Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

Ketika Hati Berbicara Pertama Kali

SAME KADE by SAME KADE
February 8, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 21 mins read
Ketika Hati Berbicara Pertama Kali

Daftar Isi

  • Bab 1: Kenangan yang Tak Terlupakan
  • Bab 2: Awal Perkenalan
  • Bab 3: Masa Lalu yang Menghantui
  • Bab 4: Cinta yang Tertunda
  • Bab 5: Menghadapi Kenyataan
  • Bab 6: Langkah Baru
  • Bab 7: Masa Depan yang Tak Pasti

Bab 1: Kenangan yang Tak Terlupakan

 

Pagi itu terasa seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda. Aku berdiri di depan jendela kamar, menatap langit yang cerah. Secangkir kopi di tangan tak mampu mengusir rasa sepi yang mulai menggelayuti hatiku. Beberapa minggu terakhir, aku merasa seperti terjebak dalam kenangan yang tak kunjung usai. Kenangan itu datang, seolah tak kenal waktu, menghampiri tanpa permisi. Aku tak bisa melupakanmu.

 

Aku tidak tahu kapan tepatnya perasaan ini datang kembali. Sejak pertemuan kita beberapa minggu yang lalu, semuanya terasa seperti kilas balik. Saat itu, kamu hanya seseorang yang tak lebih dari sekadar wajah baru. Namun, semakin hari aku menyadari bahwa kehadiranmu mengingatkan aku pada sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang pernah kusingguhkan namun kini terpendam dalam-dalam. Kamu mengingatkanku pada masa lalu, pada cinta pertama yang pernah ada.

 

Aku mengingat jelas bagaimana semuanya dimulai. Waktu itu, aku hanya seorang remaja biasa yang tidak pernah tahu apa itu cinta sejati. Hari-hariku penuh dengan kekacauan remaja, mencoba menemukan diri sendiri di tengah dunia yang terasa asing. Namun, ketika aku pertama kali bertemu denganmu, aku merasa dunia ini tiba-tiba berhenti berputar. Seperti tak ada yang lebih penting selain dirimu.

 

Kamu berbeda. Senyummu, caramu berbicara, bahkan cara kamu melihat dunia seolah membentuk dunia yang lebih baik di sekitarnya. Aku terpesona. Tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan perasaan itu selain kata “terpesona.” Aku, yang sebelumnya tidak pernah percaya dengan hal-hal seperti “cinta pada pandangan pertama,” tiba-tiba merasa seolah-olah aku telah menemukan jawabannya. Cinta itu ada, dan dia hadir dalam bentuk dirimu.

 

Namun, seperti banyak kisah cinta pertama lainnya, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Dunia yang sebelumnya terasa indah mulai retak ketika kenyataan muncul. Aku menyadari bahwa kita tidak seharusnya bersama. Terlalu banyak perbedaan yang menghalangi kita untuk melangkah lebih jauh. Aku yang terlalu takut untuk mengungkapkan perasaanku dan kamu yang terlalu sibuk dengan duniamu sendiri. Lalu, akhirnya, semuanya berakhir begitu saja. Tanpa kata perpisahan yang indah, tanpa janji yang terucap. Kita berpisah begitu saja, dengan hati yang terluka dan jiwa yang kosong.

 

Kenangan itu selalu datang setiap kali aku merasa kesepian. Suatu waktu, aku mencoba untuk melepaskan semuanya. Aku berpikir bahwa dengan waktu, semuanya akan berlalu. Namun ternyata tidak. Waktu tidak selalu menyembuhkan luka. Kenangan tentang kita selalu datang dan pergi, tak bisa dihindari, tak bisa ditinggalkan begitu saja.

 

Hari itu, ketika aku berjalan menyusuri trotoar yang biasa kita lewati bersama, aku merasa kehadiranmu begitu dekat. Tidak ada orang lain yang bisa mengisi ruang kosong yang kamu tinggalkan dalam hidupku. Setiap sudut kota ini seakan menyimpan cerita tentang kita. Tempat-tempat yang dulu menjadi saksi bisu kebahagiaan kita, kini terasa sepi dan sunyi. Aku merasa, meskipun kamu tidak ada di sini, bayang-bayangmu tetap ada. Menghantui dan menyertai setiap langkahku.

 

Aku duduk di sebuah bangku taman, tempat favorit kita berdua. Tangan ini menggenggam erat ponsel, mencoba mengalihkan pikiran dengan melihat foto-foto yang ada di galeri. Namun, tanpa sadar, mataku berhenti pada satu foto lama. Foto itu adalah foto kita bersama, tertawa bahagia di sebuah kafe. Aku ingat, itu adalah hari pertama kita merayakan ulang tahunku bersama. Hari itu sangat spesial bagiku. Kita berbicara tentang banyak hal, tentang impian-impian yang kita punya, dan aku merasa kita memiliki masa depan yang cerah bersama.

 

Namun, hari itu hanya sebuah kenangan, tak lebih dari itu. Aku menghela napas panjang. Kenapa kenangan itu selalu kembali? Kenapa aku tak bisa melepaskanmu? Kenapa aku tak bisa melupakanmu? Setiap kali aku mencoba untuk melangkah maju, kamu selalu datang dengan cara yang tak terduga. Kenanganmu datang begitu mendalam, menyesakkan dada dan menggoyahkan langkahku.

 

Aku berpaling ke arah jalan, mencoba untuk tidak terlalu larut dalam kenangan. Namun, tiba-tiba seseorang berjalan melewatiku, dan aku terkejut. Itu adalah kamu. Dalam sekejap, dunia seakan berhenti berputar. Mata kita bertemu, dan untuk beberapa detik, aku merasa seolah-olah waktu berhenti. Semua kenangan itu kembali, seolah baru terjadi kemarin. Aku melihat senyummu yang masih sama, meskipun sedikit berbeda, dan hatiku berdebar kencang.

 

Kamu berhenti sejenak, seolah ragu. Tapi kemudian, kamu mengangguk pelan dan melangkah pergi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa duduk di sana, mematung, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kenapa rasanya begitu sulit untuk melepaskan semuanya? Kenapa kenangan itu masih bertahan begitu kuat, bahkan setelah sekian lama?

 

Hari itu, aku sadar satu hal yang sederhana tapi tak bisa aku hindari. Cinta pertama memang tak akan pernah terlupakan. Meskipun kita tak lagi bersama, meskipun hidup membawa kita ke arah yang berbeda, kenangan itu akan tetap hidup dalam diriku. Aku tidak bisa menahannya. Aku hanya bisa menerima kenyataan bahwa masa lalu akan selalu menjadi bagian dari perjalanan hidupku, dan itu adalah sesuatu yang tak bisa aku hindari.

 

Kenangan tentang kita, tentang cinta pertama yang tak terwujud sepenuhnya, akan selalu ada. Seperti bayangan yang tak bisa hilang, seperti langkah-langkah yang tak bisa terulang. Dan meskipun aku berusaha untuk melangkah maju, aku tahu satu hal pasti: kenangan itu akan selalu menemani setiap perjalanan hidupku.

Bab 2: Awal Perkenalan

 

Hari itu adalah hari yang biasa. Cuaca cerah, angin sepoi-sepoi, dan langit yang terlihat begitu biru. Aku berjalan menuju kafe yang sudah menjadi rutinitasku setiap sore. Tempat ini selalu memberikan kedamaian setelah seharian penuh dengan kegiatan yang membuat kepalaku pusing. Kafe kecil di sudut jalan ini sudah menjadi saksi bisu banyak cerita, entah itu cerita bahagia, sedih, atau bahkan cerita yang tak pernah terungkap.

 

Aku duduk di meja favoritku di pojok, dengan pemandangan luar yang membuat hati terasa tenang. Tak lama setelah aku duduk, pelayan kafe datang membawa secangkir kopi hangat yang aku pesan. Aku mulai membuka laptop, mencoba menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda. Tapi, seperti biasa, pikiranku mulai melayang ke hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

 

Tiba-tiba, pintu kafe terbuka, dan seorang pria masuk. Tubuhnya tinggi, dengan jaket biru yang sedikit longgar di tubuhnya. Rambutnya cokelat, sedikit acak-acakan, dan wajahnya terlihat lelah. Dia tampak seperti orang yang sedang mencari tempat untuk beristirahat. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada cara dia berjalan, ada sesuatu yang menarik perhatian di matanya—sebuah ketenangan yang sulit dijelaskan.

 

Dia memesan kopi di meja kasir dan memilih duduk di meja sebelahku. Posisinya yang dekat dengan meja membuatku tak bisa menghindari pandanganku yang tertuju padanya. Dia membawa sebuah buku kecil yang dibuka perlahan di atas meja. Aku mengamati dengan diam-diam, mencoba untuk tidak terlihat terlalu mencolok. Ada rasa penasaran yang muncul. Aku merasa seolah ada sesuatu yang istimewa dalam diri pria ini.

 

Kemudian, tanpa disadari, mataku bertemu dengan matanya. Pada awalnya, aku merasa terkejut, tapi dalam sekejap, aku bisa merasakan kedalaman tatapan itu. Seolah-olah waktu berhenti sejenak, dan aku tersadar, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Tatapannya tidak seperti tatapan biasa. Dia melihatku dengan cara yang membuat jantungku berdegup lebih cepat, namun bukan karena rasa takut. Sebaliknya, ada rasa nyaman yang mulai tumbuh dalam diriku, meskipun aku hanya mengenalnya beberapa detik.

 

“Maaf,” dia akhirnya membuka suara, mengganggu keheningan yang sempat menyelimutiku. “Boleh aku duduk di sini? Tempat lain penuh.”

 

Aku tersadar dari lamunanku, menatap kursi kosong di meja yang ada di seberangku. Tidak ada alasan untuk menolaknya. Lagipula, kafe ini memang selalu terasa lebih ramai di sore hari. Aku tersenyum, memberikan izin.

 

“Silakan, tempat ini kosong kok,” jawabku dengan suara yang sedikit gemetar, tanpa bisa menahan rasa gugup yang tiba-tiba datang.

 

Dia mengangguk dan duduk di kursi sebelahku. Sebelum membuka buku, dia melemparkan senyuman kecil. Senyuman yang sederhana, tapi entah kenapa rasanya begitu hangat. Aku merasa sedikit canggung, namun anehnya, semakin aku berusaha untuk mengalihkan perhatian, semakin aku merasa tertarik pada pria ini.

 

Seiring waktu, dia mulai membaca bukunya, tetapi sesekali dia melirik ke arahku. Mungkin dia merasa canggung juga, atau mungkin hanya sekadar ingin memastikan bahwa aku tidak merasa terganggu. Tidak ada yang terlalu mencolok, namun aku bisa merasakan ketegangan kecil di antara kami. Saling memperhatikan tanpa mengatakannya. Kami berdua terjebak dalam keheningan yang menyenangkan—tak ada kata-kata, hanya kebersamaan yang tercipta dalam keheningan itu.

 

Lama kelamaan, dia akhirnya menutup bukunya dan menatapku dengan serius. “Sepertinya kita sering bertemu di sini, ya?” tanyanya.

 

Aku terkejut. Aku memang sering datang ke kafe ini, namun aku tidak pernah menyadari bahwa dia juga rutin datang ke sini. Aku hanya mengangguk, mencoba tersenyum seolah aku tidak terkejut.

 

“Iya, aku datang hampir setiap sore,” jawabku. “Biasanya aku datang untuk menenangkan diri setelah seharian bekerja.”

 

Dia mengangguk, tampak tertarik. “Aku juga begitu,” katanya sambil tersenyum, lalu menambahkan, “Terkadang aku merasa, tempat ini punya cara sendiri untuk membuat orang merasa lebih baik.”

 

Kata-katanya membuat aku berpikir. Benar juga, kafe ini selalu memberi aku rasa nyaman yang sulit dijelaskan. Seperti tempat pelarian dari kehidupan yang kadang membuat kita merasa sesak.

 

Lalu, dia memperkenalkan diri. “Aku Andi,” katanya, dengan tangan terulur.

 

Aku menjabat tangannya, merasa sedikit canggung. “Aku Rina,” jawabku, mencoba menenangkan diri. “Senang bisa ngobrol denganmu.”

 

Dia tersenyum lagi, senyuman yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Senang juga. Mungkin kita bisa ngobrol lagi lain waktu,” ujarnya, lalu kembali membuka bukunya.

 

Aku hanya mengangguk, merasa sedikit kikuk, namun juga ada rasa senang yang mulai tumbuh. Aku tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sesuatu yang membuatku merasa nyaman berada di dekatnya, meskipun baru saja mengenalnya.

 

Ketika dia melangkah pergi, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan pertemuan kami. Begitu sederhana, namun seolah memberi kesan yang mendalam. Aku kembali ke mejaku, membuka laptop dan melanjutkan pekerjaan yang tertunda, tetapi pikiranku tetap tertuju pada Andi. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku merasa bahwa pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang tak terduga.

 

Sejak hari itu, aku mulai datang lebih awal ke kafe, berharap bisa bertemu lagi dengannya. Setiap kali aku datang, aku merasa hatiku berdebar. Apa yang akan terjadi kalau kami saling mengenal lebih jauh? Apakah ini hanya kebetulan, ataukah ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan singkat ini? Hanya waktu yang bisa menjawab, dan aku merasa siap menunggu jawabannya.

Bab 3: Masa Lalu yang Menghantui

 

Hari itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di balkon apartemen, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong, mencoba mencari ketenangan dalam keheningan malam. Angin malam yang lembut berhembus, namun tak mampu menenangkan hatiku. Semua terasa seperti terjebak dalam kabut tebal yang sulit kupecahkan. Sebuah perasaan yang sulit kujelaskan menyelubungi diriku—sebuah perasaan yang datang begitu mendalam, jauh lebih dalam dari apa yang bisa kulihat dengan mata kepala. Itu adalah kenangan yang kembali menghantui, kenangan tentang dia.

 

Aku masih ingat betul hari itu—hari di mana aku pertama kali berpisah dengan cinta pertama. Hari yang seharusnya penuh harapan berubah menjadi titik kelam dalam hidupku. Waktu itu, aku dan dia telah bersama cukup lama, namun kenyataan mengatakan bahwa tak ada lagi yang bisa kami pertahankan. Kami berdua harus berpisah karena jarak yang tak bisa kami jembatani dan perbedaan yang semakin tajam. Semua terasa sia-sia, seperti mimpi yang tidak pernah bisa terwujud.

 

Pikiran itu kembali datang menghantui, seperti bayangan yang selalu menempel erat dalam hidupku. Setiap kali aku berpikir untuk melangkah maju, bayang-bayang masa lalu selalu mengikutiku. Bagaimana bisa aku melepaskan seseorang yang pernah begitu dekat, yang pernah mengisi setiap sudut hidupku? Mengapa perpisahan itu tetap terasa begitu menyakitkan meskipun sudah bertahun-tahun berlalu?

 

Aku mencoba untuk melupakan masa lalu, mencoba untuk berjalan maju. Namun, tidak ada yang lebih sulit dari melupakan seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku. Kenangan tentang kita datang begitu sering, mengingatkanku tentang kebahagiaan yang pernah ada. Semua kenangan itu terasa begitu hidup—dari tawa kita saat berkeliling kota, hingga percakapan panjang yang tak pernah bisa terlupakan. Semua itu seolah masih ada, seolah baru saja terjadi kemarin.

 

Terkadang aku bertanya-tanya, apakah aku benar-benar sudah siap untuk membuka hati lagi? Apakah aku bisa mencintai seseorang dengan sepenuh hati tanpa terbebani oleh bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul, namun jawabannya tak pernah kutemukan.

 

Aku menutup mataku, mencoba mengingat momen-momen indah yang pernah ada. Aku ingin melupakan semuanya, tetapi tidak semudah itu. Setiap kali aku mencoba untuk melepaskan, kenangan itu kembali menghampiri, seolah tak ingin pergi. Aku merasa terjebak di antara masa lalu dan masa kini, tidak bisa melangkah maju, namun juga tak bisa kembali.

 

Hari itu, aku pergi ke tempat yang biasa kami kunjungi bersama. Sebuah taman kecil di dekat rumah, tempat yang selalu mengingatkan pada senyuman dan canda tawa kita. Aku duduk di bangku yang dulu sering kita tempati, memandangi taman yang tampak tenang, meskipun hatiku terasa kacau. Aku merasa seolah aku sedang berbicara dengan masa lalu, meminta jawaban atas semua pertanyaan yang masih tersisa.

 

Aku teringat saat-saat terakhir bersama dia. Hari itu, cuaca cerah seperti hari ini, dan kami duduk di bangku taman ini. Dia menatapku dengan mata yang penuh keraguan, seolah tahu bahwa perpisahan sudah di ambang pintu. Aku bisa merasakan ketakutan dalam tatapannya. Namun, kami tidak bisa menghindarinya. Kami berdua tahu bahwa kita sudah mencapai titik di mana tak ada lagi jalan untuk kembali. Kami harus berpisah, walaupun hati kami saling berpaut.

 

“Rina, kamu pasti bisa menghadapinya,” katanya dengan suara yang hampir pecah. “Aku tahu kita tidak bisa terus seperti ini. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk kita berdua.”

 

Aku mengangguk, walaupun hatiku rasanya hancur. Aku ingin berteriak, mengatakan bahwa aku tidak ingin berpisah, bahwa aku masih ingin bersama dia. Namun, kata-kata itu tidak keluar. Aku hanya bisa diam, merasakan perasaan kosong yang mulai mengisi hatiku. Saat itu, kami berdua tahu bahwa perpisahan ini tidak bisa dihindari.

 

Sejak saat itu, hidupku terasa sepi. Aku mencoba untuk melanjutkan hidup, tetapi ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun. Setiap kali aku mencoba untuk membuka hati, bayang-bayang masa lalu selalu datang menghalangi. Aku merasa terjebak dalam kenangan itu, tidak bisa melanjutkan hidup, namun juga tidak bisa melepaskannya.

 

Tapi, entah mengapa, kehadiran Andi membuat semua perasaan itu muncul kembali. Pertemuan kami yang sederhana di kafe itu membuat aku teringat pada perasaan yang sudah lama terpendam. Tatapan matanya yang penuh ketenangan dan senyuman hangatnya seolah membawa aku kembali ke masa-masa indah yang pernah ada. Namun, aku tidak tahu apakah aku siap untuk jatuh cinta lagi. Aku takut akan terluka lagi. Aku takut jika perasaan ini kembali menghancurkan aku seperti dulu.

 

Aku tahu bahwa masa lalu adalah bagian dari diriku, dan aku tidak bisa melarikan diri dari kenyataan itu. Tetapi, aku juga sadar bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku harus belajar untuk menerima kenyataan dan membuka hati untuk kemungkinan baru. Aku harus bisa melepaskan masa lalu dan memberi ruang untuk masa depan.

 

Namun, apakah aku bisa melakukannya? Apakah aku bisa membuka hatiku untuk seseorang yang baru tanpa terus mengingat dia? Masa lalu akan selalu menjadi bagian dari perjalanan hidupku, tetapi aku tidak bisa membiarkan masa lalu itu mengendalikan masa depanku. Aku harus belajar untuk berdamai dengan diri sendiri, menerima bahwa perpisahan itu adalah bagian dari hidup, dan tidak ada yang bisa mengubahnya.

 

Aku berdiri dari bangku taman, menatap ke langit yang mulai gelap. Ternyata, meskipun aku mencoba untuk melupakan, kenangan itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Namun, aku sadar, aku tidak harus mengabaikannya. Masa lalu adalah bagian dari diriku, tetapi aku juga berhak untuk merasakan kebahagiaan yang baru. Dan aku akan mencoba untuk mencari kebahagiaan itu, meskipun jalan yang akan kutempuh tidak mudah.

Bab 4: Cinta yang Tertunda

 

Hari-hari berlalu begitu cepat. Setiap pagi aku bangun dengan perasaan campur aduk, seolah ada sesuatu yang belum selesai. Aku tahu, aku belum sepenuhnya bisa melepaskan masa lalu. Meskipun Andi hadir di sekitarku, memberi aku senyuman yang menyenangkan dan perhatian yang tulus, perasaan itu masih belum sepenuhnya matang. Aku merasa seperti ada dinding tak terlihat yang menghalangiku untuk benar-benar membuka hati, meskipun aku ingin sekali melakukannya. Aku takut, seperti yang selalu terjadi dulu—bahwa perasaan ini hanya akan berakhir dengan kekecewaan.

 

Kami mulai semakin dekat. Setiap kali bertemu, kami berbicara lebih banyak, tertawa lebih sering, dan ada rasa nyaman yang mulai tumbuh. Andi tidak pernah memaksaku untuk terbuka. Dia tahu betul bahwa aku punya masa lalu yang sulit, dan dia selalu memberi ruang untukku. Bahkan ketika aku tampak terdiam atau melamun, dia hanya duduk di sampingku, tidak menuntut, tidak memaksa. Hanya dengan kehadirannya, aku merasa ada sedikit ketenangan yang datang.

 

Namun, meskipun begitu, aku merasa seolah-olah aku sedang melangkah dalam kabut. Aku tidak bisa melihat jelas kemana aku akan menuju. Aku merasa terjebak di antara dua perasaan yang saling bertentangan. Di satu sisi, aku merasa semakin tertarik pada Andi. Dia baik, perhatian, dan sepertinya bisa mengerti siapa diriku. Di sisi lain, aku takut jatuh cinta lagi. Takut kalau akhirnya aku harus merasakan kehilangan yang sama seperti dulu. Takut jika perasaan ini hanya akan berakhir dengan perpisahan.

 

Suatu sore, ketika kami duduk di taman yang sama, Andi mengajakku berbicara. Biasanya, dia akan membiarkan suasana tetap ringan, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam ekspresinya. Wajahnya lebih serius, matanya memancarkan ketulusan yang membuatku sedikit gugup.

 

“Rina,” katanya pelan, “Aku merasa kita sudah cukup lama saling mengenal. Aku tahu kamu punya banyak pertimbangan, dan aku tidak ingin terburu-buru, tapi… aku ingin kamu tahu satu hal.”

 

Aku menatapnya dengan cemas. Aku sudah merasakan ada sesuatu yang akan dia katakan, sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.

 

“Apa itu?” jawabku, mencoba terdengar santai, meskipun hatiku mulai berdegup kencang.

 

Andi menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Aku suka padamu, Rina. Dan aku ingin menjalaninya, tapi aku tahu ada sesuatu yang menghalangimu. Aku tidak ingin memaksamu, tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini. Aku tidak akan pergi, apapun yang terjadi. Aku ingin kamu tahu, bahwa aku siap jika kamu siap.”

 

Kata-katanya menggantung di udara, dan aku merasakan sesuatu yang berat mengisi dadaku. Ada kegembiraan, tapi juga ketakutan yang mendalam. Aku bisa melihat ketulusan di matanya, dan aku tahu dia tidak mengatakannya dengan ringan. Dia serius.

 

Namun, meskipun aku merasakan hal yang sama, aku tidak bisa langsung menjawab. Masa lalu yang tak kunjung pergi terus menghalangi. Kenangan tentang cinta pertama, tentang perpisahan yang pahit, dan tentang rasa takut yang mengikutiku kemana-mana. Semua itu terasa begitu dekat, seolah bisa merusak segalanya lagi.

 

“Aku… aku tidak tahu, Andi,” jawabku dengan suara pelan, seolah aku tidak bisa menghadapinya. “Aku ingin percaya, tapi aku takut. Aku takut kalau akhirnya aku akan terluka lagi.”

 

Andi tidak langsung menjawab. Dia hanya diam sejenak, menatapku dengan mata yang penuh pengertian. Aku bisa merasakan dia mencoba menunggu, memberi aku waktu untuk berpikir dan menerima perasaanku. Tetapi, di sisi lain, aku tahu dia juga sedang menunggu jawabanku. Jawaban yang belum bisa aku berikan.

 

“Aku paham,” katanya akhirnya, dengan suara yang lembut. “Aku tidak akan memaksamu untuk mengambil keputusan sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada di sini, Rina. Tidak ada paksaan, tidak ada tekanan. Hanya waktu yang akan memberi kita jawaban.”

 

Mendengar kata-katanya, aku merasa sedikit lega. Andi benar, aku memang membutuhkan waktu. Waktu untuk benar-benar menyembuhkan diri dari luka-luka lama, waktu untuk membuka hati tanpa takut akan kehilangan. Aku tahu bahwa meskipun aku masih terluka, perasaan itu tidak akan selamanya menghalangiku. Aku hanya perlu menemukan keberanian untuk melangkah maju.

 

Hari-hari berikutnya berjalan dengan tenang. Andi tetap di sisiku, tidak pernah terburu-buru atau memaksaku untuk membuat keputusan. Kami terus menghabiskan waktu bersama, berbicara, tertawa, dan menikmati kebersamaan. Aku mulai merasa sedikit lebih nyaman. Meskipun masa lalu masih terus menghantui, aku bisa merasakan ada secercah harapan untuk masa depan yang lebih baik. Dan, meskipun aku belum bisa sepenuhnya melepaskan kenangan itu, aku tahu bahwa mungkin ada ruang untuk cinta yang baru, cinta yang tidak perlu dihantui oleh masa lalu.

 

Namun, setiap kali aku berada dekat dengan Andi, aku merasa ada perasaan yang tertunda—sebuah perasaan yang tidak bisa langsung kuungkapkan. Aku ingin mencintainya, tetapi aku juga takut bahwa perasaan itu tidak akan pernah cukup untuk mengatasi ketakutanku. Aku ingin membiarkan perasaan itu tumbuh, tetapi aku juga tahu bahwa aku harus siap menerima kenyataan apapun yang mungkin terjadi. Aku harus siap jika pada akhirnya perasaan ini tidak bisa bertahan.

 

Akhirnya, aku sadar bahwa cinta tidak selalu datang dengan cara yang mudah. Kadang-kadang, kita harus menghadapi ketakutan dan keraguan, tetapi itu tidak berarti kita harus berhenti mencoba. Cinta yang tertunda bukan berarti cinta yang hilang, tetapi cinta yang membutuhkan waktu untuk berkembang, untuk tumbuh dengan cara yang sehat dan matang.

 

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi antara aku dan Andi. Namun, satu hal yang aku yakini adalah bahwa cinta, meskipun tertunda, akan menemukan jalannya jika kita benar-benar membiarkan diri kita merasakannya dengan tulus.

Bab 5: Menghadapi Kenyataan

 

Pagi itu, cuaca cerah. Matahari terbit dengan lembut di balik awan, menerangi kota yang sudah mulai sibuk dengan aktivitasnya. Namun, entah mengapa, perasaan dalam hatiku tetap berat. Rasanya ada sesuatu yang mengganggu, sesuatu yang tidak bisa kuabaikan lagi. Andi sudah memberi aku banyak waktu untuk berpikir, untuk mengatasi ketakutanku, tetapi kenyataannya adalah, aku harus menghadapi keputusan ini. Aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam kebingunganku. Aku harus memilih, dan aku harus melangkah maju.

 

Beberapa minggu terakhir terasa seperti perjalanan panjang menuju titik ini. Andi telah menunjukkan ketulusan dan kesabarannya, memberi aku ruang untuk sembuh, namun ada satu hal yang aku sadari: meskipun aku ingin percaya, aku belum sepenuhnya siap. Bayang-bayang masa lalu masih menghantuiku, dan aku takut akan terjebak dalam perasaan yang sama, takut kalau akhirnya aku akan kehilangan lagi. Aku tidak ingin lagi merasakan kesedihan yang sama. Aku tidak ingin terluka lagi.

 

Namun, aku sadar bahwa tidak ada yang bisa berjalan mulus jika aku terus berlarian dari kenyataan. Hidup tidak berhenti hanya karena kita merasa takut. Tidak ada yang akan berubah jika aku terus menunda-nunda keputusan ini. Aku harus menghadapi kenyataan, baik itu suka maupun tidak.

 

Pada hari itu, aku memutuskan untuk berbicara dengan Andi. Aku tahu ini adalah langkah besar, tetapi aku tidak bisa terus menyembunyikan perasaanku. Aku harus jujur pada diriku sendiri, dan juga pada Andi. Aku tidak ingin dia terus menunggu tanpa kejelasan, dan aku juga tidak ingin hidupku terus terombang-ambing antara dua dunia.

 

Kami bertemu di kafe kecil yang biasa kami datangi. Meja tempat kami duduk masih sama, namun kali ini ada perasaan berbeda yang mengisi udara. Andi sudah duduk menungguku, dengan senyuman yang selalu membuat hati ini sedikit lebih tenang. Tetapi aku bisa melihat ketegangan di wajahnya. Seperti ada pertanyaan yang terus mengganggunya. Kami berdua tahu bahwa pertemuan kali ini bukan hanya tentang berbicara biasa. Ini adalah pembicaraan penting, yang akan menentukan arah hubungan kami.

 

Aku duduk di hadapannya, mencoba menyusun kata-kata. Suasana di sekeliling kami tampak biasa saja, tetapi hati kami berdua sedang penuh dengan kecemasan yang tidak bisa diungkapkan begitu saja. Aku menatap mata Andi, dan untuk pertama kalinya, aku merasa begitu sulit untuk berbicara.

 

“Rina, kamu terlihat cemas. Apa yang terjadi?” tanya Andi, suaranya lembut namun penuh perhatian.

 

Aku menarik napas panjang. Ini adalah saatnya. Aku harus berbicara.

 

“Andi, aku tahu selama ini kamu sudah banyak bersabar dengan aku. Aku tahu kamu ingin tahu apa yang aku rasakan, dan aku tahu aku harus memberikan jawaban. Tapi… aku masih merasa bingung, Andi. Aku merasa ada sesuatu yang menghalangi aku untuk benar-benar membuka hati.”

 

Andi terdiam sejenak, dan aku bisa melihat dia mencoba untuk mengerti, mencoba untuk tidak terburu-buru. “Aku tahu ini tidak mudah bagimu,” jawabnya, “Aku tidak ingin menekanmu, Rina. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, dan aku ingin kita bersama, tapi jika kamu butuh waktu, aku akan memberikannya.”

 

Aku menundukkan kepala sejenak, berusaha mengumpulkan kekuatan. Kata-kata itu menghangatkan hatiku, tetapi juga menyentuh bagian lain dari diriku yang penuh dengan ketakutan. “Aku takut, Andi. Aku takut kembali terluka. Aku takut kalau perasaan ini hanya akan berakhir seperti yang sudah-sudah. Aku merasa tidak cukup kuat untuk jatuh cinta lagi, tidak cukup kuat untuk membuka hati sepenuhnya.”

 

Andi menatapku dengan pandangan yang penuh pengertian, dan aku bisa melihat ketulusan dalam matanya. “Aku mengerti, Rina. Aku tidak akan memaksamu untuk mencintai aku. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak akan membuatmu terluka. Aku hanya ingin kita memberi kesempatan untuk sesuatu yang lebih baik, tanpa ada tekanan, tanpa ada rasa takut.”

 

Kata-kata Andi menembus hatiku. Aku tahu dia benar. Aku tidak harus terburu-buru. Aku tidak perlu mencintainya hanya karena aku merasa tertekan untuk melakukannya. Tetapi aku juga tidak bisa terus hidup dalam ketakutan yang tidak pernah berakhir. Aku harus memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk merasakan cinta lagi, meskipun itu tidak mudah. Cinta tidak selalu datang dengan kepastian, dan mungkin, terkadang kita harus membiarkan diri kita merasakannya tanpa terlalu banyak berpikir.

 

Aku menatap Andi dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi antara kita, Andi. Tetapi aku tahu satu hal: aku ingin memberi kita kesempatan. Aku ingin mencoba, meskipun aku takut.”

 

Andi tersenyum lembut, dan aku bisa merasakan beban yang terasa berat di dadaku mulai sedikit menghilang. “Tidak masalah, Rina. Kita bisa berjalan perlahan, tidak perlu terburu-buru. Yang penting kita saling mengerti dan memberi ruang satu sama lain.”

 

Aku merasa lega, meskipun ada sedikit kekhawatiran yang masih menggantung di hatiku. Tetapi aku tahu bahwa ini adalah langkah yang benar. Aku tidak bisa terus bersembunyi dari perasaanku, dan aku juga tidak bisa terus hidup dengan ketakutan. Aku harus memberi diriku kesempatan untuk mencintai lagi, meskipun jalan itu tidak selalu mudah. Cinta bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan, tetapi sesuatu yang datang dengan waktu dan kesabaran.

 

Hari itu, aku mulai belajar untuk menerima kenyataan. Cinta itu memang tidak selalu datang dengan mudah. Kadang-kadang, kita harus menghadapi ketakutan dan keraguan yang menghalangi. Tetapi jika kita benar-benar mau, kita bisa menghadapinya bersama, tanpa perlu terburu-buru. Dan mungkin, dengan memberi kesempatan pada diri kita sendiri untuk mencintai lagi, kita bisa menemukan kebahagiaan yang selama ini kita cari.

Bab 6: Langkah Baru

 

Hari-hari setelah percakapan kami di kafe itu berlalu dengan lebih ringan. Seperti ada angin segar yang berhembus, membawa ketenangan dalam hati yang sebelumnya gelisah. Aku dan Andi memulai langkah baru, sebuah babak baru dalam hubungan kami yang penuh dengan ketidakpastian. Kami tidak lagi terburu-buru untuk memberi label pada apa yang kami rasakan, tetapi kami juga tidak mengabaikannya begitu saja. Kami berjalan perlahan, menikmati setiap momen, dan membiarkan perasaan itu tumbuh dengan cara yang alami.

 

Aku mulai menyadari bahwa keputusan untuk memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk mencintai Andi bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi juga bukan hal yang perlu disesali. Meskipun aku masih merasa cemas, ketakutan yang mengikutiku selama ini mulai mereda. Setiap kali aku bersama Andi, aku merasa ada kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ia tidak hanya menjadi sosok yang aku bisa andalkan, tetapi juga seseorang yang memberiku ruang untuk menjadi diriku sendiri.

 

Hari demi hari, aku merasa lebih percaya diri untuk membuka hati. Andi tidak pernah memaksaku untuk melangkah lebih cepat dari yang aku inginkan. Ia memahami betul bahwa aku butuh waktu, dan dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda frustasi atau kecewa. Kami berbicara lebih banyak, berbagi tawa, dan menjalani rutinitas sehari-hari dengan kebersamaan yang terasa sangat berarti.

 

Satu sore, ketika kami sedang berjalan di taman, Andi mendekatkan dirinya padaku. Kami sudah sering melakukan ini—berjalan berdua, tanpa tujuan tertentu, hanya menikmati keheningan dan berbincang ringan. Namun kali ini, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang tampaknya sudah lama ingin ia katakan.

 

“Rina,” katanya, suaranya pelan, namun penuh dengan ketulusan. “Aku tahu kita sudah melangkah lebih dekat, dan aku tidak ingin terburu-buru. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku serius dengan perasaan ini. Aku ingin kita menjalani hubungan ini dengan sepenuh hati, tidak ada keraguan, tidak ada ketakutan lagi.”

 

Aku berhenti sejenak, menatapnya dengan perasaan campur aduk. Perkataannya begitu dalam dan penuh pengertian, seolah-olah ia sudah tahu betul apa yang aku rasakan. Aku bisa merasakan kejujuran yang tulus dalam suaranya, dan itu membuat hatiku semakin tergerak.

 

“Andi…” Aku mencari kata-kata yang tepat. “Aku juga serius dengan ini. Aku tahu, aku sudah memberi banyak alasan untuk tidak membuka hati, tapi aku ingin kita mencoba. Aku ingin kita melangkah bersama.”

 

Andi tersenyum, dan aku bisa melihat cahaya harapan yang terpancar dari matanya. “Terima kasih, Rina. Aku janji akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi.”

 

Kata-kata itu menghangatkan hatiku. Rasanya seperti beban yang selama ini mengikatku perlahan terlepas. Aku mulai percaya bahwa mungkin, justru inilah yang aku butuhkan: seseorang yang sabar, yang mengerti, dan yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan. Aku merasa siap untuk langkah baru ini, meskipun aku tahu perjalanan kami tidak akan selalu mudah.

 

Sejak saat itu, kami semakin dekat. Kami mulai melakukan lebih banyak hal bersama, berbagi impian dan harapan, serta membuka diri lebih dalam satu sama lain. Andi membawa kebahagiaan yang aku rasa selama ini hilang dalam hidupku. Tidak hanya dia membuatku tertawa, tetapi dia juga membuatku merasa dihargai dan diperhatikan dengan cara yang berbeda. Ini bukan hanya tentang cinta, tetapi tentang memahami dan mendukung satu sama lain dalam segala keadaan.

 

Meskipun aku merasa semakin nyaman, ada juga bagian dari diriku yang masih merasakan sedikit keraguan. Aku tahu ini adalah langkah baru, dan meskipun Andi menunjukkan komitmennya, aku tetap merasa ada bagian dari diriku yang masih terluka. Kenangan masa lalu itu tidak bisa hilang begitu saja. Namun, aku juga sadar bahwa aku tidak bisa terus terjebak dalam masa lalu. Aku harus memberi kesempatan pada diri sendiri untuk melanjutkan hidup, untuk merasakan cinta tanpa harus dihantui oleh rasa takut.

 

Satu malam, kami duduk bersama di teras rumahku, menikmati secangkir teh hangat. Kami berbicara tentang berbagai hal—mulai dari pekerjaan, hobi, hingga impian masa depan. Andi bercerita tentang rencananya untuk melanjutkan studi di luar negeri, dan meskipun aku merasa sedikit cemas, aku juga merasa bangga padanya. Dia begitu bersemangat dan memiliki banyak cita-cita. Aku tidak ingin menjadi penghalang baginya, tetapi lebih ingin menjadi seseorang yang mendukung setiap langkahnya.

 

“Aku ingin terus berkembang, Rina,” kata Andi sambil menatap langit malam. “Tapi aku juga ingin kamu tahu, apapun yang terjadi, aku ingin kita tetap bersama. Aku ingin menjalani semua ini bersama kamu.”

 

Mendengar itu, aku merasa seperti ada angin baru yang menyemangati hidupku. Ternyata, tidak ada yang lebih indah daripada memiliki seseorang yang mendukungmu tanpa syarat, yang tidak hanya memperhatikan perasaanmu, tetapi juga impian dan harapanmu.

 

Aku memandang Andi dengan senyuman yang lebar. “Aku juga ingin kita bersama, Andi. Meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, aku merasa ini adalah langkah yang benar.”

 

Kata-kata itu keluar dengan begitu mudah. Aku merasa seolah aku sudah siap menerima kenyataan bahwa cinta tidak selalu berjalan mulus, tetapi jika kita bersama-sama, kita bisa menghadapinya dengan lebih kuat.

 

Kami melangkah bersama, tangan kami saling berpegangan erat, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa yakin dengan arah hidupku. Langkah baru ini bukan hanya tentang memulai hubungan, tetapi juga tentang membuka hati, mengatasi ketakutan, dan belajar untuk mempercayai cinta lagi. Aku tahu perjalanan ini masih panjang, dan mungkin ada tantangan yang menanti, tetapi aku siap untuk menjalani setiap langkah bersama Andi.

 

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi yang pasti, langkah baru ini adalah awal dari perjalanan yang penuh harapan, dan aku siap untuk menjalani segala kemungkinan yang ada di depanku.

Bab 7: Masa Depan yang Tak Pasti

 

Malam itu, angin berhembus lembut, membawa rasa dingin yang sedikit menggelitik kulit. Aku duduk di balkon, memandangi bintang yang tersebar di langit malam. Andi duduk di sampingku, diam, seakan ikut larut dalam keheningan yang ada. Kami sudah beberapa waktu bersama, menjalani hari-hari dengan penuh kebahagiaan, meskipun tak jarang keraguan datang menghampiri. Tidak ada yang bisa memastikan masa depan, bahkan saat kita sudah berusaha sepenuh hati. Aku dan Andi tahu betul bahwa kita tidak bisa menghindari kenyataan itu.

 

Masa depan memang selalu penuh dengan ketidakpastian, tetapi aku masih bisa merasakan harapan yang tumbuh dalam diriku. Meskipun ada banyak hal yang belum kami tahu, aku merasa langkah kami ke depan adalah keputusan yang tepat. Kami tidak tahu apakah hubungan ini akan bertahan dalam ujian waktu, atau apakah ada halangan yang lebih besar yang akan menghadang. Namun, yang kami tahu adalah bahwa kami ingin mencoba. Kami ingin melihat ke mana arah hidup ini membawa kami, meskipun tak ada jaminan.

 

Andi terlihat seperti sedang memikirkan hal yang sama. Sejak awal kami bersama, dia tidak pernah berhenti menunjukkan betapa pentingnya kebersamaan ini baginya. Dan aku, meskipun masih dihantui oleh rasa takut, mulai belajar untuk mempercayai prosesnya. Aku ingin percaya bahwa cinta kami bisa bertahan menghadapi segala rintangan. Namun, dalam lubuk hati, aku tidak bisa menepis rasa khawatir yang terus menggelayuti. Bagaimana jika, pada akhirnya, kami tak lagi berada di jalur yang sama? Bagaimana jika kami berdua tersesat dalam impian yang berbeda?

 

“Andi,” aku memulai pembicaraan dengan suara pelan, “kita sudah berjalan jauh, tapi aku merasa kita belum tahu apa yang akan terjadi ke depan. Aku tahu kita saling mencintai, tetapi… masa depan itu begitu rumit, kan?”

 

Andi menoleh padaku, memberikan senyuman yang menenangkan. “Aku tahu, Rina. Aku juga sering berpikir tentang itu. Kita tidak bisa menghindari kenyataan bahwa masa depan penuh ketidakpastian. Tapi aku percaya kita bisa menghadapinya bersama. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, minggu depan, atau tahun depan, tapi aku ingin berjalan bersamamu, menghadapi segala sesuatu yang datang.”

 

Aku menatapnya, sedikit ragu, tetapi dalam hati, ada ketenangan yang mulai meresap. Kata-katanya menyentuh bagian dari diriku yang selama ini takut untuk menghadapi kenyataan. Tak ada yang bisa memastikan, tetapi kami bisa berusaha bersama untuk membuat yang terbaik dari apapun yang akan datang.

 

Namun, meskipun Andi memberikan dukungan dan kata-kata penyemangat, rasa takut itu masih ada. Ketakutan akan masa depan yang tak terduga, ketakutan akan kenyataan bahwa kami mungkin tidak selalu bisa bersama seperti sekarang. Aku takut suatu hari nanti kami akan berjalan di jalan yang berbeda. Andi, dengan segala pengertian dan kesabarannya, selalu berusaha meyakinkan aku bahwa kami bisa melewati semua itu. Tetapi aku tahu, tidak ada yang bisa dijamin dalam hidup ini.

 

“Aku khawatir, Andi,” aku akhirnya mengungkapkan perasaanku. “Aku khawatir jika suatu hari nanti kita tidak lagi sejalan. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi itu.”

 

Andi memegang tanganku dengan lembut, menatapku dengan mata yang penuh perhatian. “Aku mengerti ketakutanmu, Rina. Aku juga punya ketakutanku sendiri. Tapi kita tidak bisa terus terjebak dalam ketakutan. Kita harus belajar untuk hidup di masa kini, menghargai apa yang ada sekarang. Cinta itu bukan hanya tentang janji-janji masa depan, tetapi tentang apa yang kita lakukan hari ini. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi kita bisa berusaha membuat hari-hari ini berarti.”

 

Aku mendengarkan dengan seksama, meresapi setiap kata yang keluar dari mulutnya. Terkadang, aku lupa bahwa hidup tidak harus selalu tentang perencanaan atau kepastian. Hidup adalah tentang mengambil langkah pertama, lalu mempercayai diri sendiri dan orang lain untuk melangkah bersama. Andi menunjukkan kepadaku bahwa kita tidak perlu tahu segalanya untuk terus berjalan. Yang penting adalah komitmen untuk tetap bersama, untuk saling mendukung dan mencintai, tanpa harus memikirkan hasil akhir.

 

Namun, meskipun aku tahu itu, rasa takutku tidak bisa hilang begitu saja. Ketakutan itu adalah bagian dari diriku yang sulit untuk dikeluarkan. Masa depan yang tak pasti ini membuatku merasa terjebak dalam keraguan. Aku masih takut untuk sepenuhnya menyerahkan diriku pada hubungan ini. Aku takut kehilangan Andi jika suatu hari kami tidak lagi bisa menjaga satu sama lain, jika impian kami ternyata tidak sejalan.

 

Aku melirik Andi, yang duduk di sampingku dengan sabar. “Aku ingin mempercayai masa depan kita, Andi. Aku ingin bersama kamu. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa segala sesuatu bisa berubah.”

 

Andi tersenyum, memegang tanganku lebih erat. “Rina, aku juga tidak bisa menjanjikan masa depan yang pasti. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku tahu satu hal—aku ingin kamu ada di hidupku, dan aku akan berusaha untuk menjaga hubungan ini dengan sepenuh hati. Kita akan menghadapi masa depan ini bersama, tanpa perlu terburu-buru, dan tanpa harus merasa tertekan.”

 

Kata-kata itu membuat hatiku sedikit lebih tenang. Aku menyadari bahwa meskipun masa depan itu penuh dengan ketidakpastian, yang terpenting adalah bagaimana kami menghadapi setiap tantangan bersama. Tidak ada yang bisa memprediksi dengan pasti bagaimana hidup ini akan berjalan. Yang bisa kami lakukan hanyalah menjalani setiap hari dengan sepenuh hati, menghargai setiap momen bersama, dan tidak membiarkan ketakutan menghalangi langkah kami.

 

Malam itu, aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan masa depan yang tak pasti. Aku akan fokus pada saat ini, pada hubungan yang sedang aku jalani bersama Andi. Aku akan membuka hatiku lebih lebar, memberi kesempatan untuk cinta tumbuh dengan cara yang alami, tanpa tekanan atau rasa takut yang membatasi. Dan jika ada rintangan yang datang di kemudian hari, aku tahu kami akan menghadapinya bersama.

 

Masa depan memang tak pasti, tetapi yang aku tahu adalah bahwa aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mencintai dan dicintai. Aku akan menjalani hidup ini dengan lebih terbuka, lebih siap menghadapi segala kemungkinan, dan lebih menerima kenyataan bahwa tak ada yang benar-benar bisa kita kontrol. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani perjalanan itu, dan dengan siapa kita memilih untuk berjalan.

—THE END—

Source: Muhammad Reyhan Sandafa
Tags: # Cinta dan Kehidupan# Cinta di Dunia Mayacinta yang hebat
Previous Post

TUNGGU AKU DI UJUNG WAKTU

Next Post

MOMEN YANG MENGUBAH SEGALA NYA

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
MOMEN YANG MENGUBAH SEGALA NYA

MOMEN YANG MENGUBAH SEGALA NYA

CINTA YANG TERHALANG LAUT

CINTA YANG TERHALANG LAUT

MENANTI DI TITIK NOL

MENANTI DI TITIK NOL

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id