Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

SAME KADE by SAME KADE
May 15, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 22 mins read
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

Daftar Isi

  • Bab 1: Luka yang Tak Pernah Sembuh
  • Bab 2: Merangkai Kekuatan
  • Bab 3: Pertemuan yang Tak Terduga
  • Bab 4: Balas Dendam Dimulai
  • Bab 5: Cinta Lama yang Masih Ada
  • Bab 6: Pengkhianatan Baru
  • Bab 7: Puncak Konflik
  • Bab 8: Epilog

Bab 1: Luka yang Tak Pernah Sembuh

Malam itu, hujan deras mengguyur kota, membasahi jalanan yang seolah ikut menangisi hati Alya yang remuk. Di sudut apartemennya yang kecil, Alya duduk termenung di lantai, memeluk lutut sambil menatap kosong ke luar jendela. Ponselnya tergeletak di lantai, layar masih menyala menampilkan pesan terakhir dari Reno.

“Kita sudah selesai. Aku butuh seseorang yang bisa mendukung masa depanku, dan kamu bukan orang itu.”

Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, berputar seperti lagu menyakitkan yang tak pernah berhenti. Lima tahun hubungan yang ia bangun dengan cinta dan pengorbanan kini hancur hanya karena ambisi seorang pria. Reno pergi tanpa memberi kesempatan untuk penjelasan. Ia memilih Clara, seorang wanita dari keluarga kaya, yang bisa membuka semua pintu yang selama ini Reno idamkan.

Alya menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang sejak tadi mengalir deras. Ia ingat hari-hari ketika Reno masih menjadi pria yang ia kenal dan cintai. Reno yang dulu sederhana, penuh kasih sayang, dan selalu membuatnya merasa istimewa. Mereka berdua pernah bermimpi bersama—membangun masa depan dari nol, meraih mimpi tanpa memandang latar belakang. Tapi semuanya berubah ketika Reno mulai memasuki dunia kerja.

Reno yang dulu rendah hati menjadi pria yang haus akan kekuasaan dan pengakuan. Ia mulai berbicara tentang “peluang besar” dan “koneksi penting,” hal-hal yang perlahan membuatnya menjauh dari Alya. Ia tak lagi peduli pada mimpi sederhana mereka, ia hanya peduli pada apa yang bisa membuatnya naik lebih cepat.

“Alya, kamu harus mengerti. Aku butuh ini. Aku ingin kita hidup lebih baik,” ujar Reno suatu malam, ketika Alya mempertanyakan perubahan sikapnya.

“Apakah hidup kita sekarang tidak cukup baik, Reno? Apa yang kamu cari sampai kamu harus mengorbankan waktu kita bersama?” balas Alya saat itu.

Reno hanya diam, lalu mengalihkan pembicaraan. Itu menjadi tanda pertama bahwa ada sesuatu yang salah.

—

Kenangan itu menusuk hati Alya setiap kali ia mengingatnya. Ia berusaha mencari tahu alasan di balik perubahan Reno, hingga akhirnya semua terungkap. Reno berselingkuh dengan Clara, wanita yang sering disebut-sebutnya sebagai “partner bisnis” dalam setiap percakapan mereka. Awalnya Alya tidak percaya, namun saat ia melihat sendiri Reno menggenggam tangan Clara di sebuah restoran mewah, harapannya hancur berkeping-keping.

“Jadi ini alasanmu sibuk akhir-akhir ini?” suara Alya bergetar saat ia menghadapi Reno malam itu.

Reno tidak menyangkal. “Alya, kamu harus tahu bahwa aku tidak punya pilihan. Clara bisa membantuku mencapai hal-hal yang aku inginkan. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini.”

“Seperti ini? Apa maksudmu? Kita berjuang bersama, Reno. Itu janji kita!” Alya berteriak, air matanya tidak bisa dibendung lagi.

“Janji tidak akan membayar tagihan atau memberikan kesempatan besar. Aku butuh lebih, dan Clara bisa memberikannya.”

Kalimat itu menjadi akhir segalanya. Reno meninggalkan Alya malam itu, tidak lagi menoleh ke belakang. Ia membawa semua mimpi mereka, meninggalkan Alya dengan patah hati yang tak terbayangkan.

—

Hari-hari setelah kepergian Reno menjadi neraka bagi Alya. Ia kehilangan semangat hidup. Pekerjaannya terbengkalai, dan teman-temannya mulai khawatir melihatnya semakin tenggelam dalam kesedihan. Namun, di dalam keheningan apartemennya yang sunyi, Alya perlahan menemukan kemarahan yang membara di balik kesedihannya.

“Dia menghancurkan hidupku,” bisiknya lirih suatu malam. “Dia tidak bisa pergi begitu saja tanpa menanggung akibatnya.”

Alya mulai merenungkan setiap pengkhianatan Reno. Ia teringat bagaimana ia rela mengorbankan segalanya untuk mendukung Reno saat ia tidak punya apa-apa. Alya yang membantu Reno membayar kuliahnya, yang berdiri di sisinya ketika dunia menolaknya. Dan inikah balasan yang ia terima? Pengkhianatan yang dingin dan penuh perhitungan?

Seiring berjalannya waktu, rasa sakit Alya berubah menjadi dendam yang mendalam. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa Reno tidak akan pernah merasakan kebahagiaan dari pengkhianatannya. Ia akan membuat Reno dan Clara membayar untuk setiap luka yang mereka berikan padanya.

Namun, untuk itu, Alya tahu ia harus bangkit. Ia harus menjadi lebih kuat, lebih pintar, dan lebih tangguh daripada sebelumnya. Malam itu, dengan tangannya yang gemetar, ia menyalakan laptop dan mulai mencari pekerjaan baru. Ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya yang lama, lingkungan yang penuh kenangan tentang Reno.

“Aku tidak akan menjadi wanita yang lemah lagi,” gumamnya. “Aku akan menunjukkan kepada mereka siapa Alya sebenarnya.”

Dan dari malam penuh air mata itu, perjalanan Alya menuju balas dendam dimulai.*

Bab 2: Merangkai Kekuatan

Waktu berlalu, tetapi luka di hati Alya tidak pernah benar-benar sembuh. Setiap kali ia melihat pasangan yang tertawa bersama di jalan, ia merasa seperti sedang diingatkan kembali pada mimpi-mimpinya yang hancur. Namun, di balik itu, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Alya bukan lagi wanita rapuh yang dulu menangis malam-malam karena ditinggalkan Reno. Ia mulai menemukan kekuatannya sendiri, pelan-pelan, seperti burung yang memulihkan sayap patahnya untuk terbang lebih tinggi.

Semuanya dimulai dari keputusan besar yang ia buat: meninggalkan masa lalunya. Alya memutuskan untuk pindah dari apartemennya yang kecil, yang penuh dengan kenangan bersama Reno. Ia memilih apartemen baru di pusat kota—lebih luas, lebih terang, dan lebih jauh dari tempat-tempat yang mengingatkannya pada pengkhianatan itu. Tempat baru ini menjadi simbol dari hidup baru yang ingin ia mulai.

Namun, hidup baru itu tidak datang dengan mudah. Alya harus memulai dari awal, bukan hanya dalam hal tempat tinggal, tetapi juga dalam karier. Setelah keluar dari pekerjaannya yang lama, ia bergabung dengan sebuah perusahaan pemasaran besar di pusat kota. Dunia kerja yang kompetitif memberinya distraksi dari rasa sakit hatinya, meskipun pada awalnya ia merasa sulit menyesuaikan diri.

Hari-hari pertama di kantor baru terasa menantang. Rekan-rekan kerjanya memandang Alya sebagai seorang “pemula” yang harus membuktikan dirinya. Tapi Alya tidak gentar. Ia mengingat malam-malam ketika Reno meremehkannya, dan itu menjadi bahan bakar untuk tekadnya. Ia mulai bekerja lebih keras daripada siapa pun, datang lebih awal, dan pulang lebih larut. Dalam beberapa bulan, Alya sudah menjadi salah satu karyawan yang paling menonjol di timnya.

Di sela-sela pekerjaannya, Alya tidak pernah melupakan dendam yang membara di hatinya. Ia tahu, untuk membalas Reno, ia harus menjadi lebih dari sekadar sukses. Ia harus memiliki kuasa, pengaruh, dan jaringan. Dengan penuh perhitungan, ia mulai membangun hubungan dengan orang-orang penting di industri. Ia menghadiri acara-acara networking, berbicara dengan eksekutif senior, dan secara perlahan menciptakan nama besar untuk dirinya sendiri.

Namun, di balik keberhasilannya, ada malam-malam di mana Alya masih berjuang melawan perasaannya sendiri. Kadang, ia bertanya-tanya apakah semua ini sepadan. “Apa yang aku lakukan ini benar? Apakah aku hanya membuang hidupku untuk balas dendam?” pikirnya suatu malam ketika ia duduk sendirian di apartemennya yang kosong. Tetapi setiap kali ia mengingat wajah Reno dan Clara, ia menemukan kembali tekadnya.

“Aku tidak akan membiarkan mereka menang,” katanya pada dirinya sendiri sambil menatap bayangannya di cermin. “Aku akan menjadi lebih kuat daripada mereka.”

—

Selama dua tahun berikutnya, perubahan besar terjadi pada Alya. Ia tidak hanya menjadi sukses di pekerjaannya, tetapi juga dikenal sebagai wanita cerdas dan tangguh yang tidak mudah dipermainkan. Kabar tentang keberhasilannya mulai menyebar, dan itu akhirnya sampai ke telinga Reno.

Suatu hari, Alya menerima undangan untuk menghadiri acara penghargaan bisnis bergengsi. Nama Alya tercatat sebagai salah satu nominasi untuk kategori Young Innovator of the Year. Saat ia tiba di acara tersebut dengan gaun hitam elegan, semua mata tertuju padanya. Malam itu, Alya bukan lagi wanita yang pernah ditinggalkan Reno. Ia adalah seseorang yang berhasil berdiri di puncak, tanpa perlu bantuan siapa pun.

Namun, di antara keramaian malam itu, Alya menangkap sosok yang sangat familiar. Reno.

Pria itu tampak berbeda dari terakhir kali Alya melihatnya. Meski masih terlihat rapi dengan setelan jas, ada sesuatu yang berubah. Wajahnya tampak lebih lelah, dan matanya tidak lagi memancarkan kepercayaan diri yang sama seperti dulu. Reno tidak datang bersama Clara malam itu. Alya tahu bahwa sesuatu telah terjadi.

“Alya?” suara Reno mengejutkannya. Pria itu mendekat, senyum ragu di wajahnya. “Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”

Alya menoleh dengan tenang. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia memiliki kendali penuh atas situasi ini. Ia tidak lagi merasa kecil di hadapan Reno.

“Tentu saja, Reno. Dunia ini kecil, bukan?” jawab Alya dengan senyum tipis.

Mereka berbincang sebentar, percakapan ringan yang penuh basa-basi. Tetapi di dalam hati Alya, ia merasakan sesuatu yang baru. Ia tidak lagi merasa terintimidasi oleh Reno. Sebaliknya, ia melihat kelemahan di balik topeng pria itu. Reno tampaknya sedang mengalami kesulitan, dan itu membuat Alya merasa puas.

Setelah pertemuan itu, Alya tahu bahwa saatnya untuk melanjutkan rencananya. Reno tidak lagi berada di atasnya. Sekarang, ia yang memegang kendali.

—

Malam itu, ketika ia pulang ke apartemennya, Alya duduk di meja kerjanya. Ia membuka laptopnya dan mulai menyusun strategi berikutnya. Ia akan melanjutkan apa yang sudah ia mulai, tetapi kali ini dengan lebih cermat.

“Aku sudah cukup menderita,” bisiknya sambil menatap layar laptopnya. “Sekarang giliran mereka yang merasakannya.”

Dengan semangat baru, Alya mulai merangkai kekuatan untuk membalas semua yang telah ia alami. Kini ia bukan hanya seorang wanita yang terluka, tetapi juga seorang wanita yang siap untuk membalas dendam dengan cara yang paling elegan.*

Bab 3: Pertemuan yang Tak Terduga

Hari itu, langit cerah seolah menyambut kehidupan baru yang dijalani Alya. Ia mengenakan blazer abu-abu elegan dan melangkah dengan percaya diri ke dalam ballroom hotel mewah tempat acara seminar bisnis besar diadakan. Sebagai salah satu pembicara tamu, Alya merasa bangga. Tak ada lagi jejak wanita rapuh yang dulu terpuruk karena pengkhianatan. Kini, ia adalah sosok yang dihormati di dunia bisnis.

Acara itu dipenuhi para pengusaha, investor, dan profesional dari berbagai bidang. Alya menebar senyum ramah sambil menjabat tangan orang-orang yang mendekatinya. Setiap kali namanya disebut, ada nada kekaguman di suara mereka. Ia telah berhasil membangun reputasi sebagai wanita cerdas yang tak hanya sukses, tetapi juga tangguh menghadapi segala rintangan.

Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, ada sosok yang tiba-tiba menarik perhatiannya. Di sudut ruangan, berdiri seorang pria dengan setelan jas biru tua. Rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali Alya melihatnya, tetapi wajah itu tidak mungkin ia lupakan. Reno.

Jantung Alya berdegup kencang. Ia tidak menyangka akan bertemu pria itu di acara seperti ini. Dalam sekejap, ingatan-ingatan lama berkelebat di benaknya—malam-malam penuh tangis, rasa sakit yang tak terkatakan, dan janji-janji palsu yang berakhir dengan pengkhianatan. Tapi kali ini, Alya tidak membiarkan emosinya menguasai dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, memasang senyum tipis, dan melangkah dengan kepala tegak ke arah Reno.

“Reno,” sapanya dengan suara tenang namun tajam.

Reno terkejut melihatnya. Mata pria itu melebar sejenak sebelum kembali tenang. “Alya… Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”

“Ya, dunia ini kecil,” jawab Alya, menyembunyikan emosi di balik senyumnya.

Reno tampak canggung, berbeda dari pria penuh percaya diri yang dulu Alya kenal. Wajahnya terlihat lebih tirus, dan ada kerutan di sudut matanya. Alya langsung menyadari bahwa Reno tidak lagi berada di puncak kehidupannya.

“Kamu tampak… berbeda,” kata Reno akhirnya.

“Berbeda baik atau buruk?” tanya Alya sambil menatapnya tajam.

“Baik,” jawab Reno cepat, seolah takut menyinggungnya. “Kamu terlihat hebat. Aku dengar nama kamu sering disebut-sebut akhir-akhir ini. Selamat atas semua pencapaianmu.”

Alya hanya tersenyum kecil. “Terima kasih. Hidup memang penuh kejutan, ya?”

Reno tertawa kecil, tetapi suara tawanya terdengar hampa. “Memang,” katanya. “Bagaimana kabarmu? Lama sekali kita tidak bertemu.”

Alya tahu bahwa pertanyaan itu hanyalah basa-basi. Reno tidak benar-benar peduli pada kabarnya. Tapi ia memutuskan untuk bermain dalam permainan ini. “Aku baik,” jawabnya singkat. “Bagaimana dengan kamu? Apa kabar Reno yang dulu meninggalkan segalanya untuk masa depan yang lebih baik?”

Kalimat itu menusuk langsung ke jantung Reno. Ia tersentak, tapi mencoba menyembunyikannya. “Aku… Aku baik,” katanya, meskipun nada suaranya tidak meyakinkan.

Namun Alya melihat melalui topeng itu. Ia tahu Reno sedang berbohong. Dan ia ingin tahu lebih banyak.

—

Percakapan mereka terhenti ketika salah satu panitia acara mendekati Alya untuk memberitahukan bahwa ia akan segera naik ke panggung. Dengan sopan, Alya mengucapkan selamat tinggal pada Reno. Tapi sebelum ia pergi, ia menyempatkan diri untuk berkata, “Reno, kita harus bicara lagi nanti. Aku ingin mendengar lebih banyak tentang hidupmu sekarang.”

Reno hanya mengangguk, tampak gelisah.

Saat Alya berdiri di atas panggung untuk memberikan presentasinya, ia merasakan tatapan Reno dari kejauhan. Dalam hati, ia tersenyum. Dulu, ia yang merasa kecil di hadapan Reno. Tapi kini, ia tahu bahwa posisinya telah berbalik.

—

Setelah acara selesai, Alya sengaja mencari Reno di kerumunan. Ia menemukannya berdiri sendirian di sudut ruangan, memegang segelas anggur. Saat Alya mendekat, Reno tersenyum ragu.

“Aku senang kamu masih di sini,” kata Alya, memulai percakapan.

“Aku juga,” balas Reno. “Aku ingin meminta maaf… untuk semuanya. Untuk apa yang aku lakukan dulu.”

Alya menatapnya, berusaha membaca ekspresi pria itu. Apakah ia benar-benar tulus, atau ini hanya taktik lain dari seorang pria yang terbiasa memanipulasi orang lain?

“Maaf?” Alya mengangkat alis. “Maaf untuk meninggalkan aku demi Clara? Atau maaf karena mempermainkan aku selama ini?”

Reno tampak terkejut dengan ketegasan Alya. “Aku tahu aku salah. Aku tidak punya alasan. Aku hanya… Aku terlalu muda dan bodoh waktu itu.”

Alya hanya tersenyum tipis. “Waktu tidak bisa diulang, Reno. Semua pilihan punya konsekuensi, bukan?”

Reno terdiam. Ia menundukkan kepalanya, tampak seperti pria yang telah kehilangan segalanya. Alya merasa kemenangan kecil di dalam hatinya.

Tapi pertemuan ini hanyalah awal. Alya tahu bahwa jika ia ingin melanjutkan rencananya, ia harus lebih dari sekadar puas dengan melihat Reno seperti ini. Ia harus mengetahui lebih banyak tentang hidup Reno dan Clara. Dan untuk itu, ia harus mendekatkan dirinya pada Reno—dengan hati-hati dan penuh strategi.

“Reno,” kata Alya akhirnya, “bagaimana kalau kita makan malam minggu depan? Aku rasa kita punya banyak hal untuk diceritakan.”

Reno menatapnya, tampak terkejut sekaligus lega. “Tentu, Alya. Aku akan senang sekali.”

Alya tersenyum. Ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju babak baru dalam hidupnya—babak di mana ia akan memainkan peran sebagai hakim yang menentukan nasib Reno dan Clara.*

Bab 4: Balas Dendam Dimulai

Minggu malam tiba, dan Alya bersiap untuk makan malam bersama Reno. Ia mengenakan gaun merah anggun dengan potongan sederhana namun elegan, sesuatu yang memancarkan kekuatan dan kepercayaan diri tanpa terlihat berlebihan. Ia menyisir rambutnya hingga sempurna dan mengenakan parfum favoritnya. Kali ini, ia bukan Alya yang penuh keraguan seperti dulu. Ia adalah Alya yang siap memainkan permainan yang telah ia rancang dengan hati-hati.

Restoran tempat mereka bertemu adalah salah satu restoran paling eksklusif di kota, dipilih oleh Reno. Alya tersenyum sinis saat memasuki restoran itu, mengingat bagaimana dulu Reno sering mengeluh tentang harga segelas kopi di kedai kecil. Sekarang, pria itu duduk di restoran mewah, mencoba mempertahankan citra dirinya yang tampaknya mulai memudar.

“Terima kasih sudah datang,” sapa Reno saat Alya tiba di meja. Senyumnya tampak canggung, tidak seperti Reno yang dulu selalu percaya diri.

“Tentu saja, Reno. Aku tidak akan melewatkan kesempatan ini,” balas Alya sambil duduk.

Makan malam dimulai dengan percakapan basa-basi. Reno bercerita tentang pekerjaannya yang sekarang, sebuah perusahaan kecil yang sedang berjuang untuk bertahan di tengah kompetisi. Alya memperhatikan setiap detail yang ia katakan, mencatat kelemahan-kelemahan yang mungkin bisa ia manfaatkan nanti.

“Bagaimana dengan Clara?” tanya Alya dengan nada santai, meskipun ia sudah tahu jawabannya.

Reno terdiam sejenak, kemudian menghela napas. “Kami sudah berpisah beberapa bulan yang lalu.”

Alya berusaha menyembunyikan kepuasannya. “Oh, aku tidak tahu. Apa yang terjadi?”

Reno tersenyum pahit. “Hubungan kami tidak seperti yang aku bayangkan. Dia memang cantik dan cerdas, tetapi dia juga… ambisius. Pada akhirnya, kami punya prioritas yang berbeda.”

“Ambisius?” Alya mengangkat alis, berpura-pura tidak mengerti. “Bukankah itu yang kamu cari dulu?”

Reno menatap Alya, terlihat bersalah. “Aku tahu aku salah, Alya. Aku mengejar sesuatu yang tidak nyata, dan aku kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar peduli padaku.”

Kata-kata itu seharusnya membuat hati Alya bergetar, tetapi yang ia rasakan hanyalah dingin. Reno tidak benar-benar menyesali perbuatannya; ia hanya menyesali konsekuensi yang harus ia tanggung.

—

Setelah makan malam, Alya kembali ke apartemennya dengan pikiran yang penuh. Ia tidak hanya ingin Reno menderita; ia ingin memastikan bahwa pria itu menyadari setiap kesalahan yang ia buat dan merasakan sakit yang sama seperti yang pernah Alya rasakan. Namun, untuk melakukannya, Alya membutuhkan informasi lebih lanjut tentang situasi Reno saat ini.

Keesokan harinya, Alya mulai bergerak. Ia menggunakan koneksinya di dunia bisnis untuk mencari tahu lebih banyak tentang Reno dan perusahaannya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan apa yang ia cari: perusahaan tempat Reno bekerja sedang berada di ambang kebangkrutan. Mereka kehilangan klien besar, dan beberapa karyawan senior telah mengundurkan diri.

“Ini sempurna,” gumam Alya sambil tersenyum. Ia tahu bahwa Reno pasti sedang berada dalam tekanan besar. Jika ia memainkan kartunya dengan benar, ia bisa membuat Reno semakin terpuruk.

Langkah pertama Alya adalah menawarkan bantuan kepada Reno. Ia menghubungi pria itu beberapa hari setelah makan malam mereka dan mengusulkan sebuah ide. “Aku dengar perusahaanmu sedang menghadapi masalah,” katanya dengan nada penuh perhatian. “Bagaimana kalau aku membantu? Aku punya beberapa koneksi yang mungkin bisa berguna.”

Reno tampak terkejut, tetapi juga lega. “Kamu benar-benar mau membantu, Alya?” tanyanya dengan nada tak percaya.

“Tentu saja,” jawab Alya dengan senyum lembut. “Bagaimanapun juga, kita pernah memiliki masa lalu bersama. Aku ingin melihat kamu sukses.”

Reno tidak menyadari bahwa bantuan Alya bukanlah tanda kebaikan hati, melainkan awal dari rencana balas dendamnya.

—

Dengan koneksinya, Alya mulai memperkenalkan Reno kepada beberapa rekan bisnisnya. Namun, setiap pertemuan itu ia rancang dengan hati-hati agar berakhir dengan kekecewaan. Entah itu dengan memberikan informasi yang salah, atau membuat Reno terlihat tidak kompeten di depan klien potensial, Alya memastikan bahwa setiap upaya Reno untuk menyelamatkan perusahaannya berakhir dengan kegagalan.

Di sisi lain, Alya mulai mendekati orang-orang di sekitar Reno. Ia membangun hubungan dengan karyawan perusahaan Reno, mendengar keluhan-keluhan mereka, dan bahkan menawarkan beberapa dari mereka posisi di perusahaannya sendiri. Perlahan, Alya melemahkan pondasi yang menopang Reno, satu demi satu.

Dalam beberapa bulan, dampaknya mulai terlihat. Reno menjadi semakin tertekan. Ia mulai kehilangan klien, rekan kerja, bahkan kepercayaan dirinya. Alya memperhatikan semuanya dari kejauhan, menikmati setiap momen ketika Reno semakin jatuh ke dalam lubang yang ia gali sendiri.

Namun, balas dendam Alya tidak berhenti di sana. Ia tahu bahwa pukulan terakhir haruslah sesuatu yang benar-benar menghancurkan Reno—sesuatu yang membuat pria itu menyadari sepenuhnya kesalahannya.

—

Suatu malam, Alya menerima telepon dari Reno. Suaranya terdengar lelah dan putus asa. “Alya, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Perusahaanku mungkin tidak akan bertahan lama,” katanya.

Alya tersenyum dingin di ujung telepon. “Aku turut prihatin, Reno,” jawabnya dengan suara penuh kepura-puraan. “Tapi mungkin ini saatnya kamu menerima kenyataan. Tidak semua orang ditakdirkan untuk sukses.”

Kata-kata itu membuat Reno terdiam. Alya bisa membayangkan ekspresi di wajahnya—campuran antara keterkejutan, rasa bersalah, dan keputusasaan.

Malam itu, Alya merasa bahwa rencananya mulai membuahkan hasil. Namun, ia tahu bahwa permainan ini belum selesai. Reno belum sepenuhnya hancur, dan Alya tidak akan berhenti sampai ia melihat pria itu merasakan semua penderitaan yang pernah ia alami.*

Bab 5: Cinta Lama yang Masih Ada

Dua bulan telah berlalu sejak Alya mulai melancarkan rencananya. Reno semakin terpuruk, dan setiap langkah yang ia ambil seolah selalu salah. Alya tahu bahwa sebagian besar kekacauan ini adalah hasil dari rencananya yang matang. Namun, di tengah puasnya melihat penderitaan Reno, ada perasaan asing yang mulai tumbuh di hatinya.

Malam itu, Alya duduk di balkon apartemennya, menatap kerlap-kerlip lampu kota. Angin malam yang dingin menyentuh kulitnya, tetapi pikirannya jauh lebih dingin. Ia menggenggam segelas anggur merah, mencoba menikmati keberhasilannya sejauh ini. Namun, kenangan lama terus menghantui pikirannya.

Ia teringat bagaimana Reno pernah membuatnya merasa seperti wanita paling istimewa di dunia. Tawa hangatnya, tatapan penuh cinta, dan cara pria itu memegang tangannya ketika mereka berjalan bersama. Dulu, Alya benar-benar mencintai Reno dengan sepenuh hati. Dan meskipun Reno telah menghancurkan segalanya, bayangan cinta lama itu masih sesekali muncul, mengacaukan tekadnya.

“Kenapa aku masih memikirkan dia?” gumam Alya pada dirinya sendiri, mencoba mengusir bayangan itu. Ia menggelengkan kepala, berusaha mengingat kembali semua rasa sakit yang pernah Reno sebabkan. Tapi di balik rasa sakit itu, ada luka lain yang lebih dalam—sebuah cinta yang belum sepenuhnya hilang.

—

Keesokan harinya, Alya menerima pesan dari Reno. Pria itu mengajaknya bertemu, kali ini di sebuah taman yang biasa mereka kunjungi dulu. Alya awalnya ragu, tetapi akhirnya ia setuju. Ia ingin melihat apa yang Reno inginkan kali ini, dan bagaimana ia bisa memanfaatkan situasi itu untuk rencananya.

Saat tiba di taman, Alya melihat Reno duduk di bangku kayu di bawah pohon besar. Pria itu terlihat jauh lebih lelah dibanding terakhir kali mereka bertemu. Pakaian kasual yang ia kenakan tampak kusut, dan ada lingkaran hitam di bawah matanya.

“Alya,” sapa Reno sambil berdiri ketika melihatnya mendekat.

Alya mengangguk singkat. “Ada apa, Reno? Kamu bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakan.”

Reno menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku… Aku merasa semuanya semakin kacau. Perusahaan, hidupku, semuanya. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”

Nada putus asa dalam suara Reno membuat Alya merasa aneh. Di satu sisi, ia puas melihat Reno menderita. Tapi di sisi lain, ada rasa iba yang perlahan muncul di hatinya.

“Reno,” kata Alya dengan suara tenang, “kamu tahu bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Kadang, kita harus menghadapi konsekuensi dari pilihan kita.”

Reno mengangguk pelan, menundukkan kepalanya. “Aku tahu. Aku tahu aku telah membuat banyak kesalahan, terutama terhadapmu. Aku hanya ingin… aku hanya ingin meminta maaf lagi.”

Alya terkejut mendengar nada tulus dalam suara Reno. Ia mencoba membaca ekspresi pria itu, mencari tanda-tanda manipulasi, tetapi yang ia lihat hanyalah rasa penyesalan yang mendalam.

“Apa kamu benar-benar menyesal, Reno?” tanya Alya, mencoba menahan emosi yang mulai bercampur aduk.

“Aku sangat menyesal,” jawab Reno dengan suara pelan. “Kalau saja aku bisa mengulang waktu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku bodoh karena mengejar sesuatu yang tidak nyata. Kamu adalah satu-satunya hal nyata yang pernah aku miliki.”

Kata-kata itu menusuk hati Alya. Ia ingin mengabaikannya, ingin terus memandang Reno sebagai musuh yang harus dihancurkan. Tapi di dalam dirinya, ada bagian kecil yang mulai meragukan rencananya. Apakah pria ini benar-benar pantas untuk dihancurkan sepenuhnya?

—

Setelah pertemuan itu, Alya pulang dengan perasaan yang berat. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah manipulasi Reno untuk mendapatkan simpati. Tapi semakin ia memikirkan percakapan mereka, semakin ia merasa bahwa Reno mungkin benar-benar menyesal.

Malam itu, Alya duduk di depan laptopnya, mencoba melanjutkan rencana balas dendamnya. Tapi pikirannya terus terganggu oleh bayangan Reno. Ia membayangkan senyum hangatnya, cara pria itu pernah memeluknya saat ia merasa lemah, dan janji-janji yang dulu Reno buat dengan tulus.

“Aku tidak boleh lemah,” gumam Alya sambil mengepalkan tangan.

Namun, kenyataan tidak pernah sesederhana itu. Alya mulai mempertanyakan apakah balas dendam ini benar-benar akan memberikan kedamaian yang ia cari. Ia telah melukai Reno, tetapi mengapa hatinya tidak merasa puas? Apakah karena ada cinta lama yang masih tersisa?

—

Hari-hari berikutnya, Alya mencoba menjaga jarak dari Reno. Ia fokus pada pekerjaannya dan melanjutkan kehidupannya seperti biasa. Tapi Reno terus muncul dalam pikirannya. Ia mulai bertanya-tanya apakah ia benar-benar sudah melupakan pria itu, atau apakah cinta lama itu masih ada, tersembunyi di balik luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Sementara itu, Reno terus mencoba mendekati Alya. Ia mengirim pesan, mengajak bertemu, dan bahkan mencoba membicarakan kenangan-kenangan indah mereka. Alya berusaha bersikap dingin, tetapi di dalam hatinya, ia merasakan emosi yang bercampur aduk.

“Apa yang sebenarnya aku cari?” tanya Alya pada dirinya sendiri suatu malam.

Apakah ia benar-benar ingin melihat Reno hancur, atau apakah ia hanya ingin membuktikan bahwa dirinya masih berarti bagi pria itu? Dan jika Reno benar-benar menyesal, apakah ia bisa memaafkannya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Alya. Ia tahu bahwa balas dendam ini bukan hanya tentang Reno, tetapi juga tentang dirinya sendiri. Jika ia tidak berhati-hati, ia mungkin akan terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri—permainan yang bisa menghancurkan segalanya, termasuk hatinya.*

Bab 6: Pengkhianatan Baru

Hari-hari terasa semakin membingungkan bagi Alya. Di satu sisi, ia terus menjalankan rencananya untuk menghancurkan Reno, tetapi di sisi lain, emosi yang kembali muncul perlahan menggoyahkan tekadnya. Ia tak bisa mengabaikan rasa iba yang muncul setiap kali melihat Reno, meskipun ia berusaha keras untuk meyakinkan dirinya bahwa pria itu pantas mendapatkan semua penderitaan ini.

Namun, satu hal yang tidak Alya sangka adalah kehadiran sosok lain yang tiba-tiba kembali dalam permainan ini: Clara.

Clara muncul secara tiba-tiba di sebuah acara sosial yang juga dihadiri oleh Alya. Wanita itu tampak lebih anggun dari yang Alya ingat, mengenakan gaun hitam elegan dengan rambut yang tertata sempurna. Ketika mata mereka bertemu, Clara tersenyum, senyum yang tidak pernah Alya percayai.

“Alya,” sapa Clara dengan nada manis yang terasa palsu. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu.”

“Memang sudah lama,” jawab Alya dingin, mencoba menjaga emosinya tetap terkendali.

Clara tertawa kecil. “Kamu tampak luar biasa. Sepertinya hidupmu berjalan sangat baik.”

“Terima kasih,” balas Alya singkat. Ia ingin mengakhiri percakapan ini secepat mungkin, tetapi Clara tampaknya memiliki agenda lain.

“Aku dengar kamu bertemu Reno lagi,” kata Clara sambil menatap Alya dengan pandangan penuh arti.

Alya terkejut, tetapi ia tidak menunjukkan ekspresi apa pun. “Ya, kebetulan kami bertemu di acara bisnis beberapa waktu lalu.”

Clara tersenyum tipis. “Dia pasti senang bisa bertemu denganmu lagi. Reno selalu punya tempat khusus untukmu di hatinya, kamu tahu.”

Nada suara Clara terdengar seperti ejekan. Alya merasa dadanya memanas, tetapi ia tetap menjaga wajahnya tetap tenang. “Kalau begitu, aku harap dia bisa belajar dari kesalahan masa lalunya,” jawab Alya tajam.

Clara tertawa kecil, tetapi kali ini tawanya terdengar lebih dingin. “Oh, Alya, kamu benar-benar tidak berubah. Selalu begitu tegas dan penuh perhitungan. Tapi aku ingin memberimu satu saran.”

Alya mengangkat alis. “Saran?”

“Ya,” jawab Clara sambil mendekatkan wajahnya ke arah Alya. “Jangan terlalu percaya pada Reno. Dia mungkin terlihat lemah sekarang, tetapi dia masih pria yang sama seperti dulu. Dan aku yakin dia tidak akan ragu untuk mengkhianatimu lagi jika itu menguntungkannya.”

Kata-kata itu menusuk Alya seperti belati. Ia tahu Clara bukan orang yang bisa dipercaya, tetapi apa yang wanita itu katakan memicu keraguan di hati Alya. Apakah Reno benar-benar berubah, atau apakah semua ini hanyalah bagian dari permainan yang lebih besar?

—

Percakapan itu membuat Alya gelisah selama beberapa hari. Ia mulai memperhatikan Reno lebih seksama setiap kali mereka bertemu, mencari tanda-tanda manipulasi atau kebohongan. Namun, Reno tampak tulus dalam semua tindakannya. Ia terlihat sungguh-sungguh menyesali perbuatannya, dan Alya mulai merasa bahwa mungkin Clara hanya mencoba memprovokasinya.

Tetapi keraguan itu mencapai puncaknya ketika Alya menemukan sesuatu yang tak terduga.

Suatu malam, saat ia sedang menyelesaikan pekerjaan di kantornya, ia menerima pesan anonim di emailnya. Pesan itu berisi foto Reno dan Clara yang sedang bertemu di sebuah kafe. Wajah mereka terlihat serius, dan jelas bahwa mereka sedang mendiskusikan sesuatu yang penting.

Alya merasakan gelombang emosi melandanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah Reno sudah berpisah dengan Clara? Lalu, mengapa mereka bertemu secara diam-diam?

Tanpa berpikir panjang, Alya memutuskan untuk menyelidiki. Ia menghubungi seorang kenalan yang bekerja di perusahaan tempat Reno bekerja dan meminta informasi tambahan. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengetahui bahwa Clara ternyata sedang mencoba kembali masuk ke dalam kehidupan Reno—bukan sebagai pasangan, tetapi sebagai seseorang yang ingin memanfaatkan situasi Reno yang sedang terpuruk.

Clara diketahui memiliki hubungan dengan salah satu pesaing terbesar perusahaan Reno. Wanita itu tampaknya sedang merencanakan sesuatu untuk memastikan Reno tidak akan bisa bangkit dari keterpurukannya. Dan yang lebih mengejutkan, Reno tampaknya sedang mempertimbangkan tawaran Clara.

—

Hari berikutnya, Alya memutuskan untuk langsung menghadapi Reno. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang sepi. Reno tampak terkejut dengan panggilan mendadak dari Alya, tetapi ia tetap datang.

“Kenapa kamu mengajakku bertemu?” tanya Reno sambil duduk di depannya.

Alya menatapnya tajam, tanpa menyembunyikan kemarahannya. “Aku ingin tahu, Reno. Apa yang kamu bicarakan dengan Clara?”

Wajah Reno langsung memucat. “Clara? Aku tidak tahu maksudmu.”

“Jangan berbohong,” potong Alya dingin. “Aku tahu kamu bertemu dengannya. Dan aku juga tahu bahwa dia punya rencana untuk menghancurkanmu lebih dalam lagi. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?”

Reno terdiam. Ia menundukkan kepalanya, tampak bingung harus menjawab apa. “Aku… Clara mendekatiku beberapa minggu yang lalu,” katanya akhirnya. “Dia bilang dia punya solusi untuk menyelamatkan perusahaanku. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayainya.”

“Dan kamu masih mempertimbangkan tawarannya?” tanya Alya tajam.

“Aku tidak punya pilihan lain, Alya,” jawab Reno dengan suara lemah. “Aku sudah mencoba segalanya. Aku kehabisan waktu dan sumber daya. Kalau ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan semuanya, maka aku harus mencobanya.”

Alya merasa darahnya mendidih. Ia tidak percaya bahwa Reno, bahkan setelah semua yang terjadi, masih bisa tergoda oleh Clara. Pria ini benar-benar tidak pernah belajar dari kesalahannya.

“Jadi, kamu benar-benar tidak peduli siapa yang kamu sakiti asalkan kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan?” kata Alya dengan suara dingin.

Reno terdiam, tidak mampu menjawab.

Alya bangkit dari tempat duduknya, menatap Reno dengan penuh rasa kecewa. “Kamu tidak berubah, Reno. Kamu masih pria yang sama seperti dulu—pria yang akan mengkhianati siapa pun demi keuntunganmu sendiri.”

Tanpa menunggu jawaban, Alya meninggalkan kafe itu. Di dalam hatinya, ia merasa campuran antara kemarahan, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Pertemuan ini mengingatkannya bahwa Reno bukanlah pria yang pantas mendapatkan simpati atau kesempatan kedua.

Namun, ia juga menyadari bahwa Clara adalah ancaman baru yang tidak bisa diabaikan. Jika ia ingin menyelesaikan rencananya, ia harus mengalahkan tidak hanya Reno, tetapi juga Clara.*

Bab 7: Puncak Konflik

Malam itu, Alya duduk sendirian di ruang kerjanya. Udara dingin menusuk kulit, namun pikirannya lebih membeku. Segala rencana yang telah ia bangun selama ini mulai terasa seperti tali yang membelit lehernya sendiri. Reno, Clara, dan semua intrik yang menyelimuti mereka perlahan menyeretnya ke jurang tak berujung.

Di layar laptopnya, berbagai dokumen dan bukti mengenai rencana Clara terhampar. Clara rupanya bekerja sama dengan salah satu investor terbesar perusahaan Reno untuk memastikan kejatuhannya. Tidak hanya itu, Clara juga berencana merebut aset Reno demi keuntungannya sendiri. Alya tersenyum tipis. Ironis. Pria yang dulu mengkhianatinya kini sedang menjadi korban pengkhianatan yang jauh lebih kejam.

Namun, ada hal lain yang lebih membuat Alya gelisah. Dalam proses penyelidikan ini, ia menemukan sesuatu yang tidak pernah ia duga: Reno ternyata telah menolak tawaran Clara. Pesan email yang ia dapatkan menunjukkan bahwa Reno dengan tegas menolak bantuan Clara, meskipun ia tahu bahwa keputusannya itu bisa mempercepat kehancuran perusahaannya.

“Apa ini?” gumam Alya sambil membaca email itu sekali lagi.

Ia tidak percaya. Reno yang ia kenal adalah seseorang yang akan melakukan apa saja demi keuntungan pribadinya. Tapi email ini membuktikan bahwa Reno telah berubah. Alya mencoba menepis pikiran itu, namun keraguan mulai tumbuh dalam hatinya. Apakah pria itu benar-benar tulus kali ini?

—

Keesokan harinya, Alya memutuskan untuk menghadapi Clara secara langsung. Ia tahu bahwa wanita itu adalah kunci dari semua kekacauan ini. Dengan mengenakan pakaian formal yang mencerminkan kekuatannya, Alya pergi ke sebuah acara bisnis di mana Clara menjadi salah satu tamu utama.

Clara menyadari kehadiran Alya begitu wanita itu masuk ke ruangan. Dengan senyum sinis, ia mendekat.

“Alya, apa kabar? Aku tidak menyangka kamu akan datang ke sini,” sapa Clara dengan nada yang terdengar terlalu ramah.

Alya membalas senyum itu dengan dingin. “Aku datang untuk memastikan bahwa orang-orang sepertimu tidak terus menghancurkan hidup orang lain.”

Clara tertawa kecil. “Oh, jadi kamu di sini untuk membela Reno? Itu lucu sekali. Bukankah dia pria yang menghancurkanmu dulu? Mengapa kamu repot-repot peduli?”

“Ini bukan tentang Reno,” jawab Alya tegas. “Ini tentang kamu. Aku tahu semua rencanamu. Aku tahu kamu bekerja sama dengan investor itu untuk menghancurkan Reno dan mengambil alih asetnya.”

Wajah Clara seketika berubah. Namun, ia dengan cepat menguasai dirinya. “Kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” katanya sambil tersenyum tipis.

“Aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira,” balas Alya tajam. “Dan aku tidak akan membiarkanmu lolos kali ini.”

Clara tertawa pelan. “Apa yang bisa kamu lakukan, Alya? Kamu mungkin pandai bermain permainan kecil ini, tapi aku sudah bermain jauh lebih lama dari kamu.”

Alya tidak menjawab. Ia tahu bahwa Clara meremehkannya, tetapi itu adalah keuntungannya.

—

Pertarungan antara Alya dan Clara mencapai puncaknya ketika Alya menemukan cara untuk menjebak Clara di hadapan publik. Dalam sebuah acara pers besar yang digelar untuk membahas kondisi perusahaan Reno, Alya membawa semua bukti yang ia kumpulkan.

Saat Clara sedang berbicara di atas panggung, Alya berdiri dan menginterupsi acara tersebut.

“Maaf, saya harus mengatakan sesuatu,” kata Alya dengan suara tegas, membuat semua mata tertuju padanya.

Clara menatapnya dengan tatapan tajam. “Alya, ini bukan waktunya untuk drama.”

“Ini bukan drama,” balas Alya. “Ini tentang kebenaran. Clara, saya tahu bahwa Anda telah bekerja sama dengan pihak luar untuk menghancurkan perusahaan Reno demi keuntungan pribadi Anda.”

Ruangan seketika dipenuhi bisikan. Wartawan mulai mengarahkan kamera mereka ke Alya dan Clara.

“Apa buktinya?” tanya Clara, mencoba terdengar tenang.

Alya dengan tenang menunjukkan dokumen-dokumen yang ia kumpulkan, termasuk percakapan email antara Clara dan investor tersebut. “Ini adalah bukti bahwa Anda merencanakan kejatuhan Reno dan berniat mengambil alih asetnya. Semua orang di sini berhak tahu siapa Anda sebenarnya.”

Clara terdiam. Untuk pertama kalinya, ia kehilangan kendali.

—

Setelah acara itu, Clara meninggalkan ruangan dengan wajah penuh amarah. Alya tahu bahwa pertempuran ini belum selesai, tetapi setidaknya ia berhasil mematahkan langkah Clara untuk sementara waktu.

Namun, masalah baru muncul. Reno, yang hadir di acara itu, mendekati Alya setelah semua orang pergi.

“Alya,” panggilnya pelan.

Alya berbalik, menatap Reno dengan ekspresi dingin. “Apa?”

“Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi… terima kasih,” ucap Reno dengan suara penuh emosi.

Alya menghela napas panjang. “Jangan salah paham. Aku melakukan ini bukan untukmu.”

“Tapi kenapa? Kalau kamu tidak peduli, kenapa kamu repot-repot melawan Clara?” tanya Reno, mencoba mencari jawaban di mata Alya.

Alya terdiam sejenak. Ia ingin mengatakan bahwa ini semua adalah bagian dari rencananya, tetapi ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di hatinya.

“Karena aku ingin memastikan kamu mendapatkan apa yang pantas kamu dapatkan,” jawab Alya akhirnya, dengan nada ambigu yang membuat Reno semakin bingung.*

Bab 8: Epilog

Beberapa bulan telah berlalu sejak konfrontasi besar antara Alya dan Clara di acara publik itu. Kehidupan Alya tampak kembali normal, meskipun dalam dirinya masih ada sisa-sisa luka dan pertanyaan yang belum terjawab. Namun, satu hal yang pasti: ia tidak lagi menjadi wanita yang sama seperti dulu.

Di kantor barunya, Alya duduk di meja kerjanya yang menghadap jendela besar. Langit kota sore itu tampak cerah, tetapi pikirannya masih terjebak di masa lalu. Alya telah melanjutkan hidupnya dengan fokus baru—membangun karier yang lebih besar, jauh dari bayang-bayang Reno dan Clara. Ia kini bekerja sama dengan sebuah perusahaan internasional, meninggalkan semua drama yang pernah menyelimuti hidupnya.

Namun, meskipun ia telah mencapai banyak hal, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya: Reno.

—

Beberapa minggu setelah acara besar itu, Reno mendekati Alya untuk meminta maaf sekali lagi. Ia mengakui semua kesalahannya dan berjanji akan memperbaiki hidupnya tanpa melibatkan Clara atau siapa pun yang pernah menyakitinya. Reno juga mengungkapkan bahwa ia telah memutuskan untuk memulai dari nol—meninggalkan perusahaan lamanya dan membangun bisnis kecil yang sesuai dengan nilai-nilai yang baru ia pelajari.

Tetapi saat itu, Alya tidak memberikan jawaban yang jelas. Ia hanya menatap Reno dengan pandangan kosong dan mengatakan, “Aku butuh waktu.”

Dan waktu itu pun berlalu tanpa kabar dari Reno lagi.

—

Hari itu, Alya memutuskan untuk berjalan-jalan di taman yang dulu sering ia kunjungi bersama Reno. Udara dingin musim semi membuat daun-daun berguguran di jalan setapak. Taman itu sepi, hanya ada beberapa orang yang berlari kecil atau duduk di bangku sambil membaca.

Alya menemukan sebuah bangku kosong di bawah pohon besar dan duduk di sana, membiarkan pikirannya melayang. Ia teringat semua hal yang telah ia lalui—cinta, pengkhianatan, dendam, dan akhirnya, perjalanan untuk menemukan dirinya sendiri.

Ia membuka tasnya dan mengambil buku catatan kecil yang selalu ia bawa. Di sana, ia menuliskan pemikirannya, sesuatu yang telah menjadi kebiasaan sejak ia memulai rencana balas dendamnya. Tapi kali ini, ia tidak menulis tentang kebencian atau strategi. Ia menulis tentang apa yang sebenarnya ia rasakan.

“Apakah aku benar-benar sudah selesai dengan semua ini?” tulisnya.

Alya tahu bahwa balas dendamnya telah selesai. Ia telah membuktikan bahwa dirinya tidak bisa diremehkan, bahwa ia bisa bangkit dari keterpurukan. Tetapi ia juga menyadari bahwa kemenangan itu tidak memberikan kedamaian yang ia cari. Luka di hatinya masih ada, meskipun tidak lagi terasa setajam dulu.

—

Saat ia sedang tenggelam dalam pikirannya, suara langkah kaki mendekat. Alya mendongak, dan matanya bertemu dengan sosok yang tak asing. Reno berdiri di depannya, dengan senyum kecil yang penuh keraguan.

“Alya,” sapa Reno pelan.

Alya terdiam sejenak sebelum menjawab. “Reno. Apa yang kamu lakukan di sini?”

“Aku sering datang ke taman ini sekarang,” jawab Reno, duduk di bangku yang sama. “Tempat ini selalu membuatku tenang.”

Alya mengangguk pelan. Mereka duduk dalam keheningan untuk beberapa saat, membiarkan angin membawa percakapan mereka yang tidak terucap.

“Aku dengar kamu meninggalkan perusahaanmu,” kata Alya akhirnya, memecah keheningan.

Reno tersenyum tipis. “Ya. Aku pikir, sudah waktunya aku memulai hidup baru. Semua kekacauan itu… aku tidak ingin kembali ke sana.”

“Dan Clara?” tanya Alya dengan nada dingin.

“Dia sudah tidak ada lagi dalam hidupku,” jawab Reno tegas. “Aku memutuskan semua hubungan dengannya setelah apa yang terjadi. Aku tahu aku membuat banyak kesalahan, Alya. Dan aku ingin memperbaikinya—untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain.”

Alya menatap Reno, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan dalam ekspresinya. Tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan.

“Kenapa kamu masih di sini, Reno? Kenapa kamu tidak pergi saja?” tanya Alya dengan nada yang lebih lembut.

Reno menghela napas panjang. “Karena aku merasa aku belum selesai. Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, sesuatu yang seharusnya aku katakan sejak dulu.”

Alya tidak menjawab. Ia hanya menunggu Reno melanjutkan.

“Aku mencintaimu, Alya,” ucap Reno akhirnya. “Aku tahu aku sudah menghancurkan segalanya di antara kita. Aku tahu aku mungkin tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Tidak pernah.”

Kata-kata itu membuat hati Alya bergetar. Ia ingin marah, ingin mengingatkan dirinya bahwa Reno adalah pria yang pernah menghancurkannya. Tetapi di dalam hatinya, ada perasaan hangat yang perlahan muncul.

“Aku tidak tahu, Reno,” kata Alya akhirnya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi.”

Reno mengangguk pelan. “Aku tidak meminta kamu untuk langsung memaafkanku. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku yang sebenarnya. Dan aku akan menunggumu, seberapa lama pun itu.”

—

Beberapa waktu kemudian, Alya kembali ke apartemennya. Malam itu, ia duduk di balkon, menatap bintang-bintang di langit. Ia memikirkan semua hal yang telah ia lalui, semua rasa sakit, kebencian, dan cinta yang masih tersisa.

Hidup tidak pernah sederhana. Alya tahu bahwa ia harus membuat keputusan, tetapi kali ini, ia ingin melakukannya dengan hati yang jujur—bukan karena dendam atau kebencian, tetapi karena ia ingin memberikan dirinya kesempatan untuk benar-benar bahagia.

“Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Reno,” bisiknya pelan. “Tapi mungkin… aku bisa mencoba.”

Malam itu, Alya akhirnya merasa sedikit lebih damai. Tidak ada yang pasti tentang masa depannya dengan Reno, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa luka di hatinya mulai sembuh.

Dan itu adalah awal yang baik.***

———the and———

Source: SYAHIBAL
Tags: cinta lamadendam cintadrama romantispengkhianatanromansa gelap
Previous Post

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

Next Post

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
CINTA YG TAK TERBALAS

CINTA YG TAK TERBALAS

May 11, 2025
Next Post
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id