Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

cinta dalam sunyi

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 10, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 21 mins read
cinta dalam sunyi

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan yang Menggetarkan
  • Bab 2: Senyum yang Kurindukan
  • Bab 3: Batas yang Mulai Kabur
  • Bab 4: Hujan dan Rahasia di Dalamnya
  • Bab 5: Cinta yang Tak Seharusnya
  • Bab 6: Dosa dalam Tatapan Mata
  • Bab 7: Saat Kebohongan Menjadi Luka
  • Bab 8: Perpisahan yang Tak Diinginkan
  • Bab 9: Pengorbanan di Ujung Jalan

Bab 1: Pertemuan yang Menggetarkan

Hana menatap undangan di tangannya dengan perasaan campur aduk. Nama yang tertera di atas kertas itu membuat hatinya berdebar tidak karuan.

**Arya & Sinta**

Itu adalah nama pria yang dulu pernah mengisi hari-harinya dengan kehangatan, dengan cinta yang tak pernah ia lupakan. Dan sekarang, ia akan menikahi sahabatnya sendiri—Sinta.

Hana tersenyum tipis. Ini seharusnya menjadi kabar bahagia. Bukankah ia juga telah memiliki hidupnya sendiri? Bukankah ia juga telah menikah dengan lelaki yang mencintainya?

Namun, mengapa hatinya masih bergetar?

***

Hari pernikahan itu tiba. Hana melangkah masuk ke dalam aula pernikahan dengan tangan yang sedikit gemetar. Dekorasi ruangan dipenuhi bunga putih dan lilin-lilin kecil yang memberikan cahaya hangat. Aroma mawar bercampur dengan suara musik lembut yang mengalun, menambah suasana romantis di dalam ruangan itu.

Ia menggenggam tangan suaminya, Reza, erat. Mencoba mencari pegangan, mencoba menenangkan kegelisahan yang bersemayam di hatinya.

“Hana!”

Sebuah suara ceria membuatnya menoleh. Sinta berlari kecil ke arahnya dengan gaun pengantin yang begitu indah. Mata wanita itu berbinar penuh kebahagiaan.

“Aku senang sekali kau datang!” kata Sinta, memeluk Hana erat.

Hana tersenyum, membalas pelukan itu dengan tulus. Ia ingin bahagia untuk sahabatnya. Ia ingin merasa seperti ini adalah hari biasa, tanpa rasa asing yang menyusup dalam dadanya.

Namun, saat ia melepaskan pelukan itu, matanya bertemu dengan seseorang.

Arya.

Ia berdiri tak jauh dari sana, mengenakan setelan jas hitam yang sangat cocok dengannya. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sepersekian detik, dunia terasa membeku.

Hana merasa dadanya sesak. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak mereka terakhir kali bertemu. Seharusnya semua perasaan itu sudah hilang, sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tidak lagi berarti.

Tapi mengapa kini ia merasa seperti seseorang yang baru saja menemukan kembali sesuatu yang selama ini ia cari?

***

Saat pesta berlangsung, Hana mencoba menghindari Arya sebisa mungkin. Ia sibuk berbincang dengan tamu lain, membantu Sinta mengatur gaunnya, atau sekadar menyesap minuman di sudut ruangan.

Namun, sepertinya takdir memiliki rencana lain.

“Hana.”

Suara itu menghentikan langkahnya.

Ia menoleh, dan di sanalah Arya berdiri.

“Hai,” sapanya, berusaha terdengar biasa saja.

Arya tersenyum tipis. “Sudah lama sekali, ya?”

Hana mengangguk, menahan gejolak di hatinya. “Ya, sudah lama.”

Mereka saling menatap dalam diam. Ada banyak hal yang ingin diucapkan, tetapi tak ada satu pun yang bisa benar-benar diutarakan.

“Aku senang kamu datang,” kata Arya akhirnya.

Hana tersenyum kecil. “Aku tidak mungkin melewatkan hari bahagia sahabatku.”

Arya mengangguk, tetapi ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. “Bagaimana kabarmu?”

Hana menarik napas dalam. “Baik. Aku sudah menikah, seperti yang kau tahu.”

Senyum Arya sedikit meredup, meski ia tetap berusaha terlihat biasa. “Ya, aku tahu.”

Lagi-lagi keheningan menyelimuti mereka. Ada begitu banyak hal yang tak terucapkan. Begitu banyak pertanyaan yang dibiarkan menggantung.

Dan dalam keheningan itu, Hana menyadari satu hal—cinta yang dulu mereka miliki tidak benar-benar mati.

Itu masih ada.

Masih bersembunyi di dalam tatapan mata Arya.

Masih bersemayam di dalam debaran jantungnya sendiri.

***

“Hana!”

Suara Reza memanggilnya dari kejauhan, menyadarkannya dari lamunannya. Ia menoleh dan melihat suaminya melambai ke arahnya dengan senyum hangat.

Hana tersadar.

Ia bukan lagi gadis yang dulu. Ia bukan lagi Hana yang bisa berlari ke arah Arya tanpa memikirkan konsekuensi.

Ia kini seorang istri.

Begitu juga dengan Arya, yang baru saja memulai hidupnya bersama Sinta.

Dengan segenap kekuatan, Hana memaksakan senyum dan mengangguk pada Arya. “Selamat untuk pernikahanmu. Aku harap kau bahagia.”

Arya menatapnya dalam, seolah ingin mencari sesuatu dalam kata-kata itu. Namun akhirnya, ia mengangguk. “Terima kasih, Hana.”

Hana berbalik, melangkah menuju Reza.

Namun, dengan setiap langkah yang ia ambil, ada sesuatu yang tertinggal di belakang.

Sebuah perasaan yang seharusnya sudah mati.

Sebuah cinta yang ternyata masih hidup.

Namun, kini hanya bisa terpendam dalam sunyi.*

Bab 2: Senyum yang Kurindukan

Malam itu, Hana duduk di tepi tempat tidurnya, menatap pantulan dirinya di cermin rias. Bayangan seorang wanita dengan senyum samar, tapi sorot matanya penuh dengan kegelisahan.

Sejak pertemuan itu, hatinya tak bisa tenang. Ia merasa bersalah, meskipun tak melakukan kesalahan apa pun.

Ia hanya bertemu seorang teman lama. Seseorang yang kini menjadi suami sahabatnya.

Namun, mengapa perasaan ini begitu sulit diabaikan?

***

Beberapa hari berlalu, dan Hana mencoba menjalani hidupnya seperti biasa. Rutinitas sehari-hari bersama Reza, pekerjaan, dan pertemuan sosial—semua berjalan normal.

Namun, di setiap jeda waktu, pikirannya melayang pada sosok Arya. Pada tatapan matanya. Pada senyum yang dulu selalu bisa membuat dunianya lebih terang.

Ia benci mengakui bahwa dirinya masih merindukan senyum itu.

***

Suatu siang, Hana memutuskan untuk mengunjungi Sinta di kafe tempat mereka biasa bertemu. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama, dan Hana berharap ini bisa mengalihkan pikirannya.

Saat ia masuk ke dalam kafe, matanya langsung menemukan Sinta yang melambaikan tangan ke arahnya.

“Hana!” seru Sinta ceria. “Aku pesan teh favoritmu.”

Hana tersenyum dan duduk di seberang sahabatnya. “Terima kasih. Sudah lama kita tidak begini, ya?”

Sinta mengangguk antusias. “Iya, setelah menikah rasanya aku sibuk sekali! Banyak hal baru yang harus dipelajari.”

Hana tersenyum tipis. “Bagaimana kehidupan pernikahanmu?”

Sinta menghela napas dengan wajah berbinar. “Luar biasa. Arya itu perhatian sekali. Aku tidak pernah menyangka kalau menikah bisa seindah ini.”

Jantung Hana mencelos.

Ia meneguk tehnya, berharap bisa menenangkan hatinya.

“Dia sering membuat kejutan kecil, lho,” lanjut Sinta. “Kadang-kadang dia membawakan sarapan ke tempat tidur atau meninggalkan catatan manis di dalam bukuku.”

Hana tersenyum. Itu memang kebiasaan Arya. Dulu, ia juga sering mendapat hal serupa.

Sinta kemudian menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Ngomong-ngomong, waktu di pernikahanku, aku lihat kamu dan Arya sempat berbicara. Apa yang kalian bicarakan?”

Hana sedikit tersentak. Ia mencoba tetap tenang. “Tidak banyak. Hanya basa-basi.”

Sinta mengangguk, tampak tidak curiga. “Aku senang kalian tetap bisa berteman. Dulu, aku sempat khawatir, tahu? Kalian kan pernah…”

Hana menahan napas.

“Tapi aku yakin kalian berdua sudah benar-benar move on, kan?” lanjut Sinta dengan tawa kecil.

Hana ikut tertawa. Tapi entah kenapa, tawa itu terasa hampa.

***

Beberapa hari kemudian, Hana sedang berada di supermarket saat ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

Dari Arya.

**”Hana, apakah kita bisa bertemu sebentar?”**

Jari-jarinya membeku di atas layar.

Ia tidak seharusnya. Mereka tidak seharusnya.

Namun, sebelum akalnya bisa menahan, jemarinya sudah mengetik balasan.

**”Di mana?”**

***

Hana duduk di bangku taman, mengamati sekeliling dengan gelisah. Angin sore berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan dan membawa aroma tanah basah.

Tak lama, langkah kaki mendekat.

Ia tahu itu Arya, bahkan sebelum menoleh.

“Hana,” sapa Arya dengan suara rendah.

Hana mengangkat wajahnya dan melihatnya berdiri di sana, mengenakan kemeja biru dengan lengan digulung sampai siku.

“Apa kabar?” tanya Arya.

“Aku baik,” jawab Hana singkat. “Kenapa kamu ingin bertemu?”

Arya duduk di sebelahnya, menjaga jarak yang cukup. “Aku hanya… ingin memastikan sesuatu.”

Hana menoleh, bingung. “Apa?”

Arya terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Saat di pernikahanku… saat aku melihatmu lagi… aku merasa sesuatu yang sudah lama terkubur mulai muncul kembali.”

Hana membeku.

“Aku pikir aku sudah melupakan semuanya, Han,” lanjutnya pelan. “Tapi ternyata tidak.”

Hana menggigit bibirnya.

“Kamu merasakannya juga, kan?” Arya bertanya, suaranya lirih namun penuh kepastian.

Hana ingin menggeleng. Ia ingin berkata bahwa semua itu hanya nostalgia. Bahwa mereka hanya terjebak dalam kenangan masa lalu.

Tapi, matanya tidak bisa berbohong.

“Arya, kita tidak bisa seperti ini,” bisik Hana. “Kita sudah punya kehidupan masing-masing.”

“Aku tahu.”

“Tapi kenapa kita masih di sini?” tanyanya, hampir tak terdengar.

Arya tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, dan dalam tatapan itu, Hana melihat sesuatu yang membuat hatinya semakin berdebar.

Kerinduan.

Kerinduan yang sama seperti yang ia rasakan.

Sejenak, dunia terasa hening. Seolah hanya ada mereka berdua.

Namun, kenyataan kembali menarik mereka ke dalam genggamannya.

Ponsel Hana bergetar. Nama Reza muncul di layar.

Ia menelan ludah, lalu berdiri dengan cepat. “Aku harus pergi.”

Arya menatapnya, seolah ingin menahannya, tetapi ia tidak berkata apa-apa.

Hana berbalik dan melangkah pergi.

Namun, ia tahu.

Senyum itu, tatapan itu, kenangan itu—semua masih tersisa.

Dan ia tidak tahu apakah bisa menghindarinya.*

Bab 3: Batas yang Mulai Kabur

Hana duduk di meja makan bersama Reza, menikmati makan malam dalam keheningan. Suaminya tampak sibuk dengan ponselnya, sesekali mengulas senyum pada pesan yang diterimanya.

“Ada yang menarik?” tanya Hana, mencoba mengalihkan pikirannya dari seseorang yang akhir-akhir ini selalu menghantuinya.

Reza menoleh dan tersenyum. “Hanya urusan pekerjaan. Klienku baru saja menyetujui kontrak baru. Mungkin minggu depan aku harus ke luar kota beberapa hari.”

“Oh.”

Hana menyesap tehnya perlahan. Seharusnya ia merasa sedih karena akan ditinggal sementara. Namun, alih-alih perasaan itu, yang muncul justru kegelisahan.

Bukan karena kepergian Reza.

Tapi karena pikirannya kembali pada seseorang yang seharusnya tidak lagi mengisi hatinya.

Arya.

***

Hana berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Tapi perasaan itu semakin sulit diabaikan.

Setiap kali ia membuka media sosial, ia melihat unggahan Sinta—foto-foto kebahagiaan rumah tangganya bersama Arya.

Sinta tak pernah tahu bahwa di balik senyuman hangat itu, ada seseorang yang mulai kehilangan kendali.

Hana mencoba menghindari Arya. Namun, seakan semesta terus mempertemukan mereka, ia bertemu pria itu lagi secara tidak sengaja di sebuah pusat perbelanjaan.

Mereka berpapasan di dekat rak minuman. Hana hendak berbalik pergi, tetapi suara Arya menghentikannya.

“Hana.”

Ia menarik napas dalam sebelum menoleh. “Arya.”

Tatapan Arya penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan.

“Kamu menghindariku?” tanyanya pelan.

Hana menggigit bibirnya. “Aku hanya tidak ingin ada hal yang tidak diinginkan terjadi.”

Arya tertawa kecil, tetapi ada nada pahit di dalamnya. “Sudah terlambat, bukan?”

Hana terdiam. Ia tahu maksud Arya. Perasaan itu—yang seharusnya tidak ada—sudah terlanjur tumbuh kembali.

Dan batas antara yang boleh dan tidak boleh sudah mulai kabur.

***

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Hana menerima pesan dari Arya.

**”Bisakah kita bertemu? Hanya sebentar.”**

Ia menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya mengetik balasan.

**”Di mana?”**

***

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang jarang dikunjungi orang. Hana memilih tempat di sudut, berharap tidak ada yang mengenal mereka.

Arya datang tak lama kemudian. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku, membuatnya terlihat santai tetapi tetap rapi.

Hana mengalihkan pandangannya ketika Arya duduk di depannya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Arya.

Hana mengangguk pelan. “Seharusnya aku tidak datang.”

Arya tersenyum tipis. “Tapi kamu tetap datang.”

Hana tidak bisa membantah. Ia sendiri tidak tahu kenapa dirinya ada di sini.

Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang pekerjaan, tentang kehidupan setelah pernikahan, tentang bagaimana mereka berusaha menjalani peran masing-masing.

Namun, ada satu hal yang tak pernah mereka ucapkan.

Tentang perasaan yang masih ada.

Hana menyadari betapa nyamannya ia berbicara dengan Arya. Berbeda dengan percakapannya dengan Reza yang sering kali terasa formal dan penuh aturan, bersama Arya, semuanya mengalir begitu saja.

Tapi justru itulah yang berbahaya.

Saat ia menatap mata Arya yang teduh, ia sadar bahwa dirinya sedang bermain api.

Dan batas yang dulu jelas kini mulai menghilang.

***

Saat mereka berpisah, Arya menatapnya lama sebelum berkata, “Hana, kita tidak bisa terus seperti ini.”

Hana mengangguk. “Aku tahu.”

“Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura tidak merasakan apa pun,” lanjut Arya, suaranya hampir berbisik.

Hana terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat.

“Kita seharusnya berhenti,” katanya akhirnya.

Arya tersenyum kecil, tetapi matanya menyiratkan kepedihan. “Tapi bisakah kita?”

Hana tidak menjawab. Ia hanya berbalik, melangkah menjauh sebelum hatinya semakin rapuh.

Namun, dengan setiap langkah yang ia ambil, ia tahu bahwa sesuatu telah berubah.

Dan tidak ada jalan untuk kembali.*

Bab 4: Hujan dan Rahasia di Dalamnya

Langit mendung menggantung rendah di atas kota saat Hana melangkah keluar dari kantornya. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah yang khas. Tak lama kemudian, hujan mulai turun, rintik-rintik kecil yang perlahan berubah menjadi deras.

Hana merapatkan mantel di tubuhnya dan mempercepat langkah menuju tempat parkir. Namun, sebelum ia sempat mencapai mobilnya, sebuah suara yang begitu akrab menghentikan langkahnya.

“Hana!”

Ia menoleh.

Arya berdiri di dekat pintu kafe, memayungi dirinya dengan tangan. Pakaian kerjanya sudah sedikit basah, tetapi ia tidak terlihat peduli.

Hana ragu sejenak. Seharusnya ia berjalan terus. Seharusnya ia masuk ke dalam mobil dan pergi.

Namun, kakinya seakan membeku di tempat.

“Masuk dulu,” kata Arya sambil memberi isyarat ke arah kafe. “Hujannya deras.”

Hana menimbang sejenak, lalu menyerah pada ajakan itu. Ia mengikuti Arya masuk ke dalam kafe yang hangat dan nyaman. Aroma kopi bercampur dengan suara rintik hujan yang menghantam kaca jendela, menciptakan suasana yang begitu intim.

Mereka memilih duduk di meja dekat jendela. Hujan yang turun deras di luar membuat kafe terasa semakin tenang, seakan dunia di luar telah berhenti sejenak.

Hana mengusap rambutnya yang sedikit basah. “Kamu sering ke sini?”

Arya mengangguk. “Dulu, ya. Sekarang jarang.”

Hana tersenyum tipis. “Aku ingat. Kita sering ke kafe ini dulu.”

Arya menatapnya. “Kamu masih ingat?”

Hana tidak menjawab, hanya menatap cangkir tehnya yang masih mengepul. Tentu saja ia ingat. Tempat ini dulu adalah tempat pelarian mereka dari dunia. Tempat di mana mereka berbagi impian dan rahasia.

Tempat di mana dulu mereka jatuh cinta.

***

Keheningan menyelimuti mereka sejenak sebelum Arya akhirnya berbicara.

“Hana… ada yang ingin aku tanyakan.”

Hana mengangkat wajahnya, menatap Arya dengan sedikit waspada. “Apa?”

Arya tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya berkata dengan suara pelan, “Apa kamu bahagia?”

Hana terdiam.

Jawaban yang seharusnya mudah untuk diucapkan justru terasa berat di lidahnya. Ia ingin mengatakan ‘ya’. Ia ingin mengatakan bahwa hidupnya bersama Reza baik-baik saja.

Tapi, mengapa hatinya justru merasa kosong?

“Aku…” Hana menarik napas dalam. “Aku menjalani hidupku sebagaimana mestinya.”

Arya menatapnya, seolah bisa membaca setiap kebohongan kecil yang berusaha ia sembunyikan.

“Jawaban yang aman,” gumam Arya.

Hana tersenyum kecil, tetapi hatinya terasa nyeri.

***

Hujan semakin deras di luar. Cahaya lampu jalan yang terpantul di atas aspal yang basah menciptakan bayangan-bayangan samar yang berpendar.

“Kadang aku berpikir,” kata Arya tiba-tiba, “bagaimana kalau kita dulu mengambil keputusan yang berbeda?”

Hana menegang.

“Apa maksudmu?” tanyanya pelan.

Arya tersenyum tipis, tetapi matanya menyiratkan kesedihan. “Bagaimana kalau kita tetap bertahan? Bagaimana kalau kita tidak melepaskan satu sama lain?”

Hana menelan ludah. Pertanyaan itu menghantamnya lebih keras dari yang ia duga.

“Masa lalu sudah berlalu, Arya,” bisiknya.

“Tapi perasaan itu belum,” balas Arya cepat.

Hana menutup matanya sesaat. Ia tidak boleh mendengar ini. Tidak boleh membiarkan hatinya kembali terguncang.

“Kita tidak bisa seperti ini,” katanya, berusaha menguatkan dirinya sendiri.

Arya tertawa kecil, tetapi ada nada getir di dalamnya. “Aku tahu. Aku hanya ingin jujur, Hana.”

Hana menatapnya. “Jujur tentang apa?”

Arya menarik napas dalam sebelum akhirnya berkata, “Aku masih mencintaimu.”

Kata-kata itu membuat dunia Hana berhenti.

Ia merasakan dadanya berdebar kencang, jari-jarinya mencengkeram erat cangkir teh di tangannya.

Seharusnya ia marah. Seharusnya ia bangkit dan pergi.

Namun, ia hanya bisa duduk di sana, membiarkan pengakuan itu menggantung di udara.

Karena di dalam hatinya, ia tahu…

Ia juga masih merasakan hal yang sama.

***

Hujan semakin deras di luar. Hana menatapnya dengan tatapan kosong, pikirannya penuh dengan suara-suara yang saling bertentangan.

“Arya… kita sudah menikah. Aku dengan Reza. Kamu dengan Sinta. Kita tidak bisa…”

“Aku tahu,” potong Arya. “Aku tahu, Hana. Tapi perasaan ini tidak bisa dihapus begitu saja.”

Hana meremas jemarinya, mencoba mengendalikan gejolak dalam dadanya.

“Apa yang kamu harapkan dari semua ini?” tanyanya akhirnya.

Arya terdiam.

“Aku tidak tahu,” jawabnya jujur. “Aku hanya tahu bahwa aku tidak bisa berpura-pura tidak merasakan apa pun setiap kali melihatmu.”

Hana menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya.

“Kita harus berhenti,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Arya.

Arya menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum pahit. “Ya, mungkin kita harus.”

Tapi keduanya tahu…

Bahwa berhenti bukanlah hal yang mudah.

Dan hujan yang turun di luar seolah menjadi saksi atas rahasia yang kini mereka bagi bersama.

Rahasia yang seharusnya tidak pernah ada.*

Bab 5: Cinta yang Tak Seharusnya

Hana duduk di ruang tamunya dengan perasaan gelisah. Malam itu terasa lebih sepi dari biasanya, meskipun Reza ada di ruangan yang sama, duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya.

Mereka sudah menikah hampir lima tahun, tapi akhir-akhir ini Hana mulai merasakan sesuatu yang sulit ia jelaskan. Kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja, setidaknya di mata orang lain. Namun, ada kekosongan yang perlahan mulai menggerogoti hatinya.

Bukan karena Reza tidak memperhatikannya.

Bukan karena ada masalah besar di antara mereka.

Tapi karena di suatu tempat dalam hatinya, ada seseorang yang masih mengisi ruang yang seharusnya sudah tertutup rapat.

Arya.

***

Ponselnya bergetar pelan di atas meja. Hana melirik sekilas dan menemukan sebuah pesan masuk.

**”Bisakah kita bertemu? Hanya sebentar.”**

Dada Hana berdebar. Sejak pertemuan terakhir mereka di kafe saat hujan turun, ia berusaha keras untuk tidak memikirkan Arya. Tapi semakin ia mencoba melupakan, semakin bayangan pria itu menghantuinya.

Ia menatap Reza yang masih sibuk dengan pekerjaannya, tidak menyadari pergolakan yang terjadi di dalam hatinya.

Jari-jarinya bergerak sendiri, membalas pesan itu.

**”Di mana?”**

***

Hana berdiri di depan sebuah taman kecil yang sepi di pinggiran kota. Malam itu langit mendung, tetapi belum ada hujan yang turun. Lampu jalan menyinari trotoar dengan temaram, menciptakan suasana yang begitu sunyi.

Tak lama, Arya datang.

Ia mengenakan kemeja biru tua yang lengannya digulung hingga siku, tampak sederhana tetapi tetap membuat Hana sulit mengalihkan pandangannya.

“Kamu datang,” kata Arya pelan.

“Aku tidak seharusnya ada di sini,” balas Hana, suaranya terdengar lemah.

Arya tersenyum tipis. “Tapi kamu tetap datang.”

Hana mengalihkan pandangan, tidak ingin menatap mata Arya terlalu lama. Ia tahu, semakin lama ia menatap, semakin sulit baginya untuk menolak perasaan yang selama ini ia pendam.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyanya akhirnya.

Arya menarik napas dalam sebelum berkata, “Hana, aku tidak bisa berpura-pura lagi.”

Hana menggigit bibirnya. “Arya, jangan—”

“Aku tahu ini salah,” potong Arya cepat. “Aku tahu kita sudah menikah, aku tahu kita tidak seharusnya bertemu seperti ini. Tapi aku juga tahu satu hal, Hana.”

Ia menatap Hana dengan sorot mata yang begitu dalam, membuat Hana merasa semakin lemah.

“Aku masih mencintaimu.”

Kata-kata itu membuat dunia Hana seakan berhenti berputar.

Ia menutup matanya, berharap bisa menghilangkan perasaan yang kini semakin sulit ia redam.

“Arya…” bisiknya, nyaris tidak terdengar.

“Aku mencoba melupakanmu,” lanjut Arya. “Aku mencoba mencintai Sinta dengan segenap hatiku. Dan aku bahagia bersamanya. Tapi setiap kali aku melihatmu, setiap kali aku mendengar suaramu, aku sadar bahwa perasaan itu tidak pernah benar-benar hilang.”

Hana merasakan dadanya sesak. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa semuanya hanyalah kesalahpahaman, hanya ilusi dari masa lalu.

Tapi hatinya berkata sebaliknya.

Ia juga masih mencintai Arya.

“Ini salah,” kata Hana dengan suara bergetar. “Kita tidak bisa melakukan ini, Arya. Kita tidak bisa menghancurkan hidup orang lain demi perasaan yang seharusnya sudah kita kubur.”

Arya terdiam lama sebelum akhirnya berkata, “Lalu bagaimana caranya aku harus melupakanmu?”

Hana tidak bisa menjawab. Karena ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya melupakan Arya.

***

Malam semakin larut. Angin berhembus dingin, membuat Hana merapatkan mantel di tubuhnya.

“Aku harus pergi,” katanya akhirnya.

Arya menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya mengangguk.

Namun, saat Hana berbalik hendak melangkah pergi, Arya tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.

“Jangan pergi,” pinta Arya, suaranya hampir berbisik.

Hana membeku di tempat.

Ia merasakan hangatnya tangan Arya di kulitnya, dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia merasa begitu hidup.

Tapi justru itulah yang membuatnya semakin takut.

Perasaan ini…

Cinta ini…

Tidak seharusnya ada.

Ia menarik tangannya perlahan, lalu berbalik tanpa berkata apa-apa.

Dengan setiap langkah yang ia ambil, hatinya semakin remuk.

Namun, ia tahu satu hal.

Sekali saja ia membiarkan hatinya jatuh, tidak akan ada jalan untuk kembali.

Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa ia pertaruhkan.

Tidak sekarang.*

Bab 6: Dosa dalam Tatapan Mata

Malam itu, Hana duduk di ruang tamu rumahnya, menatap kosong ke arah layar televisi yang menayangkan acara yang sama sekali tidak ia pahami. Pikirannya melayang jauh ke pertemuan terakhirnya dengan Arya.

Tatapan pria itu masih terpatri jelas di benaknya—tatapan yang penuh dengan perasaan yang tak terucap, yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Tatapan yang membuat Hana mengerti bahwa mereka berdua sedang berdiri di tepi jurang yang berbahaya.

Ia menghela napas panjang. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Ada satu pesan masuk dari Arya.

**”Kamu baik-baik saja?”**

Pesan singkat yang begitu sederhana, tetapi mampu mengguncang hatinya.

Jari-jarinya gemetar di atas layar. Ia tahu ia seharusnya mengabaikan pesan itu, menghapusnya, dan berpura-pura tidak pernah ada. Tapi sesuatu dalam dirinya menolak untuk melakukannya.

Setelah ragu beberapa saat, akhirnya ia mengetik balasan.

**”Aku baik. Kamu?”**

Pesannya terkirim. Hana menatap layar dengan dada berdebar. Tidak butuh waktu lama sebelum ponselnya bergetar lagi.

**”Bisa kita bertemu?”**

Hana menutup matanya, mencoba mengusir pergolakan yang semakin menguasai dirinya.

Jawabannya seharusnya “tidak”.

Seharusnya ia tidak memberikan kesempatan untuk perasaan ini tumbuh lebih jauh.

Tetapi, hatinya berkata sebaliknya.

Jari-jarinya kembali bergerak, seakan memiliki kehendaknya sendiri.

**”Di mana?”**

***

Hana tiba di sebuah restoran kecil yang terletak di pinggir kota. Tempat itu tidak terlalu ramai, cukup sepi untuk sebuah pertemuan yang seharusnya tidak terjadi.

Arya sudah menunggunya di sana. Ia duduk di sudut ruangan, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung. Ketika Hana melangkah mendekat, mata mereka bertemu.

Saat itulah Hana menyadari sesuatu.

Mereka tidak membutuhkan kata-kata untuk memahami apa yang sedang terjadi di antara mereka.

Tatapan Arya berbicara banyak—tentang kerinduan, tentang penyesalan, tentang keinginan yang tidak bisa dikendalikan.

Hana menarik napas panjang sebelum duduk di hadapannya.

“Apa kabarmu?” tanya Arya dengan suara pelan.

Hana tersenyum tipis. “Seharusnya aku tidak datang ke sini.”

Arya menatapnya dalam. “Tapi kamu tetap datang.”

Hana menundukkan kepala. Ia tidak punya alasan, tidak punya pembenaran. Ia hanya tahu bahwa berada di dekat Arya terasa seperti kembali ke rumah—dan itulah yang membuat semuanya menjadi jauh lebih berbahaya.

***

Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang pekerjaan, tentang hal-hal kecil dalam hidup mereka, tentang segala sesuatu yang tampak tidak berbahaya.

Tetapi di antara setiap kalimat, ada sesuatu yang tidak terucap.

Ketika Arya menatapnya, Hana bisa merasakan tatapan itu menelusuri setiap sudut hatinya, menyingkap semua perasaan yang selama ini berusaha ia sembunyikan.

Dan saat ia membalas tatapan itu, ia tahu bahwa ia pun tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya sendiri.

“Arya…” bisiknya, hampir tidak terdengar.

Arya tidak menjawab. Ia hanya menatap Hana dengan intensitas yang semakin membuatnya goyah.

Dan di saat itulah, untuk pertama kalinya, Hana menyadari sesuatu yang selama ini ia tolak untuk akui.

Ia tidak sedang bermain-main dengan api.

Ia sudah terlanjur terbakar.

***

Hujan mulai turun di luar, menciptakan ketukan lembut di jendela kaca restoran.

Arya menatapnya lama sebelum akhirnya berkata dengan suara lirih, “Aku ingin melupakanmu, Hana. Aku benar-benar ingin.”

Hana menelan ludah.

“Tapi aku tidak bisa.”

Kata-kata itu menghantam hatinya dengan begitu keras.

Ia tidak seharusnya merasakan hal yang sama. Tidak seharusnya membiarkan hatinya terbuka untuk pria yang bukan suaminya.

Namun, semakin ia mencoba melawan, semakin ia terjebak dalam pusaran perasaan yang tidak bisa ia kendalikan.

“Arya… kita tidak boleh seperti ini,” bisiknya lemah.

Arya tersenyum pahit. “Aku tahu. Tapi kenapa rasanya begitu sulit?”

Hana menggigit bibirnya, berusaha keras untuk tetap berpegang pada akal sehatnya.

Namun, ketika Arya mengulurkan tangannya dan menyentuh jemarinya di atas meja, segalanya runtuh.

Sentuhan itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum Hana menarik tangannya cepat. Tetapi, dampaknya bertahan lebih lama daripada yang seharusnya.

Mereka sama-sama tahu bahwa batas yang selama ini mereka pertahankan sudah semakin kabur.

Dan dosa itu…

Bermula dari tatapan mata yang tidak bisa mereka hindari.

***

Hana pulang dengan perasaan kacau.

Di rumah, Reza sudah tertidur di kamar mereka. Ia tampak lelah setelah seharian bekerja, tetapi wajahnya tetap terlihat tenang.

Hana menatapnya lama. Ada perasaan bersalah yang begitu menyesakkan dadanya.

Seharusnya ia tidak membiarkan dirinya terjebak dalam situasi ini. Seharusnya ia mencintai Reza dengan seutuhnya.

Tapi kenyataannya, hatinya sudah tidak utuh lagi.

Separuhnya masih tertinggal di masa lalu.

Dan malam ini, ia menyadari bahwa ia tidak lagi bisa mengelak.

Ia sudah jatuh terlalu dalam.

Dan tidak ada jalan untuk kembali.*

Bab 7: Saat Kebohongan Menjadi Luka

Malam itu, Hana duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Cahaya lampu kamar yang redup memantulkan wajahnya yang tampak lelah, tetapi bukan hanya karena fisik.

Hatinya yang kelelahan.

Ia telah melangkah terlalu jauh.

Pikirannya kembali ke pertemuan terakhirnya dengan Arya. Tatapan pria itu, genggaman tangannya, dan kata-kata yang diucapkan masih terngiang jelas di benaknya. Ia tahu seharusnya ia berhenti. Seharusnya ia melangkah mundur sebelum semuanya terlambat.

Tapi perasaan itu terlalu kuat untuk diabaikan.

Sebuah suara dari belakang membuatnya tersentak.

“Kamu belum tidur?”

Hana menoleh cepat dan menemukan Reza berdiri di ambang pintu. Pria itu mengenakan kaos putih dan celana tidur, rambutnya sedikit berantakan, tetapi sorot matanya penuh perhatian.

“Aku tidak bisa tidur,” jawab Hana, mencoba tersenyum agar terlihat normal.

Reza berjalan mendekat, lalu berdiri di belakangnya, menatap Hana melalui pantulan cermin.

“Kamu kelihatan lelah,” katanya sambil meletakkan tangannya di bahu Hana.

Hana hanya tersenyum kecil.

“Ada yang ingin kamu ceritakan?” tanya Reza lembut.

Pertanyaan itu membuat Hana tercekat.

Apakah Reza mulai curiga?

Ia menggeleng cepat. “Tidak, aku hanya banyak pikiran.”

Reza mengangguk pelan. “Kalau begitu, tidurlah. Aku tidak suka melihatmu seperti ini.”

Hana mengangguk, meskipun ia tahu malam ini ia tidak akan bisa tidur dengan tenang.

Karena kebohongan yang ia sembunyikan mulai berubah menjadi luka di hatinya sendiri.

***

Keesokan paginya, Hana menjalani hari seperti biasa. Ia berusaha bersikap normal, meskipun pikirannya terus dipenuhi oleh kegelisahan yang semakin hari semakin sulit ia kendalikan.

Saat ia tiba di kantor, ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari Arya.

**”Bisakah kita bertemu malam ini?”**

Hana menatap layar ponselnya dengan jantung berdegup kencang. Ia tahu, jika ia terus seperti ini, pada akhirnya semua akan terbongkar. Tapi ia juga tidak bisa mengabaikan pesan itu begitu saja.

Jari-jarinya bergerak sendiri, mengetik balasan.

**”Di mana?”**

***

Malamnya, Hana berdiri di depan sebuah kafe kecil yang terletak jauh dari pusat kota. Tempat itu tidak terlalu ramai, cocok untuk sebuah pertemuan yang seharusnya tidak terjadi.

Arya sudah duduk di dalam, menunggunya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Ketika Hana melangkah masuk dan duduk di depannya, pria itu langsung menatapnya dengan mata yang penuh keraguan.

“Aku merasa bersalah,” kata Hana pelan, suaranya hampir berbisik.

Arya terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Aku juga.”

Mereka saling menatap, tetapi tidak ada yang berbicara. Karena mereka tahu, tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki keadaan.

Setelah beberapa saat, Arya akhirnya membuka suara. “Hana, kita harus berhenti.”

Kata-kata itu membuat dada Hana terasa sesak.

“Aku tahu,” jawabnya lirih.

“Tapi kenapa rasanya begitu sulit?” tanya Arya, suaranya penuh frustrasi.

Hana menggigit bibirnya. Ia tidak tahu jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Ia hanya tahu bahwa ia semakin tenggelam dalam perasaan yang seharusnya tidak ada.

***

Ketika Hana pulang malam itu, ia mendapati Reza sudah menunggunya di ruang tamu.

Pria itu duduk di sofa dengan ekspresi serius. Begitu melihat Hana, ia berdiri dan menatapnya dalam.

“Kamu dari mana?” tanyanya langsung.

Hana tercekat.

“Aku… dari kantor. Ada kerjaan yang harus aku selesaikan,” jawabnya cepat, berusaha terdengar meyakinkan.

Reza tidak langsung menjawab. Ia hanya mengamati Hana dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kamu yakin?”

Hana menelan ludah. “Ya. Kenapa?”

Reza menghela napas pelan, lalu menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku hanya merasa kamu berubah akhir-akhir ini.”

Hana berusaha tersenyum. “Aku baik-baik saja, Reza.”

Tapi dalam hati, ia tahu ia baru saja menambahkan satu kebohongan lagi dalam hidupnya.

Dan semakin banyak kebohongan yang ia ciptakan, semakin dalam luka itu menganga.

Luka yang tidak hanya akan melukai dirinya sendiri…

Tapi juga orang-orang yang mencintainya*

Bab 8: Perpisahan yang Tak Diinginkan

Hana duduk diam di dalam mobilnya, menatap kosong ke arah jalanan yang mulai sepi. Lampu-lampu kota berpendar lembut, menciptakan siluet samar di kaca jendela. Di tangannya, ponselnya bergetar pelan—sebuah pesan masuk dari Arya.

**”Aku sudah di sini.”**

Jari-jari Hana mengepal erat di atas kemudi. Ia menarik napas dalam, mencoba menguatkan hatinya sebelum akhirnya membuka pintu dan melangkah keluar.

Restoran tempat mereka janjian malam itu tidak terlalu ramai. Hana melangkah masuk dengan perasaan yang bercampur aduk. Di sudut ruangan, Arya sudah menunggunya.

Ketika mata mereka bertemu, ada kesedihan yang terpancar jelas di dalamnya.

Hana tahu, ini adalah pertemuan terakhir mereka.

***

Mereka duduk berhadapan dalam keheningan yang menyakitkan. Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat, seolah-olah mereka ingin menikmati momen terakhir ini sebelum semuanya berakhir.

Arya akhirnya membuka suara, suaranya pelan dan berat.

“Hana, aku sudah memikirkannya.”

Hana menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Kita tidak bisa terus seperti ini,” lanjut Arya. “Aku tidak bisa terus menyakitimu… atau diriku sendiri.”

Dada Hana terasa sesak.

“Aku tahu,” bisiknya lirih.

Tapi mengucapkan kata-kata itu tidak membuatnya merasa lebih baik.

“Kalau kita tetap bertahan dalam situasi ini, pada akhirnya hanya akan ada lebih banyak luka,” kata Arya. “Bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk mereka yang ada di sisi kita.”

Hana menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.

Ia tahu Arya benar.

Mereka telah bermain api terlalu lama. Dan jika mereka terus seperti ini, semuanya akan terbakar habis.

“Tapi…” Hana mencoba berbicara, meskipun suaranya hampir tidak terdengar, “kenapa rasanya begitu sulit?”

Arya tersenyum pahit. “Karena kita masih saling mencintai.”

Hana terdiam. Kata-kata itu menghantam hatinya dengan begitu keras.

Ya, mereka masih saling mencintai.

Tapi cinta saja tidak cukup untuk melawan kenyataan yang ada.

***

Hujan mulai turun di luar.

Mereka masih duduk di tempat yang sama, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka.

Hana menggenggam gelas kopinya erat-erat, seolah-olah itu bisa menenangkan kegelisahannya.

“Bagaimana caranya kita melupakan semua ini?” tanyanya akhirnya.

Arya menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan. “Aku tidak tahu.”

Mereka berdua tahu bahwa tidak akan ada cara yang benar-benar bisa menghapus perasaan mereka.

Mereka hanya bisa berpura-pura melupakan, menjalani hidup masing-masing seolah tidak pernah ada apa-apa.

Dan itu… terasa lebih menyakitkan daripada apapun.

“Arya…” Hana menelan ludah. “Bisakah kita tetap seperti ini? Meskipun hanya sebagai teman?”

Arya menatapnya lama sebelum akhirnya menggeleng pelan. “Tidak, Hana. Aku tidak bisa.”

Hana merasakan hatinya semakin hancur.

“Aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak mencintaimu,” lanjut Arya. “Dan kalau aku tetap ada di dekatmu, aku hanya akan semakin sulit melepaskanmu.”

Air mata Hana akhirnya jatuh.

Ia menunduk, mencoba menyembunyikannya, tetapi Arya pasti sudah melihatnya.

Pria itu mengulurkan tangan, menyentuh jemari Hana untuk terakhir kalinya.

Sentuhan yang selama ini terasa begitu hangat… kini terasa menyakitkan.

“Terima kasih, Hana,” ucap Arya dengan suara lirih. “Terima kasih karena pernah mencintaiku.”

Hana menggigit bibirnya, menahan isakan.

“Aku akan selalu mencintaimu, Arya,” bisiknya.

Mereka saling menatap, membiarkan air mata berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

Dan kemudian, dengan berat hati, Arya melepaskan tangannya.

Ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan pergi tanpa menoleh lagi.

Hana hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh…

Sampai akhirnya menghilang sepenuhnya.

Dan di saat itulah, Hana tahu…

Beberapa cinta memang ditakdirkan untuk tidak pernah bersatu.

***

Malam itu, Hana pulang dengan hati yang hancur.

Ketika ia tiba di rumah, Reza sudah tertidur di kamar mereka. Ia tampak begitu damai, tidak menyadari badai yang tengah berkecamuk di dalam hati istrinya.

Hana berdiri di depan tempat tidur, menatap wajah suaminya dengan perasaan bersalah yang begitu dalam.

Ia telah mencintai pria lain.

Dan sekarang, meskipun perasaan itu belum benar-benar hilang, ia tahu bahwa ia harus belajar menerima kenyataan.

Dengan hati yang berat, Hana berbaring di samping Reza, memejamkan matanya.

Air matanya masih mengalir.

Karena perpisahan ini…

Bukan sesuatu yang ia inginkan.

Tapi sesuatu yang harus ia terima.*

Bab 9: Pengorbanan di Ujung Jalan

Hana menatap bayangan dirinya di cermin kamar, matanya sembab akibat air mata yang tak kunjung berhenti sejak semalam. Ia menggenggam tepi meja rias, mencoba menenangkan detak jantung yang masih terasa begitu berat.

Hari ini, ia harus mengambil keputusan.

Tidak ada lagi jalan untuk mundur. Tidak ada lagi kesempatan untuk berpaling.

Ia harus memilih—melanjutkan hidup yang seharusnya atau mempertahankan sesuatu yang tak lagi mungkin dimiliki.

Di luar, suara hujan mengguyur pelan. Seolah langit pun turut merasakan pergolakan yang ada di dalam dadanya.

Ia menoleh ke tempat tidur. Reza masih terlelap, napasnya tenang seperti biasa. Pria itu tidak pernah tahu bahwa istrinya telah mencintai orang lain dalam diam. Bahwa istrinya telah menyimpan rahasia yang seharusnya tidak ada.

Dan sekarang, untuk pertama kalinya, Hana berjanji pada dirinya sendiri.

Semua ini harus berakhir.

Meskipun itu berarti ia harus mengorbankan hatinya sendiri.

***

Telepon dari Arya masuk tepat ketika Hana sedang mengemasi berkas-berkas di meja kerjanya.

Tangannya gemetar saat melihat nama pria itu muncul di layar. Ia ragu sejenak, tetapi pada akhirnya menekan tombol hijau.

“Halo…” suaranya terdengar pelan, hampir bergetar.

“Aku ingin bertemu,” suara Arya di seberang terdengar dalam dan penuh ketegasan.

Hana menelan ludah.

“Arya, kita tidak boleh…”

“Hanya sebentar, Hana,” potong Arya cepat. “Ada sesuatu yang harus aku katakan.”

Keheningan menyelimuti mereka sejenak.

Hana tahu ia seharusnya menolak.

Seharusnya ia mengakhiri semuanya di titik ini.

Tetapi, ia juga tahu bahwa jika ini benar-benar perpisahan terakhir mereka, maka ia ingin setidaknya melihat Arya sekali lagi.

“Di mana?” tanyanya akhirnya.

***

Hana tiba di taman kecil di pinggir kota, tempat di mana mereka dulu pernah bertemu secara diam-diam.

Arya sudah ada di sana, berdiri di bawah pohon rindang dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak.

Ketika Hana mendekat, pria itu mengangkat wajahnya dan menatapnya dalam-dalam.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Hana, mencoba terdengar setenang mungkin.

Arya tidak langsung menjawab. Ia hanya mengamati wajah Hana seolah ingin menghafalkan setiap detailnya.

“Aku akan pergi,” ucapnya akhirnya.

Hana terdiam.

“Pergi ke mana?” suaranya terdengar serak.

“Aku mengajukan pindah tugas ke luar kota.” Arya menarik napas panjang. “Aku butuh tempat baru… kehidupan baru.”

Dada Hana terasa begitu sesak.

Jadi, ini benar-benar perpisahan?

“Kenapa?” tanyanya dengan suara bergetar.

Arya tersenyum kecil, tetapi matanya penuh kesedihan. “Karena kalau aku tetap di sini, aku tidak akan bisa berhenti mencintaimu.”

Kata-kata itu menghantam Hana seperti badai.

“Arya…” ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini.

Arya melangkah lebih dekat, tangannya terangkat seolah ingin menyentuh wajah Hana, tetapi ia menahannya.

“Aku ingin kamu bahagia, Hana,” lanjutnya. “Dengan atau tanpa aku.”

Hana menggeleng pelan. “Bagaimana kalau aku tidak bisa bahagia tanpamu?”

Arya tersenyum pahit. “Kamu harus mencoba.”

Keheningan menggantung di antara mereka.

Hana ingin berlari ke arahnya, ingin memohon agar Arya tetap tinggal.

Tapi di lubuk hatinya, ia tahu ini adalah jalan terbaik.

Seseorang harus mengalah. Seseorang harus berkorban.

Dan kali ini, Arya memilih menjadi orang itu.

***

Mereka berdiri di sana selama beberapa saat, membiarkan hujan rintik-rintik membasahi mereka.

Hana akhirnya menghela napas panjang, menatap Arya dengan penuh kepedihan.

“Aku akan merindukanmu,” bisiknya.

Arya tersenyum. “Aku juga.”

Mereka saling menatap untuk terakhir kalinya.

Lalu, tanpa kata-kata lagi, Arya melangkah pergi.

Hana hanya bisa berdiri di tempatnya, menyaksikan pria yang dicintainya semakin menjauh.

Dan ketika sosoknya benar-benar menghilang di ujung jalan…

Hana tahu, inilah akhir dari segalanya.

Sebuah pengorbanan yang harus dilakukan…

Agar cinta itu tidak lagi menjadi dosa.*

### **Bab 10: Cinta dalam Sunyi**

Hana duduk di teras rumahnya, menatap langit senja yang perlahan berubah gelap. Angin berembus lembut, membawa serta aroma tanah basah sisa hujan sore tadi. Namun, tidak ada lagi suara langkah kaki yang ia tunggu. Tidak ada lagi pesan singkat yang membuat jantungnya berdegup kencang.

Arya telah pergi.

Dan ia harus belajar menerima kenyataan itu.

Di dalam rumah, suara televisi terdengar samar. Reza mungkin sedang menonton berita atau acara favoritnya, seperti biasa. Seolah tidak ada yang berubah dalam hidup mereka.

Tapi bagi Hana, segalanya terasa berbeda.

Hatinya kosong.

Sunyi.

Ia telah kehilangan sesuatu yang tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.

***

Beberapa hari setelah kepergian Arya, Hana menjalani hidup seperti biasa. Ia pergi ke kantor, menyelesaikan pekerjaannya, lalu pulang dan menjalankan perannya sebagai istri.

Tapi ada bagian dari dirinya yang terasa hampa.

Setiap pagi, ia berharap ada pesan dari Arya. Setiap melewati taman kecil tempat mereka biasa bertemu, hatinya mencelos. Setiap malam, ia berusaha menghapus kenangan yang terus datang tanpa diundang.

Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin dalam kenangan itu mengakar.

Hana sadar, cinta itu masih ada.

Hanya saja, kini harus disimpan dalam sunyi.

***

Suatu malam, saat sedang merapikan meja kerja di rumah, Hana menemukan sesuatu yang membuatnya terdiam.

Sebuah buku catatan kecil.

Buku itu adalah tempatnya menulis puisi dan perasaan yang tidak pernah bisa ia ungkapkan. Saat membukanya, matanya tertumbuk pada satu halaman yang ditulisnya beberapa minggu lalu—

_”Cinta yang harus dipendam adalah luka yang tak bisa sembuh.
Namun, mencintai dalam diam adalah pengorbanan yang paling suci.”_

Jari-jarinya bergetar saat menyentuh tulisan itu.

Cinta yang ia miliki untuk Arya masih ada, tapi ia tahu ia tidak boleh lagi membiarkannya menguasai hatinya.

Ia harus belajar mencintai dalam diam.

Dalam sunyi.

***

Hana menutup buku catatan itu dan menghembuskan napas panjang.

Lalu, ia melangkah ke ruang tengah dan menemukan Reza sedang duduk di sofa, membaca sesuatu di ponselnya.

Saat mendengar langkah kaki Hana, pria itu menoleh dan tersenyum. “Sudah selesai bekerja?”

Hana mengangguk. “Iya.”

Ada jeda sejenak sebelum akhirnya ia memberanikan diri untuk berkata, “Reza… menurutmu, cinta itu bisa berubah?”

Reza tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Mungkin bukan cinta yang berubah. Tapi manusia yang belajar untuk mencintai dengan cara yang berbeda.”

Jawaban itu membuat Hana tercekat.

Ia menatap suaminya lama, lalu tersenyum tipis.

Mungkin Reza benar.

Mungkin Hana harus belajar mencintai dengan cara yang berbeda.

Bukan dengan gairah yang menggebu, bukan dengan harapan akan pertemuan-pertemuan rahasia…

Tapi dengan kesetiaan yang tenang.

Dengan menerima kenyataan bahwa ada cinta yang hanya bisa hidup dalam sunyi.

Dan pada akhirnya, ia memilih untuk tetap tinggal.

Bersama seseorang yang sejak awal telah mencintainya tanpa syarat.***

——THE END——-

Tags: #kisahcinta#perpisahancintadalamsunyicintaterlaangmelankolisnovelromansa
Previous Post

RINDU YANG SETIA

Next Post

“TAK BISA TANPA KAMU”

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
“TAK BISA TANPA KAMU”

"TAK BISA TANPA KAMU"

CINTA YANG TERTUKAR DUSTA

CINTA YANG TERTUKAR DUSTA

“HANYA KAMU DIHATIKU”

"HANYA KAMU DIHATIKU"

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id