Daftar Isi
- Bab 1: Pernikahan yang Tak Sesempurna Dugaan
- Bab 2: Tatapan yang Menggoda
- Bab 3: Rahasia di Balik Senyum Mertua
- Bab 4: Batas yang Mulai Pudar
- Bab 5: Godaan di Antara Dosa
- Bab 6: Sentuhan yang Tak Seharusnya Ada
- Bab 7: Gejolak yang Tak Terbendung
- Bab 8: Rahasia di Balik Dinding
- Bab 9: Titik Tanpa Kembali
- Bab 10: Penyesalan yang Terlambat
Bab 1: Pernikahan yang Tak Sesempurna Dugaan
Matahari bersinar lembut saat Nayla berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Gaun tidurnya jatuh anggun di tubuhnya, tapi matanya tampak kosong. Sudah enam bulan ia menikah dengan Ardi, tetapi pernikahannya terasa semakin hambar. Awalnya, ia percaya bahwa cinta akan tumbuh seiring waktu, tetapi semakin lama, yang ada hanya kesepian yang menghantui.
Ardi, suaminya, adalah pria yang bertanggung jawab. Ia bekerja sebagai manajer di perusahaan ternama, gajinya besar, dan ia selalu memastikan kebutuhan Nayla terpenuhi. Namun, semua itu terasa sia-sia ketika perhatian dan kebersamaan tak pernah ia berikan. Pagi-pagi sekali Ardi sudah berangkat kerja, dan ketika pulang, ia hanya sibuk dengan laptopnya atau langsung tidur.
Hari itu pun tak berbeda. Nayla menyiapkan sarapan seperti biasa, berharap kali ini Ardi akan duduk bersamanya lebih lama. Tapi harapan itu pupus ketika suaminya mengikat dasi sambil menatap jam dinding.
“Aku harus berangkat lebih awal hari ini, ada meeting penting,” katanya sambil mengambil roti di meja.
Nayla menahan kecewa. “Kamu nggak bisa sarapan sebentar?”
Ardi hanya tersenyum tipis dan mengecup keningnya sekilas. “Maaf ya, Sayang. Aku pulang malam nanti. Jangan tunggu aku.”
Dan begitu saja, ia pergi.
Nayla menghela napas panjang. Rumah yang mereka tempati bersama terasa begitu besar dan kosong. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah keluarga Ardi, bersama ayahnya, Iwan. Ibu Ardi sudah meninggal lima tahun lalu, jadi hanya mereka bertiga di rumah itu. Awalnya, Nayla menganggap itu hal yang biasa. Lagipula, Iwan bukanlah mertua yang menakutkan. Sebaliknya, pria itu ramah dan berwibawa.
Nayla melangkah ke ruang tengah, melihat Iwan yang tengah duduk di teras dengan koran di tangannya. Pria itu berusia hampir lima puluh tahun, tetapi pesonanya masih terpancar kuat. Rambutnya mulai beruban, tapi wajahnya tetap tampan dengan garis-garis tegas yang menambah karismanya.
“Pagi, Nayla,” sapanya tanpa mengalihkan pandangan dari koran.
“Pagi, Papa,” jawab Nayla, berjalan mendekat.
“Ardi sudah pergi?”
Nayla mengangguk, duduk di kursi di sebelahnya. “Seperti biasa. Pergi pagi, pulang malam.”
Iwan melipat korannya dan menatap menantunya itu. “Kamu kelihatan kurang bahagia, Nak.”
Nayla terdiam sejenak sebelum tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, Pa.”
Iwan menghela napas. “Jangan membohongi diri sendiri. Aku tahu rasanya kesepian dalam rumah tangga.”
Nayla menatap pria itu, merasakan pengertian dalam tatapannya. Iwan memiliki tatapan yang berbeda dari Ardi—lebih dalam, lebih tajam. Entah mengapa, kata-kata pria itu selalu terasa hangat di hatinya.
“Aku hanya butuh waktu untuk membiasakan diri,” akhirnya Nayla berucap.
Iwan mengangguk, tetapi senyumnya mengandung sesuatu yang sulit diartikan. “Kalau butuh teman bicara, aku selalu ada di sini.”
Saat itu, Nayla tidak menyadari bahwa obrolan sederhana ini adalah awal dari perasaan yang tidak seharusnya tumbuh.*
Bab 2: Tatapan yang Menggoda
Malam turun dengan tenang di rumah keluarga Ardi. Suara televisi terdengar sayup-sayup dari ruang keluarga, tempat Iwan duduk menikmati siaran berita. Di dapur, Nayla tengah membereskan piring-piring bekas makan malam. Biasanya, pekerjaan ini terasa biasa saja, tetapi entah kenapa, malam ini ia merasa gelisah.
Semenjak obrolannya dengan Iwan pagi tadi, pikirannya terusik. Pria itu terlalu memahami perasaannya, lebih dari Ardi sendiri. Ada sesuatu dalam cara Iwan menatapnya—tatapan yang tajam, penuh arti, seolah bisa menembus pikirannya yang paling dalam. Nayla menggelengkan kepala, mencoba menepis pemikiran aneh itu.
Ia meraih segelas air dan hendak membawanya ke meja makan, tetapi tanpa sengaja kakinya tersandung sudut karpet kecil di dapur. Gelas dalam genggamannya terlepas, jatuh dan pecah berkeping-keping di lantai.
“Ah!” Nayla tersentak mundur. Beberapa pecahan kaca menyebar di sekitar kakinya.
Tak sampai beberapa detik, Iwan sudah berdiri di ambang pintu dapur. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya cepat.
Nayla menatapnya dengan sedikit kaget. Ia tak menyangka Iwan akan bergerak secepat itu.
“Aku… Aku baik-baik saja, Pa. Cuma gelasnya pecah,” katanya gugup.
Iwan berjalan mendekat, tatapannya tajam mengamati keadaan. “Jangan gerak dulu. Kakimu bisa kena pecahan kaca.”
Nayla hendak membungkuk untuk memungut pecahan kaca, tetapi Iwan lebih dulu menggenggam tangannya. Jantung Nayla berdebar kencang.
“Biar Papa saja,” kata pria itu dengan suara tenang.
Nayla merasakan sentuhan tangan Iwan yang kuat di pergelangan tangannya. Hangat. Sesuatu dalam dirinya bergetar, tetapi ia buru-buru menarik tangannya dan mundur selangkah.
“Terima kasih, Pa… Aku ambil sapu saja,” katanya dengan suara sedikit bergetar.
Iwan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi hati-hati lain kali, ya.”
Nayla mengangguk dan buru-buru mengambil sapu, mencoba mengalihkan perhatiannya dari pria itu. Namun, perasaannya tetap tidak tenang. Ada sesuatu dalam tatapan Iwan tadi—sesuatu yang membuatnya merinding, tetapi bukan dalam arti yang buruk.
Setelah dapur kembali bersih, Nayla masuk ke kamarnya dan berbaring di tempat tidur. Ardi belum pulang, seperti biasa. Matanya menatap langit-langit, tetapi pikirannya dipenuhi bayangan satu orang: Iwan.
Ia menggigit bibir, mencoba melawan perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Tidak mungkin.
Tapi mengapa jantungnya berdetak begitu cepat saat mengingat sentuhan tangan pria itu?
Ia memejamkan mata, berharap perasaan ini akan hilang dengan tidur. Namun, malam itu, ia justru bermimpi tentang pria yang seharusnya hanya menjadi mertuanya.*
Bab 3: Rahasia di Balik Senyum Mertua
Pagi itu, matahari bersinar lembut, menembus celah-celah tirai kamar Nayla. Ia bangun lebih awal dari biasanya, masih teringat mimpi aneh yang membuatnya gelisah semalaman. Dalam mimpi itu, ia berdiri di halaman rumah, angin malam menerpa kulitnya, dan Iwan menatapnya dengan mata yang begitu tajam. Tidak ada kata-kata, hanya tatapan penuh makna yang membuatnya tersadar dengan jantung berdetak kencang.
Nayla menggelengkan kepala, mencoba menghapus bayangan itu dari pikirannya. Ia berdiri dan melangkah ke kamar mandi, membasuh wajah dengan air dingin. “Ini hanya pikiranmu yang terlalu jauh, Nay,” gumamnya pada bayangannya sendiri di cermin.
Setelah merasa sedikit lebih tenang, ia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, Ardi sudah berangkat sejak subuh. Tidak ada pelukan selamat pagi, tidak ada kecupan mesra seperti yang dilakukan suami lain pada istrinya. Hanya sisa aroma parfum yang menempel di udara, menjadi bukti bahwa Ardi ada di rumah beberapa jam lalu.
Nayla menghela napas, lalu mulai menyalakan kompor. Saat ia sibuk menggoreng telur, suara langkah kaki terdengar dari arah ruang tengah.
“Pagi, Nayla.”
Suara berat dan dalam itu membuat Nayla sedikit tersentak. Ia menoleh dan melihat Iwan berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kaus polo dan celana santai. Rambutnya masih sedikit acak-acakan, menunjukkan bahwa ia baru saja bangun.
“Pagi, Papa,” jawab Nayla, mencoba bersikap biasa saja.
Iwan melangkah masuk dan mengambil gelas dari rak, lalu menuangkan air putih. Ia menyesapnya perlahan sebelum menatap Nayla. “Ardi pergi lagi tanpa sarapan?”
Nayla mengangguk, berusaha fokus pada telurnya yang hampir matang. “Seperti biasa.”
Iwan duduk di kursi dekat meja makan dan memperhatikannya. “Kamu nggak merasa kesepian?”
Pertanyaan itu menusuk tepat di hati Nayla. Ia diam sejenak sebelum menjawab. “Terkadang.”
Iwan mengangguk pelan, seolah memahami perasaannya. “Papa tahu rasanya, Nay. Setelah Mama meninggal, rumah ini terasa kosong. Dan sekarang, melihat kamu di sini, sendiri setiap hari… Papa bisa merasakan apa yang kamu rasakan.”
Nayla menelan ludah. Ada sesuatu dalam suara Iwan yang terdengar begitu tulus, membuatnya merasa dimengerti dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Papa tahu, Ardi bukan suami yang sempurna. Dia sibuk, terlalu fokus pada pekerjaannya. Tapi kamu masih muda, Nay. Kamu butuh perhatian, butuh seseorang yang ada untukmu,” lanjut Iwan, suaranya lebih pelan kali ini.
Nayla berbalik perlahan, menatap pria itu. Ada senyum di wajah Iwan—senyum yang terlihat hangat, tetapi juga menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan. Tatapannya begitu dalam, begitu meneliti, seolah bisa membaca isi hatinya.
Jantung Nayla berdegup lebih cepat. Ia tidak tahu kenapa, tetapi perasaannya mulai bercampur aduk. Apakah Iwan hanya sedang berbicara sebagai seorang mertua yang peduli, atau ada sesuatu yang lebih dari itu?
“Aku… Aku baik-baik saja, Pa,” kata Nayla akhirnya, mencoba mengendalikan emosinya.
Iwan mengangguk, tetapi matanya tetap tertuju pada Nayla dengan tatapan yang sama. “Kalau ada apa-apa, Papa selalu ada untukmu.”
Nayla mengangguk cepat, lalu buru-buru memindahkan telur goreng ke piring. Ia harus menjauh sebelum perasaannya semakin tak terkendali.
Namun, saat ia berbalik, Iwan masih ada di sana. Dan untuk pertama kalinya, Nayla menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam hubungan mereka. Sesuatu yang berbahaya.
Sesuatu yang seharusnya tidak ada.*
Bab 4: Batas yang Mulai Pudar
Malam itu, hujan turun dengan deras, membasahi halaman rumah. Gemericik air yang jatuh di genting menciptakan irama monoton yang seharusnya menenangkan, tetapi bagi Nayla, suara itu justru semakin mempertegas kegelisahan yang bergejolak dalam dirinya.
Ardi kembali pulang larut malam, seperti biasa. Saat lelaki itu masuk ke kamar, Nayla hanya menatapnya dalam diam.
“Kamu belum tidur?” tanya Ardi sambil melepas dasinya.
Nayla menggeleng. “Aku nunggu kamu.”
Ardi hanya tersenyum tipis lalu langsung duduk di tepi ranjang, menyalakan ponselnya dan mulai membalas beberapa pesan. Nayla menunggu, berharap ada satu pertanyaan sederhana yang menunjukkan kepeduliannya—*”Apa kamu baik-baik saja?”* atau *”Bagaimana harimu?”*—tetapi itu tidak pernah datang.
Dengan kecewa, Nayla berbaring dan memejamkan matanya. Tetapi pikirannya justru melayang pada seseorang yang lain.
***Iwan.***
Sejak pagi tadi, ada sesuatu yang berbeda dalam interaksi mereka. Cara Iwan menatapnya terlalu lama, terlalu dalam. Cara pria itu berbicara—lembut, penuh perhatian—membuat Nayla merasa diperhatikan. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari Ardi.
***Kenapa aku seperti ini?*** Nayla bertanya dalam hati, merasa frustrasi dengan dirinya sendiri.
Namun, semakin ia mencoba menepis perasaan itu, semakin perasaan itu tumbuh.
—
Keesokan harinya, Ardi harus pergi dinas ke luar kota selama tiga hari. Biasanya, Nayla tidak masalah dengan kepergian suaminya, tetapi kali ini, ia merasa sedikit berbeda. Bukan karena ia takut sendirian, tetapi karena ia tahu siapa yang akan ada di rumah bersamanya.
Iwan.
Mereka hanya berdua.
Hari pertama berlalu dengan normal. Nayla berusaha menjaga jarak dan bersikap sewajarnya, tetapi di sudut hatinya, ada perasaan aneh yang tidak bisa ia abaikan. Iwan selalu berada di dekatnya, seolah mencari kesempatan untuk berbicara atau sekadar bertukar tatapan.
Saat makan malam, Nayla duduk di meja makan dengan gugup. Iwan duduk di hadapannya, menikmati makanannya dengan tenang. Tetapi atmosfer di antara mereka terasa begitu berat.
“Kamu kelihatan gelisah,” kata Iwan tiba-tiba.
Nayla tersentak kecil. “Enggak, aku baik-baik saja.”
Iwan menatapnya, matanya penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan. “Kamu yakin?”
Nayla menunduk, menusuk-nusuk nasinya dengan garpu. Ia ingin mengakhiri pembicaraan ini, tetapi keheningan justru membuat suasana semakin menegangkan.
Setelah makan malam, Nayla langsung naik ke kamar. Ia butuh waktu untuk menjernihkan pikirannya. Namun, saat ia hendak menutup pintu kamar, sebuah suara menghentikannya.
“Nayla.”
Ia berbalik. Iwan berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Ya, Pa?” tanyanya dengan suara pelan.
Iwan diam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kalau ada yang mengganggumu, kamu bisa cerita ke Papa.”
Nayla mengangguk cepat, tetapi tidak menjawab. Ia tidak bisa mengatakan bahwa yang mengganggunya adalah perasaan yang perlahan tumbuh di antara mereka.
“Selamat malam,” kata Iwan akhirnya, sebelum berbalik dan berjalan pergi.
Nayla menutup pintunya dengan cepat, bersandar pada kayunya, dan merasakan dadanya berdebar hebat.
Ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.
Sesuatu yang berbahaya.
Dan ia tidak tahu apakah ia bisa menghentikannya.*
Bab 5: Godaan di Antara Dosa
Malam itu, Nayla tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh tatapan Iwan di depan kamarnya tadi. Tatapan itu bukan sekadar perhatian seorang mertua kepada menantunya. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit.
Nayla memejamkan mata, mencoba mengabaikan debaran jantungnya. Ia menarik napas panjang, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya ilusi. Bahwa ia hanya kesepian, dan Iwan hanyalah satu-satunya orang yang memberikan perhatian padanya di rumah ini.
Namun, semakin ia mencoba menepis perasaan itu, semakin kuat godaan itu mencengkeramnya.
—
Keesokan paginya, hujan masih mengguyur halaman rumah. Langit mendung membuat suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Nayla turun ke dapur lebih awal, berharap bisa menghindari Iwan. Namun, saat ia masuk ke dapur, pria itu sudah lebih dulu ada di sana.
“Pagi,” sapa Iwan sambil menyesap kopi dari cangkirnya.
“Pagi, Pa,” jawab Nayla cepat, berusaha menghindari tatapannya.
Iwan memperhatikannya beberapa saat sebelum berkata, “Kamu kelihatan lelah. Kurang tidur?”
Nayla menggigit bibir. “Iya, sedikit.”
Iwan tersenyum tipis, lalu berdiri dari kursinya. “Kamu butuh udara segar. Temani Papa jalan-jalan di taman belakang?”
Nayla ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Ia berpikir bahwa mungkin ini hanya percakapan biasa. Tidak ada yang salah.
Mereka berjalan di taman belakang, menghindari rintik hujan yang mulai reda. Iwan tampak santai, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana santainya. Sementara Nayla tetap menjaga jarak, meskipun pikirannya tidak bisa lepas dari keberadaan pria itu di sampingnya.
“Kamu tahu, Nay,” kata Iwan tiba-tiba. “Dulu, waktu pertama kali Ardi mengenalkanmu ke Papa, Papa langsung tahu kalau kamu wanita yang istimewa.”
Nayla menoleh, sedikit terkejut. “Kenapa Papa berpikir begitu?”
Iwan tersenyum. “Karena kamu berbeda. Kamu bukan hanya cantik, tapi juga lembut dan perhatian.”
Jantung Nayla berdebar. Ia ingin menganggap kata-kata itu sebagai pujian biasa, tetapi nada suara Iwan terdengar lebih dalam. Seolah-olah ada sesuatu yang tersirat di baliknya.
“Papa selalu merasa rumah ini terlalu sepi sejak Mama meninggal,” lanjut Iwan. “Tapi sejak kamu ada di sini, rasanya ada kehidupan baru. Ada seseorang yang bisa Papa ajak bicara, yang bisa mengerti.”
Nayla menelan ludah. Ia tidak tahu harus berkata apa.
“Apa kamu merasa kesepian, Nay?” tanya Iwan pelan.
Nayla mengangkat wajahnya, menatap pria itu. Hujan gerimis membasahi daun-daun di sekitar mereka, menciptakan suasana yang lebih intim.
“Aku…” Nayla ragu, tetapi akhirnya mengakui, “Kadang-kadang, iya.”
Iwan menatapnya dengan mata penuh pengertian. “Kalau begitu, kita sama, Nay.”
Sejenak, dunia terasa berhenti. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang membuat Nayla merasa seolah mereka adalah dua orang yang terjebak dalam situasi yang sama—kesepian, butuh perhatian, dan perlahan menemukan penghiburan satu sama lain.
Saat Iwan mengulurkan tangan, menyentuh lembut jemari Nayla, tubuhnya menegang. Namun, yang mengejutkan adalah… ia tidak segera menarik diri.
Dan dalam keheningan, tanpa disadari, batas di antara mereka semakin memudar.*
Bab 6: Sentuhan yang Tak Seharusnya Ada
Sejak pagi itu di taman belakang, sesuatu berubah di antara Nayla dan Iwan. Mereka tidak pernah membicarakan tentang sentuhan singkat di antara jemari mereka, tetapi keduanya tahu bahwa batas telah mulai pudar.
Hari itu, Nayla mencoba menghindari Iwan sebisa mungkin. Ia mengurung diri di kamar, membaca buku, menonton televisi, atau sekadar pura-pura sibuk dengan pekerjaannya di dapur. Namun, tidak peduli seberapa keras ia mencoba, pikirannya selalu kembali pada pria itu.
Tatapan Iwan.
Senyumnya.
Sentuhannya.
Saat malam tiba, Nayla turun untuk mengambil air di dapur. Rumah terasa begitu sunyi. Hanya suara detik jam di ruang tengah yang terdengar samar.
Saat ia membuka kulkas, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari belakang.
“Belum tidur?”
Nayla tersentak dan menoleh cepat. Iwan berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kaus tidur dan celana pendek. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi justru itulah yang membuatnya tampak lebih santai—lebih berbahaya.
“Ah… aku cuma mau ambil air, Pa,” jawab Nayla cepat, berharap ia bisa segera kembali ke kamarnya.
Iwan berjalan mendekat, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu menghindari Papa hari ini,” katanya pelan.
Nayla menegang. “Enggak, aku cuma… sibuk.”
Iwan menyeringai kecil, seolah tidak percaya. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, mengistirahatkan satu tangan di meja dapur, membuat jarak di antara mereka semakin sempit.
“Kamu takut sama Papa?” tanyanya lembut.
Jantung Nayla berdetak lebih cepat. Ia mencoba bersikap tenang, tetapi tubuhnya terasa panas oleh kedekatan pria itu.
“Bukan takut,” katanya, suaranya hampir berbisik. “Tapi… ini salah, Pa.”
Iwan menghela napas, lalu mengangkat tangannya perlahan. Nayla terpaku saat pria itu menyentuh pipinya dengan lembut, ibu jarinya menyusuri kulitnya dengan sentuhan yang hampir tak terasa.
“Tapi kamu nggak menolak,” kata Iwan, suaranya lebih rendah dari sebelumnya.
Nayla menahan napas. Ia tahu ia seharusnya mundur, menarik diri, berlari ke kamarnya dan mengunci pintu. Tetapi tubuhnya menolak untuk bergerak.
Jemari Iwan turun, menyentuh dagunya, mengangkat wajah Nayla sedikit agar mata mereka bertemu. Ada sesuatu di dalam mata pria itu—sesuatu yang hangat, menuntut, dan memabukkan.
“Nayla…” suara Iwan terdengar lebih dalam, seolah mencoba menahan sesuatu.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya, Nayla merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Desakan.
Keinginan.
Larangan yang terasa begitu menggoda.
Namun, sebelum batas itu benar-benar terlewati, langkah kaki terdengar di luar.
Keduanya langsung tersentak. Nayla mundur dengan cepat, sementara Iwan merapatkan rahangnya, mencoba mengendalikan dirinya.
Beberapa detik kemudian, suara dering ponsel memecah keheningan. Iwan mengeluarkan ponselnya dan melihat nama yang tertera di layar.
“Ardi menelpon,” katanya pelan, tatapannya masih tertuju pada Nayla.
Nayla merasa dadanya sesak. Ia buru-buru mengambil gelasnya, berbalik, dan melangkah cepat menuju kamar tanpa berkata apa-apa.
Saat ia menutup pintu dan bersandar di baliknya, tubuhnya gemetar.
Ia baru saja berdiri di tepi jurang yang sangat berbahaya.
Dan yang lebih menakutkan adalah… ia tidak yakin apakah ia bisa menahan dirinya untuk tidak jatuh lebih dalam.*
Bab 7: Gejolak yang Tak Terbendung
Sejak kejadian di dapur malam itu, Nayla merasa dirinya berubah. Setiap kali berpapasan dengan Iwan, tubuhnya menegang, pikirannya kacau. Ia ingin menghindar, tetapi entah mengapa, selalu ada daya tarik yang membuatnya tetap terjebak di orbit pria itu.
Iwan, di sisi lain, tampaknya tidak berusaha menjauh. Justru sebaliknya—pria itu semakin sering berada di dekatnya, seolah menunggu sesuatu. Tatapannya selalu penuh arti, penuh ketegangan yang Nayla tahu berbahaya tetapi tetap sulit dihindari.
Hari itu, hujan turun deras lagi, seolah langit ikut merasakan kekacauan yang bergejolak dalam hatinya. Nayla duduk di ruang tengah, mencoba fokus menonton televisi, tetapi pikirannya melayang.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh dan melihat Iwan berdiri di dekat sofa, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kamu sendiri aja?” tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Nayla mengangguk cepat. “Iya… cuma nonton.”
Iwan berjalan mendekat dan duduk di sofa sebelahnya, cukup dekat hingga Nayla bisa mencium aroma maskulin khas pria itu. Ada sesuatu dalam kehadiran Iwan yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan sebelum Iwan berbicara lagi.
“Kamu masih menghindari Papa?” tanyanya, suaranya terdengar hampir berbisik.
Nayla menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku cuma… nggak mau salah langkah, Pa.”
Iwan tersenyum kecil, tetapi ada kesedihan di baliknya. “Salah langkah?”
Nayla menoleh menatapnya. “Ya… ini semua nggak seharusnya terjadi.”
Iwan menatapnya dalam-dalam. “Tapi sudah terjadi, kan?”
Jantung Nayla berdegup lebih cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi ia tahu Iwan benar. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba menepis perasaan ini, tetap saja ada sesuatu di antara mereka yang tidak bisa diabaikan.
Lalu tiba-tiba, listrik padam.
Ruangan yang tadi hanya diterangi lampu redup kini benar-benar gelap. Nayla terkesiap kecil, tubuhnya menegang.
“Tenang,” suara Iwan terdengar lebih dekat, dan sebelum Nayla sempat bereaksi, pria itu sudah menyentuh tangannya.
Sentuhan itu mengirimkan getaran ke seluruh tubuh Nayla. Ia seharusnya menarik diri, tetapi ia tetap diam, membiarkan jemari Iwan menggenggamnya erat.
“Ikut Papa,” kata Iwan pelan, lalu menariknya berdiri.
Nayla tidak melawan. Entah karena gelap, atau karena ia tidak bisa menolak, ia mengikuti langkah pria itu, berjalan perlahan menuju arah balkon belakang.
Di luar, hujan masih turun rintik-rintik. Angin malam menyapu kulit mereka, menambah dingin yang anehnya justru membuat tubuh Nayla semakin panas.
Mereka berdiri berhadapan di bawah remang cahaya bulan yang tersamar di balik awan. Iwan masih menggenggam tangannya, ibu jarinya mengusap lembut kulitnya.
“Nayla…” suara pria itu serak, nyaris berbisik.
Nayla mendongak, matanya bertemu dengan mata Iwan yang dipenuhi sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Ada keinginan, ada penyesalan, ada pergolakan yang sama seperti yang ia rasakan.
Seketika, dunia di sekitar mereka menghilang. Yang tersisa hanyalah keduanya, berdiri di ambang batas antara benar dan salah.
Dan sebelum Nayla sempat berpikir lebih jauh, Iwan mengangkat tangannya, menyentuh pipinya dengan lembut.
Nayla tidak mundur.
Ia juga tidak menolak saat wajah Iwan semakin dekat, napas pria itu membelai kulitnya.
Dan saat bibir mereka hampir bersentuhan—
***Dering ponsel memecah keheningan.***
Nayla tersentak mundur. Iwan mengerjap, seolah baru tersadar dari sesuatu yang berbahaya.
Suara ponsel itu berasal dari dalam rumah. Suara dering yang begitu familiar bagi Nayla.
Itu ponsel Ardi.
Ardi sudah pulang.
Mereka berdua saling menatap dalam diam, jantung masih berdebar kencang. Tidak ada kata-kata yang terucap, tetapi keduanya tahu bahwa apa yang hampir terjadi tadi… tidak akan bisa dilupakan begitu saja.
Dan kini, semuanya menjadi lebih rumit.*
Bab 8: Rahasia di Balik Dinding
Ardi pulang lebih cepat dari yang dijadwalkan. Seharusnya ia baru kembali ke rumah besok pagi, tetapi kini suara langkahnya sudah menggema di dalam rumah. Nayla berdiri kaku di balkon, jantungnya masih berdetak kencang setelah momen nyaris terlarang dengan Iwan.
Iwan menghela napas panjang, lalu melangkah mundur. Tatapannya tetap tertuju pada Nayla, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata yang keluar.
“Nay, kamu di mana?” suara Ardi terdengar dari dalam rumah.
Nayla menelan ludah, mencoba mengendalikan dirinya. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik menuju ruang tengah, meninggalkan Iwan yang masih berdiri di balkon.
Saat ia masuk ke dalam, Ardi sudah menatapnya dengan ekspresi lelah.
“Kok nggak tidur?” tanya suaminya sambil melepas jaket.
“Aku… baru mau ke kamar,” jawab Nayla cepat, berusaha terdengar biasa saja.
Ardi mengangguk dan mendekatinya, lalu mengecup keningnya sekilas. Namun, tidak ada kehangatan dalam sentuhan itu. Hanya sebuah rutinitas, kebiasaan yang semakin hari semakin hambar.
Iwan akhirnya masuk ke ruang tengah, ekspresinya sudah kembali tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. “Kamu pulang lebih cepat,” katanya kepada Ardi.
Ardi mengangguk. “Iya, kerjaan selesai lebih cepat dari yang diperkirakan.”
“Baguslah,” sahut Iwan singkat sebelum melangkah menuju kamarnya sendiri.
Nayla menatap kepergiannya dalam diam. Ada sesuatu yang terasa begitu menggantung di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
—
Malam itu, Nayla terbaring di samping Ardi, tetapi pikirannya tidak berada di sana. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi bayangan Iwan terus muncul. Tatapan pria itu, suaranya, sentuhannya—semua masih terasa begitu nyata.
Saat itulah ia menyadari sesuatu.
***Ia tidak bisa lagi menyangkal perasaannya.***
Ini bukan hanya sekadar kesepian. Bukan hanya karena kurangnya perhatian dari Ardi. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya.
Dan yang lebih menakutkan adalah… ia tidak ingin menghentikannya.
—
Pagi harinya, Nayla mencoba menjalani harinya seperti biasa. Ia menyiapkan sarapan, mengantar Ardi ke pintu sebelum suaminya berangkat kerja, lalu berusaha sibuk dengan pekerjaannya di rumah.
Namun, saat ia berjalan menuju dapur, ia merasakan tatapan yang begitu familiar mengikutinya.
Dan benar saja, saat ia menoleh, Iwan sudah berdiri di ambang pintu, menatapnya tanpa berkata apa-apa.
Ada keheningan yang menekan di antara mereka, keheningan yang penuh dengan sesuatu yang tidak tersampaikan.
“Kita nggak bisa terus seperti ini,” kata Nayla akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
Iwan tetap diam. Tetapi tatapannya semakin dalam, semakin menuntut.
“Kamu mau menghindar lagi?” tanyanya pelan.
Nayla menggigit bibir. “Aku nggak tahu, Pa…”
Iwan melangkah mendekat, semakin dekat hingga Nayla bisa merasakan kehangatan tubuhnya. “Kalau kamu nggak mau, kenapa kamu masih di sini?”
Jantung Nayla berdegup kencang. Ia tidak bisa menjawab.
Karena jawabannya adalah sesuatu yang tidak ingin ia akui.
Ia ***ingin*** berada di sini. Ia ***ingin*** merasakan perasaan ini.
Dan saat Iwan mengangkat tangannya, menyentuh dagunya dengan lembut, Nayla tahu bahwa ia berada di ambang sesuatu yang tidak bisa ia hindari lagi.
Sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.*
Bab 9: Titik Tanpa Kembali
Hari-hari setelah itu menjadi semakin sulit bagi Nayla. Ia tahu seharusnya ia menjauh, membatasi diri, menghindari semua yang bisa membuatnya terperosok lebih dalam. Tapi setiap kali ia mencoba, sesuatu selalu menariknya kembali.
Dan Iwan tidak membantu sama sekali.
Pria itu selalu ada—dengan tatapan yang menghanguskannya, dengan sentuhan yang semakin berani, dengan kehadiran yang membuatnya merasa diinginkan seperti yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Seperti pagi ini.
Nayla sedang berada di dapur, sibuk mencuci piring setelah sarapan. Ardi sudah berangkat kerja sejak satu jam yang lalu, meninggalkan rumah hanya dengan dirinya dan Iwan.
Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi saat Iwan masuk ke dapur, tubuhnya langsung menegang.
Ia bisa merasakan pria itu berdiri di belakangnya, bisa mendengar napasnya yang begitu dekat di tengkuknya.
“Nayla…” suara Iwan terdengar rendah, hampir seperti bisikan yang berbahaya.
Nayla menutup matanya erat, tangannya mencengkeram kuat pinggiran wastafel.
“Jangan, Pa…” ucapnya pelan, tetapi suaranya lemah, hampir seperti permohonan yang tidak yakin.
Tangan Iwan bergerak, menyentuh lembut pinggangnya. Sentuhan yang sederhana, tetapi cukup untuk membuat tubuh Nayla gemetar.
“Kamu mau aku berhenti?” tanyanya, suaranya terdengar penuh tantangan.
Nayla ingin berkata ‘iya’, ingin mendorong pria itu pergi, ingin mengakhiri semua ini.
Tapi tubuhnya justru membeku, tidak mampu melawan.
Dan Iwan tahu.
Pria itu berbalik, memutar tubuh Nayla hingga kini mereka saling berhadapan. Tatapan Iwan mengunci matanya, menyelami setiap perasaan yang bergejolak di sana.
“Katakan kalau kamu nggak mau ini,” bisiknya.
Nayla membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu tidak pernah keluar.
Karena sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, bibir Iwan sudah menyentuh bibirnya.
Seketika dunia di sekitarnya menghilang.
Tidak ada lagi benar atau salah. Tidak ada lagi logika atau akal sehat.
Hanya ada dirinya dan Iwan, tenggelam dalam ciuman yang penuh dengan gairah terpendam, dengan keinginan yang selama ini mereka coba abaikan.
Dan saat itu, Nayla tahu satu hal.
***Tidak ada jalan kembali.***
Bab 10: Penyesalan yang Terlambat
Pagi itu, dunia masih terasa seperti semalam. Dingin, sunyi, penuh rahasia yang tak bisa dihapus begitu saja. Nayla duduk di ujung ranjangnya, menggenggam selimut erat-erat.
Ia tidak bisa memercayai apa yang telah terjadi.
Ciuman itu.
Sentuhan itu.
Keputusan itu.
Ia telah melewati batas yang seharusnya tidak pernah dilewati.
Di ruangan lain, Iwan juga duduk diam di tepi tempat tidurnya. Tatapannya kosong, pikirannya kacau. Ia tahu bahwa seharusnya ia menahan diri, tetapi godaan itu terlalu kuat.
Dan sekarang, semua sudah terlambat.
—
Ardi pulang lebih awal hari itu.
Ia masuk ke rumah dengan senyum lelah, meletakkan tas kerjanya di sofa, lalu berjalan ke arah Nayla yang sedang berdiri di dapur, berusaha terlihat sibuk.
“Aku kangen,” kata Ardi tiba-tiba, melingkarkan lengannya di pinggang Nayla.
Nayla tersentak, tubuhnya kaku. Sentuhan suaminya terasa asing sekarang, seperti sesuatu yang salah.
Ia memaksakan senyum, tetapi tidak berani menatap mata Ardi.
“Kamu kenapa?” tanya Ardi, menyadari sikap aneh istrinya.
“Enggak apa-apa,” jawab Nayla cepat.
Tapi Ardi tidak langsung percaya. Ia memperhatikan wajah istrinya dengan cermat, seolah mencoba membaca sesuatu di sana.
Dan saat itu juga, Iwan masuk ke dapur.
Suasana langsung berubah tegang.
Tatapan Iwan dan Nayla bertemu hanya sesaat, tetapi cukup bagi Ardi untuk menyadari ada sesuatu yang aneh.
“Papa, kenapa diam aja?” tanya Ardi, mencoba mencairkan suasana.
Iwan mengerjap, lalu tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Cuma capek.”
Ardi mengangguk, tidak curiga. Ia tidak tahu bahwa ada sesuatu yang jauh lebih dalam, jauh lebih berbahaya, yang baru saja terjadi di belakangnya.
Namun, Nayla tahu.
Dan beban itu mulai menghancurkannya dari dalam.
—
Malamnya, Nayla duduk di kamar, memeluk lututnya sendiri. Hatinya terasa berat, pikirannya penuh dengan ketakutan dan penyesalan.
Lalu tiba-tiba, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan dari Iwan.
**”Kita harus bicara.”**
Nayla menatap layar ponselnya, jantungnya berdetak kencang. Ia ingin mengabaikannya, ingin berpura-pura bahwa semua ini tidak pernah terjadi.
Tapi ia tahu, tidak semudah itu.
Ia berdiri, membuka pintu kamar dengan hati-hati, memastikan bahwa Ardi sudah tertidur.
Lalu dengan langkah pelan, ia berjalan menuju kamar Iwan.
Saat ia masuk, pria itu sudah menunggunya, berdiri dengan ekspresi penuh kebingungan dan pertarungan batin.
“Kita nggak bisa terus seperti ini, Nay,” kata Iwan pelan.
Nayla menggigit bibir, air mata mulai menggenang di matanya. “Aku tahu…”
“Tapi aku juga nggak bisa pura-pura nggak merasakan ini,” lanjut Iwan, mendekatinya.
Nayla menggeleng, air matanya akhirnya jatuh. “Ini salah, Pa…”
Iwan menatapnya dalam-dalam, lalu menarik napas panjang. “Jadi, kita harus berhenti?”
Hening.
Tidak ada yang berani menjawab. Karena keduanya tahu, jawaban yang benar adalah ***iya.***
Tapi ***bisakah mereka benar-benar berhenti?***
—
Malam itu, Nayla kembali ke kamarnya dengan hati yang lebih berat dari sebelumnya.
Ia berbaring di samping Ardi, menatap wajah suaminya yang tertidur pulas.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu.
***Tidak peduli seberapa besar perasaannya pada Iwan… ini adalah jalan yang tidak akan pernah berujung bahagia.***
Ia harus memilih.
Dan apapun pilihannya… seseorang pasti akan terluka.***
—–the end—–