Daftar Isi
- Bab 1: Senja yang Mempertemukan
- Bab 2: Bayangan dari Masa Lalu
- Bab 3: Cinta yang Tak Boleh Ada
- Bab 4: Api di Balik Senja
- Bab 5: Pertemuan yang Mengubah Takdir
- Bab 6: Dilema di Ambang Pernikahan
- Bab 7: Di Ambang Kehilangan
- Bab 8: Ketika Cinta Harus Diperjuangkan
- Bab 9: Bayangan Masa Lalu
- Bab 10: Senja yang Baru
Bab 1: Senja yang Mempertemukan
Langit senja di tepi pantai selalu memberikan ketenangan bagi Nayla. Sejak kecil, ia menyukai warna jingga yang perlahan memudar keungu-unguan di cakrawala, seperti lukisan yang terus berubah setiap harinya. Namun, sore ini, ketenangan itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat dadanya bergetar, sesuatu yang belum bisa ia pahami.
Ia duduk di sebuah kafe kecil di tepi pantai, menunggu pesanan kopi yang belum juga datang. Dari balik kaca jendela, Nayla menatap deburan ombak yang bergulung perlahan, berkejaran dengan angin yang bertiup lembut. Hari ini seharusnya menjadi sore biasa, tetapi sejak tadi ia merasa seperti ada seseorang yang memperhatikannya.
Ketika ia menoleh, matanya bertemu dengan sepasang mata yang begitu familiar. Mata itu, tatapan itu, seolah menariknya kembali ke masa lalu. Seorang pria berdiri tidak jauh darinya, dengan tubuh tegap dan senyum samar di wajahnya. **Reza.**
Detik itu juga, jantung Nayla berdegup lebih cepat. Ia hampir tak percaya melihat pria yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya kini berdiri di hadapannya lagi, setelah sekian tahun berpisah. Reza berjalan mendekat, senyumnya tidak berubah, tetap hangat seperti dulu.
*”Nayla?”* Suaranya terdengar pelan, seolah masih ragu apakah benar wanita di depannya adalah orang yang sama yang dulu pernah ia cintai.
Nayla terdiam beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum tipis. *”Reza… Sudah lama sekali, ya?”*
Reza mengangguk. Tanpa diundang, ia menarik kursi di seberang Nayla dan duduk di sana. Keheningan menyelimuti mereka beberapa detik, sebelum akhirnya Reza berbicara lagi.
*”Aku tak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”*
*”Aku juga,”* jawab Nayla pelan.
Ada banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tetapi bibirnya terasa kelu. Bagaimana bisa Reza ada di tempat ini? Kemana saja dia selama ini? Dan mengapa perasaan lama yang seharusnya sudah terkubur, tiba-tiba kembali menyeruak begitu saja?
Pelayan datang membawa pesanan kopi Nayla, dan Reza ikut memesan minuman. Mereka mulai berbicara, awalnya hanya tentang hal-hal ringan—pekerjaan, kehidupan di kota, bagaimana kabar keluarga masing-masing. Tetapi di balik percakapan itu, ada sesuatu yang tidak terucap di antara mereka.
Saat senja semakin redup, Nayla mulai merasa gelisah. Ia tidak boleh terlalu larut dalam nostalgia. Ia sudah memiliki tunangan, Arman, pria baik yang mencintainya dan sudah ia pilih untuk menjadi pendamping hidupnya. Bertemu dengan Reza seharusnya hanya menjadi pertemuan biasa, tidak lebih.
Namun, mengapa hatinya berkata lain?
Ketika Reza tersenyum kepadanya, Nayla merasakan sesuatu yang sudah lama ia lupakan—getaran yang berbeda, sesuatu yang dulu pernah ia rasakan bertahun-tahun lalu.
*”Kau masih sama seperti dulu, Nay,”* ujar Reza tiba-tiba.
Nayla mengerutkan kening. *”Apa maksudmu?”*
*”Caramu menatap senja. Aku ingat, dulu kau selalu mengatakan bahwa senja adalah waktu yang paling indah. Tapi aku selalu merasa senja itu menyedihkan, karena itu pertanda bahwa hari akan segera berakhir.”*
Nayla terdiam. Ia ingat percakapan itu. Mereka pernah membahasnya dulu, saat masih bersama. Saat hatinya hanya milik Reza.
Hening kembali tercipta di antara mereka, hanya ditemani suara ombak yang berdebur di kejauhan.
*”Nay, apakah kau bahagia?”*
Pertanyaan itu membuat Nayla tersentak. Ia menatap Reza, dan untuk sesaat, ia merasa tidak bisa menjawab.
Apakah ia bahagia? Apakah hidupnya saat ini benar-benar seperti yang ia inginkan?
Sebelum ia sempat menjawab, ponselnya bergetar. Nama **Arman** tertera di layar. Nayla menatapnya sejenak, lalu menghela napas sebelum mengangkat panggilan itu.
*”Halo, sayang?”* Suara Arman terdengar di seberang sana, lembut dan penuh perhatian.
*”Iya, aku masih di luar, sebentar lagi pulang,”* jawab Nayla cepat.
Di hadapannya, Reza tersenyum kecil, tetapi ada sorot redup di matanya.
Ketika panggilan berakhir, Nayla tahu bahwa ia harus pergi. Ia beranjak dari tempat duduknya, meraih tasnya, tetapi sebelum ia benar-benar pergi, Reza menahan tangannya.
*”Nayla, bolehkah aku menemuimu lagi?”*
Hatinya berdetak lebih cepat. Ia tahu bahwa seharusnya ia mengatakan tidak. Seharusnya ia mengakhiri semua ini sebelum menjadi lebih rumit.
Namun, bibirnya justru mengucapkan sesuatu yang berbeda.
*”Kita lihat nanti.”*
Nayla melangkah pergi, meninggalkan Reza di sana. Namun, ia tahu bahwa sejak pertemuan ini, dunianya tak akan lagi sama.
Di balik senja yang mulai menghilang, sebuah rahasia baru mulai terbentuk—rahasia yang bisa mengubah segalanya.*
Bab 2: Bayangan dari Masa Lalu
Malam itu, Nayla berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya sendiri dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuan dengan Reza di kafe tadi sore. Hatinya berdebar setiap kali ia mengingat tatapan pria itu—tatapan yang dulu begitu ia rindukan, tetapi kini terasa seperti ancaman bagi hidupnya yang sudah tertata.
Ia menggigit bibir, mencoba mengusir segala pikiran yang mengganggunya. *Aku sudah bertunangan dengan Arman. Ini hanya pertemuan biasa. Tidak lebih.*
Namun, mengapa ia merasa ada sesuatu yang belum selesai?
Ponselnya bergetar di meja, menampilkan pesan dari Arman:
**”Selamat malam, sayang. Maaf tadi menelepon tiba-tiba, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Aku mencintaimu.”**
Nayla tersenyum tipis. Arman memang selalu begitu, penuh perhatian, sabar, dan selalu berusaha membuatnya merasa nyaman. Ia mengetik balasan singkat, **”Aku baik-baik saja. Selamat malam, Arman.”**
Tetapi bahkan setelah itu, pikirannya tidak kunjung tenang.
—
### **Kenangan yang Kembali**
Keesokan harinya, Nayla memutuskan untuk menyibukkan diri di butik tempat ia bekerja sebagai desainer. Sejak kecil, ia memang bercita-cita untuk membuat pakaian yang bisa membuat seseorang merasa percaya diri dan bahagia. Namun, hari ini, inspirasi seakan menjauh darinya.
Saat ia tengah menggambar desain di atas kertas, suara bel pintu butik berbunyi, menandakan ada seseorang yang masuk. Ia menoleh, dan dunianya terasa berhenti sejenak.
**Reza.**
Pria itu berdiri di sana dengan senyum khasnya, memakai kemeja putih dengan lengan yang sedikit tergulung. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi itu justru semakin menambah pesonanya.
*”Apa kau sengaja mengikutiku?”* tanya Nayla, mencoba terdengar tegas.
Reza terkekeh. *”Tentu tidak. Aku sedang mencari hadiah untuk saudara perempuanku, dan kebetulan aku melihat butik ini. Aku tak tahu kalau ini milikmu.”*
Nayla menatapnya curiga. Ia tahu Reza cukup pintar untuk mencari tahu keberadaannya, tetapi ia memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut.
*”Jadi, kau ingin membeli apa?”* tanyanya, mencoba bersikap profesional.
Reza mengedarkan pandangannya ke sekitar butik, lalu mengambil sebuah syal berwarna biru tua. *”Ini bagus. Aku yakin dia akan menyukainya.”*
Nayla mengambil syal itu dan memasukkannya ke dalam kotak hadiah. Namun, saat ia menyerahkan kotaknya, jari mereka bersentuhan. Sejenak, kehangatan itu kembali hadir—sesuatu yang tidak boleh ia rasakan, tetapi tidak bisa ia hindari.
Reza tidak menarik tangannya dengan segera. Tatapan mereka bertemu, dan di dalam mata pria itu, Nayla melihat sesuatu yang tak bisa ia abaikan.
*”Kau bahagia, Nay?”*
Nayla terkejut. Itu adalah pertanyaan yang sama seperti kemarin, tetapi kali ini, ia tidak bisa menghindarinya.
*”Tentu saja,”* jawabnya cepat, terlalu cepat.
Reza tersenyum miring, seolah tahu bahwa jawabannya tidak sepenuhnya benar. Ia mengambil kotak itu, lalu berkata, *”Baiklah, kalau begitu. Senang bertemu denganmu lagi, Nayla.”*
Setelah Reza pergi, Nayla menghela napas panjang. Jari-jarinya masih merasakan sentuhan pria itu. Dan hatinya mulai merasa goyah.
—
### **Rasa yang Tak Bisa Hilang**
Malamnya, Nayla duduk di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Ia mencoba mengabaikan semua perasaan yang berkecamuk, tetapi semakin ia berusaha, semakin kuat bayangan Reza hadir dalam pikirannya.
Lima tahun lalu, mereka adalah dua orang yang saling mencintai, dua hati yang tak terpisahkan. Namun, semuanya berubah ketika keluarganya menjodohkannya dengan Arman—putra dari keluarga terpandang yang dianggap lebih cocok untuknya.
Ia masih ingat bagaimana perpisahan mereka terjadi. Reza berusaha mempertahankan hubungan mereka, tetapi Nayla tidak punya pilihan. Ia harus tunduk pada keinginan keluarganya.
*”Aku mencintaimu, Nay. Kenapa kau begitu mudah menyerah?”*
*”Ini bukan tentang menyerah, Reza. Ini tentang melakukan hal yang benar.”*
*”Hal yang benar untuk siapa? Untuk mereka atau untukmu?”*
Dan saat itu, Nayla tidak bisa menjawabnya.
Kini, setelah sekian lama, ia kembali bertanya pada dirinya sendiri: *Apakah yang kulakukan saat itu benar?*
Pikirannya buyar ketika ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan dari Arman, melainkan dari nomor yang tidak dikenal.
**”Aku ingin bertemu denganmu lagi. Satu kali saja. Aku akan menunggumu di tempat yang sama, besok saat senja.”**
Nayla tahu siapa pengirimnya. Ia menatap pesan itu lama, mencoba mencari alasan untuk tidak datang.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia ingin bertemu Reza lagi.
Tanpa sadar, jarinya mengetik balasan.
**”Baik. Hanya satu kali ini saja.”**
Tapi, apakah benar hanya satu kali? Ataukah ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya?
Di balik senja yang selalu ia kagumi, sebuah rahasia mulai tumbuh. Dan Nayla tidak tahu apakah ia siap untuk menghadapi akibatnya.*
Bab 3: Cinta yang Tak Boleh Ada
Senja kembali menyelimuti langit, menciptakan gradasi jingga dan ungu yang selalu membuat Nayla terpesona. Namun, kali ini, ia tak hanya datang untuk menikmati keindahannya. Ia datang karena pesan itu—karena janji yang tak seharusnya ia buat.
Nayla berjalan menuju kafe di tepi pantai, tempat pertemuan pertamanya dengan Reza setelah sekian lama. Hatinya berdebar, tidak yakin apakah ini keputusan yang benar. Bagaimanapun juga, ia telah memiliki Arman. Ia seharusnya tak lagi melihat ke belakang.
Namun, saat matanya menangkap sosok pria itu—duduk di sudut kafe dengan secangkir kopi di depannya, menatap ombak yang berkejaran—ia sadar bahwa tak ada gunanya lagi berpura-pura. Ada bagian dari dirinya yang selalu tertinggal bersama Reza, bagian yang tak pernah benar-benar ia lupakan.
Reza menyadari kehadirannya dan tersenyum tipis, seolah tahu bahwa Nayla pasti akan datang. Ia berdiri dan menarik kursi untuknya.
*”Aku tidak tahu apakah sebaiknya aku datang,”* ujar Nayla, suaranya hampir tenggelam oleh deburan ombak.
*”Tapi kau tetap datang,”* jawab Reza tanpa mengalihkan pandangannya darinya.
Nayla menghela napas dan duduk. Pelayan datang, dan ia hanya memesan teh hangat, meskipun saat ini yang ia butuhkan adalah sesuatu yang bisa menenangkan kegelisahannya.
Mereka terdiam cukup lama, membiarkan waktu berjalan tanpa kata-kata. Hingga akhirnya, Reza berbicara.
*”Kenapa kau datang, Nay?”*
Pertanyaan itu membuat Nayla terdiam. Ia tahu bahwa jawaban yang jujur akan berbahaya, jadi ia memilih berbohong.
*”Aku hanya ingin memastikan tidak ada kesalahpahaman antara kita. Aku sudah bertunangan, Reza.”*
Reza menatapnya dalam, lalu tersenyum kecil. *”Aku tahu. Tapi itu tidak mengubah apa yang kurasakan.”*
Nayla tersentak. Ia tidak siap mendengar kalimat itu.
*”Reza, ini tidak benar…”*
*”Apa yang tidak benar, Nay? Bahwa aku masih mencintaimu? Bahwa aku tidak pernah bisa melupakanmu?”* Reza mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya sarat dengan emosi. *”Atau tidak benarnya karena kau pun merasakan hal yang sama tapi berusaha menolaknya?”*
Nayla ingin membantah, ingin mengatakan bahwa Reza salah. Tapi bibirnya terasa kelu.
Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa pria itu benar.
Ia tidak pernah melupakan Reza. Tidak benar-benar.
Sore bergulir menjadi malam. Kafe mulai sepi, hanya tersisa beberapa pengunjung yang masih menikmati suasana pantai. Nayla meremas jemarinya di atas meja, mencoba mengendalikan perasaannya.
*”Apa yang kau inginkan, Reza?”* tanyanya akhirnya.
Reza menatapnya dengan mata yang tak lagi menyimpan kebimbangan.
*”Aku ingin kau jujur pada dirimu sendiri, Nayla.”*
Hatinya mencelos. Ia tahu, jika ia terus di sini, jika ia terus membiarkan Reza hadir dalam hidupnya, maka segalanya akan menjadi lebih rumit.
Namun, sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, ponselnya berbunyi. **Arman.**
Ia langsung merasa bersalah. Dengan cepat, ia berdiri. *”Aku harus pergi.”*
Reza tak menahan. Ia hanya mengangguk, tetapi tatapan matanya seolah berkata bahwa ini belum berakhir.
Saat Nayla berjalan menjauh, hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya.
Karena untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa bahwa ia telah kehilangan kendali atas perasaannya sendiri.
### **Kenangan yang Menghantui**
Malam itu, Nayla duduk di kamarnya, menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya kosong, pikirannya dipenuhi bayangan Reza.
Sebuah kenangan muncul begitu saja di benaknya.
**Lima tahun lalu.**
Mereka berdua duduk di taman belakang rumah Reza, menikmati senja seperti yang biasa mereka lakukan. Saat itu, dunia terasa begitu sederhana.
*”Aku ingin kita selalu begini,”* kata Reza tiba-tiba. *”Tak peduli seberapa sulit hidup ini, aku ingin kita tetap bersama.”*
Nayla tersenyum dan mengangguk. *”Kita akan selalu bersama, Reza.”*
Tapi itu adalah kebohongan terbesar yang pernah ia ucapkan.
Karena tak lama setelah itu, ia dipaksa untuk pergi dari kehidupan Reza.
Dan kini, takdir kembali mempertemukan mereka.
Tapi kali ini, segalanya lebih rumit.
—
### **Bimbang di Antara Dua Cinta**
Hari-hari berikutnya, Nayla berusaha menghindari Reza. Ia fokus pada persiapannya untuk pernikahan dengan Arman, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia membuat keputusan yang tepat.
Namun, hatinya terus berkhianat.
Arman adalah pria yang sempurna dalam segala hal. Ia baik, penuh perhatian, dan selalu berusaha membuat Nayla merasa dihargai. Tetapi setiap kali Nayla menatap mata Arman, yang ia pikirkan justru mata Reza.
Setiap sentuhan Arman terasa berbeda. Setiap pelukan terasa kurang.
Dan Nayla mulai takut.
Takut bahwa ia telah membuat kesalahan.
Takut bahwa hatinya masih milik pria yang seharusnya sudah ia tinggalkan.
Suatu malam, Arman mengajaknya makan malam romantis di restoran mahal. Ia terlihat begitu bahagia, menceritakan tentang masa depan mereka, tentang rumah yang akan mereka tinggali, tentang kehidupan yang akan mereka jalani bersama.
Tapi Nayla merasa hampa.
Dan ketika Arman menggenggam tangannya dengan lembut, tiba-tiba ia mendengar suara Reza di kepalanya.
*”Aku ingin kau jujur pada dirimu sendiri, Nayla.”*
Tangannya bergetar.
Arman menyadarinya. *”Sayang, kau baik-baik saja?”*
Nayla tersenyum samar dan mengangguk. *”Aku baik-baik saja.”*
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu itu adalah kebohongan terbesar yang pernah ia katakan.
Karena cinta yang seharusnya ia miliki untuk Arman… ternyata masih tertinggal di masa lalu.
Dan Reza adalah masa lalu yang kini kembali hadir dalam hidupnya.*
Bab 4: Api di Balik Senja
Nayla duduk di tepi ranjangnya, menatap undangan pernikahannya yang baru saja dikirim oleh pihak keluarga Arman. Sebuah kartu elegan dengan tinta emas, bertuliskan namanya dan nama pria yang akan menjadi suaminya dalam beberapa minggu lagi.
Namun, saat ia membacanya, dadanya terasa sesak. Seharusnya ia bahagia. Seharusnya ini adalah momen yang ia nantikan. Tapi mengapa hatinya justru terasa kosong?
Pikirannya melayang ke seseorang yang seharusnya sudah ia lupakan.
**Reza.**
Ia menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan bayangannya. Ia tidak boleh terus memikirkannya. Ini salah. Sangat salah.
Namun, semua yang berusaha ia abaikan justru semakin menghantuinya.
—
### **Pertemuan yang Tak Terduga**
Pagi itu, Nayla pergi ke butik lebih awal. Ia berharap pekerjaannya bisa mengalihkan pikirannya dari kekacauan yang sedang terjadi di hatinya. Namun, baru saja ia membuka pintu butik, ia dikejutkan oleh sosok yang sudah menunggunya di depan pintu.
**Reza.**
Pria itu bersandar pada tiang, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya tajam menatap Nayla, seolah ingin menangkap setiap emosi yang berusaha ia sembunyikan.
*”Apa yang kau lakukan di sini?”* tanya Nayla, suaranya lebih dingin dari yang ia maksudkan.
Reza tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil sebelum berkata, *”Aku ingin bicara denganmu.”*
*”Reza, kita tidak seharusnya terus bertemu seperti ini.”*
*”Tapi kau tetap datang ke kafe itu,”* balasnya cepat.
Nayla terdiam. Ia tahu Reza benar, tapi ia tak ingin mengakuinya.
*”Hanya sekali. Dan itu seharusnya menjadi yang terakhir,”* kata Nayla akhirnya.
Namun, Reza menggeleng. *”Kalau memang seharusnya yang terakhir, mengapa kau masih di sini? Mengapa kau tidak langsung pergi saat melihatku tadi?”*
Nayla meremas jemarinya. Ia benci bahwa Reza selalu tahu cara membuatnya ragu.
*”Apa yang kau inginkan?”* tanyanya akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan.
Reza menatapnya dalam. *”Aku ingin kau mengatakan yang sebenarnya, Nayla. Aku ingin kau mengaku bahwa kau masih mencintaiku.”*
Hatinya bergetar.
Tapi ia tidak boleh jatuh ke dalam jebakan itu.
*”Aku akan menikah, Reza. Ini sudah tak ada artinya lagi.”*
Reza tertawa kecil, tetapi ada kepedihan di matanya. *”Benarkah? Lalu mengapa kau masih di sini? Mengapa suaramu bergetar saat mengatakannya?”*
Nayla menggigit bibirnya, merasa terpojok.
*”Aku harus pergi,”* katanya cepat, lalu membuka pintu butik dan masuk, menutupnya sebelum Reza sempat berkata lebih banyak.
Namun, bahkan setelah ia berada di dalam, dadanya tetap terasa sesak.
Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu Reza tidak salah.
—
### **Pesta Pertunangan yang Tak Berarti**
Malam itu, keluarga Nayla dan Arman mengadakan pesta kecil untuk merayakan pertunangan mereka. Semua orang tersenyum, memberi selamat, dan memuji betapa cocoknya mereka sebagai pasangan.
Arman menggenggam tangan Nayla dengan lembut, senyumnya penuh kasih sayang. *”Aku tidak sabar menunggu hari pernikahan kita, Sayang.”*
Nayla membalas senyumannya, tetapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang terasa hampa.
Di sudut ruangan, ia melihat sepupunya, Laras, memandanginya dengan tatapan tajam. Setelah beberapa saat, Laras mendekat.
*”Kau baik-baik saja, Nay?”* tanyanya pelan.
Nayla tersenyum samar. *”Tentu saja. Kenapa kau bertanya begitu?”*
Laras menatapnya lebih lama sebelum berkata, *”Karena aku mengenalmu. Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan.”*
Nayla terdiam, merasa seolah rahasianya hampir terbongkar.
*”Aku hanya gugup,”* katanya akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Laras mengangguk pelan, tetapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya percaya.
Dan Nayla tahu, ia harus lebih hati-hati.
—
### **Pesan yang Menghancurkan Segalanya**
Setelah pesta selesai, Nayla duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam yang gelap. Ia berharap udara dingin bisa menenangkan pikirannya.
Namun, ketenangan itu sirna saat ponselnya berbunyi.
Pesan dari Reza.
**”Aku ingin bertemu denganmu. Hanya sekali lagi. Aku bersumpah setelah ini aku akan pergi dari hidupmu. Temui aku di tempat biasa, besok malam.”**
Nayla menggenggam ponselnya erat.
Ia tahu ia tidak boleh datang.
Ia tahu bahwa jika ia bertemu dengan Reza lagi, hatinya mungkin takkan mampu berpaling darinya.
Namun, tanpa sadar, jari-jarinya mulai mengetik balasan.
**”Baik. Besok malam.”**
Saat ia menekan tombol kirim, hatinya berdebar keras.
Karena di balik senja yang indah, ada api yang siap membakar segalanya.
Dan Nayla tidak tahu apakah ia siap menanggung akibatnya.*
Bab 5: Pertemuan yang Mengubah Takdir
Malam itu, Nayla berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua, rambutnya tergerai alami, tanpa riasan berlebihan. Ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda—seperti seseorang yang akan melakukan kesalahan, tapi tak sanggup menghentikannya.
Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel. Waktu menunjukkan pukul delapan malam.
**”Aku ingin bertemu denganmu. Hanya sekali lagi.”**
Pesan Reza masih tertinggal di layar ponselnya, mengingatkannya bahwa ini adalah pilihan yang ia buat sendiri. Ia bisa mengabaikan pesan itu. Ia bisa berpura-pura tidak membaca. Tapi entah mengapa, kakinya seakan memiliki kehendak sendiri, membawanya keluar dari kamar, menuruni tangga, dan melangkah ke dalam malam yang dingin.
Tak lama kemudian, ia sudah berada di dalam mobil, mengemudi menuju tempat yang seharusnya sudah menjadi bagian dari masa lalunya.
—
### **Di Bawah Langit Senja**
Tempat itu masih sama. Pantai kecil tersembunyi di balik tebing, tempat di mana mereka biasa menghabiskan waktu berdua.
Angin berhembus lembut, membawa aroma laut yang khas. Ombak bergulung pelan, menciptakan irama yang selalu menenangkan hatinya.
Di sana, berdiri seorang pria dengan punggung tegap, menatap laut dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
**Reza.**
Saat mendengar langkahnya mendekat, Reza berbalik. Matanya berbinar ketika melihat Nayla benar-benar datang.
*”Kau datang,”* ucapnya lirih, seolah masih tak percaya.
Nayla menelan ludah. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia hanya mengangguk dan berdiri beberapa langkah darinya.
Mereka terdiam cukup lama, membiarkan suara ombak menjadi satu-satunya saksi dari perasaan yang tak terucap.
*”Kau bilang ini yang terakhir,”* kata Nayla akhirnya, mencoba mengendalikan suaranya.
Reza tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan di matanya. *”Ya. Karena setelah ini, aku harus menyerah.”*
Nayla terkejut mendengar kata-kata itu.
*”Menyerah?”*
Reza menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya ke lautan.
*”Aku sudah mencoba melupakanmu, Nay. Aku sudah berusaha menerima bahwa kau akan menikah dengan pria lain. Tapi semakin aku berusaha, semakin aku sadar bahwa aku tidak bisa.”*
Nayla meremas jemarinya sendiri. Ia tidak boleh terpengaruh. Ia harus tetap kuat.
*”Reza, ini salah. Kita tidak bisa terus seperti ini,”* suaranya nyaris bergetar.
Reza menatapnya, matanya menyelidik, seolah mencari kebenaran dalam kata-kata Nayla.
*”Lalu mengapa kau datang, Nayla?”* tanyanya lembut.
Jantung Nayla berdegup kencang.
Ia ingin menjawab bahwa ia hanya ingin mengakhiri semuanya. Bahwa ini hanyalah pertemuan terakhir, bukan lebih dari itu. Tapi entah mengapa, kata-kata itu tak kunjung keluar dari bibirnya.
Reza tersenyum kecil, seolah mengerti.
*”Aku tidak akan memaksamu, Nay. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Aku tidak akan memintamu membatalkan pernikahanmu. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri.”*
Hati Nayla semakin gelisah.
Bagaimana mungkin ia jujur, kalau kejujuran itu akan menghancurkan segalanya?
Bagaimana mungkin ia mengakui bahwa hatinya masih milik Reza, sementara ia tahu pernikahan dengan Arman sudah semakin dekat?
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya.
*”Aku harus pergi,”* katanya akhirnya.
Reza tidak menahan. Ia hanya mengangguk pelan, tetapi ekspresinya seperti seseorang yang tahu bahwa meskipun Nayla pergi malam ini, hatinya akan tetap tertinggal di sini.
Nayla berbalik, berjalan menjauh dengan langkah cepat, berusaha meninggalkan semua perasaan yang tak seharusnya ada.
Namun, sebelum ia sempat mencapai mobilnya, suara Reza kembali terdengar.
*”Nayla.”*
Ia berhenti, tetapi tidak berbalik.
*”Aku mencintaimu,”* ucap Reza sekali lagi.
Mata Nayla memanas. Tanpa menoleh, ia melanjutkan langkahnya.
Dan saat ia mengemudi menjauh dari pantai itu, air matanya akhirnya jatuh.
Karena untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa ia sedang berbohong.
Ia mencintai Reza.
Dan perasaan itu tidak akan pernah berubah.
—
### **Rahasia yang Mulai Terungkap**
Keesokan harinya, Nayla berusaha menjalani hari seperti biasa. Ia pergi ke butik, menyapa karyawan, dan mencoba tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.
Namun, di dalam hatinya, pikirannya terus dipenuhi oleh pertemuan semalam.
Ketika ia sedang sibuk mengatur stok barang, suara pintu butik terbuka.
*”Nay?”*
Nayla menoleh dan mendapati Laras berdiri di sana dengan ekspresi penasaran.
*”Aku boleh bicara sebentar?”*
Nayla mengangguk, lalu membawa Laras ke ruang kecil di belakang butik.
Begitu pintu tertutup, Laras menatapnya dengan serius.
*”Aku melihatmu tadi malam,”* ucapnya langsung.
Darah Nayla seakan membeku.
*”Apa maksudmu?”* tanyanya, berusaha tetap tenang.
Laras melipat tangan di depan dada. *”Aku melihatmu bertemu dengan Reza. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian, tapi aku tahu sesuatu masih tersisa di antara kalian berdua.”*
Nayla terdiam. Ia ingin berbohong, tetapi tatapan Laras terlalu tajam untuk dihadapi dengan kebohongan.
*”Aku tidak tahu harus berkata apa, Laras,”* ucapnya pelan.
Laras menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, *”Kau yakin ingin menikah dengan Arman? Karena dari apa yang kulihat, hatimu sepertinya masih ada di tempat lain.”*
Kata-kata itu menusuk Nayla.
Karena itulah pertanyaan yang terus menghantuinya.
Apakah ia benar-benar ingin menikah dengan Arman?
Ataukah ia hanya berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu adalah keputusan yang benar?
Nayla tak punya jawaban.
Namun, ia tahu satu hal.
Pernikahan ini akan segera tiba.
Dan ia harus segera memutuskan apakah ia akan mengikuti takdirnya atau menghancurkan segalanya demi cinta yang terlarang.*
Bab 6: Dilema di Ambang Pernikahan
Malam semakin larut, tetapi Nayla masih terjaga. Lampu kamarnya sudah dimatikan, hanya cahaya bulan yang masuk melalui jendela, menerangi wajahnya yang penuh kebingungan.
Pikirannya terus berputar, mengulang setiap momen yang terjadi dalam beberapa hari terakhir.
**Reza.**
Nama itu terus bergaung di kepalanya. Bayangan pria itu tidak mau pergi dari pikirannya, terutama setelah pertemuan terakhir mereka.
Laras benar. Nayla tidak bisa membohongi dirinya sendiri lagi.
Ia memang masih mencintai Reza.
Tapi di sisi lain, pernikahannya dengan Arman sudah di depan mata.
Ia tidak bisa mundur sekarang.
Atau… apakah ia bisa?
—
### **Sebuah Keputusan Berat**
Keesokan harinya, Nayla duduk di ruang tamu rumahnya, menatap undangan pernikahan yang bertumpuk di atas meja. Undangan yang seharusnya menjadi awal dari kehidupan baru bersama Arman.
Namun, sekarang, rasanya seperti belenggu yang mengikatnya semakin erat.
Ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Tak lama kemudian, ibunya duduk di sampingnya, menatapnya dengan lembut.
*”Nayla, kau terlihat gelisah akhir-akhir ini. Ada yang ingin kau bicarakan?”*
Nayla terkejut. Ia mengira dirinya cukup pandai menyembunyikan kegelisahannya, tetapi ibunya selalu bisa membaca hatinya.
Ia ingin jujur, ingin mengatakan semuanya.
Namun, bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin ia mengatakan bahwa ia masih mencintai pria lain sementara keluarganya sudah menyiapkan segalanya untuk pernikahan ini?
Ia hanya tersenyum kecil, mencoba meyakinkan ibunya.
*”Aku hanya sedikit lelah, Bu. Persiapan pernikahan ini cukup melelahkan.”*
Ibunya menatapnya sejenak, lalu mengangguk. *”Itu wajar, Sayang. Tapi ingat, pernikahan bukan hanya tentang pesta. Yang lebih penting adalah hatimu sendiri. Kau harus yakin dengan pilihanmu.”*
Kata-kata itu menghantam Nayla tepat di hatinya.
Apakah ia benar-benar yakin?
Saat ibunya berlalu, Nayla kembali menatap undangan itu.
Ia harus mengambil keputusan. Dan harus segera.
—
### **Pertemuan Tak Terduga dengan Arman**
Sore itu, Nayla memutuskan untuk bertemu dengan Arman.
Mereka bertemu di sebuah kafe yang tenang. Arman tampak seperti biasa—tenang, sopan, dan penuh perhatian.
*”Kau terlihat lelah,”* ujar Arman sambil menatapnya lembut.
Nayla tersenyum samar. *”Banyak yang kupikirkan akhir-akhir ini.”*
Arman mengangguk, lalu menggenggam tangannya di atas meja. *”Aku tahu ini semua bisa terasa menekan, Nay. Jika kau butuh waktu, aku ada di sini.”*
Nayla menatap pria di depannya. Arman selalu baik, selalu memahami, selalu menjadi sosok yang sempurna untuknya.
Tapi mengapa hatinya tidak bisa berpihak padanya?
*”Arman… apakah kau benar-benar mencintaiku?”* tanyanya tiba-tiba.
Arman terkejut, tetapi kemudian tersenyum. *”Tentu saja, Nay. Aku tidak akan melamar jika aku tidak mencintaimu.”*
Nayla mengangguk pelan.
*”Lalu… bagaimana jika aku tidak yakin?”*
Kini ekspresi Arman berubah. Ia menatap Nayla dengan raut wajah serius. *”Apa maksudmu?”*
Nayla menggigit bibirnya. Ia tahu ini adalah momen yang tepat untuk jujur, tetapi kata-kata itu terasa begitu sulit untuk diucapkan.
*”Aku hanya… merasa ada sesuatu yang belum selesai dalam hidupku,”* ujarnya hati-hati.
Arman terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menghela napas.
*”Ini tentang Reza, bukan?”*
Jantung Nayla berdegup kencang. *”Dari mana kau tahu?”*
Arman tersenyum miris. *”Aku bukan orang bodoh, Nay. Aku bisa melihat caramu bersikap. Aku tahu kau pernah mencintainya, dan mungkin kau masih belum benar-benar melupakannya.”*
Nayla menundukkan kepala. Ia merasa bersalah.
*”Aku tidak ingin menyakitimu, Arman.”*
Arman menghela napas panjang, lalu menatapnya dengan lembut. *”Aku mencintaimu, Nay. Tapi aku juga ingin kau bahagia. Jika kau merasa masih ada sesuatu yang belum selesai dengan Reza, aku tidak ingin kau menikahiku hanya karena merasa harus.”*
Nayla menatap Arman dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak menyangka bahwa pria ini begitu memahami perasaannya.
Namun, apakah ia benar-benar siap untuk menghadapi konsekuensi dari kejujurannya?
—
### **Panggilan Telepon yang Mengubah Segalanya**
Malam harinya, Nayla duduk di balkon kamarnya, mencoba memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
*”Halo?”*
Suara di seberang terdengar panik. *”Nayla? Ini Laras. Aku di rumah sakit. Ini tentang Reza.”*
Jantung Nayla hampir berhenti.
*”Apa yang terjadi?!”*
*”Dia mengalami kecelakaan. Kau harus datang sekarang.”*
Tanpa berpikir panjang, Nayla mengambil kunci mobilnya dan berlari keluar rumah.
Di dalam mobil, tangannya gemetar di atas kemudi. Pikirannya kacau, dadanya terasa sesak.
Reza mengalami kecelakaan.
Apakah ini pertanda?
Apakah ini adalah akhir dari segalanya?
Ia tidak tahu.
Yang ia tahu hanyalah satu hal.
Ia harus sampai di rumah sakit. Dan ia harus melihat Reza.
Sebelum semuanya terlambat.*
Bab 7: Di Ambang Kehilangan
Nayla hampir tak bisa bernapas saat berlari melewati lorong rumah sakit. Suara langkah kakinya menggema, berpadu dengan aroma antiseptik yang menusuk hidungnya.
Tangannya bergetar saat ia mendorong pintu ruang tunggu. Matanya langsung mencari sosok yang dikenalnya.
*”Laras!”* serunya begitu melihat sahabatnya berdiri dengan wajah penuh kecemasan.
Laras menoleh dan langsung menghampiri Nayla. *”Kau cepat sekali datang,”* ujarnya pelan.
*”Di mana Reza? Bagaimana keadaannya?”*
Laras menghela napas, menatap Nayla dengan ragu. *”Dia masih di ruang operasi. Dokter bilang keadaannya cukup parah. Dia kehilangan banyak darah.”*
Dunia seakan berhenti berputar. Kaki Nayla terasa lemas. Ia hampir terjatuh jika Laras tidak segera meraih lengannya.
*”Ini salahku…”* bisiknya.
Laras mengerutkan kening. *”Apa maksudmu?”*
Air mata Nayla mulai menggenang. *”Jika aku tidak membuatnya menunggu dalam ketidakpastian… jika aku tidak membiarkan semua ini terjadi, mungkin dia tidak akan seperti ini.”*
Laras menggenggam tangan Nayla erat. *”Jangan menyalahkan dirimu, Nay. Ini kecelakaan. Bukan salahmu.”*
Tapi Nayla tahu.
Di balik semua ini, hatinya mengatakan bahwa mungkin, hanya mungkin, Reza tidak akan berada dalam kondisi ini jika perasaannya tidak dipermainkan.
Jika saja ia berani membuat keputusan lebih awal.
Jika saja ia memilih untuk jujur pada dirinya sendiri.
—
### **Kenangan yang Kembali**
Waktu berjalan begitu lambat. Nayla duduk di kursi ruang tunggu dengan kepala bersandar di dinding.
Setiap detik terasa seperti hukuman.
Pikirannya melayang kembali ke masa-masa ketika ia dan Reza masih bersama.
Dulu, Reza selalu menjadi tempatnya bersandar. Seseorang yang membuatnya merasa aman, yang membuat dunianya penuh warna.
Ia masih ingat bagaimana pria itu selalu menggenggam tangannya dengan erat saat mereka berjalan di pinggir pantai.
*”Aku ingin bersamamu selamanya, Nay.”*
Kata-kata itu masih terngiang di telinganya.
Dan kini, ia mungkin akan kehilangannya.
Selamanya.
—
### **Kabar dari Dokter**
Dua jam berlalu sebelum akhirnya seorang dokter keluar dari ruang operasi.
*”Keluarga pasien Reza Pratama?”* tanyanya.
Nayla dan Laras langsung berdiri. *”Kami temannya, Dok,”* ujar Laras.
Dokter itu menatap mereka sejenak sebelum berkata, *”Operasinya berhasil. Namun, kondisinya masih kritis. Dia masih belum sadar dan butuh pengawasan intensif selama 24 jam ke depan.”*
Nayla merasakan sedikit kelegaan, tetapi kecemasannya belum hilang.
*”Bisakah kami melihatnya?”* tanyanya lirih.
Dokter itu mengangguk. *”Satu orang boleh masuk.”*
Nayla menoleh pada Laras, seolah meminta izin.
Laras mengangguk. *”Pergilah. Aku akan menunggu di sini.”*
Dengan langkah ragu, Nayla memasuki ruang ICU.
—
### **Di Samping Reza**
Begitu memasuki ruangan, hatinya semakin hancur melihat keadaan Reza.
Pria itu terbaring dengan selang infus di tangannya, perban melilit kepalanya, dan alat bantu pernapasan masih terpasang.
Wajahnya pucat. Terlihat begitu rapuh.
Nayla melangkah perlahan, duduk di samping tempat tidurnya.
Tangannya bergerak, menggenggam jemari Reza yang dingin.
*”Reza… aku di sini,”* bisiknya, meski ia tahu pria itu tidak bisa mendengarnya.
Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
*”Maafkan aku…”*
Ia menggenggam tangan Reza lebih erat.
*”Aku bodoh. Aku seharusnya tidak membiarkan semuanya menjadi serumit ini.”*
Suasana ruangan begitu sunyi. Hanya suara mesin medis yang terus berbunyi.
Nayla mengelus tangan Reza pelan. *”Tolong, sadar lah. Jangan tinggalkan aku.”*
Ia tidak peduli lagi dengan pernikahannya. Tidak peduli dengan statusnya.
Yang ia tahu hanyalah satu hal:
Ia tidak siap kehilangan Reza.
—
### **Sebuah Pilihan**
Saat malam semakin larut, Nayla masih tetap duduk di samping Reza, menggenggam tangannya.
Tiba-tiba, pintu terbuka.
Arman.
Pria itu berdiri di ambang pintu, menatap Nayla dalam diam.
Nayla langsung berdiri, merasa bersalah.
*”Arman…”*
Arman melangkah masuk, tatapannya tenang, tetapi penuh makna.
*”Aku sudah tahu ini sejak awal,”* katanya pelan.
Nayla menggigit bibirnya. *”Maafkan aku…”*
Arman menatap Reza yang masih terbaring tak sadarkan diri, lalu kembali menatap Nayla.
*”Kau mencintainya, bukan?”*
Nayla menundukkan kepala.
Arman menghela napas panjang. *”Aku ingin marah. Aku ingin menyalahkanmu. Tapi… aku juga ingin kau bahagia, Nay.”*
Nayla menatap Arman dengan mata berkaca-kaca.
*”Aku tidak ingin membuatmu terluka, Arman.”*
Arman tersenyum tipis. *”Aku lebih terluka jika kau menikahiku tanpa cinta.”*
Sunyi sejenak.
Arman kemudian melangkah ke arah Nayla, lalu menggenggam tangannya sejenak sebelum melepaskannya dengan lembut.
*”Kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan,”* katanya, lalu berbalik dan pergi meninggalkan ruangan.
Nayla hanya bisa berdiri di tempatnya, hatinya penuh emosi yang tak bisa ia ungkapkan.
Kini semuanya jelas.
Ia sudah tahu siapa yang selama ini mengisi hatinya.
Dan kali ini, ia tidak akan lari lagi.*
Bab 8: Ketika Cinta Harus Diperjuangkan
Udara di dalam ruang ICU terasa begitu dingin, atau mungkin hanya hati Nayla yang membeku.
Sejak kepergian Arman tadi malam, ia belum beranjak dari sisi Reza. Matanya sembab karena menangis, tetapi ia tidak peduli.
Ia hanya ingin berada di sini.
Menemani pria yang selama ini tak bisa ia lepaskan dari hatinya.
Tangannya masih menggenggam tangan Reza yang terasa dingin. Ia membelai lembut, berharap sentuhannya bisa membangunkan pria itu.
*”Reza… aku di sini,”* bisiknya untuk kesekian kalinya.
Tetapi, Reza tetap diam.
—
### **Harapan di Antara Kesunyian**
Pagi mulai menyapa. Sinar matahari mengintip melalui celah jendela rumah sakit.
Nayla masih menunggu dengan penuh harapan.
Tak lama kemudian, dokter masuk bersama seorang perawat. Nayla segera berdiri, memberi ruang agar mereka bisa memeriksa kondisi Reza.
Ia menahan napas saat dokter mengangkat kelopak mata Reza dan memeriksa tekanan darahnya.
*”Bagaimana, Dok?”* tanyanya cemas.
Dokter tersenyum tipis. *”Kondisinya mulai stabil. Ini pertanda baik, tetapi kita masih harus menunggu sampai dia sadar.”*
Nayla mengangguk. Setidaknya ada sedikit harapan.
Ketika dokter dan perawat keluar, Laras masuk dengan membawa secangkir kopi.
*”Kau belum makan, Nay. Setidaknya minumlah ini,”* ujar Laras, menyodorkan kopi itu.
Nayla menghela napas panjang dan menerima cangkir tersebut.
*”Aku takut, Ras,”* katanya pelan.
Laras duduk di sampingnya. *”Takut kenapa?”*
Nayla menatap Reza. *”Aku takut kalau aku sudah terlambat. Kalau dia tidak pernah bangun lagi, atau kalau pun dia bangun, dia tidak akan memaafkanku.”*
Laras tersenyum lembut. *”Jika Reza bisa mendengar kata-katamu sekarang, aku yakin dia akan berjuang untuk kembali.”*
Nayla menggigit bibirnya. Ia berharap Laras benar.
Karena kali ini, ia tidak ingin kehilangan Reza lagi.
—
### **Tanda Kehidupan**
Siang itu, Nayla tetap di sisi Reza. Tangannya menggenggam jemari pria itu, seolah ingin menyalurkan energi kehidupannya sendiri.
Lalu, tiba-tiba…
Sebuah gerakan kecil.
Jari Reza sedikit bergerak di dalam genggamannya.
Nayla menahan napas. Ia menatap wajah Reza dengan mata terbelalak.
*”Reza?”* bisiknya.
Jari-jari itu kembali bergerak, kali ini lebih terasa.
Lalu, kelopak mata Reza sedikit berkedut.
Air mata Nayla hampir jatuh saat melihatnya.
*”Reza, aku di sini! Kumohon, bangunlah!”*
Perlahan, kelopak mata itu terbuka sedikit.
Sorot mata yang selalu ia rindukan itu akhirnya kembali.
Nayla tersenyum di antara air matanya. *”Kau sadar… syukurlah…”*
Reza mengerjap beberapa kali, mencoba fokus. Bibirnya bergerak, meski suaranya nyaris tak terdengar.
*”Na… Nayla?”*
Air mata Nayla benar-benar jatuh kali ini.
*”Iya, ini aku. Aku di sini.”*
Reza menatapnya lemah, tetapi ada kehangatan di matanya. Seolah ia lega melihat Nayla di sisinya.
Namun, kebahagiaan Nayla tak berlangsung lama saat tiba-tiba Reza berusaha menggerakkan tubuhnya dan mengerang kesakitan.
*”Jangan bergerak dulu! Kau masih lemah,”* ujar Nayla panik.
Reza menarik napas dalam, lalu menatapnya. *”Apa… yang terjadi?”*
Nayla menggenggam tangannya erat. *”Kau mengalami kecelakaan, tapi sekarang kau sudah selamat. Kau harus beristirahat.”*
Reza menatapnya dalam diam. Lalu, dengan suara lemah, ia bertanya:
*”Kenapa kau di sini, Nay?”*
Pertanyaan itu membuat Nayla terdiam.
Ia tahu inilah saatnya mengatakan yang sebenarnya.
—
### **Sebuah Pengakuan**
Nayla menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian.
*”Karena aku mencintaimu, Reza.”*
Reza menatapnya tanpa berkedip. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tetapi Nayla tahu bahwa kata-katanya telah mengejutkannya.
*”Aku tahu aku bodoh. Aku tahu aku menyakitimu. Tapi aku tidak bisa lagi membohongi perasaanku,”* lanjut Nayla, air mata mengalir di pipinya.
Reza masih terdiam. Napasnya terdengar berat.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, *”Lalu bagaimana dengan pernikahanmu?”*
Nayla menggigit bibirnya. *”Aku membatalkannya.”*
Kali ini, mata Reza menunjukkan keterkejutan. *”Kau… serius?”*
Nayla mengangguk. *”Arman tahu aku tidak bisa melupakanmu. Dia memilih melepaskanku, dan aku berhutang padanya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan kedua ini.”*
Suasana di antara mereka menjadi sunyi.
Lalu, tiba-tiba, sudut bibir Reza melengkung tipis. Senyuman kecil, meski ia masih tampak lemah.
*”Butuh waktu lama bagimu untuk menyadarinya, ya?”* gumamnya pelan.
Nayla tertawa kecil di antara air matanya. *”Aku memang lamban. Tapi kali ini aku tidak akan lari lagi.”*
Reza menatapnya dalam-dalam. Tangannya yang lemah perlahan mengangkat jemari Nayla dan menggenggamnya dengan lembut.
*”Kalau begitu… tetaplah di sini.”*
Nayla tersenyum lebar, menggenggam tangannya lebih erat.
*”Aku tidak akan ke mana-mana lagi, Reza.”*
Di luar jendela, matahari mulai condong ke barat.
Langit senja berwarna oranye keemasan, seolah ikut merayakan kisah cinta yang akhirnya menemukan jalannya kembali.
Dan kali ini, Nayla berjanji.
Ia tidak akan menyia-nyiakan cinta ini lagi.*
Bab 9: Bayangan Masa Lalu
Seminggu telah berlalu sejak Reza sadar dari koma. Kondisinya membaik, meski ia masih harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Selama itu pula, Nayla hampir tidak pernah beranjak dari sisinya.
Setiap pagi, ia datang lebih awal daripada perawat. Setiap malam, ia pulang dengan enggan.
Reza melihatnya dengan tatapan hangat.
*”Aku merasa seperti pasien VIP. Aku punya perawat pribadi yang tidak pernah absen,”* katanya dengan senyum kecil.
Nayla tertawa, menggenggam tangannya. *”Aku hanya ingin memastikan kau benar-benar sembuh, Reza.”*
Mereka saling bertatapan. Namun, ada sesuatu di mata Reza yang membuat Nayla bertanya-tanya.
*”Ada apa?”* tanyanya pelan.
Reza menghela napas. *”Aku takut.”*
Nayla mengerutkan kening. *”Takut? Takut apa?”*
Reza menatap langit-langit kamar rumah sakit sebelum kembali memandang Nayla. *”Aku takut ini hanya sementara. Aku takut, pada akhirnya, kau akan meninggalkanku lagi.”*
Hati Nayla mencelos.
Ia menggenggam tangan Reza lebih erat. *”Aku sudah bilang, aku tidak akan pergi ke mana-mana lagi.”*
Reza tersenyum pahit. *”Kau bilang begitu dulu, tapi tetap memilih Arman.”*
Nayla terdiam.
Ia tahu, meski Reza telah menerimanya kembali, luka di hati pria itu belum sepenuhnya sembuh.
*”Aku memang bodoh karena butuh waktu lama untuk menyadari perasaanku,”* ujar Nayla dengan suara lembut. *”Tapi Reza, aku bersumpah, kali ini aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.”*
Reza menatapnya lama. Lalu, akhirnya, ia mengangguk pelan.
*”Baiklah,”* katanya. *”Aku akan mempercayaimu lagi.”*
Nayla tersenyum lega, meski di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai.
Mereka masih harus menghadapi masa lalu yang belum sepenuhnya pergi.
—
### **Bayangan Arman**
Beberapa hari kemudian, Nayla keluar dari rumah sakit sebentar untuk membeli makanan. Saat ia kembali, langkahnya terhenti di depan pintu kamar Reza.
Arman ada di sana.
Pria itu berdiri di samping tempat tidur, menatap Reza dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Reza juga menatapnya dengan waspada, seolah menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulutnya.
*”Kau terlihat lebih baik,”* kata Arman akhirnya.
Reza menatapnya tajam. *”Dan kau terlihat seperti seseorang yang datang untuk menuntut sesuatu.”*
Arman tersenyum tipis. *”Tidak. Aku hanya ingin memastikan sesuatu.”*
*”Apa?”*
Arman menghela napas panjang, lalu menatap Reza lekat-lekat.
*”Apakah kau benar-benar bisa membuat Nayla bahagia?”*
Reza menegang. Ia tidak menyangka Arman akan bertanya seperti itu.
*”Aku tidak akan berjanji apa pun,”* jawabnya akhirnya. *”Tapi aku akan melakukan segalanya untuknya.”*
Arman terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
*”Baiklah. Jika kau membuatnya terluka, aku tidak akan diam saja,”* katanya, lalu berbalik pergi.
Saat itulah ia melihat Nayla yang berdiri di depan pintu.
Mereka bertatapan dalam diam.
Arman tersenyum kecil. *”Kau benar-benar memilihnya, ya?”*
Nayla mengangguk pelan. *”Maafkan aku, Arman.”*
Arman menggeleng. *”Jangan minta maaf. Aku hanya ingin memastikan pilihanmu sudah bulat.”*
Nayla menggigit bibirnya. *”Aku tidak ingin menyakitimu.”*
Arman tertawa kecil. *”Sudah terlambat untuk itu.”*
Nayla menunduk, merasa bersalah.
Arman menghela napas, lalu mengangkat tangannya untuk menepuk pelan bahunya.
*”Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja,”* katanya. *”Jaga Reza baik-baik.”*
Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, Arman melangkah pergi.
Dan untuk pertama kalinya, Nayla merasa bahwa sebuah bab dalam hidupnya telah benar-benar ditutup.
—
### **Langkah Baru**
Beberapa hari setelah pertemuan dengan Arman, dokter akhirnya mengizinkan Reza pulang.
Saat mereka meninggalkan rumah sakit, Reza menggenggam tangan Nayla erat.
*”Aku masih merasa seperti mimpi,”* kata Reza saat mereka berjalan menuju mobil.
Nayla tersenyum. *”Apa yang terasa seperti mimpi?”*
Reza menatapnya dalam. *”Bahwa akhirnya kita bisa bersama lagi.”*
Nayla menatapnya dengan penuh kasih. *”Ini bukan mimpi, Reza. Ini kenyataan yang akhirnya kita perjuangkan.”*
Reza mengangguk, lalu mengeratkan genggamannya.
*”Kalau begitu, jangan pernah lepaskan lagi,”* katanya pelan.
Nayla tersenyum dan menggeleng. *”Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi.”*
Mereka saling menatap di bawah langit senja yang perlahan berubah warna.
Tidak ada lagi kebohongan. Tidak ada lagi penyesalan.
Hanya cinta yang akhirnya menemukan jalannya kembali.
Dan kali ini, mereka akan memperjuangkannya bersama.*
Bab 10: Senja yang Baru
Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah yang baru saja diguyur hujan. Langit senja memancarkan warna oranye keemasan, menciptakan gradasi cahaya yang indah di cakrawala.
Di sebuah bukit kecil yang menghadap ke kota, Nayla berdiri di samping Reza, menatap horizon yang perlahan berubah warna.
Tempat ini istimewa bagi mereka.
Dulu, di sinilah mereka sering menghabiskan waktu, berbicara tentang mimpi, tertawa tanpa beban, dan diam-diam saling mencintai dalam kebisuan.
Kini, mereka kembali ke tempat ini. Tapi kali ini, tidak ada lagi rahasia atau kebohongan.
Hanya mereka berdua, dan sebuah kisah yang akhirnya menemukan akhir yang seharusnya.
—
### **Menyusun Kembali Masa Depan**
*”Bagaimana rasanya bisa kembali berdiri di sini?”* tanya Nayla, menoleh ke arah Reza yang kini duduk di bangku kayu, masih dalam masa pemulihan.
Reza tersenyum kecil. *”Seperti pulang ke rumah.”*
Nayla ikut tersenyum. *”Aku senang mendengarnya.”*
Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana.
Lalu, tiba-tiba, Reza menarik napas panjang dan menatap Nayla dengan serius.
*”Nayla, setelah semua yang terjadi… apa kau benar-benar yakin dengan pilihanmu?”* tanyanya pelan.
Nayla mengangguk tanpa ragu. *”Aku tidak pernah merasa lebih yakin dalam hidupku.”*
Reza tersenyum, tetapi di matanya ada sesuatu yang belum terungkap.
*”Kau tahu, aku masih takut,”* katanya jujur.
Nayla menggenggam tangannya erat. *”Takut apa?”*
Reza menghela napas. *”Takut bahwa dunia tidak akan membiarkan kita begitu saja. Kita sudah menyakiti seseorang yang mencintaimu. Kita sudah melewati banyak hal. Bagaimana jika ada rintangan lain?”*
Nayla menatapnya lekat-lekat.
*”Kalau ada rintangan lain, kita hadapi bersama,”* katanya mantap. *”Aku sudah belajar dari kesalahanku, Reza. Aku tidak akan lari lagi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun atau apa pun menghalangi kita lagi.”*
Reza tersenyum tipis. Ia menatap langit senja, seolah mencoba menyerap kehangatan dari warna-warna yang berpendar di angkasa.
*”Aku ingin percaya itu, Nay.”*
*”Maka percayalah.”*
—
### **Sebuah Awal Baru**
Seminggu setelah percakapan itu, Reza akhirnya kembali ke rumahnya. Nayla menemani setiap proses pemulihannya, memastikan bahwa pria itu tidak terlalu memaksakan diri.
Hari-hari berlalu dengan tenang.
Tidak ada lagi kebimbangan di hati Nayla.
Tidak ada lagi perasaan bersalah yang menghantuinya.
Ia telah membuat pilihan. Dan ia akan mempertahankannya.
Namun, suatu pagi, sebuah kejutan datang.
Saat Nayla tiba di rumah Reza, pria itu sudah menunggunya di teras. Ia tampak lebih segar, meski masih harus berhati-hati dengan gerakannya.
Tapi ada sesuatu yang berbeda.
Reza mengenakan kemeja putih yang rapi, dan di tangannya ada sebuah amplop kecil.
*”Ada apa?”* tanya Nayla, bingung.
Reza tersenyum dan menyodorkan amplop itu padanya. *”Buka saja.”*
Dengan penasaran, Nayla membuka amplop tersebut. Matanya melebar saat membaca isi di dalamnya.
Sebuah tiket penerbangan.
*”Apa ini?”* tanyanya.
Reza menarik napas panjang. *”Aku akan pergi ke luar negeri selama beberapa bulan. Untuk pemulihan sekaligus melanjutkan studi yang dulu sempat tertunda.”*
Nayla terdiam.
Ia tidak menyangka. Setelah semua yang mereka lalui, setelah semua janji untuk bersama, kini Reza malah akan pergi?
Seolah bisa membaca pikirannya, Reza menggenggam tangannya dengan lembut.
*”Nayla, aku mencintaimu,”* katanya dengan suara tenang. *”Tapi aku juga ingin membangun kembali hidupku. Aku tidak ingin kita hanya terpaku pada masa lalu. Aku ingin kita berjalan ke depan.”*
Nayla menatapnya, mencari kepastian. *”Lalu… bagaimana dengan kita?”*
Reza tersenyum. *”Aku ingin kau ikut denganku.”*
Jantung Nayla berdegup kencang.
*”Ikut denganmu?”*
Reza mengangguk. *”Ya. Aku ingin kita memulai segalanya dari awal. Tanpa bayang-bayang masa lalu. Tanpa rahasia. Hanya kita, memulai kisah baru.”*
Nayla menggigit bibirnya. Ia tidak menyangka Reza akan menawarkan ini.
Namun, semakin ia memikirkannya, semakin ia sadar…
Inilah yang ia inginkan.
Bukan hanya bersatu dengan Reza, tetapi juga tumbuh bersama, melangkah ke depan tanpa ragu.
Tanpa berpikir dua kali, ia mengangguk. *”Aku akan ikut.”*
Reza tersenyum lebar. *”Aku senang mendengarnya.”*
Mereka saling bertatapan, dan dalam keheningan itu, mereka tahu—
Tidak ada lagi ketakutan. Tidak ada lagi keraguan.
Hanya cinta yang akhirnya menemukan jalannya.
—
### **Senja yang Baru**
Beberapa minggu kemudian, mereka berdiri di bandara.
Nayla menggenggam tangan Reza erat saat mereka berjalan menuju gerbang keberangkatan.
*”Apakah kau takut?”* tanya Reza.
Nayla tersenyum. *”Tidak. Selama kau ada di sisiku, aku tidak takut apa pun.”*
Reza terkekeh. *”Itu jawaban yang bagus.”*
Pesawat mereka akan lepas landas dalam hitungan menit.
Sebelum naik, mereka berhenti sejenak di depan jendela besar bandara.
Di luar, langit senja kembali menyapa mereka, dengan warna oranye keemasan yang hangat.
Nayla menatapnya dan tersenyum.
*”Aku rasa, aku akan selalu menyukai senja.”*
Reza menoleh ke arahnya. *”Kenapa?”*
Nayla menatapnya penuh cinta.
*”Karena senja adalah saksi perjalanan kita. Dari awal, hingga sekarang. Dan aku ingin percaya, akan ada lebih banyak senja indah yang menunggu kita di masa depan.”*
Reza tersenyum dan menggenggam tangannya lebih erat.
*”Kalau begitu, mari kita ciptakan lebih banyak senja yang indah, bersama-sama.”*
Dengan hati yang ringan dan keyakinan yang kuat, mereka melangkah masuk ke pesawat.
Meninggalkan masa lalu.
Menuju masa depan yang baru.
Dan kali ini, mereka akan memperjuangkannya bersama.
Akhirnya, kisah Nayla dan Reza sampai pada penutup yang bahagia! Mereka memilih untuk meninggalkan masa lalu dan membangun kehidupan baru bersama.***
Penutup
Cinta sering kali datang dalam bentuk yang tidak terduga. Kadang ia muncul dengan kelembutan, kadang dengan luka. Tapi satu hal yang pasti, cinta yang sejati akan selalu menemukan jalannya, meskipun harus melewati badai dan kegelapan.
Nayla dan Reza telah melalui perjalanan panjang. Mereka jatuh, tersesat, dan hampir kehilangan satu sama lain. Namun, pada akhirnya, mereka memilih untuk tetap bertahan.
Mereka memilih cinta.
Bukan cinta yang sempurna. Bukan cinta yang tanpa rintangan.
Tapi cinta yang berani melawan ketakutan. Cinta yang tumbuh dari kesalahan. Cinta yang bersedia memulai kembali, meski dunia berkata sebaliknya.
Senja selalu menjadi saksi perjalanan mereka.
Dari kebimbangan hingga kepastian. Dari perpisahan hingga pertemuan kembali.
Dan kini, di bawah langit yang sama, mereka melangkah menuju awal yang baru.
Karena cinta bukan hanya tentang menemukan seseorang yang tepat.
Tapi juga tentang memperjuangkan seseorang yang sudah menjadi bagian dari hatimu.
Dan untuk Nayla serta Reza, perjalanan mereka baru saja dimulai.
—–the end——