab 7: Pertahanan yang Mulai Runtuh

Narendra semakin terjebak dalam dilema yang menyesakkan. Ia telah berusaha menjaga jarak, berusaha setia pada Laras, tapi setiap kali ia mencoba menghindar, Citra selalu menemukan cara untuk menariknya kembali.

Hari itu, Laras kembali bekerja sejak pagi dan dipastikan baru pulang larut malam. Narendra mencoba menghabiskan waktu di ruang kerja, berharap dengan tetap sibuk, ia bisa mengalihkan pikirannya dari Citra.

Namun, usahanya sia-sia.

Menjelang sore, pintu ruang kerja diketuk pelan, lalu terbuka sebelum Narendra sempat menjawab. Citra masuk dengan membawa sepiring camilan dan secangkir teh.

“Mas, aku bawakan ini buat Mas biar nggak kelaparan,” katanya dengan senyum yang begitu hangat.

Narendra menatapnya sejenak, lalu menghela napas. “Citra, kamu nggak perlu repot-repot.”

“Aku senang, kok,” jawabnya ringan, lalu meletakkan piring dan cangkir itu di meja kerja Narendra.

Citra tidak segera pergi. Ia tetap berdiri di dekat Narendra, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Seakan sedang menunggu sesuatu.

Narendra mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi kehadiran Citra di ruangan kecil itu menciptakan aura yang sulit ia abaikan. Wangi tubuhnya, kelembutan suaranya, dan cara gadis itu menatapnya seperti seseorang yang menginginkan sesuatu yang tak seharusnya diinginkan.

“Mas,” panggil Citra lirih.

Narendra menoleh dan terperangkap dalam tatapan itu. Ada sesuatu yang berputar dalam dada Citra—sebuah keberanian yang semakin besar untuk menyuarakan perasaannya.

“Aku nggak bisa terus pura-pura,” lanjutnya. “Aku suka sama Mas.”

Narendra tercekat. Kata-kata itu akhirnya keluar. Kata-kata yang seharusnya tidak pernah ia dengar dari adik iparnya sendiri.

“Citra, jangan…” Narendra mencoba menghentikannya, tapi Citra sudah melangkah lebih dekat.

“Aku tahu ini salah. Aku tahu Mas mencintai Kak Laras. Tapi…” Citra menggigit bibirnya, suaranya bergetar, “aku nggak bisa membohongi perasaanku. Aku sudah lama menyukai Mas. Dan semakin aku berusaha menahan, semakin sulit rasanya.”

Narendra berdiri, mencoba menciptakan jarak. “Citra, kita nggak bisa melakukan ini.”

Citra tersenyum sedih. “Mas benar-benar nggak merasakan apa-apa?”

Narendra ingin mengatakan tidak. Ia ingin mengatakan bahwa semua ini hanyalah kesalahpahaman belaka. Tapi ia tahu, itu bohong.

Perasaannya kacau. Ia tidak bisa lagi menyangkal bahwa ia terpengaruh oleh kehadiran Citra. Bahwa ia menyukai perhatian gadis itu. Bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang mulai retak.

Namun, sebelum ia bisa menjawab, tiba-tiba Citra melangkah semakin dekat dan meraih tangannya. Sentuhan itu begitu lembut, begitu hangat, begitu menggoda.

Narendra terdiam, merasakan tangan mungil Citra menggenggam jemarinya dengan erat. “Mas… kalau Mas benar-benar nggak punya perasaan apa-apa sama aku, tolong katakan sekarang. Aku akan berhenti.”

Jantung Narendra berdebar kencang. Ia tahu ini adalah titik balik. Jika ia mengatakan sesuatu yang salah, tidak akan ada jalan kembali.

Ia harus menolak. Ia harus menghentikan ini.

Tapi kenapa mulutnya terasa begitu berat untuk mengucapkan kata itu?

Sunyi melingkupi mereka berdua. Hanya ada tatapan yang saling berbicara dalam diam.

“Citra…” akhirnya Narendra membuka suara. “Aku…”

Namun sebelum kata-kata itu selesai, suara ponsel Laras berdering dari meja.

Narendra langsung tersadar, seakan tersentak dari hipnotis yang hampir menyeretnya ke dalam dosa. Ia buru-buru menarik tangannya dan melangkah mundur.

Citra menggigit bibirnya, wajahnya tampak kecewa.

“Aku harus angkat telepon ini,” kata Narendra cepat, sebelum mengambil ponselnya dan berjalan keluar ruangan.

Sementara itu, Citra tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Narendra yang menjauh. Air matanya menggenang.

Ia tidak tahu apakah perasaannya harus ia pertahankan, atau ia harus menyerah pada keadaan.

Namun satu hal yang ia yakini—Narendra tidak menolak sepenuhnya.

Dan itu memberinya harapan.*

Bab 8: Hasrat yang Tak Terkendali

Narendra merasa seperti orang asing di dalam rumahnya sendiri. Sejak kejadian di ruang kerja, perasaannya terus berkecamuk. Ia tahu bahwa seharusnya ia bersikap lebih tegas terhadap Citra, tapi nyatanya, ia tidak bisa mengusir gadis itu dari pikirannya.

Sementara itu, Citra semakin berani. Seakan tahu bahwa Narendra tidak bisa sepenuhnya menolaknya, ia mulai mencari kesempatan untuk semakin mendekat.

Malam itu, Laras masih di kantor, seperti biasa. Narendra duduk di teras rumah, mencoba menikmati udara malam sambil menenangkan pikirannya. Ia berharap ketenangan ini bisa meredam gejolak dalam dadanya.

Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama.

Tiba-tiba, Citra keluar dari dalam rumah, mengenakan gaun tidur satin tipis yang membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya tergerai, matanya bersinar di bawah cahaya lampu temaram.

Narendra menegang. Ia ingin berdiri dan masuk ke dalam rumah, tapi sebelum ia bisa melangkah, Citra sudah duduk di kursi sebelahnya.

“Mas, masih belum tidur?” tanyanya dengan suara lembut.

Narendra menelan ludah. “Belum ngantuk.”

Citra tersenyum kecil. “Aku juga. Rasanya malam ini terlalu sunyi.”

Narendra mengalihkan pandangannya ke jalanan, berusaha menghindari tatapan Citra. “Citra, aku pikir kita harus bicara.”

Citra menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. “Tentang apa, Mas?”

Narendra menghela napas berat. “Tentang kita.”

Citra menoleh dan tersenyum miring. “Kita?” Ia menekankan kata itu, seolah menantang. “Sejak kapan ada ‘kita,’ Mas?”

Narendra terdiam. Ia tahu Citra sedang bermain kata, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa memang ada sesuatu di antara mereka—sesuatu yang semakin sulit ia kendalikan.

“Citra, aku nggak mau ada yang terluka,” katanya pelan. “Aku suami Laras. Dan kamu…”

“Aku apa, Mas?” Citra menyela, suaranya semakin lirih. “Adik ipar Mas? Hanya seseorang yang harus Mas jaga jaraknya?”

Narendra tidak menjawab.

Citra menggeser duduknya, mendekati Narendra. “Mas…” suaranya begitu lembut, penuh perasaan. “Apa Mas benar-benar nggak pernah memikirkan aku? Bahkan sedikit pun?”

Narendra mengepalkan tangannya di atas paha. “Citra, jangan…”

Tapi Citra tidak menggubrisnya. Ia mengangkat tangannya, lalu dengan berani menyentuh wajah Narendra. Sentuhan itu begitu ringan, namun terasa seperti bara yang membakar kulitnya.

Narendra menahan napas.

“Aku tahu Mas berusaha melawan,” bisik Citra. “Tapi aku bisa merasakan… Mas juga menginginkanku.”

Narendra memejamkan mata. Ia tahu ia harus mendorong Citra menjauh, harus segera pergi dari situ sebelum segalanya menjadi semakin rumit.

Namun tubuhnya tetap diam.

Citra semakin mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Narendra. Bibir mereka hampir bersentuhan.

Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah ketegangan.

Narendra tersentak dan langsung berdiri. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku—nama Laras tertera di layar.

Dengan tangan gemetar, ia menjawab panggilan itu. “Halo?”

“Mas, aku masih di kantor. Kayaknya bakal lembur lagi malam ini,” suara Laras terdengar lelah di seberang sana. “Kamu nggak apa-apa di rumah?”

Narendra mengusap wajahnya, mencoba mengatur napasnya yang berantakan. “Iya, aku nggak apa-apa.”

“Kalau gitu, aku nggak usah khawatir, ya?”

Narendra melirik ke arah Citra yang masih duduk di kursi, menatapnya dengan tatapan tajam penuh keinginan.

Dengan suara yang nyaris bergetar, Narendra menjawab, “Iya, nggak usah khawatir.”

Setelah menutup telepon, Narendra berbalik dan melangkah cepat menuju pintu rumah. Tapi sebelum ia bisa masuk, suara Citra menghentikannya.

“Mas,” panggilnya lirih.

Narendra tidak menoleh.

“Aku tahu Mas berusaha menolak.” Citra berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih dalam. “Tapi suatu saat, Mas akan menyerah.”

Narendra menutup matanya, lalu masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Namun, di dalam hatinya, ia tahu—pertahanannya semakin rapuh.

Dan mungkin, hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia jatuh ke dalam godaan yang tak terhindarkan.*

Bab 9: Terperangkap dalam Dosa

Malam semakin larut, tetapi Narendra tidak bisa tidur. Ia berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang kacau. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Citra—tatapannya, suaranya, sentuhannya.

Narendra merasa seperti pria lemah yang tidak bisa menahan godaan. Ia seharusnya bisa lebih tegas. Seharusnya ia bisa menolak. Tapi kenyataannya, ia semakin goyah.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamarnya. Narendra langsung tersentak. Dadanya berdegup kencang.

Siapa lagi kalau bukan Citra?

Ia diam, berharap Citra akan pergi jika ia tidak merespons. Tapi ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih lama.

Akhirnya, dengan napas berat, ia bangkit dan membuka pintu.

Seperti yang ia duga, Citra berdiri di sana. Ia hanya mengenakan gaun tidur yang sama seperti tadi—tipis, membentuk lekuk tubuhnya dengan begitu jelas. Rambutnya sedikit berantakan, dan tatapan matanya berbinar dalam temaram lampu koridor.

Narendra menelan ludah. “Citra, apa yang kamu lakukan?” bisiknya tegas.

Citra tidak menjawab. Ia hanya melangkah masuk ke dalam kamar, memaksa Narendra mundur.

“Citra, ini nggak benar,” lanjut Narendra, mencoba menahan diri.

Namun Citra tetap maju, hingga jarak mereka nyaris tidak ada.

“Mas,” suaranya begitu lirih, hampir seperti bisikan. “Jangan bohongi dirimu sendiri.”

Narendra memejamkan mata. “Citra, aku mohon…”

Citra mengangkat tangannya, menyentuh pipi Narendra dengan lembut. “Aku nggak bisa lagi menahan perasaanku, Mas,” ucapnya penuh emosi. “Aku tahu ini salah. Tapi aku juga tahu Mas merasakan hal yang sama.”

Narendra gemetar. Ia tahu bahwa ini adalah batas terakhirnya. Jika ia tidak menghentikan ini sekarang, semuanya akan berakhir dalam penyesalan.

Namun, saat Citra semakin mendekat, saat napas hangatnya menyapu wajahnya, Narendra kehilangan kendali.

Dan di detik berikutnya, batas itu pun runtuh.

Citra menarik wajahnya lebih dekat, dan Narendra tidak lagi berusaha menghindar. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang awalnya ragu, tapi kemudian semakin dalam, semakin menggebu.

Dalam sekejap, seluruh dinding moral yang selama ini ia bangun runtuh begitu saja. Ia membiarkan dirinya terhanyut dalam lautan dosa, tanpa lagi memikirkan konsekuensi yang akan datang.

Malam itu, Narendra dan Citra melangkah melewati batas yang seharusnya tidak mereka langkahi.

Dan setelah semuanya terjadi, hanya ada keheningan yang menyelimuti mereka.

Tapi di balik keheningan itu, ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan—sebuah kenyataan bahwa mereka telah melakukan kesalahan yang tidak akan pernah bisa dihapus.*

Bab 10: Harga Sebuah Pengkhianatan

Pagi datang dengan cahaya yang menelusup masuk melalui celah tirai kamar. Narendra membuka matanya perlahan, kepalanya terasa berat, dan dadanya penuh sesak oleh perasaan bersalah yang menyesakkan.

Ia menoleh ke samping.

Citra masih tertidur di sampingnya, wajahnya terlihat begitu damai, seakan tidak ada yang salah. Rambutnya berantakan di atas bantal, selimut yang menutupi tubuhnya sedikit melorot, memperlihatkan kulitnya yang masih menyisakan jejak dari malam penuh dosa yang mereka lewati.

Narendra segera bangkit, duduk di tepi ranjang, memegang kepalanya yang berdenyut.

Apa yang sudah ia lakukan?

Ia mengkhianati Laras. Ia melanggar batas yang seharusnya tidak boleh ia sentuh.

Suara napas Citra yang tenang di belakangnya membuatnya semakin gelisah. Ia harus keluar dari kamar ini sebelum semuanya semakin sulit. Dengan hati-hati, ia mengambil pakaiannya dan mengenakannya tanpa suara.

Namun, sebelum ia bisa melangkah pergi, suara lembut menghentikannya.

“Mas…”

Narendra menoleh. Citra sudah terbangun, matanya masih sedikit mengantuk, tapi bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “Kenapa buru-buru?”

Narendra menelan ludah. “Citra… kita tidak seharusnya melakukan ini.”

Citra duduk, menarik selimutnya ke dada, menatap Narendra dengan mata yang penuh arti. “Tapi kita sudah melakukannya, Mas.”

Narendra berdiri, menggigit bibirnya dengan frustasi. “Ini salah. Aku mencintai Laras.”

Citra tersenyum tipis. “Tapi tadi malam Mas bersamaku, bukan Kak Laras.”

Narendra menutup mata, mencoba meredam kekacauan dalam kepalanya. “Citra, ini tidak boleh terjadi lagi.”

Citra terdiam sejenak, lalu mendesah. “Mas benar-benar menyesal?”

Narendra menatapnya tajam. “Iya.”

Senyum di wajah Citra perlahan menghilang. Ada luka di matanya, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya diam, lalu menunduk.

Narendra menghela napas panjang. “Aku harus keluar dari sini.”

Namun, sebelum ia bisa bergerak, suara pintu depan yang terbuka membuatnya membeku di tempat.

Narendra dan Citra saling berpandangan dengan mata melebar.

“Laras?” suara Narendra nyaris bergetar.

Citra buru-buru menarik selimutnya erat-erat, sementara Narendra dengan panik merapikan pakaiannya.

Terdengar suara langkah kaki di ruang tamu. “Mas? Aku sudah pulang.”

Jantung Narendra berdentum keras. Laras pulang lebih awal dari yang ia duga!

Dengan gerakan cepat, Narendra membuka pintu kamar, melangkah keluar, dan menutupnya di belakangnya dengan hati-hati.

Di ruang tamu, Laras sedang meletakkan tasnya di sofa. Wajahnya terlihat kelelahan, tapi matanya berbinar saat melihat suaminya.

“Mas,” katanya sambil tersenyum. “Aku kangen.”

Narendra memaksakan senyum. “Kamu pulang cepat?”

“Iya, bos membatalkan beberapa meeting, jadi aku bisa pulang lebih awal,” jawab Laras sambil berjalan mendekat. “Kamu belum sarapan? Aku bisa masak sesuatu buat kita.”

Narendra menelan ludah, merasa dadanya semakin sesak oleh rasa bersalah.

Dari dalam kamar, ia bisa merasakan keberadaan Citra yang masih bersembunyi. Seandainya Laras tahu apa yang baru saja terjadi di dalam sana…

Ia hampir tidak sanggup membayangkan reaksi istrinya.

“Mas?” Laras menyentuh lengannya, membuatnya tersentak. “Kamu kenapa? Kelihatan aneh.”

Narendra buru-buru menggeleng. “Nggak, aku cuma masih ngantuk.”

Laras tersenyum. “Kalau gitu, ayo aku buatkan kopi.”

Narendra hanya bisa mengangguk, membiarkan istrinya berlalu menuju dapur.

Saat Laras menghilang dari pandangan, pintu kamar Citra terbuka sedikit. Kepala Citra menyembul keluar, wajahnya tampak tegang.

Narendra menggelengkan kepala pelan, memberi isyarat agar Citra tetap di dalam.

Citra menggigit bibirnya, lalu kembali menutup pintu dengan hati-hati.

Narendra menutup matanya, mengambil napas panjang.

Ia tahu, tidak peduli seberapa keras ia mencoba menutupi semuanya, dosa ini akan terus menghantui mereka.

Dan yang lebih menakutkan lagi—ia tidak yakin bisa menghentikan dirinya sendiri jika Citra kembali menggoda.

**Akhir? Atau justru awal dari kehancuran?***

——-the end——

Source: YONGKI
Tags: #cintaterlarang#DramaRomantisforbiddenloveKonflikKeluargaPerselingkuhan
Previous Post

AKU BUCIN, KAMU TAK PEDULI

Next Post

AKU MENCINTAI MU UNTUK MEMBALAS DENDAM KU

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
AKU MENCINTAI MU UNTUK MEMBALAS DENDAM KU

AKU MENCINTAI MU UNTUK MEMBALAS DENDAM KU

CINTA PERTAMA YANG MENGUBAH SEGALANYA

CINTA PERTAMA YANG MENGUBAH SEGALANYA

PENGORBANAN CINTA

PENGORBANAN CINTA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id