Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

DENDAM YANG KU PERAM

DENDAM YANG KU PERAM

SAME KADE by SAME KADE
April 1, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 20 mins read
DENDAM YANG KU PERAM

Daftar Isi

  • Bab 1 Awal yang Manis
  • Bab 2 Pengkhianatan yang Terungkap
  • Bab 3 Luka yang Mengubur Cinta
  • Bab 4 Persiapan Dendam Cinta
  • Bab 5 Dendam yang Memuncak
  • Bab 6 Kehampaan dalam Balas Dendam
  • Bab 7 Pengampunan yang Tak Terduga

Bab 1 Awal yang Manis

Rania menatap layar ponselnya dengan senyum lembut, menyaksikan setiap pesan dari Rafael yang masuk satu per satu. Pagi itu, seperti biasa, dia disambut oleh kata-kata manis dari pria yang telah mengisi sebagian besar hidupnya selama dua tahun terakhir. “Selamat pagi, cinta. Semoga harimu seindah senyummu,” tulis Rafael, disertai dengan sebuah emotikon wajah tersenyum.

Rania menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak kebahagiaan yang datang begitu saja. Senyuman Rafael yang menawan selalu berhasil membuat hatinya berdebar. Bagi Rania, Rafael adalah pria sempurna. Dengan tubuh tinggi semampai, wajah tampan dengan mata cokelat yang dalam, dan sikap yang selalu membuat orang merasa nyaman di sekitarnya, ia adalah sosok yang sulit untuk diabaikan.

Selama hampir dua tahun hubungan mereka berjalan, Rania merasa berada dalam dunia yang berbeda. Dunia yang penuh dengan kebahagiaan dan rasa aman yang luar biasa. Rafael selalu tahu cara membuatnya tertawa, cara meredakan kecemasan, dan selalu hadir saat ia merasa sendiri. Tidak ada yang lebih ia inginkan selain memiliki Rafael di sampingnya, menjalani hari-hari penuh kebahagiaan bersama. Namun, terkadang, ada hal-hal kecil yang tak bisa ia ungkapkan—perasaan ragu yang datang begitu saja, yang kadang membuat hatinya gelisah.

“Ada apa denganmu, Rania?” ia sering bertanya pada dirinya sendiri saat merasa ada sesuatu yang mengganjal. Namun, selalu saja ada alasan untuk menepisnya, untuk meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja.

Hari itu, Rafael mengajak Rania untuk makan siang bersama di sebuah restoran yang mereka sukai. Tempat yang penuh kenangan indah, di mana mereka pertama kali bertemu, pertama kali mengucapkan kata cinta. Rania sudah merasa antusias sejak pagi, memilih gaun biru yang sederhana namun elegan. Rambutnya yang hitam berkilau ia rapikan dengan sedikit gelombang di ujungnya. Ia ingin tampak sempurna, meski ia tahu, Rafael selalu menerima dirinya apa adanya.

Di restoran itu, suasana terasa hangat meskipun matahari tengah terik. Mereka duduk di meja yang biasa mereka pilih, di dekat jendela besar yang menghadap ke taman. Rania memandangi Rafael yang sedang memesan makanan dengan wajah ceria, tanpa menyadari bahwa dalam diam, hatinya mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan kecil yang tak terjawab.

“Apa yang kamu pikirkan?” Rafael tiba-tiba bertanya, matanya menatapnya dengan penuh perhatian.

Rania tersentak. Ia tersenyum, berusaha menutupi kegelisahan yang semakin besar di dalam dadanya. “Aku hanya… berpikir tentang bagaimana bahagianya kita bisa ada di sini,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela, memandangi pepohonan yang bergoyang tertiup angin.

“Jangan terlalu banyak berpikir, sayang. Nikmati saja momen ini.” Rafael meraih tangan Rania dan menggenggamnya erat, seolah ingin memberi kepastian bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tangan hangatnya seolah memberi rasa aman yang sejenak menghilangkan kegelisahan yang terus mengganggu pikiran Rania.

Namun, meski dia berusaha untuk melepaskan segala kekhawatiran, rasa tidak nyaman itu semakin menguat. Ada hal-hal kecil yang selalu membuatnya merasa ada jarak yang tidak bisa ia ukur, meskipun mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama. Terkadang, Rafael terlihat jauh, seperti tidak sepenuhnya hadir meskipun fisiknya ada di depan mata.

Mereka berbicara dengan akrab tentang banyak hal—pekerjaan, rencana liburan, dan impian masa depan. Namun, dalam setiap kata yang terucap, Rania merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Tidak ada yang salah, namun ada yang tidak beres. Mungkin itu hanya perasaan berlebihan, pikirnya. Mungkin itu hanya ketakutannya sendiri yang mencoba merusak kebahagiaan yang telah mereka bangun bersama.

Setelah makan siang, Rafael mengajaknya untuk berjalan-jalan di taman dekat restoran. Suasana sore itu begitu indah, matahari yang mulai merunduk memberi nuansa romantis pada langit biru. Rania merasa tenang, meskipun hatinya masih terasa sedikit gelisah. Mereka berjalan berdampingan, bercakap-cakap tentang masa depan, tentang bagaimana mereka ingin membangun hidup bersama. Semua terasa sempurna, namun entah mengapa, ada suara kecil dalam hatinya yang terus berbisik, “Jangan terlalu berharap.”

Rania menatap wajah Rafael, pria yang ia anggap sebagai cinta sejatinya, dan bertanya-tanya dalam hati, apakah dia bisa sepenuhnya mempercayai apa yang ia lihat dan rasakan. Namun, pada akhirnya, ia mengusir perasaan itu jauh-jauh. Tidak ada alasan untuk ragu. Tidak ada alasan untuk tidak bahagia.

Sore itu, setelah berjalan di taman, mereka duduk di sebuah bangku dekat danau. Suasana begitu damai, angin sepoi-sepoi berhembus lembut, dan suara dedaunan yang bergoyang menambah ketenangan suasana. Rafael menatap Rania dengan penuh perhatian, dan Rania merasakan matanya yang dalam menatapnya seperti biasa.

“Rania,” kata Rafael dengan lembut, “Aku ingin kita terus seperti ini, berjalan bersama-sama, selamanya.”

Rania merasa hatinya meleleh mendengar kata-kata itu. Semua rasa ragu yang sempat ia rasakan seolah menghilang begitu saja. Ia menggenggam tangan Rafael dengan erat dan tersenyum, meski di sudut hati yang paling dalam, perasaan yang tak terjelaskan tetap ada. Perasaan bahwa semuanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan.

Namun, saat itu, Rania memutuskan untuk tidak berpikir lebih jauh. Dia memilih untuk menikmati kebahagiaan ini, meski di dalam dirinya, ada sedikit suara yang mengatakan bahwa kebahagiaan ini mungkin tidak bertahan lama. Tapi untuk saat ini, dia akan tetap percaya, bahwa semua yang ia rasakan bersama Rafael adalah cinta yang tak tergantikan. Semua terasa sempurna, seperti cinta yang tak akan pernah berakhir.

Namun, tak ada yang tahu bahwa kebahagiaan itu akan segera berakhir, dan cerita mereka baru saja dimulai.

Bab 2 Pengkhianatan yang Terungkap

Rania duduk di bangku taman yang sunyi, matanya menatap kosong pada daun-daun yang berjatuhan. Setiap helai daun yang terbang membawa ingatannya pada perasaan bahagia yang dulu ia rasakan bersama Rafael. Tidak ada yang menyangka hubungan mereka yang tampaknya sempurna akan berakhir dengan kehancuran. Setiap detik yang berlalu, perasaan sakit dan kecewa semakin menguasai dirinya.

Hari itu, dia mendapat telepon yang tidak terduga. Suara di ujung sana terdengar berat, penuh dengan kebingungan dan penyesalan. Teman dekat Rania, *Mira*, yang dengan penuh keraguan memberitahunya bahwa dia telah melihat sesuatu yang mengubah segalanya. Rania merasa tak percaya, seolah dunia seketika berhenti berputar.

“Mira, apa maksudmu?” suara Rania bergetar, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

“Aku… aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, Rania. Tapi, aku melihat Rafael bersama Nadia, mereka…” Mira terdiam sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Aku melihat mereka berpelukan, lebih dari sekadar teman, Rania. Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi aku merasa kamu berhak tahu.”

Hati Rania berdegup kencang. Nadia. Sahabat terdekatnya. Tidak mungkin. Bukankah mereka sudah cukup lama bersama, berbagi tawa dan air mata? Rania tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Rafael, pria yang ia cintai dengan sepenuh hati, telah mengkhianatinya dengan Nadia, wanita yang selalu ada di sampingnya. Betapa bodohnya dirinya selama ini.

Dengan perasaan yang semakin hancur, Rania memutuskan untuk menemui mereka. Tidak ada penjelasan yang cukup bisa menenangkan kegelisahannya. Pikirannya penuh dengan bayangan-bayangan buruk yang seakan menghantuinya. Apakah benar apa yang telah diceritakan Mira? Apakah Rafael dan Nadia benar-benar telah melakukan hal yang tak termaafkan?

Rania pergi menuju rumah Rafael, langkahnya berat, setiap langkah terasa seperti beban yang tak tertahankan. Ia mencoba menenangkan dirinya, namun ketegangan yang ada tidak bisa ia abaikan. Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk dengan suara keras, membuat hati Rafael yang ada di dalam terasa berdebar.

Rafael membuka pintu dengan senyum yang biasa ia tunjukkan, tetapi kali ini, senyumnya terasa begitu palsu. “Rania, ada apa?” tanya Rafael dengan suara datar, tampak terkejut melihat Rania berdiri di depannya.

“Ada apa, Rafael?” suara Rania serak, penuh emosi yang tertahan. “Apa ini yang kau sembunyikan dariku? Apa yang terjadi dengan Nadia?”

Rafael terdiam, wajahnya berubah pucat. Rania bisa melihat ketegangan di wajahnya, tetapi dia tidak memberi kesempatan untuk Rafael berbicara. “Aku tahu semuanya. Aku sudah mendengar tentang kamu dan Nadia,” kata Rania dengan suara yang menggema di ruang yang sunyi. “Aku tidak percaya ini bisa terjadi. Mengapa, Rafael? Mengapa kamu melakukan ini padaku?”

Rafael terdiam lebih lama, seakan kesulitan untuk mencari kata-kata yang tepat. Akhirnya, dia membuka mulut, namun kata-katanya seperti pisau tajam yang menambah luka di hati Rania. “Rania, aku… aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Itu hanya… terjadi.”

“Jadi, kamu tidak menyesal?” tanya Rania, suaranya semakin naik, penuh kemarahan. “Apa kamu pikir aku akan bisa menerima itu begitu saja? Kau sudah mengkhianatiku dengan sahabat terbaikku, Rafael! Nadia adalah sahabatku! Sahabat yang aku percayai, yang selalu ada untukku. Dan kau… kau melakukan ini di belakangku, tanpa rasa bersalah.”

Rafael menghela napas panjang, namun tetap tidak dapat menjelaskan apa-apa yang bisa meredakan amarah Rania. “Aku memang salah. Aku minta maaf. Tapi, aku… aku tidak tahu bagaimana semuanya bisa seperti ini.”

Rania merasa sakit yang luar biasa. Kata-kata Rafael tidak bisa menghapus perasaan sakit dan pengkhianatan yang ada dalam hatinya. Tiba-tiba, perasaan kecewa itu berubah menjadi amarah yang membara. “Kamu minta maaf? Setelah semua ini? Apakah kamu pikir kata maafmu bisa menghapus semua yang telah terjadi?” Rania hampir menangis, tetapi ia menahan air matanya. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya lagi, meskipun hatinya hancur berkeping-keping.

Rania berbalik dan berjalan pergi dengan langkah yang cepat, meskipun seluruh tubuhnya gemetar. Di dalam hati, dia berjanji bahwa ini bukanlah akhir. Pengkhianatan ini akan ada balasannya, dan dia tidak akan membiarkan Rafael dan Nadia begitu saja pergi tanpa merasakan akibat dari perbuatan mereka. **Dendam yang ku peram** baru saja dimulai.

Malam itu, Rania merenung panjang di kamar tidurnya. Setiap kata yang keluar dari mulut Rafael terus terngiang di telinganya. “Aku tidak tahu bagaimana semuanya bisa seperti ini.” Itu adalah kalimat yang paling menyakitkan. Bukan hanya karena pengkhianatan yang terjadi, tetapi juga karena ketidakpedulian yang ditunjukkan Rafael. Seolah-olah, semuanya bisa diselesaikan dengan kata maaf. Tetapi Rania tahu bahwa luka di hatinya terlalu dalam untuk bisa sembuh begitu saja.

Setelah malam yang penuh air mata dan kegelisahan, Rania akhirnya memutuskan satu hal: tidak ada yang akan bisa menghapus rasa sakit ini kecuali dirinya sendiri. Dan dia tahu, untuk itu, dia harus membuat mereka merasakan apa yang dia rasakan. Dendam yang telah dia peram selama ini mulai berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, dan lebih menuntut.

Bab 3 Luka yang Mengubur Cinta

Hari-hari berlalu dengan perasaan yang semakin dalam menghimpit hati Rania. Setiap detik yang dia jalani tanpa Rafael terasa seperti menjalani hari yang penuh kekosongan. Cinta yang dulu ada di dalam hatinya kini berubah menjadi debu, dihancurkan oleh pengkhianatan yang tak termaafkan. Namun, di balik kehancuran itu, muncul sebuah keputusan yang jauh lebih keras: untuk tidak membiarkan pengkhianatan itu berlalu begitu saja tanpa ada balasan yang setimpal.

Rania duduk di kamar tidurnya, memandang ke luar jendela yang menghadap ke taman belakang rumah. Angin sore yang sejuk seolah membelai wajahnya, tapi hatinya terasa kering, seperti gurun yang tak lagi bisa menyerap air. Dia ingat saat pertama kali bertemu dengan Rafael—senyuman manisnya, tatapan penuh perhatian yang selalu mengisi setiap obrolan mereka, dan janji-janji yang terdengar begitu tulus. Namun kini, semuanya terasa seperti kenangan palsu yang sengaja diciptakan untuk menutup mata hati Rania, membutakan dia terhadap kenyataan yang lebih pahit.

Hatinya terluka, namun Rania tahu, dia tidak boleh membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung. Rasa sakit itu, meski begitu dalam dan menyakitkan, perlahan-lahan mulai berubah menjadi amarah. Amarah yang membara, yang membakar setiap bagian tubuhnya, menggerakkan tubuhnya untuk melangkah keluar dari bayang-bayang pengkhianatan. Dia tahu dia tidak bisa tinggal diam, melupakan segalanya dan melanjutkan hidup. Tidak, dia tidak akan menjadi korban dalam cerita ini. Rania akan mengatur permainan ini dengan caranya sendiri.

Di dalam hatinya, Rania merencanakan sesuatu. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar perasaan terluka. Dia harus membuktikan bahwa pengkhianatan seperti itu tidak akan pernah dibiarkan tanpa konsekuensi. Tidak hanya bagi Rafael, tapi juga untuk Nadia—sahabat yang selama ini selalu dianggapnya sebagai teman terbaik. Mereka berdua, yang dulu begitu dekat dalam kehidupannya, kini adalah musuh yang harus dihancurkan. Semua rasa kasih dan sayang yang pernah ada berubah menjadi kerak api yang membara, siap untuk membakar siapa pun yang mencoba mendekat.

Namun, meskipun Rania merasa dikuasai oleh kemarahan, ada saat-saat ketika keraguan datang menghantui. Apakah dia benar-benar ingin melakukan ini? Apakah dendam ini akan membuatnya merasa lebih baik, atau justru akan menghancurkan dirinya lebih dalam? Rania tidak tahu jawaban pasti, namun satu hal yang dia yakini: dia tidak bisa membiarkan pengkhianatan itu begitu saja terlupakan. Setiap malam, dia terjaga memikirkan apa yang harus dia lakukan. Bagaimana cara membalaskan semua rasa sakit yang telah diciptakan oleh dua orang yang pernah begitu dekat dengannya?

Rania memutuskan untuk menggunakan dunia mereka, dunia yang telah lama ia abaikan, untuk memulai rencananya. Rafael dan Nadia hidup di dunia yang penuh dengan keangkuhan dan kekuasaan, dunia yang dipenuhi dengan hubungan sosial yang saling terkait, dan Rania tahu di mana ia bisa memulai. Dunia bisnis. Rafael, dengan segala kecerdasannya, telah mendirikan perusahaan yang cukup sukses. Nadia, sahabat yang dulu begitu dekat dengannya, kini menjadi salah satu orang yang terlibat erat dalam perusahaan itu.

Rania mulai mengamati setiap gerakan mereka, mempelajari cara mereka berinteraksi dengan orang-orang di sekitar mereka. Dia tahu betul bahwa di balik senyum dan tatapan manis, ada sesuatu yang lebih dalam yang bisa digunakan untuk menjatuhkan mereka. Dia tidak akan menyerah begitu saja. Setiap langkah yang ia ambil dipikirkan matang-matang, setiap kata yang ia ucapkan penuh dengan perhitungan.

Namun, di balik semua itu, ada perasaan yang terus menggerogoti. Ketika Rania bertemu dengan orang-orang yang dulu bersama Rafael, dia merasakan betapa dalam luka itu. Beberapa kali dia hampir tidak dapat menahan air mata yang ingin keluar, namun dia menahannya. Tidak, dia tidak akan menunjukkan kelemahan. Tidak ada yang perlu tahu betapa sakitnya hatinya. Dendam ini harus lebih kuat dari sekadar perasaan emosional.

Setiap malam, Rania mengingat kembali pengkhianatan itu. Ketika dia menemukan pesan-pesan mesra antara Rafael dan Nadia, hatinya seperti disayat. Bagaimana mungkin mereka bisa melakukan itu padanya? Bukankah dia sudah memberikan segalanya untuk hubungan ini? Bukankah dia sudah memberikan kepercayaannya yang paling dalam? Namun, mereka tidak menghargainya. Mereka memilih untuk menghancurkan hatinya tanpa ampun.

Dendam ini mulai meresap lebih dalam, menggantikan semua rasa cinta yang dulu ada. Rania tahu, untuk mengembalikan harga dirinya, dia harus membuat mereka merasakan apa yang dia rasakan. Tidak hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Setiap detik yang berlalu, rencana itu semakin matang. Rania semakin dekat dengan tujuannya—untuk melihat Rafael dan Nadia jatuh satu per satu.

Namun, meskipun dia berusaha keras meyakinkan dirinya bahwa ini adalah jalan yang benar, ada suara di dalam hatinya yang terus berbisik: “Apakah ini yang benar-benar kau inginkan? Apakah balas dendam ini akan membuatmu merasa lebih baik?” Tapi Rania menepis suara itu. Dia sudah terlalu jauh untuk mundur. Setiap langkahnya membawa dia lebih dekat pada pembalasan yang sudah lama ia rencanakan. Dendam yang terpendam ini takkan dibiarkan sia-sia.

Di luar sana, dunia terus berputar, sementara Rania melangkah lebih jauh ke dalam perangkap dendam yang ia buat sendiri. Meskipun begitu, dia masih tidak tahu apakah setelah semua ini berakhir, dia akan merasa puas atau justru semakin hampa. Yang jelas, dia tidak akan membiarkan mereka lepas begitu saja. Tidak, kali ini Rania yang akan menang.

Bab 4 Persiapan Dendam Cinta

Rania berdiri di balkon apartemennya, memandang ke luar jendela yang menghadap ke jalan raya yang sibuk. Kota ini seakan tidak pernah tidur, selalu penuh dengan aktivitas yang tak pernah berhenti, sama seperti pikirannya yang tak pernah menemukan kedamaian sejak pengkhianatan itu terungkap. Meski dunia di luar tampak begitu hidup, hatinya tetap terkurung dalam kegelapan yang dalam, berputar-putar dalam kebencian yang semakin membara.

Sejak pertama kali mengetahui pengkhianatan Rafael, Rania merasa dirinya terhukum tanpa belas kasihan. Cinta yang ia berikan dengan sepenuh hati dibalas dengan kepalsuan dan pengkhianatan yang mematahkannya. Namun, kini, setelah berbulan-bulan merasakan luka yang terus menggerogoti jiwa, Rania tahu bahwa waktunya untuk membalas telah tiba. Dia tidak akan lagi menjadi korban. Dia akan menjadi penguasa dari takdirnya sendiri.

Hari-hari pertama setelah perpisahan itu, Rania hanya terkurung dalam kesedihan. Tangisan tanpa ujung, keputusasaan yang tak terucapkan, membuatnya hampir lupa siapa dirinya. Namun, seiring berjalannya waktu, amarah mulai menggantikan rasa sakitnya. Dalam dirinya tumbuh sebuah api yang tak bisa padam, yang menginginkan balas dendam atas apa yang telah dilakukan Rafael dan Nadia—dua orang yang dulu ia percayai sebagai bagian dari hidupnya.

Rania memulai perjalanannya dengan penuh perhitungan. Segala sesuatu harus dilakukan dengan hati-hati. Setiap langkah yang diambilnya harus sempurna, tanpa celah yang bisa dimanfaatkan oleh siapa pun untuk menggagalkannya. Pertama, dia harus memantapkan dirinya. Dia tidak bisa lagi menjadi Rania yang dulu—Rania yang lembut, yang penuh cinta, yang mudah tergores oleh kata-kata manis. Kini, dia harus menjadi seseorang yang bisa mengendalikan setiap situasi dan meraih tujuannya.

Ia memutuskan untuk masuk ke dunia bisnis tempat Rafael dan Nadia bekerja. Dunia yang penuh intrik dan rahasia ini adalah tempat di mana ia bisa menguasai permainan dan mengatur takdir mereka. Rania tahu betul bahwa Rafael adalah sosok ambisius yang tidak pernah lepas dari dunia pekerjaan dan kesuksesan. Sementara itu, Nadia, meskipun lebih rendah pangkatnya, selalu ada di sisi Rafael, mendampinginya dengan kepercayaan diri yang tinggi. Namun, apa yang mereka tidak tahu adalah bahwa Rania kini menjadi ancaman terbesar bagi mereka, meski mereka tidak pernah melihatnya datang.

Langkah pertama adalah memulai hubungan dengan orang-orang yang memiliki pengaruh di perusahaan tempat Rafael dan Nadia bekerja. Rania mengunjungi pertemuan-pertemuan bisnis yang diadakan di kota, menyapa orang-orang penting, dan mulai memperkenalkan dirinya sebagai sosok yang menarik dan cerdas. Tanpa mereka sadari, ia mulai menenun jejaring yang akan menjadi alat untuk menghancurkan mereka. Setiap percakapan yang terjadi, setiap kerjasama yang ia bangun, semua bertujuan untuk satu hal: membuat mereka jatuh, lebih dalam dari sebelumnya.

Dia tahu betul bagaimana dunia ini bekerja. Setiap orang punya rahasia, dan Rania adalah ahli dalam mencari tahu apa yang tersembunyi. Dalam pertemuan-pertemuan bisnis itu, dia mulai mendekati orang-orang yang bekerja di bawah Rafael, mendengarkan cerita mereka, mencari tahu siapa yang bisa dimanfaatkan. Dia tahu bahwa kekuatan tidak hanya datang dari uang dan jabatan, tetapi juga dari informasi—dan dia akan menjadi sumber informasi yang tidak terduga.

Namun, di tengah semua perencanaan itu, ada bagian dari dirinya yang merasa terjebak. Rania mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Kepribadiannya yang dulu penuh dengan kelembutan dan kasih sayang, kini berganti menjadi sosok yang dingin dan penuh perhitungan. Setiap langkahnya dilakukan tanpa emosi, tanpa belas kasihan. Dia telah kehilangan bagian dari dirinya yang dulu ia banggakan. Di balik setiap senyuman yang ia tunjukkan, ada perasaan kosong yang semakin menguat.

Kekuatan yang ia cari bukanlah untuk membuat hidup lebih baik, melainkan untuk menghancurkan segalanya yang dulu ia cintai. Setiap malam, dia memikirkan cara-cara yang lebih licik dan lebih cerdas untuk menggulingkan keduanya. Setiap hari, dia menilai situasi dengan cermat, menganalisis gerak-gerik mereka, dan mencari celah untuk menyerang. Dalam dirinya, rasa sakit yang dulu ia rasakan kini berubah menjadi amarah yang tak terbendung.

Namun, di balik setiap perencanaan, Rania masih merasa ada yang hilang. Ketika dia melihat senyum dan tawa orang-orang di sekitarnya, dia merasa seolah-olah dia hanyalah sebuah bayangan yang bersembunyi di balik topeng kebahagiaan. Ada saat-saat di mana dia merindukan dirinya yang dulu, saat dia masih bisa mencintai tanpa rasa takut, saat hatinya tidak dipenuhi dengan kebencian yang menggerogoti setiap sudut pikirannya.

Rania berjuang untuk menemukan kembali dirinya, namun dia tahu bahwa langkahnya sudah terlanjur jauh. Tidak ada jalan kembali. Begitu banyak yang sudah dia lakukan untuk mencapai titik ini. Dendam yang selama ini ia peram akhirnya mulai membentuk dirinya menjadi sosok yang jauh berbeda dari siapa dirinya yang dulu.

Sementara Rafael dan Nadia masih hidup dalam ketidakpastian, Rania menyusun rencana terakhirnya. Dia tahu waktunya akan tiba, dan ketika saat itu datang, dia akan membuat mereka merasakan apa yang telah ia rasakan—rasa sakit yang tak terucapkan, kebencian yang berakar dalam, dan penyesalan yang terlambat. Semua yang telah dia rencanakan akan terungkap, dan dunia mereka akan hancur hanya dengan satu langkah yang dia ambil.

Rania tahu bahwa tak ada yang akan bisa menghentikannya sekarang. Dendam ini sudah menjadi bagian dari dirinya. Dan dia siap untuk menuntut balas, apapun yang terjadi.

Bab 5 Dendam yang Memuncak

Dendam Rania telah lama berkembang dalam sunyi, tertanam dalam setiap langkah yang ia ambil setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh Rafael dan Nadia. Setiap hari yang berlalu hanya memperburuk rasa sakitnya, menjadikannya lebih tajam, lebih mengakar, seperti duri yang perlahan meresap ke dalam hatinya. Dan kini, saat yang ia nantikan telah tiba—momen yang akan menuntaskan segalanya.

Rania mengamati Rafael dengan tatapan dingin dari balik meja kerjanya. Pria yang dulunya ia cintai itu tampak sedang berusaha keras untuk tetap terlihat tenang di tengah kekalutan yang sedang menghantamnya. Namun, di matanya, Rania bisa melihat kegelisahan yang mendalam—kegelisahan yang berasal dari kebohongan yang akhirnya mulai terbongkar. Setiap kebohongan yang mereka bangun bersama akhirnya mulai runtuh satu per satu.

Sudah beberapa minggu terakhir ini, Rania bekerja di balik layar, memanipulasi situasi dengan hati-hati. Ia tahu bahwa untuk membuat Rafael dan Nadia benar-benar merasakan kehancuran, ia harus menggunakan kelemahan mereka. Itulah yang ia lakukan—mengungkapkan rahasia bisnis yang telah lama mereka sembunyikan dari dunia luar. Melalui koneksinya di dunia bisnis, Rania berhasil membuat Rafael terjerat dalam utang yang tak terbayangkan sebelumnya. Di sisi lain, Nadia, yang terlalu percaya diri, mulai merasa terancam oleh posisi yang dulu begitu kukuh di perusahaan tempat mereka bekerja.

Langkah-langkah kecilnya mulai membuahkan hasil. Rania mengetahui setiap langkah yang diambil Rafael dan Nadia. Ia tahu kapan mereka akan datang ke kantor, kapan mereka akan berbicara, dan kapan mereka akan membuat keputusan besar. Ia mulai mendalaminya seperti seorang ahli strategi yang sedang merancang peperangan. Setiap keputusan yang mereka ambil menjadi bahan bakar untuk rencananya yang lebih besar.

Rafael, yang awalnya merasa segalanya berada di bawah kendalinya, kini mulai merasakan ketegangan yang tak terelakkan. Pengusaha-pengusaha yang dulu mendukungnya kini mulai menjauh. Utang menumpuk, dan rumor tentang kesalahan-kesalahan bisnisnya mulai menyebar. Semua itu datang tanpa peringatan. Semua itu datang karena satu orang—Rania. Namun, Rafael tidak tahu bahwa dia adalah sumber dari kehancurannya.

Sementara itu, Nadia, yang tak pernah menyangka Rania akan melakukan sesuatu yang begitu berani, mulai merasakan panik. Hubungannya dengan Rafael, yang sudah mulai goyah, semakin terpuruk. Rania sudah mempermainkan Nadia dengan sangat halus, membiarkan Nadia merasa aman dalam kebohongannya, sebelum akhirnya menghancurkan segala sesuatu yang ia banggakan. Rania memanipulasi situasi sosial, mengadu domba teman-teman lama Nadia, dan membuat mereka percaya bahwa Nadia adalah sumber dari segala masalah yang terjadi. Kehidupan sosial Nadia yang dahulu penuh dengan pengagum kini terbelah, dan dia merasa seperti berada di ujung jurang.

Di balik semua itu, Rania merasa ada kepuasan yang tak terungkapkan, meskipun ia tahu balas dendam bukanlah sesuatu yang akan membawa kedamaian. Rasa sakitnya masih tetap ada, tetapi kini ia merasakan sesuatu yang lebih besar—sebuah kemenangan. Ia tahu Rafael dan Nadia merasa terpojok, mereka mulai kehilangan kontrol atas hidup mereka. Keinginan Rania untuk melihat mereka merasakan penderitaan yang sama, bahkan lebih parah, seakan terwujud.

Namun, di satu sisi, ada sesuatu yang mengusik hati Rania. Setiap kali ia melihat Rafael, ia tak bisa menahan perasaan campur aduk yang ada dalam dirinya. Ada rasa kosong yang tak bisa diisi meskipun ia telah menghancurkan hidup pria itu. Cinta yang dulu ia rasakan perlahan berubah menjadi kebencian yang begitu murni, namun di balik kebencian itu, Rania masih merasakan jejak-jejak cinta yang sulit ia lupakan.

Sementara Rafael dan Nadia saling menyalahkan satu sama lain, Rania menatap mereka dengan tatapan yang begitu dingin. Dia tidak merasa puas, tidak sepenuhnya merasa kemenangan berada di tangannya. Satu pertanyaan mengganggu benaknya—apakah balas dendam ini akan benar-benar memberi rasa lega yang ia inginkan? Ataukah ia hanya memperpanjang penderitaannya dengan terus menggali lubang-lubang kebencian yang lebih dalam?

Di malam hari, Rania duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap keluar jendela yang menghadap ke kota yang begitu ramai. Ada perasaan sunyi yang menggerogoti hatinya. Di saat yang sama, ada ketegangan yang menggantung di antara dirinya dan dunia yang ia ciptakan. Setiap keputusan yang ia ambil sekarang akan menentukan bagaimana babak selanjutnya dalam hidupnya akan berlangsung. Apakah ia akan terus melangkah dalam balas dendam ini, ataukah ia akan menemukan cara untuk melepaskan segala kebencian yang mengikatnya?

Semua yang telah ia lakukan tidak bisa diputar balik. Rafael dan Nadia kini berada di titik terendah dalam hidup mereka, dan mereka hanya bisa menunggu pukulan berikutnya—pukulan yang pasti datang jika Rania memutuskan untuk menuntaskan semua yang telah ia mulai. Namun, pada saat yang sama, Rania tahu bahwa kebencian yang ia bawa kini juga telah mengikat dirinya sendiri. Dendam ini telah merubahnya menjadi seseorang yang jauh dari dirinya yang dulu.

Akhirnya, Rania harus memutuskan apakah ia akan terus berjalan di jalan yang penuh amarah ini, ataukah ia akan melepaskan semua rasa sakit yang selama ini menguasainya. Tapi untuk sekarang, ia hanya bisa melihat Rafael dan Nadia yang semakin terpuruk dalam kehancuran yang ia ciptakan, sementara dirinya merasa semakin kosong, semakin jauh dari siapa dirinya sebenarnya.

Dendam yang ia peram selama ini kini telah mencapai puncaknya, tetapi apakah itu benar-benar memberi apa yang ia harapkan?

Bab 6 Kehampaan dalam Balas Dendam

Rania menatap layar ponselnya, merasakan kekosongan yang aneh. Di satu sisi, dia baru saja mengalahkan musuh-musuhnya—Rafael yang telah mengkhianatinya dan Nadia yang menyelipkan pisau di punggungnya. Namun, setiap kali dia melihat pesan-pesan yang masuk atau berita yang mengabarkan kehancuran yang telah dia sebabkan, ada sesuatu yang terasa tidak lengkap. Tidak ada rasa kemenangan yang memenuhi hatinya, tidak ada kebahagiaan yang datang dengan pembalasan ini. Hanya ada hampa, sebuah ruang kosong yang mulai menggerogoti batinnya.

Dendam yang selama ini ia peram, yang ia anggap akan memberikan rasa puas dan membayar lunas semua pengkhianatan yang pernah ia terima, kini malah menjeratnya. Rania sering mendapati dirinya terjaga di tengah malam, memikirkan langkah-langkah yang telah dia buat, dan bertanya-tanya apakah itu benar-benar yang ia inginkan. Apakah ini benar-benar bisa menyembuhkan hatinya? Apakah mematahkan hidup mereka akan mengembalikan kebahagiaan yang telah hilang darinya?

Setiap detik, setiap jam, dia menyaksikan Rafael dan Nadia merasakan akibat dari pengkhianatan mereka, namun tidak ada kepuasan yang datang. Bahkan, setiap kali dia melihat wajah mereka yang penuh penyesalan, rasa sakit di hatinya semakin dalam. Bukannya merasa puas, dia malah merasakan kelegaan yang hilang. Rania mulai mempertanyakan dirinya sendiri—apakah benar dendam ini yang dia cari, ataukah yang dia inginkan hanya kedamaian yang dia tidak bisa temukan?

Hatinya sudah lama terbakar oleh kebencian, dan meski api dendam itu telah berhasil membuatnya maju, sekarang api itu terasa seperti sisa-sisa bara yang tak lagi mampu memberikan kehangatan. Rania mulai sadar bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang hilang. Apa yang dia cari dengan semua ini? Pembalasan hanya membawa kehancuran, tetapi tidak pernah memberikan penyembuhan. Bahkan, dia merasa semakin terjebak dalam masa lalu, terperangkap dalam siklus kebencian yang tidak pernah berakhir.

Dia mulai mengenang masa-masa indah bersama Rafael sebelum semuanya runtuh. Saat mereka masih tertawa bersama, berbagi mimpi dan harapan, tanpa ada bayang-bayang pengkhianatan. Rania teringat bagaimana mereka saling menguatkan, bagaimana Rafael begitu hangat dan perhatian, dan bagaimana dia memberi harapan tentang masa depan yang indah. Namun, kenyataan itu perlahan hancur setelah dia menemukan kebenaran yang tak terelakkan—Rafael telah mengkhianatinya.

Seiring berjalannya waktu, rasa sakit itu berganti menjadi dendam yang membara. Dendam yang ia pelihara, yang ia gunakan sebagai bahan bakar untuk bertahan hidup, ternyata semakin lama semakin membutakan matanya. Ia berpikir bahwa jika ia bisa menghancurkan mereka, maka luka itu akan sembuh. Tapi kenyataannya, semakin ia melihat kehancuran yang ia ciptakan, semakin dia merasakan kehampaan dalam dirinya.

Apa yang sebelumnya dia pikir akan membawa kedamaian, justru kini menjadi beban. Semua yang telah dia lakukan untuk membalas perlakuan mereka tidak mengubah apa pun di dalam dirinya. Tidak ada yang bisa mengisi kekosongan yang semakin dalam. Rania merasakan jarak antara dirinya dan dunia sekitarnya semakin lebar. Dia semakin merasa asing dengan dirinya sendiri, seperti kehilangan arah. Dendam yang selama ini ia anggap sebagai alat untuk mendapatkan keadilan, sekarang malah berubah menjadi sebuah belenggu yang menahannya dalam kenangan kelam.

Kadang, Rania merasa seperti seorang musafir yang terjebak dalam badai, berkelana tanpa tujuan, dan hanya melawan angin tanpa tahu harus pergi ke mana. Dendam ini telah merusak dirinya lebih dalam daripada yang ia kira. Bahkan, meskipun Rafael dan Nadia sekarang merasakan kehancuran mereka, itu tidak mengembalikan apa yang telah hilang darinya. Rania mulai bertanya pada dirinya sendiri: “Apa yang sebenarnya aku cari? Apa yang benar-benar bisa menghapuskan luka ini?”

Dia tahu, mungkin sebagian dari dirinya berharap bahwa dengan melihat mereka jatuh, dia akan merasa lebih baik. Namun kenyataannya, itu tidak pernah terjadi. Semakin dia memikirkan balas dendam ini, semakin dia merasa seperti mengubur dirinya lebih dalam. Setiap langkah balas dendam yang dia ambil, terasa seperti penggalian lubang di dalam hatinya sendiri.

Hari demi hari, Rania berusaha menenangkan dirinya. Dia pergi ke tempat-tempat yang dulu menyenangkan, mencoba berbicara dengan teman-temannya, namun semuanya terasa kosong. Setiap percakapan terasa seperti topeng, dan setiap langkah yang dia ambil terasa sia-sia. Hatinya masih terperangkap dalam perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan. Dendam itu memang memberikan kesenangan sementara, tetapi tidak pernah bisa memberikan penyembuhan.

Rania mulai merasakan bahwa untuk bisa maju, dia harus melepaskan semua yang telah menahannya. Tapi bagaimana bisa dia melepaskan dendam yang sudah membentuk siapa dirinya selama ini? Semua yang telah terjadi membuatnya merasa hancur, dan kini ia tahu, ia harus memilih antara melanjutkan hidup dengan beban ini atau akhirnya melepaskannya, meskipun itu terasa sangat sulit.

Malam itu, setelah sekian lama, Rania duduk sendiri di tepi jendela, menatap langit yang sunyi. Bintang-bintang di atas sana seperti menatapnya dengan penuh kesabaran, seolah memberinya waktu untuk memutuskan apa yang harus dia lakukan. Dalam hati, Rania tahu bahwa untuk menemukan kedamaian, dia harus berhenti mencari pembalasan. Karena yang ia temukan dari semua ini hanyalah kehampaan.

Di saat itu, dia menyadari bahwa kebencian itu seperti api yang hanya menghanguskan apa pun yang ada di sekitarnya, termasuk dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya, Rania merasakan keinginan untuk melepaskan. Bukan karena dia lupa pada luka yang ada, tetapi karena dia tahu, hanya dengan melepaskan dendam, dia bisa menemukan kebebasan.

Bab 7 Pengampunan yang Tak Terduga

Rania duduk di sebuah kafe kecil yang sepi, sebuah tempat yang sering ia kunjungi beberapa tahun lalu saat hatinya masih penuh dengan harapan dan cinta. Matahari sore menembus jendela, menerangi meja kayu tempat ia duduk, seakan mengingatkannya pada masa-masa yang telah berlalu. Dalam secangkir kopi hitam yang sudah dingin, ia mencoba mencari ketenangan, meskipun hatinya masih diliputi perasaan campur aduk—antara marah, kecewa, dan… entah kenapa, sedikit rasa penasaran.

Lima tahun telah berlalu sejak peristiwa yang mengubah hidupnya. Rania telah menjalani kehidupan yang berbeda, jauh dari kenangan pahit yang ditinggalkan oleh Rafael dan Nadia. Dendam yang selama ini dipendam, yang telah lama ia peram dalam hatinya, seakan sudah tidak memiliki tempat lagi. Semua yang dilakukannya untuk membalas mereka telah tercapai. Rafael dan Nadia hancur, karier mereka runtuh, hubungan mereka retak, dan hidup mereka tidak lagi seindah dulu.

Namun, meskipun semuanya tampak sesuai dengan rencananya, ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Rania merasa seolah-olah kehilangan sesuatu yang lebih penting daripada sekadar kemenangan dalam bentuk balas dendam. Ada sesuatu yang terus menghantuinya—perasaan kosong, seperti ada lubang besar yang tidak bisa diisi dengan semua kebanggaan yang dia dapatkan dari hasil usahanya menghancurkan hidup mereka.

Hari ini, keheningan kafe itu terasa sangat berbeda. Tiba-tiba, pintu terbuka dan seorang pria berdiri di ambang pintu. Rania tidak perlu melihat wajahnya untuk mengenali siapa itu. Suara langkah kaki yang berat, bau parfum yang familiar, dan tubuh yang dulu sering berada di dekatnya—itu adalah Rafael. Hatinya berdegup kencang, tidak hanya karena melihatnya setelah sekian lama, tetapi karena ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Dendam itu, yang selama ini telah mengendap, mulai terasa ringan. Tidak ada lagi kebencian yang menggebu seperti dulu. Hanya ada perasaan yang membingungkan.

Rafael memandangnya dengan tatapan yang penuh penyesalan. Wajahnya lebih tua, matanya terlihat lelah dan penuh beban. “Rania,” suaranya terdengar ragu, seperti dia tidak yakin apakah dia layak menyebut namanya. “Bolehkah aku duduk?”

Rania hanya mengangguk, matanya tidak lepas dari wajah pria itu. Wajah yang dulu ia cintai, yang kini hanya menyisakan kenangan pahit. Rafael duduk di hadapannya, mengeluarkan napas panjang seolah baru saja melewati perjalanan panjang yang penuh dengan kesulitan.

“Maafkan aku,” kata Rafael akhirnya, suaranya terdengar berat. “Aku tahu aku tidak berhak meminta maaf. Aku tahu aku telah menghancurkanmu, Rania. Tapi aku harus mengatakan ini. Aku sangat menyesal.”

Rania mematung sejenak, kata-kata itu terasa aneh di telinganya. Semua yang ia bayangkan selama ini—semua impian balas dendam yang ia simpan—tak ada yang bisa mempersiapkannya untuk menghadapi pengakuan ini. Pengakuan yang datang terlambat, namun tetap datang. Hatinya terasa nyeri mendengar kata-kata itu, bukan karena dendam yang belum terbalas, tetapi karena ia menyadari bahwa meskipun Rafael sudah merasa bersalah, itu tidak mengembalikan waktu yang hilang.

“Saat itu, aku sangat bodoh,” lanjut Rafael, suaranya bergetar. “Aku tidak tahu apa yang aku miliki. Aku merusak segalanya—hubungan kita, kepercayaan yang sudah kita bangun. Aku berpikir bahwa aku bisa mendapatkan segala yang kuinginkan tanpa memikirkan siapa yang akan terluka.” Dia terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke meja. “Aku pikir, setelah semua yang terjadi, aku tidak pantas mendapatkan maaf darimu. Tapi aku harus berani menghadapinya. Aku ingin kamu tahu, aku sangat menyesal.”

Rania menatapnya dengan hati yang bergejolak. Sebagian dari dirinya masih ingin membenci Rafael, masih ingin melanjutkan dendam yang telah ia persiapkan selama bertahun-tahun. Namun, bagian lain dari dirinya merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kelelahan dalam dirinya yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Dendam itu, yang selama ini ia rasakan sebagai api yang membakar, tiba-tiba terasa semakin redup. Kenapa? Apa yang salah dengan dirinya?

“Apa yang kau harapkan dariku, Rafael?” Rania akhirnya membuka suara, suaranya datar dan penuh kehati-hatian. “Apakah kamu pikir aku akan memaafkanmu setelah semua yang kau lakukan?”

Rafael menunduk, seakan tidak berani menatap mata Rania. “Aku tidak berharap kamu memaafkanku. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesali semuanya. Aku ingin kamu tahu bahwa aku bukan orang yang sama lagi. Aku telah belajar banyak, lebih dari yang bisa aku ungkapkan.”

Rania merasa seolah ada sesuatu yang mencengkeram hatinya. Itu bukan lagi dendam atau kebencian, tetapi lebih kepada kebingungan yang mendalam. Di satu sisi, ia merasa bahwa Rafael tidak pantas mendapat kesempatan untuk berdamai dengannya. Tetapi di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang merasa lega, seolah beban yang sangat berat selama ini mulai terangkat.

“Rania,” Rafael melanjutkan, suaranya semakin lembut. “Aku tahu aku sudah mengkhianatimu, tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa mengubah masa lalu. Aku hanya bisa berharap, jika tidak untukmu, setidaknya untuk diriku sendiri, aku bisa merasa lebih baik. Aku berharap, suatu hari, kamu bisa melupakan aku dengan cara yang lebih baik.”

Rania menghela napas panjang, matanya masih terfokus pada pria yang pernah ia cintai. Dia merasa bingung, seperti ada dua dunia yang berperang di dalam dirinya—dunia dendam yang penuh dengan kebencian, dan dunia pengampunan yang menawarkan kedamaian.

Setelah beberapa lama terdiam, Rania akhirnya berbicara. “Aku tidak bisa melupakanmu, Rafael,” katanya dengan suara pelan, “Tapi aku tidak ingin membiarkan dendam ini mengendalikan hidupku selamanya. Aku ingin melepaskan semua ini. Mungkin aku tidak bisa memaafkanmu sekarang, tapi aku tidak ingin terus hidup dalam kebencian. Itu terlalu berat.”

Rafael menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka, ada rasa haru yang menyentuh matanya. “Aku… Aku berterima kasih,” jawabnya dengan suara yang hampir tenggelam.

Mereka duduk dalam keheningan, dua jiwa yang telah lama terluka, tetapi kini menemukan sedikit kedamaian dalam kenyataan bahwa meskipun pengampunan itu tidak datang dengan mudah, ada langkah kecil menuju penyembuhan—meskipun pengampunan yang tak terduga ini tidak datang dalam bentuk yang sempurna.

Rania menatap Rafael untuk terakhir kalinya. Mungkin masa lalu mereka tidak akan pernah benar-benar terlupakan, tetapi hari ini, dia belajar bahwa pengampunan, meskipun sulit, bisa menjadi langkah pertama menuju kebebasan dari beban yang telah lama ia tanggung.

Source: DELA SAYFA
Tags: #DendamCinta #Pengampunan #BalasDendam #PenyembuhanHati #CintaYangTersakit
Previous Post

LANGIT MENYAKSIKAN CINTA KITA

Next Post

MENUNGGGU DIDALAM HENING

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
MENUNGGGU DIDALAM HENING

MENUNGGGU DIDALAM HENING

” AKU MASIH MENGINGAT TATAPAN ITU “

" AKU MASIH MENGINGAT TATAPAN ITU "

TAKDIR YANG MEMBELAH CINTA KITA

TAKDIR YANG MEMBELAH CINTA KITA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id