Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

dibalik tembok takdir

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 13, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 24 mins read
dibalik tembok takdir

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan di Balik Tembok
  • Bab 2: Batasan yang Tak Terucapkan
  • Bab 3: Rahasia di Antara Kita
  • Bab 4: Pelarian yang Berisiko
  • Bab 5: Kejaran dalam Gelap
  • Bab 6: Tempat Persembunyian
  • Bab 7: Jalan Tanpa Kepastian
  • Bab 8: Di Ambang Harapan
  • Bab 9: Di Ujung Jalan
  • Bab 10: Di Balik Tembok Takdir

Bab 1: Pertemuan di Balik Tembok

Dentingan lonceng kecil di atas pintu berbunyi ketika Alya melangkah masuk ke dalam perpustakaan tua di ujung kota. Tempat ini adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa merasa bebas, meskipun hanya sejenak. Tidak ada tuntutan, tidak ada aturan ketat, hanya deretan buku-buku berdebu dan aroma kertas tua yang menenangkan.

Alya menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah lebih jauh ke dalam. Ruangan ini remang-remang, hanya diterangi oleh sinar matahari yang menembus jendela besar di sisi barat. Ia berjalan menyusuri rak-rak tinggi yang dipenuhi buku klasik, mencari pelarian dalam halaman-halaman yang bisa membawanya ke dunia lain—dunia di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus memikirkan tuntutan keluarganya yang berkuasa.

Saat tangannya menyentuh sampul buku tua berjudul **”Wuthering Heights”**, sebuah suara tiba-tiba terdengar di dekatnya.

**“Maaf, aku duluan yang mengambil buku itu.”**

Alya terkejut dan menoleh ke samping. Seorang pria berdiri di sana, tingginya lebih dari dirinya, dengan rambut hitam yang sedikit berantakan dan mata tajam yang menatapnya dengan penuh selidik. Tangannya sudah lebih dulu menggenggam ujung buku yang sama yang dipegang Alya.

Alih-alih melepaskannya, Alya mempertahankan genggamannya. **“Aku duluan yang menemukannya,”** jawabnya, menatap pria itu dengan penuh percaya diri.

Pria itu menyipitkan matanya, lalu tiba-tiba tersenyum kecil. **“Sepertinya kita berdua sama-sama menyukai buku yang sama. Bagaimana kalau kita bagi waktu? Aku membaca separuhnya dulu, lalu kau bisa membacanya setelah aku selesai.”**

Alya mengernyit, tidak terbiasa dengan seseorang yang berani menantangnya seperti ini. Biasanya, orang-orang langsung mundur begitu tahu siapa dirinya—putri dari seorang pengusaha kaya yang punya pengaruh besar di kota ini. Tapi pria di hadapannya ini tampak tidak peduli.

**“Atau…”** pria itu melanjutkan dengan nada main-main, **“… kita bisa membacanya bersama. Aku di halaman kanan, kau di halaman kiri. Bagaimana?”**

Alya mendengus pelan, tetapi tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya. Ia melepaskan genggamannya pada buku itu. **“Ambillah. Aku bisa membaca yang lain.”**

Pria itu mengangkat alisnya, tampak sedikit terkejut dengan sikap Alya. **“Terima kasih. Tapi aku janji akan mengembalikannya besok, kalau kau benar-benar ingin membacanya.”**

Alya mengangguk pelan. **“Baiklah.”**

Ia berbalik, berjalan menuju meja bacanya yang biasa di sudut ruangan, tetapi tidak bisa menghilangkan perasaan aneh di dadanya. Ada sesuatu tentang pria itu yang berbeda. Ia bukan hanya sekadar seseorang yang kebetulan berada di tempat yang sama.

Setelah beberapa menit berlalu, Alya merasakan tatapan dari kejauhan. Ketika ia mengangkat wajahnya dari buku yang sedang ia baca, ia mendapati pria tadi tengah menatapnya dari balik rak buku. Saat mata mereka bertemu, pria itu tersenyum sekilas, lalu kembali menunduk membaca.

Alya merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.

—

Matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi ketika Alya akhirnya menutup bukunya dan bersiap untuk pulang. Saat ia melangkah menuju pintu keluar, suara familiar terdengar dari belakangnya.

**“Hei, kau belum tahu namaku.”**

Alya menoleh dan melihat pria itu berdiri di dekat rak buku, masih memegang buku yang tadi mereka perebutkan.

**“Dan aku juga belum tahu namamu,”** sahut Alya, sedikit tertarik dengan cara pria itu membuka percakapan.

Pria itu tersenyum kecil, lalu berjalan mendekat. **“Aku Raka.”**

Alya ragu sejenak, tetapi akhirnya menjawab, **“Alya.”**

Raka mengangguk, seolah-olah sedang menghafalkan namanya dalam pikirannya. **“Alya… Nama yang indah.”**

Alya merasakan wajahnya sedikit memanas, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. **“Baiklah, Raka. Sampai jumpa.”**

Raka tidak mengatakan apa-apa, hanya memberikan senyum tipis sebelum kembali ke tempat duduknya. Alya melangkah keluar dari perpustakaan dengan hati yang entah mengapa terasa lebih ringan dari biasanya.

Ia tidak tahu bahwa pertemuan singkat ini akan mengubah hidupnya selamanya.*

Bab 2: Batasan yang Tak Terucapkan

Alya duduk di tepi jendela kamarnya, menatap langit senja yang mulai berubah warna. Langit jingga perlahan memudar menjadi biru tua, membawa kesunyian yang menyesakkan dada. Sejak pertemuannya dengan Raka di perpustakaan kemarin, pikirannya terus dipenuhi bayangan pria itu. Ada sesuatu dalam tatapan dan caranya berbicara yang berbeda dari orang-orang yang biasa ia temui—seolah-olah Raka tidak melihatnya sebagai “Alya putri seorang pengusaha kaya,” melainkan hanya sebagai Alya, seorang gadis biasa yang menyukai buku.

Namun, Alya tahu betul bahwa perasaan ini tidak boleh tumbuh. Tidak seharusnya ia memikirkan seseorang seperti Raka. Ia berasal dari dunia yang berbeda, dunia yang dibatasi oleh tembok tak kasat mata yang telah dipasang oleh keluarganya sejak dulu.

Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.

**”Alya, Ayah ingin bicara denganmu,”** suara ibunya terdengar lembut, tetapi ada nada tegas di dalamnya.

Alya menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan membuka pintu. Ibunya, seorang wanita anggun dengan raut wajah yang selalu tampak tenang, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.

**”Ada apa, Bu?”** tanyanya pelan.

Sang ibu tidak menjawab, hanya memberi isyarat agar Alya mengikutinya ke ruang kerja ayahnya. Jantung Alya berdebar tidak tenang. Ia tahu, setiap kali ia dipanggil ke ruangan itu, berarti ada sesuatu yang serius yang akan dibicarakan.

Saat ia masuk, ayahnya sudah duduk di belakang meja kayu mahoni yang besar, tangannya bertaut di atas meja, ekspresinya kaku seperti biasa. Di sebelahnya berdiri seorang pria lain—Dimas.

Alya merasakan tubuhnya menegang seketika.

**”Alya, duduklah,”** ayahnya berkata dengan suara rendah namun penuh wibawa.

Dengan enggan, Alya menuruti perintah itu. Ia bisa merasakan Dimas menatapnya dengan tatapan penuh percaya diri, seolah-olah ia sudah memiliki Alya sejak dulu.

**”Seperti yang sudah kami bicarakan sebelumnya,”** suara ayahnya terdengar dingin, **”kami ingin kau mulai mengenal Dimas lebih dekat. Keluarga kami dan keluarganya telah lama bekerja sama, dan kami ingin memastikan hubungan ini berlanjut dalam bentuk yang lebih kuat.”**

Alya mengepalkan tangannya di pangkuannya, mencoba menahan ketidaknyamanannya.

**”Maksud Ayah, perjodohan?”** tanyanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya.

**”Bukan sekadar perjodohan,”** kali ini Dimas yang bicara, suaranya penuh percaya diri. **”Ini adalah kerja sama yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Kita bisa menjadi pasangan sempurna, Alya. Aku yakin kita akan cocok.”**

Alya menoleh ke arah pria itu dan menatapnya tajam. Dimas memang tampan dan berasal dari keluarga kaya raya, tetapi Alya tahu bahwa hatinya tidak bisa menerima perjodohan ini.

**”Aku tidak yakin dengan itu,”** jawabnya jujur.

Ayahnya menghela napas, seolah sudah menduga jawabannya. **”Alya, ini bukan tentang apa yang kau inginkan. Ini tentang masa depan keluarga kita.”**

Alya menggigit bibirnya. Ia ingin berdebat, tetapi ia tahu bahwa ayahnya bukan tipe orang yang bisa dibantah begitu saja.

**”Berikan aku waktu,”** katanya akhirnya. **”Aku butuh waktu untuk memikirkan ini.”**

Dimas tersenyum kecil, seolah yakin bahwa pada akhirnya Alya akan menerima perjodohan ini. **”Tentu. Aku tidak terburu-buru. Kita bisa mulai dengan makan malam besok malam. Anggap saja sebagai awal dari perkenalan kita.”**

Alya tidak punya pilihan selain mengangguk.

Setelah percakapan itu selesai, ia berjalan kembali ke kamarnya dengan langkah berat. Saat pintu tertutup, ia merasa dadanya sesak.

Di dalam pikirannya, wajah Raka muncul kembali.

—

Keesokan harinya, Alya kembali ke perpustakaan. Ia tahu bahwa tempat ini adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa berpikir jernih. Namun, saat ia masuk, ia tidak menyangka akan menemukan sosok yang diam-diam ia pikirkan semalaman.

Raka duduk di sudut ruangan, membaca buku yang kemarin mereka perebutkan. Saat menyadari kehadiran Alya, ia menutup bukunya dan tersenyum kecil.

**”Kau datang lagi,”** katanya ringan.

Alya mengangguk, lalu tanpa sadar berjalan mendekat. **”Sepertinya kau tidak menepati janji. Kau bilang akan mengembalikan buku itu hari ini.”**

Raka tertawa pelan. **”Aku bilang besok. Ini masih siang. Masih ada waktu sebelum batas waktuku habis.”**

Alya tidak bisa menahan senyum tipis. Ia duduk di kursi di seberangnya, merasa aneh karena merasa begitu nyaman di dekat pria yang baru dikenalnya.

**”Jadi,”** Raka menutup bukunya, menatap Alya dengan rasa ingin tahu. **”Kenapa wajahmu terlihat seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang berharga?”**

Alya terkejut dengan pertanyaan itu. **”Apa aku terlihat seperti itu?”** tanyanya, berusaha menyembunyikan emosinya.

Raka mengangguk. **”Matamu mengatakan lebih banyak daripada yang kau sadari.”**

Alya terdiam. Tidak ada yang pernah membaca dirinya sebaik ini.

Setelah beberapa saat, ia menghela napas. **”Aku hanya… sedang memikirkan sesuatu yang tidak bisa kuubah.”**

**”Sesuatu? Atau seseorang?”** Raka mengangkat satu alisnya.

Alya terkesiap. Ia ingin menyangkal, tetapi entah mengapa ia merasa bisa berbicara jujur pada Raka. **”Aku dijodohkan,”** akhirnya ia mengaku. **”Dengan seseorang yang tidak aku cintai.”**

Raka menatapnya sejenak, ekspresinya sulit ditebak. **”Dan kau tidak bisa menolaknya?”**

Alya menggeleng lemah. **”Aku tidak tahu bagaimana caranya.”**

Raka tidak langsung menjawab. Ia menatap Alya lama, sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan, **”Terkadang, tembok yang mengurung kita bukanlah tembok yang nyata. Kadang, tembok itu ada di dalam diri kita sendiri.”**

Alya menatap Raka dalam-dalam, hatinya bergetar mendengar kata-kata itu.

Ia tidak menyadari bahwa, dalam percakapan singkat ini, ia telah melangkah lebih jauh ke dalam jurang yang seharusnya tidak ia dekati.*

Bab 3: Rahasia di Antara Kita

Sejak pertemuan mereka di perpustakaan hari itu, Alya tidak bisa menghilangkan bayangan Raka dari pikirannya. Kata-katanya tentang tembok yang ada dalam diri sendiri terus terngiang-ngiang di kepalanya. Ia tidak pernah berpikir bahwa seseorang yang berasal dari dunia yang berbeda dengannya bisa memahami perasaannya dengan begitu baik.

Namun, meskipun hatinya ingin terus berbicara dengan Raka, ia sadar bahwa ini adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Dunia mereka terpisah, dan jika ayahnya tahu bahwa ia sering menghabiskan waktu dengan seorang pria yang bukan berasal dari kalangan mereka, konsekuensinya bisa sangat buruk.

Meskipun demikian, Alya tetap pergi ke perpustakaan setiap hari.

Dan setiap hari, ia selalu menemukan Raka di sana, seolah mereka telah memiliki perjanjian tanpa kata.

Mereka tidak selalu berbicara. Kadang-kadang, mereka hanya duduk berseberangan, masing-masing tenggelam dalam buku yang mereka baca. Tetapi ada sesuatu di antara mereka—sebuah kehadiran yang tak terucapkan, sebuah kebersamaan yang diam-diam tumbuh di antara halaman-halaman buku yang mereka baca bersama.

Namun, lambat laun, percakapan di antara mereka menjadi lebih sering dan lebih dalam.

**”Apa kau selalu datang ke sini?”** tanya Alya suatu hari, saat mereka duduk berseberangan di meja kayu tua di sudut perpustakaan.

Raka mengangkat wajahnya dari buku yang sedang ia baca. **”Tidak selalu. Tapi sejak aku bertemu seseorang yang menarik di sini, aku jadi lebih sering datang.”**

Alya menyipitkan matanya. **”Apa itu semacam gombalan?”**

Raka tertawa pelan. **”Aku tidak menggombal. Aku hanya mengatakan fakta.”**

Alya menghela napas, lalu menatap jendela besar di sebelah mereka. Matahari sore menyaring masuk melalui kaca jendela, menciptakan cahaya keemasan yang lembut di sekitar mereka. **”Kau tahu… seharusnya aku tidak ada di sini. Seharusnya aku sedang menghadiri makan malam perjodohan dengan Dimas.”**

Raka mengangkat satu alisnya. **”Tapi kau memilih untuk berada di sini?”**

Alya mengangguk pelan. **”Aku hanya… ingin merasa bebas, meskipun hanya sebentar.”**

Raka mengamati wajah Alya, lalu bersandar di kursinya. **”Kau tahu, Alya… kebebasan itu bukan sesuatu yang bisa kau dapatkan hanya dengan melarikan diri sesekali. Kalau kau benar-benar ingin bebas, kau harus berani melawan.”**

Alya tertawa kecil, meskipun suaranya terdengar pahit. **”Kau berbicara seolah itu hal yang mudah.”**

**”Bukan mudah,”** kata Raka, **”tapi mungkin.”**

Alya terdiam. Kata-kata Raka selalu terasa begitu dalam, seolah ia memahami sesuatu yang Alya sendiri tidak bisa mengerti.

**”Bagaimana denganmu?”** Alya bertanya setelah beberapa saat. **”Apa kau selalu seperti ini? Seperti… seseorang yang memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidupnya?”**

Ekspresi Raka sedikit berubah, seolah pertanyaan itu menyentuh sesuatu di dalam dirinya. **”Aku juga punya batasan,”** katanya pelan. **”Tapi batasanku berbeda dengan batasanmu.”**

Alya menatapnya dengan rasa ingin tahu. **”Seperti apa?”**

Raka menatap jendela, seolah sedang memilih kata-kata yang tepat. **”Ayahku dulu bekerja untuk keluargamu.”**

Alya tersentak. **”Apa?”**

Raka mengangguk. **”Ayahku adalah salah satu karyawan di perusahaan keluargamu. Tapi dia dipecat bertahun-tahun lalu… dengan tuduhan yang tidak pernah bisa dia buktikan salah.”**

Alya merasa perutnya seakan diremas. **”Apa yang terjadi?”**

Raka menghela napas panjang. **”Aku masih kecil saat itu. Tapi yang aku tahu, ayahku dituduh melakukan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan. Dan karena kami bukan siapa-siapa, kami tidak bisa melawan. Kami hanya bisa menerima nasib.”**

Alya menunduk, merasa bersalah meskipun ia tahu bahwa ia tidak ada hubungannya dengan kejadian itu. **”Aku tidak tahu…”**

**”Tentu saja kau tidak tahu,”** kata Raka, kali ini dengan nada lebih lembut. **”Kau tumbuh di dunia yang berbeda. Tapi aku tidak menyalahkanmu, Alya. Aku hanya ingin kau tahu… bahwa tidak semua orang seberuntung dirimu.”**

Alya menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin membela diri, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa.

Setelah beberapa saat, Raka melanjutkan, **”Tapi itu bukan alasan aku ada di sini. Aku tidak datang untuk membenci keluargamu, atau untuk mencari keadilan. Aku ada di sini karena aku menyukai tempat ini. Dan… mungkin karena aku mulai menyukai seseorang yang selalu datang ke sini juga.”**

Alya menahan napas. Ia menatap Raka, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihatnya—bukan hanya sebagai pria sederhana yang suka membaca, tetapi sebagai seseorang yang membawa sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya.

Keberanian.

**”Raka…”** suara Alya nyaris seperti bisikan.

**”Ya?”**

Alya ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata terasa begitu sulit keluar dari mulutnya. Akhirnya, ia hanya tersenyum kecil dan menggeleng. **”Tidak ada.”**

Tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukanlah sekadar pertemanan biasa.

Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam.

Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi.

Sesuatu yang, cepat atau lambat, akan membawa mereka pada jalan yang berbahaya.*

Bab 4: Pelarian yang Berisiko

Alya duduk di tepi tempat tidurnya, tangannya menggenggam erat ponselnya. Kata-kata Raka terus terngiang di kepalanya.

**”Pergi bersamaku.”**

Dada Alya berdebar kencang. Tawaran itu terdengar seperti kebebasan yang selama ini ia impikan, tetapi juga seperti lompatan ke jurang ketidakpastian. Jika ia menerima ajakan Raka, itu berarti ia harus meninggalkan segalanya—keluarga, kenyamanan, dan masa depan yang telah disusun rapi untuknya.

Namun, di sisi lain, jika ia tetap di sini, hidupnya akan menjadi milik orang lain.

Pikirannya masih berkecamuk ketika suara ketukan di pintu mengagetkannya.

**”Alya?”**

Itu suara ibunya.

Alya buru-buru menyembunyikan ponselnya di bawah bantal sebelum menjawab, **”Ya, Bu?”**

Pintu terbuka, dan ibunya masuk dengan ekspresi tenang seperti biasa. Namun, sorot matanya terlihat sedikit cemas.

**”Ayah ingin bicara denganmu,”** katanya.

Alya menahan napas. **”Tentang apa?”**

**”Tentang pertunanganmu dengan Dimas.”**

Darah Alya berdesir. Ia sudah tahu ini akan terjadi cepat atau lambat.

**”Sekarang?”** tanyanya, berusaha menahan kegelisahannya.

Sang ibu mengangguk. **”Ya. Ayah ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Kau tahu, pertunangan ini penting untuk keluarga kita.”**

Alya ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa ia tidak peduli dengan rencana ayahnya. Namun, ia hanya bisa mengangguk dan mengikuti ibunya keluar dari kamar.

—

Di ruang kerja ayahnya, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Ayahnya duduk di balik meja besar dengan ekspresi serius, sementara Dimas berdiri di sampingnya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya.

**”Duduklah, Alya,”** kata ayahnya tanpa basa-basi.

Alya menuruti perintah itu, meskipun jantungnya berdebar kencang.

**”Aku tidak ingin bertele-tele,”** lanjut ayahnya. **”Kami sudah menentukan tanggal pertunanganmu dengan Dimas. Acara akan diadakan bulan depan.”**

Alya merasakan tubuhnya membeku. Bulan depan? Itu berarti ia hanya punya waktu beberapa minggu sebelum kehidupannya benar-benar terikat pada seseorang yang tidak ia cintai.

**”Ayah, aku tidak siap,”** katanya, mencoba mengulur waktu.

Ayahnya menatapnya tajam. **”Alya, ini bukan tentang kesiapanmu. Ini tentang tanggung jawabmu terhadap keluarga.”**

Dimas tersenyum kecil. **”Jangan khawatir, Alya. Aku yakin kita bisa saling mengenal lebih dalam sebelum acara itu tiba.”**

Alya menelan ludah, rasa muaknya semakin menjadi. Ia harus keluar dari situasi ini—segera.

**”Aku butuh waktu untuk berpikir,”** katanya akhirnya.

Ayahnya menghela napas panjang, seolah sedang menahan kesabaran. **”Alya, kau sudah diberi cukup waktu. Tidak ada lagi yang perlu dipikirkan.”**

Alya menatap ayahnya, lalu menatap Dimas. Ia tahu, tidak ada jalan kembali setelah ini.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mengambil keputusan tanpa meminta izin siapa pun.

**”Aku akan keluar sebentar,”** katanya, bangkit dari kursi.

Ayahnya mengerutkan kening. **”Ke mana kau mau pergi?”**

**”Ke perpustakaan,”** jawabnya jujur. **”Aku butuh udara segar.”**

Ayahnya menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk. **”Baik. Tapi jangan lama-lama. Aku ingin kepastian darimu besok pagi.”**

Alya mengangguk cepat sebelum keluar dari ruangan itu.

Yang ia tidak katakan adalah, ia tidak akan kembali malam ini.

—

### **Malam Pelarian**

Langit sudah gelap ketika Alya tiba di perpustakaan. Ia tahu perpustakaan sudah tutup, tetapi ini adalah satu-satunya tempat yang bisa ia tuju sekarang.

Raka sudah menunggunya di luar, bersandar pada sepeda motornya dengan ekspresi serius.

**”Kau datang,”** katanya pelan.

Alya mengangguk. **”Aku tidak punya pilihan lain.”**

Raka mengamati wajahnya, lalu menghela napas. **”Kau yakin ingin melakukan ini, Alya? Ini bukan sesuatu yang bisa kau batalkan nanti.”**

Alya menatap matanya dalam-dalam. **”Aku tidak bisa hidup dalam kandang selamanya, Raka.”**

Mata Raka melembut, lalu ia mengulurkan helm ke arah Alya. **”Kalau begitu, mari kita pergi.”**

Tanpa ragu, Alya mengambil helm itu dan mengenakannya. Jantungnya berdegup kencang saat ia duduk di belakang Raka, tangannya perlahan melingkari pinggang pria itu.

Saat motor mulai melaju, ia merasakan angin malam menerpa wajahnya, membawa kebebasan yang selama ini ia rindukan.

Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa pelarian ini hanya awal dari perjalanan yang jauh lebih sulit.

Dan ia belum tahu seberapa besar harga yang harus ia bayar untuk kebebasannya.*

Bab 5: Kejaran dalam Gelap

Udara malam terasa menusuk saat motor yang dikendarai Raka melaju melewati jalanan kota yang semakin sepi. Alya memeluk pinggangnya erat, jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena ketakutan tetapi juga karena adrenalin yang mengalir deras dalam tubuhnya.

Ia telah mengambil keputusan yang tidak bisa ia tarik kembali.

Ia telah meninggalkan rumah, meninggalkan kenyamanan, dan yang lebih buruk—ia telah menentang kehendak ayahnya.

Raka tidak berbicara sepanjang perjalanan, tetapi Alya tahu bahwa pria itu juga memikirkan banyak hal. Pelarian mereka bukan sekadar tindakan spontan, ini adalah sesuatu yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Setelah beberapa menit, Raka memperlambat laju motor dan menepi di sebuah jalan kecil yang sepi, jauh dari keramaian kota. Mereka berhenti di dekat sebuah warung pinggir jalan yang sudah tutup, hanya diterangi oleh lampu jalan yang redup.

**”Kita tidak bisa terus di sini,”** kata Raka, melepas helmnya dan menatap Alya dengan serius. **”Mereka pasti akan mencarimu.”**

Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan perasaannya. **”Aku tahu. Tapi ke mana kita harus pergi?”**

Raka berpikir sejenak. **”Aku punya teman di luar kota. Kita bisa bersembunyi di sana sementara waktu.”**

Alya menatap Raka dengan rasa ragu. **”Teman? Siapa?”**

**”Namanya Bayu,”** kata Raka. **”Dia teman lama. Aku yakin dia bisa membantu.”**

Alya mengangguk, meskipun pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran.

Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, suara raungan mesin mobil mendekat dari arah belakang.

Raka langsung menoleh, matanya menyipit curiga. **”Sial… mereka datang lebih cepat dari yang kuduga.”**

Alya menoleh panik dan melihat sebuah mobil hitam mendekat dengan kecepatan tinggi.

**”Itu mobil ayahku!”** serunya, ketakutan menjalari tubuhnya.

Raka segera menarik tangannya. **”Alya, kita harus pergi. SEKARANG!”**

Tanpa berpikir panjang, Alya kembali naik ke motor. Raka menghidupkan mesin dan langsung melesat ke jalanan yang lebih gelap, meninggalkan mobil hitam yang kini mulai mengejar mereka.

**”Raka! Mereka mengejar kita!”** Alya berseru, memegang erat tubuh Raka saat motor mereka berbelok tajam di tikungan sempit.

**”Pegangan yang kuat, Alya!”** teriak Raka. **”Aku tidak akan membiarkan mereka menangkap kita!”**

Mobil hitam itu semakin mendekat, lampu depannya menerangi jalanan yang mulai sepi. Alya bisa melihat sosok di balik kemudi—salah satu orang suruhan ayahnya.

Mereka tidak akan berhenti sampai ia kembali ke rumah.

**”Kita harus keluar dari jalan utama!”** teriak Alya. **”Ambil jalan kecil ke kiri!”**

Raka tidak ragu dan langsung membelokkan motornya ke jalanan kecil yang lebih gelap. Mobil hitam itu berusaha mengikuti, tetapi jalannya terlalu sempit untuk mereka.

**”Mereka tertinggal!”** seru Alya dengan napas tersengal.

Raka terus melaju sampai mereka benar-benar keluar dari jalur pengejaran. Setelah beberapa menit, ia akhirnya memperlambat motor dan berhenti di sebuah jalan setapak yang tersembunyi di balik pepohonan.

Alya turun dari motor, tangannya gemetar. Jantungnya masih berdegup kencang, dadanya naik turun seiring dengan napasnya yang memburu.

**”Ya Tuhan…”** katanya pelan. **”Aku benar-benar meninggalkan rumah.”**

Raka turun dan berdiri di sampingnya, meletakkan tangannya di pundak Alya dengan lembut. **”Ya, kau melakukannya.”**

Alya menatapnya, mata mereka bertemu dalam kegelapan. Ada ketakutan di dalam diri Alya, tetapi ada juga sesuatu yang lain—perasaan lega yang aneh, seolah ia baru saja membebaskan dirinya sendiri.

Namun, ia tahu bahwa ini baru permulaan.

**”Apa kita benar-benar bisa kabur, Raka?”** tanyanya pelan.

Raka mengangguk, ekspresinya penuh keyakinan. **”Kita harus bisa. Karena kalau tidak… mereka akan memisahkan kita selamanya.”**

Alya menggenggam tangannya erat. **”Baiklah. Aku akan percaya padamu.”**

Mereka tidak punya pilihan lain selain terus berlari.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Alya benar-benar merasa hidup.*

Bab 6: Tempat Persembunyian

Raka kembali menyalakan motornya setelah memastikan jalanan aman. Alya masih merasa napasnya belum sepenuhnya stabil setelah pengejaran tadi. Ketakutan masih menghantuinya, tetapi di saat yang sama, ada perasaan aneh yang membuatnya enggan menoleh ke belakang.

Mereka melaju melewati jalanan sepi yang hanya diterangi lampu jalan redup. Kota yang biasanya terasa begitu familiar bagi Alya, kini terlihat asing.

**”Kita akan ke mana sekarang?”** tanya Alya, suaranya terdengar lebih tenang meskipun masih ada sisa kegugupan di sana.

**”Keluar dari kota ini,”** jawab Raka, tatapannya fokus pada jalan di depan. **”Setidaknya sampai keadaan sedikit lebih tenang.”**

Alya terdiam. Ia tahu ini adalah keputusan terbaik untuk saat ini, tetapi jauh di dalam hatinya, ada sedikit rasa takut. Meninggalkan rumah tanpa rencana yang jelas berarti ia harus menggantungkan hidupnya pada Raka.

Dan itu adalah sesuatu yang belum pernah ia lakukan kepada siapa pun sebelumnya.

—

### **Perjalanan ke Luar Kota**

Mereka berkendara selama hampir satu jam, melewati jalanan sunyi menuju daerah yang lebih terpencil. Alya tidak tahu di mana mereka berada sekarang, tetapi ia mempercayai Raka.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Rumah itu tidak besar, tetapi cukup nyaman dengan halaman kecil di depannya.

Raka mematikan mesin motor dan melepas helmnya. **”Kita sudah sampai.”**

Alya mengedarkan pandangannya. **”Ini rumah siapa?”**

**”Bayu, temanku,”** jawab Raka. **”Aku sudah bicara dengannya tadi. Dia setuju untuk membantu kita sementara waktu.”**

Alya mengangguk. Ia tidak mengenal Bayu, tetapi saat ini, ia tidak punya banyak pilihan.

Raka mengetuk pintu, dan beberapa detik kemudian, seorang pria bertubuh tegap dengan rambut sedikit berantakan membuka pintu. Ia mengenakan kaus hitam dan celana pendek, tampak seperti seseorang yang baru saja bangun tidur.

**”Kalian akhirnya sampai juga,”** katanya sambil menguap. **”Cepat masuk sebelum ada yang melihat.”**

Mereka berdua masuk ke dalam rumah, dan Bayu langsung mengunci pintu di belakang mereka.

**”Tempat ini cukup aman,”** kata Bayu. **”Tapi jangan harap bisa tinggal di sini lama-lama. Kalau orang-orang mulai bertanya, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian.”**

Alya mengangguk, merasa sedikit canggung. Ini pertama kalinya ia berada dalam situasi seperti ini—bersembunyi seperti seorang buronan.

**”Terima kasih, Bayu,”** kata Raka dengan tulus. **”Kami hanya butuh tempat untuk beristirahat sebentar.”**

Bayu mengangkat bahu. **”Selama kalian tidak membawa masalah ke sini, aku tidak keberatan.”**

Ia kemudian berjalan ke dapur dan kembali dengan dua botol air mineral. **”Kalian pasti haus. Minumlah dulu.”**

Alya menerima botol air itu dan meneguknya perlahan. Tenggorokannya terasa kering sejak pengejaran tadi, dan air dingin itu sedikit membantunya merasa lebih baik.

Raka duduk di sofa kecil di ruang tamu, sementara Alya memilih duduk di lantai. Bayu menatap mereka berdua dengan ekspresi penuh selidik.

**”Jadi, apa rencanamu sekarang?”** tanyanya.

Alya menatap Raka, berharap pria itu punya jawaban.

Raka menghela napas. **”Aku belum tahu pasti. Tapi kita harus mencari cara untuk pergi lebih jauh dari sini.”**

**”Kalian mau kabur ke mana?”** Bayu mengerutkan dahi. **”Ini bukan film, Raka. Kau tahu siapa keluarga Alya, kan? Mereka pasti sudah menggerakkan orang-orang mereka untuk mencari kalian.”**

Alya mengepalkan tangannya. Ia tahu Bayu tidak salah. Ayahnya bukan orang yang bisa menerima penolakan dengan mudah.

**”Aku tidak akan kembali,”** kata Alya dengan suara tegas. **”Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan mereka mengatur hidupku lagi.”**

Bayu menatapnya dengan ekspresi penasaran, lalu tertawa kecil. **”Kau lebih nekat dari yang aku kira.”**

Alya tidak menanggapinya. Baginya, ini bukan soal nekat—ini soal bertahan hidup.

—

### **Malam yang Mencekam**

Setelah beberapa jam berbicara, Bayu menunjukkan kamar kecil di bagian belakang rumah untuk Alya beristirahat. Raka tetap di ruang tamu, berjaga jika sesuatu terjadi.

Alya berbaring di kasur tipis, menatap langit-langit yang kusam. Rumah ini jauh dari kemewahan yang biasa ia nikmati, tetapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa terkekang.

Namun, rasa lega itu tidak bertahan lama.

Sekitar pukul dua dini hari, suara deru mobil terdengar di luar rumah. Alya langsung terbangun dan menahan napas.

**”Mereka menemukanku?”** pikirnya panik.

Ia bangkit dari tempat tidur dan mengintip dari celah jendela. Ada dua mobil hitam terparkir di kejauhan, lampunya mati, tetapi bayangan orang-orang di dalamnya terlihat jelas.

Jantung Alya berdebar keras.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan, dan Raka masuk dengan ekspresi tegang.

**”Kita dalam masalah,”** bisiknya.

Alya menatapnya dengan penuh ketakutan. **”Apa yang harus kita lakukan?”**

Raka menggigit bibirnya. **”Bayu sudah menyiapkan jalan keluar di belakang rumah. Kita harus pergi sekarang sebelum mereka masuk.”**

Alya tidak punya waktu untuk berpikir panjang. Ia langsung mengenakan jaketnya dan mengikuti Raka menuju pintu belakang. Bayu sudah berdiri di sana, memegang sebuah tas.

**”Ambil ini. Ada sedikit uang dan makanan di dalamnya,”** kata Bayu cepat. **”Pergilah lewat jalan kecil di belakang rumah. Jangan berhenti sampai kalian jauh dari sini.”**

Alya menerima tas itu, matanya berkaca-kaca. **”Terima kasih, Bayu.”**

Bayu mengangguk. **”Jaga dirimu. Dan jaga Raka juga.”**

Alya menoleh ke Raka yang kini menggenggam tangannya erat. **”Ayo,”** katanya pelan.

Tanpa menunggu lebih lama, mereka berdua melangkah ke dalam kegelapan malam.

Dan petualangan mereka baru saja dimulai.*

Bab 7: Jalan Tanpa Kepastian

Malam masih pekat ketika Alya dan Raka melangkah cepat meninggalkan rumah Bayu. Jalanan setapak di belakang rumah terasa licin akibat hujan yang sempat turun sore tadi. Langkah mereka tergesa, seolah ada waktu yang terus menghantui dari belakang.

Alya menoleh sekilas ke arah rumah Bayu. Bayangan samar mobil hitam di kejauhan masih terlihat, tapi belum ada tanda-tanda mereka bergerak.

**”Kita harus cepat,”** bisik Raka, menggenggam tangannya erat.

Alya mengangguk tanpa suara. Dadanya terasa sesak oleh kecemasan, tapi juga oleh sesuatu yang lain—sebuah keberanian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

—

### **Pelarian di Tengah Malam**

Mereka terus berjalan melewati jalan setapak yang semakin gelap. Tidak ada lampu, hanya suara jangkrik dan angin malam yang menyelimuti mereka.

Setelah sekitar lima belas menit berjalan, Raka berhenti di dekat sebuah bangunan tua yang tampak sudah lama terbengkalai.

**”Kita istirahat sebentar di sini,”** katanya, mengatur napasnya.

Alya mengangguk dan duduk di atas pecahan kayu yang ada di dekat bangunan itu. Kakinya terasa lelah, dan tubuhnya sedikit gemetar karena udara dingin.

Raka membuka tas yang diberikan Bayu, mengeluarkan sebotol air dan memberikannya pada Alya. **”Minumlah dulu.”**

Alya menerimanya dan meneguk beberapa kali. Tenggorokannya kering, dan air dingin itu sedikit membuatnya lebih tenang.

Setelah beberapa saat hening, Alya akhirnya berbicara, **”Raka… sampai kapan kita akan berlari seperti ini?”**

Raka menatapnya sejenak sebelum menjawab, **”Sampai kita benar-benar aman.”**

Alya menghela napas. **”Tapi di mana tempat yang benar-benar aman?”**

Raka terdiam. Ia tahu tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan itu.

**”Kita akan mencari tempat yang jauh,”** katanya akhirnya. **”Mungkin ke luar kota, mungkin ke tempat di mana mereka tidak akan menemukanku, menemuk—”**

Tiba-tiba, suara deru motor terdengar dari kejauhan. Raka langsung berdiri, matanya menatap tajam ke arah jalan di belakang mereka.

**”Mereka datang?”** tanya Alya, suaranya bergetar.

Raka menggenggam tangannya erat. **”Kita tidak bisa ambil risiko. Kita harus pergi sekarang.”**

Tanpa membuang waktu, mereka kembali berlari, kali ini lebih cepat dari sebelumnya.

—

### **Menumpang Harapan**

Setelah berlari cukup jauh, mereka akhirnya sampai di sebuah jalan besar yang masih sepi. Beberapa kendaraan lewat, tapi tidak banyak.

Raka menoleh ke kiri dan kanan sebelum menarik napas dalam-dalam. **”Kita harus mencari tumpangan.”**

**”Tumpangan?”** Alya mengerutkan kening. **”Siapa yang mau memberi tumpangan pada dua orang asing di tengah malam begini?”**

Raka tidak menjawab. Ia hanya berdiri di pinggir jalan dan melambaikan tangannya ketika sebuah truk tua mendekat.

Truk itu melambat, dan seorang pria berusia sekitar empat puluhan dengan wajah lelah menurunkan kaca jendela. **”Ada apa?”** tanyanya dengan suara serak.

**”Pak, kami butuh tumpangan,”** kata Raka. **”Kami harus pergi dari sini secepatnya.”**

Pria itu mengamati mereka berdua, jelas menaruh curiga. **”Kalian kabur dari rumah atau bagaimana?”**

Raka tidak langsung menjawab. Alya merasa gugup, tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Raka berkata, **”Kami hanya ingin pergi ke luar kota. Tolong, Pak. Ini darurat.”**

Pria itu diam sejenak, lalu menghela napas. **”Baiklah. Aku bisa mengantar kalian sampai perbatasan kota.”**

Raka mengangguk cepat. **”Terima kasih banyak, Pak.”**

Mereka segera naik ke bak belakang truk, duduk di antara beberapa karung beras. Mesin truk kembali menyala, dan perlahan kendaraan itu bergerak menjauh dari kota yang telah menjadi tempat penuh bahaya bagi mereka.

—

### **Jalanan yang Tak Berujung**

Di dalam truk yang berguncang, Alya duduk bersandar pada sisi kayu di bak belakang. Angin malam menerpa wajahnya, membawa perasaan yang sulit ia definisikan.

Raka duduk di sebelahnya, menatap ke arah langit yang penuh bintang.

**”Kau masih takut?”** tanyanya pelan.

Alya menoleh padanya, lalu menghela napas. **”Aku tidak tahu. Mungkin aku masih takut, tapi aku juga merasa… bebas.”**

Raka tersenyum tipis. **”Itu karena kau akhirnya memilih jalanmu sendiri.”**

Alya terdiam. Mungkin benar, mungkin selama ini ia hanya hidup di bawah kendali orang lain.

Tapi kini, ia melangkah di jalannya sendiri—meskipun jalur itu penuh ketidakpastian.

**”Raka…”** bisiknya. **”Apa kau yakin kita bisa melalui ini semua?”**

Raka menatapnya lama, lalu menggenggam tangannya. **”Selama kau tetap di sisiku, aku akan melakukan apa pun untuk memastikan kita selamat.”**

Alya menatap genggaman tangan mereka. Ada kehangatan di sana, ada kepercayaan yang perlahan tumbuh.

Truk terus melaju di jalanan sepi, membawa mereka menuju sesuatu yang belum mereka ketahui.

Mereka mungkin belum tahu apa yang menunggu di depan.

Tapi satu hal yang pasti—mereka tidak akan menyerah.*

Bab 8: Di Ambang Harapan

Truk tua yang mereka tumpangi terus melaju di jalanan gelap yang terasa begitu panjang. Suara mesin yang bergetar serupa dengan detak jantung Alya yang masih belum tenang. Udara malam semakin dingin, menusuk kulitnya, tapi ia tetap duduk diam di sudut bak truk, memeluk lututnya sendiri.

Raka, yang duduk di sebelahnya, sesekali melirik ke arahnya, memastikan bahwa Alya baik-baik saja. Ia tahu bahwa gadis itu telah melalui begitu banyak hal dalam satu malam ini.

**”Kita sudah hampir sampai di perbatasan kota,”** kata Raka pelan. **”Begitu kita turun, kita harus segera mencari tempat untuk bersembunyi lagi.”**

Alya mengangguk tanpa menjawab. Ia masih mencoba mencerna kenyataan bahwa ia benar-benar meninggalkan segalanya. Keluarganya, kehidupannya yang nyaman, dan semua yang telah ia kenal selama ini.

Tapi apakah semua itu sebanding dengan kebebasan yang ia perjuangkan?

—

### **Di Perbatasan Kota**

Setelah hampir satu jam perjalanan, truk akhirnya berhenti di sebuah pos kecil di pinggiran kota. Sopirnya mengetuk bagian dalam kabin bak truk, memberi tanda bahwa mereka harus turun.

Alya dan Raka melompat turun, sedikit kaku karena tubuh mereka terasa lelah setelah perjalanan yang penuh ketegangan.

Pria tua itu menatap mereka dengan ekspresi prihatin. **”Aku tidak tahu apa yang kalian hadapi, tapi hati-hati di luar sana. Dunia ini tidak selalu ramah untuk orang-orang yang melawan takdirnya sendiri.”**

Alya tersenyum kecil. **”Terima kasih, Pak.”**

Tanpa berkata lagi, truk itu kembali melaju, meninggalkan mereka di pinggir jalan yang sepi.

Raka meraih tangan Alya, menariknya ke sisi jalan yang lebih gelap. **”Kita harus terus bergerak. Jangan terlalu mencolok.”**

Alya mengikuti langkahnya, meskipun pikirannya masih penuh dengan pertanyaan. **”Raka, setelah ini… ke mana kita akan pergi?”**

Raka menatap sekeliling, berpikir cepat. **”Aku punya satu kenalan di kota sebelah. Namanya Satria. Dia mungkin bisa membantu kita.”**

**”Kita harus naik apa ke sana?”**

Raka menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada kendaraan yang lewat, hanya kesunyian yang melingkupi mereka.

**”Kita harus berjalan dulu sampai menemukan sesuatu,”** katanya akhirnya.

Mereka kembali melangkah, menelusuri jalanan yang dingin dan gelap, berusaha mencari harapan di tengah ketidakpastian.

—

### **Ancaman yang Semakin Dekat**

Setelah berjalan hampir satu jam tanpa hasil, Alya mulai merasa lelah. Kakinya pegal, dan dinginnya malam mulai menusuk kulitnya.

**”Raka… aku butuh istirahat,”** katanya, suaranya sedikit bergetar.

Raka menoleh padanya dan mengangguk. **”Baiklah. Kita istirahat sebentar di sana.”**

Ia menunjuk sebuah bangunan tua yang tampak kosong di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, mereka berjalan ke sana dan duduk di undakan beton di depannya.

Alya menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan napasnya. Raka duduk di sebelahnya, diam tanpa berkata-kata.

Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama.

Tiba-tiba, suara deru mobil terdengar dari kejauhan. Raka segera menoleh ke arah jalan dan melihat dua mobil hitam mendekat dengan cepat.

Darah Alya langsung berdesir. **”Mereka menemukanku?”**

Raka langsung menarik tangannya. **”Alya, kita harus pergi!”**

Mereka berlari menuju gang kecil di belakang bangunan itu, berharap bisa menghindari kejaran. Namun, suara pintu mobil yang terbuka dan langkah kaki yang berlari membuat mereka semakin panik.

**”Alya! Jangan lari!”** terdengar suara berat dari belakang.

Alya mengenali suara itu.

Itu suara salah satu anak buah ayahnya.

Ia semakin mempercepat langkahnya, meskipun kakinya terasa begitu lelah. **”Raka, ke mana kita harus pergi?”**

Raka menggenggam tangannya lebih erat. **”Ada sebuah pabrik tua di ujung jalan ini! Kita bisa bersembunyi di sana!”**

Tanpa menoleh ke belakang, mereka terus berlari, melewati gang sempit yang dipenuhi sampah dan dinding-dinding berlumut. Napas mereka tersengal, tetapi mereka tahu mereka tidak boleh berhenti.

Suara langkah kaki dari belakang semakin mendekat.

**”Alya! Jangan buat keadaan makin sulit! Ayahmu hanya ingin kau kembali!”**

Alya mengatupkan rahangnya. **”Aku tidak akan kembali!”**

Saat mereka hampir mencapai pabrik tua yang dimaksud, Raka tiba-tiba berhenti dan menarik Alya masuk ke dalam sebuah celah di antara dua bangunan.

Mereka bersembunyi di balik tumpukan kayu tua, menahan napas saat suara langkah kaki terdengar semakin dekat.

**”Ke mana mereka?”** suara seseorang bertanya.

**”Mereka pasti masih di sekitar sini. Cari terus!”**

Alya menutup mulutnya, berusaha menahan ketakutannya. Raka meremas tangannya perlahan, mencoba menenangkannya.

Beberapa menit berlalu, tetapi rasanya seperti selamanya.

Kemudian, suara langkah kaki itu mulai menjauh.

Mereka tetap diam di tempat, menunggu hingga suasana benar-benar hening sebelum Raka akhirnya berbisik, **”Kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka kembali.”**

Alya mengangguk cepat.

Tanpa berkata lagi, mereka kembali bergerak dalam diam, menjauh dari tempat yang semakin tidak aman bagi mereka.

—

### **Harapan yang Masih Ada**

Mereka berjalan dalam keheningan hingga akhirnya tiba di sebuah jalan yang lebih besar. Raka mengeluarkan ponselnya yang sejak tadi ia matikan untuk menghindari pelacakan.

Ia mengetik sesuatu dengan cepat, lalu menunggu.

Alya menatapnya dengan penuh tanya. **”Kau menghubungi siapa?”**

Raka menoleh padanya. **”Satria.”**

Beberapa menit kemudian, sebuah motor melaju ke arah mereka dan berhenti tepat di depan mereka.

Seorang pria berjaket hitam dengan helm full face turun dari motornya dan membuka helmnya.

**”Kalian benar-benar membuat masalah besar,”** katanya dengan suara rendah. **”Ayo, kita harus pergi sebelum mereka menemukan kalian lagi.”**

Alya menatap pria itu dengan penuh harapan.

Mungkin, akhirnya, mereka menemukan jalan keluar.

Tanpa ragu, mereka naik ke motor pria itu, dan dalam sekejap, mereka kembali melaju menuju arah yang entah akan membawa mereka ke mana.

Namun satu hal yang pasti—mereka belum akan menyerah.*

Bab 9: Di Ujung Jalan

Motor yang dikendarai Satria melaju kencang, membelah jalanan sepi di malam yang semakin larut. Alya duduk di tengah, diapit oleh tubuh Raka di belakangnya dan Satria di depan. Angin malam menerpa wajahnya, membuatnya sedikit menggigil, tapi ia tahu mereka tidak bisa berhenti sekarang.

Raka menoleh ke belakang beberapa kali, memastikan tidak ada mobil hitam yang mengikuti mereka. Setelah beberapa menit, ia akhirnya merasa sedikit lega. **”Sepertinya kita berhasil kabur untuk saat ini,”** katanya.

Satria tidak menanggapi. Ia tetap fokus pada jalan di depannya.

Setelah sekitar setengah jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di sebuah rumah kecil di pinggir kota. Rumah itu tampak sederhana, dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk.

Satria mematikan mesin motornya dan turun. **”Masuklah,”** katanya singkat.

Alya dan Raka saling berpandangan sebelum mengikuti Satria ke dalam rumah.

—

### **Tempat Berlindung Sementara**

Begitu masuk, Alya melihat ruang tamu kecil dengan sofa tua dan meja kayu yang dipenuhi kertas-kertas berantakan. Aroma kopi yang menguar dari dapur memberikan sedikit rasa hangat di tengah ketegangan yang masih menyelimuti mereka.

Satria duduk di salah satu kursi dan menatap mereka berdua. **”Jelaskan semuanya,”** katanya tanpa basa-basi.

Raka menghela napas sebelum mulai bercerita. **”Kami melarikan diri karena keluarga Alya tidak merestui hubungan kami. Mereka ingin menjodohkannya dengan pria lain, dan aku… aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”**

Satria menyilangkan tangannya. **”Jadi sekarang kalian berdua buronan keluarga kaya?”**

Alya mengepalkan tangannya di pangkuannya. **”Aku tidak peduli dengan harta atau status keluargaku. Aku hanya ingin hidup dengan pilihan sendiri.”**

Satria menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas. **”Kalian sadar, kan? Orang-orang itu tidak akan berhenti mencari kalian. Apalagi dengan pengaruh yang mereka miliki.”**

Raka mengangguk. **”Itulah kenapa kami butuh bantuanmu.”**

Satria terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata, **”Aku bisa membantu kalian keluar dari kota ini. Tapi itu tidak akan mudah.”**

Alya langsung menatapnya penuh harap. **”Bagaimana caranya?”**

**”Aku punya kenalan yang bisa mengatur identitas baru untuk kalian. Tapi ada harga yang harus dibayar.”**

Raka mengepalkan tangannya. **”Kami tidak punya banyak uang.”**

Satria tersenyum miring. **”Itu masalahnya. Tanpa uang, segalanya lebih sulit. Tapi aku akan mencoba mencari cara lain.”**

Alya merasa dadanya semakin sesak. Apakah benar-benar tidak ada jalan keluar yang mudah untuk mereka?

—

### **Pilihan yang Sulit**

Malam semakin larut, dan Alya duduk di dekat jendela, menatap keluar dengan pikiran yang kacau. Di belakangnya, Raka sedang berbicara pelan dengan Satria, membahas rencana mereka selanjutnya.

Pikiran Alya kembali ke keluarganya. Bagaimana reaksi ayahnya saat menyadari bahwa ia benar-benar menghilang? Apa yang akan dilakukan ibunya? Apakah mereka benar-benar akan mencarinya sampai ke ujung dunia?

Ia menghela napas panjang. Semua ini terasa begitu melelahkan.

Tiba-tiba, Raka mendekatinya dan duduk di sampingnya. **”Kau baik-baik saja?”**

Alya mengangguk kecil. **”Aku hanya… berpikir. Apa kita benar-benar bisa keluar dari semua ini?”**

Raka menatapnya dalam-dalam. **”Aku tidak tahu, Alya. Tapi aku berjanji akan melakukan apa pun untuk membuatmu bebas.”**

Alya menatap mata Raka yang penuh dengan tekad. Ada sesuatu di sana yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang.

**”Kita akan berjuang bersama, kan?”** bisiknya.

Raka menggenggam tangannya erat. **”Selalu.”**

—

### **Bahaya yang Mengintai**

Mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat, meskipun sulit untuk benar-benar tidur dengan ketegangan yang masih menggantung di udara.

Namun, menjelang subuh, suara deru mobil mendekati rumah Satria.

Raka langsung terbangun dan menoleh ke luar jendela. Dua mobil hitam terparkir di seberang jalan.

Alya ikut melihat ke luar dan jantungnya langsung berdegup kencang. **”Mereka menemukanku…”**

Satria, yang juga sudah bangun, mengumpat pelan. **”Cepat! Kita harus pergi sekarang!”**

Tanpa banyak bicara, mereka bertiga segera bergerak. Satria membuka pintu belakang rumahnya yang mengarah ke jalan kecil di belakang.

**”Lewat sini. Kita harus pergi sebelum mereka masuk!”**

Tapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, terdengar suara pintu depan yang didobrak dengan keras.

**”Cari mereka! Jangan biarkan mereka kabur!”**

Alya langsung panik. **”Mereka masuk!”**

Raka menarik tangannya. **”Alya, jangan takut. Percayalah padaku!”**

Tanpa berpikir panjang, mereka berlari melewati lorong belakang rumah, menuju tempat yang masih belum mereka ketahui.

Di belakang mereka, suara langkah kaki semakin mendekat.

Dan untuk pertama kalinya, Alya merasa bahwa mungkin ini adalah akhir dari pelarian mereka.*

Bab 10: Di Balik Tembok Takdir

Alya dan Raka berlari secepat mungkin melewati lorong sempit di belakang rumah Satria. Napas mereka tersengal, jantung berdegup kencang, dan ketakutan terus menghantui langkah mereka. Suara langkah kaki para pengejar terdengar semakin dekat, membuat mereka sadar bahwa waktu mereka semakin menipis.

Satria, yang berlari di depan, memberikan isyarat agar mereka mempercepat langkah. **”Di ujung jalan ini ada gang kecil yang bisa membawa kita ke area pasar. Jika kita bisa mencapainya, kita bisa berbaur dengan orang-orang di sana!”**

Raka menggenggam tangan Alya lebih erat. **”Kau kuat?”**

Alya mengangguk cepat, meskipun kakinya mulai gemetar karena kelelahan. **”Aku bisa.”**

Mereka terus berlari, tetapi ketika hampir sampai di ujung lorong, dua orang pria berpakaian hitam tiba-tiba muncul, menghadang mereka.

**”Jangan coba-coba kabur lagi,”** salah satu dari mereka berkata dingin. **”Alya, ikut dengan kami. Ayahmu sudah cukup bersabar.”**

Alya menegang. Ia mengenali pria itu—salah satu pengawal pribadi keluarganya.

Raka langsung berdiri di depan Alya, melindunginya. **”Dia tidak akan ikut kalian.”**

Pria itu mendengus. **”Jangan bodoh, anak muda. Kau tidak akan bisa melawan kami.”**

Satria mengambil langkah maju, menyeringai. **”Mungkin dia tidak bisa, tapi aku bisa mencoba.”**

Tanpa aba-aba, Satria langsung melayangkan pukulan ke wajah salah satu pria itu, membuatnya tersentak mundur. Kekacauan pun terjadi.

Raka ikut melawan pria lainnya, berusaha memberi Alya waktu untuk lari. **”Pergi, Alya! Sekarang!”**

**”Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!”**

Raka menoleh dengan tatapan penuh ketegasan. **”Percayalah padaku! Aku akan menyusulmu!”**

Dengan hati yang berat, Alya akhirnya berbalik dan berlari menuju gang kecil yang disebutkan Satria.

Namun, baru beberapa langkah, seseorang menarik lengannya dengan keras.

**”Kau tidak akan lari lagi, Nona Alya.”**

Ia menoleh dan melihat seorang pria berjas berdiri di belakangnya. Wajahnya dingin dan tatapannya tajam.

**”Ayahmu menunggumu,”** katanya.

Alya menggigit bibirnya. **”Aku tidak akan kembali!”**

Ia mencoba melawan, tetapi pria itu terlalu kuat. Alya merasa tubuhnya mulai lemah saat pria itu menariknya ke arah mobil hitam yang menunggu di dekat sana.

**”Raka!”** teriaknya, tetapi suaranya tenggelam dalam keributan.

—

### **Keputusan Terakhir**

Di dalam mobil, Alya duduk diam dengan tangan terkepal. Ayahnya duduk di sampingnya, wajahnya penuh kekecewaan dan kemarahan.

**”Kau sudah membuatku cukup malu, Alya,”** katanya dingin. **”Apa kau pikir bisa lari dariku?”**

Alya menatap lurus ke depan, menahan air mata yang ingin jatuh. **”Aku hanya ingin hidupku sendiri, Ayah. Aku tidak ingin hidup dengan aturan yang tidak aku pilih.”**

Ayahnya mendengus. **”Kau adalah putriku. Kau akan menikah dengan pria yang kupilih, dan kau akan melupakan anak jalanan itu.”**

Alya merasa dadanya sesak. **”Aku mencintainya…”**

**”Cinta?”** Ayahnya tertawa sinis. **”Cinta tidak akan memberimu kehidupan yang layak. Kau hanya gadis bodoh yang terbawa emosi.”**

Alya menunduk, hatinya sakit mendengar kata-kata itu.

Namun, tiba-tiba, suara benturan keras terdengar. Mobil mereka terguncang hebat.

Alya menoleh ke jendela dan melihat sebuah sepeda motor menabrak sisi mobil mereka dengan sengaja.

**”Raka…!”**

Pintu mobil tiba-tiba terbuka, dan sebelum Ayahnya sempat bereaksi, tangan Raka menarik Alya keluar dengan cepat.

**”Lari, Alya!”**

Tanpa berpikir dua kali, Alya berlari bersamanya. Ayahnya berteriak memerintahkan orang-orangnya untuk mengejar, tetapi keributan yang terjadi di jalanan memberikan mereka sedikit waktu untuk melarikan diri.

Mereka terus berlari, melewati jalan-jalan kecil, hingga akhirnya tiba di stasiun tua yang sudah lama tidak digunakan.

Di sana, Raka berhenti dan menarik napas dalam-dalam. Alya, yang masih terengah-engah, menatapnya penuh emosi.

**”Kita tidak bisa terus seperti ini, Raka,”** katanya dengan suara bergetar.

Raka menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk. **”Aku tahu.”**

Mereka berdua sadar bahwa melarikan diri selamanya bukanlah pilihan. Cepat atau lambat, mereka akan ditemukan lagi.

**”Lalu, apa yang harus kita lakukan?”** Alya bertanya, matanya berkaca-kaca.

Raka menggenggam tangannya dengan erat. **”Kita harus pergi sejauh mungkin, memulai hidup baru, dengan atau tanpa bantuan.”**

Alya menatap genggaman tangan mereka. Ada ketakutan, ada ketidakpastian, tetapi yang terpenting—ada cinta.

**”Aku akan ikut denganmu ke mana pun, Raka.”**

Raka tersenyum tipis. **”Aku berjanji, kita akan menemukan tempat di mana tidak ada yang bisa memisahkan kita lagi.”**

Mereka saling berpandangan untuk terakhir kali sebelum memutuskan langkah mereka selanjutnya.

Di luar stasiun tua itu, dunia masih berusaha menarik mereka kembali ke takdir yang telah ditentukan.

Tapi untuk pertama kalinya, Alya dan Raka memilih untuk menentang takdir itu.

Bersama-sama.***

—–the end—–

Source: YONGKI
Tags: #cintaterlarang#DramaRomantis#kisahcintaCintaDanPengorbananCoupleOnTheRundramacintaforbiddenloveKisahPelarianKonflikKeluargaLoveAndDangerMelawanTakdirnovelromansaPelarianTakdirThrillerRomantis
Previous Post

CINTA DI DUA KEHIDUPAN

Next Post

HATI YANG TAK LAGI MENGENAL CINTA

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
HATI YANG TAK LAGI MENGENAL CINTA

HATI YANG TAK LAGI MENGENAL CINTA

“CINTA PERTAMA, LUKA TERBESAR”

"CINTA PERTAMA, LUKA TERBESAR"

LOVE IN AIRPLANE MODE

LOVE IN AIRPLANE MODE

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id