Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

Asmara di Balik Tirai Rahasia

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 5, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 24 mins read
Asmara di Balik Tirai Rahasia

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan di Balik Bayangan
  • Bab 2: Rahasia yang Tersimpan
  • Bab 3: Di Antara Logika dan Hati
  • Bab 4: Cinta yang Tak Seharusnya
  • Bab 5: Kebohongan yang Mulai Terungkap
  • Bab 6: Ultimatum dari Keluarga
  • Bab 7: Pelarian di Bawah Langit Senja
  • Bab 8: Pengkhianatan dan Air Mata
  • Bab 9: Perpisahan yang Menyayat Hati
  • Bab 10: Cinta yang Tak Pernah Mati

Bab 1: Pertemuan di Balik Bayangan

Malam itu, hujan turun rintik-rintik membasahi jalanan kota. Udara dingin menyusup di antara dedaunan yang berguguran, membawa aroma tanah basah yang khas. Nayla melangkahkan kakinya masuk ke dalam perpustakaan tua di sudut kota. Bangunan itu sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu, dengan rak-rak kayu berisi buku-buku tebal yang tampak jarang tersentuh.

Nayla menyukai tempat ini—tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupannya sebagai putri dari keluarga terpandang. Ia bisa sejenak melupakan tuntutan ayahnya yang menginginkan dia menjadi wanita sempurna, calon istri dari pria pilihan keluarga.

Sore itu, Nayla hanya ingin menikmati waktu sendiri, membenamkan diri dalam buku-buku sastra klasik yang selalu berhasil membuatnya lupa pada dunia. Namun, saat ia berusaha menggapai sebuah buku di rak tinggi, tangannya bersamaan dengan tangan seseorang yang lain.

Refleks, Nayla menoleh dan menemukan sepasang mata gelap yang menatapnya. Seorang pria berdiri di sampingnya, mengenakan jaket hitam dengan hoodie yang menutupi sebagian wajahnya. Tatapannya tajam, namun ada sesuatu di balik sorot matanya—seperti bayangan luka yang tersembunyi.

“Maaf, aku duluan,” kata Nayla sambil menarik tangannya.

Pria itu tersenyum tipis dan justru mengambil buku yang mereka perebutkan tadi. “Kau suka sastra klasik?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari Nayla.

Nayla mengernyit, tak menyangka akan ditanya seperti itu oleh orang asing. “Ya. Aku sering membacanya.”

“Kalau begitu, kau harus membaca buku ini dulu.” Pria itu menyodorkan buku tersebut padanya, seolah rela mengalah. “Aku bisa menunggu giliran.”

Nayla menerima buku itu dengan sedikit ragu. “Terima kasih….”

“Arka,” pria itu memperkenalkan diri sebelum Nayla sempat bertanya. “Aku sering datang ke sini. Tapi aku belum pernah melihatmu.”

Nayla menimbang apakah ia harus memberitahukan namanya. Namun, ada sesuatu pada pria ini yang membuatnya merasa aneh—bukan takut, tapi penasaran. “Aku Nayla.”

“Nama yang indah,” gumam Arka.

Percakapan mereka terhenti ketika seorang petugas perpustakaan melintas. Arka segera memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya dan berbalik pergi, meninggalkan Nayla yang masih menggenggam buku di tangannya.

Ia menatap kepergian pria itu dengan rasa penasaran yang sulit dijelaskan. Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa tatapan matanya seolah menyimpan sesuatu yang gelap?

Nayla tidak tahu, bahwa pertemuan itu akan menjadi awal dari kisah yang akan mengubah hidupnya selamanya.*

 

Bab 2: Rahasia yang Tersimpan

Nayla tidak bisa berhenti memikirkan pertemuannya dengan Arka. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang terasa berbeda—bukan sekadar misterius, tetapi juga menyimpan kesedihan yang dalam. Sejak malam di perpustakaan itu, pikirannya terus melayang, bertanya-tanya siapa sebenarnya Arka dan apa yang membuatnya tampak begitu… asing, seolah dunia ini bukan tempatnya.

Di rumah, Nayla mencoba mengalihkan pikirannya dengan membaca buku yang diberikan Arka. Namun, bahkan ketika tenggelam dalam kisah klasik itu, bayangan pria berjaket hitam itu terus menghantui benaknya.

**\***

Keesokan harinya, Nayla duduk di kafe kecil dekat kampus, menyeruput kopi favoritnya sambil menatap ke luar jendela. Hujan baru saja reda, meninggalkan titik-titik air di kaca yang berembun. Saat itulah ia melihat sosok yang tidak asing lagi baginya.

Arka.

Pria itu berdiri di seberang jalan, mengenakan jaket yang sama seperti malam itu. Namun, yang membuat Nayla terkejut bukan kehadiran Arka, melainkan orang yang sedang berbicara dengannya.

Seorang pria tua berkacamata dengan rambut sebagian memutih. Nayla mengenalnya dengan baik—dia adalah Pak Sarman, mantan tangan kanan ayahnya yang dulu bekerja sebagai pengurus keuangan di perusahaan keluarga mereka. Namun, bertahun-tahun lalu, lelaki itu dipecat secara tidak terhormat karena sebuah skandal keuangan yang membuat keluarganya nyaris bangkrut.

Dada Nayla berdegup kencang. Kenapa Arka bersama orang itu? Apa hubungan mereka?

Nayla mencoba mengabaikan pikirannya, meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah kebetulan. Tapi saat tatapannya bertemu dengan mata Arka, pria itu tampak terkejut sesaat sebelum buru-buru pergi meninggalkan Pak Sarman tanpa mengucapkan apa pun.

Nayla semakin penasaran.

**\***

Hari berikutnya, Nayla kembali ke perpustakaan tempat mereka pertama kali bertemu. Entah kenapa, kakinya membawanya ke sana, seolah hatinya tahu bahwa Arka akan ada di sana.

Dugaan itu benar.

Arka duduk di sudut ruangan, di balik rak-rak tinggi yang jarang dijamah orang. Ia tampak sibuk membaca, tetapi sesekali matanya menatap kosong ke jendela, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Dengan langkah ragu, Nayla mendekatinya. “Arka.”

Pria itu menoleh, tampak sedikit kaget, tetapi segera menyembunyikan ekspresinya. “Nayla,” balasnya dengan suara tenang.

Nayla menarik kursi dan duduk di depannya. “Aku melihatmu kemarin,” katanya langsung ke inti pembicaraan.

Arka terdiam. Tatapannya mengeras, tetapi ia tidak tampak terkejut. Seolah sudah tahu bahwa Nayla akan membicarakan ini.

“Kau mengenal Pak Sarman?” lanjut Nayla.

Arka menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk. “Aku mengenalnya.”

Nayla menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, tetapi ia harus bertanya. “Siapa dia bagimu?”

Arka menatapnya tajam, lalu berkata dengan nada pelan, “Dia ayahku.”

Jawaban itu membuat Nayla terdiam. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Apa?” bisiknya, seolah berharap ia hanya salah dengar.

“Pak Sarman adalah ayahku,” ulang Arka, lebih tegas. “Dan aku tahu siapa ayahmu, Nayla.”

Jantung Nayla seakan berhenti berdetak. Sejak kecil, ia tahu betapa besar kebencian ayahnya terhadap Pak Sarman. Lelaki itu bukan hanya dipecat dari perusahaan, tetapi juga dituduh melakukan penggelapan uang yang membuat bisnis keluarga Nayla hampir runtuh.

Ayahnya pernah berkata bahwa keluarga Pak Sarman adalah musuh yang harus dilupakan.

Kini, di hadapannya duduk seorang pria yang diam-diam membuatnya tertarik—dan pria itu adalah putra dari seseorang yang ayahnya benci.

Nayla merasa dunianya mulai berputar. Ia ingin percaya bahwa Arka berbeda dari ayahnya, tetapi pikirannya dipenuhi dengan ketakutan.

“Ayahku bilang… Pak Sarman telah menghancurkan bisnis keluarga kami,” kata Nayla dengan suara pelan, hampir bergetar. “Kalau begitu… apa yang kau lakukan di sini, Arka? Apa yang kau inginkan?”

Arka menghela napas, menutup bukunya, lalu menatap Nayla dalam-dalam. “Aku tidak pernah meminta dilahirkan sebagai anaknya, Nayla. Sama seperti kau tidak pernah meminta dilahirkan di keluargamu.”

“Tapi—”

“Aku tidak datang ke hidupmu untuk membalas dendam, kalau itu yang kau pikirkan,” potong Arka. “Aku hanya ingin menjalani hidupku sendiri, tanpa bayang-bayang kesalahan ayahku. Tapi sekarang, aku sadar… itu tidak akan mudah.”

Keheningan menyelimuti mereka. Nayla ingin mengatakan sesuatu, tetapi pikirannya terlalu kacau.

Arka berdiri, menatap Nayla dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Aku tidak akan menyalahkanmu jika kau ingin menghindariku setelah ini,” katanya sebelum berbalik pergi.

Nayla hanya bisa terpaku di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Satu hal yang pasti—perasaan yang semula tumbuh dalam diam kini berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit.

Dan Nayla tidak tahu apakah ia siap menghadapinya.*

Bab 3: Di Antara Logika dan Hati

Sejak percakapannya dengan Arka di perpustakaan, dunia Nayla terasa berbeda. Ada sesuatu yang terus mengusik pikirannya, perasaan yang bercampur aduk antara ketertarikan, keraguan, dan ketakutan.

Arka adalah putra dari pria yang telah menghancurkan bisnis keluarganya. Fakta itu seharusnya cukup untuk membuatnya menjauh. Namun, setiap kali ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Arka adalah seseorang yang harus dihindari, hati kecilnya justru membisikkan sebaliknya.

Dia bukan ayahnya, Nayla. Dia hanya seorang pria biasa yang mencoba menjalani hidupnya.

Tapi apakah keluarganya akan melihatnya seperti itu?

**\***

Di rumah, Nayla duduk di ruang makan bersama keluarganya. Ayahnya, Darsa, seorang pria berwibawa dengan tatapan tajam dan sikap tegas, tengah membahas bisnis terbaru yang akan mereka jalankan. Di sampingnya, ibunya, Laras, hanya mengangguk sambil sesekali menyisip teh.

Namun, pikiran Nayla melayang ke tempat lain.

“Nayla, kau mendengarku?” suara ayahnya membuatnya tersentak.

Ia segera mengangkat wajah dan berusaha tersenyum. “Maaf, Ayah. Aku sedang melamun.”

Darsa menatapnya dengan tajam. “Apa yang kau pikirkan?”

“Ah, tidak ada. Aku hanya memikirkan tugas kuliah,” jawab Nayla cepat.

Darsa tidak langsung percaya. “Pastikan kau tidak memikirkan hal yang tidak perlu. Aku ingin kau fokus pada masa depanmu. Kau sudah cukup dewasa untuk tahu bahwa tidak semua orang di dunia ini bisa dipercaya.”

Perkataan ayahnya seperti sebuah peringatan terselubung. Nayla menelan ludah.

“Lagipula,” lanjut Darsa, “kau sudah hampir menyelesaikan kuliahmu. Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang.”

Nayla mengerutkan kening. “Mengenalkan siapa?”

Darsa meletakkan sendoknya dan menatap Nayla dengan ekspresi serius. “Damar.”

Jantung Nayla mencelos. Ia sudah pernah mendengar nama itu. Damar, anak dari kolega bisnis ayahnya, seorang pria yang menurut gosip kalangan elit memiliki latar belakang sempurna—pewaris bisnis besar, berpendidikan tinggi, dan yang terpenting, seseorang yang dianggap ‘sepadan’ untuk menjadi bagian dari keluarga mereka.

“Kami sudah berbicara dengan keluarganya. Aku ingin kau mengenalnya,” lanjut Darsa, nada suaranya seolah tidak memberi ruang untuk penolakan.

Nayla ingin protes. Ia ingin berkata bahwa ia bisa memilih sendiri siapa yang ingin ia temui, siapa yang ingin ia cintai. Tapi ia tahu, berbicara dengan ayahnya tentang kebebasan memilih pasangan adalah sesuatu yang sia-sia.

**\***

Malamnya, Nayla berjalan sendirian di taman dekat rumahnya. Angin malam yang sejuk berusaha menenangkan pikirannya, tetapi semuanya terasa terlalu berat.

Saat itulah ponselnya bergetar.

Sebuah pesan dari nomor yang belum ia simpan, tapi ia tahu pasti siapa pengirimnya.

**”Kau baik-baik saja?”**

Itu dari Arka.

Jemarinya ragu. Seharusnya ia mengabaikan pesan itu. Seharusnya ia melupakan perasaan aneh yang muncul sejak pertama kali mereka bertemu. Tapi hatinya berkata lain.

**”Aku tidak tahu.”**

Tidak sampai satu menit, ponselnya kembali bergetar.

**”Mau bertemu?”**

Nayla menarik napas dalam. Ia tahu ini berbahaya. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin melawan logika yang selalu mengekangnya.

**\***

Beberapa jam kemudian, Nayla berdiri di depan sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di gang sempit kota tua. Tempat ini jauh dari keramaian, seolah hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya.

Arka sudah menunggu di dalam, duduk di sudut ruangan dengan secangkir kopi di tangannya. Saat melihat Nayla datang, ia memberikan senyum kecil yang nyaris tak terlihat.

Nayla duduk di hadapannya, merasa sedikit gugup.

“Aku tidak tahu kenapa aku ada di sini,” katanya jujur.

Arka tersenyum tipis. “Tapi kau tetap datang.”

Nayla menghela napas. “Aku hanya… aku merasa semuanya menjadi lebih rumit sejak bertemu denganmu.”

Arka mengaduk kopinya pelan. “Aku juga.”

Keheningan melingkupi mereka sejenak. Lalu, Arka menatap Nayla dengan serius.

“Nayla, aku tahu situasi ini tidak mudah untukmu. Aku juga tahu siapa ayahmu dan bagaimana ia membenci keluargaku,” katanya. “Aku tidak ingin menempatkanmu dalam posisi sulit.”

Nayla menatap pria itu dalam diam. Ada sesuatu dalam suaranya yang tulus.

“Aku bisa pergi jika itu yang kau mau,” lanjut Arka. “Aku tidak ingin membuat hidupmu lebih rumit.”

Nayla merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seharusnya ia mengatakan ya. Seharusnya ia meminta Arka untuk menjauh, untuk tidak lagi mengganggu hidupnya.

Tapi justru yang keluar dari bibirnya adalah, “Jangan pergi.”

Arka terdiam. Sejenak, ekspresi wajahnya sulit ditebak, sebelum akhirnya ia mengangguk.

“Baiklah,” katanya pelan.

Nayla tidak tahu apa yang baru saja ia lakukan. Ia hanya tahu bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia memilih untuk mendengar hatinya, bukan logika yang selalu ia patuhi.

Dan itu menakutkan.

Tetapi juga… membebaskan.*

Bab 4: Cinta yang Tak Seharusnya

Nayla tahu ia sedang berjalan di atas tali tipis yang bisa putus kapan saja. Setiap detik yang ia habiskan bersama Arka, setiap pesan yang mereka tukar, dan setiap tatapan yang mereka sembunyikan dari dunia adalah kesalahan di mata keluarganya. Tapi semakin ia mencoba menjauh, semakin hatinya menolak.

Cinta ini tidak seharusnya ada. Tapi kenyataannya, cinta itu sudah tumbuh, menjalar di dalam hatinya tanpa bisa ia kendalikan.

**\***

Hari itu, Nayla duduk di sebuah meja di sudut kafe kecil tempat biasa ia bertemu dengan Arka. Di luar, hujan rintik-rintik turun, membasahi jalanan kota yang sepi. Ia melirik jam tangannya, sedikit gelisah.

Lalu pintu kafe terbuka, dan sosok yang ia tunggu akhirnya datang.

Arka mengenakan jaket hitamnya seperti biasa, rambutnya sedikit basah karena hujan. Tanpa banyak bicara, ia duduk di hadapan Nayla, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Kau baik-baik saja?” tanya Arka, suaranya lembut namun terdengar serius.

Nayla mengangguk, meski sebenarnya hatinya sedang bergejolak. “Aku hanya… aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

Arka bersandar di kursinya, menatapnya dalam diam, menunggu.

Nayla menarik napas dalam sebelum berbicara. “Ayahku ingin menjodohkanku dengan seseorang. Damar.”

Arka tidak bereaksi untuk beberapa detik. Lalu, ia menghela napas, seolah sudah menduga bahwa ini akan terjadi. “Dan kau?” tanyanya pelan.

“Aku tidak tahu,” jawab Nayla jujur. “Aku tahu bahwa menolak bukan pilihan. Ayahku tidak akan menerimanya.”

Arka menatap ke luar jendela, menekuk jari-jarinya dalam genggaman. “Kalau begitu, kenapa kau di sini?”

Pertanyaan itu membuat Nayla terdiam. Ia tahu jawaban yang seharusnya ia katakan—bahwa ia tidak bisa lagi menemui Arka, bahwa ini semua hanya akan memperumit segalanya. Tapi yang keluar dari bibirnya justru adalah:

“Karena aku ingin di sini.”

Arka menoleh, menatapnya lekat-lekat. Ada kehangatan dalam sorot matanya, tetapi juga keraguan. “Nayla…”

“Jangan katakan aku harus pergi,” potong Nayla cepat. “Aku tahu ini salah. Aku tahu keluargaku tidak akan pernah menerima ini. Tapi saat aku bersamamu… aku merasa seperti diriku sendiri.”

Arka menunduk, menyembunyikan senyum tipis yang sulit ia tahan. “Itu juga yang kurasakan.”

Keheningan menyelimuti mereka, bukan karena tidak ada yang bisa dikatakan, tetapi karena mereka sama-sama tahu bahwa apa yang mereka rasakan adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada—tetapi juga tidak bisa dihindari.

**\***

Beberapa hari kemudian, Nayla menghadiri makan malam bersama keluarganya dan keluarga Damar di sebuah restoran mewah. Ia duduk di samping ibunya, berusaha menyembunyikan kegelisahannya saat Damar duduk di seberang meja.

Damar memang pria yang tampan dan berkelas. Senyumannya hangat, pembawaannya tenang. Tidak ada yang salah dengan dirinya.

Tapi bukan dia yang Nayla inginkan.

Di tengah percakapan antara ayah mereka, Damar tiba-tiba menoleh dan berbicara langsung padanya.

“Nayla, apa kau suka melukis?”

Nayla menatapnya, sedikit terkejut. “Kenapa kau bertanya begitu?”

Damar tersenyum. “Aku hanya ingin mengenalmu lebih baik.”

Nayla mencoba tersenyum, tetapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ke seseorang yang seharusnya tidak ada dalam pikirannya saat ini.

Tepat saat itu, ponselnya bergetar di pangkuannya. Ia melirik layar dengan cepat, dan jantungnya langsung berdegup lebih kencang.

**Arka.**

Nayla menggigit bibirnya, merasa bersalah karena bahkan di momen seperti ini, ia memikirkan pria lain. Dengan cepat, ia mengetik balasan di bawah meja.

**”Aku di sini dengan keluargaku. Nanti aku hubungi.”**

Seakan bisa merasakan pikirannya yang berantakan, Damar menatapnya lebih lama sebelum akhirnya berkata, “Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah untukmu.”

Nayla tersentak. “Apa maksudmu?”

Damar tersenyum kecil. “Aku tahu pernikahan ini adalah urusan keluarga kita. Tapi aku tidak ingin memaksamu jika kau tidak menginginkannya.”

Nayla terdiam. Ia tidak menyangka Damar akan sejujur itu.

“Aku tidak akan berpura-pura tidak tahu, Nayla,” lanjut Damar, kali ini dengan nada lebih serius. “Kau mungkin bisa menyembunyikan perasaanmu dari keluargamu, tapi tidak dariku.”

Jantung Nayla mencelos. Apakah Damar tahu tentang Arka?

Namun sebelum ia sempat menjawab, ayahnya berbicara.

“Nayla, Damar ini pria baik. Aku harap kau bisa mempertimbangkannya dengan matang.”

Malam itu, Nayla pulang dengan kepala penuh kekacauan.

Ia tahu bahwa jika ia terus mengikuti keinginannya, itu berarti ia harus melawan keluarganya. Tapi jika ia menyerah, itu berarti ia harus melepaskan sesuatu yang membuatnya merasa hidup.

Di antara logika dan hati, di antara kewajiban dan keinginan, Nayla harus membuat keputusan.

Tapi apakah ia siap?

Dan lebih penting lagi—apakah ia sanggup menghadapi konsekuensinya?*

Bab 5: Kebohongan yang Mulai Terungkap

Nayla tidak pernah menyangka bahwa perasaannya terhadap Arka akan membawanya ke dalam badai yang semakin sulit dikendalikan. Hubungan yang ia sembunyikan seperti api kecil, tapi kini api itu mulai membesar, mengancam untuk membakar segala yang selama ini ia lindungi—keluarganya, reputasinya, dan mungkin, masa depannya.

Hari-hari berlalu dengan ketegangan yang semakin sulit ia abaikan. Sejak makan malam bersama keluarganya dan keluarga Damar, ayahnya semakin sering menyinggung soal pertunangan. Laras, ibunya, juga mulai bertanya lebih sering, memastikan bahwa Nayla tidak membuat keputusan yang “tidak seharusnya.”

Namun, yang paling mengganggu Nayla adalah perasaan bahwa seseorang mulai mencurigai dirinya.

Dan perasaan itu terbukti benar lebih cepat dari yang ia bayangkan.

—

### **Rahasia yang Tidak Lagi Aman**

Sore itu, Nayla bertemu dengan Arka di taman kota yang tersembunyi di balik gedung-gedung tua. Tempat ini menjadi salah satu tempat rahasia mereka—sebuah sudut kecil dunia di mana mereka bisa berpura-pura bahwa tidak ada yang melarang mereka bersama.

“Aku merasa seseorang mulai mencurigai kita,” ujar Nayla sambil memandang resah ke sekelilingnya.

Arka menatapnya, ekspresi wajahnya serius. “Siapa?”

“Aku tidak tahu pasti. Tapi Damar mengatakan sesuatu yang aneh waktu itu. Seakan dia tahu ada seseorang dalam hidupku,” jawab Nayla, memainkan ujung lengan jaketnya dengan gelisah.

Arka menghela napas panjang. “Mungkin ini saatnya kita lebih berhati-hati. Kita bisa membatasi pertemuan kita untuk sementara waktu.”

Nayla menatapnya dengan kecewa. “Kau ingin aku berhenti menemui—”

“Aku tidak mengatakan itu.” Arka meraih tangannya dengan lembut, menenangkannya. “Aku hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu.”

Mendengar itu, Nayla merasakan dadanya menghangat. Arka selalu begitu—melindungi, memikirkan keadaannya sebelum memikirkan dirinya sendiri.

Tapi sesuatu yang buruk tetap terjadi.

Malamnya, saat Nayla pulang ke rumah, ia menemukan ayahnya duduk di ruang kerja dengan ekspresi tegang. Laras berdiri di belakangnya, sementara Damar—yang entah sejak kapan ada di sana—duduk di salah satu sofa dengan wajah yang sulit ditebak.

“Nayla,” suara ayahnya terdengar dingin. “Duduk.”

Nayla menelan ludah. Jantungnya berdetak kencang, seolah memberi peringatan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

Dengan ragu, ia melangkah ke depan dan duduk di kursi di hadapan ayahnya.

“Aku akan bertanya satu kali,” Darsa menatapnya tajam. “Dan aku ingin kau menjawab dengan jujur.”

Nayla merasa tangannya mulai berkeringat. “Apa yang ingin Ayah tanyakan?”

Darsa menatapnya dalam. “Apakah kau ada hubungan dengan Arka Wiratama?”

Jantung Nayla berhenti berdetak sejenak.

Seperti petir yang menyambar di siang bolong, pertanyaan itu membuatnya terdiam. Bibirnya terasa kaku, pikirannya kosong.

Damar menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, sementara ibunya tampak gelisah.

“Aku…” Nayla mencoba mengendalikan suaranya. “Aku tidak mengerti maksud Ayah.”

Darsa menepukkan tangannya ke meja, membuat Nayla tersentak. “Jangan bermain kata-kata denganku! Aku tahu kau sering bertemu dengannya. Aku tahu kalian menjalin hubungan yang seharusnya tidak pernah ada!”

Nayla membeku.

Bagaimana bisa ayahnya tahu?

“Siapa yang memberitahu Ayah?” tanyanya pelan, suaranya hampir berbisik.

Darsa tersenyum sinis. “Aku punya mata di mana-mana, Nayla. Kau pikir rahasiamu bisa tetap tersembunyi selamanya?”

Nayla menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya yang mulai bergejolak.

“Ayah tidak mengerti,” katanya dengan suara bergetar. “Arka bukan seperti yang Ayah bayangkan.”

“Dia adalah anak dari pria yang menghancurkan bisnis kita!” suara Darsa meninggi, matanya penuh kemarahan. “Apa kau tahu betapa banyak penderitaan yang keluarga kita alami karena ayahnya?”

“Tapi dia bukan ayahnya!” Nayla akhirnya berseru, tidak bisa lagi menahan perasaannya. “Arka tidak bersalah atas apa yang dilakukan orang tuanya. Dia orang yang berbeda!”

Darsa berdiri dari kursinya, menatapnya dengan penuh amarah. “Kau pikir itu bisa mengubah sejarah? Kau pikir hanya karena kau mencintainya, semua kesalahan keluarganya bisa dihapus begitu saja?”

Nayla membelalakkan mata. “Aku…”

“Kau mencintainya?” Kali ini yang berbicara adalah Damar. Suaranya lembut, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.

Nayla terdiam. Ia tidak pernah mengatakannya dengan jelas, bahkan kepada dirinya sendiri. Tapi mendengar kata-kata itu keluar dari mulut ayahnya… membuatnya sadar bahwa itu memang benar.

Ia mencintai Arka.

Dan itu adalah kebohongan yang selama ini ia sembunyikan.

—

### **Kenyataan yang Tidak Bisa Dihindari**

Darsa menghela napas berat, lalu menatapnya dengan tatapan yang dingin. “Kau akan melupakan Arka, dan kau akan menerima pertunanganmu dengan Damar.”

Nayla menatap ayahnya dengan penuh keterkejutan. “Apa?”

“Tidak ada pilihan lain,” lanjut Darsa. “Aku sudah cukup bersabar, Nayla. Aku tidak akan membiarkan putriku terlibat dengan keluarga yang telah menghancurkan kita.”

Nayla menggeleng, matanya mulai berkaca-kaca. “Ayah tidak bisa mengatur hidupku seperti ini.”

“Aku bisa. Dan aku akan melakukannya,” jawab Darsa dengan tegas.

Nayla menoleh ke arah ibunya, mencari dukungan. Namun, Laras hanya menundukkan kepala, seolah tidak ingin ikut campur.

Damar yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Aku tidak ingin menikah dengan seseorang yang mencintai pria lain.”

Semua mata tertuju padanya.

Darsa menatap Damar dengan tajam. “Ini bukan tentang perasaan, Damar. Ini tentang keluarga, reputasi, dan masa depan.”

Damar tersenyum kecil, tetapi ada kesedihan di matanya. “Dan kau pikir mengorbankan kebahagiaan Nayla akan membawa kehormatan untuk keluarga?”

Kata-kata itu menghantam Nayla lebih keras dari yang ia kira.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Yang ia tahu hanyalah satu hal—rahasia yang ia sembunyikan tidak lagi aman.

Dan kini, ia harus menghadapi konsekuensinya.

—

Bab ini menjadi titik balik dalam cerita, di mana rahasia Nayla dan Arka akhirnya terungkap, membawa konflik ke tingkat yang lebih serius. Apakah Nayla akan berani melawan keluarganya? Atau ia akan menyerah pada takdir yang sudah ditentukan untuknya?*

 

Bab 6: Ultimatum dari Keluarga

Sejak malam itu, hidup Nayla berubah drastis. Keluarganya, yang selama ini memberikan kebebasan dalam batasan tradisi, kini mulai mengawasinya seperti tahanan. Ponselnya disita, semua akses ke luar rumah dibatasi, bahkan kegiatan kampusnya pun dipantau. Seolah-olah ia adalah ancaman bagi kehormatan keluarga sendiri.

Di sisi lain, pikirannya tak henti-henti mengarah kepada Arka. Bagaimana jika Arka mencarinya? Bagaimana jika Arka mencoba menghubunginya dan ia tidak bisa merespons? Bagaimana jika Arka berpikir bahwa ia menyerah?

Namun, semua pertanyaannya harus ia kubur dalam-dalam saat ayahnya memanggilnya ke ruang kerja—ruangan yang sejak kecil selalu ia anggap sebagai tempat keputusan besar diambil.

—

### **Di Balik Pintu Ruang Kerja**

Ketika Nayla melangkah masuk, ayahnya sudah duduk di balik meja besar dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ibunya berdiri di dekat jendela dengan punggung tegak, dan Damar—entah mengapa ia selalu ada dalam setiap percakapan penting—duduk di sofa, tampak lebih tenang dibanding sebelumnya.

“Nayla, duduk,” suara ayahnya terdengar dingin.

Nayla melangkah pelan dan duduk di kursi di hadapan ayahnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi kali ini, tetapi firasatnya mengatakan bahwa ia tidak akan menyukainya.

“Kami sudah cukup bersabar,” kata ayahnya akhirnya. “Kami memberikanmu waktu untuk berpikir, tetapi kau tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan.”

Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan ketakutan yang mulai merayap di hatinya.

“Kami sudah memutuskan,” lanjut Darsa. “Kau akan bertunangan dengan Damar dalam waktu dua minggu.”

Darah Nayla seperti berhenti mengalir. “Apa?”

“Kami sudah berbicara dengan keluarga Damar. Keputusan ini sudah final,” ucap ibunya tanpa menoleh.

“Tidak,” Nayla akhirnya bersuara, tangannya mengepal di atas lututnya. “Ayah tidak bisa memaksa—”

“Aku bisa dan aku akan melakukannya,” potong Darsa tajam. “Aku tidak akan membiarkan putriku terjerumus dalam hubungan yang tidak seharusnya.”

Nayla merasa dunianya berputar. Ia tahu keluarganya akan menentang hubungannya dengan Arka, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini mereka mengambil tindakan.

“Ayah, tolong,” suara Nayla nyaris bergetar. “Berikan aku waktu. Aku—”

“Tidak ada waktu lagi,” kata Darsa tegas. “Kau akan menerima ini atau kau bukan lagi bagian dari keluarga ini.”

Ruangan itu seketika menjadi sunyi.

Nayla menatap ayahnya dengan mata melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Ayah…”

“Itu keputusan kami,” sahut ibunya, kali ini suaranya sedikit lebih lembut, tetapi tetap dingin. “Jika kau memilih Arka, kau harus siap kehilangan segalanya. Keluarga ini, nama baikmu, warisanmu. Segalanya.”

Nayla merasa seolah seseorang baru saja menghantam dadanya dengan palu besar.

“Jangan buat ini lebih sulit, Nayla,” Damar akhirnya berbicara. “Aku tidak ingin melihatmu dalam posisi ini. Tapi jika kau tetap bertahan dengan pilihanmu, kau tahu apa konsekuensinya.”

Nayla menatap Damar, mencari tanda bahwa ia mungkin bisa membantunya, membelanya. Tapi yang ia temukan hanyalah ekspresi datar—seperti seseorang yang hanya menyampaikan kabar buruk, bukan seseorang yang benar-benar peduli.

“Aku tidak bisa,” kata Nayla akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. “Aku tidak bisa menikahi seseorang yang tidak kucintai.”

Ayahnya menghela napas, lalu bersandar di kursinya. “Maka kau harus memilih, Nayla.”

Matanya menatap langsung ke dalam mata putrinya, tanpa ragu, tanpa belas kasihan.

“Arka atau keluargamu.”

—

### **Malam Tanpa Jawaban**

Malam itu, Nayla duduk di tepi tempat tidurnya, menatap ponsel yang akhirnya dikembalikan kepadanya—tentu saja dengan pemantauan penuh. Semua pesan yang ia kirim atau terima akan diawasi.

Tapi itu tidak menghentikannya untuk membuka chat terakhirnya dengan Arka.

Pesan terakhir dari Arka berbunyi:

**”Aku merindukanmu. Apa yang terjadi?”**

Nayla menelan ludah. Ia ingin membalas, ingin memberitahunya segalanya, ingin lari ke pelukannya dan melupakan semua masalah ini.

Tapi jika ia melakukannya, ia tahu ia akan kehilangan keluarganya.

Ia menutup matanya, mencoba mencari jawaban dalam kepalanya.

Bagaimana mungkin ia memilih antara cinta dan keluarga?

Namun, ia tahu satu hal—waktu untuk memutuskan semakin dekat.

Dan tidak peduli apa pun yang ia pilih, seseorang pasti akan terluka.*

Bab 7: Pelarian di Bawah Langit Senja

Nayla tidak bisa tidur semalaman. Kata-kata ayahnya terus terngiang di kepalanya.

**”Arka atau keluargamu.”**

Pilihan itu terasa seperti jerat yang semakin kencang membelit lehernya. Ia tidak bisa kehilangan Arka, tetapi meninggalkan keluarganya juga bukan sesuatu yang mudah. Bagaimanapun, mereka adalah orang-orang yang membesarkannya, yang selama ini menjadi tempatnya berpulang.

Namun, apakah keluarga yang benar-benar mencintainya akan memaksanya memilih seperti ini?

Saat pagi datang, Nayla menatap bayangan dirinya di cermin. Matanya sembab, wajahnya pucat, dan tubuhnya terasa lebih lemah dari sebelumnya. Seperti burung dalam sangkar emas yang perlahan kehilangan nyawa.

Ia harus membuat keputusan.

Dan ia tahu apa yang harus ia lakukan.

—

### **Keputusan yang Tak Terhindarkan**

Sore itu, langit dihiasi semburat jingga keemasan. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, memberikan kesan damai di tengah kekacauan yang berkecamuk di hati Nayla.

Ia mengenakan jaket tebal dan menyembunyikan wajahnya di balik hoodie. Tangannya gemetar saat ia memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas kecil.

Dari balik pintu kamarnya, ia bisa mendengar suara orang tuanya yang sedang berbincang di ruang tamu. Mereka tidak akan menyadari kepergiannya—setidaknya tidak sampai semuanya terlambat.

Dengan hati-hati, Nayla membuka jendela kamarnya yang menghadap taman belakang rumah. Angin sore menerpa wajahnya saat ia menggenggam tali ranselnya erat-erat.

“Demi cinta atau demi keluarga?” bisiknya pada diri sendiri.

Lalu, tanpa ragu lagi, ia memanjat keluar dan melompat ke bawah.

—

### **Di Bawah Langit Senja**

Nayla berlari tanpa menoleh ke belakang. Ia menyusuri jalan setapak yang menuju gerbang belakang kompleks perumahan. Napasnya memburu, jantungnya berdebar begitu kencang hingga terasa seperti akan meledak.

Ia tak punya banyak waktu sebelum keluarganya menyadari kepergiannya.

Saat sampai di ujung jalan, sebuah motor berwarna hitam sudah menunggu. Helm hitam diberikan kepadanya, dan tanpa ragu, ia segera mengenakannya.

“Sudah siap?” suara Arka terdengar dari balik helmnya.

Nayla mengangguk. “Ayo pergi.”

Arka segera menyalakan mesin motornya dan melaju dengan kecepatan tinggi. Angin dingin menusuk kulit Nayla, tetapi ia tidak peduli. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa bebas.

Mereka melewati jalan-jalan kecil di pinggiran kota, berusaha menghindari tempat-tempat yang mungkin dipenuhi orang-orang yang mengenalnya. Nayla tidak tahu ke mana mereka akan pergi, tetapi ia percaya pada Arka.

Yang ia tahu, ia sedang menuju kehidupan baru—kehidupan di mana ia bisa memilih sendiri jalannya.

—

### **Ketakutan dan Harapan**

Setelah hampir satu jam perjalanan, Arka menghentikan motor di sebuah penginapan kecil di pinggir kota. Tempat itu sederhana, tetapi cukup tersembunyi.

“Kita menginap di sini dulu,” kata Arka seraya melepas helmnya.

Nayla turun dari motor, merasakan lututnya lemas setelah pelarian yang begitu mendebarkan.

“Kau yakin kita tidak akan ditemukan di sini?” tanyanya, masih berusaha mengatur napasnya.

Arka menatapnya dengan lembut. “Setidaknya untuk sementara waktu. Aku sudah menyiapkan semuanya.”

Nayla mengangguk pelan. Kepercayaan pada Arka menguatkan hatinya, meskipun ketakutan masih mengintai di sudut pikirannya.

Mereka masuk ke dalam penginapan dan mendapatkan kamar di lantai dua. Begitu pintu kamar tertutup, Nayla akhirnya bisa menghembuskan napas panjang yang sejak tadi ia tahan.

“Ini gila,” gumamnya, setengah tertawa, setengah gemetar.

Arka tersenyum kecil, mendekatinya dan meraih tangannya. “Aku tahu. Tapi kau tidak sendiri, Nay.”

Nayla menatapnya, merasakan air mata menggenang di sudut matanya. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengungkapkan semua yang ada di hatinya.

Namun, sebelum kata-kata itu keluar, suara ponselnya bergetar di dalam tas.

Jantung Nayla mencelos saat melihat nama yang tertera di layar: **Ayah.**

Ia menatap layar itu dengan napas tertahan, sementara Arka menunggu dengan ekspresi waspada.

Ponselnya terus bergetar, seolah menuntut jawaban.

“Jawab atau tidak?” tanya Arka pelan.

Nayla menggigit bibirnya, jari-jarinya gemetar di atas layar ponsel.

Jika ia mengangkatnya, itu bisa berarti akhir dari segalanya.

Tapi jika tidak… apakah ia benar-benar siap untuk meninggalkan semuanya di belakang?

Langit di luar semakin gelap, sementara Nayla berdiri di persimpangan yang akan menentukan hidupnya.

Dan kali ini, ia harus membuat pilihan yang tak bisa diubah lagi.*

Bab 8: Pengkhianatan dan Air Mata

Nayla duduk di tepi ranjang, tangan gemetar memegang ponsel yang baru saja ia letakkan di sampingnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dihentikan. Meskipun ia telah melarikan diri dari rumah, meskipun ia telah membuat keputusan untuk bersama Arka, hatinya tak bisa menahan rasa sakit.

Ia bisa mendengar suara Arka di luar kamar, berbicara dengan pemilik penginapan, mungkin sedang mengatur perjalanan selanjutnya. Namun, pikirannya tak bisa teralihkan dari pesan yang baru saja ia baca.

Pesan itu datang dari ibunya.

**”Nayla, kamu sedang apa? Ayah sudah tahu semuanya. Jangan biarkan keluarga kita hancur hanya karena keputusan bodoh ini. Pulanglah. Kita akan bicarakan ini baik-baik. Jangan biarkan dirimu jatuh lebih dalam lagi.”**

Setiap kata itu terasa seperti pisau yang menancap di hatinya. Ibunya, yang selama ini ia anggap sebagai tempat berlindung, ternyata malah menjadi bagian dari kekuatan yang mengekangnya.

“Apa yang telah kulakukan?” bisik Nayla, suaranya serak.

Arka masuk ke dalam kamar, matanya langsung menatap Nayla yang tampak begitu rapuh. Ia mendekat dan duduk di sampingnya. “Ada apa? Kau tidak baik-baik saja?”

Nayla menggeleng, berusaha menghapus air mata yang mengalir. “Aku… aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Arka. Aku ingin bersama kamu, tapi aku merasa telah menghancurkan semuanya. Keluargaku, masa depan kami… semuanya.”

Arka menggenggam tangannya dengan lembut. “Kau tidak menghancurkan apa pun, Nayla. Kau memilih untuk bahagia. Itu bukan sebuah kesalahan.”

“Tapi aku meninggalkan mereka,” Nayla berbisik, “Aku meninggalkan keluargaku, Arka. Dan sekarang, mereka mungkin membenciku.”

Arka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaannya yang juga mulai kacau. “Tidak. Mereka tidak akan membencimu. Mereka hanya marah karena mereka tidak mengerti keputusanmu. Dan kita akan membuat mereka mengerti, Nayla.”

Namun, meskipun Arka mencoba memberi semangat, Nayla merasa semakin terpuruk. Bagaimana jika ia benar-benar membuat keputusan yang salah? Bagaimana jika ia akhirnya kehilangan semuanya?

Tiba-tiba ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, nomor yang muncul di layar adalah Damar. Nayla menghela napas berat sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.

“Hallo?” suara Nayla terdengar parau.

“Jangan lari lagi, Nayla,” suara Damar terdengar lebih tenang dari yang ia bayangkan. “Ayah benar, kita tidak bisa terus seperti ini. Aku sudah berbicara dengan keluarga kita. Mereka tidak ingin pernikahan ini batal. Aku sudah mencoba untuk menundanya, tapi semuanya sudah terlalu jauh.”

Nayla merasakan dadanya sesak. “Damar… Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menikah denganmu.”

Ada keheningan yang panjang di ujung telepon. Kemudian, suara Damar terdengar lagi, kali ini lebih rendah dan penuh dengan perasaan. “Aku tahu, Nayla. Aku tahu kau tidak mencintaiku. Tapi kenapa kau harus berlari dariku? Kenapa kau tidak bisa memberi kesempatan untuk kita?”

“Aku… aku tidak mencintaimu,” kata Nayla pelan, seakan setiap kata itu mencabik-cabik hatinya. “Aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang bukan pilihanku.”

“Jadi, kamu akan memilih Arka?” Damar bertanya, suaranya mulai terdengar tajam. “Kau tahu betul siapa dia. Kau tahu betul apa yang dia lakukan pada keluargaku. Aku tahu kau berusaha untuk membela dia, tapi ini bukan hanya tentang kamu dan dia, Nayla. Ini tentang masa depan kita.”

Nayla menggigit bibirnya, merasakan perasaan bersalah semakin menyesak di dadanya. “Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, Damar. Aku sudah terlalu jauh.”

“Jangan lari, Nayla,” suara Damar kini dipenuhi dengan kepedihan. “Aku tidak ingin kehilanganmu. Kau adalah segalanya bagiku.”

Namun, Nayla sudah tidak bisa kembali. Baginya, keputusan itu sudah terbuat. Ia mencintai Arka, dan meskipun keluarga dan masa depan seakan menjauhkan mereka, ia tahu tidak ada lagi jalan untuk mundur.

—

### **Kenyataan yang Terungkap**

Sebelum Nayla sempat mengatakan apa-apa lagi, suara ketukan terdengar dari pintu. Arka, yang melihat betapa terguncangnya Nayla, berdiri dan membuka pintu.

Di luar sana, berdiri seorang pria yang tidak asing bagi Nayla. Wajahnya yang penuh amarah adalah sesuatu yang selalu ia coba hindari—**Damar.**

“Arka,” kata Damar dengan suara yang bergetar, tetapi penuh dengan kemarahan. “Kau tahu apa yang sedang terjadi, kan? Kau tahu betul apa yang kau lakukan. Jangan harap bisa menyelamatkan dirimu dari ini.”

Arka menatapnya dengan tajam. “Aku tidak takut padamu, Damar. Dan jika kau datang untuk menyuruh Nayla kembali, aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Damar tertawa sinis. “Kau pikir kau bisa melawan semua yang kami miliki? Keluargaku akan menghancurkanmu, Arka. Kau akan menyesal telah membuat keputusan ini.”

Nayla berdiri, mencoba untuk meredakan ketegangan yang semakin memuncak. “Damar, jangan. Aku tidak ingin ada pertengkaran lebih lanjut.”

“Tapi kau harus kembali, Nayla!” Damar berkata keras. “Keluargamu sudah hancur karena pilihanmu! Ayahmu hampir jatuh sakit, dan ini semua karena keputusanmu yang bodoh!”

Air mata kembali mengalir dari mata Nayla. “Aku hanya ingin bahagia, Damar. Tapi kau… kalian tidak pernah mengerti.”

Tiba-tiba, Damar mengalihkan pandangannya ke arah Arka. “Jangan kira aku akan diam saja. Kau telah menipu semua orang yang ada di sekitarmu. Aku akan menghancurkan hubungan ini, Nayla, dan aku tidak akan membiarkan Arka membuatmu lebih menderita.”

Dengan kata-kata itu, Damar pergi meninggalkan mereka berdua. Nayla jatuh terduduk di atas ranjang, merasakan dunia runtuh di sekelilingnya. Ia tidak tahu lagi siapa yang benar, siapa yang salah.

Yang ia tahu, kini hatinya penuh dengan air mata, dan pengkhianatan datang dari tempat yang tak pernah ia bayangkan.*

Bab 9: Perpisahan yang Menyayat Hati

Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana yang suram di luar jendela kamar penginapan. Nayla duduk di tepi ranjang, matanya kosong, menatap ke luar tanpa melihat apa pun. Hujan yang jatuh seakan mencerminkan hatinya yang sedang hancur. Suara hujan yang terus menerus menimpa kaca jendela membuat suasana terasa semakin berat.

Arka duduk di sampingnya, mengamati Nayla dengan cemas. Meski ia ingin menghiburnya, kata-kata tak pernah cukup untuk menjelaskan betapa rusaknya keadaan mereka sekarang. Selama ini, mereka telah berjuang bersama. Mereka telah menempuh banyak jalan terjal dan menghadapai banyak rintangan, tapi sekarang semuanya terasa sia-sia.

Nayla menarik napas panjang, merasakan sakit yang begitu dalam. **”Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Arka.”**

Arka menatapnya dengan perasaan yang campur aduk, tetapi ia tahu bahwa Nayla sedang berjuang lebih dari apapun. “Kau bisa memberitahuku apapun, Nayla,” jawabnya lembut. “Aku akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa pun yang terjadi.”

Namun, meskipun Arka berkata begitu, Nayla bisa merasakan jarak yang mulai tumbuh di antara mereka. Itu bukan karena Arka tidak peduli, tetapi karena pilihan-pilihan yang telah ia buat. Keputusan-keputusan yang terlanjur merusak semua yang ada di hidup mereka.

Semenjak pertemuan dengan Damar dan percakapan pahit dengan keluarganya, Nayla tahu bahwa ia tidak bisa lari selamanya. Keluarganya tidak akan pernah menerima hubungannya dengan Arka. Dan meskipun ia mencintai Arka lebih dari apapun di dunia ini, Nayla tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan segala pengorbanan yang telah dibuat oleh keluarganya untuknya.

Hujan semakin deras. Setiap tetes air yang jatuh seakan mewakili tetesan air mata yang terus mengalir di dalam dirinya. Nayla menoleh pada Arka, yang duduk di sampingnya, dan menatapnya dengan penuh kesedihan.

“Apa yang akan terjadi pada kita, Arka?” suara Nayla teredam, seperti angin yang berbisik di malam yang gelap.

Arka tidak segera menjawab. Ia meraih tangan Nayla, menggenggamnya erat, mencoba mengirimkan kehangatan yang ia tahu sangat dibutuhkan Nayla saat ini. “Kita sudah melewati banyak hal, Nayla,” ujarnya, suara penuh keyakinan, meskipun matanya penuh dengan keraguan. “Kita tidak akan menyerah. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”

Namun, Nayla menarik tangannya perlahan, menunduk, tidak mampu lagi melihat wajah Arka. “Aku… aku sudah memutuskan. Aku harus pulang.”

Mata Arka membelalak. “Apa? Kau tidak bisa begitu saja—”

“Tidak ada yang bisa kulakukan, Arka,” Nayla memotong dengan suara yang begitu lemah. “Aku sudah terlalu jauh. Aku sudah menghancurkan semuanya.”

Arka menatapnya bingung, tetapi ada keheningan yang begitu kental di antara mereka. “Apa maksudmu dengan ‘pulangan’?”

Nayla menatapnya sekali lagi, kali ini matanya penuh dengan air mata yang tak bisa ditahan lagi. “Aku harus kembali ke rumah. Aku harus bertanggung jawab atas semua yang telah kulakukan. Keluargaku, mereka tidak akan bisa hidup dengan keputusan yang telah aku buat. Aku tak bisa terus kabur, Arka. Aku harus kembali dan meminta maaf kepada mereka. Aku harus memperbaiki semuanya.”

Arka tampak sangat terpukul. Wajahnya memucat, dan ia merasa seperti dunia yang dibangunnya bersama Nayla runtuh begitu saja. “Tapi aku… aku tidak bisa kehilanganmu, Nayla,” katanya, suaranya penuh dengan emosi yang tak terkendali. “Aku tidak tahu bagaimana hidup tanpamu.”

Nayla menunduk, merasakan beban yang begitu berat di dadanya. “Aku juga tidak tahu, Arka. Aku juga tidak tahu bagaimana hidup tanpamu. Tetapi aku tidak bisa hidup dengan rasa bersalah seperti ini.”

Ada jeda panjang sebelum Arka akhirnya berbicara lagi. “Jadi, ini adalah perpisahan kita?” tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Nayla hanya bisa mengangguk, meski hatinya teriris. “Aku tidak ingin ini terjadi. Aku tidak ingin berpisah darimu. Tapi aku juga tidak bisa terus mengabaikan keluargaku. Aku tidak bisa terus mengecewakan mereka.”

Arka menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan emosi yang hampir meledak. “Aku mencintaimu, Nayla,” katanya perlahan. “Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku tidak ingin perpisahan ini, tapi aku juga tahu kau tidak bisa terus hidup dalam ketegangan seperti ini.”

Nayla merasa hatinya remuk mendengar kata-kata Arka. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus ia ambil. Mereka tidak bisa terus hidup dalam dunia yang penuh dengan kebohongan dan pengorbanan yang sia-sia.

“Aku juga mencintaimu, Arka,” kata Nayla dengan suara yang penuh isak tangis. “Tapi cinta tidak selalu cukup. Terkadang, kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai untuk kebaikan yang lebih besar.”

Setelah beberapa saat yang penuh keheningan, Arka berdiri dan mendekati Nayla. Ia menatapnya dalam-dalam, seperti mencoba mengingat setiap detail wajah Nayla. “Aku akan selalu mencintaimu, Nayla. Itu tidak akan berubah, meskipun kita harus berpisah.”

Nayla mengangkat wajahnya, menatap Arka dengan mata yang penuh air mata. “Aku juga akan selalu mencintaimu, Arka. Bahkan jika kita tidak bisa bersama.”

Arka mengangkat tangan Nayla, membelai pipinya dengan lembut. “Kau akan selalu menjadi bagian dari diriku, Nayla. Tidak peduli ke mana hidup membawa kita.”

Dengan satu langkah terakhir, Arka memeluk Nayla erat, seperti ingin menahan waktu agar tidak berlalu. Mereka berdiri di sana, berpelukan, merasakan perpisahan yang begitu menyakitkan, meskipun tidak ada kata-kata yang terucap.

Akhirnya, Nayla melepaskan pelukannya dan melangkah mundur. “Ini perpisahan kita, Arka. Aku tidak ingin melukai dirimu lebih jauh.”

Dengan air mata yang tidak bisa ia tahan lagi, Nayla melangkah pergi, meninggalkan Arka di sana. Langit di luar mulai gelap, seiring dengan berakhirnya kisah cinta mereka yang penuh pengorbanan.

Arka hanya bisa berdiri di sana, menatap kepergian Nayla, merasakan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dan sementara hujan terus mengguyur, perpisahan ini tetap menjadi kenangan yang akan menghantui mereka berdua selamanya.*

Bab 10: Cinta yang Tak Pernah Mati

Waktu berlalu begitu cepat sejak perpisahan itu. Nayla telah kembali ke rumah, dan meskipun ada banyak air mata yang mengiringi kepulangannya, ia merasa seolah ada sesuatu yang hilang. Arka—laki-laki yang telah menjadi pusat dunianya selama ini—sudah tidak ada lagi di sampingnya.

Hari-hari berlalu dengan sepi. Keluarganya tidak pernah berhenti menekannya tentang keputusan besar yang telah ia buat. Mereka ingin Nayla menjadi bagian dari mereka lagi, mengikuti jalan yang mereka tentukan untuknya. Namun, hati Nayla terasa hampa. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Arka tidak bisa dipadamkan, meskipun mereka sudah berpisah.

Di luar jendela kamar, angin sore bertiup kencang. Matahari terbenam perlahan, dan langit memerah dengan nuansa oranye yang memukau. Nayla duduk di tepi ranjang, memandang ke luar, dengan pikiran yang dipenuhi kenangan akan Arka. Setiap kali ia menutup mata, sosok pria itu muncul begitu jelas di depan matanya. Senyumnya, caranya berbicara, bahkan cara dia memandangnya, semuanya masih begitu hidup dalam ingatannya.

Nayla tahu, ia tidak bisa melupakan Arka. Cinta itu sudah tertanam dalam hatinya, dan meskipun ia mencoba untuk mengabaikannya, ia tidak bisa menutup pintu hatinya begitu saja. Arka telah menjadi bagian dari dirinya yang tak terpisahkan, dan meskipun dunia mencoba memisahkan mereka, ia tahu bahwa cinta itu tidak akan pernah mati.

—

### **Kembali ke Kenangan**

Suatu malam, Nayla memutuskan untuk berjalan sendirian di taman dekat rumah. Hujan telah reda, dan udara malam terasa sejuk. Langit yang gelap hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang memantul di permukaan danau kecil di sana.

Ia berjalan perlahan, seakan mencoba melangkah maju dari semua yang telah terjadi, tetapi kenangan itu terus menghantui. Di bangku taman yang biasa mereka duduki bersama, Nayla duduk dengan diam. Ia meletakkan tangan di pangkuannya, seolah berharap bisa merasakan kehadiran Arka di sampingnya.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nayla menoleh, dan ketika ia melihat nama yang tertera di layar, jantungnya serasa berhenti. **Arka.**

Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menjawab telepon itu. “Arka?”

Suara Arka terdengar familiar, meskipun sedikit berat. “Nayla… ini aku.”

Ada keheningan di ujung telepon. Nayla bisa mendengar suara angin yang berhembus di latar belakang, seakan alam juga merasakan ketegangan yang ada di antara mereka. “Apa kabar?” tanya Arka akhirnya, dengan suara yang tenang, tetapi penuh makna.

“Aku… aku baik-baik saja,” jawab Nayla, meskipun hatinya penuh dengan perasaan yang bercampur aduk. “Aku… aku sudah berusaha menerima semuanya.”

“Dan keluarga?” tanya Arka, suara itu terdengar seperti sebuah pertanyaan yang penuh rasa penasaran.

“Mereka… mereka mencoba untuk meyakinkanku,” Nayla menjawab pelan. “Tapi aku tahu mereka masih kecewa. Aku juga kecewa pada diriku sendiri.”

“Apa yang membuatmu merasa begitu?” tanya Arka, suaranya lembut, seolah ingin memberikan kenyamanan. “Nayla, aku ingin kau tahu, aku tidak pernah menyalahkanmu. Aku tahu keputusanmu tidak mudah.”

“Aku merasa seperti menghancurkan segalanya,” jawab Nayla, menahan air mata yang hampir tumpah. “Tapi setiap kali aku berusaha melupakanmu, kau datang dalam setiap pikiranku. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Arka.”

Ada jeda panjang. Arka tidak segera menjawab, tetapi Nayla bisa merasakan betapa beratnya perasaan di antara mereka. Akhirnya, Arka berbicara lagi, suaranya penuh dengan perasaan yang tak terucapkan. “Aku juga tidak bisa berhenti memikirkanmu, Nayla.”

Nayla menunduk, merasakan hatinya berdegup kencang. “Tapi kita sudah berpisah, Arka. Kita sudah memilih jalan yang berbeda.”

“Ya,” jawab Arka, “Tapi aku tidak bisa hidup tanpa mengetahui bagaimana perasaanmu, bagaimana perasaan kita berdua. Aku tahu kita tidak bisa bersama seperti dulu, tapi…”

“Tapi apa?” Nayla bertanya, suara bergetar.

“Tapi aku ingin kita tetap bersama, meskipun dunia ini tidak membiarkan kita bahagia. Aku ingin kita tidak melupakan satu sama lain.”

Tiba-tiba, Nayla merasa air matanya tumpah begitu saja. “Aku juga ingin begitu, Arka. Aku tidak bisa… aku tidak bisa melupakanmu. Cinta ini, perasaan ini… tidak pernah mati.”

Arka terdiam sejenak, seperti merasakan perasaan yang sama. “Aku tahu. Aku tahu, Nayla. Mungkin kita tidak bisa bersama sekarang, tapi aku ingin kau tahu bahwa cintaku padamu tidak akan pernah pudar. Tidak peduli seberapa jauh jarak kita, tidak peduli berapa lama waktu berlalu. Cinta kita, Nayla, akan selalu ada.”

Nayla menangis terisak di malam itu, di bawah cahaya rembulan yang temaram. Arka berada di sisi lain telepon, namun perasaan mereka begitu dekat, seolah tak ada jarak yang memisahkan mereka. Meski tubuh mereka terpisah ribuan kilometer, hati mereka tetap bersatu dalam cinta yang tak pernah mati.

—

### **Cinta yang Abadi**

Hari-hari berikutnya berlalu dengan perasaan yang lebih ringan. Meskipun mereka tahu bahwa mereka tidak bisa bersama, meskipun keluarga Nayla masih berusaha memaksanya kembali ke jalan yang sudah ditentukan, Nayla merasa sedikit lega. Ia tahu, dalam hatinya, cinta itu tidak akan pernah padam. Ia dan Arka tetap terhubung, meskipun dengan cara yang berbeda.

Mereka tidak lagi berbicara setiap hari, tetapi setiap kali mereka berbicara, ada rasa kedamaian yang mereka rasakan. Cinta mereka tidak membutuhkan pengakuan dari dunia. Mereka tahu, meskipun jarak memisahkan mereka, perasaan mereka tetap hidup.

“Arka,” Nayla berkata suatu malam, ketika mereka berbicara melalui pesan singkat, “Aku tahu kita tidak bisa bersama, tapi aku ingin kau tahu satu hal.”

“Apa itu?” jawab Arka cepat.

“Aku akan selalu mencintaimu, meskipun kita tidak bersama. Cinta kita tak akan pernah mati, Arka. Itu abadi.”

Arka membalas dengan pesan singkat yang penuh dengan kehangatan. “Aku juga akan selalu mencintaimu, Nayla. Tak peduli apa yang terjadi.”

Meskipun perpisahan itu menyakitkan, Nayla tahu bahwa cinta mereka akan terus hidup dalam kenangan mereka. Cinta yang tak pernah mati, yang terus hidup dalam setiap langkah yang mereka ambil, meskipun mereka tidak bersama. Cinta itu menjadi bagian dari jiwa mereka, selamanya.***

——THE END——-

Source: YONGKI
Previous Post

MERINDU TANPA BATAS

Next Post

CINTA BERBALUT DENDAM

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
CINTA BERBALUT DENDAM

CINTA BERBALUT DENDAM

HATI YANG TAK TERPINDAH

HATI YANG TAK TERPINDAH

Dosa yang Kucinta

Dosa yang Kucinta

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id