Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

AKU MENCINTAI MU UNTUK MEMBALAS DENDAM KU

AKU M,ENCINTAIMU UNTUK MEMBALAS DENDAM KU

SAME KADE by SAME KADE
April 21, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 19 mins read
AKU MENCINTAI MU UNTUK MEMBALAS DENDAM KU

Daftar Isi

  • Bab 1 Kenangan yang Tertinggal
  • Bab 2 Kembali ke Dunia Raka
  • Bab 3 Cinta yang Berbalut Kepura-puraan
  • Bab 4 Menggali Kebenaran
  • Bab 5 Pertarungan Hati
  • Bab 6 Pengorbanan dan Penyesalan
  • Bab 7 Cinta yang Akhirnya Ditemukan

Bab 1 Kenangan yang Tertinggal

Alma berdiri di tepi jendela kamarnya, menatap hujan yang turun dengan deras. Setiap tetesnya seperti melukiskan kembali cerita lama yang tak ingin ia ingat, namun tak bisa ia hindari. Hujan ini membawa ingatan tentang Raka, pria yang pernah menjadi segala-galanya baginya, namun kini hanya meninggalkan luka yang tak kunjung sembuh.

Dua tahun sudah berlalu sejak Raka meninggalkannya. Dua tahun yang penuh dengan kebingungan dan rasa sakit, yang membuat Alma berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah lagi membiarkan dirinya terjebak dalam cinta yang sama. Raka, pria yang dulu ia kira adalah takdirnya, kini hanya menjadi bayang-bayang yang mengisi ruang kosong di hatinya. Ia ingat betul bagaimana hubungan mereka dulu berjalan dengan penuh cinta, bagaimana setiap tatapan Raka bisa membuat hatinya berdebar, bagaimana setiap kata yang diucapkan terasa seperti janji untuk selamanya.

Namun, semuanya hancur dalam satu malam. Raka yang dulunya sangat mencintainya, tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Alma merasa terasing, ditinggalkan tanpa penjelasan, seolah-olah cinta yang mereka bangun selama ini hanyalah ilusi. Hingga akhirnya, suatu hari, ia menemukan kebenaran yang menyakitkan: Raka ternyata sudah memilih wanita lain. Wanita yang lebih cantik, lebih sempurna, dan lebih bisa memberinya segalanya. Semua yang Alma tidak bisa berikan.

Kenangan itu menghantui Alma setiap saat, seperti bayangan yang tak bisa ia lepaskan. Ia pernah mencintai Raka dengan sepenuh hati, dan kini, ia merasa dikhianati. Rasanya seperti ada ribuan pisau yang menusuk jantungnya setiap kali ia mengingat wajah Raka yang tertawa bersama wanita lain, yang mungkin lebih layak mendapatkan cinta yang ia tawarkan.

Sejak saat itu, Alma menutup hatinya. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa tidak ada lagi tempat untuk cinta dalam hidupnya. Namun, kebencian itu—dendam yang ia rasakan—terus tumbuh. Semakin lama, semakin ia merasakan bahwa membenci Raka adalah satu-satunya cara untuk menghapuskan rasa sakit itu. Dendam itu menjadi kekuatannya. Sebuah bahan bakar yang menyulutnya untuk menjalani hari-hari dengan tujuan yang baru: membalas semua yang telah Raka perbuat padanya.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Alma sibuk dengan pekerjaannya, menjalani kehidupan tanpa terlalu banyak bergaul atau mencari teman. Namun, di balik penampilannya yang tegas dan mandiri, ada luka yang dalam, yang tak kunjung sembuh. Setiap kali ia melihat pasangan yang bahagia, ia teringat pada Raka, dan setiap kali itu pula, dendam dalam dirinya semakin membesar. Alma tidak hanya ingin menghancurkan kebahagiaan Raka, ia ingin agar pria itu merasakan apa yang ia rasakan—kehilangan, pengkhianatan, dan rasa sakit yang tak bisa disembuhkan.

Suatu malam, ketika duduk di ruang tamunya yang sepi, Alma menerima sebuah pesan yang membuat hatinya berdegup kencang. Pesan itu datang dari nomor yang sudah lama ia kenal. Nama yang tertera di layar ponselnya adalah **Raka**. Alma hampir tidak bisa mempercayai matanya. Raka? Mengapa ia menghubunginya setelah bertahun-tahun? Apa yang ingin dia katakan sekarang?

Dengan tangan gemetar, Alma membuka pesan itu.

**”Alma, aku ingin bertemu. Aku tahu aku telah banyak menyakiti hatimu, dan aku ingin meminta maaf. Mungkin ini terlalu terlambat, tapi aku harap kau mau memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.”**

Alma menatap pesan itu dengan tatapan kosong. Berbagai emosi bercampur aduk di dalam hatinya. Marah, bingung, dan juga… sedikit harapan. Namun, ia segera menyadarkan dirinya. **Ini adalah kesempatan untuk membalas dendam.** Alma tahu bahwa saat ini adalah waktu yang tepat. Raka kembali ke dalam hidupnya, dan kali ini, ia akan memastikan pria itu merasakan apa yang ia rasakan dulu.

Dengan perlahan, Alma membalas pesan itu.

**”Aku akan datang.”**

Saat ia menekan tombol kirim, Alma merasa sebuah kekuatan baru mengalir dalam dirinya. Ini bukan lagi tentang penyembuhan, atau tentang cinta. Ini tentang balas dendam. Raka akan tahu betapa besar pengorbanan yang telah ia buat. Alma akan membuatnya membayar, bahkan jika itu berarti membuka kembali luka lama yang masih menganga di hatinya.

Namun, saat ia mematikan ponselnya dan menatap hujan yang semakin deras, Alma tidak bisa mengabaikan satu perasaan yang mulai tumbuh di dalam hatinya—keraguan. Apakah balas dendam ini benar-benar yang ia inginkan? Apa yang akan terjadi jika ia kembali bertemu dengan Raka? Akankah kebencian itu bisa memuaskan hatinya, atau justru membuka kembali luka yang tak pernah ia sembuhkan?

Malam itu, Alma tahu satu hal pasti—ia telah memulai perjalanan yang tak bisa lagi ia hentikan. Sebuah perjalanan untuk menemukan apakah benar dendam bisa menghapus rasa sakit, atau malah memperburuk semuanya.

Bab 2 Kembali ke Dunia Raka

Alma berdiri di depan rumah besar yang dulu pernah ia kenal dengan baik. Matahari pagi yang hangat membelai wajahnya, tetapi hatinya terasa berat, seberat masa lalu yang sudah lama ia kubur dalam-dalam. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia menjejakkan kaki di kota ini, bertemu dengan orang-orang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Salah satunya adalah Raka, lelaki yang pernah mengisi hati dan harapannya, namun pada akhirnya meninggalkannya begitu saja.

Kini, Alma kembali, bukan sebagai wanita yang dulu yang penuh harapan dan cinta, melainkan sebagai seorang wanita yang dipenuhi dengan dendam yang membara. Ia datang dengan tujuan yang jelas—membalas semua rasa sakit yang pernah ia alami. Namun, sekaligus ia juga datang dengan perasaan yang tidak terduga, rasa cemas yang sulit dijelaskan. Bagaimana jika ia kembali jatuh ke dalam perangkap perasaan lama? Bagaimana jika ia terperangkap dalam pesona Raka yang dulu tak bisa ia lupakan?

Setelah lama berdiri menatap rumah itu, Alma akhirnya melangkah maju dan menekan bel. Suara bel yang terdengar pelan seakan mengguncang hatinya. Raka, lelaki yang pernah ia cintai, kini tidak lagi menempati ruang di hatinya. Cinta itu sudah lama mati, digantikan oleh kebencian yang sulit untuk dimengerti. Namun, Alma tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia masih merindukan bagian-bagian dari masa lalu itu, bahkan meskipun semua itu kini terasa seperti bayangan.

Pintu rumah terbuka, dan seorang wanita muda menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” wanita itu bertanya dengan sopan, tetapi Alma bisa melihat ada kegelisahan di mata wanita itu.

“Saya Alma. Saya ingin bertemu dengan Raka,” jawab Alma dengan suara tenang, meskipun dalam hati, gelombang emosinya tidak bisa ia sembunyikan.

Wanita itu terdiam sejenak, mungkin sedikit terkejut dengan kedatangan Alma yang tak terduga. Namun, setelah beberapa detik, ia mengangguk. “Tunggu sebentar, saya akan memanggilnya.” Ia menutup pintu sejenak, dan Alma hanya bisa berdiri menunggu dengan perasaan yang semakin tidak menentu.

Raka… lelaki itu, yang pernah mengisi setiap sudut hatinya dengan tawa, cinta, dan kebahagiaan. Dan kini, ia adalah pria yang jauh berbeda dari yang Alma kenal dulu. Alma mengingat saat-saat bahagia bersama Raka, ketika mereka masih muda, penuh impian, dan segala sesuatu tampak sempurna. Tapi semuanya berubah ketika Raka memilih untuk meninggalkannya demi perempuan lain. Alma tak pernah bisa melupakan perasaan ditinggalkan begitu saja, dihancurkan oleh janji-janji manis yang tak berarti apa-apa. Raka bahkan tidak pernah memberi penjelasan yang memadai. Dia hanya pergi, meninggalkan Alma dengan kebingungannya yang tak berujung.

Tidak lama kemudian, pintu terbuka kembali, dan Raka muncul dengan ekspresi terkejut namun juga tak bisa disembunyikan—kekaguman yang terlihat jelas di wajahnya. “Alma,” ujarnya, menyebut namanya dengan suara yang penuh keheranan. “Kau… kau kembali?”

Alma menatapnya dengan tajam, berusaha menahan semua perasaan yang mulai bergejolak di dadanya. “Aku kembali untukmu, Raka. Tapi bukan untuk alasan yang kau kira.”

Raka terdiam sejenak, tampaknya kebingungannya semakin menjadi. Ia memandang Alma dengan tatapan yang sulit dibaca, seolah berusaha memahami maksud dari setiap kata yang keluar dari bibir wanita yang pernah sangat ia cintai.

“Apa maksudmu?” tanya Raka, akhirnya memecah keheningan, matanya penuh dengan tanya. “Kenapa kau datang setelah semua waktu yang telah berlalu? Aku pikir kita sudah menutup bab itu.”

Alma tertawa, sebuah tawa yang pahit dan penuh dengan kepahitan. “Menutup bab? Tidak, Raka. Bab itu masih terbuka. Kau pikir aku datang untuk berdamai? Tidak, aku datang untuk menyelesaikan semuanya. Aku datang untuk membalas dendam.”

Kata-kata itu seperti jarum tajam yang menghujam ke jantung Raka. Wajahnya berubah, tampak bingung dan terkejut. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Alma melihat perubahan itu dengan puas, karena itulah yang ia inginkan. Ia ingin Raka merasakan sedikit saja dari apa yang pernah ia rasakan saat hatinya dihancurkan begitu saja.

Raka terdiam, sepertinya tak tahu harus berkata apa. Ia terlihat cemas, tetapi juga mencoba untuk tetap tenang. “Aku… aku tidak mengerti, Alma. Apa yang sebenarnya kau inginkan dari semua ini?” tanyanya pelan.

Alma menatapnya dengan pandangan yang lebih dalam, seperti mencoba mengukur seberapa besar perubahan yang terjadi pada pria yang pernah sangat ia cintai. “Aku ingin melihat dunia yang kau bangun hancur, Raka. Aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan saat kau meninggalkanku begitu saja. Tanpa penjelasan, tanpa ampun.”

Suasana menjadi tegang. Raka masih berdiri terpaku, wajahnya memerah karena perasaan yang sulit ia ungkapkan. Alma tahu dia tidak akan bisa begitu saja membuat Raka mengerti tentang apa yang ia rasakan. Namun, ia tidak akan mundur. Ia datang dengan tujuan yang jelas, meskipun perasaan itu masih berperang dalam dirinya—perasaan yang dulu ia kenal sebagai cinta, yang kini berbalut dengan kebencian yang mendalam.

Alma tahu ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjang yang akan ia jalani. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti: ia akan membalas dendam. Apapun yang terjadi, ia akan membuat Raka merasakan apa yang ia rasakan. Dendam ini sudah terlalu lama dipendam, dan kini saatnya untuk mengungkapkan semuanya.

Bab 3 Cinta yang Berbalut Kepura-puraan

Alma duduk di salah satu kafe kecil yang sering mereka kunjungi dulu. Waktu itu, tempat ini penuh dengan kenangan indah. Mereka berdua selalu datang ke sini, menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berbicara tentang segala hal, dari hal-hal sederhana hingga mimpi terbesar mereka. Kini, semua itu terasa seperti sebuah kehidupan yang jauh. Alma menatap cangkir kopi yang ada di depannya, matanya fokus pada butiran-butiran es yang mengapung di dalamnya. Setiap tetesan waktu yang berlalu membuatnya merasa semakin rapuh.

Raka datang dengan senyum khasnya, senyum yang dulu selalu mampu menenangkan Alma, senyum yang kini membuatnya kesal. Ia duduk di seberang Alma, tanpa menyadari perasaan yang menggelora dalam hati wanita itu. Alma merasa seperti seorang aktris yang tengah memainkan peran terbaiknya—seorang wanita yang ramah dan penuh perhatian, seorang teman lama yang tidak memiliki rasa dendam sama sekali. Padahal, di dalam hatinya, api kebencian membara.

“Alma, lama tidak bertemu. Apa kabar?” tanya Raka, sambil memesan kopi untuk dirinya sendiri.

Alma tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa hancur. “Baik, Raka. Aku baik-baik saja. Hidupku berjalan normal seperti biasanya,” jawabnya, berusaha menahan suara yang hampir bergetar.

Namun, dalam hati Alma, segala sesuatu terasa tidak normal. Bagaimana bisa ia begitu tenang di hadapan lelaki yang telah mengkhianatinya? Bagaimana bisa ia duduk bersama orang yang telah merusak seluruh masa depannya? Alma merasa seperti sedang berperang dengan dirinya sendiri. Setiap detik berlalu, ia berusaha menahan diri untuk tidak menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya di hadapan Raka.

“Sama seperti dulu ya, kita selalu berbicara tentang hal-hal kecil,” kata Raka, menggambarkan kebiasaan mereka yang sudah lama berlalu. “Apa yang kau lakukan sekarang?”

Alma hampir tidak bisa menahan tawa pahit. “Aku bekerja, menghabiskan waktu dengan hal-hal yang produktif. Apa yang baru dari kehidupanmu?” Alma melontarkan pertanyaan itu dengan suara yang datar, meskipun di dalam hatinya rasa ingin tahu begitu kuat. Raka, seperti yang ia duga, telah memiliki kehidupan baru, sebuah kehidupan yang jauh dari dirinya.

Raka menghela napas, tampak sedikit canggung. “Keluarga. Aku menikah, dan kami punya anak. Kau pasti tahu, hidup memang berjalan begitu cepat,” jawabnya, wajahnya penuh dengan kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan. Alma menatapnya, dan ada sesuatu di matanya yang membuat hatinya semakin hancur. Kebahagiaan Raka bukanlah kebahagiaan yang ia inginkan. Itu adalah kebahagiaan yang ia pikirkan hanya untuk dirinya sendiri, kebahagiaan yang seharusnya mereka berdua rasakan bersama.

Namun, Raka tidak tahu bahwa kebahagiaannya itu telah menghancurkan Alma dari dalam. Alma mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang semakin membuncah. “Selamat untuk kalian, Raka,” ujarnya, meskipun kata-kata itu terasa seperti racun yang ia telan dengan paksa.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang canggung, dan Alma merasa semakin terjebak dalam perangkap kepura-puraan yang ia buat sendiri. Ia tahu, ia harus bermain dengan perasaan ini. Ia harus membuat Raka merasa nyaman, seolah-olah tidak ada yang berubah antara mereka, seolah-olah mereka masih bisa menjadi teman yang baik. Padahal, setiap inci dari tubuhnya berteriak untuk membalas dendam.

“Raka,” Alma akhirnya memutuskan untuk melanjutkan percakapan itu, meskipun suara hatinya berkata untuk berhenti saja. “Kenapa dulu kamu meninggalkanku? Aku tidak mengerti. Apa yang membuatmu begitu mudah meninggalkanku setelah semua yang kita lalui bersama?”

Raka terdiam sejenak. Alma melihat ekspresi di wajahnya yang tiba-tiba berubah, seolah ia baru saja teringat akan sesuatu yang terlupakan. “Aku… aku salah, Alma. Aku tahu, aku tidak pernah bisa memperbaiki semuanya. Tapi itu adalah keputusan yang harus aku ambil pada saat itu.”

“Keputusan yang harus kau ambil?” Alma menirukan kata-kata Raka dengan nada yang penuh dengan ironi. “Kau memilih pergi begitu saja, tanpa pernah memberi penjelasan yang jelas. Dan sekarang, kau punya keluarga baru, anak, kehidupan yang bahagia. Apa aku hanya menjadi bagian dari kenangan burukmu?” Alma merasa perasaannya mulai sulit dikendalikan, namun ia berusaha menjaga suaranya tetap tenang.

Raka menundukkan kepala. “Aku sangat menyesal, Alma. Aku sangat menyesal.”

Tapi kata-kata Raka tidak bisa lagi menyembuhkan luka di hati Alma. Dendam yang sudah bertahun-tahun terkubur kini mulai muncul ke permukaan, menciptakan kesedihan yang tidak bisa ia sembunyikan. Alma tidak ingin mendengar penyesalan Raka. Ia ingin melihat Raka merasakan sakit yang sama, merasakan kehilangan yang sama.

Alma menarik napas panjang dan kembali menatap Raka. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Raka. Apa yang kamu lakukan sudah menghancurkanku. Mungkin kita memang sudah berpisah, tapi aku datang bukan untuk menjalin kembali hubungan lama. Aku datang untuk mendapatkan sesuatu yang lebih penting.”

Raka menatap Alma dengan bingung. “Apa yang kau maksud?”

“Aku datang untuk membalas dendam,” kata Alma dengan suara yang pelan namun tegas. Kata-katanya menggantung di udara, dan untuk pertama kalinya, Alma merasa seolah-olah ia telah melepaskan beban yang selama ini menghimpitnya.

Raka terkejut. Wajahnya berubah pucat, tidak tahu bagaimana harus merespons. Alma menyadari bahwa ia telah berhasil melakukan apa yang ia rencanakan: mengguncang dunia Raka dengan cara yang tidak terduga. Alma tersenyum kecil, sebuah senyuman yang penuh dengan kebencian dan kepura-puraan yang sempurna.

Namun, di balik senyuman itu, Alma tahu bahwa permainan ini baru saja dimulai.

Bab 4 Menggali Kebenaran

Setelah bertahun-tahun berlalu, Alma akhirnya menemukan titik terang. Di balik senyuman Raka yang tampak bahagia, di balik kehidupan sempurna yang dibangun dengan istri dan anaknya, Alma merasa ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang tidak sesuai dengan gambaran yang selama ini ia lihat. Semakin lama ia bergaul dengan Raka, semakin ia merasa bahwa pria itu bukanlah sosok yang ia kenal dulu. Ada perubahan dalam dirinya—bukan hanya dalam sikapnya, tetapi juga dalam cara dia berbicara, bertindak, dan bahkan dalam cara dia memandang dunia.

Malam itu, setelah menghabiskan waktu bersama keluarga Raka di rumah mereka, Alma merasa ada yang aneh dalam percakapan mereka. Raka tampak gelisah, matanya tak sejernih dulu. Alma tahu betul bagaimana cara Raka menyembunyikan kegelisahan, karena dulu ia pernah menjadi orang yang bisa membaca setiap ekspresi Raka dengan mudah. Namun, ada yang berubah. Ada ketegangan yang tak bisa ditutupi oleh senyuman manis dan kata-kata manja.

Alma, yang sejak awal memang datang dengan niat tertentu, merasa bahwa saat itu adalah waktu yang tepat untuk mulai menggali lebih dalam. Ia merasa seolah-olah kebenaran itu semakin dekat, hanya perlu sedikit lagi untuk mengungkapkannya. Keingintahuannya membara, mendorongnya untuk mencari tahu lebih jauh tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Raka setelah mereka berpisah.

Malam itu, setelah semua orang tertidur, Alma keluar dari kamar tidurnya dengan hati-hati, berusaha agar tidak menimbulkan suara. Ia menuju ke ruang kerja Raka. Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai dokumen, surat-surat penting, dan foto-foto lama. Alma menyentuh meja yang terbuat dari kayu jati, merasakan debu yang menyelimuti permukaannya, seolah sudah lama tak tersentuh. Namun, di tengah-tengah kesunyian itu, Alma menemukan sebuah kotak kecil yang tampak biasa saja, namun cukup mencuri perhatian.

Tanpa ragu, Alma membuka kotak itu dan menemukan beberapa surat lama, yang ditulis dengan tangan yang tak dikenalinya. Surat-surat itu bukan ditujukan padanya, melainkan kepada seseorang yang tampaknya memiliki kedekatan yang lebih dari sekadar seorang teman. Alma membaca satu per satu, dan semakin lama ia membacanya, semakin ia merasa terkejut dan bingung. Surat-surat itu mengungkapkan banyak hal—tentang Raka yang selama ini ia kenal sebagai pria penuh kasih dan perhatian, ternyata memiliki kehidupan gelap yang tak pernah Alma ketahui.

Surat-surat itu menceritakan tentang hubungan yang penuh rahasia antara Raka dan seorang wanita yang bernama **Sarah**, seorang wanita yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Ternyata, Raka telah memiliki hubungan dengan Sarah sebelum Alma kembali, bahkan sebelum ia menikah dengan wanita yang sekarang menjadi istrinya. Hubungan itu ternyata lebih dari sekadar persahabatan, lebih dari sekadar kenangan masa lalu yang terlupakan. Alma membaca lebih lanjut, dan perlahan-lahan, segala kepingan teka-teki mulai tersusun. Raka tidak hanya meninggalkannya untuk wanita lain, tetapi ada banyak rahasia yang disembunyikan oleh pria itu selama ini.

Bingung dan terluka, Alma melangkah mundur, mencoba menenangkan diri. Hatinya terasa hancur, namun ada satu pertanyaan yang tetap mengganggunya. Mengapa Raka menyimpan semua ini? Mengapa dia tidak pernah menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi di antara mereka? Alma merasa semakin terjebak dalam kebingungannya. Di satu sisi, ia merasa marah, merasa bahwa semua ini adalah pengkhianatan yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Namun, di sisi lain, ada rasa kasihan yang perlahan-lahan muncul di hatinya. Raka bukanlah pria yang dia pikirkan. Selama ini, ia hanya melihat sebagian kecil dari cerita hidupnya.

Namun, keinginan Alma untuk membalas dendam semakin menguat. Semua bukti yang ia temukan di ruang kerja Raka seperti bahan bakar yang menambah api amarahnya. Alma tahu bahwa ini adalah kesempatan emas untuk merusak hidup Raka, untuk membuatnya merasakan apa yang ia rasakan selama ini. Namun, ada perasaan lain yang muncul—rasa penyesalan dan ketakutan akan konsekuensi dari tindakan yang akan ia ambil.

Malam itu, Alma duduk di kamar tidurnya, menatap surat-surat yang ia temukan, berpikir tentang langkah berikutnya. Keinginan untuk mengungkapkan semua kebenaran ini kepada Raka semakin kuat. Namun, ia tahu bahwa hal itu tidak akan membawa kelegaan apa pun, hanya akan memperburuk semuanya. Bahkan, mungkin itu akan memutuskan hubungan mereka selamanya, tanpa ada jalan untuk kembali. Alma merasa terjebak di antara rasa ingin membalas dendam dan perasaan yang mulai tumbuh kembali dalam hatinya—perasaan yang ia pikir sudah mati bersama waktu.

Namun, satu hal yang ia sadari adalah bahwa kebenaran ini, apa pun itu, harus terungkap. Raka harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Alma tahu, jika ia ingin benar-benar melepaskan dendamnya, ia harus menggali kebenaran ini sampai ke akar-akarnya. Ini bukan hanya tentang membalas dendam, tetapi tentang memahami mengapa mereka berdua berada dalam situasi ini—mengapa cinta yang mereka miliki dulu berakhir dalam kehancuran.

Bab 5 Pertarungan Hati

Alma berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan pandangan kosong. Sudah dua minggu sejak ia kembali ke dalam kehidupan Raka, dan semakin lama, semakin banyak rasa yang ia coba sembunyikan. Ia telah mulai mendekati pria itu dengan niat balas dendam yang jelas, namun semakin lama ia bertemu dengannya, semakin banyak juga kenangan yang muncul—kenangan indah yang dulu pernah ada di antara mereka. Sepertinya, perasaan itu tidak bisa sepenuhnya dimatikan, meskipun kebencian dan dendam telah lama menutupi segalanya.

“Kenapa aku masih merasakan ini?” Alma bertanya pada bayangannya, seolah cermin itu bisa memberi jawabannya.

Hari itu, Raka mengajaknya untuk makan siang di tempat yang biasa mereka kunjungi saat mereka masih bersama. Tempat itu kini terasa asing bagi Alma. Setiap sudutnya mengingatkan pada kenangan manis yang dulu ia bagikan dengan Raka—tawa, percakapan panjang, dan janji-janji yang terucap dalam hati. Tapi itu semua telah berubah. Cinta yang dulu begitu murni kini telah menjadi racun dalam jiwanya.

Mereka duduk di meja yang sama, dan meskipun pertemuan mereka terasa seperti reuni biasa, Alma bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Raka memandangnya dengan mata penuh pertanyaan, mungkin bertanya-tanya tentang perubahan yang terlihat jelas di diri Alma.

“Alma,” Raka memulai dengan suara lembut. “Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Aku merasa kau menyembunyikan sesuatu dariku.”

Alma tersenyum tipis, mencoba menjaga kedamaian yang rapuh. “Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Raka. Aku hanya kembali untuk menemui teman lama.”

Raka menatapnya dengan tatapan tidak yakin. “Aku tahu kamu lebih dari sekadar teman, Alma. Aku masih bisa merasakan sesuatu yang berbeda tentangmu.” Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau tiba-tiba muncul setelah bertahun-tahun?”

Alma menatap pria yang pernah ia cintai, yang kini menjadi simbol dari luka yang dalam. “Aku hanya ingin tahu bagaimana hidupmu sekarang. Apa yang terjadi padamu setelah semuanya berakhir?” Alma berusaha menjaga wajahnya tetap datar, tapi hatinya terasa seperti terkoyak. Ia bisa melihat perubahan dalam diri Raka—penyesalan yang terpendam, namun tetap ada rasa kebahagiaan yang ia raih. Ada istri dan anak, dunia yang sempurna yang dulu ia impikan bersamanya.

Namun, di dalam hati Alma, kebencian itu belum padam. Setiap kali ia mengingat bagaimana Raka meninggalkannya demi wanita lain, rasa marah itu kembali muncul, seolah-olah ia bisa merasakan setiap detik yang telah ia lewati dalam kesedihan. Namun ada satu hal yang Alma tak bisa pungkiri—seiring berjalannya waktu, perasaan lama itu, yang dahulu pernah ia kubur dalam-dalam, kembali muncul. Cinta itu tak pernah benar-benar hilang.

“Kau tampak bahagia,” Alma berkata, berusaha menekan getaran dalam suaranya. “Tapi aku tahu, kebahagiaan itu tidak akan pernah sempurna. Karena ada bagian dari dirimu yang telah kau tinggalkan. Kau meninggalkanku, Raka. Kau meninggalkanku dengan hati yang hancur.”

Raka terdiam, seolah-olah kata-kata Alma menyentuh bagian terdalam dari hatinya. “Alma, aku—”

“Jangan katakan itu,” potong Alma. “Aku tidak ingin mendengar alasanmu. Tidak ada alasan yang cukup baik untuk apa yang telah kau lakukan padaku.”

Ada keheningan yang mencekam di antara mereka. Alma bisa merasakan perasaan yang bergejolak dalam dirinya—rasa marah, rasa kecewa, namun juga ada rasa yang lebih sulit untuk dijelaskan. Rasa yang telah lama ia kubur. Rasa cinta yang seharusnya tidak ada lagi.

“Apa yang kau inginkan dariku, Alma?” Raka bertanya dengan suara rendah, penuh penyesalan. “Apakah kau hanya ingin melihat aku hancur? Apa yang bisa aku lakukan untuk menebus semuanya?”

Alma menunduk, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di matanya. “Aku tidak tahu, Raka. Aku tidak tahu apa yang aku inginkan lagi. Cinta yang aku miliki untukmu sudah lama mati, tapi ada sesuatu dalam diriku yang masih menginginkanmu. Dan itu yang membuatku bingung. Aku datang untuk membalas dendam, tapi hatiku justru semakin sakit.”

Raka menghela napas berat, seolah-olah menyadari betapa dalam luka yang telah ia tinggalkan. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Alma. Aku tidak tahu apakah aku pantas meminta maaf atau tidak. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak pernah melupakanmu. Aku menyesali apa yang terjadi. Setiap hari, aku menyesali keputusan itu.”

Alma menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit rapuh. Namun ia segera menepis perasaan itu. Tidak ada ruang untuk kelemahan dalam dirinya. “Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, Raka. Aku sudah membuat keputusan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa ini bukan tentang balas dendam lagi. Ini tentang aku, yang akhirnya memutuskan untuk melepaskanmu.”

Suasana di meja makan itu terasa berat. Mereka berdua tahu bahwa apa yang tersisa antara mereka hanya kenangan dan penyesalan. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang telah terjadi. Namun di dalam hati Alma, sebuah pertarungan besar terjadi—antara kebencian yang mendalam dan cinta yang masih membara. Ia tahu, untuk bisa benar-benar bebas, ia harus melepaskan semuanya, meskipun itu berarti mengorbankan perasaan yang masih ada.

Saat Alma berdiri untuk pergi, ia merasa lega, meskipun hatinya masih terasa kosong. Ia tahu, apa pun yang terjadi selanjutnya, ia harus menyelesaikan pertarungan dalam dirinya. Raka mungkin tidak akan pernah bisa menebus semuanya, tetapi Alma harus menemukan cara untuk mencintai dirinya sendiri lebih dari apa pun.

Bab 6 Pengorbanan dan Penyesalan

Alma berdiri di balkon, memandangi langit senja yang mulai berubah menjadi gelap. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah yang basah. Dalam ketenangan itu, pikirannya terus berputar, mengingatkan pada keputusan yang kini harus diambil. Perasaannya bertabrakan—dendam yang telah lama membara di hatinya dan cinta yang sepertinya tidak pernah padam. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tidak tahu harus memilih mana.

Sudah berhari-hari sejak pertemuan terakhirnya dengan Raka. Kejutan yang ditimbulkan oleh pengakuan pria itu semakin menggores luka lama, namun juga membuka tabir kebenaran yang telah lama terkubur. Alma tahu bahwa Raka telah menyesali semuanya. Dia tahu bahwa Raka bukanlah pria yang sama lagi seperti dulu. Dia kini seorang suami, seorang ayah. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk menebus semua luka yang ditinggalkannya? Apakah pengakuan Raka yang tulus bisa menyembuhkan rasa sakit yang telah menumpuk bertahun-tahun?

“Alma…” Suara Raka menginterupsi lamunannya. Alma menoleh, melihat pria itu berdiri di pintu balkon, wajahnya penuh dengan kecemasan. “Kau sudah memutuskan?”

Alma menatapnya dalam diam. Ada tatapan penuh harap di mata Raka, seolah memohon agar ia memberi kesempatan. Namun, di sisi lain, Alma merasa kesal. Sudah terlalu lama ia merindukan jawaban ini, namun jawaban itu datang bukan dalam bentuk yang ia harapkan. Raka mengaku bahwa ia meninggalkannya bukan karena ia tidak mencintainya, tapi karena keadaan yang memaksanya untuk memilih antara dua dunia. Ternyata, ia terjebak dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan, dan sekarang, kehidupannya terasa hampa.

“Kenapa sekarang, Raka?” Alma berkata dengan suara serak, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. “Kenapa kau baru datang sekarang? Setelah semua yang kau lakukan? Setelah menghancurkan hatiku, mengabaikan cintaku, baru sekarang kau datang dengan penyesalanmu?”

Raka mendekat, mencoba untuk menyentuh tangannya, namun Alma menariknya dengan cepat. “Tidak!” Alma melanjutkan, suaranya semakin keras, “Aku tidak bisa menerima penyesalanmu begitu saja! Kau pikir aku bisa lupa semua yang kau lakukan? Kau pikir aku bisa menerima pengkhianatanmu hanya dengan kata-kata?”

Raka menghela napas berat, langkahnya terhenti. Wajahnya semakin suram, namun ia tetap berdiri dengan penuh pengertian. “Aku tahu aku telah salah, Alma. Aku tahu aku tidak pantas untukmu. Tapi percayalah, aku tidak pernah berhenti mencintaimu, meskipun aku telah melukai hatimu. Jika ada cara untuk menghapus semua kesalahan itu, aku akan melakukannya.”

Alma menunduk, matanya basah. Ia merasa hatinya hancur, tapi pada saat yang sama, ada rasa sakit yang lebih dalam—sakit karena ia masih mencintai pria ini. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa hatinya yang terluka ini masih bisa merindukan pelukan Raka, merindukan cinta yang dulu begitu tulus?

“Raka…” Alma mulai bicara pelan, “Kenapa kau memilih untuk mengubur semuanya? Kenapa kau tidak berjuang untuk cinta kita saat itu? Kenapa kau memilih jalan yang lebih mudah, menyakiti aku dan pergi dengan alasan yang tidak jelas?”

Raka menunduk, tampak terpukul. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Aku terjebak dalam kewajiban yang tidak bisa aku hindari. Aku tidak tahu bagaimana cara memilih antara cintaku padamu dan kewajiban yang menuntutku untuk menikahi wanita lain. Aku membuat pilihan yang salah, Alma, dan aku menyesali semuanya. Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa mengubah masa lalu. Aku hanya bisa berharap ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”

Alma menatapnya dengan campuran rasa kesal dan empati. Ia merasa hati kecilnya ingin memaafkan, namun dendam yang selama ini ia pelihara terlalu kuat untuk dilepaskan begitu saja. Terkadang, ia merasa dendam adalah satu-satunya cara untuk bertahan, satu-satunya cara untuk melindungi dirinya dari lebih banyak rasa sakit. Tapi saat melihat penyesalan yang tulus di mata Raka, ia merasa hancur. Apa yang seharusnya ia lakukan dengan perasaan ini?

“Jadi, apa yang kau ingin aku lakukan, Raka?” Alma bertanya dengan suara pelan, “Apa yang kau harapkan dariku sekarang? Setelah semua yang terjadi, setelah semuanya hancur. Apakah penyesalanmu cukup untuk membalikkan waktu? Apakah itu cukup untuk membuatku melupakan segala luka yang kau tinggalkan?”

Raka terdiam. Wajahnya penuh penyesalan, namun juga harapan. Alma bisa melihat betapa berat beban yang ia bawa. Namun, seberat apapun itu, Alma tahu satu hal: ia juga memiliki pilihan. Dendam yang selama ini ia pelihara, meskipun terasa seperti kebal, akhirnya mulai memudar. Alma merasa ada sesuatu yang harus ia lepaskan agar bisa melangkah maju.

“Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, Raka. Tapi aku bisa memutuskan bagaimana aku melanjutkan hidupku,” Alma berkata, suaranya sekarang lebih lembut. “Aku tidak akan mengubur hatiku dalam dendam. Mungkin aku tidak bisa memaafkanmu sekarang, tapi aku bisa belajar untuk melepaskan.”

Raka mendekat dan meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Alma, aku tahu ini tidak akan mudah, dan aku tidak akan memaksamu untuk melupakan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku sangat menyesal. Aku akan menunggu, jika itu yang dibutuhkan.”

Alma menarik tangannya perlahan, masih ada jarak di antara mereka. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, Raka. Tetapi aku tidak akan lagi membiarkan diriku terjebak dalam masa lalu. Aku harus melangkah maju, bahkan jika itu berarti kita tidak lagi bersama.”

Raka hanya mengangguk, menerima kenyataan itu. Meskipun hatinya hancur, ia tahu bahwa Alma telah membuat keputusan yang tepat untuk dirinya sendiri.

Alma menatap langit malam, merasakan beban yang mulai terangkat dari pundaknya. Ia tahu, perjalanan ini belum selesai, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak akan lagi membiarkan dendam mendefinisikan dirinya.

Kini, saatnya untuk membebaskan dirinya dari masa lalu dan menemukan kedamaian.

Bab 7 Cinta yang Akhirnya Ditemukan

Alma berdiri di tepi pantai, matahari terbenam memancarkan cahaya jingga yang meredupkan segala sesuatu di sekitarnya. Angin laut yang sejuk menyapa kulitnya, membawa aroma asin yang mengingatkannya pada kenangan-kenangan lama—kenangan tentang cinta yang pernah ia beri pada Raka. Tapi kali ini, perasaan itu berbeda. Semua yang dulu terasa begitu mengikat kini terasa seperti bayangan yang perlahan memudar.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mencerna segala perasaan yang ada. Setelah berbulan-bulan berusaha membalas dendam, setelah melalui lika-liku kebencian dan amarah yang menguasai setiap langkahnya, ia akhirnya tiba di titik ini. Titik di mana ia harus memilih antara terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu atau melangkah maju tanpa beban.

Raka. Nama itu masih menggema dalam pikirannya, masih berputar-putar seperti musik yang tak kunjung berhenti. Alma mengingat kembali pertemuan mereka beberapa hari lalu, ketika ia memutuskan untuk menghadapi Raka dengan niat asli yang telah lama ia simpan. Kata-katanya tajam dan penuh kepahitan, namun ketika ia melihat mata Raka, ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam di balik tatapan itu. Ada penyesalan. Ada kesedihan yang tak terucapkan.

“Kenapa kamu kembali?” Raka bertanya dengan suara serak, seolah-olah bibirnya enggan untuk mengucapkan kalimat itu. Alma hanya menatapnya, mencoba mengendalikan dirinya. Saat itu, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dendam. Ada kekosongan yang begitu mendalam dalam hatinya.

“Untuk apa? Membalas semua yang pernah kau lakukan padaku?” Alma menjawab dengan tawa yang terdengar pahit. “Tidak, aku bukan datang untuk itu. Aku datang untuk melihat apakah rasa sakit ini masih bisa menguasai hidupku atau aku bisa melepaskannya.”

Raka terdiam, wajahnya pucat. Alma bisa melihat betapa dalamnya penyesalan yang ada di sana. Namun, di sisi lain, ia juga melihat kenyataan bahwa mereka berdua sudah terlalu jauh terpisah oleh waktu dan perasaan yang telah berubah.

Lama ia terdiam, memikirkan kembali semua yang telah terjadi. Alma menyadari sesuatu yang mengejutkan—bahwa selama ini, ia telah hidup dengan kebencian yang menghancurkan dirinya sendiri. Dendam yang ia bawa selama ini tidak mengubah apapun, selain membebani dirinya dengan rasa marah yang tak ada habisnya.

Tapi saat itu, di depan Raka, Alma merasa ada kekuatan yang tak bisa ia jelaskan. Sebuah kekuatan untuk melepaskan semua perasaan yang menyesakkan dadanya. Ia tidak ingin lagi terjebak dalam masa lalu, dalam rasa sakit yang terus menghantuinya. Tidak ada lagi ruang untuk kebencian dalam hidupnya. Cinta yang dulu ada, meski telah hancur, harus ia lepaskan untuk menemukan kedamaian.

Ia berjalan menjauh dari Raka, setiap langkahnya terasa lebih ringan daripada sebelumnya. Alma tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi ia tahu satu hal: ia harus melanjutkan hidupnya. Tanpa Raka. Tanpa dendam. Tanpa masa lalu yang menghantui.

Di malam yang sama, setelah meninggalkan Raka dan kota yang penuh kenangan itu, Alma memutuskan untuk kembali ke tempat yang selalu memberinya kedamaian—rumah lamanya di desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota. Di sana, jauh dari segala kebisingan dunia, ia bisa kembali menemukan dirinya yang hilang.

Beberapa minggu berlalu, dan Alma merasakan perubahan dalam dirinya. Ia mulai sibuk dengan kegiatan yang selama ini ia lupakan. Menulis, melukis, dan berjalan-jalan di sekitar desa. Semua hal kecil yang dulu ia nikmati, kini kembali mengisi hidupnya dengan warna yang lebih cerah. Tanpa sadar, ia mulai tersenyum lagi—senyum yang tulus dan bebas dari amarah.

Suatu pagi, saat ia sedang duduk di bawah pohon besar di taman desa, seorang lelaki muda menghampirinya. Wajahnya familiar, namun Alma tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Lelaki itu duduk di sampingnya dan tersenyum ramah.

“Alma, sudah lama tidak bertemu,” katanya.

Alma menatapnya sebentar sebelum akhirnya mengenali sosok itu. **Ari**, teman masa kecilnya yang dulu selalu ada di sampingnya. Dia adalah orang yang selalu mendukung Alma ketika ia merasa rapuh, meski mereka sudah lama terpisah. Ari ternyata telah kembali ke desa setelah bertahun-tahun tinggal di luar negeri.

“Alma, kau terlihat berbeda,” kata Ari, memecah keheningan.

Alma tersenyum tipis, mencoba menjelaskan tanpa perlu berkata banyak. “Aku sedang mencari jalan untuk melanjutkan hidupku, Ari. Tanpa melibatkan masa lalu. Tanpa kebencian. Tanpa rasa sakit.”

Ari mengangguk, seolah memahami apa yang Alma rasakan. Mereka duduk bersama, berbicara tentang banyak hal—tentang hidup, tentang mimpi, tentang harapan. Tanpa sadar, Alma merasa ada secercah cahaya baru dalam dirinya. Cinta yang selama ini ia cari bukanlah tentang membalas dendam atau menyakiti orang lain. Cinta yang sejati adalah tentang memaafkan, tentang menerima segala hal yang terjadi dan melangkah maju.

Sejak saat itu, Alma tidak lagi merasa terikat pada masa lalu. Ia menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri, dalam perjalanan yang ia pilih untuk dilalui. Cinta, yang dahulu penuh dengan kebencian dan balas dendam, kini berubah menjadi kebebasan. Sebuah kebebasan yang datang dari memaafkan diri sendiri dan orang lain.

Alma tahu, meskipun Raka mungkin akan selalu menjadi bagian dari masa lalunya, ia tidak akan lagi membiarkan orang itu menguasai hidupnya. Ia menemukan cinta yang sebenarnya—bukan dalam bentuk balas dendam, tetapi dalam bentuk kedamaian yang datang dari hati yang ikhlas.

Dan di bawah langit biru yang luas, Alma akhirnya menemukan kedamaian yang selama ini ia cari. Cinta yang akhirnya ditemukan, bukan di dalam dendam, tetapi di dalam pengampunan dan pembebasan hati.

 

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #CintaYangKembali #LukaDanPerubahan #PerjuanganHati #CintaSejati #MelupakanMasaLalu
Previous Post

Ketika Adik Ipar Menjadi Godaan

Next Post

CINTA PERTAMA YANG MENGUBAH SEGALANYA

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
CINTA PERTAMA YANG MENGUBAH SEGALANYA

CINTA PERTAMA YANG MENGUBAH SEGALANYA

PENGORBANAN CINTA

PENGORBANAN CINTA

SETIA SAMPAI LUPA DIRI

SETIA SAMPAI LUPA DIRI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id