Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

Ketika Cinta Pertama Menyapa

SAME KADE by SAME KADE
February 3, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 13 mins read
Ketika Cinta Pertama Menyapa

Daftar Isi

  • Bab 1: Tatapan Pertama
  • Bab 2: Dekat Tapi Jauh
  • Bab 3: Detak Jantung yang Berbeda
  • Bab 4: Harapan dan Ketakutan
  • Bab 5: Pengakuan atau Perpisahan?
  • Bab 6: Kenangan yang Tak Terlupakan

Bab 1: Tatapan Pertama

 

Langit sore berwarna jingga saat aku melangkahkan kaki keluar dari gerbang sekolah. Angin sepoi-sepoi menyapu rambutku yang sedikit berantakan, membawa serta aroma tanah setelah hujan siang tadi. Hari itu terasa seperti hari biasa, sampai aku melihatnya untuk pertama kali.

 

Aku tidak tahu namanya. Tidak tahu dari kelas mana atau siapa teman-temannya. Tapi di antara kerumunan siswa yang bercengkerama di halaman sekolah, mataku tertuju padanya. Seorang laki-laki dengan seragam putih abu-abu yang terlihat rapi, duduk di bangku panjang dekat taman sekolah, membaca sebuah buku dengan serius.

 

Aku tidak pernah percaya pada cinta pada pandangan pertama. Kupikir itu hanya omong kosong dalam novel atau drama yang sering kutonton. Tapi saat melihatnya, ada sesuatu yang aneh terjadi dalam diriku. Jantungku berdegup lebih cepat, tanganku mendadak dingin, dan entah kenapa, aku ingin tahu lebih banyak tentang dia.

 

“Siapa dia?” gumamku pelan, cukup untuk didengar oleh sahabatku, Rina, yang berdiri di sampingku.

 

Rina mengikuti arah pandanganku, lalu tersenyum jahil. “Oh, kamu naksir ya?” godanya.

 

Aku segera menggeleng, mencoba menutupi wajahku yang mulai terasa panas. “Bukan begitu, aku cuma penasaran. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya.”

 

Rina tertawa kecil. “Itu Raka, anak kelas sebelah. Dia emang agak pendiam, tapi katanya pintar banget. Sering jadi juara lomba akademik.”

 

Raka. Nama yang baru kudengar, tapi entah kenapa terasa akrab di hati.

 

Aku mencoba mengalihkan perhatianku, tapi mataku kembali mencuri pandang ke arahnya. Saat itu, tanpa sengaja, Raka mengangkat kepalanya. Pandangan kami bertemu.

 

Sekejap saja. Hanya beberapa detik. Tapi rasanya dunia berhenti berputar.

 

Aku merasa terperangkap dalam tatapan matanya yang teduh. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang hangat tapi juga dalam, seolah bisa melihat langsung ke dalam hatiku.

 

Lalu, tanpa ekspresi berlebihan, Raka kembali menundukkan kepala, melanjutkan membaca bukunya. Sementara aku berdiri terpaku, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

 

Rina menyenggol lenganku pelan. “Kamu masih mau bilang nggak tertarik?”

 

Aku tidak menjawab. Aku sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan yang tiba-tiba muncul ini.

 

Malam harinya, aku masih memikirkan kejadian itu. Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang bercampur aduk.

 

“Apa aku… suka dia?” gumamku pelan.

 

Tidak. Itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku bisa menyukai seseorang yang baru kulihat sekali? Tapi mengapa hatiku berdebar setiap kali mengingat tatapan itu?

 

Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran aneh itu. Tapi saat aku memejamkan mata, bayangan wajahnya kembali muncul. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa bahwa mungkin… inilah yang disebut cinta pertama.

 

Catatan Pengembangan:

 

Bab ini menggambarkan pertemuan pertama yang sederhana tapi berkesan.

 

Menggunakan suasana sore untuk menambah nuansa romantis dan nostalgia.

 

Tokoh utama mengalami gejolak perasaan yang baru pertama kali dirasakan.

 

Raka diperkenalkan sebagai sosok misterius yang menarik perhatian.

 

Ada elemen godaan dari sahabat (Rina) untuk membuat suasana lebih hidup.

 

Diakhiri dengan refleksi tokoh utama yang mulai menyadari perasaan cinta pertamanya.

Bab 2: Dekat Tapi Jauh

 

Sejak hari itu, tanpa kusadari, aku mulai mencari sosoknya di setiap sudut sekolah.

 

Saat bel istirahat berbunyi, mataku akan secara refleks menelusuri kantin, berharap menemukan sosoknya di antara siswa lain yang sedang makan. Saat di perpustakaan, aku akan memperhatikan barisan rak buku, mencari-cari apakah ada seseorang dengan postur tegap yang sedang membaca dengan serius. Bahkan di lapangan sekolah, aku sering kali menoleh ke sekeliling, berharap melihatnya entah sedang berdiri atau hanya sekadar lewat.

 

Dan saat akhirnya aku menemukannya, perasaanku selalu campur aduk. Ada rasa senang, ada juga perasaan aneh yang sulit dijelaskan. Aku ingin lebih dekat dengannya, ingin mengenalnya lebih jauh. Tapi entah kenapa, aku juga merasa ragu.

 

Seperti siang itu, ketika aku dan Rina sedang berjalan melewati lorong sekolah. Dari kejauhan, aku melihat Raka berdiri di depan kelasnya, berbicara dengan beberapa temannya.

 

“Eh, ada Raka tuh!” Rina menyikut lenganku sambil berbisik nakal.

 

Aku pura-pura tidak peduli, meski dalam hati jantungku berdetak lebih cepat. Aku mencoba berjalan dengan tenang, berharap dia tidak menyadari kehadiranku.

 

Tapi saat aku melewatinya, Raka menoleh.

 

Lagi-lagi, pandangan kami bertemu.

 

Hanya sebentar. Tapi cukup untuk membuat nafasku tercekat.

 

Aku ingin tersenyum, ingin menyapa, tapi tubuhku membeku. Aku terlalu takut. Takut kalau dia tidak mengenaliku, atau lebih buruk lagi, menganggapku aneh karena terus memperhatikannya.

 

Dan dalam waktu yang sama, Raka juga tidak mengatakan apa-apa. Tatapannya hanya sebentar sebelum dia kembali mengalihkan pandangannya ke teman-temannya.

 

Aku menggigit bibir bawahku. Mungkin benar, aku hanya gadis asing baginya.

 

“Kamu harus lebih berani, Nay,” kata Rina sambil menghela napas. “Kalau kamu terus diem aja, kapan kamu bisa kenalan sama dia?”

 

Aku menunduk. Rina benar. Tapi apa yang bisa kulakukan? Bagaimana caranya agar aku bisa mendekatinya tanpa terlihat aneh?

 

Kesempatan itu datang lebih cepat dari yang kuduga.

 

Hari itu, aku datang lebih awal ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Saat sedang mencari buku di rak, aku mendengar langkah kaki seseorang mendekat. Saat aku menoleh, jantungku langsung melonjak—itu Raka.

 

Dia berdiri hanya beberapa langkah dariku, mencari buku di rak yang sama.

 

Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin membuka percakapan, tapi mulutku terasa terkunci.

 

Saat aku sedang berusaha mengumpulkan keberanian, tiba-tiba sebuah buku jatuh dari rak atas. Refleks, aku mengulurkan tangan untuk mengambilnya, dan di saat yang sama, Raka juga melakukan hal yang sama.

 

Tangan kami bersentuhan.

 

Aku tersentak, buru-buru menarik tanganku, dan saat itulah Raka menoleh ke arahku.

 

“Maaf,” katanya singkat. Suaranya dalam dan tenang.

 

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, terlalu gugup untuk menjawab.

 

Raka mengambil buku itu, melihat sampulnya, lalu menyerahkannya padaku. “Kamu mau baca ini?”

 

Aku menatap buku di tangannya. Itu buku sastra klasik, bukan sesuatu yang biasanya kubaca. Tapi karena terlalu gugup, aku mengangguk begitu saja.

 

“Oh… oke,” katanya sebelum kembali fokus mencari bukunya sendiri.

 

Dan aku? Aku hanya bisa berdiri di sana, merasa bodoh karena tidak bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk mengobrol lebih banyak dengannya.

 

Setelah kejadian itu, aku semakin menyadari satu hal: Raka bukan tipe orang yang mudah didekati.

 

Dia bukan seseorang yang banyak bicara. Tidak seperti teman-temannya yang ramai dan mudah bergaul, Raka lebih sering terlihat sendirian. Entah membaca buku, menulis sesuatu di catatannya, atau hanya duduk diam di bangku taman sekolah.

 

Aku ingin lebih dekat dengannya. Tapi semakin aku mencoba, semakin aku merasa bahwa ada jarak yang sulit dijangkau.

 

Dan mungkin, aku harus menerima kenyataan bahwa meskipun hatiku telah memilihnya, bukan berarti aku bisa begitu saja masuk ke dalam dunianya.

 

Raka mungkin dekat denganku secara fisik, tapi pada saat yang sama, dia terasa begitu jauh.

 

Catatan Pengembangan:

 

Bab ini menggambarkan usaha tokoh utama untuk mengenal Raka lebih jauh.

 

Ada beberapa interaksi kecil yang memperlihatkan jarak di antara mereka.

 

Raka diperlihatkan sebagai sosok yang sulit didekati, pendiam, tapi tetap menarik.

 

Tokoh utama mengalami kebingungan dan perasaan takut ditolak.

 

Bab ini berakhir dengan kesadaran bahwa meskipun mereka sering bertemu, ada jarak emosional yang sulit dijangkau.

Bab 3: Detak Jantung yang Berbeda

 

Hari-hari berlalu, tapi perasaan itu tidak juga mereda. Jika ada yang bilang cinta pertama hanya sekadar kagum sesaat, aku mungkin akan membantahnya. Karena setiap kali melihat Raka, jantungku tetap berdetak lebih cepat, seperti pertama kali aku menatap matanya.

 

Aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini, meskipun aku masih tidak tahu apakah ini cinta atau hanya ketertarikan sesaat.

 

Suatu siang, aku kembali menemukannya di perpustakaan. Kali ini, aku tidak sengaja duduk di meja yang berseberangan dengannya.

 

Raka sedang sibuk dengan bukunya. Aku pura-pura membaca, tapi sesekali mencuri pandang ke arahnya. Ada sesuatu yang menarik dari caranya membaca—tenang, fokus, seakan dunia di sekelilingnya menghilang.

 

Aku ingin mengobrol dengannya, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana.

 

Sampai akhirnya, tanpa sengaja, dia menoleh ke arahku.

 

Aku buru-buru menunduk, berpura-pura membaca halaman buku yang sebenarnya belum aku pahami. Tapi aku bisa merasakan tatapannya, meski hanya sesaat.

 

“Kenapa kamu selalu ada di perpustakaan?”

 

Aku terkejut mendengar suara itu. Saat aku mendongak, Raka masih menatapku dengan ekspresi datar, tapi ada sedikit rasa penasaran di matanya.

 

“Apa?” tanyaku, memastikan bahwa aku tidak salah dengar.

 

“Kamu sering di sini,” katanya singkat.

 

Oh. Jadi dia memperhatikanku?

 

Aku menelan ludah, berusaha bersikap normal. “Aku suka membaca,” jawabku seadanya.

 

“Begitu.” Raka mengangguk, lalu kembali ke bukunya.

 

Aku ingin melanjutkan percakapan, tapi aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Meski begitu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda hari ini. Setidaknya, ini pertama kalinya dia benar-benar berbicara padaku lebih dari satu kata.

 

Detak jantungku masih berantakan. Tapi kali ini, aku tersenyum.

 

Sejak saat itu, aku mulai menemukan keberanian untuk lebih sering berada di sekitarnya. Bukan dalam arti aku sengaja mengejarnya—aku hanya mencari kesempatan untuk bisa berbicara dengannya, walaupun sedikit.

 

Dan perlahan, aku mulai mengenalnya lebih jauh.

 

Raka bukan hanya pendiam, tapi juga orang yang tidak suka basa-basi. Jika dia berbicara, itu pasti karena dia merasa perlu. Tapi ada hal lain yang aku sadari—meskipun terlihat dingin, dia sebenarnya orang yang perhatian, hanya saja dalam caranya sendiri.

 

Seperti saat aku menjatuhkan buku di kantin dan dia tanpa banyak bicara mengambilnya untukku.

 

Atau ketika aku kesulitan mencari referensi tugas, dan dia—tanpa diminta—menunjukkan buku yang bisa membantuku.

 

Mungkin bagi orang lain, itu hanya hal kecil. Tapi bagiku, itu cukup untuk membuatku semakin menyukainya.

 

Hari itu, aku dan Rina sedang duduk di bangku taman sekolah, menikmati semilir angin sore.

 

“Jadi, kalian udah ngobrol?” tanya Rina dengan nada penasaran.

 

Aku mengangguk, mengingat percakapan singkat di perpustakaan. “Sedikit sih, tapi setidaknya dia sekarang tahu aku ada.”

 

Rina tertawa. “Bagus, berarti satu langkah lebih dekat!”

 

Aku tersenyum kecil. “Tapi aku masih nggak tahu, Rin… apa dia sadar kalau aku suka dia?”

 

“Yah, kalau cowok kayak Raka sih, mungkin dia nggak peka,” kata Rina santai. “Tapi yang penting kamu udah berusaha mendekat.”

 

Aku menghela napas. “Aku cuma takut… kalau perasaanku ini hanya satu sisi.”

 

Rina menepuk pundakku. “Nay, itu wajar. Cinta pertama emang gitu. Selalu penuh ketidakpastian.”

 

Aku menatap langit sore yang mulai berubah jingga. Cinta pertama memang membingungkan. Aku senang setiap kali melihatnya, tapi di saat yang sama, aku juga takut. Takut jika semua ini hanya perasaanku sendiri.

 

Tapi satu hal yang pasti, setiap kali dia ada di dekatku, detak jantungku selalu berbeda. Dan aku tidak bisa mengabaikan itu.

 

Catatan Pengembangan:

 

Bab ini menunjukkan perkembangan hubungan mereka, meski masih terbatas pada interaksi kecil.

 

Raka mulai memperhatikan keberadaan tokoh utama, meskipun tetap dengan sikapnya yang dingin dan misterius.

 

Tokoh utama mulai menyadari bahwa meskipun Raka terlihat cuek, ada sisi perhatian dalam dirinya.

 

Ada refleksi tentang cinta pertama yang penuh ketidakpastian.

Bab 4: Harapan dan Ketakutan

 

Hari-hari terus berlalu, dan perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan.

 

Aku tahu ini bukan sekadar kagum. Ini lebih dari itu. Setiap kali melihatnya, dadaku selalu terasa hangat, seolah ada sesuatu yang mengembang di dalamnya. Setiap kali mendengar suaranya, bahkan dalam percakapan singkat sekalipun, jantungku akan berdebar lebih cepat dari biasanya.

 

Tapi di balik semua itu, ada rasa takut yang perlahan mulai tumbuh.

 

Siang itu, aku kembali menemukannya di perpustakaan. Ini sudah menjadi kebiasaan—tanpa sadar, aku selalu berharap bertemu dengannya di sini. Dan kali ini, aku menemukan keberanian untuk melakukan sesuatu yang sudah lama ingin kulakukan.

 

Aku berjalan pelan ke mejanya dan berhenti tepat di seberangnya. Raka, yang sedang sibuk membaca, mengangkat kepalanya, menatapku dengan tatapan tenang seperti biasanya.

 

“Ada yang bisa aku bantu?” tanyanya.

 

Aku menelan ludah, lalu mengangkat buku yang kupegang. “Aku nggak ngerti bagian ini… bisa bantu jelasin?”

 

Aku tidak tahu apakah aku benar-benar tidak mengerti atau hanya mencari alasan untuk berbicara dengannya. Tapi saat melihatnya mengangguk dan menarik kursi di sampingnya, aku merasa telah mengambil langkah besar.

 

Dia mulai menjelaskan dengan suara tenangnya. Aku mencoba fokus, tapi jujur saja, pikiranku lebih banyak memperhatikan bagaimana ekspresinya saat berbicara, bagaimana matanya sedikit menyipit saat membaca, dan bagaimana tangannya dengan luwes menuliskan catatan di buku.

 

Aku benar-benar menyukai dia.

 

Namun, perasaan itu datang bersama dengan ketakutan yang semakin besar.

 

“Aku takut, Rin,” kataku pada Rina saat kami duduk di bangku taman sekolah sepulang kelas.

 

Rina mengernyit. “Takut kenapa?”

 

“Aku takut kalau ini cuma perasaanku sendiri.” Aku menghela napas, menatap langit yang mulai berwarna oranye. “Aku suka dia, tapi aku nggak tahu apa dia juga punya perasaan yang sama. Gimana kalau aku berharap terlalu banyak?”

 

Rina menatapku lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Nay, cinta pertama memang selalu gitu. Kita nggak pernah tahu apa yang ada di hati orang lain.”

 

Aku menunduk. “Terus, aku harus gimana?”

 

“Jawabannya cuma dua,” kata Rina. “Kamu mau tetap berharap dan mengambil risiko, atau kamu memilih menyerah sebelum mencoba?”

 

Aku terdiam.

 

Hari berikutnya, aku melihat sesuatu yang membuat dadaku mencelos.

 

Di lorong sekolah, aku melihat Raka berbicara dengan seorang gadis. Gadis itu tersenyum cerah, sementara Raka, meski tetap dengan ekspresi datarnya, terlihat mendengarkan dengan tenang.

 

Aku tidak tahu siapa gadis itu, tapi ada sesuatu di dalam dadaku yang tiba-tiba terasa nyeri.

 

Aku mencoba meyakinkan diri bahwa itu bukan apa-apa. Raka pasti punya banyak teman perempuan. Itu bukan berarti dia menyukainya. Tapi tetap saja, ada suara kecil di dalam kepalaku yang berbisik, “Bagaimana kalau dia memang sudah menyukai orang lain?”

 

Ketakutan itu semakin nyata.

 

Malamnya, aku menatap ponselku lama sekali. Aku ingin mengirim pesan padanya, tapi jari-jariku hanya bergetar di atas layar.

 

Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya. Aku ingin lebih dekat. Tapi bagaimana kalau aku hanya akan mengganggunya?

 

Dengan napas berat, aku akhirnya menaruh ponselku tanpa mengirimkan apa pun.

 

Aku terlalu takut.

 

Dan mungkin, aku mulai sadar bahwa cinta pertama memang seindah ini, tapi juga sesakit ini.

 

Catatan Pengembangan:

 

Bab ini menggambarkan konflik batin tokoh utama antara harapan dan ketakutan dalam cinta pertamanya.

 

Ada momen keberanian saat dia mulai mendekati Raka, tapi juga ada ketakutan saat menyadari ketidakpastian perasaan Raka.

 

Kehadiran gadis lain menjadi pemicu kecemasan bahwa perasaannya mungkin bertepuk sebelah tangan.

 

Bab ini diakhiri dengan rasa takut tokoh utama untuk mengambil langkah lebih jauh.

Bab 5: Pengakuan atau Perpisahan?

 

Hari-hari terasa semakin berat sejak aku melihat Raka berbicara dengan gadis itu. Aku tidak tahu siapa dia, dan aku juga tidak berani bertanya. Aku hanya bisa menebak-nebak, membiarkan pikiranku dipenuhi kemungkinan yang menyakitkan.

 

Mungkin dia memang sudah punya seseorang yang lebih berarti. Mungkin aku hanya gadis asing yang sesekali melintas di dunianya, tanpa benar-benar ia perhatikan.

 

Dan mungkin, ini saatnya aku berhenti berharap.

 

“Kenapa kamu jadi pendiam akhir-akhir ini?” tanya Rina saat kami duduk di kantin.

 

Aku mengaduk-aduk minumanku tanpa niat meminumnya. “Aku nggak tahu, Rin. Aku merasa… mungkin aku harus menyerah.”

 

Rina mendesah. “Karena kamu lihat dia sama cewek lain?”

 

Aku tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.

 

“Terus kamu mau apa? Mau menjauh? Mau pura-pura nggak suka lagi?”

 

Aku menggigit bibirku. “Aku nggak tahu, tapi aku juga nggak mau terus-terusan menyakiti diri sendiri dengan harapan yang mungkin nggak akan terjadi.”

 

Rina menatapku lama sebelum berkata, “Kalau kamu benar-benar nggak mau berharap lagi, setidaknya kamu harus tahu jawabannya. Jangan cuma menebak-nebak.”

 

Aku terdiam.

 

Setelah berpikir semalaman, aku akhirnya memutuskan sesuatu: aku harus tahu perasaan Raka.

 

Aku tidak bisa terus menggantung seperti ini. Jika memang dia tidak memiliki perasaan yang sama, aku akan mundur. Tapi jika ada sedikit saja harapan, aku ingin mengetahuinya.

 

Maka keesokan harinya, dengan jantung berdebar, aku menunggunya di depan perpustakaan, tempat kami sering bertemu.

 

Ketika Raka akhirnya muncul, aku menggenggam tanganku sendiri, berusaha menenangkan diri.

 

“Raka,” panggilku.

 

Dia menoleh, tampak sedikit terkejut melihatku berdiri di sana. “Naya?”

 

Aku menelan ludah. “Boleh bicara sebentar?”

 

Dia mengangguk tanpa ragu. “Tentu.”

 

Aku mengajak Raka ke taman belakang sekolah yang sepi. Ini adalah tempat favoritku saat ingin menenangkan diri, dan entah kenapa, aku ingin pengakuan ini terjadi di tempat yang berarti bagiku.

 

Saat kami berdiri berhadapan, aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin tidak karuan.

 

“Ada apa?” tanyanya, nada suaranya tetap datar, tapi kali ini aku bisa menangkap sedikit ketertarikan di matanya.

 

Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku mau jujur sama kamu.”

 

Raka diam, menungguku melanjutkan.

 

“Aku… aku suka sama kamu, Raka,” kataku akhirnya.

 

Seperti yang sudah kuduga, wajahnya tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Tidak ada keterkejutan, tidak ada senyuman, tidak ada ekspresi apa pun yang bisa memberiku petunjuk tentang isi hatinya.

 

Hanya keheningan.

 

Aku merasa semakin gugup. “Aku tahu mungkin ini tiba-tiba, dan mungkin kamu nggak punya perasaan yang sama. Tapi aku nggak mau terus-terusan bertanya-tanya. Aku hanya ingin tahu… apa aku hanya mengharapkan sesuatu yang nggak akan pernah terjadi?”

 

Raka menatapku lama sebelum akhirnya menghela napas. “Naya…”

 

Suara itu lembut, tapi juga terasa berat.

 

“Aku nggak pernah berpikir kalau kamu suka sama aku,” katanya pelan. “Aku memang sadar kamu sering memperhatikanku, tapi aku nggak tahu kalau perasaanmu sampai sejauh ini.”

 

Dadaku semakin sesak. “Jadi…?”

 

Dia menatap ke langit, seolah sedang mencari jawaban. “Aku nggak pernah berpikir soal cinta, Nay. Aku bukan orang yang pandai dalam hal perasaan. Aku selalu fokus dengan dunia kecilku sendiri.”

 

Aku menggigit bibir. “Tapi… apakah ada kemungkinan?”

 

Raka terdiam.

 

Dan di situlah aku menemukan jawabannya.

 

Keheningannya sudah cukup menjadi jawaban yang tidak ingin kudengar.

 

Aku memaksakan senyum, meski terasa sulit. “Aku mengerti.”

 

“Naya, aku nggak mau kamu salah paham,” kata Raka cepat. “Aku nggak bilang aku nggak suka kamu, hanya saja… aku nggak tahu apakah aku bisa mencintai seseorang dengan cara yang kamu harapkan.”

 

Kata-kata itu terasa seperti pisau yang menusuk perlahan.

 

Aku mengangguk, meski rasanya berat. “Terima kasih sudah jujur.”

 

Aku berbalik, berjalan menjauh sebelum air mataku jatuh. Aku tidak ingin dia melihatku menangis.

 

Dan di sanalah semuanya berakhir—bukan dengan sebuah kebahagiaan, tetapi dengan kepastian.

 

Aku akhirnya tahu bahwa harapanku tidak bisa bersanding dengan kenyataan.

 

Dan mungkin, cinta pertama memang tidak selalu berakhir dengan kebersamaan.

 

Catatan Pengembangan:

 

Bab ini adalah puncak dari konflik perasaan tokoh utama.

 

Tokoh utama akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.

 

Raka tidak menolak secara langsung, tetapi juga tidak memberikan harapan.

 

Ada ketidakpastian dari sisi Raka, yang mungkin memang bukan orang yang mudah mengekspresikan perasaan.

 

Bab ini diakhiri dengan perpisahan emosional, di mana tokoh utama menerima kenyataan bahwa tidak semua cinta pertama harus memiliki akhir yang bahagia.

Bab 6: Kenangan yang Tak Terlupakan

 

Sejak hari itu, aku mencoba menjauh.

 

Bukan karena aku membencinya, tapi karena aku harus menyembuhkan diriku sendiri. Aku tidak bisa terus berharap pada sesuatu yang tidak pasti. Aku harus belajar menerima bahwa tidak semua perasaan bisa berbalas.

 

Namun, semakin aku berusaha melupakan, semakin kenangan itu melekat di pikiranku.

 

Aku masih ingat saat pertama kali melihatnya di perpustakaan, saat aku diam-diam mengagumi caranya membaca dengan penuh konsentrasi.

 

Aku masih ingat saat pertama kali dia berbicara padaku, meski hanya sekadar bertanya kenapa aku sering ada di sana.

 

Aku masih ingat ketika dia membantuku memahami pelajaran, suaranya yang tenang, dan ekspresinya yang serius saat menjelaskan sesuatu.

 

Dan aku masih ingat momen di taman belakang sekolah itu, ketika aku mengungkapkan perasaanku dan dia menatapku dengan kebingungan yang tidak bisa ia sembunyikan.

 

Itulah yang paling sulit dilupakan.

 

Bukan karena sakitnya, tapi karena aku tahu, saat itu aku benar-benar telah memberikan seluruh hatiku kepadanya.

 

“Apa kamu benar-benar ingin melupakan dia?”

 

Pertanyaan Rina menghentikan lamunanku. Kami sedang duduk di kantin seperti biasa, tapi kali ini aku merasa seperti orang asing di tempat yang dulu penuh kebiasaan.

 

Aku menghela napas. “Aku nggak tahu, Rin. Aku ingin, tapi sepertinya aku nggak bisa.”

 

Rina tersenyum kecil. “Cinta pertama memang begitu. Kadang bukan tentang melupakan, tapi tentang bagaimana kita belajar menerimanya sebagai bagian dari diri kita.”

 

Aku menatapnya, bingung.

 

“Kamu nggak harus melupakan Raka, Nay. Kamu hanya perlu mengingatnya dengan cara yang tidak lagi menyakitimu.”

 

Aku terdiam.

 

Mungkin Rina benar.

 

Mungkin aku tidak perlu berusaha keras untuk melupakannya. Mungkin yang harus kulakukan adalah menerima bahwa dia adalah bagian dari hidupku yang akan selalu ada dalam ingatan.

 

Hari itu, aku kembali ke perpustakaan.

 

Aku tidak berharap bertemu Raka, aku hanya ingin mengingat kenangan yang pernah ada tanpa rasa sakit.

 

Saat aku melangkah ke dalam, aroma buku yang khas langsung menyapaku. Aku berjalan melewati deretan rak buku, tempat di mana aku sering mencuri pandang ke arahnya. Aku memilih duduk di meja yang dulu sering kutempati, mencoba mengingat semuanya tanpa air mata.

 

Aku membuka buku, mencoba membaca, tapi pikiranku kembali melayang pada masa lalu.

 

Dan saat itulah, aku mendengar suara yang sangat familiar.

 

“Naya?”

 

Aku tersentak, menoleh, dan di sana dia berdiri. Raka, dengan ekspresi tenang seperti biasa, menatapku dengan mata yang menyimpan sesuatu yang tidak bisa kutebak.

 

Aku tidak tahu harus berkata apa. Sudah beberapa minggu sejak percakapan terakhir kami, dan aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini.

 

“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan.

 

Aku tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja.”

 

Dia mengangguk pelan, lalu tanpa meminta izin, duduk di kursi di depanku.

 

Aku tidak tahu kenapa, tapi kehadirannya tidak lagi membuat dadaku sesak. Mungkin karena aku sudah menerima kenyataan.

 

Mungkin karena aku akhirnya mengerti bahwa dia bukan seseorang yang harus aku lupakan, melainkan seseorang yang akan tetap menjadi bagian dari perjalanan hidupku.

 

Kami tidak banyak bicara hari itu. Kami hanya duduk dalam diam, membiarkan waktu berjalan tanpa perlu kata-kata.

 

Dan saat aku akhirnya berdiri untuk pergi, aku tersenyum padanya untuk terakhir kalinya.

 

“Terima kasih, Raka,” kataku pelan.

 

Dia tidak bertanya untuk apa. Tapi aku tahu, dia mengerti.

 

Aku berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan perpustakaan dengan hati yang lebih ringan.

 

Kenangan itu akan tetap ada. Tapi kini, ia bukan lagi luka—melainkan pelajaran berharga tentang cinta pertama yang tak akan terlupakan.

 

Catatan Pengembangan:

 

Bab ini menunjukkan perjalanan tokoh utama dalam menerima kenyataan dan mengelola perasaannya.

 

Alih-alih berusaha melupakan, ia mulai memahami bahwa kenangan cinta pertama bukan untuk dihapus, melainkan untuk dikenang tanpa rasa sakit.

 

Pertemuan terakhir dengan Raka menjadi simbol bahwa meski cinta itu tidak terbalas, itu tetap menjadi bagian dari dirinya.

 

Bab ini menjadi penutup yang memberikan ketenangan bagi tokoh utama, menandakan bahwa ia telah tumbuh dari pengalamannya.

—THE END—

Source: Muhammad Reyhan Sandafa
Tags: cinta kuatcinta tatapan pertamacinta yang sos swett
Previous Post

SAMPAI JUMPA CINTA

Next Post

SAAT HUJAN MENGINGATKAN MU

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
SAAT HUJAN MENGINGATKAN MU

SAAT HUJAN MENGINGATKAN MU

LAUTAN DIANTARA KITA

LAUTAN DIANTARA KITA

CINTA YANG TERJUAL

CINTA YANG TERJUAL

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id