Daftar Isi
- Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
- Bab 2: Godaan di Balik Batas
- Bab 3: Jatuh dalam Dosa Perasaan
- Bab 4: Rahasia yang Mulai Terungkap
- Bab 5: Antara Hati dan Kewajiban
- Bab 6: Luka yang Tak Terlekkan
- Bab 7: Menghapus Jejak Kenangan
- Bab 8: Kembali ke Titik Awal
- Bab 9: Cinta yang Tak Bisa Dimiliki
- Bab 10: Luka yang Indah
Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
Langit sore tampak berwarna jingga ketika Ayla keluar dari perpustakaan kampusnya. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang lelah setelah menghabiskan berjam-jam di antara tumpukan buku dan layar laptop. Ia merapikan rambut panjangnya yang sedikit berantakan sebelum memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Hari itu ia memutuskan untuk pulang lebih awal—sesuatu yang jarang ia lakukan.
Ayla menunggu bus di halte yang tidak terlalu ramai. Ia menghela napas lega, menikmati momen tenang sebelum kembali ke rumah. Namun, ketenangannya buyar saat sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Jendela mobil itu perlahan turun, dan seorang pria dengan wajah familiar menatapnya dari balik kemudi.
“Ayla?”
Suara itu terdengar dalam dan hangat, membuat Ayla secara refleks menoleh. Mata cokelat tajam itu mengingatkannya pada seseorang yang sering diceritakan kakaknya, Nadine. Pria itu adalah Reza—tunangan kakaknya yang selama ini hanya ia lihat lewat foto dan mendengar namanya dalam obrolan keluarga.
“Reza?” Ayla bertanya, meski ia sudah yakin dengan jawabannya.
Pria itu tersenyum tipis, menunjukkan lesung pipi yang membuat wajahnya tampak semakin menarik. “Aku tadi lewat dan melihatmu. Mau kuantar pulang?”
Ayla ragu. Ia jarang berbicara dengan pria yang baru dikenalnya, apalagi ini adalah calon suami kakaknya. Namun, mengingat perjalanan pulang dengan bus akan memakan waktu cukup lama, ia akhirnya mengangguk pelan.
“Baiklah, terima kasih.”
Ia masuk ke dalam mobil dengan hati sedikit berdebar. Mobil itu beraroma maskulin dengan sedikit wangi kopi, membuat Ayla merasa nyaman sekaligus canggung.
“Kuliahmu bagaimana?” Reza membuka percakapan.
“Baik, masih sibuk dengan tugas-tugas,” jawab Ayla singkat.
Reza mengangguk. “Nadine sering cerita kalau kamu pintar. Katanya kamu juga aktif di organisasi kampus?”
Ayla tersenyum kecil. “Kak Nadine terlalu melebih-lebihkan. Aku hanya melakukan apa yang aku suka.”
Reza tertawa pelan. “Tidak semua orang bisa membagi waktu dengan baik. Aku salut.”
Ayla terdiam sejenak, tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Perjalanan terasa berjalan lambat, bukan karena kemacetan, melainkan karena ada sesuatu dalam cara Reza berbicara yang membuatnya merasa nyaman, meskipun ia tahu seharusnya tidak begitu.
“Kak Nadine sedang sibuk dengan persiapan pernikahan ya?” Ayla mencoba mengalihkan pikirannya.
Reza menarik napas panjang. “Iya, dia sangat antusias. Aku senang melihatnya bahagia.”
Ayla bisa menangkap sesuatu dalam nada suara Reza. Bukan ketidakbahagiaan, tapi ada ketidakpastian di sana. Namun, ia mengabaikan pikirannya sendiri. Mungkin Reza hanya lelah.
Setelah beberapa menit, mobil mereka berhenti di depan rumah Ayla. Gadis itu segera membuka pintu, tetapi sebelum ia keluar, Reza kembali berbicara.
“Ayla.”
Ia menoleh.
“Senang bisa bertemu denganmu langsung. Aku harap kita bisa lebih akrab.”
Ayla tersenyum, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya.
“Iya, tentu.”
Ia keluar dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah, tanpa menyadari bahwa pertemuan tak terduga itu adalah awal dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.*
Bab 2: Godaan di Balik Batas
Ayla mengira pertemuannya dengan Reza hanyalah kebetulan yang tidak akan berarti apa-apa. Namun, takdir berkata lain. Sejak hari itu, Reza semakin sering muncul dalam hidupnya. Kadang-kadang ia datang bersama Nadine ke rumah untuk membicarakan persiapan pernikahan, terkadang ia hanya mampir untuk sekadar bertemu dengan orang tua Ayla.
Ayla berusaha menjaga jarak. Ia tahu posisinya—hanya adik dari wanita yang akan menjadi istri Reza. Namun, ada sesuatu yang mengusik hatinya setiap kali pria itu berada di dekatnya. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga caranya berbicara, caranya mendengarkan, dan caranya tersenyum dengan tulus.
Hari itu, Ayla sedang duduk di taman belakang rumahnya, membaca sebuah novel sembari menikmati udara sore. Nadine sedang keluar bersama ibu mereka untuk berbelanja keperluan pernikahan, meninggalkan Ayla sendirian di rumah. Ayla hampir tenggelam dalam dunia novelnya ketika suara pintu pagar terbuka.
“Ayla?”
Ia menoleh dan menemukan Reza berdiri di sana, mengenakan kemeja putih yang lengannya sedikit tergulung dan celana jeans hitam. Penampilannya sederhana, tapi tetap terlihat menawan.
“Kak Reza?” Ayla berusaha terdengar biasa saja. “Kak Nadine tidak ada di rumah.”
“Aku tahu,” jawab Reza, berjalan mendekat. “Aku tadi ada urusan di sekitar sini, jadi kupikir mampir sebentar.”
Ayla mengangguk pelan, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan alasan kedatangannya.
“Kamu sedang membaca apa?” tanya Reza seraya duduk di bangku kayu di hadapannya.
Ayla menunjukkan sampul novel yang sedang ia baca. “Novel klasik. Aku suka cerita dengan konflik emosional yang kuat.”
Reza tersenyum. “Aku tidak menyangka kamu tipe yang suka membaca.”
“Aku juga tidak menyangka Kak Reza tipe yang suka mampir tanpa alasan,” balas Ayla, setengah bercanda.
Reza tertawa kecil. “Baiklah, ketahuan. Aku memang tidak punya alasan yang jelas. Aku hanya… ingin berbicara dengan seseorang.”
Ayla mengangkat alis. “Tentang apa?”
Reza menghela napas dan menatap langit sore yang mulai memerah. “Kadang aku berpikir… apakah aku sudah mengambil keputusan yang benar?”
Ayla terdiam. Ia tahu betul apa yang dimaksud Reza.
“Kakak ragu?” tanyanya hati-hati.
“Bukan ragu,” jawab Reza cepat. “Aku mencintai Nadine. Aku hanya… merasa ada sesuatu yang hilang. Pernikahan ini terjadi begitu cepat. Aku belum sempat benar-benar mengenalnya lebih dalam. Kami sibuk, dan entah kenapa aku merasa seperti dua orang asing yang dipaksa untuk bersama.”
Ayla tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak bisa memberikan nasihat, karena ia sendiri tidak pernah berada dalam posisi itu. Yang bisa ia lakukan hanyalah mendengarkan.
“Kak Nadine sangat mencintai Kak Reza,” ucap Ayla akhirnya.
“Aku tahu.” Reza tersenyum kecil, lalu menatap Ayla dalam-dalam. “Dan aku juga ingin mencintainya sepenuhnya.”
Ayla merasa ada sesuatu di balik kata-kata itu. Cara Reza menatapnya terlalu dalam, terlalu lama. Ia segera mengalihkan pandangannya, kembali menatap halaman bukunya yang kini tak lagi menarik.
“Kak Reza harus percaya pada pilihannya sendiri,” kata Ayla akhirnya. “Jika Kakak terus mempertanyakan, maka perasaan itu akan terus menghantui.”
Reza menatap Ayla sejenak sebelum tersenyum tipis. “Kamu bijaksana untuk usiamu.”
Ayla tersenyum kecil. “Aku hanya membaca terlalu banyak novel.”
Mereka tertawa, tapi Ayla tahu ada sesuatu yang mulai berubah di antara mereka.
Sejak pertemuan itu, Ayla semakin sering menyadari kehadiran Reza. Setiap tatapan, setiap senyum, setiap kata yang diucapkan terasa lebih bermakna dari yang seharusnya. Ia mulai menyadari bahwa ia terlalu memperhatikan pria itu, terlalu peduli dengan kehadirannya.
Namun, ia menepis semua perasaan itu. Ia tahu batasnya.
Sampai suatu hari, batas itu semakin kabur.
***
Malam itu, keluarga mereka berkumpul di rumah Ayla untuk makan malam bersama. Nadine sibuk membicarakan dekorasi pernikahan dengan ibu mereka, sementara ayah mereka berbincang dengan keluarga Reza. Ayla merasa sedikit tersisih, jadi ia memilih keluar ke halaman belakang untuk menghirup udara segar.
Ia tidak menyangka bahwa Reza akan mengikutinya.
“Kamu kenapa? Bosan dengan pembicaraan pernikahan?” suara Reza terdengar di belakangnya.
Ayla menoleh, sedikit terkejut. “Tidak juga. Aku hanya butuh udara segar.”
Reza berdiri di sampingnya, menatap langit malam. “Aku juga.”
Hening sejenak. Suara jangkrik menjadi latar belakang di antara mereka.
“Ayla,” panggil Reza pelan.
“Hm?”
“Apa kamu pernah merasa… ingin melakukan sesuatu yang salah, tapi tidak bisa menahannya?”
Ayla menegang. “Maksudnya?”
Reza menoleh dan menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak tahu kenapa, tapi sejak pertama kali bertemu denganmu… aku merasa ada sesuatu yang berbeda.”
Jantung Ayla berdetak kencang. Ia tahu ia seharusnya menghentikan pembicaraan ini. Seharusnya ia segera pergi sebelum semuanya menjadi lebih buruk.
“Kak Reza,” suaranya hampir berbisik, “ini salah.”
Reza menghela napas panjang, lalu tersenyum pahit. “Aku tahu.”
Ia melangkah mundur, memberikan jarak di antara mereka. “Maaf, Ayla. Aku hanya… aku hanya terlalu jujur pada diriku sendiri malam ini.”
Ayla tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatap pria itu pergi, meninggalkannya dengan perasaan yang semakin sulit ia kendalikan.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Ayla sadar bahwa ia telah jatuh dalam godaan yang seharusnya tidak pernah ada.*
Bab 3: Jatuh dalam Dosa Perasaan
Sejak malam itu, Ayla berusaha meyakinkan dirinya bahwa yang terjadi hanyalah kesalahpahaman perasaan. Mungkin Reza hanya merasa tertekan dengan persiapan pernikahan, mungkin dia hanya butuh seseorang untuk mendengarkan. Tapi semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin ia sadar bahwa perasaan itu nyata.
Dan yang lebih menakutkan adalah—Reza merasakan hal yang sama.
***
Hari itu, Nadine meminta Ayla menemaninya mencoba gaun pengantin di butik. Awalnya, Ayla menolak, tapi Nadine bersikeras. “Aku ingin tahu pendapatmu. Kamu punya selera bagus, Ay.”
Ayla akhirnya menurut. Mereka pergi ke butik mewah di pusat kota, tempat Nadine sudah memesan beberapa gaun untuk dicoba. Begitu mereka masuk, Ayla langsung disambut oleh suasana elegan—lampu kristal yang berkilauan, manekin-manekin dengan gaun putih yang indah, dan harum bunga segar yang memenuhi ruangan.
Saat Nadine mencoba gaun pertama, pintu butik kembali terbuka. Ayla menoleh dan mendapati Reza masuk, masih mengenakan setelan kerja.
“Sayang!” Nadine tersenyum lebar, menghampiri tunangannya dengan langkah ringan. “Aku senang kamu bisa datang!”
Reza tersenyum kecil, tapi matanya secara refleks mencari Ayla terlebih dahulu sebelum menatap Nadine.
“Aku tidak ingin melewatkan momen penting ini,” jawabnya.
Ayla berpura-pura sibuk dengan layar ponselnya, berharap tidak perlu terlibat terlalu banyak. Tapi entah bagaimana, kehadiran Reza selalu membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat, lebih panas.
“Bagaimana menurut kalian?” Nadine berputar pelan, memperlihatkan gaun putih yang membalut tubuhnya dengan sempurna.
“Kamu terlihat cantik,” kata Reza, tersenyum lembut.
“Tapi aku merasa masih ada yang kurang,” keluh Nadine, lalu menoleh ke Ayla. “Bagaimana menurutmu, Ay?”
Ayla menelan ludah. “Gaunnya indah. Tapi mungkin modelnya terlalu sederhana untuk kamu. Kak Nadine lebih cocok dengan sesuatu yang lebih dramatis.”
Nadine mengangguk. “Aku pikir juga begitu. Aku coba yang lain dulu ya.”
Saat Nadine masuk kembali ke ruang ganti, Ayla menyadari bahwa ia kini hanya berdua dengan Reza.
Keheningan menyergap mereka. Ayla bisa merasakan tatapan pria itu, tapi ia tetap fokus pada ponselnya, seolah ada sesuatu yang penting di sana.
“Kamu baik-baik saja?” suara Reza terdengar pelan.
Ayla mengangguk tanpa menoleh. “Aku baik.”
Reza tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara yang lebih lirih, “Aku tidak.”
Ayla menegang. Ia tahu ia seharusnya tidak menanggapi, tapi pertanyaan itu keluar begitu saja. “Kenapa?”
Reza mendekat sedikit, berbicara dengan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. “Aku mencoba mengabaikan ini, tapi semakin aku berusaha, semakin sulit rasanya.”
Ayla menggenggam erat ponselnya. “Kak Reza, jangan…”
“Aku tahu ini salah,” potong Reza cepat. “Tapi aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak merasakan sesuatu setiap kali melihatmu.”
Ayla menutup matanya sejenak, mencoba mengatur napasnya yang mulai tidak teratur. “Kak Nadine mencintai Kakak,” ucapnya dengan suara hampir berbisik.
“Aku tahu,” jawab Reza. “Dan aku tidak ingin menyakitinya.”
Lalu kenapa? Ayla ingin mengajukan pertanyaan itu, tapi ia takut akan jawabannya.
Saat itu, Nadine keluar dari ruang ganti dengan gaun baru, dan percakapan terlarang mereka terputus. Tapi Ayla tahu bahwa sesuatu telah berubah. Tidak peduli seberapa keras mereka mencoba menyangkal, perasaan itu telah tumbuh—dan semakin dalam mereka jatuh, semakin sulit untuk kembali.
***
Hari-hari berikutnya berjalan dengan ketidakpastian yang menyiksa. Ayla dan Reza berusaha bertingkah seperti biasa saat di depan Nadine dan keluarga, tapi di saat-saat tertentu, ketika hanya ada mereka berdua, keheningan yang penuh makna selalu hadir.
Sampai akhirnya, batas itu benar-benar runtuh.
Malam itu, ada acara keluarga di rumah Ayla. Suasana meriah, dengan gelak tawa dan percakapan hangat memenuhi ruangan. Ayla berusaha sibuk dengan para tamu, berharap bisa menghindari Reza, tapi tetap saja—takdir seolah mempermainkan mereka.
Saat ia keluar sebentar ke taman belakang untuk mengambil udara, Reza menyusulnya.
“Ayla,” panggilnya pelan.
Ayla memejamkan mata sejenak sebelum menoleh. “Kak Reza, jangan lakukan ini.”
Reza menatapnya dengan mata penuh perasaan yang berbahaya. “Aku tidak bisa.”
Jantung Ayla berdetak semakin cepat saat pria itu melangkah mendekat. Ia bisa mencium wangi parfum Reza yang begitu khas—aroma kayu dan sedikit kopi. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, mencoba menahan dorongan yang tidak seharusnya ada.
“Jangan buat ini semakin sulit,” bisik Ayla.
“Tapi ini sudah sulit,” balas Reza. “Aku mencoba, Ayla. Aku benar-benar mencoba. Tapi kenapa harus kamu?”
Ayla menahan napas. Kenapa harus aku? Itu pertanyaan yang juga terus ia tanyakan pada dirinya sendiri.
Keheningan di antara mereka begitu pekat, seolah-olah dunia hanya terdiri dari mereka berdua saat ini. Lalu, sebelum ia bisa menghentikannya, Reza mengangkat tangannya, jari-jarinya nyaris menyentuh pipi Ayla.
Ayla mundur setengah langkah. “Kak Reza… tolong.”
Reza menggertakkan giginya, lalu menarik tangannya kembali. Ia tampak frustasi, tapi akhirnya mengalah.
“Aku minta maaf,” katanya pelan, suaranya penuh kesedihan. “Aku tidak seharusnya melakukan ini.”
Ayla mengangguk, merasa lega sekaligus hancur. “Iya. Kita tidak seharusnya.”
Tapi keduanya tahu, perasaan itu tidak akan hilang hanya karena mereka menginginkannya.
Malam itu, Ayla menyadari bahwa ia telah jatuh terlalu dalam—jatuh dalam dosa perasaan yang tidak seharusnya ia miliki. Dan yang lebih menyakitkan, ia tahu bahwa Reza merasakan hal yang sama.*
Bab 4: Rahasia yang Mulai Terungkap
Sejak malam di taman belakang itu, Ayla berusaha menghindari Reza sebisa mungkin. Ia tidak lagi ikut berkumpul di ruang tamu saat pria itu berkunjung, ia selalu mencari alasan untuk pergi setiap kali Nadine mengajak Reza ke rumah, dan ia bahkan mulai menolak ajakan Nadine untuk ikut serta dalam persiapan pernikahan.
Namun, semakin ia berusaha menjauh, semakin sulit rasanya.
Perasaan itu telah berakar dalam, tumbuh tanpa bisa ia cegah. Setiap kali ia melihat Reza bersama Nadine, ada sesak yang menyelinap di hatinya. Bukan karena ia ingin merebut pria itu dari kakaknya, tapi karena ia tahu—ia telah jatuh terlalu dalam untuk bisa berpura-pura lagi.
Dan yang lebih buruk, Nadine mulai menyadarinya.
***
Suatu sore, Ayla sedang duduk di kamarnya, mencoba fokus membaca buku yang sama berulang kali tanpa benar-benar memahami isinya. Ia dikejutkan oleh suara ketukan di pintu.
“Ay?”
Suara Nadine terdengar dari balik pintu. Ayla buru-buru meletakkan bukunya dan membuka pintu. Nadine berdiri di sana dengan ekspresi serius yang jarang terlihat di wajahnya.
“Kak Nadine?” Ayla mencoba tersenyum, tapi ada sesuatu di mata kakaknya yang membuatnya waspada.
“Boleh kita bicara sebentar?”
Ayla menelan ludah. Ia tahu ini bukan pertanda baik.
“Ya, tentu.”
Nadine masuk dan duduk di tepi tempat tidur Ayla. Ia mengamati sekeliling kamar adiknya, seolah sedang mencari sesuatu. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya menatap Ayla.
“Akhir-akhir ini kamu kenapa?”
Ayla mengerutkan kening. “Kenapa bagaimana?”
“Kamu menjauh dariku,” ucap Nadine tanpa basa-basi. “Kamu selalu menghindari saat aku bersama Reza, kamu tiba-tiba tidak mau ikut bantu persiapan pernikahan, dan setiap kali Reza ada, kamu terlihat gelisah.”
Ayla merasakan darahnya berdesir. “Aku… aku hanya sibuk, Kak.”
“Jangan bohong.”
Nada suara Nadine tajam, menusuk tepat ke dalam hati Ayla.
“Ada sesuatu, kan?”
Ayla menggeleng cepat. “Tidak ada apa-apa, Kak Nadine.”
Nadine menatapnya lama, lalu mendesah. “Jadi kamu mau bilang aku hanya berlebihan?”
Ayla menggigit bibirnya, tidak berani menjawab.
“Kamu tahu?” lanjut Nadine pelan. “Reza juga berubah.”
Jantung Ayla berdegup semakin kencang.
“Apa maksud Kak Nadine?”
“Dia sering melamun, jawabannya selalu terdengar ragu setiap kali aku bicara tentang pernikahan, dan yang lebih aneh…” Nadine menatap Ayla tajam. “Dia selalu mencari tahu tentang kamu.”
Ayla menahan napas.
“Ayla,” suara Nadine lebih lembut sekarang, tapi nadanya tetap tajam, “ada sesuatu antara kamu dan Reza?”
“Enggak!” Ayla buru-buru menjawab, suaranya terdengar sedikit terlalu keras. “Aku… Aku tidak tahu kenapa Kak Nadine berpikir seperti itu.”
Nadine masih menatapnya, mencoba mencari kebenaran dalam ekspresi adiknya.
“Kamu yakin?”
Ayla menggigit bibirnya, lalu mengangguk cepat. “Iya.”
Hening.
Nadine akhirnya menghela napas panjang dan berdiri. “Baiklah. Mungkin aku memang terlalu berlebihan.”
Ayla mengangguk, berharap itu cukup untuk membuat Nadine percaya.
Tapi sebelum keluar dari kamar, Nadine berkata dengan suara yang nyaris seperti bisikan, “Aku harap kamu tidak menyembunyikan sesuatu dariku, Ayla. Karena jika iya… aku tidak akan pernah memaafkannya.”
Pintu kamar tertutup, meninggalkan Ayla dengan dada yang terasa sesak.
***
Namun, rahasia yang berusaha mereka sembunyikan terlalu besar untuk tetap terkunci.
Beberapa hari setelahnya, bencana terjadi.
Malam itu, Ayla baru saja selesai mandi ketika ponselnya bergetar di atas meja. Dengan rambut masih basah, ia mengangkatnya tanpa melihat nama penelepon.
“Halo?”
“Ayla.”
Suaranya.
Jantung Ayla berdetak kencang begitu mendengar suara Reza di seberang.
“Kak Reza? Ada apa?”
“Aku butuh bicara denganmu.”
Ayla mengerutkan kening. “Sekarang? Kakak di mana?”
“Di luar rumahmu.”
Ayla terkejut. Ia melangkah ke jendela dan menyingkap tirai. Benar saja, Reza berdiri di luar, di dekat mobilnya, mengenakan kemeja hitam dan celana jeans.
“Kak Reza, ini gila. Kalau Kak Nadine tahu—”
“Aku harus bicara, Ayla,” potong Reza. “Tolong.”
Ayla menggigit bibirnya, lalu dengan hati yang ragu, ia mengenakan sweater dan berjalan keluar rumah dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian siapa pun.
Begitu ia sampai di depan Reza, pria itu menatapnya dengan ekspresi penuh emosi.
“Ada apa?” bisik Ayla, melihat sekeliling dengan waspada.
Reza mendesah. “Aku tidak bisa lagi berpura-pura, Ayla. Aku tidak bisa menikahi Nadine ketika hatiku…”
“Jangan,” potong Ayla cepat. “Jangan katakan itu, Kak Reza.”
“Tapi itu kenyataannya!” suara Reza sedikit meninggi. “Aku mencintaimu, Ayla. Aku sudah mencoba mengabaikannya, mencoba melawan, tapi aku tidak bisa.”
Ayla menutup matanya erat-erat, seolah berharap jika ia tidak melihatnya, maka kata-kata itu tidak nyata.
“Ini salah,” bisiknya.
“Aku tahu,” balas Reza dengan suara yang lebih pelan. “Tapi aku tidak bisa mengubah apa yang aku rasakan.”
Hening.
Hanya suara angin malam yang berhembus, membawa kesakitan yang semakin dalam.
Namun, sebelum Ayla bisa menjawab, sebuah suara lain tiba-tiba terdengar.
“Apa yang kalian lakukan?”
Suara itu seperti petir yang menyambar jantung Ayla.
Mereka berdua menoleh, dan di sana, berdiri Nadine dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—shock, marah, terluka.
Ayla merasa dunianya runtuh.
Rahasia yang selama ini ia coba sembunyikan… kini telah terungkap.*
Bab 5: Antara Hati dan Kewajiban
Ayla berdiri mematung, tubuhnya seolah kehilangan kekuatan. Dadanya naik turun cepat, bukan hanya karena kaget, tapi juga ketakutan. Nadine berdiri hanya beberapa langkah darinya, menatap mereka dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Reza, yang biasanya begitu tenang dan penuh percaya diri, kini tampak bingung. Ia mengatupkan rahangnya, seolah sedang berusaha keras menemukan kata-kata yang tepat.
Namun, bagaimana mungkin ada kata-kata yang cukup untuk menjelaskan pengkhianatan?
“Kak Nadine…” suara Ayla hampir tak terdengar.
Nadine melangkah maju. Tatapannya bergantian antara Reza dan Ayla, seolah mencoba memahami apa yang baru saja ia saksikan.
“Jelaskan,” katanya pelan.
Ayla menelan ludah. Tangannya gemetar di sisi tubuhnya, dan ia merasa sulit bernapas.
“Tidak ada apa-apa, Kak,” jawab Ayla buru-buru. “Aku hanya—aku hanya keluar untuk bicara sebentar.”
Nadine tertawa kecil, tapi tawanya penuh kepedihan. “Bicara? Dengan tunanganku? Tengah malam? Dengan ekspresi seperti itu?”
Ayla ingin berbohong, ingin mengatakan sesuatu yang bisa meredakan ketegangan ini. Tapi tatapan Nadine begitu tajam, seolah bisa menembus kebohongan apa pun yang ingin ia katakan.
“Lalu bagaimana denganmu?” Nadine menatap Reza sekarang. “Apa ini yang selama ini membuatmu berubah?”
Reza mengepalkan tangannya, lalu menatap Nadine dengan mata penuh rasa bersalah. “Nadine, aku…”
“Tolong, jangan berikan aku jawaban yang sudah aku tahu,” potong Nadine cepat. “Aku hanya ingin mendengar kebenaran dari mulutmu sendiri.”
Hening.
Ayla ingin berbicara, ingin mengatakan sesuatu untuk memperbaiki situasi. Tapi apa yang bisa ia katakan? Bahwa ia tidak bermaksud jatuh cinta pada Reza? Bahwa ia tidak pernah menginginkan semua ini?
Itu tidak akan mengubah kenyataan.
Nadine menunggu, tapi ketika tidak ada jawaban dari Reza, ia mendengus pelan. Air matanya menggenang, tapi ia berusaha tetap tegar.
“Kalian… kalian benar-benar telah menghancurkan kepercayaanku,” bisiknya.
Ayla terisak. “Kak, aku benar-benar tidak ingin ini terjadi.”
“Tapi itu tetap terjadi, kan?” Nadine tersenyum getir. “Dan lebih buruknya lagi, kalian bahkan tidak berusaha menghentikannya.”
Ayla menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak tangis yang hampir meledak.
Nadine menggeleng pelan, lalu mundur selangkah. “Aku harus pergi.”
“Nadine, tunggu,” Reza akhirnya bersuara, melangkah maju untuk mencoba menghentikannya.
“Tidak!” Nadine menatapnya dengan tatapan penuh luka. “Jangan sentuh aku!”
Reza terhenti di tempatnya, wajahnya dipenuhi rasa bersalah.
“Aku membutuhkan waktu,” kata Nadine, suaranya bergetar. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan kalian… atau apakah aku mau.”
Setelah mengatakan itu, Nadine berbalik dan berjalan cepat menuju mobilnya, lalu pergi meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang menyiksa.
***
Ayla mengunci dirinya di kamar sepanjang malam. Ia tidak bisa tidur, tidak bisa berhenti menangis.
Ia telah menyakiti orang yang paling ia sayangi.
Selama ini, Nadine adalah kakak yang selalu melindunginya, yang selalu ada untuknya. Dan kini, ia telah mengkhianatinya dengan cara yang paling menyakitkan.
Tapi perasaan ini…
Ayla memejamkan matanya erat-erat. Ia benci mengakuinya, tapi hatinya masih berdetak kencang setiap kali mengingat kata-kata Reza malam itu.
_Aku mencintaimu, Ayla._
Jika saja perasaan itu tidak ada. Jika saja ia bisa mengendalikannya. Jika saja ia bisa memilih siapa yang ia cintai…
Tapi kenyataannya, cinta tidak pernah bisa dikendalikan.
***
Keesokan harinya, suasana di rumah begitu sunyi. Nadine belum pulang sejak semalam. Ibu mereka beberapa kali mencoba menghubunginya, tapi Nadine hanya mengirim pesan singkat bahwa ia butuh waktu sendiri.
Ayla tahu bahwa cepat atau lambat, ia harus menghadapi kakaknya. Ia harus meminta maaf, harus menjelaskan, meskipun ia tidak yakin ada kata-kata yang cukup untuk menebus kesalahannya.
Namun, sebelum ia bisa melakukan apa pun, ponselnya berbunyi.
Sebuah pesan dari Reza.
**_Kita perlu bicara._**
Ayla menatap layar ponselnya lama. Ia ingin mengabaikannya, ingin berpura-pura bahwa semuanya bisa kembali seperti semula. Tapi ia tahu itu tidak mungkin.
***
Sore itu, mereka bertemu di sebuah taman kecil yang cukup sepi. Ayla menunggu di bangku kayu, jari-jarinya saling meremas di atas pangkuannya.
Reza tiba beberapa menit kemudian. Ia tampak lelah, matanya sedikit sembab, seolah ia juga tidak tidur semalaman.
“Ayla,” katanya pelan.
Ayla menunduk, tidak sanggup menatapnya. “Kak Nadine belum pulang,” katanya lirih.
Reza menghela napas panjang. “Aku tahu. Dia juga belum menjawab teleponku.”
Hening sejenak.
“Kita sudah menyakiti Nadine,” kata Ayla akhirnya, suaranya bergetar. “Apa pun yang kita rasakan… itu tidak lebih penting dari perasaan Kak Nadine.”
Reza mengusap wajahnya. “Aku tahu. Aku benar-benar tahu. Dan aku tidak tahu harus berbuat apa sekarang.”
Ayla akhirnya menatapnya, matanya penuh air mata. “Ada satu hal yang bisa Kak Reza lakukan.”
“Apa?”
Ayla menarik napas dalam-dalam sebelum mengucapkan kata-kata yang paling menyakitkan dalam hidupnya.
“Kak Reza harus menikahi Kak Nadine.”
Reza tampak terkejut. “Ayla—”
“Apa yang kita rasakan tidak seharusnya ada,” potong Ayla cepat. “Aku mencintai Kak Nadine. Aku tidak bisa menyakitinya lebih dari ini. Dan satu-satunya cara untuk menebus semua ini adalah memastikan dia tidak kehilangan orang yang dia cintai.”
Reza menatapnya lama, lalu menggeleng pelan. “Tapi aku juga mencintaimu.”
Ayla menahan air matanya dengan sekuat tenaga. “Tapi Kak Nadine yang lebih dulu mencintai Kakak.”
Hening yang begitu menyakitkan menyelimuti mereka.
Akhirnya, Reza mengangguk pelan. “Kalau itu yang kamu mau…”
Ayla tersenyum pahit. “Bukan hanya aku yang menginginkannya. Ini yang harus terjadi.”
Reza tidak mengatakan apa-apa lagi.
Dan di situlah, mereka berdua memilih jalan yang paling menyakitkan. Bukan karena mereka ingin, tapi karena mereka tahu—ada hal-hal yang lebih penting daripada cinta.
Seperti keluarga. Seperti kewajiban. Seperti harga diri seseorang yang tidak pantas dihancurkan.
Dan untuk pertama kalinya, Ayla belajar bagaimana rasanya mencintai seseorang dengan cara yang paling menyakitkan—melepaskannya.*
Bab 6: Luka yang Tak Terlekkan
Ayla pikir, setelah mengambil keputusan untuk mengorbankan perasaannya, semuanya akan menjadi lebih mudah. Bahwa ia hanya perlu menekan rasa sakit itu dalam-dalam dan menjalani hidup seperti sebelumnya.
Tapi kenyataannya jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Setiap hari, ia harus menghadapi kenyataan bahwa Reza tetap akan menikahi Nadine. Bahwa pria yang ia cintai akan menghabiskan hidupnya bersama kakaknya.
Dan yang paling menyakitkan?
Nadine tidak lagi melihatnya dengan cara yang sama.
***
Hari-hari berlalu dengan ketegangan yang menyiksa. Nadine memang akhirnya kembali ke rumah setelah menghilang selama dua hari penuh, tapi ia bukan lagi Nadine yang dulu.
Dulu, Nadine selalu menyambut Ayla dengan pelukan setiap kali ia pulang kerja. Sekarang, ia hanya melewatinya tanpa kata.
Dulu, mereka sering mengobrol berjam-jam tentang apa pun, dari pekerjaan hingga film yang mereka tonton. Sekarang, keheningan selalu menyertai mereka.
Dulu, Nadine selalu memperlakukan Ayla dengan penuh kasih sayang. Sekarang, tatapan itu penuh dengan luka.
Dan Ayla tidak bisa menyalahkannya.
***
Suatu malam, saat Ayla sedang duduk di ruang tamu sambil menatap layar televisi tanpa benar-benar menonton, Nadine tiba-tiba berbicara.
“Kamu masih mencintainya?”
Ayla terkejut. Ia menoleh, menemukan Nadine berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada.
“Apa?” tanya Ayla, meskipun ia tahu apa maksud kakaknya.
“Aku tanya,” ulang Nadine dengan nada yang lebih tegas, “kamu masih mencintai Reza?”
Ayla menelan ludah. “Aku sudah mengakhirinya, Kak.”
“Itu bukan jawaban dari pertanyaanku.”
Ayla ingin berbohong, ingin mengatakan bahwa perasaannya sudah hilang. Tapi ia tahu, Nadine tidak akan percaya.
“Perasaan itu…” Ayla menarik napas dalam-dalam. “…tidak semudah itu hilang, Kak.”
Nadine tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam suara itu. “Jadi aku harus hidup dengan fakta bahwa adikku mencintai calon suamiku?”
Ayla mengepalkan tangannya di atas pangkuan. “Aku tidak akan melakukan apa pun, Kak. Aku tidak akan mengganggu pernikahan kalian.”
“Tapi hatimu tetap menginginkannya, kan?”
Ayla terdiam.
Nadine berjalan mendekat, lalu duduk di sofa di seberangnya. “Kamu tahu, Ay, aku selalu berpikir kalau aku ini kakak yang baik untukmu. Aku selalu berusaha melindungimu, selalu ingin memastikan kamu bahagia.”
Ayla menunduk, merasa semakin bersalah.
“Tapi sekarang aku sadar,” lanjut Nadine dengan suara getir, “aku sama sekali tidak mengenalmu.”
“Kak…” Ayla menggigit bibirnya.
“Kamu orang yang paling aku percaya, Ayla.” Mata Nadine mulai memerah. “Dan sekarang? Setiap kali aku melihatmu, aku merasa seperti melihat musuh.”
Ayla menutup matanya erat-erat. Ia ingin menangis, ingin memeluk kakaknya dan meminta maaf berkali-kali, tapi ia tahu, tidak ada kata maaf yang bisa menyembuhkan luka ini.
“Aku sudah memutuskan untuk tetap menikahi Reza,” kata Nadine lagi. “Bukan karena aku ingin mengalah atau karena aku takut kehilangan dia, tapi karena aku ingin memastikan satu hal.”
Ayla mengangkat kepalanya. “Apa?”
“Aku ingin tahu apakah Reza benar-benar bisa melupakanmu.”
Jantung Ayla mencelos.
“Aku ingin tahu,” lanjut Nadine, “apakah setelah pernikahan ini, aku masih akan tetap menjadi wanita yang ia cintai… atau hanya seseorang yang ia pilih karena kewajiban.”
Ayla merasakan napasnya tercekat. “Kak Nadine…”
Nadine berdiri, menatapnya dengan ekspresi penuh luka. “Dan kalau ternyata dia tidak bisa melupakanmu, Ayla, aku ingin kamu tahu…”
Ia mendekatkan wajahnya sedikit, lalu berbisik, “Aku tidak akan memaafkan kalian berdua.”
Setelah mengatakan itu, Nadine berbalik dan pergi ke kamarnya, meninggalkan Ayla yang kini tidak bisa lagi menahan air matanya.
***
Hari pernikahan semakin dekat.
Ayla semakin jarang keluar dari kamarnya. Ia menghindari semua persiapan pernikahan, menghindari berbicara dengan Nadine, dan lebih dari segalanya, ia menghindari Reza.
Tapi sekeras apa pun ia mencoba menghindari kenyataan, hari itu tetap datang.
Hari pernikahan Nadine dan Reza.
Ayla berdiri di depan cermin, mengenakan gaun biru muda yang Nadine pilihkan untuknya berbulan-bulan lalu—sebelum semua ini terjadi. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya dipoles dengan riasan lembut, tapi tidak ada kebahagiaan di matanya.
Hari ini adalah hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi kakaknya.
Tapi Ayla merasa seperti sedang menghadiri pemakamannya sendiri.
Ia berjalan ke luar kamar, dan tepat saat itu, ia bertemu dengan Reza.
Pria itu berdiri di ujung lorong, mengenakan setelan jas hitam yang begitu sempurna. Tapi ekspresinya tidak seperti pria yang akan menikah.
“Ayla…”
Ayla buru-buru menunduk, tidak ingin melihatnya lebih lama. “Kak Reza, kita tidak seharusnya bicara.”
“Aku hanya ingin tahu satu hal.”
Ayla mengangkat kepalanya, dan saat melihat mata Reza, ia tahu bahwa ini akan menjadi terakhir kalinya mereka bisa berbicara dengan jujur.
“Kamu ingin aku menikah dengannya?”
Ayla merasakan tenggorokannya mengering. “Ya.”
Reza tersenyum pahit. “Kalau aku melakukan ini, aku tidak akan pernah bisa kembali padamu, Ayla.”
Ayla menahan air matanya. “Memang seharusnya begitu.”
Reza mengangguk pelan. Ia tidak berkata apa-apa lagi, hanya menatapnya lama, seolah ingin menghafal setiap detail wajahnya.
Lalu, tanpa kata-kata, ia berbalik dan berjalan pergi.
Dan di situlah, Ayla benar-benar hancur.
Ia kehilangan pria yang ia cintai. Ia kehilangan kakak yang ia hormati.
Dan yang tersisa kini hanyalah luka.
Luka yang tak terlekkan.*
Bab 7: Menghapus Jejak Kenangan
Ayla pikir, setelah hari pernikahan Nadine dan Reza, semuanya akan berangsur membaik. Bahwa waktu akan menjadi obat, dan luka ini, betapapun dalamnya, perlahan akan sembuh.
Tapi kenyataannya tidak semudah itu.
Malam setelah pernikahan itu, ia berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan mata sembab. Ia belum menangis sejak Reza meninggalkannya di lorong gereja tadi siang. Ia pikir, ia sudah kehabisan air mata. Tapi kini, dalam keheningan malam, kesedihan itu datang menyerang lagi.
Ia ingin pergi.
Ia ingin meninggalkan tempat ini, meninggalkan semua kenangan yang terus menghantuinya.
Karena selama ia masih di sini, jejak kenangan itu tidak akan pernah benar-benar hilang.
***
Keesokan paginya, Ayla langsung berbicara dengan ibunya.
“Ibu, Ayla ingin pindah,” katanya saat mereka duduk di meja makan.
Ibunya terkejut. “Pindah? Pindah ke mana?”
“Ayla mendapat tawaran pekerjaan di luar kota,” jawabnya, meskipun itu belum benar-benar terjadi. “Ayla ingin mencoba hidup mandiri.”
Ibunya tampak ragu. “Kenapa mendadak sekali, Nak? Apakah ini karena…?”
Ayla buru-buru menggeleng. “Ini bukan karena siapa-siapa, Bu. Ayla hanya merasa ini saatnya untuk berubah.”
Ibunya menatapnya lama, lalu menghela napas. “Ibu tidak bisa menahanmu kalau itu yang kamu inginkan.”
Ayla tersenyum kecil, meskipun di dalam hatinya, ia merasa getir.
***
Dua minggu setelah pernikahan, Ayla mulai berkemas. Ia sudah mendapatkan pekerjaan baru di kota lain, cukup jauh untuk tidak bertemu dengan Reza dan Nadine lagi.
Saat memasukkan barang-barangnya ke dalam koper, tangannya berhenti di satu benda kecil di atas meja.
Sebuah foto.
Foto yang diambil Nadine saat mereka bertiga masih baik-baik saja—Ayla, Nadine, dan Reza. Mereka tersenyum lebar, tanpa tahu bahwa suatu hari nanti, semuanya akan berubah.
Ayla menatap foto itu lama.
Lalu, dengan hati-hati, ia membaliknya dan memasukkannya ke dalam laci.
Ia tidak bisa membuangnya, tapi ia juga tidak ingin membawanya.
Beberapa kenangan lebih baik ditinggalkan.
***
Saat Ayla keluar dari kamarnya dengan koper di tangan, ia menemukan Nadine berdiri di dekat pintu.
“Kamu benar-benar akan pergi?” tanya Nadine pelan.
Ayla mengangguk. “Ya, Kak.”
Nadine menatap koper di tangannya. “Secepat ini?”
“Ayla butuh awal yang baru.”
Hening sejenak. Nadine menatapnya, ekspresinya sulit ditebak.
“Apa kamu pergi untuk melarikan diri?” tanyanya akhirnya.
Ayla menggigit bibirnya. “Aku pergi untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari kita, Kak.”
Nadine tidak mengatakan apa-apa. Hanya ada kesunyian di antara mereka.
Lalu, perlahan, Nadine melangkah maju dan meraih tangan Ayla.
“Kita bisa memperbaiki ini, Ay,” katanya lirih. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan sepenuhnya, tapi aku juga tidak ingin kehilangan adikku.”
Ayla menunduk, menahan air matanya. “Kakak tidak akan kehilangan aku. Tapi mungkin kita butuh waktu.”
Nadine menggenggam tangannya lebih erat. “Akan berapa lama?”
Ayla tersenyum kecil. “Aku tidak tahu.”
Untuk pertama kalinya sejak semua ini terjadi, Nadine menarik Ayla ke dalam pelukan.
Dan untuk pertama kalinya, Ayla merasakan beban itu sedikit berkurang.
***
Beberapa jam kemudian, Ayla berdiri di depan pintu rumah, koper di sisinya, menunggu taksi yang akan membawanya pergi.
Saat itulah, Reza datang.
Ia berdiri beberapa langkah darinya, mengenakan kemeja putih dan celana jeans, tampak seperti pria yang sama yang pernah Ayla cintai.
Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
“Kamu benar-benar pergi?” tanyanya pelan.
Ayla mengangguk. “Ya.”
Reza menghela napas. “Aku tidak akan menahanmu. Aku hanya ingin tahu satu hal.”
“Apa?”
Reza menatapnya, sorot matanya begitu dalam. “Kalau aku memilihmu waktu itu… apakah kamu akan bahagia?”
Ayla terdiam.
Lalu, dengan suara hampir berbisik, ia berkata, “Tidak ada yang tahu, Kak. Tapi kita sudah memilih jalan kita masing-masing, kan?”
Reza menutup matanya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Ya. Kita sudah memilih.”
Taksi datang.
Ayla mengambil koper dan melangkah menuju mobil.
Saat ia membuka pintu, ia menoleh sekali lagi ke arah Reza.
“Selamat tinggal, Kak Reza.”
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar melepaskan.
Taksi itu melaju, menjauh dari tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan.
Dan Ayla tidak menoleh lagi.
Karena ada masa depan yang menunggunya.
Masa depan tanpa luka.*
Bab 8: Kembali ke Titik Awal
Ayla mengira kepergiannya akan membawa kedamaian. Bahwa menjauh dari kota tempat semua kenangan itu terbentuk akan membuat hatinya lebih ringan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—setiap malam, ia masih terjaga, menatap langit-langit apartemennya, bertanya-tanya apakah keputusannya benar.
Sudah tiga bulan sejak ia meninggalkan rumah, sejak ia meninggalkan Nadine dan Reza.
Di kota ini, tidak ada yang mengenalnya. Tidak ada yang tahu bahwa ia pernah jatuh cinta pada tunangan kakaknya. Tidak ada yang tahu bahwa ia pernah menjadi perusak kebahagiaan orang lain—meskipun ia sendiri tidak pernah menginginkannya.
Namun, yang tidak ia sadari adalah, sejauh apa pun ia pergi, ia tetap membawa luka itu bersamanya.
***
Pekerjaan barunya di sebuah perusahaan desain interior cukup menyibukkan. Setiap hari, ia menghabiskan waktu berjam-jam di kantor, berusaha menenggelamkan diri dalam tumpukan proyek.
Tapi tidak peduli seberapa keras ia mencoba, ada saat-saat di mana pikirannya tetap kembali ke tempat yang seharusnya ia tinggalkan.
Seperti pagi itu, ketika ia menerima pesan tak terduga.
**Nadine:** _”Ayla, kapan kamu pulang?”_
Ayla menatap layar ponselnya lama, hatinya berdebar. Ini adalah pesan pertama dari Nadine sejak ia pergi.
Tangannya gemetar saat ia mulai mengetik balasan.
**Ayla:** _”Aku belum tahu, Kak.”_
Beberapa menit kemudian, balasan datang.
**Nadine:** _”Ibu kangen kamu. Aku juga.”_
Ayla menelan ludah. Ia tahu Nadine mungkin tidak akan mengatakan ini jika ia tidak benar-benar merasakannya.
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya ia membalas:
**Ayla:** _”Aku akan coba pulang minggu ini.”_
Dan dengan satu pesan itu, ia tahu bahwa ia akhirnya harus menghadapi masa lalu yang selama ini ia hindari.
***
Beberapa hari kemudian, Ayla berdiri di depan pintu rumahnya lagi.
Rasanya aneh. Rumah yang pernah menjadi tempat paling nyaman kini terasa seperti tempat asing yang menyimpan terlalu banyak kenangan pahit.
Saat ia mengangkat tangan untuk mengetuk, pintu sudah terbuka lebih dulu.
Ibunya berdiri di sana, matanya berkaca-kaca.
“Ayla…”
Tanpa pikir panjang, Ayla langsung memeluk ibunya erat, seolah semua kerinduannya selama ini memuncak dalam satu pelukan.
“Ayla kangen Ibu,” bisiknya dengan suara bergetar.
Ibunya membelai rambutnya dengan lembut. “Ibu juga kangen kamu, Nak.”
Mereka tetap dalam pelukan itu selama beberapa saat sebelum akhirnya Ayla melangkah masuk.
Dan di sana, di ruang tamu, Nadine sudah menunggunya.
Ayla menatap kakaknya, mencoba membaca ekspresi di wajahnya.
“Hei,” kata Nadine pelan.
“Hai, Kak.”
Untuk sesaat, keduanya hanya saling menatap. Lalu, tanpa peringatan, Nadine berjalan mendekat dan menarik Ayla ke dalam pelukan.
Dan saat itu, Ayla tahu bahwa luka di antara mereka mulai benar-benar sembuh.
***
Malam itu, mereka bertiga makan malam bersama untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ibunya terus bertanya tentang pekerjaannya, sementara Nadine lebih banyak diam, hanya sesekali menanggapi.
Setelah makan malam selesai, Ayla dan Nadine duduk di teras belakang, menikmati udara malam.
“Aku senang kamu pulang,” kata Nadine akhirnya.
Ayla menatap langit gelap di atas mereka. “Aku juga senang bisa pulang.”
Keheningan menyelimuti mereka sejenak sebelum akhirnya Nadine berkata, “Reza dan aku baik-baik saja.”
Ayla menegang. Ia tahu topik ini pasti akan muncul cepat atau lambat.
“Kakak bahagia?” tanyanya pelan.
Nadine tersenyum tipis. “Aku masih belajar untuk bahagia.”
Ayla menunduk. “Maaf, Kak.”
Nadine menoleh ke arahnya. “Untuk apa?”
“Untuk semuanya.”
Nadine menghela napas. “Kamu tahu, Ay, selama ini aku berpikir… aku membencimu. Aku marah karena kamu mengambil sesuatu yang seharusnya milikku.”
Ayla menahan napas, menunggu kalimat selanjutnya.
“Tapi semakin lama, aku sadar… aku marah bukan karena kamu mencintai Reza.” Nadine menatap lurus ke depan. “Aku marah karena Reza juga mencintaimu.”
Ayla terkejut. “Kak—”
“Aku tahu, Ay. Bahkan sebelum kamu pergi, aku tahu.” Nadine tersenyum getir. “Aku hanya tidak ingin mengakuinya.”
Ayla menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa.
“Tapi aku sudah memilih untuk tetap bersamanya. Dan dia juga memilihku.” Nadine menatapnya dengan mata yang lebih tenang. “Jadi, aku ingin kita berdua berhenti hidup dalam bayang-bayang masa lalu.”
Ayla mengangguk perlahan. “Aku juga ingin itu, Kak.”
Dan di malam yang tenang itu, mereka akhirnya berdamai—dengan masa lalu, dengan satu sama lain, dan dengan diri mereka sendiri.
***
Keesokan harinya, Ayla memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kota. Ada begitu banyak kenangan di sini—beberapa manis, beberapa pahit.
Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Reza. Sebuah taman kecil di sudut kota, tempat mereka pernah berbicara tentang banyak hal.
Dan di sanalah ia melihat seseorang yang tidak pernah ia duga akan bertemu lagi.
Reza.
Pria itu berdiri di bawah pohon, mengenakan jaket hitam dan celana jeans. Ia tampak sama seperti yang Ayla ingat, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya—lebih tenang, lebih dewasa.
Saat mata mereka bertemu, waktu seolah berhenti.
Ayla tidak tahu siapa yang bergerak lebih dulu, tapi sebelum ia sadar, mereka sudah berdiri berhadapan.
“Kamu pulang,” kata Reza akhirnya.
Ayla mengangguk. “Hanya untuk beberapa hari.”
Reza mengangguk pelan. “Senang melihatmu lagi.”
Ayla tersenyum tipis. “Aku juga.”
Mereka terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi.
Lalu, Reza mengambil napas dalam. “Ayla, aku hanya ingin bilang…”
Ayla menunggu.
“Terima kasih karena telah membuat keputusan itu untuk kita berdua.”
Ayla menatapnya, mencari kejujuran dalam kata-katanya.
“Aku tidak akan berbohong. Aku butuh waktu lama untuk bisa benar-benar mencintai Nadine dengan cara yang seharusnya,” lanjut Reza. “Tapi sekarang, aku tahu bahwa aku telah memilih jalan yang benar.”
Ayla tersenyum, kali ini lebih tulus. “Aku senang mendengarnya.”
Hening lagi, tapi kali ini, keheningan itu tidak lagi menyakitkan.
“Selamat tinggal, Ayla,” kata Reza akhirnya.
Ayla menatapnya sekali lagi, lalu mengangguk. “Selamat tinggal, Kak Reza.”
Dan dengan itu, mereka berdua melangkah ke arah yang berbeda.
Tidak ada lagi rasa sakit. Tidak ada lagi penyesalan.
Karena akhirnya, mereka telah kembali ke titik awal—ke tempat di mana mereka bisa memulai kembali, tanpa bayang-bayang cinta yang pernah menjadi luka.*
Bab 9: Cinta yang Tak Bisa Dimiliki
Meskipun Ayla telah mencoba untuk berdamai dengan masa lalu, ada saat-saat di mana hatinya masih terasa berat. Ada kenangan yang tetap bertahan, meskipun ia berusaha keras untuk menghapusnya.
Pulang ke rumah beberapa hari lalu seharusnya membantunya menutup bab yang telah lama ia hindari. Bertemu dengan Nadine, memeluk ibunya, dan bahkan berbicara dengan Reza lagi—semuanya seharusnya menjadi penanda bahwa ia telah move on.
Tapi mengapa masih ada bagian dalam hatinya yang terasa kosong?
Apakah mungkin… ada cinta yang tidak akan pernah bisa benar-benar hilang?
***
Hari ini, Ayla duduk di kafe kecil dekat kantornya, menatap secangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Pikirannya melayang, berusaha memahami perasaannya sendiri.
“Ayla?”
Suara itu menghentikan lamunannya. Ia menoleh dan melihat seorang pria berdiri di hadapannya, tersenyum ramah.
“Doni?” Ayla mengerjap, terkejut melihat wajah yang sudah lama tidak ia jumpai.
Doni tertawa kecil. “Sudah lama ya?”
Ayla mengangguk. Doni adalah teman kuliahnya dulu, seseorang yang dulu sempat dekat dengannya sebelum hidupnya berubah karena perasaan terlarang itu.
“Kamu ada waktu? Aku boleh duduk?” tanya Doni.
“Tentu,” jawab Ayla, mempersilakannya duduk.
Percakapan mereka mengalir dengan mudah, seperti dua teman lama yang akhirnya bertemu kembali setelah sekian tahun. Doni bercerita tentang pekerjaannya sebagai arsitek, tentang proyek-proyek besar yang sedang ia tangani, dan tentang hidupnya yang terus berjalan tanpa henti.
Saat Doni bertanya tentang Ayla, ia hanya tersenyum kecil dan berkata, “Aku sedang belajar untuk memulai kembali.”
Doni mengangkat alis. “Belajar memulai kembali?”
Ayla mengangguk pelan. “Kadang, ada cinta yang tidak bisa kita miliki, Don. Tapi itu bukan berarti kita harus berhenti mencari kebahagiaan.”
Doni menatapnya dengan ekspresi penasaran. “Kamu bicara tentang seseorang?”
Ayla tertawa kecil, mencoba menghindari pertanyaan itu. “Mungkin.”
Doni menatapnya beberapa detik sebelum tersenyum. “Kalau begitu, semoga kamu segera menemukan cinta yang bisa kamu miliki.”
Ayla terdiam. Kata-kata itu terasa sederhana, tapi begitu dalam.
***
Malam harinya, saat Ayla sudah kembali ke apartemennya, ia menatap ponselnya lama.
Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan kepada seseorang, tapi ia tidak tahu apakah itu ide yang baik.
Akhirnya, setelah menimbang beberapa saat, ia mengetik pesan singkat.
**Ayla:** _”Kak Nadine, bolehkah aku menemuimu?”_
Balasan datang lebih cepat dari yang ia duga.
**Nadine:** _”Tentu. Besok malam di rumah?”_
Ayla menarik napas lega.
***
Keesokan malamnya, Ayla berdiri di depan rumah yang dulu ia tinggali.
Saat pintu terbuka, Nadine menyambutnya dengan senyum kecil. “Masuklah.”
Ayla melangkah masuk, merasa sedikit canggung. Ini adalah pertama kalinya ia kembali setelah pernikahan Nadine dan Reza.
Mereka duduk di ruang tamu, dan untuk beberapa saat, tidak ada yang berbicara.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nadine akhirnya.
Ayla menggenggam tangannya sendiri. “Aku ingin bertanya sesuatu, Kak.”
Nadine menatapnya penuh perhatian. “Apa?”
Ayla menarik napas dalam. “Apakah Kakak benar-benar bahagia?”
Nadine tampak terkejut, seolah tidak mengira Ayla akan menanyakan itu.
“Aku tahu ini mungkin bukan pertanyaan yang seharusnya aku ajukan,” lanjut Ayla, “tapi aku hanya ingin tahu… apakah akhirnya Kakak mendapatkan cinta yang seharusnya Kakak miliki?”
Nadine menghela napas, menatap ke arah jendela sejenak sebelum menjawab.
“Aku mencintai Reza, Ay.”
Ayla menunggu, merasa bahwa masih ada sesuatu yang belum dikatakan.
“Tapi ada saat-saat di mana aku masih bertanya-tanya,” lanjut Nadine, “apakah aku benar-benar menjadi satu-satunya di hatinya.”
Hati Ayla mencelos. Ia tidak tahu apakah ia ingin mendengar ini.
“Tapi aku memilih untuk tetap bersamanya,” kata Nadine lagi, kali ini dengan suara lebih mantap. “Karena aku ingin percaya bahwa cinta bisa tumbuh, selama kita mau berusaha.”
Ayla menggigit bibirnya. “Dan Kakak yakin Reza juga memilih Kakak sepenuhnya?”
Nadine terdiam, lalu mengangguk. “Aku percaya padanya. Dan aku percaya bahwa pada akhirnya, kami akan baik-baik saja.”
Ayla menatap kakaknya, dan untuk pertama kalinya, ia melihat keteguhan di mata Nadine.
Dan saat itu, Ayla menyadari sesuatu.
Cinta yang tidak bisa dimiliki bukan hanya tentang Reza dan dirinya.
Cinta yang tidak bisa dimiliki juga bisa berarti cinta yang tidak bisa dimiliki sepenuhnya, bahkan ketika dua orang sudah bersama.
Ada cinta yang memang harus diperjuangkan, ada cinta yang harus dilepaskan, dan ada cinta yang tetap tinggal dalam hati, tanpa perlu dimiliki.
Dan kini, ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, hidup harus terus berjalan.
Karena cinta yang tak bisa dimiliki bukan akhir dari segalanya.
Kadang, itu hanyalah bagian dari perjalanan menuju kebahagiaan yang sebenarnya.*
Bab 10: Luka yang Indah
Ayla menatap hamparan laut di hadapannya. Ombak bergulung pelan, memecah di tepi pantai, membawa suara yang entah kenapa terasa menenangkan. Angin laut berhembus lembut, mengibarkan helaian rambutnya.
Di sinilah ia berada sekarang—jauh dari kota yang penuh kenangan, di sebuah pantai yang ia kunjungi sendirian untuk pertama kalinya.
Dulu, ia pikir luka ini akan membunuhnya. Ia pikir cinta yang salah akan menghancurkannya, membuatnya tak bisa lagi melangkah ke depan.
Tapi ternyata, luka itu tidak mematikan.
Luka itu justru membuatnya menemukan dirinya sendiri.
***
Satu minggu telah berlalu sejak pertemuannya dengan Nadine. Sejak malam itu, Ayla merasa hatinya lebih ringan.
Ia telah mendapatkan jawaban yang selama ini ia cari. Nadine telah memilih untuk memperjuangkan cintanya. Reza juga telah memilih jalannya.
Dan Ayla?
Ia memilih untuk berdamai dengan semua yang terjadi.
Dulu, ia selalu bertanya-tanya, “Bagaimana jika aku dan Reza tidak bertemu dalam keadaan seperti ini? Bagaimana jika aku bertemu dengannya sebelum ia bertemu Kak Nadine? Akankah semuanya berbeda?”
Tapi kini, ia sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan itu tidak lagi penting.
Karena kenyataannya, Reza bukanlah seseorang yang ditakdirkan untuknya.
Dan takdir tidak bisa diubah.
***
Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Nadine, Ayla kembali bertemu dengan Doni. Kali ini, pria itu mengajaknya makan malam.
Doni adalah pria yang baik. Ia selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, selalu tahu kapan harus membuatnya tertawa, dan yang terpenting, ia tidak menuntut apa pun darinya.
“Jadi, apa rencanamu setelah ini?” tanya Doni di tengah-tengah makan malam mereka.
Ayla tersenyum. “Aku ingin tetap bekerja dan melanjutkan hidupku. Aku ingin lebih banyak melakukan hal-hal yang membuatku bahagia.”
Doni menatapnya dengan mata penuh ketertarikan. “Seperti apa contohnya?”
Ayla berpikir sejenak. “Seperti bepergian. Melihat tempat-tempat baru. Mencoba hal-hal yang dulu tidak berani aku lakukan.”
Doni tersenyum. “Itu rencana yang bagus.”
Ayla menatapnya. “Kamu sendiri?”
Doni tertawa kecil. “Aku? Aku hanya ingin menikmati hidup. Kalau bisa, dengan seseorang yang bisa berbagi perjalanan denganku.”
Ayla tersenyum tipis, memahami maksud kata-kata itu. Tapi ia belum siap.
Doni tampaknya mengerti. Ia tidak memaksanya, tidak meminta jawaban apa pun.
Dan untuk itu, Ayla bersyukur.
***
Malam itu, saat ia pulang ke apartemennya, Ayla mengambil sebuah buku catatan yang sudah lama tidak ia sentuh.
Buku itu berisi tulisan-tulisannya—tentang Reza, tentang perasaannya, tentang kesedihan yang pernah ia rasakan.
Perlahan, ia membuka halaman demi halaman, membaca kata-kata yang dulu ia tulis dengan penuh air mata.
Kini, saat membacanya lagi, ia tidak lagi merasa sakit.
Yang tersisa hanyalah kenangan—dan pelajaran.
Di halaman terakhir, ia mengambil pulpen dan menulis sesuatu.
> _Tidak semua cinta harus dimiliki untuk bisa menjadi berharga._
> _Terkadang, cinta yang tidak bisa dimiliki justru yang paling mengajarkan kita arti ketulusan._
> _Dan luka yang kita bawa bukanlah sesuatu yang harus kita sesali._
> _Karena pada akhirnya, luka itu yang membentuk kita menjadi lebih kuat._
Ayla tersenyum kecil, menutup bukunya.
Ia tidak akan membuang kenangan itu.
Tapi ia juga tidak akan membiarkannya menghantui.
Luka ini mungkin masih ada. Tapi kini, ia tahu bahwa luka ini bukan hanya tentang kesedihan.
Luka ini juga tentang pertumbuhan. Tentang bagaimana ia menemukan dirinya sendiri, meskipun dengan cara yang menyakitkan.
Luka ini, pada akhirnya, adalah **luka yang indah**.
***
Beberapa bulan kemudian, Ayla benar-benar mulai menjalani hidupnya dengan cara yang baru.
Ia mulai bepergian ke tempat-tempat yang dulu hanya ia impikan.
Ia mulai menulis lagi, menuangkan kisah-kisah yang mungkin bisa menjadi cerita bagi orang lain.
Dan yang terpenting, ia mulai membuka hatinya kembali.
Doni masih ada di sana. Selalu ada.
Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan siap untuk menerima cinta yang baru.
Bukan cinta yang terlarang.
Bukan cinta yang menyakitkan.
Tapi cinta yang benar-benar tulus.
Cinta yang tidak hanya membawa luka, tapi juga kebahagiaan.
Ayla kini tahu bahwa hidup selalu memberi kesempatan kedua.
Dan kali ini, ia tidak akan menyia-nyiakannya.
——THE END——