Daftar Isi
- Bab 1: Kenangan yang Hilang
- Bab 2: Di Balik Layar Kepergian
- Bab 3: Menghindar, Tapi Tak Bisa
- Bab 4: Kedatangan yang Tak Mengguncang
- Bab 5: Dendam yang Membakar
- Bab 6: Jatuh dalam Lubang yang Sama
- Bab 7: Cinta yang Tak Terungkap
- Bab 8: Perasaan yang Kembali
- Bab 9: Memilih Asmara, Cinta, dan Dendam
- Bab 10: Cinta yang Akhirnya Terbalas
Bab 1: Kenangan yang Hilang
Rana duduk di sudut kafe kecil yang terletak di pinggir jalan utama kota, tempat yang selalu mereka kunjungi bersama. Setiap sudut ruang ini seolah memancarkan kenangan yang tak bisa ia hindari. Dari meja yang biasa mereka duduki, hingga suara deru kendaraan di luar yang seakan menjadi latar belakang dari percakapan hangat mereka dulu. Semua itu kini hanya mengingatkan pada satu hal—Aditya.
Ia menatap cangkir kopi yang hampir habis, tangan yang gemetar sedikit menahan rasa yang tiba-tiba membuncah di dadanya. Keinginan untuk melupakan masa lalu yang selalu hadir dalam setiap langkahnya kini terasa semakin sulit. Wajah Aditya, senyum tulusnya, cara ia menyentuh tangannya dengan lembut, semuanya seakan terputar ulang di benaknya. Dulu, semua itu terasa begitu nyata, begitu berarti. Namun, kini, semuanya telah hilang. Terhapus. Seperti kenangan yang terjatuh di dalam kerikil-kerikil tajam yang tak bisa lagi ia raih.
“Kenapa kamu pergi, Aditya?” gumamnya pelan, seolah berharap pria itu bisa muncul di hadapannya, menjawab setiap pertanyaannya.
Rana mengingat kembali hari itu. Hari ketika segalanya berubah. Hari yang seharusnya menjadi hari penuh kebahagiaan mereka, malah menjadi awal dari segalanya runtuh. Semuanya dimulai di sebuah malam yang cerah, ketika mereka berencana merayakan ulang tahun mereka yang ke-3. Sebuah momen yang sudah mereka persiapkan dengan penuh cinta. Segala sesuatu terasa sempurna. Namun, kenyataannya berbeda.
Aditya, pria yang selama ini membuat hati Rana penuh dengan kebahagiaan, tiba-tiba berubah. Ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya malam itu. Ia terlihat gelisah, lebih sering memeriksa ponselnya, dan berbicara dengan nada yang tidak seperti biasanya. Ketika ditanya, ia hanya memberikan senyum canggung, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Rana tidak menyadari bahwa ada lebih banyak hal yang terjadi di balik senyum itu.
Malam itu berakhir dengan sebuah pertengkaran yang begitu hebat, jauh lebih dari yang pernah mereka alami sebelumnya. Aditya mengaku bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti racun yang menyebar perlahan, menghancurkan setiap dinding kepercayaan yang mereka bangun bersama.
“Aku… aku sudah tidak bisa lagi bersama kamu, Rana,” kata Aditya dengan suara parau, seakan setiap kata yang ia ucapkan begitu sulit untuk keluar.
Rana menatapnya dengan mata yang semakin basah. “Apa maksud kamu, Aditya? Kenapa kamu bilang seperti itu?” tanyanya dengan suara gemetar, berusaha untuk memahami apa yang baru saja ia dengar.
Aditya menarik napas panjang. “Aku sudah… sudah ada orang lain.”
Kata-kata itu bagaikan halilintar yang menghantam jantungnya. Selama ini, ia merasa aman dan dicintai, namun kenyataannya berbeda. Rasa sakit itu datang begitu cepat, begitu menghujam. Bagaimana bisa Aditya, orang yang selalu ia percayai, melakukan hal sekeji ini?
Rana terdiam, mencoba untuk mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Aditya. Ia tidak bisa mempercayainya. Kenapa Aditya tidak pernah memberi tanda? Kenapa semua ini harus terjadi?
Tahun-tahun yang telah mereka habiskan bersama terasa sia-sia. Semua kenangan indah yang mereka bangun, semua rencana masa depan yang pernah mereka bicarakan, kini terasa seperti kebohongan besar. Kepercayaan yang ia berikan pada Aditya telah hancur begitu saja.
Akhirnya, mereka berpisah dengan begitu banyak rasa sakit, dan sejak saat itu, hidup Rana tidak pernah sama lagi. Setiap langkah yang ia ambil selalu dihantui oleh bayang-bayang masa lalu. Ia tidak bisa mengerti kenapa Aditya memilih untuk meninggalkannya begitu saja, tanpa memberi kesempatan untuk membicarakan masalah itu lebih dalam. Seakan-akan semuanya sudah berakhir begitu cepat, tanpa alasan yang jelas.
Rana masih ingat dengan jelas bagaimana Aditya meninggalkan ruang hati dan pikirannya begitu saja. Ia merasa dibuang begitu saja, seperti sampah yang tak ada harganya. Kenapa tidak ada kesempatan untuk berbicara lebih banyak? Kenapa tidak ada usaha untuk memperbaiki segala sesuatu yang rusak?
“Kenapa kamu tidak bisa bertahan, Aditya?” suara Rana terdengar nyaris tak terdengar, hanya berbisik pada dirinya sendiri. “Kenapa kamu meninggalkan aku begitu saja?”
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menghantui, seiring dengan detak jantung yang terasa semakin cepat. Perasaan itu, perasaan yang penuh dengan kebingungannya, masih tetap hidup dalam dirinya. Setiap kali dia mencoba untuk melanjutkan hidup, kenangan tentang Aditya kembali muncul. Mereka seperti bayangan yang tak bisa pergi.
Ia menundukkan kepalanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan tanya. Dendam itu, meski ia coba simpan dalam-dalam, tetap menyala di dalam hatinya. Tapi, di sisi lain, ia juga tahu bahwa perasaan cinta yang dulu ada masih belum sepenuhnya hilang.
Cinta yang tak terbalas. Sebuah kalimat yang begitu sederhana namun sangat berat untuk diterima. Sebuah kisah yang terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Begitu banyak hal yang ingin ia ucapkan pada Aditya, begitu banyak yang ingin ia katakan untuk menjelaskan betapa sakitnya hatinya. Tapi apa gunanya? Aditya sudah pergi, dan semua yang tersisa hanya kenangan yang tak bisa ia hapus.
Rana menyedot sisa kopinya, merasakan pahitnya di lidah. Saat itu, dia sadar, meskipun ia berusaha untuk menghindar, kenangan itu tetap ada. Cinta yang tak terbalas itu akan selalu menjadi bagian dari dirinya.*
Bab 2: Di Balik Layar Kepergian
Setelah perpisahan yang mengiris hati itu, Rana merasa seolah-olah dunia ini tiba-tiba berubah menjadi abu-abu. Hidup yang dulunya penuh warna, kini terasa kosong dan hampa. Setiap sudut rumah, setiap jejak langkah yang ia ambil, mengingatkannya pada Aditya. Ia selalu bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa hubungan yang sudah dibangun dengan begitu banyak cinta dan harapan berakhir dengan cara yang begitu kejam?
Namun, seiring berjalannya waktu, satu per satu potongan teka-teki mulai terungkap. Di hari-hari pertama setelah perpisahan, Rana hanya terbungkus dalam kesedihan dan kebingungannya, seakan tak mampu menerima kenyataan. Tetapi, satu kejadian tak terduga membawa segalanya ke permukaan.
Hari itu, seperti biasa, Rana memutuskan untuk membersihkan rumah dan merapikan barang-barang yang sudah lama tidak ia sentuh. Di salah satu laci meja belajarnya, sebuah amplop putih tergeletak tanpa nama. Dengan penasaran, ia membuka amplop tersebut dan menemukan sebuah surat yang ternyata ditujukan pada Aditya. Surat itu berasal dari seorang wanita yang tidak dikenal oleh Rana.
“Tuan Aditya,
Semoga surat ini menemui Anda dalam keadaan baik. Saya menulis untuk memberitahukan Anda bahwa saya sudah tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan saya. Sejak pertemuan pertama kita, saya merasa ada ikatan yang tak bisa saya jelaskan. Saya tahu Anda memiliki seseorang, tapi saya tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Semoga kita bisa bertemu lagi, untuk bisa membicarakan semuanya.
Salam,
Dita.”
Nama itu—Dita—terasa seperti petir yang menyambar dalam hidup Rana. Ia mengenal nama itu dari beberapa kali percakapan Aditya, meski tak pernah dengan detail. Dita selalu disebut dalam konteks pekerjaan, seorang kolega yang sering menghubungi Aditya tentang urusan bisnis. Namun, baru kali ini Rana menyadari betapa dalam hubungan mereka lebih dari sekadar urusan profesional. Aditya selama ini tidak pernah menceritakan bahwa ia sudah menjalin kedekatan lebih dengan Dita. Dan sekarang, surat ini mengungkapkan sebuah kebenaran yang selama ini ia coba tutup-tutupi.
Rana duduk terdiam, surat itu terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai. Hatinya yang semula terasa hampa, kini dipenuhi dengan kemarahan yang membuncah. Ternyata, apa yang ia anggap sebagai sebuah kesalahan kecil atau hanya sebuah pengabaian biasa, adalah bagian dari cerita yang lebih besar. Aditya tidak hanya pergi karena alasan yang dia berikan—”sudah tidak bisa bersama kamu”—tetapi ada seseorang yang sudah mengambil tempat di hidupnya. Wanita itu, Dita, adalah alasan di balik perubahan sikap Aditya yang tiba-tiba.
Keesokan harinya, Rana memutuskan untuk menemui teman dekatnya, Maya, yang selalu menjadi tempatnya berbagi. Maya adalah sahabat yang selalu berada di sampingnya, memberikan dukungan tanpa pamrih, dan tahu betul segala perasaan yang sedang ia alami. Setelah mendengarkan cerita Rana, Maya mengangguk pelan, seolah sudah tahu akan arah pembicaraan ini.
“Maya, aku… aku baru saja menemukan surat ini. Surat dari seorang wanita bernama Dita. Aku rasa dia yang jadi alasan Aditya meninggalkanku. Aku tahu, selama ini, Aditya sering menyebut nama dia dalam percakapan tentang pekerjaan, tapi tidak pernah sedalam ini.”
Maya terdiam sejenak, menatap Rana dengan penuh empati. “Rana, aku tahu ini berat. Tapi, kamu harus tahu, bukan hanya kamu yang terluka. Aditya juga pernah berada dalam posisi yang sulit. Kamu tidak bisa sepenuhnya menyalahkan dia tanpa tahu cerita lengkapnya.”
Rana menatap sahabatnya dengan bingung. “Maksud kamu apa, Maya? Dia yang meninggalkanku. Dia yang memilih wanita lain!”
Maya menghela napas. “Aku tahu, dan itu bukan hal yang mudah. Tapi ada beberapa hal yang Aditya tak pernah katakan padamu. Aku dengar, Dita memang sudah lama berusaha mendekati Aditya. Sejak awal kalian bersama, dia selalu mencoba untuk mendekati dia, meskipun Aditya berusaha untuk tetap setia pada hubungan kalian.”
Rana terdiam mendengar penuturan Maya. Ternyata, ada lebih banyak yang terjadi di balik layar hubungan mereka yang tidak ia ketahui. Aditya, yang selama ini ia anggap sebagai pria yang tulus dan setia, ternyata telah terjebak dalam permainan perasaan yang sulit dihindari. Dita, wanita yang begitu gigih memperjuangkan perasaan terhadap Aditya, seakan menjadi ancaman yang tak terlihat oleh Rana.
Rana merasakan campuran perasaan—kecewa, marah, dan bingung. Aditya selama ini begitu sempurna di matanya. Namun, kenyataannya, ia hanyalah manusia biasa yang bisa terjebak dalam godaan dan dilema hati. Dalam hatinya, Rana bertanya-tanya, apakah Aditya benar-benar mencintainya, ataukah ia hanya menjadi pelarian bagi pria yang tidak bisa memilih antara dua perasaan yang saling bertentangan?
Hari-hari setelahnya, Rana mulai menggali lebih dalam tentang apa yang terjadi di antara Aditya dan Dita. Ia mencari informasi dari teman-teman Aditya, dan perlahan-lahan, cerita itu mulai terungkap. Ternyata, Dita bukan hanya seorang kolega biasa. Dia adalah wanita yang sudah sejak lama menyukai Aditya, bahkan sebelum mereka berdua bertemu. Semua yang terjadi adalah permainan perasaan yang tak bisa dikendalikan oleh siapa pun, termasuk Aditya sendiri.
Rana merasa seperti terjebak dalam kisah cinta yang penuh kebohongan. Aditya, yang dulu ia anggap sebagai cinta sejati, ternyata telah menyimpan rahasia besar yang menyakitkan. Hati Rana terasa perih, tetapi lebih dari itu, ia merasa dikhianati oleh seseorang yang selama ini ia percayai sepenuhnya.
Namun, di sisi lain, ada satu perasaan yang mulai muncul dalam dirinya—dendam. Dendam yang sulit ia lepaskan. Dendam terhadap Aditya, terhadap Dita, dan terhadap dirinya sendiri yang merasa bodoh karena begitu lama tidak melihat kenyataan yang ada. Kini, dengan segala informasi yang ia peroleh, Rana merasa lebih kuat. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya belum berakhir, dan bahwa dia berhak untuk menemukan kebahagiaan yang sejatinya—tanpa Aditya, tanpa bayang-bayang masa lalu yang tak pernah terungkap sepenuhnya.*
Bab 3: Menghindar, Tapi Tak Bisa
Rana duduk di balkon apartemennya yang sepi, menikmati senja yang perlahan memudar. Angin sore yang sejuk menyentuh kulitnya, tetapi hatinya terasa panas. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, seakan setiap kali ia berusaha menjauh, perasaan itu selalu kembali menghampiri. Perasaan yang tak pernah benar-benar bisa ia tinggalkan—perasaan terhadap Aditya.
Meskipun berusaha keras untuk melupakan, kenangan tentang pria itu seolah tak bisa lepas dari pikirannya. Bahkan saat ia mencoba beralih, mencari ketenangan dalam hubungan baru dengan Rafi, bayangan Aditya selalu mengintai dari kejauhan. Rafi adalah pria yang baik. Ia perhatian, sabar, dan tidak pernah memaksa. Namun, meski segala kebaikan yang ditawarkan Rafi begitu nyata, hati Rana tetap merasa hampa.
“Kenapa ini harus begitu sulit?” Rana berbicara pada dirinya sendiri, menatap ke bawah, di mana orang-orang berlalu-lalang tanpa tahu apa yang sedang bergumul di dalam hatinya. “Kenapa aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang?”
Keputusan untuk menjalin hubungan dengan Rafi sebenarnya bukanlah hal yang mudah. Rana merasa bahwa ia membutuhkan seseorang untuk mengalihkan perhatiannya, untuk memberi sedikit warna pada hidupnya yang suram. Rafi masuk ke dalam kehidupannya pada saat yang tepat, ketika luka di hatinya masih sangat segar dan perasaan terhadap Aditya belum sepenuhnya bisa ia lepaskan. Mungkin, dengan berusaha membuka hatinya untuk orang lain, ia bisa menemukan kebahagiaan kembali.
Namun, kenyataan tak selalu semudah itu. Setiap kali bersama Rafi, hatinya terasa kosong. Ada kekosongan yang tak bisa diisi dengan senyum hangat Rafi, dengan perhatian tulusnya. Rafi berusaha memberikan yang terbaik, tetapi perasaan Rana tidak pernah sepenuhnya hadir untuknya. Ada sesuatu dalam dirinya yang selalu mengingatkan pada Aditya, dan itu membuatnya sulit untuk benar-benar melangkah maju.
Rana menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang lelah. “Aku harus melupakan Aditya,” bisiknya dalam hati. Tetapi bagaimana bisa melupakan seseorang yang pernah begitu berarti dalam hidupnya? Bagaimana bisa melepaskan kenangan manis yang selama ini menemani setiap langkahnya?
Malam itu, Rana memutuskan untuk keluar bersama Rafi. Mereka makan malam di restoran yang cukup ramai, namun dengan suasana yang tenang. Rafi berusaha menghiburnya, berbicara tentang pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Rana mendengarkan, namun pikirannya tetap melayang. Terkadang, ia memandang Rafi dengan rasa bersalah. Ia tahu, pria ini layak mendapatkan cinta yang lebih tulus, tetapi hatinya selalu terbelah. Setiap senyuman Rafi yang ia balas, selalu ada rasa kosong yang menyelimuti hatinya.
Ketika Rafi berbicara tentang rencananya untuk berlibur ke luar kota, Rana hanya bisa tersenyum, namun hatinya terasa berat. Rencana itu terdengar indah, tetapi di dalam dirinya, ada ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. Bagaimana jika ia kembali jatuh cinta pada Rafi, tapi perasaan itu tak sekuat perasaannya kepada Aditya? Bagaimana jika ia akhirnya menyakiti Rafi, seperti yang ia rasakan selama ini?
Tepat setelah makan malam, Rafi mengantar Rana pulang. Di sepanjang perjalanan, ia bisa merasakan ketegangan yang ada di antara mereka. Rafi bukanlah orang yang bodoh. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Rana, meskipun ia berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja.
“Rana,” suara Rafi memecah keheningan, “Aku tahu, aku bukan Aditya. Aku tidak ingin menggantikan siapa pun. Aku hanya ingin kamu bahagia. Tapi, jika kamu merasa belum siap untuk membuka hatimu sepenuhnya, aku akan mengerti.”
Rana menundukkan kepalanya, merasa tak pantas menerima kebaikan Rafi yang begitu besar. “Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan,” jawabnya pelan, suara hampir hilang. “Rafi, aku takut. Aku takut jika aku membuka hatiku, aku akan menyakiti kamu.”
Rafi menarik napas panjang, mencoba menenangkan perasaannya yang sedikit terluka. “Rana, aku hanya ingin kamu bahagia. Aku tidak ingin memaksamu. Tapi kamu harus tahu, aku di sini untukmu. Kapan saja kamu siap, aku akan menunggumu.”
Kata-kata Rafi membuat hati Rana semakin terombang-ambing. Ia ingin sekali mengatakan bahwa ia siap, bahwa ia ingin memberikan kesempatan pada hubungan ini. Tetapi hatinya terlalu terikat pada masa lalu, pada kenangan yang tak bisa ia lupakan. Kenangan bersama Aditya, meski sudah lama berakhir, masih terus menghantui setiap langkahnya.
Sesampainya di rumah, Rana mengucapkan terima kasih kepada Rafi, yang menatapnya dengan penuh perhatian. Begitu Rafi pergi, Rana langsung masuk ke dalam kamar dan duduk di tempat tidur, menatap langit-langit. Perasaan yang bercampur aduk membuatnya tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa telah menyakiti Rafi, meskipun pria itu tidak pernah mengungkapkan kekecewaannya secara langsung.
Ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk. Rana mengangkat ponselnya dengan cepat, berharap itu adalah pesan dari Rafi, namun bukan. Itu adalah pesan dari Aditya.
“Rana, aku tahu ini mungkin terlambat, tapi aku benar-benar ingin meminta maaf. Aku tahu aku telah melukai kamu dengan cara yang tidak bisa dimaafkan. Tetapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Aku berharap kita bisa berbicara lagi suatu saat nanti. Semoga kamu baik-baik saja.”
Pesan itu membuat tubuh Rana kaku. Suara hati yang selama ini ia coba sembunyikan, kembali muncul. Ada campuran perasaan antara marah, rindu, dan kebingungan. Mengapa Aditya kembali? Mengapa kini, setelah segalanya berakhir, dia ingin meminta maaf?
Rana menatap layar ponselnya dalam diam. Ia ingin menghapus pesan itu, namun entah kenapa, jari-jarinya tak mampu bergerak. Kenapa harus sekarang? Kenapa perasaan ini selalu datang kembali, tak peduli seberapa keras ia mencoba menghindar?
Dengan berat hati, Rana menulis balasan singkat: “Aku tidak tahu apakah kita masih bisa berbicara, Aditya. Terlalu banyak yang sudah terjadi. Aku butuh waktu.”
Pesan itu terkirim, dan Rana meletakkan ponselnya kembali. Tapi perasaan itu, yang ia coba hindari, kembali hadir—membuatnya semakin ragu apakah ia bisa melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang Aditya.*
Bab 4: Kedatangan yang Tak Mengguncang
Hari-hari berlalu begitu saja dengan langkah yang pelan. Setiap pagi, Rana bangun dengan perasaan yang sama: hampa dan terjebak dalam rutinitas yang tidak lagi memberikan kebahagiaan seperti dulu. Meskipun ia berusaha untuk menerima kenyataan, perasaan kosong itu tidak kunjung hilang. Rafi, meski selalu ada untuknya, tak bisa mengisi kekosongan itu. Dan kini, kedatangan seseorang yang seharusnya bisa mengguncang hidupnya malah tidak memberikan dampak yang ia duga.
Rana duduk di meja makan, menatap ponselnya yang tergeletak begitu saja. Pesan dari Aditya masih ada, dan meskipun ia sudah membalasnya dengan kata-kata yang terkesan dingin, hatinya tetap saja merasa terperangkap. Terkadang ia bertanya-tanya, apakah benar-benar perlu ada penutupan untuk hubungan yang sudah hancur seperti itu? Apakah kata maaf yang diberikan oleh Aditya bisa mengubah segalanya?
Hari itu, seperti yang telah direncanakan, Rafi mengajak Rana untuk menemui teman-temannya. Sebuah rencana yang mungkin bisa menjadi pelarian sementara dari semua pikiran yang mengganggu. Namun, meskipun semangat Rafi terlihat jelas, Rana hanya bisa mengangguk tanpa ada gairah di wajahnya. Ke mana pun mereka pergi, ia merasa tidak sepenuhnya hadir. Bahkan dalam keramaian yang seharusnya membuatnya merasa hidup, hatinya justru semakin terasa jauh.
Ketika mereka tiba di kafe tempat teman-temannya berkumpul, suasana yang riuh dan penuh tawa seolah menjadi latar belakang yang jauh, hampir seperti suara dari dimensi lain. Rana menyapanya dengan senyum kecil, tetapi pikirannya terus saja melayang, berputar-putar dalam benaknya. Mengingatkan dirinya pada Aditya, meskipun ia berusaha keras untuk menepisnya.
Di tengah-tengah percakapan yang sedang berlangsung, ponsel Rana bergetar lagi. Sebuah pesan baru masuk. Aditya.
“Rana, aku ingin sekali bertemu denganmu. Aku tahu aku tidak berhak meminta ini, tapi jika kamu masih mau memberi kesempatan, aku ingin bicara. Aku merasa sangat menyesal dan ingin kamu tahu semua yang terjadi.”
Rana menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Kata-kata itu, meskipun penuh penyesalan, seolah tidak bisa menyentuh hati yang telah lama terluka. Bagaimana bisa ia melupakan semua yang telah terjadi hanya dengan sebuah permintaan untuk bertemu? Aditya, yang selama ini menghilang tanpa kabar, kini muncul kembali dengan penuh penyesalan. Tetapi apakah itu cukup untuk membuatnya merubah perasaan yang sudah terlanjur tergores dalam hati?
Tangan Rana gemetar saat menulis balasan singkat, “Mungkin kita perlu waktu lebih lama, Aditya. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu.”
Setelah mengirimkan pesan itu, ia menundukkan kepala, berusaha untuk kembali fokus pada percakapan di meja. Namun, ia merasa dunia sekelilingnya seakan semakin jauh. Rafi berbicara, tertawa, namun Rana hanya mendengarkan tanpa benar-benar mendengar. Semua pikirannya tertuju pada pesan itu, pada Aditya, pada apa yang sebenarnya ia rasakan.
Malam itu, setelah pertemuan dengan teman-teman Rafi berakhir, Rana kembali ke rumah. Ia melepaskan sepatu dan jaketnya, lalu duduk di ruang tamu. Ponselnya tergeletak di meja, dan setiap detik terasa begitu lama. Keputusan untuk bertemu dengan Aditya semakin membuat hatinya terbelah. Apa yang sebenarnya ia harapkan? Apakah pertemuan itu akan memberikan kejelasan, ataukah hanya akan menambah kebingungannya?
Tepat saat ia ingin membuka pesan dari Aditya untuk membalasnya, pintu depan terdengar dibuka. Langkah kaki yang familiar itu membuat hati Rana berdegup lebih cepat. Rafi pulang lebih cepat malam ini.
“Aku bawa makan malam,” kata Rafi dengan senyum cerah, masuk ke dalam ruangan sambil membawa dua kantong plastik berisi makanan dari restoran favorit mereka. “Kamu kelihatan lelah, jadi aku pikir kita bisa santai malam ini.”
Rana memaksakan senyuman, merasa bersalah dengan pikirannya yang masih sibuk dengan Aditya. “Terima kasih, Rafi. Tapi aku… aku sedikit lelah.”
Rafi duduk di dekatnya, meletakkan kantong makanannya di meja. “Aku paham, kamu pasti sedang banyak berpikir. Aku tahu ini tidak mudah, Rana. Tapi aku ingin kamu tahu, aku ada di sini, kapan pun kamu butuh.”
Rana menatap Rafi dengan penuh perasaan campur aduk. Rafi adalah pria yang baik, penuh perhatian, dan sabar. Namun, kenapa hatinya tidak bisa sepenuhnya untuknya? Kenapa ia masih saja terombang-ambing oleh bayang-bayang masa lalu? Rafi pantas mendapatkan seseorang yang bisa memberinya cinta dengan sepenuh hati, bukan seseorang yang selalu terjebak dalam kenangan. Tetapi di sisi lain, Rana merasa bersalah untuk melangkah jauh lebih dalam dengan Rafi sementara hatinya masih terikat pada masa lalu.
“Rafi, aku… aku harus jujur padamu. Aku merasa tidak adil. Kamu terlalu baik, tapi aku belum bisa sepenuhnya membuka hatiku. Ada sesuatu yang belum bisa aku lepaskan, dan aku takut itu akan merusak kita,” kata Rana dengan suara serak, matanya mulai basah.
Rafi diam sejenak, kemudian meraih tangan Rana dengan lembut. “Aku tahu itu, Rana. Aku tahu kamu masih terikat pada Aditya. Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku di sini bukan untuk menggantikan siapa pun. Aku hanya ingin kamu bahagia, apapun caranya. Jika kamu merasa belum siap untuk kami, aku akan menunggu.”
Rana menunduk, merasa hatinya semakin berat. “Aku takut, Rafi. Aku takut jika aku memberi kesempatan, aku akan menyakitimu. Aku takut aku tidak bisa mencintaimu dengan cara yang kamu butuhkan.”
Rafi tersenyum pelan. “Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku hanya ingin kamu bahagia, dengan atau tanpa aku di sampingmu.”
Malam itu, mereka duduk bersama, makan malam dengan diam yang lebih banyak daripada percakapan. Rana merasa beban di dadanya sedikit mengendur, namun bayangan Aditya masih terus menggerogoti pikirannya. Aditya datang kembali dengan kata-kata penyesalan yang tidak pernah sempat ia dengar sebelumnya. Tetapi apakah itu cukup untuk membangkitkan perasaan yang telah lama hilang? Atau mungkin, seperti yang selama ini ia coba hindari, perasaan itu hanya akan terus membayangi hidupnya, meskipun ia berusaha menghindar.
Rana tidak tahu jawaban untuk itu. Semua yang terjadi terasa seperti kedatangan yang tidak mengguncang. Aditya kembali, tetapi ia tidak bisa lagi merasakan gairah yang dulu ada. Kenapa kedatangan ini terasa begitu datar, seperti sesuatu yang telah lama kehilangan arah.*
Bab 5: Dendam yang Membakar
Pagi itu, langit tampak gelap, seakan mencerminkan perasaan yang sedang menguasai hati Rana. Udara dingin mengalir masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, namun ia tidak merasakannya. Pikirannya terperangkap dalam kenangan yang berputar tanpa henti, menghancurkan segala upaya yang ia lakukan untuk melupakan. Dendam. Itulah yang kini mengisi ruang kosong di dalam hatinya, menggantikan perasaan yang dulu ia sebut cinta.
Rana tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa, meskipun perasaannya terhadap Aditya sudah berubah, ia masih terperangkap dalam perasaan yang lebih dalam—dendam yang membakar. Dendam terhadap pengkhianatannya, terhadap dirinya yang terjebak dalam hubungan yang tidak pernah ia inginkan, terhadap Dita, dan terutama terhadap Aditya, yang selama ini ia anggap sebagai cinta sejatinya. Ia merasa telah dibuang begitu saja, seakan cintanya tak ada artinya bagi Aditya. Dan sekarang, setelah semua yang terjadi, ia tidak bisa membiarkan dirinya dilupakan begitu saja.
Dendam ini tidak datang begitu saja. Itu adalah perasaan yang tumbuh perlahan, setelah setiap pertemuan dengan Aditya yang tidak pernah benar-benar memberi jawaban. Setiap kali pria itu mengirimkan pesan atau berusaha menghubunginya, perasaan itu semakin menguat. Permintaan maaf Aditya terdengar kosong, seolah ia hanya menginginkan penebusan atas dosa yang sudah ia buat tanpa benar-benar memahami luka yang ditinggalkan.
Rana berdiri di depan jendela, menatap jalanan yang sibuk dengan kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang. Ia merasa asing di tengah keramaian. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Aditya, segala sesuatunya mulai terasa berbeda. Seharusnya ia merasa lega, karena setidaknya ia bisa mendengar penjelasan dari Aditya, tetapi kenyataan malah menunjukkan sebaliknya. Setiap kata yang keluar dari mulut pria itu hanya semakin memperdalam rasa sakitnya. Ia tahu, dengan segala penyesalan yang disampaikannya, Aditya masih belum mengerti mengapa perpisahan itu begitu menghancurkan hidupnya.
Tak lama kemudian, ponsel Rana bergetar, menariknya dari lamunannya. Itu adalah pesan dari Rafi.
“Rana, aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Aku ingin kamu tahu bahwa aku ada untukmu. Jangan ragu untuk berbicara kapan saja.”
Rana menatap layar ponselnya dalam diam. Ia merasa bersalah, tetapi di sisi lain, hatinya tidak bisa sepenuhnya terbuka untuk Rafi. Ia tahu bahwa Rafi adalah pria yang tulus, namun perasaan yang ia bawa tidak cukup untuk mengusir bayang-bayang Aditya yang selalu menghantui pikirannya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan dirinya terus-menerus terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, namun dendam yang membakar itu terlalu kuat.
Kemudian, ada sebuah keputusan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Dendam ini, perasaan ini, harus disalurkan dengan cara yang berbeda. Ia tidak akan membiarkan dirinya terus menerus terkurung dalam rasa sakit yang tak berujung. Jika Aditya tidak bisa memberinya penutupan yang ia butuhkan, maka ia yang akan menciptakan penutupan itu sendiri. Ia akan mengungkapkan semua yang ada dalam dirinya, tidak peduli betapa besar luka yang mungkin akan ia rasakan.
Dengan tekad yang baru, Rana memutuskan untuk menemui Aditya. Ia merasa bahwa hanya dengan bertemu langsung, ia bisa merasakan seberapa besar pengaruh pertemuan ini terhadap dirinya. Ia menghubungi Aditya dan memberitahukan bahwa mereka perlu bicara, bahwa ia ingin mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam.
Aditya menerima ajakan itu dengan cepat, mungkin karena ia merasa bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk menebus kesalahannya. Mereka sepakat untuk bertemu di kafe tempat mereka pertama kali bertemu beberapa tahun lalu, tempat yang penuh kenangan indah, namun kini terasa begitu asing bagi Rana.
Saat Rana tiba di kafe itu, Aditya sudah menunggunya. Wajah pria itu terlihat cemas, seolah menunggu jawaban atas semua pertanyaannya. Namun, saat mata mereka bertemu, Rana merasakan sesuatu yang berbeda. Tidak ada lagi rasa cinta yang dulu mengalir deras di hatinya. Hanya ada kebencian, kebencian yang tumbuh karena pengkhianatan yang tak pernah ia duga.
“Mengapa kamu datang, Aditya?” tanya Rana dengan suara yang datar, namun sarat dengan amarah yang ia tahan selama ini. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Aku sudah berusaha untuk melupakanmu, tapi kenapa kamu masih datang?”
Aditya terdiam, matanya penuh penyesalan. “Aku tahu aku salah, Rana. Aku tahu aku sudah mengkhianatimu, dan aku sangat menyesal. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar mencintaimu. Dita, dia datang setelah semuanya terlambat. Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja.”
Rana tertawa pahit, mendengar kata-kata itu. “Cinta? Apakah itu yang kamu sebut cinta? Kau memilih untuk pergi, memilih wanita lain, dan sekarang datang dengan alasan penyesalan? Aku tidak butuh itu, Aditya. Aku tidak butuh penyesalanmu.”
Panas di dalam dirinya semakin membakar. Dendam itu, yang selama ini ia pendam, akhirnya meledak. “Aku tahu aku tidak akan pernah bisa kembali lagi ke masa itu. Tapi kamu harus tahu satu hal, Aditya—aku tidak akan pernah bisa melupakan apa yang kamu lakukan padaku. Kamu merusak segalanya. Kamu menghancurkan aku, dan kamu datang dengan penyesalan yang hanya membuatku semakin jijik.”
Aditya mencoba untuk mendekat, namun Rana mundur sedikit, menahan jarak yang semakin lebar di antara mereka. “Tidak, Aditya. Kamu tidak berhak mendekatiku lagi. Tidak ada lagi yang bisa kamu katakan. Semua kata-katamu sudah basi, semuanya sudah terlambat.”
Ada kebisuan sejenak, yang hanya diisi dengan suara detak jantung Rana yang begitu keras di telinganya. Dendam itu akhirnya merasuki setiap lapisan dirinya, membakar semuanya, bahkan perasaan-perasaan yang dulu ia sebut cinta. Ia tahu bahwa ini adalah akhir. Ini adalah titik di mana ia akan melepaskan Aditya, melepaskan masa lalunya, dan membiarkan diri untuk sembuh—meskipun perasaan yang membakar itu masih ada.
“Jadi, ini akhir dari kita, Rana?” tanya Aditya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Rana mengangkat wajahnya, menatap mata Aditya dengan penuh keberanian yang baru ia temukan. “Ini bukan akhir, Aditya. Ini adalah awal dari hidupku yang baru. Aku tidak akan lagi terjebak dalam bayang-bayangmu. Dendamku sudah cukup, dan sekarang aku akan melangkah maju. Tanpa kamu.”
Dengan satu langkah pasti, Rana berbalik dan meninggalkan Aditya di kafe itu, di tempat yang dulu penuh kenangan indah. Dendamnya yang membakar telah membawa kedamaian, kedamaian untuk dirinya sendiri. Kini, ia hanya perlu melangkah ke depan, melepaskan semua yang pernah menghancurkannya.*
Bab 6: Jatuh dalam Lubang yang Sama
Rana menatap langit malam yang gelap, sepi, dan penuh bintang. Tapi malam itu, langit terasa begitu kosong baginya. Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Aditya, ia merasa seakan terperangkap dalam kebingungannya sendiri. Ia telah berusaha keras untuk melepaskan masa lalu, untuk membiarkan dendam itu terbakar habis. Namun, perasaan yang ia coba sembunyikan kini kembali muncul dengan kekuatan yang lebih besar. Meskipun ia sudah memutuskan untuk melanjutkan hidup, entah kenapa, ia merasa seakan jatuh kembali ke dalam lubang yang sama.
Ponselnya bergetar, menarik perhatian Rana dari pikirannya. Itu adalah pesan dari Rafi. Rafi, yang dengan sabar menunggu, yang selalu ada saat ia merasa terpuruk. Rana menatap pesan itu sejenak, dan seakan menemukan sedikit kenyamanan dalam kata-kata Rafi yang penuh perhatian.
“Rana, aku ingin tahu bagaimana perasaanmu. Aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan, tapi aku juga ingin mendengar apa yang ada di hatimu. Aku di sini untukmu, kapan pun kamu siap berbicara.”
Rana menggigit bibirnya. Apa yang harus ia katakan? Apa yang harus ia jawab? Ia merasa cemas dan bingung. Ia tahu Rafi berhak mendapatkan jawaban yang lebih jelas, tetapi hatinya masih terperangkap dalam kenangan tentang Aditya. Setiap kali ia mencoba untuk melangkah maju, bayang-bayang pria itu selalu hadir, mengingatkannya pada rasa sakit yang dulu ia coba lupakan.
“Rafi,” Rana mengetik pesan balasan dengan cepat, “Aku… aku butuh waktu. Aku sedang berusaha untuk menyelesaikan banyak hal dalam diriku sendiri.”
Namun, meskipun ia memberi waktu untuk dirinya sendiri, perasaan itu tidak kunjung hilang. Rana merasa seperti berjalan di tempat, mencoba menemukan arah yang benar tetapi selalu berputar-putar dalam kebingungannya. Setiap kali ia berbicara dengan Rafi, ia merasa ada sesuatu yang kurang. Rafi adalah pria yang baik, dan mungkin lebih dari itu, namun hatinya tetap kosong.
Hari-hari berlalu dengan lambat. Rana mulai merasa cemas dengan dirinya sendiri. Ia terus mencari cara untuk mengatasi perasaan ini, tetapi semakin lama, ia semakin merasa kehilangan arah. Setiap kali ia berusaha untuk menghindari Aditya, semakin banyak kenangan yang muncul. Kenangan tentang kebersamaan mereka, tentang segala impian yang sempat mereka bangun bersama, kini menjadi bayangan yang menghantui. Aditya mungkin sudah pergi dari hidupnya, tetapi perasaan itu seakan terus mengikutinya.
Satu minggu setelah pertemuannya yang penuh emosi dengan Aditya, rana menerima pesan dari pria itu lagi.
“Rana, aku benar-benar ingin kita bicara. Aku tidak bisa hidup dengan rasa bersalah ini terus-menerus. Aku ingin meminta maaf lebih dalam lagi, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal. Bisa kita bertemu lagi?”
Rana memegang ponselnya erat, jari-jarinya gemetar. Untuk sesaat, ia merasa kebingungan, seolah dikelilingi oleh dua dunia yang bertabrakan. Di satu sisi, ia tahu bahwa ia tidak seharusnya jatuh kembali ke dalam pelukan masa lalu. Tetapi, di sisi lain, rasa ingin mendengarkan penjelasan Aditya, rasa ingin tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi, terus mengusik pikirannya.
Rana tahu, bahwa pertemuan ini adalah sebuah jebakan. Ia akan jatuh kembali dalam lubang yang sama, dalam hubungan yang penuh dengan luka dan pengkhianatan. Tapi ada satu bagian dari dirinya yang masih tidak bisa menahan godaan untuk mendengarkan Aditya sekali lagi, meskipun ia sudah berusaha keras untuk melupakan.
Akhirnya, setelah berpikir panjang, Rana memutuskan untuk bertemu dengan Aditya. Ia tahu itu adalah keputusan yang salah, bahwa ia seharusnya menghindarinya. Namun, ia merasa tidak bisa mengabaikan dorongan hatinya yang ingin mencari penutupan, bahkan jika itu hanya membawa lebih banyak luka.
Malam itu, mereka bertemu di tempat yang sama seperti sebelumnya, kafe yang sudah menjadi saksi dari begitu banyak kenangan mereka. Aditya terlihat cemas saat melihatnya datang, tetapi Rana hanya bisa menatapnya dengan kosong. Setiap pertemuan dengan Aditya selalu memunculkan dua perasaan yang saling bertentangan. Satu sisi merasa rindu, ingin kembali merasakan apa yang dulu mereka punya. Sisi lain merasa marah dan terluka, karena perasaan itu telah disia-siakan begitu saja.
“Rana…” Aditya memulai percakapan dengan suara pelan, “Aku tahu ini mungkin tidak akan pernah cukup, tapi aku ingin meminta maaf. Aku telah melukai kamu dengan cara yang tak bisa dimaafkan, dan aku benar-benar menyesal.”
Rana menatapnya, tidak ada lagi air mata yang mengalir, hanya ada kebekuan yang mendalam. “Kamu sudah mengatakan itu sebelumnya, Aditya,” jawabnya datar. “Kata-kata itu sudah tidak ada artinya lagi. Semua yang kamu katakan hanya membuat luka itu semakin dalam.”
Aditya terdiam, dan Rana bisa melihat bahwa ada rasa sesal yang sangat besar di mata pria itu. Namun, meskipun begitu, itu tidak cukup untuk menghapus perasaan yang sudah ia simpan begitu lama. “Aku tahu, Rana,” lanjut Aditya dengan suara penuh penyesalan. “Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku tidak pernah berniat menyakitimu. Aku hanya… tidak tahu bagaimana cara memperbaiki semuanya.”
Rana mengangkat wajahnya, menatap Aditya dengan tajam. “Jika kamu benar-benar ingin memperbaikinya, maka kenapa kamu meninggalkanku begitu saja? Kenapa kamu memilih untuk pergi saat aku membutuhkanmu? Semua alasanmu sekarang hanyalah kebohongan, Aditya. Itu tidak akan mengubah apa yang telah kamu lakukan.”
Aditya terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Namun, meskipun ia diam, Rana tahu bahwa rasa sakitnya tidak akan pernah hilang. Ia telah memberikan begitu banyak untuk hubungan ini, namun pada akhirnya, hanya ada pengkhianatan dan rasa sakit yang ia terima.
Rana merasa seolah kembali jatuh dalam lubang yang sama. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melepaskan Aditya, namun kenyataan tidak semudah itu. Setiap kali ia berusaha melangkah maju, ia merasa ada sesuatu yang menariknya kembali. Dendam itu, kenangan itu, semuanya kembali datang, menggerogoti hatinya.
“Aku pikir ini akan menjadi penutupan, Aditya,” ujar Rana dengan suara hampir tak terdengar. “Tapi ternyata, ini hanya membuat semuanya lebih buruk. Aku tidak bisa terus seperti ini.”
Dengan satu langkah yang mantap, Rana berdiri dan meninggalkan kafe itu, tanpa menoleh ke belakang. Ia tahu bahwa ia telah jatuh dalam lubang yang sama sekali lagi, dan kali ini, mungkin akan lebih sulit untuk keluar. Tapi kali ini, ia akan berjuang untuk dirinya sendiri. Ia tidak akan lagi memberi kesempatan pada Aditya untuk merusak hidupnya.*
Bab 7: Cinta yang Tak Terungkap
Hari-hari berlalu begitu lambat bagi Rana. Ada semacam kehampaan yang terasa di dalam dirinya, seolah ada sebuah ruang kosong yang tak bisa diisi oleh apapun. Setelah pertemuan terakhirnya dengan Aditya, ia merasa lebih jauh dari sebelumnya, meskipun mereka tidak lagi saling berhubungan. Setiap kali ia mencoba untuk bergerak maju, perasaan tentang Aditya kembali menghantui pikirannya, meskipun ia sudah memutuskan untuk melepaskan pria itu. Namun, ada satu hal yang tak bisa ia lepaskan—perasaan yang selama ini terpendam, perasaan yang tak pernah sempat ia ungkapkan.
Rana menatap cermin di kamar tidurnya, melihat sosok yang terpancar di sana. Wajahnya tak lagi seperti dulu—tidak ceria dan penuh harapan. Sekarang, wajah itu terlihat lelah, penuh dengan kenangan yang tak terungkapkan, penuh dengan luka yang tak sembuh-sembuh. Aditya mungkin sudah pergi, dan ia berusaha untuk menerima kenyataan itu, namun hatinya masih terperangkap dalam perasaan yang tak bisa ia ucapkan. Cinta yang tak terungkap, cinta yang selama ini ia pendam, kini menjadi beban yang semakin berat untuk ditanggung.
Sambil duduk di tepi tempat tidur, Rana memikirkan kembali awal pertemuannya dengan Aditya. Bagaimana mereka bertemu di kampus, saling berbicara dengan penuh kehangatan, berbagi tawa, dan memulai kisah yang penuh dengan janji-janji manis. Ia ingat betul bagaimana Aditya selalu ada saat ia membutuhkan seseorang untuk berbicara, bagaimana perhatian Aditya terasa begitu tulus. Itulah yang membuatnya jatuh cinta. Itulah yang membuat hatinya berharap bahwa hubungan ini akan bertahan selamanya.
Namun, kenyataan berkata lain. Cinta itu ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Aditya pergi tanpa memberi penjelasan yang cukup, dan meskipun ia menginginkan jawaban, ia tahu ia tidak akan pernah mendapatkannya. Aditya tidak pernah benar-benar membiarkan dirinya membuka hati sepenuhnya. Semua hal yang ada di antara mereka hanya terlihat seperti sebuah cerita yang sempurna, tetapi nyatanya, itu hanyalah kisah yang penuh dengan kepalsuan.
Malam itu, Rana duduk di balkon apartemennya, menatap jalanan yang sibuk dengan kendaraan yang lalu lalang. Udara malam terasa sejuk, namun ia merasa tidak ada lagi kehangatan dalam hidupnya. Aditya telah meninggalkannya, dan ia masih belum bisa menerima kenyataan itu. Meski begitu, ada satu hal yang lebih menyakitkan—cinta yang tak sempat diungkapkan.
Rana sering bertanya-tanya apakah Aditya pernah merasa hal yang sama. Apakah ia pernah merasakan perasaan yang sama terhadapnya? Apakah ia pernah mencintainya dengan cara yang tulus, ataukah semua yang mereka jalani hanyalah sebuah kebetulan? Kenapa Aditya pergi begitu saja? Apakah cinta mereka memang tak cukup kuat untuk bertahan? Rana tidak pernah tahu jawabannya.
Lalu ada Rafi, yang selalu ada di sampingnya. Rafi yang selalu sabar mendengarkan segala keluh kesahnya, yang selalu mengerti setiap perasaan yang ia rasakan. Namun, meskipun Rafi mencoba menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya, hatinya tetap kosong. Ia tahu bahwa Rafi layak mendapatkan cinta yang lebih baik, tetapi ia tidak bisa memberi apa yang Rafi harapkan. Karena hatinya masih terikat pada Aditya, meskipun ia tahu hubungan itu telah berakhir.
Rana menarik napas panjang dan menutup matanya, mencoba mengusir bayang-bayang Aditya yang kembali hadir dalam pikirannya. Ia tahu bahwa cinta itu telah mati, bahwa tidak ada lagi jalan untuk kembali. Tetapi, rasa sakit itu tetap ada. Cinta yang tak terungkap, perasaan yang terpendam, adalah sesuatu yang lebih sulit untuk dilepaskan daripada sekadar kenangan.
Pada suatu sore, saat ia sedang berjalan sendirian di taman, Rana bertemu dengan Rafi. Mereka berjalan berdua, saling berbicara tentang banyak hal, namun di dalam hatinya, Rana tahu bahwa perasaannya terhadap Rafi tidaklah sama dengan perasaannya terhadap Aditya. Rafi baik, sangat baik. Tetapi, ia tidak bisa menipu dirinya sendiri—perasaan itu tidak ada. Ia merasa terjebak, karena semakin lama, ia semakin merasa bahwa ia sedang merugikan Rafi. Rafi layak mendapatkan cinta yang tulus, tetapi ia tidak bisa memberikannya.
“Rana,” suara Rafi memecah kesunyian, “Aku tahu kamu masih berjuang dengan perasaanmu. Aku tidak akan memaksamu untuk memilih, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini. Aku peduli padamu.”
Rana menatap Rafi, dan dalam sekejap, ia merasa bersalah. Perasaan itu, cinta yang tak terungkapkan, menggelayutinya. Ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya pada Rafi, bahwa ia tidak bisa memberinya apa yang dia harapkan, bahwa hatinya masih terluka oleh masa lalu. Namun, ia hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Rafi pantas mendapatkan seseorang yang bisa mencintainya dengan sepenuh hati, seseorang yang tidak terjebak dalam kenangan dan cinta yang tak pernah terungkap.
Malam itu, Rana kembali berada di kamar tidurnya, duduk di depan meja dengan secangkir teh hangat di tangan. Ia memikirkan lagi semua yang telah terjadi. Ia memikirkan Aditya, tentang bagaimana perasaannya yang tidak pernah diungkapkan, dan bagaimana kenyataan yang harus ia hadapi. Cinta itu mungkin tidak pernah terungkap dengan kata-kata, tetapi perasaan itu tetap ada. Ia tahu bahwa ia telah mencintai Aditya lebih dalam dari yang ia sadari, dan meskipun perasaan itu sekarang hanya tinggal kenangan, ia tidak bisa menghapusnya begitu saja.
Ada satu kalimat yang terus terngiang di benaknya: cinta tidak selalu bisa terungkapkan dengan kata-kata, terkadang ia hanya bisa dirasakan dalam keheningan. Mungkin inilah yang terjadi pada dirinya—cinta yang tak terungkap, yang hanya ada dalam hatinya, yang tidak pernah cukup untuk membawa perubahan dalam hidupnya.
Rana menatap jendela, melihat bulan yang bersinar terang di langit malam. Cinta yang tak terungkap mungkin tidak akan pernah memiliki akhir yang bahagia. Namun, ia tahu bahwa ia harus melangkah maju. Ia harus menerima kenyataan bahwa tidak semua hal dalam hidup bisa dijelaskan atau dipahami. Beberapa perasaan harus diterima tanpa kata-kata, tanpa penutupan yang sempurna.
Malam itu, ia memutuskan untuk menulis sebuah surat, sebuah surat untuk dirinya sendiri, untuk mengenang cinta yang tak terungkap. Ia tahu bahwa ia harus melepaskan Aditya sepenuhnya. Cinta itu mungkin tidak pernah terucap, tetapi itu adalah bagian dari dirinya, dan ia akan selalu membawa perasaan itu sebagai kenangan indah dalam hatinya.*
Bab 8: Perasaan yang Kembali
Rana memejamkan matanya, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang terus mengelilinginya. Malam itu, angin berhembus pelan melalui jendela kamar, membawa kesejukan yang entah kenapa malah membuatnya semakin teringat pada kenangan-kenangan lama. Setelah berbulan-bulan mencoba melupakan, perasaan itu kembali datang dengan begitu kuat. Seperti sebuah badai yang tak bisa dihentikan, memporak-porandakan ketenangan yang telah ia bangun. Perasaan yang pernah ia kubur jauh-jauh, yang ia kira sudah mati, kini muncul lagi dengan segala kekuatannya.
Rana menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Aditya, pria yang dulu sangat ia cintai, yang pernah membuat hidupnya penuh dengan harapan dan impian, kini hadir kembali dalam pikirannya. Setelah lama berusaha menenangkan hati, perasaan itu datang kembali—lebih kuat dari sebelumnya. Bahkan meski ia sudah berusaha keras untuk merelakan dan melupakan segala tentang Aditya, perasaan itu ternyata tidak pernah benar-benar hilang.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Rana duduk di balkon, menatap kota yang terang benderang. Pikirannya terombang-ambing antara kenyataan dan kenangan yang tak bisa ia lupakan. Ia ingat bagaimana Aditya selalu bisa membuatnya tertawa, bagaimana mereka berbicara tentang masa depan, tentang rencana-rencana yang mereka buat bersama. Namun, semuanya sirna begitu saja. Aditya pergi tanpa memberi penjelasan yang memadai. Dan di sanalah ia, terjebak dalam kenangan yang tak jelas, mencoba mencari jalan keluar dari kebingungannya.
Hingga satu malam, pertemuan tak terduga itu terjadi. Tanpa rencana, tanpa diduga, mereka bertemu lagi—di tempat yang sama, kafe yang dulu selalu menjadi tempat mereka menghabiskan waktu bersama. Rana tidak tahu apa yang membuatnya setuju untuk bertemu dengan Aditya lagi setelah sekian lama. Mungkin ia butuh jawaban atas pertanyaannya yang tak pernah terjawab, atau mungkin hanya sekadar ingin melihat wajahnya lagi, meskipun ia tahu bahwa perasaan itu sudah seharusnya mati.
Saat itu, Aditya terlihat berbeda. Ia tampak lebih dewasa, lebih tenang, seolah hidupnya telah banyak berubah. Tetapi yang jelas, tatapan matanya—tatapan yang dulu selalu membuat hati Rana berdebar—masih sama. Rasanya, pertemuan itu menghidupkan kembali sesuatu yang sudah lama terkubur dalam dirinya. Perasaan yang selama ini ia coba hindari kembali muncul, mengalir deras seperti air yang tak bisa ia bendung.
“Rana,” Aditya memulai percakapan dengan suara pelan, “Aku tahu aku tidak punya hak untuk meminta maaf atau menjelaskan apapun setelah semua yang terjadi. Tapi aku ingin kamu tahu, aku sangat menyesal. Aku pergi karena aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku tak bisa memberi jawaban saat itu, dan aku tahu aku salah.”
Rana menatapnya dengan hati yang bimbang. Kata-kata itu kembali memengaruhinya. Meskipun ia tahu betapa sakitnya perpisahan itu, perasaan yang tidak pernah terungkapkan, perasaan yang selama ini ia pendam, kini mulai muncul kembali. Aditya berbicara dengan penuh penyesalan, dan entah kenapa, ia merasa seperti ada harapan yang baru muncul. Seolah-olah, semuanya bisa diperbaiki. Tapi apakah benar begitu?
“Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Aditya,” jawab Rana dengan suara yang hampir tak terdengar. “Apa yang kau lakukan begitu menyakitkan. Aku sudah mencoba untuk melupakanmu, untuk mengikhlaskan segalanya. Tapi, entah kenapa, setiap kali aku berusaha untuk melupakan, kau selalu datang kembali dalam pikiranku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”
Aditya mengangguk, wajahnya penuh penyesalan. “Aku mengerti, Rana. Aku tidak meminta kamu untuk memaafkanku sekarang, atau bahkan kembali lagi ke dalam hidupku. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal. Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar.”
Rana merasa hatinya berbenturan. Perasaan yang kembali datang dengan begitu kuat, begitu nyata. Ia tidak bisa menyangkalnya, meskipun ia tahu bahwa hubungan mereka sudah berakhir. Aditya bukan hanya bagian dari masa lalu—ia adalah bagian dari dirinya yang selama ini terpendam, yang tak pernah ia berani ungkapkan. Cinta yang tak terungkapkan kini muncul kembali dalam dirinya, dan ia merasa semakin bingung. Apa yang seharusnya ia lakukan dengan perasaan ini?
Aditya melanjutkan, “Aku tahu kalau aku mungkin tak bisa memperbaiki semuanya, tapi aku berharap, setidaknya kamu bisa memberi aku kesempatan untuk menjelaskan. Aku tahu, ini mungkin tak akan pernah cukup, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal.”
Rana merasakan sesuatu yang berat di dadanya. Ada keinginan untuk memaafkan, ada harapan untuk memperbaiki semua yang telah rusak, tetapi di sisi lain, ada rasa sakit yang begitu dalam. Bagaimana ia bisa melupakan semua luka yang pernah ditimbulkan oleh Aditya? Bagaimana ia bisa kembali memberi ruang untuk seseorang yang telah meninggalkannya begitu saja? Namun, di balik semua itu, rasa cinta yang telah lama terkubur tetap ada. Perasaan itu tidak pernah benar-benar pergi, meskipun ia sudah berusaha untuk mengabaikannya.
“Aku… aku tidak tahu, Aditya,” jawab Rana dengan suara serak. “Aku ingin melupakanmu, tapi aku tidak bisa. Perasaan itu masih ada, meskipun aku tahu aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku tidak bisa mengulangi kesalahan yang sama.”
Aditya menunduk, seolah memahami apa yang dirasakan Rana. “Aku tidak menginginkanmu kembali, Rana,” katanya dengan lembut. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal dan berharap kamu bisa melanjutkan hidupmu dengan bahagia.”
Rana terdiam, perasaannya bertabrakan. Ia merasa bingung dan terombang-ambing di antara kenyataan dan kenangan yang kembali datang. Ada harapan yang kembali muncul, namun ia tahu bahwa harapan itu hanyalah ilusi. Aditya telah pergi, dan ia harus menerima kenyataan bahwa hidup harus dilanjutkan tanpa Aditya. Namun, perasaan itu—perasaan yang tidak terungkapkan—masih membekas di dalam hatinya.
Malam itu, setelah pertemuan yang penuh dengan kata-kata penyesalan dan kenangan yang tak terungkapkan, Rana kembali ke apartemennya. Ia duduk di depan jendela, menatap langit yang gelap, dan merasakan perasaan yang kembali datang. Ia tahu bahwa ia harus berjuang untuk dirinya sendiri, meskipun perasaan itu tidak akan pernah mudah hilang. Cinta yang tak terungkapkan, cinta yang selama ini terpendam, kini kembali hadir, tetapi kali ini, ia harus menemukan cara untuk melepaskannya.
Meskipun perasaan itu kembali muncul, Rana tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke masa lalu. Aditya telah pergi, dan ia harus melanjutkan hidupnya tanpa dia. Namun, perasaan itu akan selalu ada, meskipun ia tidak bisa mengungkapkannya. Cinta yang tak terungkapkan adalah bagian dari dirinya, bagian dari perjalanan yang telah membentuk siapa dirinya sekarang.*
Bab 9: Memilih Asmara, Cinta, dan Dendam
Hari itu, langit tampak lebih mendung dari biasanya. Rana melangkah pelan menyusuri trotoar, pikirannya kembali dipenuhi oleh perasaan yang berkecamuk. Setelah pertemuannya dengan Aditya beberapa hari yang lalu, segalanya terasa lebih rumit. Seiring waktu, perasaan itu kembali hadir, menghantui setiap langkah yang ia ambil. Dendam yang telah lama terpendam terasa semakin kuat, sementara rasa cinta yang sempat ia kubur dalam-dalam kini bangkit kembali, membara dalam dadanya.
Di satu sisi, Rana merasa seolah-olah ia sedang terjebak di antara dua dunia yang bertentangan—cinta yang tulus dan dendam yang membara. Cinta kepada Aditya, yang pernah memberi warna dalam hidupnya, dan dendam kepada Aditya, yang meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan. Kedua perasaan itu saling bertarung dalam hatinya, membuatnya semakin bingung tentang apa yang harus ia pilih.
Pada satu sisi, ada Rafi. Seorang pria yang selalu ada untuknya, yang menawarkan cinta yang tulus dan perhatian yang tak terhingga. Rafi selalu berusaha membuatnya merasa aman, nyaman, dan diterima. Namun, meskipun Rafi memberikan segala yang ia inginkan dalam sebuah hubungan, Rana merasa ada yang kurang. Hatinya tidak bisa sepenuhnya terbuka untuk Rafi, karena cinta yang ia rasakan tidak cukup dalam. Hatinya masih terperangkap dalam bayangan Aditya, dalam kenangan yang tak bisa ia lupakan. Meskipun ia tahu bahwa Rafi layak mendapatkan seseorang yang bisa mencintainya sepenuh hati, Rana merasa dirinya tidak mampu memberi Rafi cinta yang ia butuhkan.
Ia mengingat kembali percakapan dengan Aditya beberapa hari yang lalu. Kata-kata Aditya tentang penyesalannya masih terngiang di telinganya. Aditya mengungkapkan bahwa ia benar-benar menyesal telah pergi tanpa memberi penjelasan yang cukup, tanpa mempertahankan hubungan yang telah mereka bangun bersama. Namun, apakah kata-kata itu cukup untuk menyembuhkan luka yang ia rasakan? Adakah penyesalan itu mampu menghapus rasa sakit yang telah ia alami selama ini? Rana tahu bahwa ia harus memilih—antara kembali kepada Aditya, yang pernah ia cintai, atau melanjutkan hidup dengan Rafi, yang selalu ada di sampingnya.
“Rana,” suara Rafi yang lembut menyadarkannya dari lamunannya. Ia berbalik dan melihat Rafi yang berdiri di belakangnya, dengan tatapan penuh perhatian. “Kamu terlihat terjebak dalam pikiranmu sendiri. Ada yang mengganggumu?”
Rana tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Aku… hanya sedikit bingung, Rafi,” jawabnya pelan. “Ada banyak hal yang harus kupikirkan.”
Rafi mengangguk, lalu menyentuh lembut tangan Rana. “Aku mengerti. Jika kamu butuh waktu untuk memikirkan semuanya, aku akan menunggu. Aku tidak akan memaksamu. Tetapi, aku ingin kamu tahu, aku ada di sini. Aku akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa pun yang terjadi.”
Rana merasakan kehangatan dari tangan Rafi, dan untuk sesaat, ia merasa tenang. Namun, dalam hatinya, perasaan itu kembali mengganggu. Aditya, dengan segala kenangan yang belum ia lupakan, masih terus menghantui. Hatinya terombang-ambing antara dua pria yang sangat berbeda, yang masing-masing memiliki tempat tersendiri di dalam dirinya.
Sore itu, Rana memutuskan untuk berjalan sendirian ke tempat yang biasa ia kunjungi ketika ingin menenangkan pikirannya. Taman kota yang tenang itu selalu menjadi tempatnya untuk merenung. Ia duduk di bangku yang menghadap ke danau, memandang riak air yang dipantulkan oleh cahaya matahari yang hampir tenggelam. Segalanya terasa sunyi, tetapi perasaan dalam hatinya sangat gaduh.
Ia memikirkan kembali semua yang telah terjadi antara dirinya dan Aditya. Mereka pernah bahagia, mereka pernah berbagi impian, dan mereka pernah berjanji untuk selalu bersama. Namun, janji itu hancur begitu saja. Aditya pergi tanpa alasan yang jelas, meninggalkannya dalam kebingungan dan rasa sakit yang mendalam. Setelah berbulan-bulan mencoba melupakan, Aditya muncul lagi dalam hidupnya, menebarkan kata-kata penyesalan, dan seolah-olah ingin kembali. Tetapi apakah Rana bisa menerima kenyataan itu? Dendam yang terpendam begitu dalam, apakah bisa hilang begitu saja hanya karena beberapa kata yang diucapkan dengan penuh penyesalan?
Di sisi lain, ada Rafi. Rafi yang selalu sabar, yang selalu mengerti, yang selalu ada di sisinya tanpa pernah mengharapkan balasan. Namun, meskipun ia menghargai segala yang Rafi lakukan untuknya, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri—perasaannya terhadap Rafi tidak sama dengan perasaannya terhadap Aditya. Rafi adalah pria yang baik, tetapi ia tidak bisa menggantikan tempat yang pernah dimiliki Aditya dalam hatinya.
“Rana,” suara seseorang tiba-tiba menginterupsi lamunannya. Ia menoleh dan melihat Aditya berdiri di hadapannya. Wajahnya serius, tetapi ada rasa ketegangan yang tampak jelas. “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tetapi aku hanya ingin mengatakan bahwa aku benar-benar menyesal. Aku ingin kembali, jika kamu bersedia memberi kesempatan.”
Rana menatap Aditya dalam diam. Ada perasaan yang muncul dalam dirinya—perasaan yang sudah lama ia coba sembunyikan. Namun, ada juga perasaan lain yang lebih kuat—perasaan marah, perasaan terluka, dan perasaan bahwa ia tidak bisa kembali ke masa lalu. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Aditya tidak akan pernah hilang, tetapi ia juga tahu bahwa cinta itu tidak bisa menghapus dendam yang ada.
“Aditya, aku…” Rana merasa sesak di dadanya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu. Apa yang kau lakukan sangat menyakitkan, dan aku sudah berusaha melanjutkan hidupku. Aku sudah mencoba untuk melepaskanmu, untuk melupakan semua yang pernah kita punya.”
Aditya terdiam, wajahnya penuh penyesalan. “Aku tahu aku salah, Rana. Aku tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi aku ingin membuat semuanya benar. Aku ingin memberi kita kesempatan lagi.”
Rana menunduk, berpikir sejenak. Cinta, dendam, dan pilihan yang harus ia buat. Hatinya terasa hancur. Apa yang harus ia pilih? Apakah ia harus kembali pada Aditya, yang pernah ia cintai, ataukah ia harus melepaskan masa lalunya dan memberikan ruang untuk Rafi, yang selama ini setia di sisinya?
Rana merasa seolah dunia mengujinya, dan ia harus memilih jalan yang akan menentukan masa depannya. Apakah ia akan memilih asmara yang pernah ia miliki bersama Aditya, meskipun diliputi dengan dendam dan luka yang tak kunjung sembuh? Ataukah ia akan memilih Rafi, yang menawarkan cinta yang tulus dan penuh harapan, meskipun hatinya tak sepenuhnya bisa terbuka?
Rana memandang langit yang semakin gelap. Sebuah keputusan besar menantinya—dan ia tahu, apapun yang ia pilih, tak akan mudah.*
Bab 10: Cinta yang Akhirnya Terbalas
Hari itu, langit tampak cerah, namun hati Rana masih terasa berat. Taman kota yang biasanya menjadi tempat menenangkan pikirannya kini terasa asing. Setiap langkah yang ia ambil menuju bangku yang biasa ia datangi seolah terasa penuh dengan beban. Setelah sekian lama bergelut dengan perasaan yang membingungkan—antara cinta, dendam, dan rasa terabaikan—akhirnya, ia harus membuat keputusan. Keputusan yang tidak hanya akan mempengaruhi hidupnya, tetapi juga hidup orang-orang di sekitarnya.
Rana duduk di bangku yang menghadap danau, matanya tertuju pada riak-riak air yang bergerak lembut tertiup angin. Kenangan-kenangan tentang Aditya dan Rafi datang silih berganti, menghantui setiap detiknya. Dua pria yang memiliki tempat berbeda di hatinya, namun tak pernah bisa disatukan dalam satu hati yang sama. Aditya, yang pernah ia cintai dengan sepenuh jiwa, kini kembali hadir setelah bertahun-tahun meninggalkannya tanpa penjelasan yang jelas. Rafi, yang selama ini setia di sisinya, memberikan cinta yang tulus, meskipun Rana tahu ia tidak bisa sepenuhnya membuka hatinya untuk pria itu.
Namun, pertemuan terakhir dengan Aditya beberapa hari yang lalu, di tengah kebingungannya, memberi sebuah titik terang. Aditya datang dengan penuh penyesalan, berbicara tentang betapa ia ingin memperbaiki segala yang telah rusak di antara mereka. Kata-katanya yang penuh penyesalan itu mengguncang hati Rana. Perasaan yang selama ini ia coba kubur, yang ia kira sudah mati, kembali bangkit. Namun, meskipun cinta itu ada, ia juga tahu bahwa dendam dan luka yang ditinggalkan oleh kepergian Aditya begitu dalam. Ia tidak bisa begitu saja menerima Aditya kembali tanpa memperhitungkan segala konsekuensinya.
“Rana…” suara Rafi menginterupsi lamunannya. Rana menoleh, dan mendapati Rafi berdiri di hadapannya dengan senyum yang lembut. Senyum yang selalu berhasil membuat hatinya merasa tenang, meski ia tahu hatinya tak bisa sepenuhnya terbuka untuknya.
“Ada apa?” tanya Rafi, duduk di sampingnya. “Kamu tampak masih bingung. Apa kamu sudah memutuskan apa yang ingin kamu lakukan?”
Rana menghela napas, dan menatap Rafi dengan mata yang penuh kebingungan. “Rafi, aku merasa seperti aku sedang terjebak di antara dua pilihan. Di satu sisi, aku ingin melanjutkan hidup denganmu. Kamu selalu ada untukku, kamu peduli padaku, dan aku merasa nyaman bersamamu. Tapi di sisi lain, ada Aditya. Perasaanku kepadanya belum sepenuhnya hilang, meskipun aku tahu aku harus melepaskannya.”
Rafi diam sejenak, memandang Rana dengan tatapan penuh pengertian. “Aku mengerti, Rana. Aku tidak akan memaksa kamu untuk memilih aku. Aku tahu kamu masih memikirkan Aditya, dan aku tidak bisa mengubah itu. Tetapi, aku ingin kamu tahu, aku akan selalu ada untukmu, meskipun kamu memilih untuk bersama dengan orang lain.”
Rana menunduk, hatinya terasa sesak. Kata-kata Rafi begitu tulus, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kebimbangan. Perasaan yang ada di hatinya harus ia akui—bahwa perasaannya terhadap Aditya tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Namun, ia juga tahu bahwa cinta yang ia miliki untuk Rafi adalah sesuatu yang berbeda. Rafi mencintainya dengan cara yang penuh pengertian, tanpa syarat, dan tanpa memaksakan apapun. Rafi adalah seseorang yang bisa ia percayai, yang bisa ia andalkan.
Rana menatap danau, berpikir keras tentang apa yang harus ia pilih. Aditya, dengan segala kenangan dan penyesalan yang ia bawa, ataukah Rafi, dengan cintanya yang tulus dan penuh harapan? Cinta, dendam, dan masa lalu yang belum terselesaikan, semuanya saling bertarung di dalam dirinya. Namun, pada akhirnya, satu hal yang ia sadari—ia harus melepaskan masa lalunya agar bisa meraih kebahagiaan yang sejati.
Rana menarik napas dalam-dalam, dan kemudian menatap Rafi dengan mata yang tegas. “Rafi, aku sadar aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku masih mencintai Aditya, tapi aku tahu aku harus melepaskannya. Aku harus melanjutkan hidupku, dan aku ingin melakukannya bersama kamu.”
Rafi menatapnya dengan mata yang penuh haru. “Rana, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya ingin kamu bahagia. Jika memilih aku adalah cara untuk membuatmu bahagia, aku akan selalu ada di sini.”
Air mata perlahan jatuh dari mata Rana. Ia merasa seolah sebuah beban berat yang selama ini ada di pundaknya akhirnya terangkat. Cinta yang selama ini terpendam dalam hatinya akhirnya bisa ia ungkapkan. Dendam yang membara selama ini juga mulai pudar, tergantikan oleh harapan yang baru. Ia menyadari bahwa meskipun ia tidak bisa menghapus masa lalunya, ia bisa membangun masa depannya.
“Terima kasih, Rafi,” Rana berkata dengan suara yang gemetar. “Terima kasih karena selalu ada untukku. Aku tahu aku tidak bisa memberikanmu cinta yang sempurna, tetapi aku ingin mencoba bersama kamu. Aku ingin membangun sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak dipenuhi dengan bayang-bayang masa lalu.”
Rafi memeluknya dengan lembut, dan Rana merasa ketenangan yang telah lama hilang akhirnya kembali. Ia tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa siap untuk membuka hati. Cinta yang selama ini terpendam, yang ia kira tidak akan pernah terbalas, akhirnya menemukan tempatnya—di dalam hati Rafi.
“Terima kasih, Rafi,” Rana mengulang kata-kata itu. “Aku akan berusaha menjadi lebih baik, untuk diriku sendiri, dan untuk kita berdua.”
Rafi tersenyum, menghapus air mata yang jatuh di wajah Rana dengan lembut. “Kita akan melalui semuanya bersama-sama, Rana. Aku percaya pada kita.”
Saat itu, Rana merasa bahwa dunia mulai berputar dengan cara yang berbeda. Keputusan yang telah ia buat bukan hanya tentang memilih antara dua pria, tetapi juga tentang memilih untuk menerima dirinya sendiri, untuk melepaskan masa lalu, dan untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya. Cinta yang tak terbalas akhirnya terbalas, tidak dengan Aditya, tetapi dengan Rafi, yang selama ini berdiri di sampingnya dengan penuh sabar.
Cinta itu, yang semula tampak tak terjangkau, kini akhirnya menemukan jalannya. Dan Rana tahu, ini adalah awal dari perjalanan baru—perjalanan yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan yang sejati.***
———the and———