Daftar Isi
Bab 1: Mimpi yang Terlalu Nyata
Alya terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi dahinya. Jantungnya berdegup kencang, seperti baru saja menyelesaikan lari maraton. Matanya membelalak, menyesuaikan diri dengan kegelapan kamarnya yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu meja. Ia merasakan udara di sekitarnya begitu sunyi, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan, mengingatkannya bahwa malam masih panjang.
Mimpi itu datang lagi.
Mimpi yang sama, dengan sosok yang sama—seorang pria berwajah teduh dengan sorot mata sendu, mengenakan pakaian dari zaman yang berbeda. Ia mengenakan jubah panjang berwarna hitam dengan hiasan emas di bagian bahu, rambutnya sedikit panjang, terikat rapi di belakang kepala. Ada kesedihan mendalam di matanya saat ia menatap Alya. Seolah ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi tak pernah sempat terucap.
Alya menghela napas panjang dan duduk di tepi ranjang. Ia memegang kepalanya yang terasa berat. Ini sudah kali keberapa? Ia sudah tidak bisa menghitung berapa kali mimpi itu menghantuinya selama beberapa bulan terakhir. Semakin lama, mimpi itu terasa semakin nyata, seakan ia benar-benar berada di sana, di tempat yang terasa asing tapi juga familiar.
Di dalam mimpi, ia selalu berada di taman luas dengan pepohonan rindang dan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan setapak. Suara gemericik air dari pancuran kecil terdengar lembut, menciptakan suasana damai. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman—sebuah perasaan bahwa tempat itu menyimpan kenangan yang telah lama terkubur.
Dan pria itu…
Ia selalu berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi rindu yang begitu dalam.
“Alya…” suara itu masih terngiang di telinganya. Suara pria itu. Lembut, tapi penuh dengan rasa kehilangan.
Alya menutup matanya, mencoba mengingat setiap detail dari mimpi itu. Namun, seperti biasa, semakin ia mencoba menggali lebih dalam, semakin kabur ingatan itu. Yang tersisa hanyalah perasaan kosong yang menyesakkan dada.
Ia melirik jam di nakas—03.12 pagi.
Ia tahu ia tidak akan bisa tidur lagi. Akhirnya, ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke dapur untuk menuangkan segelas air. Saat ia meneguknya perlahan, matanya terpaku pada bayangannya sendiri di kaca jendela. Wajahnya terlihat pucat, kantung matanya mulai menggelap karena kurang tidur.
“Mungkin aku hanya terlalu lelah,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar mimpi biasa.
***
Keesokan paginya, Alya memutuskan untuk berbagi tentang mimpinya dengan sahabatnya, Rina.
“Kamu yakin itu cuma mimpi biasa?” tanya Rina sambil menyeruput kopinya. Mereka duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat favorit mereka sejak kuliah.
Alya menghela napas, mengaduk-aduk cappuccinonya tanpa benar-benar berniat meminumnya. “Aku juga nggak tahu, Rin. Tapi rasanya terlalu nyata. Seolah aku benar-benar berada di sana. Dan pria itu…” ia terdiam sejenak, berusaha merangkai kata. “Aku merasa aku mengenalnya, meskipun aku yakin aku belum pernah bertemu dengannya dalam hidupku.”
Rina menatapnya dengan alis sedikit terangkat. “Hmm… bisa jadi ini semacam déjà vu? Atau… mungkin kamu pernah lihat wajahnya di suatu tempat, terus alam bawah sadar kamu membentuk ulang dalam mimpi?”
Alya menggeleng. “Kalau aku pernah bertemu dengannya, aku pasti ingat. Tapi ini berbeda, Rin. Aku merasa seperti aku… pernah hidup di sana.”
Rina menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum kecil. “Kamu mulai terdengar seperti tokoh utama di novel romansa fantasi.”
Alya tertawa kecil, meskipun di dalam hatinya ia tidak bisa mengabaikan firasat aneh yang terus menghantuinya.
“Kamu sendiri, gimana?” Rina bertanya lagi. “Apa kamu pernah coba cari tahu tentang tempat yang ada di mimpimu? Mungkin ada kaitannya dengan sesuatu di dunia nyata.”
Alya berpikir sejenak. Tempat dalam mimpinya memang terasa familiar, tapi ia tidak bisa mengingat di mana pernah melihatnya. Satu-satunya petunjuk adalah taman itu—dengan pepohonan tinggi dan pancuran air di tengahnya.
Mungkin ia harus mencari tahu lebih lanjut.
***
Sore itu, Alya berjalan-jalan ke sebuah galeri seni di pusat kota. Ia hanya berniat untuk mencari ketenangan, berharap pikirannya bisa lebih jernih. Namun, langkahnya terhenti saat matanya tertuju pada sebuah lukisan besar yang tergantung di salah satu dinding.
Lukisan itu menggambarkan taman yang persis seperti dalam mimpinya.
Alya merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Ia melangkah mendekat, menatap setiap detailnya dengan saksama. Pohon-pohon tinggi dengan daun hijau gelap, bunga-bunga yang bermekaran di sisi jalan setapak, dan pancuran air kecil di tengahnya. Tidak salah lagi. Ini adalah tempat dalam mimpinya.
“Cantik, bukan?”
Suara seorang pria tua mengejutkan Alya. Ia menoleh dan melihat seorang pria dengan rambut putih tipis dan mata yang tajam, mengenakan jas hitam dengan tongkat di tangannya.
“Iya,” jawab Alya pelan, masih belum bisa mengalihkan pandangannya dari lukisan itu. “Lukisan ini dari mana?”
Pria tua itu tersenyum tipis. “Lukisan ini dibuat oleh seorang seniman yang tidak diketahui namanya. Tapi ada legenda yang mengatakan bahwa taman ini pernah menjadi saksi bisu dari sebuah kisah cinta yang tragis.”
Alya merasakan bulu kuduknya meremang.
“Cinta tragis?” ulangnya.
Pria tua itu mengangguk. “Seorang putri jatuh cinta dengan seorang kesatria. Tapi takdir mereka tidak mengizinkan mereka untuk bersatu. Konon, jiwa mereka terus bereinkarnasi, mencari satu sama lain di setiap kehidupan.”
Darah Alya berdesir. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Mungkinkah…?
Ia menelan ludah. “Siapa nama mereka?”
Pria tua itu tersenyum samar sebelum menjawab, “Konon, pria itu bernama Rakha.”
Alya membeku di tempatnya.
Itu nama pria di dalam mimpinya.
Dan saat itu juga, ia tahu bahwa ini bukan sekadar mimpi biasa. Ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang sudah menunggu untuk ditemukan.*
Bab 2: Lukisan dari Masa Lalu
Alya masih berdiri di depan lukisan itu, matanya tak berkedip. Seolah-olah setiap detail dalam lukisan itu berusaha berbicara kepadanya, menghubungkan potongan-potongan ingatan yang samar dalam pikirannya.
Nama itu. **Rakha.**
Pria yang terus hadir dalam mimpinya.
Lukisan ini bukan kebetulan. Ada sesuatu di dalamnya yang terasa begitu akrab, begitu nyata, seperti kepingan teka-teki yang selama ini hilang dalam hidupnya.
Pria tua di sampingnya masih tersenyum tipis, memperhatikan ekspresi kebingungan di wajah Alya.
“Kau sepertinya tertarik dengan kisah ini,” katanya, suaranya lembut namun penuh teka-teki.
Alya menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata. “Saya hanya merasa… seperti pernah melihat tempat ini sebelumnya.”
Pria itu mengangguk pelan, seolah tak terkejut dengan jawaban Alya. “Banyak yang merasa demikian,” katanya. “Taman ini pernah ada berabad-abad yang lalu, di sebuah kerajaan kecil yang kini sudah hilang dalam sejarah. Hanya legenda yang tersisa.”
Alya mengerutkan kening. “Kerajaan kecil?”
“Ya,” pria itu berjalan mendekat, mengetuk tongkatnya pelan di lantai kayu galeri. “Konon, di kerajaan itu, ada seorang putri yang jatuh cinta kepada seorang kesatria. Cinta mereka begitu kuat, namun takdir tidak berpihak kepada mereka.”
Dada Alya berdebar keras. Ini terdengar seperti sesuatu yang sering muncul dalam mimpinya.
“Apa yang terjadi pada mereka?” tanyanya pelan.
Pria itu menatapnya sesaat, seolah menilai apakah Alya benar-benar ingin mengetahui jawabannya. Lalu, ia melanjutkan, “Putri itu dijodohkan dengan seorang pangeran dari kerajaan lain untuk memperkuat aliansi. Tapi hatinya telah terpaut pada kesatria itu. Mereka berencana melarikan diri bersama, tapi pengkhianatan terjadi. Sang kesatria dihukum mati, sementara sang putri dipaksa menikah. Namun, sebelum pernikahan berlangsung, putri itu memilih mengakhiri hidupnya sendiri.”
Alya merasa tubuhnya menegang. Sebuah rasa sakit yang asing merayap dalam dadanya, seolah ia bisa merasakan kepedihan putri dalam cerita itu.
“Jadi… mereka tidak pernah bisa bersama?” tanyanya lirih.
Pria itu tersenyum tipis. “Menurut legenda, jiwa mereka selalu bereinkarnasi, mencari satu sama lain dalam setiap kehidupan. Tapi setiap kali mereka bertemu, ada sesuatu yang selalu menghalangi mereka untuk bersatu.”
Alya menelan ludah. Kisah ini terlalu mirip dengan mimpi-mimpinya. Apakah mungkin…?
Ia menggelengkan kepala, berusaha menyingkirkan pikiran itu. Tidak, ini tidak masuk akal. Ia hanya mengalami mimpi aneh, itu saja.
“Siapa yang melukis lukisan ini?” tanyanya, mencoba mengalihkan pikirannya.
Pria tua itu mengangkat bahu. “Tidak ada yang tahu pasti. Lukisan ini sudah ada di galeri ini selama puluhan tahun, bahkan sebelum saya mengambil alih tempat ini. Yang pasti, setiap orang yang melihatnya selalu merasa ada sesuatu yang familiar di dalamnya.”
Alya menggigit bibirnya, lalu kembali menatap lukisan itu. Kini, ia melihat sesuatu yang belum ia sadari sebelumnya—di sudut bawah kanan lukisan, ada inisial kecil yang hampir tak terlihat: **R.A.**
Matanya menyipit. Inisial itu terasa penting, tapi ia tidak tahu mengapa.
“Bolehkah saya mengambil gambar lukisan ini?” tanyanya.
Pria tua itu mengangguk. “Tentu saja.”
Alya mengeluarkan ponselnya dan mengambil beberapa foto dari berbagai sudut. Setelah selesai, ia mengucapkan terima kasih kepada pria itu dan melangkah keluar dari galeri, pikirannya dipenuhi dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
***
Sesampainya di apartemennya, Alya segera menghubungi Rina. Ia tidak bisa menyimpan ini sendiri.
“Alya? Tumben nelepon,” suara Rina terdengar mengantuk.
“Kamu sibuk?” tanya Alya.
“Nggak juga. Cuma lagi malas gerak di rumah. Kenapa?”
Alya menghela napas. “Aku nemu sesuatu yang aneh.”
“Definisi ‘aneh’ itu luas, Alya. Jelasin,” jawab Rina dengan nada penasaran.
Alya mengirimi Rina foto lukisan yang diambilnya tadi. Tidak butuh waktu lama sebelum Rina mengirim pesan balasan.
**Rina:** *Ini… tempat di dalam mimpimu, kan?*
**Alya:** *Iya. Dan ada cerita di baliknya. Mirip banget sama yang sering aku mimpiin.*
Rina meneleponnya kembali. “Oke, sekarang aku benar-benar penasaran. Ceritakan semuanya.”
Alya menceritakan pertemuannya dengan pria tua di galeri, legenda tentang putri dan kesatria, serta bagaimana kisah itu begitu mirip dengan mimpi-mimpinya.
“Jadi… kamu pikir kamu adalah reinkarnasi dari putri itu?” tanya Rina dengan nada bercampur antara skeptis dan antusias.
Alya menggigit bibirnya. “Aku nggak tahu. Aku ingin berpikir kalau ini cuma kebetulan, tapi entah kenapa… aku merasa ada sesuatu di balik semua ini.”
Rina terdiam sejenak. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak.”
Alya mengangguk, meskipun Rina tidak bisa melihatnya. “Aku juga berpikir begitu.”
***
Malam itu, Alya kembali mengalami mimpi yang sama.
Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Ia berdiri di taman yang sama, namun kali ini lebih jelas. Ia bisa merasakan angin sepoi-sepoi yang menerpa kulitnya, bisa mencium aroma bunga yang bermekaran di sekitarnya.
Dan di hadapannya, pria itu—**Rakha**—berdiri, menatapnya dengan tatapan yang penuh kerinduan.
“Alya…” suaranya lirih, tapi jelas.
Alya mencoba mendekatinya, tapi langkahnya terasa berat. Seolah ada sesuatu yang menahannya.
“Siapa aku?” tanyanya, suara bergetar.
Rakha tersenyum sedih. “Kau masih belum mengingatnya, kan?”
Alya menggeleng. “Tolong… ceritakan padaku.”
Rakha mendekat, mengulurkan tangannya. Tapi sebelum tangannya bisa menyentuh wajah Alya, tiba-tiba sebuah suara keras bergema, seperti bunyi pintu besar yang terbanting.
Rakha menoleh ke belakang, ekspresinya berubah menjadi panik.
“Kita tidak punya banyak waktu,” katanya. “Tolong, cari aku.”
Alya terkejut. “Cari kamu? Tapi di mana?”
Rakha menatapnya, seolah ingin mengingatkan sesuatu. Namun, sebelum ia bisa menjawab, semuanya berubah menjadi gelap.
Alya terbangun dengan napas tersengal.
Jantungnya masih berdetak kencang saat ia duduk di tempat tidur.
Kata-kata Rakha masih terngiang di telinganya.
**“Tolong, cari aku.”**
Dan untuk pertama kalinya, Alya tahu pasti satu hal—ini bukan sekadar mimpi biasa.*
Bab 3: Pertemuan Takdir
Mimpi itu masih melekat dalam benaknya bahkan setelah Alya membuka mata. Ia terduduk di tempat tidur, napasnya masih belum stabil, jantungnya berdegup keras di dalam dada.
**“Tolong, cari aku.”**
Suara Rakha dari dalam mimpinya masih begitu jelas, seolah ia benar-benar berdiri di hadapan Alya dan mengucapkannya langsung.
Alya mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Semua ini sudah terlalu jauh. Pertama, mimpi yang berulang. Lalu, lukisan yang menunjukkan tempat yang selama ini hanya ada dalam pikirannya. Dan sekarang, dalam mimpinya, pria itu memintanya untuk mencari sesuatu… atau **seseorang**.
Tapi bagaimana caranya?
Alya menghela napas berat dan melirik ponselnya. Hampir pukul 9 pagi. Ia terlambat bangun dan harus segera bersiap untuk berangkat ke kantor.
***
Hari itu berjalan seperti biasa—kesibukan kantor membuatnya sedikit lupa tentang mimpinya. Namun, di sela-sela pekerjaannya, pikirannya tetap kembali ke Rakha dan pesan misteriusnya.
Saat istirahat makan siang, Alya memutuskan untuk mengunjungi galeri tempat ia melihat lukisan itu kemarin. Mungkin pria tua itu tahu sesuatu lagi.
Namun, sesampainya di sana, ia mendapati sesuatu yang membuatnya terkejut.
Galeri itu **tertutup.**
Jendela-jendelanya gelap, dan ada tanda kecil di pintu yang bertuliskan **”Tutup Sampai Waktu yang Tidak Ditentukan.”**
Alya menatap tanda itu dengan kebingungan. Kemarin tempat ini masih buka dan pria tua itu tampak baik-baik saja. Apa yang terjadi?
Ia mencoba mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban.
Perasaan gelisah mulai merayap di hatinya. Apakah ini hanya kebetulan? Atau sesuatu sedang terjadi?
Alya menghela napas dan akhirnya memutuskan untuk pergi. Namun, baru beberapa langkah, ia tiba-tiba menabrak seseorang.
Bruk!
“Aduh, maaf!” Alya mundur selangkah dan mendongak, siap meminta maaf lagi.
Namun, kata-kata itu terhenti di tenggorokannya saat ia melihat wajah pria di depannya.
Dunia seakan berhenti berputar.
Pria itu…
Ia memiliki wajah yang begitu familiar.
Rahang tegas, mata tajam yang penuh misteri, serta sorot mata yang begitu dalam, seolah menyimpan ribuan cerita yang belum terungkap. Rambutnya hitam pekat, tertata sedikit acak-acakan. Ia tampak sedikit terkejut melihat Alya, seolah ia juga merasakan sesuatu yang aneh.
Alya menelan ludah. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya sendiri.
**Pria ini…**
**Ia mirip dengan Rakha.**
“Tidak apa-apa,” suara pria itu terdengar dalam, dengan nada yang menenangkan. “Kau baik-baik saja?”
Alya hanya bisa mengangguk, meskipun pikirannya masih kacau.
Pria itu menatapnya beberapa detik lebih lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil dan melangkah pergi.
Namun, Alya tidak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja.
“Tunggu!” panggilnya spontan.
Pria itu berhenti dan menoleh.
“Ada apa?”
Alya menggigit bibirnya. Ia sendiri tidak yakin apa yang harus ia katakan. Tapi perasaan aneh ini… ia tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
“Kita… pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya akhirnya.
Pria itu menatapnya dengan tatapan penuh pertimbangan, seolah ia juga merasa ada sesuatu yang aneh.
“Aku rasa tidak.”
Alya mengangguk pelan, merasa sedikit bodoh karena pertanyaannya. Tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu lagi, pria itu melanjutkan, “Tapi… entah kenapa, aku juga merasa seperti pernah mengenalmu.”
Dada Alya berdesir.
“Siapa namamu?” tanyanya.
Pria itu tersenyum tipis. “Arka.”
Alya merasa seakan tubuhnya kehilangan keseimbangan sesaat. Nama itu terasa asing, tetapi juga akrab di waktu yang bersamaan.
Arka…
Bukan Rakha.
Tapi mengapa perasaannya mengatakan bahwa pria ini adalah orang yang sama?
Arka mengamati ekspresi Alya yang tampak kebingungan. “Kau yakin baik-baik saja?”
Alya tersadar dan buru-buru mengangguk. “Iya, hanya saja… Ah, tidak apa-apa. Mungkin hanya perasaanku saja.”
Arka menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangkat bahu. “Baiklah. Kalau begitu, sampai jumpa.”
Lalu ia pergi.
Alya masih berdiri di tempatnya, menatap punggung pria itu yang semakin menjauh.
Ada sesuatu yang sangat aneh di sini.
Dan ia harus mencari tahu apa itu.
***
Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan pertemuannya dengan Arka.
Apakah semua ini hanya kebetulan? Atau ini benar-benar bagian dari sesuatu yang lebih besar?
Ia kembali membuka foto lukisan yang ia ambil kemarin. Menatapnya dalam-dalam.
Dan kemudian, tanpa tahu apa yang mendorongnya, ia membuka mesin pencari di ponselnya dan mengetik sesuatu.
**”Legenda cinta terlarang kerajaan kuno.”**
Ia menelusuri beberapa artikel, tapi tidak menemukan sesuatu yang cocok. Namun, ketika ia mengganti kata kunci menjadi **”mitos reinkarnasi cinta tragis,”** ia menemukan sesuatu yang membuatnya merinding.
Sebuah cerita rakyat tua tentang dua kekasih yang tidak bisa bersatu karena takdir.
Dalam kisah itu, mereka bereinkarnasi berkali-kali, tetapi setiap kali mereka bertemu, sesuatu selalu menghalangi mereka. Salah satu dari mereka selalu mati atau harus berpisah sebelum bisa bersama.
Dan nama mereka dalam cerita itu…
**Putri Alya dan Kesatria Rakha.**
Darah Alya berdesir.
Bukan kebetulan.
Ini bukan hanya mimpi.
Dan pria yang ditemuinya hari ini…
**Arka.**
Apakah ia benar-benar hanya pria asing?
Ataukah ia adalah Rakha dalam kehidupan yang baru?
Alya merasa kepalanya berputar. Ini terlalu banyak untuk dicerna dalam satu waktu.
Tapi ada satu hal yang pasti.
**Pertemuannya dengan Arka bukan kebetulan.**
Ini adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Dan kali ini, ia harus mencari kebenarannya—sebelum semuanya berakhir seperti yang sudah-sudah.*
Bab 4: Bayangan Masa Lalu
Alya tidak bisa berhenti memikirkan Arka.
Sejak pertemuan mereka kemarin, pikirannya terus dipenuhi oleh pria itu. Ada sesuatu dalam sorot matanya, dalam cara dia berbicara, dalam getaran aneh yang Alya rasakan saat mereka bertatap muka. Itu bukan sekadar perasaan aneh biasa—itu seperti sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat, seolah ada ikatan yang tidak bisa dijelaskan.
Dan yang paling mengganggunya adalah kesamaan nama.
**Rakha—Arka.**
Apakah ini hanya kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?
Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Ia terus berguling di tempat tidurnya, mencoba mengabaikan pikirannya yang terus berputar. Tapi semakin ia mencoba, semakin pikirannya kembali pada Arka dan legenda yang baru saja ia baca.
Akhirnya, dengan frustrasi, ia duduk di tempat tidurnya dan menghela napas.
“Aku harus bicara dengannya lagi,” gumamnya pelan.
Tapi bagaimana caranya?
Mereka hanya bertemu sekali, tanpa ada kontak atau cara untuk mencarinya lagi.
Alya menggigit bibirnya, lalu teringat sesuatu—galeri tempat mereka bertemu. Jika Arka ada di sana kemarin, mungkin ada alasan untuk itu. Mungkin ia akan kembali ke tempat itu.
Tanpa berpikir panjang, Alya meraih ponselnya dan mengirim pesan kepada Rina.
**Alya:** *Besok bisa temani aku ke galeri lagi?*
Tidak lama kemudian, balasan datang.
**Rina:** *Galeri yang kemarin? Bukannya tutup?*
**Alya:** *Iya, tapi aku mau lihat-lihat lagi. Mungkin aku bisa menemukan sesuatu.*
**Rina:** *Kau benar-benar terobsesi ya? Oke, aku ikut. Besok jam berapa?*
**Alya:** *Siang setelah kerja.*
Rina tidak membalas lagi, hanya mengirimkan emoji jempol.
Alya menghela napas dan meletakkan ponselnya. Setidaknya, ia punya rencana.
Sekarang, yang harus ia lakukan hanyalah menunggu.
***
Keesokan harinya, Alya nyaris tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya terus mengembara, bayang-bayang Arka dan mimpi-mimpinya terus menghantuinya.
Saat jam makan siang, ia bahkan tidak berselera untuk makan.
Rina yang melihat gelagatnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. “Kau seperti orang yang sedang jatuh cinta.”
Alya tersentak. “Apa? Tidak! Ini bukan soal itu.”
“Oh ya?” Rina menaikkan alisnya. “Kau memikirkan pria itu terus sejak kemarin. Kau bahkan rela datang ke tempat yang sudah tutup hanya untuk mencari petunjuk tentangnya. Kalau itu bukan jatuh cinta, aku tidak tahu apa.”
Alya membuka mulutnya untuk membantah, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Apakah ini benar-benar perasaan itu?
Tidak, ini bukan cinta pada pandangan pertama seperti di film-film. Ini sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks. Ini seperti…
**Takdir.**
Alya menghela napas. “Aku tidak tahu, Rina. Aku hanya merasa ada sesuatu yang harus aku cari tahu.”
Rina mengangkat bahu. “Baiklah, baiklah. Aku tetap menemanimu, kok. Ayo, kita pergi sekarang.”
***
Saat mereka sampai di depan galeri, tempat itu masih tampak sepi seperti kemarin. Namun, kali ini, pintu sampingnya terbuka sedikit.
Alya dan Rina saling pandang.
“Apa kita masuk?” bisik Rina.
Alya ragu sesaat, tapi kemudian mendorong pintu pelan.
Mereka masuk ke dalam.
Ruangan itu remang-remang, dengan sedikit cahaya yang masuk melalui jendela. Lukisan-lukisan masih tergantung di dinding, menciptakan suasana misterius.
Alya melangkah lebih dalam, matanya langsung mencari lukisan taman misterius itu.
Dan di sanalah ia menemukannya.
Lukisan itu masih ada di tempat yang sama, tetapi kali ini ada seseorang berdiri di depannya.
**Arka.**
Jantung Alya seolah berhenti berdetak.
Pria itu berdiri di sana dengan ekspresi serius, menatap lukisan itu seolah sedang mencoba mengingat sesuatu.
Alya menelan ludah dan mengambil langkah mendekat.
Arka menyadari kehadirannya dan menoleh. Mata mereka bertemu, dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan mengalir di antara mereka.
“Kau lagi,” gumam Arka pelan, suaranya terdengar seperti keheranan.
Alya mengangguk, masih berusaha menemukan kata-kata yang tepat.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya akhirnya.
Arka menatapnya beberapa saat sebelum menjawab, “Aku juga bisa menanyakan hal yang sama padamu.”
Alya menggigit bibirnya. “Aku… aku merasa lukisan ini penting.”
Arka mengangguk pelan. “Aku juga.”
Suasana menjadi hening. Hanya suara napas mereka yang terdengar.
Alya memberanikan diri untuk bertanya, “Apa kau merasa… tempat ini familiar?”
Arka menatap lukisan itu kembali, matanya tampak jauh. “Ya,” jawabnya singkat.
Alya menahan napas. “Apa kau… sering bermimpi tentangnya?”
Arka menoleh cepat ke arahnya. “Apa maksudmu?”
Alya ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku sering bermimpi tentang tempat ini. Tentang seorang pria yang mirip denganmu… dan tentang seorang gadis.”
Arka tampak terkejut. “Kau juga?”
Dada Alya berdebar kencang. “Maksudmu… kau juga mengalami hal yang sama?”
Arka mengangguk perlahan. “Aku sering bermimpi berada di tempat ini, bersama seorang wanita. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku tahu… aku mencintainya.”
Alya merasa seluruh tubuhnya merinding.
Ini bukan kebetulan.
Sesuatu sedang terjadi di sini, sesuatu yang jauh lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.
Rina yang sedari tadi diam akhirnya berdeham. “Oke, ini mulai terasa seperti cerita reinkarnasi di film-film.”
Alya dan Arka masih saling menatap, mencoba mencari jawaban dalam diri masing-masing.
Alya mengambil napas dalam-dalam.
“Aku ingin mencari tahu lebih jauh,” katanya. “Dan aku rasa, kau juga ingin.”
Arka tidak langsung menjawab. Ia menatap Alya dalam-dalam, seolah mempertimbangkan sesuatu.
Lalu, akhirnya, ia berkata dengan suara mantap,
“Ayo kita cari tahu bersama.”
Dan dengan itu, roda takdir mulai bergerak.*
Bab 5: Jejak yang Tertinggal
Alya dan Arka sama-sama menyadari bahwa ini bukan sekadar kebetulan.
Mimpi yang sama. Tempat yang terasa familiar. Dan perasaan aneh yang terus mengikat mereka sejak pertama kali bertemu.
Takdir sedang mempermainkan mereka, atau mungkin justru sedang mengarahkan mereka menuju sesuatu yang telah lama terlupakan. Sesuatu yang harus ditemukan kembali.
Alya menatap Arka dengan tekad. “Aku ingin tahu lebih banyak. Aku ingin tahu kenapa kita mengalami semua ini.”
Arka mengangguk, matanya menyimpan sorot yang sama. “Aku juga. Aku merasa… ada sesuatu yang penting yang harus kita ingat.”
Rina, yang sejak tadi hanya menjadi penonton, menyilangkan tangan dan menghela napas. “Baiklah, aku tidak tahu apakah kalian berdua ini sedang terjebak dalam takdir atau hanya kebanyakan nonton drama. Tapi kalau kalian benar-benar ingin mencari tahu, dari mana kita mulai?”
Alya menatap lukisan di hadapannya. Taman itu…
“Aku merasa tempat ini nyata,” katanya pelan. “Bukan hanya dalam mimpi. Tapi aku tidak tahu di mana.”
Arka juga menatap lukisan itu dengan ekspresi berpikir. “Aku juga merasa begitu. Aku tidak pernah melihat tempat ini sebelumnya, tapi… aku tahu aku pernah berada di sana.”
Alya lalu mengingat sesuatu.
“Ada legenda tentang pasangan yang tidak bisa bersama dan terus bereinkarnasi,” katanya. “Aku membacanya kemarin malam. Nama mereka… Alya dan Rakha.”
Mata Arka melebar sedikit.
“Alya dan Rakha?” ulangnya pelan.
Rina mengangkat alisnya. “Oke, ini mulai terdengar semakin menyeramkan. Kau yakin bukan hanya kebetulan namamu Alya?”
Alya menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang legenda itu.”
Arka menatap Alya beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Aku punya kenalan yang bisa membantu.”
Alya dan Rina menoleh padanya.
“Siapa?” tanya Alya.
“Seorang profesor sejarah. Dia banyak meneliti mitos-mitos lama dan cerita rakyat yang hampir terlupakan. Mungkin dia tahu sesuatu tentang legenda itu.”
Alya langsung mengangguk. “Kalau begitu, ayo kita temui dia.”
***
Mereka bertiga pergi ke sebuah universitas tempat Profesor Bram mengajar.
Arka tampak akrab dengan suasana kampus, yang membuat Alya bertanya-tanya apakah dia dulu mahasiswa di sini. Namun, ia tidak ingin bertanya terlalu banyak. Yang penting sekarang adalah mencari tahu kebenaran.
Setelah bertanya kepada beberapa mahasiswa, mereka akhirnya menemukan ruang kerja Profesor Bram.
Seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih duduk di balik meja kayu yang penuh dengan buku-buku tebal. Ia menatap Arka dengan senyum ramah.
“Arka, sudah lama kau tidak ke sini,” katanya.
Arka membalas senyum itu. “Iya, Profesor. Kali ini aku datang dengan sesuatu yang berbeda.”
Profesor Bram melirik Alya dan Rina sebelum kembali menatap Arka. “Apa yang bisa kubantu?”
Arka menatap Alya, memberi isyarat agar ia yang berbicara.
Alya menarik napas dalam. “Profesor, apakah Anda pernah mendengar tentang legenda Alya dan Rakha?”
Profesor Bram mengangkat alisnya, lalu tersenyum kecil. “Tentu saja. Legenda itu cukup terkenal, meskipun tidak banyak yang tahu detailnya. Kenapa kau tertarik dengan cerita itu?”
Alya bertukar pandang dengan Arka, lalu menjawab, “Kami merasa… legenda itu ada hubungannya dengan kami.”
Profesor Bram menatap mereka dengan penuh minat. “Menarik. Ceritakan lebih lanjut.”
Alya dan Arka pun mulai menceritakan tentang mimpi-mimpi mereka, tentang perasaan aneh saat melihat lukisan taman misterius, dan tentang bagaimana mereka merasa bahwa semua ini lebih dari sekadar kebetulan.
Profesor Bram mendengarkan dengan seksama.
Setelah mereka selesai, ia menghela napas pelan. “Legenda ini memang berkisah tentang dua kekasih yang selalu dipisahkan oleh takdir. Konon, mereka berasal dari zaman kerajaan kuno. Alya adalah seorang putri, dan Rakha adalah seorang kesatria. Mereka saling mencintai, tetapi hubungan mereka dilarang karena perbedaan status.”
Alya merasakan sesuatu bergetar dalam dirinya saat mendengar kata-kata itu.
Profesor Bram melanjutkan, “Dalam versi yang paling dikenal, Rakha dihukum mati karena ketahuan berusaha melarikan diri bersama sang putri. Alya, yang tidak bisa hidup tanpa Rakha, akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri. Namun, sebelum mereka meninggal, mereka bersumpah bahwa cinta mereka akan terus berlanjut di kehidupan berikutnya—meskipun mereka harus terus mencari satu sama lain.”
Alya merasa bulu kuduknya meremang.
“Dan kau bilang mereka bereinkarnasi?” tanya Arka pelan.
Profesor Bram mengangguk. “Ya. Konon, setiap beberapa abad, mereka akan dilahirkan kembali dan dipertemukan kembali. Namun, takdir selalu menghalangi mereka untuk bersatu. Entah salah satu dari mereka meninggal sebelum waktunya, atau ada sesuatu yang membuat mereka terpisah.”
Suasana ruangan menjadi hening.
Alya menelan ludah. “Lalu… apakah ada cara agar mereka bisa bersama?”
Profesor Bram menghela napas. “Tidak ada catatan pasti tentang itu. Tapi ada beberapa mitos yang mengatakan bahwa jika mereka bisa mengingat kehidupan mereka yang dulu dengan jelas, dan menemukan tempat di mana mereka pertama kali bersumpah setia, mungkin… mereka bisa mengubah takdir mereka.”
Alya dan Arka saling berpandangan.
Mereka harus menemukan tempat itu.
Tapi di mana?
“Profesor,” kata Arka, “apa Anda tahu di mana tempat yang dimaksud?”
Profesor Bram berpikir sejenak sebelum menjawab, “Tidak ada yang tahu pasti. Tapi dari beberapa catatan sejarah, ada sebuah tempat yang sering disebut dalam cerita ini—sebuah taman tua yang berada di dekat reruntuhan sebuah kerajaan lama.”
Alya merasakan sesuatu dalam dirinya seakan tersentak.
“Taman…” gumamnya. “Seperti dalam lukisan itu?”
Arka tampak berpikir keras. “Di mana lokasi kerajaan itu?”
Profesor Bram membuka sebuah buku tua dan menunjuk sebuah halaman.
“Menurut penelitian, kemungkinan besar kerajaan itu berada di dekat daerah pegunungan di sisi timur kota ini. Sekarang hanya ada reruntuhan yang tersisa, dan tidak banyak orang yang tahu tentang tempat itu.”
Alya menggenggam tangannya erat.
“Aku ingin pergi ke sana.”
Arka menatapnya dan mengangguk. “Aku juga.”
Profesor Bram tersenyum tipis. “Kalian berdua benar-benar yakin dengan semua ini, ya?”
Alya menatapnya dengan mantap. “Ya. Aku harus tahu kebenarannya.”
Profesor Bram menghela napas. “Baiklah. Tapi berhati-hatilah. Jika legenda itu benar, maka bukan hanya cinta yang berulang—tetapi juga tragedinya.”
Alya dan Arka merasakan sesuatu yang dingin menjalar di tulang mereka.
Tapi mereka sudah membuat keputusan.
Mereka harus pergi ke tempat itu.
Mereka harus menemukan jawaban.
Sebelum takdir kembali memisahkan mereka.*
Bab 6: Perjalanan ke Reruntuhan
Alya berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya dengan tatapan kosong.
Hari ini, ia akan pergi ke tempat yang mungkin menyimpan jawaban atas semua pertanyaannya. Sejak pertemuannya dengan Profesor Bram, pikirannya tak henti-hentinya dipenuhi oleh legenda Alya dan Rakha.
Apakah dia benar-benar reinkarnasi dari sosok Alya dalam legenda itu?
Dan jika iya… apakah itu berarti Arka adalah Rakha?
Gemetar kecil menjalari tangannya saat ia meraih jaket yang tergantung di kursi. Ia tidak tahu apakah ini semua hanya kebetulan, atau memang ada kekuatan tak terlihat yang sedang mempermainkan mereka.
Satu hal yang pasti—ia harus mencari tahu.
***
Alya, Arka, dan Rina berkumpul di tempat yang telah mereka sepakati.
Pagi itu, cuaca sedikit mendung. Seolah-olah langit pun ikut menyimpan rahasia yang belum terungkap.
“Apa kita sudah siap?” tanya Arka sambil mengecek peta di ponselnya.
Alya mengangguk. “Ya. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”
Rina, yang berdiri dengan tangan bersedekap, mendesah panjang. “Aku masih merasa ini gila. Tapi kalau aku tidak ikut, siapa yang akan memastikan kalian tidak tersesat atau terjebak di tempat antah berantah?”
Alya tersenyum tipis. “Terima kasih, Rina.”
Rina hanya mengangkat bahunya. “Jangan membuatku menyesali keputusan ini.”
Mereka pun berangkat menggunakan mobil Arka.
Perjalanan menuju lokasi yang disebutkan Profesor Bram memakan waktu sekitar tiga jam. Sepanjang perjalanan, Alya tidak bisa berhenti berpikir.
Ia mengingat kembali mimpi-mimpinya.
Mimpi di mana ia berlari di antara pepohonan, mencari seseorang.
Mimpi di mana suara laki-laki memanggil namanya dengan penuh keputusasaan.
Dan mimpi di mana ia merasakan dinginnya tanah di bawah tubuhnya, sebelum semuanya berubah menjadi gelap.
Dia merinding.
Apakah semua itu bukan sekadar mimpi, melainkan memori dari kehidupan yang lalu?
Arka yang sedang menyetir sesekali melirik Alya. “Kau baik-baik saja?”
Alya mengangguk cepat. “Hanya sedikit gugup.”
Arka tersenyum samar. “Aku juga.”
Rina, yang duduk di kursi belakang, menyandarkan kepalanya ke jendela. “Aku harap tempat ini benar-benar ada. Akan sangat menyebalkan kalau kita sudah jauh-jauh ke sana hanya untuk menemukan lahan kosong.”
Alya menggigit bibirnya. “Aku yakin tempat itu nyata.”
Dan entah kenapa, ia benar-benar yakin.
***
Setelah tiga jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di sebuah desa kecil yang berada di kaki pegunungan.
Jalanan mulai berbatu, dan mobil Arka tidak bisa melanjutkan perjalanan lebih jauh.
“Kita harus jalan kaki dari sini,” kata Arka setelah melihat peta.
Rina mendesah. “Kenapa aku sudah menduga ini?”
Alya menghirup udara dalam-dalam. “Ayo, kita lanjut.”
Mereka mulai berjalan menembus jalur setapak yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi. Udara di tempat ini lebih sejuk, dan aroma tanah basah terasa menusuk hidung mereka.
Semakin jauh mereka berjalan, semakin sunyi suasananya.
Hanya suara angin yang berdesir di antara dedaunan.
Alya merasa jantungnya berdebar semakin cepat.
Dia tidak tahu apakah itu karena rasa takut atau justru karena sesuatu dalam dirinya tahu bahwa mereka semakin dekat.
Setelah hampir satu jam berjalan, mereka akhirnya melihat sesuatu di kejauhan.
Sebuah bangunan tua yang sebagian besar sudah runtuh.
Alya menahan napas.
Reruntuhan itu… terasa familiar.
Arka melangkah lebih dulu, mendekati bangunan itu dengan hati-hati.
“Ini pasti tempatnya,” gumamnya.
Rina menyipitkan mata. “Tapi ini hanya reruntuhan biasa.”
Alya tidak menjawab.
Langkahnya terasa berat saat ia berjalan lebih dekat.
Dan tiba-tiba, sesuatu menghantam kepalanya—sebuah kilasan ingatan yang tidak seharusnya ia miliki.
**Dia berdiri di tempat ini.**
**Di tempat yang sama.**
**Mengenakan gaun putih panjang, dengan rambut tergerai.**
**Ia sedang menunggu seseorang.**
**Seseorang yang ia cintai.**
Alya terhuyung mundur, tubuhnya melemas.
Arka dengan sigap menangkapnya. “Alya! Kau baik-baik saja?”
Alya memejamkan matanya, mencoba mengendalikan napasnya. “Aku… aku ingat sesuatu…”
Arka menatapnya dengan cemas. “Apa yang kau ingat?”
Alya menatapnya dengan mata berkabut. “Aku pernah berada di sini sebelumnya.”
Rina menelan ludah. “Maksudmu… dalam kehidupanmu yang dulu?”
Alya mengangguk.
Dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
Tapi dia tahu dengan pasti—dia pernah berada di sini.
Dan dia tahu ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.
***
Mereka bertiga mulai menjelajahi reruntuhan itu dengan lebih teliti.
Beberapa bagian bangunan masih berdiri, meskipun sudah dipenuhi lumut dan tanaman liar.
Alya mengikuti instingnya, membiarkan kakinya membawa dirinya ke sebuah sudut bangunan yang tampak lebih tersembunyi.
Dan di sanalah dia menemukannya.
Sebuah batu besar yang separuhnya tertutup tanah dan akar-akar pohon.
Di permukaan batu itu, ada pahatan tulisan dalam bahasa kuno yang hampir tidak bisa dibaca.
Arka dan Rina segera menghampirinya.
“Apa ini?” tanya Rina sambil menyentuh batu itu.
Arka mengernyit. “Sepertinya sebuah prasasti.”
Alya berlutut dan menyentuh pahatan itu dengan jemarinya.
Saat itu juga, kepalanya kembali dihantam oleh kilasan ingatan lain.
**Ia berdiri di depan batu itu, bersama seorang pria.**
**Pria itu menggenggam tangannya erat.**
**”Kita akan bersama lagi, Alya. Di kehidupan yang akan datang.”**
**Ia menatap pria itu dengan air mata menggenang di matanya. “Kau janji?”**
**”Aku bersumpah.”**
Alya terkejut hingga terdorong ke belakang, terengah-engah.
Arka langsung mendekat. “Alya! Apa yang kau lihat?”
Alya menatapnya dengan napas tersengal. “Aku… aku melihat mereka. Alya dan Rakha. Mereka berdiri di sini… mereka mengucapkan sumpah di depan batu ini.”
Arka menatap prasasti itu dengan mata berkabut.
Perlahan, ia menyentuh permukaannya.
Dan saat itu juga, ekspresi wajahnya berubah.
Seolah-olah ia juga merasakan sesuatu.
Seolah-olah ingatan itu juga mulai kembali kepadanya.
Alya menahan napas.
“Arka…” bisiknya. “Kau ingat sesuatu juga, bukan?”
Arka mengangkat kepalanya perlahan, menatap Alya dengan tatapan yang penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
“Alya… aku… aku pernah mengucapkan sumpah itu.”
Saat itu juga, angin bertiup lebih kencang, seakan memberikan jawaban.
Mereka telah menemukan jejak yang tertinggal.
Tapi pertanyaannya sekarang adalah—apa yang akan terjadi selanjutnya?*
Bab 7: Bayangan Masa Lalu
Alya masih menatap Arka dengan napas memburu.
“Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Arka mengerjap, seolah baru menyadari apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Ia menatap prasasti yang ada di hadapannya, lalu kembali menatap Alya.
“Aku tidak tahu,” katanya pelan. “Tapi saat aku menyentuh batu ini, aku merasakan sesuatu. Seperti… sebuah ingatan yang bukan milikku. Aku melihatmu—atau seseorang yang mirip denganmu. Dan aku… aku berjanji padanya.”
Alya merasa jantungnya berdebar kencang.
Itu bukan hanya perasaannya saja.
Arka juga mengingatnya.
Rina, yang sejak tadi berdiri di samping mereka dengan ekspresi bingung, akhirnya berdeham.
“Oke, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini, tapi kalian berdua terdengar seperti dua orang yang baru saja membuka pintu ke kehidupan sebelumnya,” katanya sambil menyilangkan tangan. “Jadi, apa selanjutnya?”
Alya tidak menjawab.
Ia masih mencoba memahami semuanya.
Sebuah sumpah di kehidupan masa lalu…
Cinta yang selalu dipisahkan oleh takdir…
Dan sekarang, ia dan Arka dipertemukan kembali.
Apa artinya ini? Apakah mereka akhirnya diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya?
Atau… apakah mereka hanya mengulangi takdir yang sama?
***
Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk menggali lebih dalam mengenai prasasti yang baru saja mereka temukan.
Arka mengambil ponselnya dan mulai mencari informasi tentang bahasa kuno yang terukir di batu tersebut. Namun, seperti yang sudah diduga, tidak ada hasil yang jelas.
“Aku pikir kita butuh bantuan seseorang yang lebih ahli dalam hal ini,” katanya sambil menghela napas.
Alya mengangguk. “Profesor Bram mungkin bisa menerjemahkannya.”
“Tapi kita harus mengambil gambarnya dengan jelas,” tambah Rina. “Kalau perlu, kita catat semua detailnya.”
Mereka mulai mengambil foto prasasti itu dari berbagai sudut. Alya juga mencatat pola dan bentuk ukiran yang tampak lebih mencolok daripada bagian lainnya.
Namun, saat ia menyentuh sebuah bagian yang tampak lebih dalam dari ukiran lainnya, sesuatu terjadi.
Seketika, udara di sekitar mereka terasa lebih dingin.
Angin berhembus kencang, membuat dedaunan berbisik seperti suara-suara yang samar.
Alya merasa kepalanya kembali dipenuhi oleh kilasan ingatan.
**Ia melihat dirinya sendiri, mengenakan gaun putih yang indah, berdiri di tempat yang sama.**
**Di hadapannya, seorang pria dengan baju zirah berdiri dengan ekspresi penuh kesedihan.**
**”Mereka akan memisahkan kita,” kata pria itu. “Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”**
**”Rakha…” suara Alya dalam ingatan itu bergetar. “Apa yang akan kita lakukan?”**
**”Aku akan kembali untukmu,” kata pria itu. “Tidak peduli berapa lama. Aku akan menemukanmu.”**
Alya tersentak kembali ke realitas.
Ia terengah-engah, tangannya masih menyentuh prasasti.
Arka buru-buru menangkapnya sebelum ia terjatuh.
“Alya! Kau melihat sesuatu lagi?” tanyanya cemas.
Alya menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Aku melihat mereka… kita,” katanya pelan. “Rakha berjanji akan kembali untukku.”
Arka terdiam.
Dan saat itu juga, Alya melihat sesuatu di wajahnya—sebuah ekspresi yang menunjukkan bahwa Arka juga mengalami hal yang sama.
“Kau juga melihatnya, bukan?” bisik Alya.
Arka mengangguk perlahan.
“Aku… aku mengingatnya sekarang,” katanya pelan. “Aku berjanji padamu, Alya. Aku bersumpah akan kembali untukmu, apa pun yang terjadi.”
Suasana menjadi hening.
Rina menatap mereka berdua dengan ekspresi campuran antara takjub dan ngeri.
“Aku tidak percaya aku baru saja menyaksikan dua orang mendapatkan kembali ingatan dari kehidupan mereka yang sebelumnya,” katanya sambil mengusap wajahnya. “Ini terlalu aneh, bahkan untukku.”
Alya tidak tahu harus berkata apa.
Semuanya mulai masuk akal sekarang.
Mereka bukan hanya sekadar kebetulan bertemu.
Ini adalah takdir yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Tapi pertanyaannya sekarang adalah—bagaimana takdir ini akan berakhir?
***
Setelah mengambil semua informasi yang mereka butuhkan, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali.
Langit mulai semakin gelap, dan mereka tidak ingin mengambil risiko berada di tempat ini saat malam tiba.
Namun, saat mereka berjalan kembali ke desa, Alya merasakan sesuatu yang aneh.
Seolah-olah ada seseorang yang mengawasi mereka.
Ia menoleh ke belakang, melihat ke arah reruntuhan.
Tidak ada siapa-siapa.
Tapi perasaan itu tidak hilang.
Dan entah kenapa, ia merasa bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.
Bukan perjalanan untuk menemukan masa lalu mereka.
Tapi perjalanan untuk mengubah takdir mereka.
Sebelum semuanya berakhir seperti dulu.*
Bab 8: Bayang-Bayang Takdir
Malam itu, setelah kembali dari perjalanan panjang ke reruntuhan, Alya tidak bisa tidur.
Pikirannya masih dipenuhi dengan gambaran yang muncul saat ia menyentuh prasasti di reruntuhan. Kilasan-kilasan ingatan yang bukan berasal dari kehidupannya sekarang, melainkan dari masa lalu yang sudah lama terkubur.
Rakha…
Nama itu masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Jika semua ini benar, jika mereka benar-benar adalah reinkarnasi dari Alya dan Rakha, lalu apa artinya? Apakah takdir masih akan membawa mereka menuju akhir yang sama?
Atau mereka bisa mengubahnya?
Ia menarik napas panjang, menatap bulan yang menggantung di langit malam dari jendela kamarnya. Hatinya berdebar keras saat ia mengingat tatapan Arka tadi siang, tatapan yang menunjukkan bahwa ia juga merasakan hal yang sama.
Alya meraih ponselnya.
**Alya:** Kau masih terjaga?
Tidak butuh waktu lama sebelum Arka membalas.
**Arka:** Iya. Aku tidak bisa tidur.
Alya menggigit bibirnya sebelum mengetik pesan lain.
**Alya:** Aku juga. Aku tidak bisa berhenti memikirkan semua ini.
**Arka:** Aku juga merasa begitu. Seolah-olah ada sesuatu yang belum selesai.
Alya menelan ludah.
**Alya:** Kita harus mencari tahu lebih banyak. Aku merasa ada sesuatu yang masih tersembunyi.
Arka tidak langsung membalas. Tapi beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar.
**Arka:** Aku setuju. Kita harus mencari tahu bagaimana cerita ini berakhir di masa lalu.
Alya menatap layar ponselnya lama sebelum akhirnya mengetik balasan.
**Alya:** Lalu bagaimana jika kita tidak bisa mengubahnya? Bagaimana jika kita memang ditakdirkan untuk berakhir sama seperti mereka?
Balasan Arka datang lebih cepat kali ini.
**Arka:** Maka aku akan menemukan cara untuk mengubahnya. Aku tidak akan membiarkan takdir yang sama terulang.
Jantung Alya berdegup lebih cepat saat membaca kata-kata itu.
Entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang percaya pada Arka.
Mereka bisa mengubah takdir ini.
Mereka *harus* mengubahnya.
***
Keesokan paginya, Alya dan Arka kembali menemui Profesor Bram dengan membawa semua temuan mereka.
Profesor tua itu mendengarkan dengan seksama saat mereka menjelaskan tentang prasasti yang mereka temukan, tentang kilasan ingatan yang mereka alami, dan tentang perasaan aneh yang terus menghubungkan mereka.
Setelah mendengar semuanya, Profesor Bram menghela napas panjang.
“Kalau benar seperti yang kalian katakan, maka kalian sudah jauh lebih dalam dari yang aku kira,” katanya.
Alya dan Arka saling berpandangan.
“Apa maksud Anda, Profesor?” tanya Arka.
Profesor Bram menatap mereka dengan penuh pertimbangan sebelum akhirnya membuka sebuah buku tua yang ada di mejanya.
“Ada sesuatu yang belum kuceritakan kepada kalian,” katanya sambil membalik halaman demi halaman. “Legenda Alya dan Rakha tidak hanya sekadar kisah cinta yang tragis. Ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Alya menahan napas.
Profesor Bram menunjuk sebuah bagian dalam buku itu. Sebuah gambar tua yang tampak seperti dua orang yang berdiri di depan sebuah batu besar—mirip seperti prasasti yang mereka temukan.
Di bawahnya, ada sebuah tulisan kuno.
“Apa arti tulisan ini, Profesor?” tanya Alya.
Profesor Bram menatap mereka dengan ekspresi serius.
“Ini adalah sumpah yang Alya dan Rakha ucapkan sebelum mereka berpisah,” katanya pelan. “Sumpah yang mengikat mereka dalam lingkaran reinkarnasi yang terus berulang.”
Alya membelalakkan mata.
“Lingkaran reinkarnasi?”
Profesor Bram mengangguk.
“Sumpah ini bukan hanya janji cinta biasa,” katanya. “Ini adalah ikatan spiritual yang sangat kuat. Mereka bersumpah bahwa mereka akan selalu kembali untuk satu sama lain, tidak peduli berapa kali mereka dilahirkan kembali. Tapi yang tidak mereka sadari adalah… sumpah ini juga membawa kutukan.”
Alya merasakan bulu kuduknya berdiri.
“Kutukan?” bisiknya.
Profesor Bram mengangguk.
“Mereka tidak hanya bereinkarnasi untuk bertemu kembali,” katanya. “Tetapi juga untuk mengulangi takdir mereka—berulang kali.”
Suasana ruangan menjadi sunyi.
Alya merasa tubuhnya menegang.
“Jadi… selama ini mereka tidak hanya jatuh cinta lagi dan lagi,” katanya pelan. “Mereka juga harus mengalami tragedi yang sama berulang kali?”
Profesor Bram mengangguk.
“Itulah yang membuat legenda ini begitu menyedihkan,” katanya. “Mereka tidak pernah bisa menghindari akhir yang sama.”
Alya menelan ludah, lalu menatap Arka.
Arka juga tampak tegang, tangannya mengepal di atas meja.
“Kalau begitu…” suara Arka terdengar berat. “Apakah ada cara untuk menghentikan lingkaran ini?”
Profesor Bram terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab.
“Ada satu teori,” katanya. “Satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan ini adalah dengan melakukan sesuatu yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.”
Alya mengernyit. “Maksud Anda?”
Profesor Bram menatap mereka dalam-dalam.
“Mereka harus memilih jalan yang berbeda. Jika dalam setiap kehidupan mereka selalu berusaha bersama meskipun takdir memisahkan mereka… maka mungkin, dalam kehidupan ini, mereka harus membuat keputusan yang berbeda.”
Alya merasa dadanya sesak.
“Keputusan yang berbeda?” ulangnya pelan.
Profesor Bram mengangguk.
“Mungkin… salah satu dari kalian harus melepaskan.”
Alya terdiam.
Arka juga membatu di tempatnya.
Melepaskan?
Setelah selama ini mencari satu sama lain?
Setelah semua yang telah mereka alami?
Tidak.
Itu tidak mungkin.
Tapi di sisi lain, jika mereka terus bersama, apakah mereka akan menghadapi akhir yang sama seperti sebelumnya?
Alya merasa pikirannya berputar.
Tidak.
Harus ada cara lain.
Harus ada jalan lain.
Ia menatap Arka dengan mata berkabut.
“Arka…” bisiknya.
Arka menggeleng. “Jangan katakan apa pun, Alya.”
Nadanya tegas, tapi Alya bisa melihat bahwa Arka juga sedang berjuang.
“Aku tidak akan membiarkan kita terpisah lagi,” kata Arka, suaranya penuh keyakinan. “Aku tidak peduli dengan kutukan atau takdir. Aku akan menemukan cara untuk mengakhiri ini—tanpa harus kehilanganmu.”
Alya menatapnya, air mata mulai menggenang di matanya.
Profesor Bram menghela napas. “Aku harap kalian benar.”
Alya menatap tangannya yang gemetar di atas meja.
Ia ingin percaya bahwa mereka bisa mengubah takdir.
Tapi pertanyaannya adalah…
Apakah takdir akan membiarkan mereka?*
Bab 9: Takdir yang Mengintai
Sejak pertemuan dengan Profesor Bram, Alya tidak bisa berhenti memikirkan kata-katanya.
*”Mungkin… salah satu dari kalian harus melepaskan.”*
Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, seperti bisikan halus yang terus-menerus menyesakkan dadanya.
Melepaskan?
Bagaimana mungkin ia bisa melakukan itu?
Setiap sel dalam tubuhnya menolak gagasan tersebut. Ia tidak peduli dengan kutukan atau lingkaran reinkarnasi yang terus berulang. Ia dan Arka telah dipertemukan kembali di kehidupan ini, dan ia tidak akan menyerah begitu saja.
Namun, semakin keras ia mencoba mengabaikan perasaan itu, semakin kuat suara kecil dalam dirinya yang bertanya:
*”Bagaimana jika ini memang satu-satunya cara?”*
***
Hari itu, Arka mengajaknya bertemu di taman kota.
Alya duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang, menunggu Arka yang belum juga datang. Udara sore terasa lembut, angin berhembus pelan menerpa wajahnya, tapi entah mengapa ada sesuatu yang membuatnya gelisah.
Perasaannya semakin tidak enak ketika ia melihat bayangan seseorang berdiri di kejauhan.
Alya menoleh cepat.
Namun, tidak ada siapa-siapa.
Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri.
Mungkin ia hanya terlalu lelah. Terlalu banyak hal yang terjadi dalam waktu singkat, terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Lalu tiba-tiba, seseorang menyentuh bahunya.
Alya tersentak.
Namun, saat ia menoleh, ia melihat Arka berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.
“Hei,” katanya pelan.
Alya menghela napas lega. “Kau membuatku kaget.”
Arka tersenyum kecil sebelum duduk di sampingnya. “Kau terlihat gelisah.”
Alya menatap lurus ke depan. “Aku hanya… terlalu banyak berpikir.”
Arka mengangguk pelan. Ia juga pasti merasakan beban yang sama.
Mereka terdiam beberapa saat, menikmati angin sore yang berhembus di antara pepohonan.
Lalu akhirnya, Arka berbicara.
“Alya,” katanya pelan, “apa kau percaya bahwa kita bisa mengubah takdir kita?”
Alya menatapnya.
Di matanya, ia melihat seseorang yang sama bingungnya dengan dirinya.
Seseorang yang juga takut kehilangan.
“Aku ingin percaya,” katanya jujur.
Arka menatap ke langit. “Aku juga.”
Alya menggigit bibirnya, lalu berkata dengan hati-hati, “Tapi… bagaimana jika kita benar-benar harus memilih jalan yang berbeda kali ini?”
Arka menoleh cepat.
“Kau tidak percaya dengan kata-kata Profesor Bram, kan?” katanya, suaranya terdengar sedikit tajam.
Alya menunduk. “Bukan begitu… aku hanya… aku takut, Arka. Bagaimana jika kita tetap bersama, tapi tetap berakhir seperti yang dulu?”
Arka meraih tangannya, menggenggamnya erat.
“Aku tidak peduli,” katanya dengan penuh keyakinan. “Aku tidak peduli berapa kali aku harus lahir kembali, berapa kali aku harus mencari dan menemukanmu lagi. Yang aku tahu, aku tidak akan pernah menyerah pada kita.”
Alya menatapnya, dan saat itu juga ia tahu—Arka tidak akan mundur.
Dia akan berjuang, tidak peduli apa pun yang menghadang mereka.
Tapi… apakah itu cukup?
***
Saat mereka berjalan keluar dari taman, langit mulai berubah menjadi oranye keemasan.
Alya merasa sedikit lebih tenang.
Namun, saat mereka hendak berpisah, ia kembali merasakan sesuatu yang aneh.
Seolah-olah ada seseorang yang mengawasi mereka.
Perasaan itu begitu kuat hingga membuatnya menoleh ke belakang.
Dan di sanalah dia melihatnya.
Sosok seorang pria, berdiri di kejauhan, menatap mereka dengan mata tajam yang terasa begitu familiar.
Alya merasakan darahnya berdesir.
Arka mengikuti tatapannya.
“Siapa itu?” bisiknya.
Alya menggeleng. “Aku tidak tahu…”
Namun sebelum mereka bisa berbuat apa-apa, pria itu berbalik dan menghilang di antara kerumunan orang.
Arka mengepalkan tangannya. “Aku tidak suka ini. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres.”
Alya mengangguk pelan.
Perasaan itu—perasaan bahwa mereka sedang diawasi—terasa semakin kuat sejak mereka menemukan prasasti itu.
Siapa pria itu?
Dan yang lebih penting… apa hubungannya dengan mereka?
***
Malam itu, Alya mencoba mencari jawaban.
Ia duduk di meja belajarnya, menatap foto-foto prasasti yang mereka ambil di reruntuhan. Ia mencoba mencari pola, mencoba membaca sesuatu yang mungkin terlewatkan.
Lalu, ia menemukan sesuatu.
Ada satu bagian prasasti yang hampir tidak terlihat dalam cahaya yang mereka ambil.
Sebuah simbol kecil, terukir di sudut batu.
Alya memperbesar gambarnya dan mengernyit.
Itu… bukan hanya sekadar ukiran biasa.
Itu adalah tanda yang sama yang ada di buku Profesor Bram.
Jantungnya berdebar.
Simbol itu…
Apakah itu terkait dengan kutukan yang disebut Profesor Bram?
Atau… apakah itu petunjuk bagaimana cara mengakhirinya?
Alya segera mengambil ponselnya dan menghubungi Arka.
Arka mengangkat dalam satu dering.
“Alya?”
“Aku menemukan sesuatu,” katanya, suaranya sedikit gemetar. “Kita harus menemui Profesor Bram lagi besok.”
Arka terdiam beberapa saat sebelum menjawab, “Baik. Aku akan menjemputmu pagi-pagi.”
Alya menutup telepon dan menatap layar ponselnya.
Dadanya terasa sesak.
Ia tidak tahu apa yang akan mereka temukan besok.
Tapi satu hal yang pasti—
Mereka semakin dekat dengan kebenaran.
Dan ia tidak tahu apakah ia siap menghadapinya.*
Bab 10: Pertemuan dengan Takdir
Pagi itu, langit tampak mendung, seolah alam pun tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi.
Alya berdiri di depan rumahnya, menunggu Arka menjemputnya seperti yang telah mereka rencanakan semalam. Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh gambaran-gambaran yang ia lihat dalam tidurnya.
Mimpi itu terasa begitu nyata.
Ia kembali melihat dirinya sebagai Alya di masa lalu—berdiri di tepi jurang, tangannya berpegangan erat pada tangan Rakha yang terluka.
*”Aku tidak bisa kehilanganmu,”* katanya dalam mimpi itu, air matanya mengalir deras.
Rakha, dengan mata penuh kepedihan, tersenyum lemah.
*”Kita akan bertemu lagi… di kehidupan lain.”*
Dan kemudian, ia melepaskan tangannya.
Alya terbangun dengan jantung berdegup kencang, keringat dingin membasahi dahinya.
Mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Itu adalah potongan dari masa lalu mereka yang semakin jelas.
Apakah ini yang terjadi pada mereka dulu?
Apakah Rakha sengaja memilih untuk melepaskannya… agar mereka bisa bertemu kembali?
Sebelum Alya bisa merenungkan lebih jauh, suara klakson mobil terdengar.
Arka telah tiba.
***
Mereka tiba di rumah Profesor Bram setengah jam kemudian. Rumah tua itu terasa lebih sepi dari biasanya, seolah suasana tegang yang mereka bawa ikut meresap ke dalam dinding-dindingnya.
Profesor Bram menyambut mereka dengan ekspresi serius, seakan ia tahu bahwa hari ini akan menjadi titik balik dalam perjalanan mereka.
“Kalian menemukan sesuatu?” tanyanya tanpa basa-basi.
Alya mengangguk dan menunjukkan simbol yang ia temukan di prasasti.
Profesor Bram mengambil kacamatanya dan memperhatikan gambar itu dengan saksama.
Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang.
“Aku tahu simbol ini,” katanya pelan. “Ini adalah lambang dari ‘Perjanjian Jiwa’.”
Alya dan Arka saling berpandangan.
“Perjanjian Jiwa?” tanya Arka.
Profesor Bram mengangguk.
“Dalam legenda kuno, ada kepercayaan bahwa dua jiwa yang bersumpah untuk saling mencari akan selalu terikat satu sama lain dalam setiap kehidupan,” jelasnya. “Namun, perjanjian ini bukan tanpa konsekuensi.”
Alya menelan ludah.
“Kutukan itu…” bisiknya.
Profesor Bram mengangguk. “Ya. Kutukan ini bukan sekadar mengikat dua jiwa, tapi juga mengulang takdir mereka tanpa henti. Selama perjanjian ini tetap ada, mereka tidak bisa mengubah nasib mereka.”
Ruangan menjadi sunyi.
Alya merasa tubuhnya gemetar.
Jadi, selama ini, mereka terus dipertemukan hanya untuk mengalami akhir yang sama berulang kali?
“Tapi ada satu cara,” kata Profesor Bram, suaranya penuh kehati-hatian.
Alya menatapnya dengan penuh harap.
“Bagaimana caranya?” tanyanya cepat.
Profesor Bram menatap mereka dengan ekspresi serius.
“Salah satu dari kalian harus membatalkan perjanjian ini,” katanya. “Dan untuk melakukannya… salah satu dari kalian harus memilih untuk tidak mencari yang lain di kehidupan selanjutnya.”
Jantung Alya serasa berhenti berdetak.
Tidak mencari satu sama lain?
Itu berarti…
Mereka harus mengakhiri segalanya.
Selamanya.
***
Alya berjalan keluar rumah Profesor Bram dengan langkah gontai.
Kepalanya penuh dengan kata-kata sang profesor.
Salah satu dari mereka harus melepaskan.
Jika mereka ingin bebas dari kutukan ini, maka mereka harus berjanji untuk tidak lagi mencari satu sama lain di kehidupan mendatang.
Tapi bagaimana mungkin?
Bagaimana ia bisa hidup tanpa Arka?
Arka berjalan di sampingnya dalam diam, ekspresinya tegang.
Saat mereka sampai di taman kota, ia akhirnya menghentikan langkahnya dan menatap Alya.
“Alya,” katanya pelan.
Alya menunduk, air mata mulai menggenang di matanya.
“Aku tidak bisa,” katanya dengan suara bergetar. “Aku tidak bisa melepaskanmu, Arka.”
Arka mengepalkan tangannya. “Aku juga tidak bisa,” katanya. “Aku tidak peduli dengan kutukan atau takdir. Aku hanya ingin bersamamu.”
Alya mengangkat wajahnya, menatap Arka dengan penuh keputusasaan.
“Tapi bagaimana jika kita tetap berakhir seperti dulu?” tanyanya. “Bagaimana jika kita tidak bisa mengubah apa pun?”
Arka menarik napas dalam.
“Lalu kita akan mencoba lagi,” katanya mantap. “Sekali lagi, dan lagi. Aku tidak peduli berapa kali harus mencari dan menemukanmu, Alya.”
Air mata Alya jatuh.
“Tapi bagaimana jika itu berarti kita akan terus menderita?”
Arka terdiam.
Lalu, ia mengulurkan tangannya dan menyentuh wajah Alya dengan lembut.
“Aku lebih memilih menderita bersamamu di setiap kehidupan,” katanya pelan, “daripada hidup dalam kehidupan di mana aku tidak bisa mencintaimu.”
Alya menutup matanya, air matanya semakin deras.
Bagaimana mungkin ia bisa memilih?
Melepaskan Arka berarti membiarkan mereka menjalani kehidupan tanpa satu sama lain.
Tapi tetap bersama berarti mereka mungkin akan menghadapi tragedi yang sama berulang kali.
Takdir telah mengikat mereka begitu kuat.
Tapi kali ini, ia ingin memilih.
Bukan karena sumpah masa lalu.
Bukan karena takdir.
Tapi karena hatinya sendiri.
Alya menghapus air matanya dan menatap Arka dengan penuh tekad.
“Aku tidak akan melepaskanmu,” katanya tegas.
Arka tersenyum, dan untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, ia terlihat lega.
“Kalau begitu,” katanya, menggenggam tangan Alya erat-erat, “mari kita taklukkan takdir bersama.”
Alya mengangguk.
Apapun yang akan terjadi, mereka akan menghadapinya.
Bersama.
***
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa bisikan masa lalu yang perlahan memudar.
Untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun, dua jiwa yang terikat oleh sumpah kuno memilih jalannya sendiri.
Dan mungkin, hanya mungkin…
Takdir pun akhirnya luluh.***
——the end——