Daftar Isi
- Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
- Bab 2: Rasa yang Tak Seharusnya Ada
- Bab 3: Antara Kesetiaan dan Godaan
- Bab 4: Langkah yang Terlalu Jauh
- Bab 5: Bayang-Bayang Dosa
- Bab 6: Rahasia yang Mulai Terbongkar
- Bab 7: Cinta yang Membawa Luka
- Bab 8: Ketika Cinta Tak Lagi Sama
- Bab 9: Mencari Diri yang Hilang
- Bab 10: Menyambut Hari Baru
Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
Langit malam di kota ini bertabur cahaya lampu yang berpendar dari gedung-gedung tinggi. Adrian menyesap minuman di tangannya, matanya menyapu ruangan yang dipenuhi tamu-tamu undangan yang berdandan elegan. Malam itu, ia menghadiri acara gala dinner yang diadakan oleh salah satu perusahaan besar. Sebagai seorang arsitek muda yang sedang naik daun, Adrian sering diundang ke berbagai acara sosial seperti ini.
Namun, entah mengapa, ada perasaan hampa yang selalu menyertainya setiap kali menghadiri acara seperti ini. Keramaian dan suara tawa yang menggema terasa seperti latar kosong yang tidak berarti. Adrian menatap gelasnya, berpikir untuk pergi lebih awal, ketika matanya menangkap sosok yang membuatnya membeku sejenak.
Seorang wanita berdiri di sudut ruangan, mengenakan gaun berwarna merah marun yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambut panjangnya tergerai dengan indah, dan matanya memancarkan keteduhan yang sulit diabaikan. Ada sesuatu dalam caranya tersenyum, dalam caranya berbicara dengan orang-orang di sekitarnya, yang membuat Adrian terpikat.
Seolah merasakan tatapannya, wanita itu mengalihkan pandangannya dan menatap langsung ke arah Adrian. Tatapan mereka bertemu, dan dalam beberapa detik yang terasa begitu lama, ada sesuatu yang bergetar di dalam dada Adrian. Sesuatu yang ia sendiri tidak bisa jelaskan.
Sebelum ia bisa mengendalikan dirinya, langkahnya sudah membawanya mendekati wanita itu. “Malam yang indah, bukan?” Adrian membuka percakapan dengan suara tenang namun penuh ketertarikan.
Wanita itu tersenyum, senyuman yang begitu halus namun menusuk langsung ke dalam hati Adrian. “Ya, sangat indah,” jawabnya. Suaranya lembut, tapi ada sesuatu di dalamnya yang terasa jauh lebih dalam.
“Adrian,” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Karina,” wanita itu memperkenalkan dirinya sambil menyambut uluran tangan Adrian.
Ada kehangatan aneh yang menjalar saat kulit mereka bersentuhan, membuat Adrian enggan melepaskan genggamannya terlalu cepat. Percakapan mereka mengalir dengan begitu alami, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sampai sebuah suara berat menyela.
“Sayang, aku mencarimu.”
Adrian menoleh dan mendapati seorang pria bertubuh tegap berdiri di samping Karina. Matanya penuh wibawa, dan cara pria itu merangkul pinggang Karina membuat semuanya menjadi jelas.
“Kenalkan, ini suamiku, Reza,” ujar Karina dengan senyum yang sedikit berbeda.
Adrian tersenyum samar, menyembunyikan rasa kecewa yang tiba-tiba menyerangnya. Dia baru saja jatuh hati pada seorang wanita yang ternyata sudah menjadi milik orang lain.
Namun, dalam sorot mata Karina yang bertemu dengan matanya sekali lagi, Adrian tahu satu hal: kisah ini belum selesai.*
Bab 2: Rasa yang Tak Seharusnya Ada
Adrian menatap ke luar jendela apartemennya, pikirannya masih terjebak dalam bayangan Karina. Sudah tiga hari berlalu sejak gala dinner itu, tetapi senyum dan tatapan wanita itu masih melekat di benaknya. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja, namun sia-sia. Setiap kali ia menutup mata, wajah Karina muncul begitu saja.
“Apa aku sudah gila?” gumamnya sambil menghela napas.
Adrian tahu ini salah. Dia bukan tipe pria yang tertarik pada wanita yang sudah menikah. Selama ini, dia selalu berprinsip untuk tidak mencampuri hubungan orang lain. Tapi ada sesuatu dalam diri Karina yang membuatnya sulit berpaling.
Tanpa sadar, tangannya meraih ponsel. Jari-jarinya berhenti tepat di atas ikon media sosial, mencoba mencari nama “Karina” di daftar pencariannya. Namun, ia mengurungkan niatnya. **Untuk apa?** Hanya akan semakin menyiksa dirinya sendiri.
Adrian akhirnya mengalihkan perhatiannya dengan membaca laporan proyek yang sedang dikerjakannya. Ia mencoba tenggelam dalam pekerjaannya, berharap bisa mengusir Karina dari pikirannya.
Namun, takdir tampaknya punya rencana lain.
### **Pertemuan Tak Terduga**
Sore itu, Adrian memutuskan untuk bersantai di sebuah kafe dekat kantornya. Ia memilih duduk di sudut ruangan sambil menyeruput kopi hitam favoritnya. Matanya menyapu sekeliling ruangan, menikmati suasana tenang yang jarang ia rasakan.
Namun, ketenangan itu buyar ketika pintu kafe terbuka dan seseorang melangkah masuk.
Karina.
Ia berdiri di dekat pintu, mengenakan blouse putih sederhana yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Rambutnya yang panjang tergerai lembut, dan wajahnya tampak sedikit lelah.
Adrian menegakkan tubuhnya, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Apa ini kebetulan atau takdir?
Karina tampak terkejut melihat Adrian. Ada keraguan di matanya sebelum akhirnya ia tersenyum tipis dan melangkah mendekat.
“Kita bertemu lagi,” ucapnya dengan suara lembut.
“Sepertinya dunia ini sempit,” jawab Adrian dengan senyum simpul.
Karina melirik ke sekeliling, lalu tanpa ragu menarik kursi di hadapan Adrian. “Boleh aku duduk?”
“Tentu.”
Adrian mencoba bersikap biasa, tetapi hatinya bergejolak. Karina, wanita yang terus menghantuinya selama beberapa hari ini, kini duduk di hadapannya.
“Apa kau sering ke sini?” tanya Karina, membuka percakapan.
“Ya. Kafe ini favoritku. Tempat yang nyaman untuk berpikir,” jawab Adrian jujur.
Karina mengangguk pelan, lalu menatap secangkir kopi yang baru saja diletakkan pelayan di mejanya. “Aku juga suka tempat-tempat seperti ini. Kadang, aku butuh waktu sendiri untuk berpikir.”
Adrian menangkap nada sendu dalam suaranya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya hati-hati.
Karina terdiam sejenak, seolah ragu untuk menjawab. Lalu, ia tersenyum samar. “Hanya sedikit lelah dengan rutinitas.”
Adrian tidak ingin menekan lebih jauh, tetapi ia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu wanita itu.
Mereka terus berbincang, mengobrol tentang hal-hal ringan seperti pekerjaan dan hobi. Namun, semakin lama mereka berbicara, semakin Adrian menyadari betapa nyamannya ia berada di dekat Karina. Wanita itu bukan hanya cantik, tetapi juga cerdas dan menyenangkan.
Waktu terasa berjalan begitu cepat hingga Karina akhirnya melirik jam tangannya dan terkejut. “Astaga, aku harus pulang,” katanya buru-buru.
Adrian hanya tersenyum tipis. “Hati-hati di jalan.”
Karina bangkit dari tempat duduknya, tetapi sebelum pergi, ia menatap Adrian sejenak. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang sulit diartikan.
“Senang berbicara denganmu, Adrian.”
Adrian hanya bisa membalas dengan anggukan. Namun, begitu Karina melangkah pergi, ia sadar satu hal: **rasa ini tidak seharusnya ada, tetapi ia tak bisa menghindarinya.**
### **Godaan yang Makin Kuat**
Hari-hari berikutnya, Adrian berusaha keras untuk mengabaikan perasaannya. Namun, semakin ia mencoba melupakan Karina, semakin sering mereka bertemu. Entah kebetulan atau takdir, Karina selalu muncul di tempat-tempat yang dikunjungi Adrian—di restoran, di galeri seni, bahkan di taman kota saat ia sedang berlari pagi.
Setiap pertemuan mereka terasa semakin akrab. Awalnya hanya sapaan singkat, lalu berkembang menjadi percakapan panjang. Adrian bisa merasakan bahwa Karina juga menikmati kebersamaan mereka, meskipun ada batas tak kasat mata yang selalu ia coba pertahankan.
Namun, batas itu perlahan memudar.
Suatu malam, Adrian sedang duduk di balkon apartemennya ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
_”Adrian, ini Karina. Aku tak tahu harus menghubungi siapa. Bisakah kita bertemu?”_
Jantung Adrian berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam pesan itu yang terasa mendesak.
Tanpa ragu, ia langsung membalas. _”Di mana kau?”_
Karina mengirim lokasi—sebuah taman kecil di dekat apartemen Adrian.
Lima belas menit kemudian, Adrian sudah tiba di sana. Ia melihat Karina duduk di bangku taman, wajahnya tampak gelisah.
“Ada apa?” tanya Adrian lembut saat ia duduk di sampingnya.
Karina menatap ke depan, enggan menatap Adrian. “Aku hanya… butuh seseorang untuk diajak bicara,” gumamnya.
Adrian tidak menekan lebih jauh. Ia hanya duduk di sana, menunggu Karina berbicara.
Beberapa saat kemudian, Karina menghela napas dalam. “Aku lelah, Adrian. Aku lelah berpura-pura semuanya baik-baik saja.”
Adrian merasakan sesuatu mencengkeram hatinya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi Karina tiba-tiba menoleh dan menatapnya.
“Kenapa kita harus bertemu, Adrian?” suaranya bergetar. “Kenapa aku merasa begitu nyaman bersamamu?”
Adrian tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menatap Karina, dan di dalam tatapan itu, ada perasaan yang sama.
Hujan rintik-rintik mulai turun, tetapi mereka tetap duduk di sana, larut dalam perasaan yang semakin sulit dikendalikan.
Dan di saat itu, Adrian sadar: **mereka sudah terlalu jauh melangkah.**
Bab 3: Antara Kesetiaan dan Godaan
Hujan semakin deras, mengguyur taman kecil tempat Adrian dan Karina duduk berdua dalam keheningan. Tetesan air jatuh di wajah mereka, namun tak ada yang bergerak untuk berteduh. Seakan hujan hanyalah suara latar dari kebimbangan yang menyelimuti hati mereka.
Adrian menatap Karina yang masih diam di sampingnya. Rambutnya yang basah membuat wajahnya terlihat semakin sendu, dan sorot matanya seperti menyimpan beban yang begitu berat.
“Ayo kita cari tempat berteduh,” ujar Adrian akhirnya, suaranya hampir tenggelam dalam suara hujan.
Karina tidak langsung menjawab, tetapi setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. Adrian berdiri dan melepas jaketnya, lalu dengan refleks ia menaruhnya di atas kepala Karina untuk melindunginya dari hujan. Karina menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya ia hanya mengikuti langkah Adrian menuju sebuah kafe kecil di seberang taman.
### **Dilema yang Tak Berujung**
Di dalam kafe, mereka duduk berhadapan di dekat jendela. Karina menggosok kedua tangannya yang dingin, sementara Adrian memesan dua cangkir kopi. Suasana di antara mereka terasa canggung, tidak seperti pertemuan sebelumnya yang terasa mengalir begitu saja.
“Apa kau ingin bercerita?” tanya Adrian, memecah kesunyian.
Karina menghela napas panjang, lalu mengaduk kopinya tanpa benar-benar berniat meminumnya. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” gumamnya.
Adrian tidak mendesaknya. Ia tahu Karina butuh waktu.
Beberapa saat kemudian, Karina akhirnya berbicara. “Pernikahanku… tidak seindah yang orang lain pikirkan,” katanya lirih. “Dari luar, mungkin terlihat sempurna. Aku punya suami yang sukses, kehidupan yang nyaman. Tapi di dalamnya…”
Ia terdiam, menatap ke luar jendela seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku merasa seperti burung dalam sangkar emas. Semuanya sudah diatur, semuanya harus sesuai dengan keinginan Reza. Bahkan aku sendiri… aku tidak tahu apakah aku masih memiliki kebebasan untuk memilih apa yang benar-benar aku inginkan.”
Adrian mendengarkan dengan seksama. Ia bisa merasakan luka dalam suara Karina.
“Dan sekarang, aku melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi.” Karina menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku bertemu denganmu… dan aku tahu aku tidak seharusnya merasa seperti ini.”
Jantung Adrian berdebar keras. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata seperti terhenti di tenggorokannya.
“Apa yang kita lakukan ini salah, bukan?” lanjut Karina. “Aku sudah menikah. Seharusnya tidak ada tempat untuk orang lain di hatiku. Tapi kenapa setiap kali aku bersamamu, aku merasa… bebas?”
Adrian menatap Karina dalam-dalam. Ia tahu ini adalah saat yang tepat untuk mundur, untuk mengatakan bahwa mereka harus berhenti sebelum semuanya menjadi lebih rumit. Tetapi bibirnya tidak mampu mengucapkan kata-kata itu.
Sebaliknya, yang keluar dari mulutnya justru sesuatu yang lebih jujur.
“Aku juga merasakan hal yang sama.”
Karina terdiam. Matanya menatap Adrian dengan sorot penuh kebingungan.
“Aku tahu ini tidak benar,” lanjut Adrian. “Tapi aku tidak bisa mengabaikan apa yang aku rasakan. Aku mencoba untuk tidak memikirkanmu, Karina. Aku mencoba untuk menjauh, tetapi semakin aku berusaha, semakin aku merasa tertarik padamu.”
Karina menggigit bibirnya, jelas terlihat bahwa hatinya tengah berperang dengan logikanya.
“Kita tidak boleh seperti ini,” bisiknya, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
“Tapi kita tidak bisa membohongi perasaan kita, bukan?”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Hanya suara hujan di luar yang menemani.
Lalu tiba-tiba, ponsel Karina bergetar di atas meja. Nama suaminya, Reza, muncul di layar.
Karina menatap ponsel itu dengan ragu, seolah benda itu adalah pengingat dari kenyataan yang selama ini coba ia abaikan.
“Kau harus mengangkatnya,” kata Adrian pelan.
Karina mengangguk lemah, lalu menggeser ikon hijau di layar. “Halo?” suaranya terdengar datar, tanpa emosi.
Dari ekspresinya, Adrian bisa menebak bahwa Reza sedang bertanya keberadaannya.
“Aku sedang di luar sebentar… ya, aku segera pulang.”
Panggilan itu berlangsung singkat. Begitu Karina menutup teleponnya, ia menatap Adrian dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Aku harus pergi,” katanya akhirnya.
Adrian mengangguk. “Aku mengerti.”
Karina berdiri, mengambil tasnya, tetapi sebelum pergi, ia menatap Adrian sekali lagi.
“Aku tidak tahu bagaimana mengendalikan semua ini,” bisiknya lirih.
Adrian ingin menjawab, tetapi Karina sudah berbalik dan melangkah pergi.
Saat Adrian melihatnya keluar dari kafe dan berjalan menjauh, ia merasa hatinya semakin tenggelam dalam dilema.
Hubungan ini berbahaya.
Namun, apakah ia benar-benar bisa melepaskannya?
### **Jalan yang Semakin Terjal**
Malam itu, Adrian tidak bisa tidur. Kata-kata Karina terus terngiang di kepalanya. **”Aku merasa bebas bersamamu.”**
Ia tahu Karina juga merasakan hal yang sama. Ia tahu mereka sudah melewati batas yang seharusnya tidak dilewati.
Namun, semakin ia mencoba untuk menjauh, semakin ia ingin berada di dekat Karina.
Dan ia bisa merasakan bahwa Karina pun merasakan hal yang sama.
Tanpa sadar, Adrian mengambil ponselnya dan mengetik pesan.
_”Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”_
Jarinya melayang di atas tombol kirim. Ia tahu ini adalah keputusan yang salah.
Namun, sebelum ia bisa mengurungkan niatnya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Dari Karina.
_”Bisakah kita bertemu besok?”_
Adrian menatap layar ponselnya cukup lama. Ia tahu jika ia membalas pesan ini, maka semuanya akan menjadi semakin dalam.
Tetapi, pada akhirnya, ia mengetik jawaban.
_”Tentu. Aku akan menunggumu.”_
Dan dengan itu, ia tahu bahwa ia telah memilih jalannya sendiri.*
Bab 4: Langkah yang Terlalu Jauh
Adrian duduk di kursi pojok sebuah restoran kecil di pusat kota, menatap layar ponselnya. **”Bisakah kita bertemu besok?”**—pesan singkat dari Karina yang masih tertampil di layar. Tangannya sudah mengetik jawaban semalam, dan sekarang ia ada di sini, menunggu.
Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini adalah langkah yang semakin jauh ke dalam pusaran yang sulit dikendalikan. Namun, bagian terdalam dari dirinya menginginkan pertemuan ini lebih dari apa pun.
Beberapa menit kemudian, pintu restoran terbuka. Karina melangkah masuk, mengenakan blouse krem dan rok panjang berwarna cokelat muda. Penampilannya sederhana, tetapi tetap memancarkan pesona yang membuat Adrian terpaku.
Ketika mata mereka bertemu, Karina tersenyum tipis. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di hadapan Adrian.
“Kau sudah lama menunggu?” tanyanya pelan.
“Tidak juga,” jawab Adrian. Ia menutup ponselnya dan menatap Karina lebih dalam. “Apa kabar?”
Karina terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku… tidak tahu.”
Adrian tidak terkejut dengan jawabannya. Ada kelelahan di wajah Karina, sesuatu yang tidak bisa disembunyikan.
“Ada masalah?” tanyanya hati-hati.
Karina menghela napas panjang, tangannya mengaduk teh yang baru saja diantarkan pelayan. “Aku dan Reza bertengkar tadi pagi.”
Adrian menegang. “Kenapa?”
Karina tersenyum miris. “Karena hal-hal kecil yang sebenarnya tidak penting. Tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah… aku tidak merasakan apa-apa lagi setiap kali kami bertengkar.”
Adrian mengernyit. “Maksudmu?”
“Dulu, kalau kami bertengkar, aku akan merasa sedih, marah, atau ingin memperbaiki semuanya. Tapi sekarang… aku hanya ingin pergi.” Karina menatap Adrian, sorot matanya penuh kebingungan. “Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak tahu kenapa aku bisa sejauh ini.”
Adrian menggenggam cangkir kopinya, mencoba menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu yang akan membuat mereka semakin terseret dalam situasi ini. Tetapi Karina menatapnya begitu dalam, seolah mencari jawaban yang tidak bisa ia temukan sendiri.
“Kau tidak sendirian,” kata Adrian akhirnya. “Aku juga merasakan hal yang sama.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Tetapi kali ini, keheningan itu terasa berbeda. Ada ketegangan, ada sesuatu yang tidak terucapkan tetapi bisa dirasakan.
Dan kemudian, tanpa sadar, Karina mengulurkan tangannya ke meja, jari-jarinya hampir menyentuh tangan Adrian.
Adrian bisa saja menarik tangannya. Ia bisa saja menghindari sentuhan itu. Tetapi ia tidak melakukannya.
Dan saat kulit mereka bersentuhan, Adrian tahu—mereka telah melangkah terlalu jauh.
### **Malam yang Berubah Segalanya**
Setelah makan siang yang penuh kebisuan itu, Adrian menawarkan untuk mengantar Karina pulang.
Namun, ketika mereka melewati sebuah hotel kecil di sudut kota, Karina tiba-tiba berkata, “Berhenti di sini.”
Adrian menoleh, sedikit terkejut. “Di sini?”
Karina mengangguk. Matanya tidak lagi ragu, tetapi penuh dengan perasaan yang bercampur aduk.
“Karina…” Adrian ingin mengatakan sesuatu, ingin mengingatkan bahwa ini bukan ide yang baik.
Tetapi Karina sudah membuka pintu mobil, lalu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Aku butuh waktu sendiri. Hanya sebentar.”
Adrian menelan ludah. Ia tahu seharusnya ia pergi. Ia tahu seharusnya ia tidak mengikuti Karina masuk ke dalam hotel itu.
Namun, saat Karina melangkah masuk, Adrian tidak bisa menahan diri untuk tidak mengikutinya.
### **Batasan yang Hilang**
Mereka berdiri di dalam kamar hotel, di bawah cahaya lampu temaram. Karina berdiri di dekat jendela, menatap ke luar tanpa mengatakan apa pun.
Adrian ingin berbicara, ingin menanyakan apa yang sedang Karina pikirkan. Tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan suara, Karina berbalik dan melangkah mendekatinya.
Dan kemudian, tanpa peringatan, Karina meraih wajahnya dan mencium bibirnya.
Ciuman itu lembut pada awalnya, tetapi semakin lama semakin dalam. Adrian merasakan detak jantungnya berpacu liar, merasakan bagaimana tubuhnya bereaksi terhadap sentuhan Karina.
Ketika akhirnya mereka melepaskan diri, Karina menatapnya dengan napas memburu. “Kita sudah terlalu jauh, bukan?” bisiknya.
Adrian mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. “Ya.”
“Tapi aku tidak bisa berhenti,” kata Karina, suaranya nyaris terdengar putus asa.
Adrian menghela napas panjang. Ia ingin mengatakan sesuatu yang rasional, ingin mengingatkan Karina bahwa ini salah. Tetapi bagaimana bisa ia mengatakan itu ketika dirinya sendiri tidak ingin berhenti?
Mereka sudah terjebak dalam permainan berbahaya ini. Dan kini, tidak ada jalan untuk kembali.
### **Kembali ke Kenyataan**
Pagi harinya, Karina bangun lebih dulu. Ia menatap Adrian yang masih tertidur di sampingnya, lalu menghela napas panjang.
Hatinya dipenuhi perasaan bersalah, tetapi pada saat yang sama, ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa hidup kembali.
Ia tahu apa yang mereka lakukan adalah kesalahan. Ia tahu ia seharusnya tidak berada di sini. Tetapi, ia juga tahu bahwa ini adalah pertama kalinya dalam waktu yang lama ia merasa seperti dirinya sendiri.
Adrian membuka matanya, menemukan Karina yang sedang menatapnya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan.
Karina tersenyum tipis. “Aku tidak tahu.”
Adrian mengangkat tangannya, menyentuh pipi Karina dengan lembut. “Kita bisa berhenti di sini kalau kau mau.”
Karina menatapnya, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak yakin aku bisa.”
Adrian tidak menjawab. Ia tahu mereka sedang berdiri di tepi jurang yang semakin dalam. Tetapi, apakah ia benar-benar ingin mundur?
Karina menatap jam tangannya dan buru-buru bangkit. “Aku harus pulang.”
Adrian hanya bisa mengangguk. Ia mengawasi Karina berpakaian dan bersiap pergi, tetapi sebelum wanita itu keluar dari kamar, ia berbalik dan menatapnya sekali lagi.
“Adrian…” Karina ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan, “Apa yang kita lakukan ini tidak akan berakhir baik, kan?”
Adrian menghela napas panjang. “Aku tidak tahu.”
Karina tersenyum pahit. “Aku juga tidak.”
Dan kemudian, ia melangkah pergi, meninggalkan Adrian sendirian di kamar hotel dengan pikirannya yang semakin kusut.
Ia tahu bahwa tidak ada jalan untuk kembali.
Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak ingin berhenti.*
Bab 5: Bayang-Bayang Dosa
Matahari baru saja terbit ketika Karina melangkah keluar dari hotel dengan langkah tergesa. Udara pagi yang sejuk terasa menyesakkan di dadanya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang belum juga kembali normal.
Di tempat parkir, ia melihat pantulan dirinya di kaca jendela mobil. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya justru berkilat dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada kelegaan, ada rasa bersalah, tetapi juga ada sesuatu yang lain—sesuatu yang sulit ia akui bahkan pada dirinya sendiri.
Saat Karina masuk ke mobil dan menyalakan mesin, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Reza.
**_”Kamu di mana? Semalam aku menunggu.”_**
Karina menggigit bibirnya. Ia mengetik balasan singkat, **_”Aku menginap di rumah teman. Ada masalah tadi malam.”_**
Setelah mengirimnya, Karina menatap layar ponselnya lama. Ia tahu bahwa kebohongan ini hanyalah awal dari lebih banyak kebohongan lainnya. Ia tahu bahwa setelah ini, tidak akan ada jalan untuk kembali seperti semula.
Tetapi anehnya, ia tidak menyesal.
### **Kepulangan yang Dingin**
Setibanya di rumah, Karina melihat Reza duduk di ruang tamu, masih mengenakan pakaian kerja yang sedikit kusut. Mata suaminya menatapnya dengan curiga saat ia masuk.
“Kamu tidak pulang semalam,” suara Reza terdengar datar, tetapi Karina bisa merasakan kekecewaan di dalamnya.
“Aku sudah bilang di pesan, aku di rumah Rina. Dia ada masalah,” jawab Karina tanpa menatap suaminya. Ia meletakkan tasnya di sofa, berusaha bersikap seperti biasa.
Reza tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang lalu mengangguk. “Baiklah,” katanya singkat.
Tidak ada pertanyaan lebih lanjut. Tidak ada usaha untuk memastikan apakah istrinya baik-baik saja. Tidak ada pelukan hangat yang dulu selalu menyambutnya setiap kali ia pulang.
Dan anehnya, itu justru membuat Karina semakin yakin bahwa hatinya memang sudah tidak berada di sini lagi.
### **Godaan yang Tak Bisa Dihindari**
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa—atau setidaknya, begitulah yang Karina coba tunjukkan. Ia kembali menjalani rutinitasnya sebagai istri Reza, tetapi pikirannya terus melayang ke satu sosok lain.
Adrian.
Mereka tidak berbicara sejak malam itu di hotel. Karina tahu, mungkin Adrian sedang berusaha untuk menarik diri, mencoba menjaga jarak sebelum semuanya menjadi lebih rumit.
Tetapi semakin Adrian menjauh, semakin Karina merasa kehilangan.
Dan akhirnya, setelah berhari-hari menahan diri, ia mengirim pesan.
_”Aku ingin bertemu.”_
Balasan Adrian datang lebih cepat dari yang ia perkirakan.
_”Di tempat yang sama?”_
Karina menelan ludah. Ia tahu maksud dari pertanyaan itu. Ia tahu bahwa jika ia menjawab ‘ya,’ maka ia akan kembali tenggelam dalam pusaran ini.
Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak ingin berhenti.
_”Ya.”_
### **Pertemuan yang Tak Seharusnya**
Mereka bertemu lagi di hotel yang sama, di kamar yang sama.
Dan malam itu, semua batasan yang pernah mereka coba pertahankan benar-benar hancur.
Karina tidak lagi merasa ragu. Ia tidak lagi merasa takut. Bersama Adrian, ia merasa bebas—merasakan sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupnya.
Tetapi di antara setiap ciuman, setiap sentuhan yang mereka bagi, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Sebuah pertanyaan yang terus menghantuinya.
_Apakah ini hanya pelarian? Atau ini benar-benar cinta?_
### **Ancaman yang Mengintai**
Ketika Karina pulang ke rumah malam itu, ia merasa ada yang berbeda. Ia mencoba untuk bersikap biasa, tetapi perasaan tidak nyaman terus mengusiknya.
Dan ketika ia masuk ke kamar, ia menyadari sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak.
Ponselnya yang biasanya ia taruh di atas meja kini tidak ada di sana.
Ia mencarinya dengan panik, tetapi tidak menemukannya.
Dan saat ia menoleh, ia melihat Reza berdiri di ambang pintu, memegang ponselnya.
Matanya menatap Karina dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Ada sesuatu yang ingin kamu jelaskan?” tanya Reza, suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya.
Karina merasakan darahnya mengalir lebih cepat. Ia tahu bahwa semuanya akan berubah setelah ini.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa ketakutan.
Bab 6: Rahasia yang Mulai Terbongkar
Karina berdiri membeku di depan pintu kamar, jantungnya berdegup kencang saat melihat Reza memegang ponselnya. Matanya yang tajam menatap Karina dengan penuh kecurigaan, seolah bisa menembus segala kebohongan yang coba ia sembunyikan.
“Ada sesuatu yang ingin kamu jelaskan?” tanya Reza dengan suara yang terdengar datar, tetapi mengandung ketegangan yang jelas.
Karina mencoba tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak. Ia melangkah pelan mendekati suaminya, berusaha mengambil ponselnya, tetapi Reza menariknya menjauh.
“Kamu kelihatan panik,” kata Reza, mempersempit jarak di antara mereka. “Kenapa?”
Karina berusaha tersenyum, meskipun bibirnya terasa kaku. “Aku cuma kaget. Kenapa kamu pegang ponselku?”
Reza menatapnya tanpa berkedip, lalu mengangkat ponsel itu. “Kamu lupa menguncinya,” katanya sambil memutar layar ponsel Karina menghadap ke arahnya. “Dan aku menemukan sesuatu yang menarik.”
Darah Karina seakan membeku. “Apa maksudmu?”
Reza menyeringai kecil, tetapi tatapannya penuh kecurigaan. “Aku melihat ada pesan masuk dari seseorang. Adrian.”
Nama itu keluar dari mulut Reza seperti sebuah peluru yang menghunjam jantung Karina. Ia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kegugupan yang melandanya.
“Siapa Adrian?” tanya Reza, kali ini dengan nada yang lebih tajam.
Karina merasakan tubuhnya gemetar. Ia harus berpikir cepat. “Dia hanya teman,” katanya berusaha terdengar santai. “Aku sudah lama mengenalnya.”
Reza mendengus pelan. “Teman?” ulangnya, seolah mengejek. Ia lalu menggulir layar ponsel, memperlihatkan pesan yang masuk.
**_”Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”_**
Karina merasa dunia seakan runtuh. Pesan itu adalah pesan terakhir dari Adrian, pesan yang ia terima setelah pertemuan mereka di hotel.
Reza menatapnya tajam. “Ini bukan pesan dari sekadar teman, Karina.”
Karina mencoba mencari kata-kata yang tepat, tetapi lidahnya terasa kelu.
“Apa ini?” desak Reza. “Kamu selingkuh?”
Kata-kata itu menggema di dalam kepala Karina. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa semuanya tidak seperti yang Reza pikirkan. Tetapi kebohongan apa lagi yang bisa ia katakan?
### **Pilihan yang Menyakitkan**
Suasana di kamar itu terasa semakin mencekam. Reza masih berdiri di sana, menunggu jawaban yang tidak kunjung datang.
Akhirnya, Karina menghela napas panjang. “Reza…” suaranya bergetar. “Aku… aku bisa jelaskan.”
“Jelaskan apa?!” bentak Reza, suaranya meninggi. “Kamu pikir aku bodoh? Kamu pikir aku tidak tahu apa yang terjadi?”
Karina menelan ludah, hatinya terasa mencelos. Ia belum pernah melihat Reza semarah ini sebelumnya.
“Sejak kapan?” tanya Reza dengan nada lebih rendah, tetapi tetap tajam.
Karina menggigit bibirnya. “Reza, tolong…”
“Sejak kapan, Karina?!”
Karina memejamkan matanya sejenak, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Ia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa ia sembunyikan.
“Beberapa bulan ini,” akhirnya ia mengakui, suaranya hampir tak terdengar.
Reza tertawa pahit. “Jadi selama ini aku hanya seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa?”
“Aku tidak pernah berniat menyakitimu,” kata Karina, matanya berkaca-kaca.
“Tapi kamu tetap melakukannya,” potong Reza.
Karina ingin berbicara lebih banyak, ingin menjelaskan apa yang ia rasakan, tetapi tidak ada kata-kata yang cukup untuk membenarkan kesalahannya.
Reza menghela napas panjang, lalu melemparkan ponsel Karina ke tempat tidur. “Aku butuh waktu sendiri,” katanya dingin.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil kunci mobil dan keluar dari rumah, meninggalkan Karina yang masih berdiri terpaku di tengah kamar dengan perasaan yang hancur berantakan.
### **Pertemuan yang Penuh Ketegangan**
Setelah kejadian itu, Reza tidak pulang semalaman. Karina mencoba menghubunginya, tetapi ponselnya dimatikan.
Dengan perasaan kalut, ia akhirnya menghubungi Adrian.
_”Aku butuh bertemu.”_
Adrian membalas cepat.
_”Aku akan menjemputmu.”_
Mereka bertemu di apartemen Adrian, tempat yang selama ini menjadi tempat persembunyian mereka dari dunia. Tetapi kali ini, tidak ada senyuman, tidak ada canda.
Adrian melihat Karina yang tampak pucat dan lelah. “Apa yang terjadi?” tanyanya hati-hati.
“Reza tahu,” jawab Karina tanpa basa-basi.
Adrian terdiam. Ia tidak bertanya bagaimana Reza mengetahuinya, karena ia tahu bahwa cepat atau lambat, kebenaran memang akan terungkap.
“Apa yang dia katakan?”
“Dia marah. Tapi dia tidak langsung mengambil keputusan apa pun,” kata Karina sambil memijat pelipisnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Adrian.”
Adrian menatapnya dengan ekspresi serius. “Apakah kamu ingin tetap bersamaku?”
Pertanyaan itu membuat Karina terdiam. Ia tahu Adrian ingin kepastian, tetapi bagaimana bisa ia menjawabnya sekarang, saat pikirannya masih kacau?
“Aku tidak tahu,” jawabnya akhirnya.
Adrian menghela napas panjang. “Kalau begitu, apa yang kamu inginkan?”
Karina menatap Adrian dengan mata penuh kebingungan. “Aku hanya tidak ingin kehilanganmu.”
Adrian mendekat, menyentuh wajah Karina dengan lembut. “Aku di sini,” katanya pelan. “Aku tidak akan pergi, Karina. Tapi kamu harus memutuskan apa yang kamu inginkan.”
Air mata menggenang di mata Karina. Ia tahu Adrian benar. Ia tidak bisa terus berada di dua dunia. Cepat atau lambat, ia harus memilih.
### **Bayangan Akhir yang Tak Terhindarkan**
Ketika Karina kembali ke rumah malam itu, ia menemukan Reza sudah ada di sana.
Ia duduk di ruang tamu, menatap Karina dengan ekspresi datar.
“Aku sudah berpikir,” katanya tanpa basa-basi. “Aku ingin kita bicara.”
Karina mengangguk pelan, jantungnya berdebar kencang.
Reza menatapnya dalam-dalam. “Kamu masih mencintaiku?”
Karina terdiam lama.
Dan akhirnya, ia menyadari sesuatu yang mengejutkannya sendiri.
Ia tidak bisa menjawabnya.
Dan itu sudah cukup bagi Reza untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Reza berdiri, mengambil sesuatu dari saku jasnya, lalu meletakkan selembar kertas di atas meja.
“Ini surat cerai,” katanya singkat.
Karina menatap lembaran itu dengan mata yang membelalak. Ia tahu semuanya sudah berakhir.
Tetapi kenapa ada perasaan sakit yang begitu dalam saat melihatnya?
Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa tidak ada pilihan yang benar dalam kisah ini.
Hanya luka.
Dan penyesalan.*
Bab 7: Cinta yang Membawa Luka
Karina duduk diam di ruang tamu, menatap surat cerai yang baru saja diletakkan Reza di meja. Tangannya gemetar saat ia mencoba meraih kertas itu, tetapi seolah ada sesuatu yang menahannya.
Reza berdiri di depannya, ekspresinya datar, tetapi sorot matanya penuh kekecewaan. “Kamu tidak perlu menjawab apa pun,” katanya pelan. “Aku sudah tahu semuanya.”
Karina menelan ludah, hatinya terasa sesak. “Reza…”
Reza mengangkat tangan, menghentikan perkataannya. “Aku tidak ingin mendengar alasan. Aku hanya ingin tahu satu hal—apa dia lebih berarti untukmu daripada aku?”
Pertanyaan itu menusuk hati Karina. Ia ingin berbohong, ingin mengatakan sesuatu yang bisa menyembuhkan luka di hati Reza. Tetapi ia tidak bisa.
Diamnya Karina sudah cukup sebagai jawaban.
Reza menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil—senyum yang penuh kepahitan. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Kalau begitu, aku tidak akan memaksakan sesuatu yang sudah mati.”
Mati.
Kata itu menghantam Karina dengan begitu keras. Apakah pernikahan mereka benar-benar sudah mati?
Sebelum Karina sempat menjawab, Reza sudah berbalik, melangkah menuju pintu.
“Setelah ini, aku akan tinggal di apartemen. Aku akan mengurus semuanya secepat mungkin.”
Karina hanya bisa menatap punggung suaminya yang perlahan menghilang di balik pintu. Dan ketika suara mobil Reza meninggalkan halaman rumah mereka, air matanya akhirnya jatuh.
### **Pelarian ke Dalam Pelukan Adrian**
Malam itu, tanpa berpikir panjang, Karina mengemudi ke apartemen Adrian. Ia membutuhkan seseorang, seseorang yang bisa membuatnya merasa utuh.
Begitu Adrian membuka pintu dan melihat ekspresi Karina yang penuh kesedihan, ia tidak bertanya apa pun. Ia hanya menarik Karina ke dalam pelukannya.
Karina terisak di dada Adrian. “Aku sudah kehilangan semuanya,” bisiknya.
Adrian mengecup puncak kepalanya, mengusap punggungnya dengan lembut. “Kamu tidak kehilangan aku,” katanya.
Karina mendongak, menatap mata pria yang telah mengguncang dunianya. Tanpa berpikir panjang, ia mencium Adrian dengan penuh gairah, seolah ingin melupakan segala luka yang baru saja menggores hatinya.
Dan malam itu, mereka kembali tenggelam dalam hasrat yang tak terbendung.
Namun di tengah keintiman itu, ada sesuatu yang terasa berbeda. Sesuatu yang mulai mengusik Karina.
Apakah ini benar-benar cinta?
Ataukah ini hanya pelarian dari rasa bersalah dan kehancuran yang telah ia buat sendiri?
### **Kenyataan yang Tak Seindah Harapan**
Hari-hari berikutnya, Karina mulai tinggal di apartemen Adrian. Ia tidak kembali ke rumahnya, tidak berusaha menghubungi Reza, dan tidak lagi peduli dengan apa pun selain dirinya sendiri dan Adrian.
Tetapi seiring waktu berjalan, Karina mulai menyadari bahwa kebersamaan mereka tidak seindah yang ia bayangkan.
Adrian memang mencintainya, tetapi ia bukan pria yang bisa menggantikan Reza dalam segala hal.
Adrian adalah pria yang penuh gairah, tetapi tidak selalu sabar.
Adrian adalah pria yang selalu membuatnya merasa diinginkan, tetapi tidak selalu bisa membuatnya merasa aman.
Dan lambat laun, Karina mulai merasa kosong.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di apartemen, Karina menatap Adrian dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Kamu bahagia?” tanyanya tiba-tiba.
Adrian menatapnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Apa maksudmu?”
“Kita berdua,” kata Karina pelan. “Setelah semua yang kita lakukan, setelah semua yang aku korbankan… apakah kita benar-benar bahagia?”
Adrian terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Aku mencintaimu, Karina. Itu sudah cukup, kan?”
Karina menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan “ya,” tetapi hatinya ragu.
Karena untuk pertama kalinya, ia mulai mempertanyakan apakah ini benar-benar cinta… atau hanya obsesi yang menyesatkan.
Dan semakin ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, semakin ia merasa kehilangan sesuatu yang dulu sangat berharga.
### **Kabar yang Menghancurkan**
Beberapa hari kemudian, Karina menerima pesan dari nomor yang tidak ia kenal.
**_”Aku ingin bicara. Temui aku di kafe dekat kantor besok jam tujuh malam.”_**
Karina mengernyit. Ia tidak tahu siapa pengirimnya, tetapi ada firasat buruk yang muncul di hatinya.
Keesokan harinya, dengan penuh rasa penasaran dan sedikit ketakutan, ia pergi ke kafe yang disebutkan dalam pesan itu.
Dan ketika ia tiba di sana, jantungnya seakan berhenti berdetak.
Di meja sudut, Reza duduk dengan wajah yang sulit ditebak.
Karina menelan ludah, lalu perlahan melangkah mendekat. Ia duduk di hadapan mantan suaminya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
Reza menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara. “Aku tidak ingin berdebat denganmu lagi, Karina,” katanya pelan. “Aku hanya ingin kamu tahu sesuatu.”
Karina menunggu dengan cemas.
“Aku akan menikah lagi,” kata Reza akhirnya.
Dunia Karina seakan berhenti berputar.
“Apa?” bisiknya, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Reza mengangguk. “Aku bertemu seseorang. Dia mengerti aku. Dia bukan seperti kamu.”
Karina merasakan sesuatu yang menyesakkan dadanya. Ia ingin marah, tetapi ia tidak berhak untuk itu. Ia ingin menolak kenyataan ini, tetapi ia tahu bahwa ini adalah akibat dari pilihannya sendiri.
“Siapa dia?” tanyanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Reza tersenyum kecil. “Bukan urusanmu.”
Karina terdiam.
Untuk pertama kalinya, ia merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan. Bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang pernah menjadi segalanya.
Dan ironisnya, baru sekarang ia menyadari betapa berharganya Reza dalam hidupnya.
Tetapi semuanya sudah terlambat.
Dan Karina hanya bisa menatap Reza pergi—sama seperti bagaimana Reza menatapnya pergi dulu.
### **Kesadaran yang Menyakitkan**
Malam itu, Karina duduk sendirian di balkon apartemen Adrian, menatap kota yang terang benderang.
Adrian mendekat, menyentuh bahunya dengan lembut. “Kamu baik-baik saja?”
Karina tersenyum kecil, tetapi air matanya jatuh. “Aku kehilangan dia,” bisiknya.
Adrian menatapnya dengan raut wajah yang sulit diartikan. “Tapi kamu masih punya aku,” katanya, mencoba meyakinkan.
Karina menoleh, menatap wajah pria yang dulu ia kira adalah jawaban dari segalanya.
Tetapi kini, ia mulai menyadari sesuatu.
Cinta yang ia kejar dengan begitu buta ternyata tidak selalu membawa kebahagiaan.
Terkadang, cinta hanya membawa luka.
Dan pada akhirnya, ia harus menerima kenyataan bahwa tidak semua kisah cinta akan berakhir bahagia.*
Bab 8: Ketika Cinta Tak Lagi Sama
Karina duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong menembus jendela apartemen Adrian. Sudah hampir dua minggu sejak pertemuannya dengan Reza, tetapi kata-kata mantan suaminya masih terus terngiang di kepalanya.
**_”Aku akan menikah lagi.”_**
Kalimat itu seperti belati yang menancap di hatinya, menyisakan luka yang terus menganga. Ia pikir ia sudah siap dengan segala konsekuensi dari keputusannya meninggalkan Reza demi Adrian, tetapi kenyataannya, perasaan kehilangan itu jauh lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan.
Adrian masuk ke dalam kamar, mendekatinya dengan raut wajah cemas. “Kamu masih kepikiran tentang Reza?” tanyanya pelan.
Karina menoleh, menatap wajah pria yang dulu ia pikir bisa menjadi pelabuhan terakhirnya. Ia mengangguk lemah. “Aku tidak tahu kenapa ini begitu menyakitkan, Adrian…”
Adrian menghela napas dan duduk di sampingnya. Ia menggenggam tangan Karina, mencoba menenangkan kegelisahannya. “Kamu harus berhenti menyalahkan diri sendiri.”
Karina tersenyum miris. “Aku tidak menyalahkan diri sendiri… Aku hanya bertanya-tanya, apakah ini benar-benar keputusan yang tepat?”
Adrian terdiam, ekspresinya berubah sedikit kaku. “Kamu menyesal?”
Karina menatapnya, mencoba mencari jawaban yang tepat. Apakah ia menyesal?
Ia mengorbankan pernikahannya, menghancurkan hati suaminya, hanya untuk berakhir di titik ini—terjebak dalam kebingungan dan rasa bersalah yang tak kunjung hilang.
“Aku tidak tahu, Adrian,” jawabnya akhirnya.
Adrian melepaskan genggaman tangannya, lalu bangkit dari tempat tidur. “Aku pikir setelah semua yang kita lalui, kamu akan lebih yakin tentang kita,” katanya dengan nada kecewa.
Karina menatapnya penuh keraguan. “Aku ingin yakin, Adrian… Aku benar-benar ingin. Tapi kenapa rasanya tidak seperti yang aku bayangkan?”
Adrian mengacak rambutnya, frustrasi. “Jadi, selama ini aku hanya pelarian?”
Karina menggeleng cepat. “Bukan begitu! Aku mencintaimu, Adrian, tapi…”
“Tapi apa, Karina?”
Karina menggigit bibirnya. “Tapi aku tidak tahu apakah ini cinta yang seharusnya.”
Wajah Adrian mengeras. Ia menatap Karina dengan sorot mata yang sulit diartikan, lalu berjalan keluar dari kamar, membiarkan Karina sendirian dalam pusaran pikirannya sendiri.
### **Kenangan yang Menyesakkan**
Karina menghabiskan sisa malamnya dalam diam. Ia mencoba tidur, tetapi pikirannya terus melayang pada semua yang telah terjadi.
Ia mengingat bagaimana Reza dulu selalu ada untuknya. Bagaimana pria itu selalu memahami kebutuhannya, bahkan sebelum ia mengatakannya. Bagaimana Reza selalu membuatnya merasa aman, dicintai, dihargai.
Namun, saat itu ia menginginkan sesuatu yang lebih. Ia ingin gairah, ingin sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Dan Adrian memberikannya.
Tapi apakah itu cukup?
Apakah itu lebih penting daripada kepercayaan dan ketenangan yang dulu ia miliki bersama Reza?
Karina tidak tahu jawabannya. Yang ia tahu hanyalah satu hal—ia tidak pernah merasa sekosong ini dalam hidupnya.
### **Sebuah Keputusan**
Keesokan harinya, Karina bangun dengan tekad yang bulat. Ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya ia inginkan.
Ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian, dan keluar dari apartemen tanpa mengatakan apa pun pada Adrian. Ia butuh waktu untuk sendiri, untuk berpikir tanpa pengaruh siapa pun.
Ia mengemudi tanpa tujuan, membiarkan pikirannya mengembara seiring dengan jalanan yang ia lalui. Hingga tanpa sadar, ia sampai di sebuah tempat yang begitu familiar—rumah yang dulu ia tinggali bersama Reza.
Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu apa yang membawanya ke sini. Mungkin hanya rasa rindu, atau mungkin sebuah harapan kecil yang masih tersisa di hatinya.
Dengan langkah ragu, ia turun dari mobil dan berjalan menuju pintu. Tetapi sebelum ia sempat mengetuk, pintu itu terbuka dari dalam.
Dan di sana, berdiri seorang wanita yang tidak ia kenal.
Wanita itu cantik, dengan rambut panjang tergerai dan senyum yang ramah.
“Maaf, Anda mencari siapa?” tanya wanita itu sopan.
Karina tercekat. Untuk beberapa detik, ia tidak bisa berkata apa-apa.
“Apa… apa Reza ada?” tanyanya akhirnya.
Wanita itu tersenyum. “Dia sedang keluar sebentar. Saya istrinya. Anda teman Reza?”
Dunia Karina seakan runtuh seketika.
**_”Saya istrinya.”_**
Kalimat itu bergema di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang ia duga.
Ia tidak tahu Reza benar-benar telah menikah. Ia pikir masih ada waktu. Ia pikir…
Tapi nyatanya, tidak ada lagi yang bisa ia harapkan.
Karina memaksakan senyum, meskipun hatinya terasa hancur. “Oh… saya hanya teman lama,” katanya, suaranya nyaris bergetar. “Maaf mengganggu.”
Ia berbalik cepat sebelum air matanya jatuh, lalu berjalan dengan langkah tergesa menuju mobilnya. Begitu pintu mobil tertutup, ia tidak bisa menahan isakannya lagi.
Ia sudah benar-benar kehilangan Reza.
Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa cinta yang ia kejar selama ini tidak pernah benar-benar membawanya pada kebahagiaan.
Justru cinta itulah yang menghancurkannya.
### **Sebuah Akhir yang Tidak Pernah Ia Bayangkan**
Malam itu, Karina kembali ke apartemen Adrian dengan hati yang hancur.
Adrian menatapnya dengan ekspresi yang penuh pertanyaan, tetapi Karina tidak memiliki energi untuk menjelaskan.
Ia hanya berdiri di ambang pintu, menatap pria yang selama ini ia pilih di atas segalanya.
Dan ia menyadari satu hal yang begitu menyakitkan.
Cinta yang mereka miliki bukanlah cinta yang seharusnya.
“Adrian,” kata Karina pelan.
Adrian mendekat, menyentuh wajahnya. “Apa yang terjadi?”
Karina menarik napas panjang, lalu menggeleng. “Aku tidak bisa melakukan ini lagi.”
Adrian terdiam, wajahnya menegang. “Maksudmu?”
Karina menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku pikir aku mencintaimu… tapi ternyata aku hanya terjebak dalam ilusi. Aku mencari sesuatu yang lebih, tanpa menyadari bahwa aku sudah memiliki segalanya.”
Adrian melepaskan tangannya dari wajah Karina, rahangnya mengeras. “Jadi, setelah semua ini… kamu memilih meninggalkan aku?”
Karina mengangguk, air matanya jatuh. “Aku harus menemukan diriku sendiri, Adrian. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebingungan ini.”
Adrian menatapnya lama, lalu menghela napas berat. “Kalau itu yang kamu inginkan…”
Karina tersenyum kecil, meskipun hatinya sakit. “Maafkan aku.”
Ia berbalik, meninggalkan apartemen Adrian untuk terakhir kalinya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak tahu ke mana ia akan pergi.
Tetapi satu hal yang pasti—ia harus menemukan kebahagiaannya sendiri, tanpa bergantung pada siapa pun.*
Bab 9: Mencari Diri yang Hilang
Karina menatap bayangannya di kaca jendela kafe tempat ia duduk sendirian. Matanya sembab, wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Sudah tiga hari sejak ia meninggalkan Adrian, dan selama itu pula ia merasa seperti melayang tanpa arah.
Selama ini, ia selalu bergantung pada seseorang—Reza, lalu Adrian—seolah-olah kebahagiaannya hanya bisa ditemukan dalam diri pria lain. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar sendiri.
Ia menyeruput kopinya yang sudah mulai dingin. Ia tidak punya tujuan, tidak punya rencana. Rumah yang dulu ia tinggali bersama Reza kini bukan lagi miliknya. Apartemen Adrian juga telah ia tinggalkan. Ia merasa kosong.
Namun, di tengah kekosongan itu, ada sesuatu yang perlahan mulai menyusup ke dalam hatinya.
Kebebasan.
Untuk pertama kalinya, Karina menyadari bahwa ia memiliki kesempatan untuk memulai semuanya dari awal—tanpa harus menjadi seseorang yang diinginkan orang lain.
### **Mencari Pegangan**
Karina mengeluarkan ponselnya dan mulai menggulir daftar kontak. Ada begitu banyak nama di sana, tetapi tidak satu pun yang terasa pantas untuk dihubungi.
Hingga akhirnya, matanya berhenti pada satu nama: **Dinda**.
Dinda adalah sahabatnya sejak kuliah, tetapi hubungan mereka mulai renggang sejak Karina menikah dengan Reza. Dinda selalu menjadi orang yang blak-blakan, dan ia tidak pernah setuju dengan keputusan Karina berselingkuh. Itu sebabnya mereka jarang berbicara lagi.
Tetapi saat ini, Karina merasa bahwa Dinda adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Dengan sedikit ragu, ia mengetik pesan.
**_”Din, bolehkah aku bertemu denganmu? Aku butuh seseorang untuk bicara.”_**
Tak butuh waktu lama sebelum Dinda membalas.
**_”Tentu. Temui aku di tempat biasa, jam 8 malam.”_**
Karina menghela napas lega. Setidaknya, ia masih punya seseorang di dunia ini.
### **Pertemuan dengan Sahabat Lama**
Malam itu, Karina duduk di bangku taman, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Dinda saat masih kuliah. Udara dingin menyapu wajahnya, tetapi ia tidak terlalu peduli.
Dinda datang beberapa menit kemudian, mengenakan jaket panjang dan syal tebal. Ia langsung duduk di samping Karina dan menatapnya dengan mata tajam.
“Jadi, kamu akhirnya sadar juga?” tanyanya tanpa basa-basi.
Karina tersenyum kecil, tetapi senyumnya dipenuhi kepedihan. “Aku kehilangan semuanya, Din.”
Dinda menyilangkan tangan di dadanya. “Aku sudah memperingatkanmu, Karina. Aku tidak akan menghakimimu sekarang, tapi aku ingin tahu… setelah semua yang kamu lakukan, apakah itu sepadan?”
Karina terdiam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan mudah.
“Aku pikir aku mengejar kebahagiaan,” katanya akhirnya. “Aku pikir Adrian bisa memberiku sesuatu yang tidak bisa aku dapatkan dari Reza. Tapi ternyata, aku hanya membodohi diriku sendiri.”
Dinda menghela napas panjang. “Cinta memang rumit, Kar. Tapi kadang, kita terlalu serakah. Kita menginginkan lebih tanpa menyadari bahwa yang kita punya sudah cukup.”
Karina menunduk, menatap tangannya sendiri. “Aku sudah menghancurkan semuanya, Din. Aku tidak tahu harus mulai dari mana lagi.”
Dinda tersenyum kecil, lalu menepuk bahu Karina. “Kamu mulai dari dirimu sendiri. Jangan mencari seseorang untuk menambal kekosongan hatimu. Belajar untuk berdiri sendiri dulu.”
Karina menatap Dinda, mencerna kata-katanya. Mungkin untuk pertama kalinya, ia benar-benar memahami apa yang dimaksud sahabatnya.
### **Menciptakan Kehidupan Baru**
Hari-hari berikutnya, Karina mulai membangun kembali hidupnya.
Ia menyewa apartemen kecil di pinggiran kota, jauh dari kenangan yang menyakitkan. Ia kembali bekerja dengan lebih serius, mencoba mencari makna dalam pekerjaannya yang dulu ia anggap hanya rutinitas.
Ia juga mulai mengisi waktunya dengan hal-hal yang dulu ia lupakan—membaca buku, berolahraga, bahkan mencoba hobi baru seperti melukis.
Ada kalanya ia masih merasa sepi, masih merasa ingin menghubungi Reza atau Adrian. Tetapi setiap kali perasaan itu datang, ia mengingat kata-kata Dinda:
_”Belajar untuk berdiri sendiri dulu.”_
Dan sedikit demi sedikit, ia mulai merasa lebih kuat.
### **Pertemuan Tak Terduga**
Suatu sore, Karina sedang duduk di kafe dekat kantornya ketika seseorang yang tak ia duga muncul di hadapannya.
Reza.
Ia masih terlihat seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Ia tampak lebih tenang, lebih damai.
Karina menelan ludah. “Reza…”
Reza tersenyum kecil, lalu duduk di kursi di depannya. “Apa kabar?”
Karina tidak tahu harus menjawab apa. Ia ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja, tetapi ia juga tahu bahwa Reza akan melihat kebohongan itu dengan mudah.
“Aku… sedang berusaha menjadi lebih baik,” jawabnya akhirnya.
Reza mengangguk. “Aku senang mendengarnya.”
Mereka terdiam sejenak, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
“Lalu… bagaimana denganmu?” tanya Karina akhirnya.
Reza tersenyum tipis. “Aku sudah menikah, seperti yang kamu tahu.”
Karina mengangguk pelan. Ia tidak ingin membahas itu lebih jauh.
“Aku hanya ingin bertemu denganmu sekali lagi,” kata Reza. “Bukan untuk mengungkit masa lalu, tapi untuk menutup semuanya dengan baik.”
Karina menatapnya dalam-dalam. Ia bisa melihat bahwa Reza benar-benar telah melangkah maju.
Dan mungkin, sudah waktunya ia melakukan hal yang sama.
Dengan sedikit ragu, Karina mengulurkan tangannya. “Terima kasih untuk segalanya, Reza. Aku minta maaf atas semua kesalahan yang telah aku buat.”
Reza menatap tangannya sejenak sebelum akhirnya menyambutnya dengan hangat. “Aku juga minta maaf, Karina. Aku harap kamu menemukan kebahagiaanmu sendiri.”
Dan dengan itu, mereka berpisah—bukan sebagai musuh, bukan sebagai mantan kekasih yang penuh dendam. Tetapi sebagai dua orang yang pernah saling mencintai, dan akhirnya melepaskan.
### **Akhir yang Baru**
Malam itu, Karina berjalan sendirian di bawah langit yang dipenuhi bintang.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa kosong.
Ia menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari orang lain.
Terkadang, kebahagiaan adalah sesuatu yang harus kita ciptakan sendiri.
Dan di bawah cahaya bulan yang bersinar lembut, Karina tersenyum—karena ia tahu bahwa hidupnya baru saja dimulai kembali.*
Bab 10: Menyambut Hari Baru
Pagi itu, Karina duduk di balkon apartemennya yang sederhana, menikmati secangkir teh hangat sambil memandang ke luar jendela. Langit biru cerah, sinar matahari menghangatkan kulitnya, dan suara burung yang berkicau di kejauhan memberi ketenangan dalam hati yang dulu penuh kegelisahan.
Setelah hari-hari yang penuh dengan kebingungan dan keraguan, Karina akhirnya merasa seperti dirinya sendiri lagi. Ia tidak lagi merasa terperangkap dalam kesalahan-kesalahan masa lalu atau kehilangan yang begitu dalam. Ia menyadari bahwa untuk pertama kalinya, ia tidak harus mencari kebahagiaan dari orang lain. Kebahagiaan itu ada dalam dirinya sendiri, dan ia hanya perlu memberi ruang untuk itu tumbuh.
Pikiran Karina melayang ke perjalanan panjang yang telah ia jalani—hubungannya dengan Reza, kemudian pertemuannya dengan Adrian yang begitu intens, dan akhirnya keputusannya untuk meninggalkan semuanya. Setiap langkah yang ia ambil selama ini tidaklah mudah, tetapi ia tahu itu adalah bagian dari perjalanan hidupnya yang harus ia lalui untuk menemukan kedamaian.
Dinda selalu bilang bahwa hidup ini penuh dengan kebetulan dan pilihan, dan terkadang, kita harus membuat pilihan yang sulit untuk menemukan siapa kita sebenarnya. Karina kini mengerti betul makna dari kata-kata itu.
### **Panggilan Telepon yang Mengubah Segalanya**
Tiba-tiba, telepon di meja samping tempat duduknya berdering, mengganggu kedamaian pagi itu. Karina melihat nama yang muncul di layar dan merasa hatinya terhenti sejenak.
**Adrian.**
Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Setelah perpisahan mereka yang agak tegang, ia tidak pernah benar-benar berharap Adrian akan menghubunginya lagi. Namun, ada perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya—kerinduan, rasa ingin tahu, dan sedikit rasa cemas.
Dengan menarik napas dalam-dalam, Karina mengangkat telepon itu.
“Adrian,” sapanya pelan, suaranya sedikit bergetar.
“Karina,” jawab Adrian dengan suara yang terdengar lebih tenang daripada yang ia duga. “Aku tahu kita sudah lama tidak berbicara, dan aku… aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Karina tersenyum kecil meskipun hatinya terasa berat. “Aku baik-baik saja, Adrian.”
Ada jeda sejenak di antara mereka, seolah keduanya sedang mencari kata-kata yang tepat. Karina bisa merasakan bahwa Adrian juga sedang berusaha untuk tidak terlalu terbuka tentang perasaannya.
“Aku… aku ingin tahu,” lanjut Adrian pelan. “Apa kamu sudah menemukan apa yang kamu cari?”
Pertanyaan itu membuat Karina terdiam. Ia mengingat kembali perjalanan panjangnya—semua kebingungannya, rasa takutnya, dan akhirnya keputusan untuk melepaskan semuanya. Ia tahu, meskipun ia sudah jauh dari Adrian, ia harus tetap jujur pada dirinya sendiri.
“Aku pikir… aku mulai menemukan jawabannya, Adrian,” jawab Karina dengan suara penuh keyakinan. “Tapi bukan karena aku mencari cinta atau kebahagiaan di luar diriku. Aku baru menyadari bahwa aku harus menyayangi diriku sendiri terlebih dahulu.”
Di sisi lain, Adrian terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Aku senang mendengarnya. Aku… aku ingin kamu bahagia, Karina, meskipun kita tidak bersama.”
Karina bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata Adrian, dan untuk pertama kalinya, ia merasa damai. Mungkin mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama, tetapi ia tahu bahwa Adrian masih menginginkan yang terbaik untuknya.
“Aku juga ingin kamu bahagia, Adrian,” jawab Karina dengan suara lembut. “Terima kasih untuk semuanya.”
Setelah itu, percakapan mereka berakhir dengan kata-kata yang hangat, tetapi tanpa ada janji atau harapan untuk kembali bersama. Keduanya tahu bahwa sudah saatnya mereka melepaskan masa lalu dan menjalani hidup masing-masing dengan cara yang berbeda.
### **Kehidupan Baru yang Terbuka Lebar**
Minggu-minggu berikutnya, Karina merasa seperti orang yang terlahir kembali. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri—berjalan di taman, membaca buku, dan mengeksplorasi kota yang sudah lama tidak ia nikmati. Ia merasakan kebebasan yang selama ini hilang, dan yang lebih penting, ia merasakan kedamaian yang datang dengan menerima diri sendiri.
Suatu hari, saat Karina sedang berjalan di trotoar yang penuh dengan daun-daun gugur, ia bertemu dengan seseorang yang tidak ia duga. Seorang pria dengan senyum hangat dan mata penuh kedamaian.
“Karina?” suara itu memanggilnya, membuatnya berhenti sejenak.
Ia menoleh dan menemukan seorang pria yang terlihat familiar, tetapi ia tidak bisa langsung mengingat siapa.
Pria itu tersenyum lebih lebar. “Aku Alif, teman lama dari kuliah. Ingat aku?”
Karina mengerutkan dahi, berusaha mengingat. Dan akhirnya, ia tersenyum. “Oh, ya, tentu. Alif! Lama sekali tidak bertemu.”
Alif tertawa kecil. “Iya, sudah lama sekali. Bagaimana kabarmu?”
Karina merasa sedikit canggung, tetapi ia merasa senang bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalu yang tidak terkait dengan kekacauan hubungan sebelumnya. “Aku baik-baik saja, terima kasih.”
“Senang mendengarnya,” jawab Alif. “Aku baru saja pindah kembali ke kota ini, dan sepertinya kita bisa bertemu lagi.”
Karina tersenyum, merasa ringan. “Itu ide yang bagus.”
Alif mengangguk. “Kapan-kapan, kita bisa minum kopi bersama. Aku yakin ada banyak hal yang ingin kita ceritakan.”
Karina merasa hati kecilnya berdegup lebih cepat, tetapi kali ini, ia tahu perasaan itu datang dari rasa ingin tahu yang sederhana, bukan dari keinginan untuk mencari kebahagiaan melalui hubungan baru. Ia merasa cukup untuk dirinya sendiri.
### **Melangkah Pasti ke Masa Depan**
Saat senja mulai turun, Karina berdiri di balkon apartemennya, menatap langit yang perlahan berubah menjadi oranye. Ia merasa nyaman dengan kehidupannya yang baru, meskipun ia tahu bahwa perjalanan ini baru dimulai. Ia telah belajar untuk melepaskan, untuk menerima dirinya apa adanya, dan untuk mencari kebahagiaan yang lebih dalam dirinya sendiri.
Dengan hati yang lebih ringan, Karina menghembuskan napas panjang, menyambut hari baru yang penuh dengan kemungkinan. Ia tidak tahu apa yang akan datang di masa depan, tetapi yang ia tahu adalah bahwa ia siap menghadapi segala sesuatu yang hidup siapkan untuknya.
Dan mungkin, di suatu waktu nanti, ia akan membuka hatinya kembali untuk cinta. Tetapi bukan karena ia membutuhkan itu untuk melengkapi dirinya, melainkan karena ia sudah lengkap, dan cinta itu akan datang sebagai bonus, bukan kebutuhan.
Karina tersenyum pada dirinya sendiri, merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu bahwa ia tidak perlu lagi mencari, karena segala yang ia butuhkan sudah ada di dalam dirinya.
Dengan itu, Karina melangkah maju, meninggalkan segala hal yang mengikatnya ke masa lalu, dan menyambut masa depan yang penuh dengan harapan.***
—–the end—–