Daftar Isi
BAB 1 AWAL YANG PENUH LUKA
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan kota yang penuh dengan cahaya lampu. Suara gemuruh petir sesekali menggema, seakan menyuarakan perasaan Nayla yang kacau balau. Ia berdiri di depan sebuah restoran mewah, tubuhnya gemetar bukan karena kedinginan, melainkan karena kenyataan pahit yang baru saja menghantamnya.
Dari balik dinding kaca restoran itu, Nayla menyaksikan sesuatu yang membuat dadanya sesak. **Revan**, pria yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama lima tahun terakhir, kini duduk berhadapan dengan seorang wanita lain. Wanita itu tampak anggun dalam balutan gaun merah, senyumnya penuh kemenangan, sementara Revan menggenggam tangannya dengan mesra.
Air mata Nayla jatuh tanpa bisa ia tahan. Hatinya berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Lima tahun ia mencintai Revan, lima tahun ia percaya bahwa mereka akan bersama selamanya, tetapi malam ini semuanya hancur berkeping-keping.
Nayla ingin masuk, ingin berteriak, ingin menanyakan alasannya. Tapi kakinya terasa lemas, seperti tak sanggup melangkah. Ia hanya bisa berdiri di sana, membiarkan hatinya terluka lebih dalam dengan setiap detik yang berlalu.
“Maaf, Nayla. Aku harus memilih Karina.”
Ucapan itu masih terngiang di kepalanya. Beberapa hari yang lalu, Revan mengucapkan kalimat itu dengan wajah tanpa ekspresi. Saat itu, Nayla tidak percaya. Ia mengira Revan hanya bercanda, atau mungkin sedang marah. Tapi malam ini, kenyataan membuktikan semuanya.
Revan telah memilih Karina, wanita dari keluarga kaya yang mampu memberinya kehidupan mewah yang Nayla tidak bisa berikan.
Apakah semua kenangan yang kita lalui tidak berarti
Pertanyaan itu terus berputar di benaknya. Dulu, Revan selalu berkata bahwa cinta mereka adalah segalanya. Bahwa mereka akan melawan dunia bersama. Tapi kini? Nayla merasa seperti orang bodoh yang selama ini hidup dalam ilusi.
Tubuhnya masih membeku di tempatnya ketika akhirnya ponselnya bergetar di dalam genggaman. Dengan tangan gemetar, ia mengangkatnya.
“Nayla, kamu di mana?” Suara Dinda sahabatnya, terdengar cemas.
Nayla membuka mulutnya, ingin menjawab, tetapi hanya isakan tangis yang keluar.
“Aku… Dinda, aku melihatnya… Aku melihat Revan…” suaranya bergetar.
Dinda tak bertanya lebih jauh. “Aku akan ke sana. Tunggu aku.”
Nayla mengakhiri panggilan dan menatap kembali ke dalam restoran. Revan masih di sana, tertawa bersama Karina seakan semua kenangan mereka tak pernah ada. Seakan dirinya tak pernah berarti sedikit pun.
Dengan langkah gontai, Nayla mulai menjauh. Ia tidak ingin Revan melihatnya seperti ini—hancur, patah, dan tak berdaya.
Beberapa menit kemudian, Dinda datang dan langsung memeluk Nayla yang duduk di kursi taman dekat restoran. Tubuh Nayla basah karena hujan, tetapi ia tidak peduli. Yang lebih menyakitkan bukanlah dinginnya hujan, tetapi dinginnya kenyataan yang harus ia hadapi.
“Dia memilih Karina, Din… Setelah semua yang aku lakukan untuknya…” suara Nayla hampir tak terdengar.
Dinda mengelus punggung sahabatnya dengan lembut. “Aku tahu ini sakit, Nay. Tapi kamu harus kuat. Dia bukan satu-satunya orang yang bisa membuatmu bahagia.”
Nayla menatap Dinda dengan mata sembab. “Lima tahun, Din. Lima tahun aku mencintainya, memperjuangkannya. Dan sekarang, aku harus menerimanya begitu saja?”
Dinda menghela napas. “Aku tahu kamu marah, Nay. Tapi jangan biarkan kemarahan itu menghancurkanmu.”
Nayla menggigit bibirnya, menahan emosi yang mendidih di dadanya. “Aku tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja, Din.”
Dinda terdiam sejenak, menatap sahabatnya yang biasanya lembut kini berubah penuh kemarahan.
“Apa maksudmu?” tanyanya hati-hati.
Nayla mengusap air matanya, lalu berkata dengan suara tegas, “Aku akan membuatnya menyesal telah meninggalkanku. Aku akan membuatnya merasakan sakit yang sama seperti yang aku rasakan.”
Dinda menggeleng. “Balas dendam tidak akan membuatmu merasa lebih baik, Nay.”
Tapi Nayla hanya tersenyum tipis, senyum yang penuh luka dan tekad.
“Kita lihat saja, Din… Kita lihat bagaimana permainan ini akan berakhir.”
Malam itu, di tengah hujan yang masih mengguyur, sesuatu dalam diri Nayla berubah. Cinta yang dulu ia perjuangkan dengan tulus kini perlahan berubah menjadi sesuatu yang lain.
Bukan lagi cinta… tetapi dendam.
BAB 2 Kebangkitan dari Luka
Angin malam berhembus lembut melalui jendela kamar Nayla yang setengah terbuka. Matanya menatap kosong ke arah langit, mencari jawaban atas rasa sakit yang terus menghantuinya. Sudah berbulan-bulan sejak Revan meninggalkannya, tetapi luka itu masih terasa segar. Setiap kenangan yang pernah ia ukir bersama pria itu kini berubah menjadi serpihan tajam yang menusuk hatinya tanpa ampun.
Nayla menghela napas panjang. Ia tak ingin terus-menerus terjebak dalam kesedihan ini. Hidupnya tak seharusnya berhenti hanya karena seorang pria yang tak mampu memperjuangkannya. “Aku harus bangkit,” gumamnya lirih, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Keputusan itu bukan hal yang mudah. Setiap langkah yang ia ambil untuk keluar dari kesedihan terasa berat, seolah dunia tak mengizinkannya melupakan rasa sakit itu. Namun, Nayla tahu, jika ia ingin benar-benar melanjutkan hidupnya, ia harus menghapus air mata dan menata ulang segala impian yang pernah ia tunda.
Memulai Kehidupan Baru
Pagi itu, Nayla menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak lebih tirus, matanya sedikit cekung akibat terlalu sering menangis. Dengan tekad yang baru, ia merapikan rambutnya dan mengenakan pakaian yang membuatnya merasa lebih percaya diri. Ia ingin memulai hari ini dengan sesuatu yang baru.
Langkah pertamanya adalah kembali bekerja. Selama beberapa bulan terakhir, ia memilih untuk mengurung diri, membiarkan dirinya larut dalam kesedihan. Namun, kini saatnya ia kembali ke dunia yang pernah ia tinggalkan.
Nayla mulai melamar pekerjaan di berbagai perusahaan. Berbekal gelar dan pengalaman yang ia miliki, ia akhirnya mendapat kesempatan bekerja di sebuah perusahaan besar di bidang fashion. Dunia bisnis bukan sesuatu yang asing baginya, tetapi kali ini, ia berjanji untuk fokus pada kariernya dan tidak lagi menaruh hatinya pada hal-hal yang bisa membuatnya terluka.
Hari pertama di kantor barunya terasa menegangkan. Namun, Nayla berusaha menyesuaikan diri sebaik mungkin. Rekan-rekan kerjanya cukup ramah, meski beberapa di antaranya tampak menyelidiki siapa dirinya. Ia tak peduli. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya adalah bagaimana ia bisa sukses dan membuktikan bahwa dirinya bukan wanita lemah yang bisa dihancurkan oleh cinta.
### **Merangkai Kembali Impian yang Pernah Hancur**
Seiring berjalannya waktu, Nayla mulai terbiasa dengan rutinitas barunya. Ia bekerja lebih keras dari siapa pun, menghabiskan waktunya untuk belajar dan memperbaiki keterampilan bisnisnya. Dalam hitungan bulan, ia berhasil mendapatkan promosi pertamanya.
Namun, kebangkitan Nayla bukan hanya soal karier. Ia juga mulai belajar mencintai dirinya sendiri. Setiap akhir pekan, ia menyisihkan waktu untuk melakukan hal-hal yang dulu ia sukai—membaca buku di kafe favoritnya, mengikuti kelas yoga, dan bahkan mulai menulis jurnal tentang perasaannya.
Di dalam jurnalnya, ia menuliskan semua luka yang pernah ia rasakan. Bukan untuk menghidupkan kembali rasa sakit itu, tetapi untuk mengingatkan dirinya bahwa ia telah melewati semuanya. Setiap halaman yang ia isi dengan kata-kata penuh emosi menjadi bukti bahwa ia tak lagi ingin tenggelam dalam masa lalu.
Suatu malam, saat tengah membaca ulang tulisannya, ia menyadari satu hal: **luka itu tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi ia bisa memilih untuk tidak lagi membiarkannya mengendalikan hidupnya.**
Lahirnya Sebuah Tekad
Seiring berjalannya waktu, Nayla menyadari bahwa keberhasilannya bukan sekadar kebangkitan dari keterpurukan, melainkan juga awal dari sesuatu yang lebih besar. Ia mulai bermimpi untuk membangun bisnisnya sendiri, sesuatu yang bisa membuatnya lebih mandiri dan tak lagi bergantung pada siapa pun.
Ia mulai menghadiri seminar bisnis, membaca buku tentang kewirausahaan, dan bertemu dengan orang-orang yang memiliki visi yang sama. Dunia ini terasa baru baginya, tetapi juga penuh dengan tantangan yang membuatnya semakin bersemangat.
Di dalam hatinya, perlahan tumbuh sebuah tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Ia tidak hanya ingin sukses untuk dirinya sendiri, tetapi juga ingin membuktikan kepada Revan—dan semua orang yang pernah meremehkannya—bahwa ia bisa menjadi wanita yang jauh lebih hebat dari yang mereka kira.
“Aku akan menunjukkan pada mereka siapa aku sebenarnya,” batinnya penuh keyakinan.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nayla tersenyum. Ini bukan lagi senyum yang dipaksakan, bukan pula senyum yang menyembunyikan luka. Ini adalah senyum dari seseorang yang telah menemukan kembali dirinya sendiri.
Ia tahu, jalan yang akan ia tempuh masih panjang. Akan ada rintangan yang menghadangnya, dan mungkin, luka lama itu akan sesekali kembali menyapanya. Namun, satu hal yang pasti: ia tidak akan pernah lagi menjadi wanita yang sama seperti dulu.
Ia telah bangkit dari luka, dan kini, ia siap mengejar sesuatu yang lebih besar dari sekadar cinta yang pernah menghancurkannya.
BAB 3 PERTEMUAN TAK TERDUGA
Nayla melangkah dengan percaya diri memasuki ballroom hotel mewah tempat acara bisnis tahunan berlangsung. Gaun hitam elegan yang membalut tubuhnya semakin menegaskan pesonanya. Setiap mata yang melihatnya, baik pria maupun wanita, tidak bisa menyembunyikan kekaguman. Senyuman simpul di bibirnya memperlihatkan aura seorang wanita yang telah berhasil menaklukkan dunia.
Namun, di balik tatapan penuh percaya diri itu, ada perasaan lain yang mendesak dari dalam hatinya. Jantungnya berdegup lebih cepat saat matanya menangkap sosok yang begitu familiar. Pria itu berdiri di sudut ruangan, mengenakan jas abu-abu yang sudah tidak lagi baru, memperlihatkan bahwa hidupnya tidak sebaik dulu. Mata mereka bertemu sesaat, dan Nayla bisa melihat keterkejutan yang jelas terpancar dari sorot mata pria itu. Revan.
Revan tampak sedikit gelisah. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang pernah ia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Nayla, gadis yang dulu ia tinggalkan demi wanita lain. Ia menatap Nayla dengan perasaan campur aduk—antara rindu, sesal, dan kebingungan.
Nayla tersenyum tipis, seolah pertemuan ini bukanlah sesuatu yang berarti baginya. Ia melangkah mendekat, membawa segelas sampanye di tangannya. “Sudah lama sekali, Revan,” ucapnya dengan nada santai. Tidak ada kemarahan, tidak ada kepedihan yang tersirat dalam suaranya, seolah kejadian masa lalu tak pernah meninggalkan luka.
Revan mengangguk kaku. “Nayla… Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”
“Aku juga tidak menyangka,” jawab Nayla, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia memang telah mempersiapkan momen ini sejak lama.
Revan meneguk minuman di tangannya, mencoba menguasai diri. Ia memperhatikan wanita di hadapannya. Nayla yang dulu berbeda dengan Nayla yang sekarang. Yang dulu adalah gadis sederhana, penuh kelembutan, dan mudah tersakiti. Tapi yang sekarang—berdiri dengan penuh kebanggaan, dengan tatapan mata yang menyimpan banyak rahasia. Ia tampak seperti seorang ratu yang telah menaklukkan dunia. Dan entah mengapa, perasaan asing mulai menjalari hatinya.
“Aku dengar perusahaanmu berkembang pesat,” kata Revan, mencoba mengalihkan perhatiannya dari rasa gugup yang menghantuinya.
“Oh, kau tahu?” Nayla menaikkan sebelah alisnya. “Aku tidak menyangka kau masih mengikuti perkembanganku.”
Revan tersenyum kecil, tapi ada kepedihan dalam sorot matanya. “Bagaimana aku bisa tidak tahu? Aku mungkin sudah kehilangan banyak hal, tapi aku tidak pernah benar-benar melupakanmu.”
Nayla tertawa kecil. “Kata-kata yang menarik dari seseorang yang pernah meninggalkan aku tanpa melihat ke belakang.”
Revan terdiam. Ia tahu bahwa kata-kata itu benar. Ia pernah memilih meninggalkan Nayla untuk mengejar kehidupan yang lebih menjanjikan bersama Karina, wanita yang berasal dari keluarga kaya raya. Tapi siapa sangka, keputusan yang dulu ia anggap benar justru membawa kehidupannya ke dalam keterpurukan.
“Nayla…” suara Revan melemah. “Aku—”
“Revan!” sebuah suara memotong ucapannya. Karina datang dengan langkah tergesa-gesa, menggandeng lengannya dengan erat. Wajahnya menegang saat melihat Nayla. Ada ketidaknyamanan yang jelas dalam tatapan matanya. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Nayla tersenyum kecil. “Hanya mengobrol sebentar dengan teman lama. Apa itu masalah bagimu, Karina?”
Karina tersenyum, tapi Nayla tahu betul itu hanyalah kepura-puraan. “Tentu saja tidak. Aku hanya tidak ingin waktu Revan terbuang percuma. Dia punya banyak hal yang harus diurus.”
Nayla memandang Revan sejenak, lalu kembali menatap Karina dengan ekspresi penuh ketenangan. “Oh, tentu. Aku yakin Revan memiliki banyak hal yang harus dikejar. Begitu juga denganku. Senang bisa bertemu dengan kalian.”
Dengan anggun, Nayla melangkah pergi, meninggalkan Revan yang masih memandangnya dengan tatapan penuh makna. Perasaan aneh menggelayuti hatinya. Ada sesuatu dalam diri Nayla yang kini terasa begitu jauh, namun begitu menggoda.
Sementara itu, Nayla tersenyum puas. Ini baru awal dari segalanya. Ia telah bertemu dengan Revan, dan sekarang permainan baru saja dimulai.
BAB 4 Perangkap Manis
Nayla duduk di depan cermin riasnya, menatap pantulan dirinya dengan tatapan penuh tekad. Gaun merah yang membalut tubuhnya tampak begitu anggun, mencerminkan kepercayaan diri yang kini ia miliki. Malam ini adalah langkah pertama dalam rencana balas dendamnya. Revan, lelaki yang dulu pernah meninggalkannya demi Karina, kini akan kembali ke dalam genggamannya. Bukan sebagai kekasih, melainkan sebagai seseorang yang akan ia permainkan hingga hancur.
Nayla menarik napas panjang. Hatinya bergejolak, tetapi ia tidak membiarkan emosi melemahkannya. Dulu, ia adalah gadis lugu yang begitu percaya pada cinta. Sekarang, ia adalah wanita yang paham bahwa cinta bisa menjadi alat untuk menghancurkan atau dihancurkan.
### **Pertemuan yang Direkayasa**
Acara gala dinner yang diadakan oleh salah satu konglomerat besar di kota ini menjadi kesempatan emas. Nayla tahu bahwa Revan akan datang—pria itu kini tengah berjuang untuk kembali bangkit setelah bisnisnya mengalami kemunduran. Sementara Nayla, dalam balutan kesuksesannya, telah menjelma menjadi wanita yang berada di puncak dunia bisnis.
Ketika ia melangkah masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan orang-orang berpengaruh, sorot mata para tamu tertuju padanya. Namun, hanya satu tatapan yang benar-benar ingin ia tangkap—tatapan Revan. Dan benar saja, dari sudut ruangan, lelaki itu memandangnya dengan ekspresi terkejut.
Nayla melangkah dengan anggun mendekatinya, seolah tidak ada dendam yang pernah tersimpan di hatinya.
_”Hai, Revan. Lama tidak bertemu,”_ ucapnya dengan suara lembut, namun tersirat kesan dingin yang membuat pria itu sedikit tergagap.
_”Nayla… kau… terlihat berbeda,”_ jawab Revan. Ada kekaguman di matanya, sekaligus kebingungan.
_”Terima kasih,”_ jawab Nayla dengan senyum tipis. _”Dan kau… masih sama seperti dulu. Masih mencoba bertahan di antara orang-orang yang lebih sukses darimu?”_
Revan tampak terkejut dengan sindiran halus itu, tapi Nayla segera menambahkan, _”Aku bercanda. Bagaimana kabarmu?”_
Percakapan mereka berlanjut, dengan Nayla memegang kendali penuh. Ia mengatur nada suaranya, mengontrol setiap ekspresi yang ia tampilkan. Revan, yang mungkin tidak sadar sedang dijerat dalam perangkapnya, mulai terbawa dalam pesona Nayla.
### **Menjadi Wanita yang Tak Tersentuh**
Hari-hari setelah pertemuan itu, Revan mulai menghubungi Nayla lebih sering. Awalnya hanya sekadar pesan singkat, lalu berkembang menjadi ajakan makan malam. Nayla berpura-pura ragu, membiarkan Revan mengejarnya. Ia tahu bahwa semakin sulit ia didapatkan, semakin Revan akan menginginkannya.
_”Aku ingin mengobrol lebih lama denganmu. Banyak hal yang belum sempat kita bahas tadi malam,”_ kata Revan di telepon.
_”Oh, aku sedang sibuk. Mungkin lain kali,”_ jawab Nayla santai, meski sebenarnya ia sudah menunggu panggilan itu.
Ia tidak ingin terlihat terlalu mudah. Tidak seperti dulu. Sekarang, ia adalah wanita yang dikejar, bukan yang mengejar.
Namun, Nayla juga tahu kapan harus memberi harapan. Sesekali, ia membalas perhatian Revan dengan tatapan yang dalam, atau senyuman yang menggoda. Ia ingin membuat pria itu terperangkap dalam ilusinya—membuatnya percaya bahwa masih ada celah untuk mereka kembali bersama.
Revan pun semakin gencar mendekatinya. Ia mulai mengajak Nayla ke tempat-tempat yang dulu pernah menjadi kenangan mereka, seolah ingin menghidupkan kembali kisah lama. Tetapi bagi Nayla, ini bukan tentang kenangan. Ini adalah skenario yang telah ia susun dengan hati-hati.
### **Benih Rasa yang Mulai Mengusik**
Namun, di tengah rencana yang berjalan sempurna, sesuatu yang tidak ia perhitungkan mulai terjadi—hatinya sendiri mulai merasakan kebimbangan.
Setiap kali Revan tersenyum kepadanya dengan tulus, ia merasakan gejolak aneh di dadanya. Setiap kali Revan menatapnya dengan sorot mata penuh harapan, ia merasakan keraguan menyusup ke dalam pikirannya.
_Apa yang sebenarnya aku lakukan?_ batinnya.
Apakah ini hanya permainan, atau apakah ada bagian kecil dalam dirinya yang masih menginginkan pria itu?
Malam itu, setelah makan malam bersama Revan, Nayla duduk sendirian di balkon apartemennya. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan masa lalu—saat di mana ia benar-benar mencintai Revan tanpa syarat, sebelum pengkhianatan itu terjadi.
_”Jangan bodoh, Nayla,”_ katanya pada diri sendiri. _”Dia yang menghancurkanmu. Jangan biarkan dia masuk ke dalam hidupmu lagi hanya untuk melukai hatimu sekali lagi.”_
Tetapi ada sesuatu yang berbeda dari Revan sekarang. Ia terlihat tulus. Ia terlihat seperti pria yang menyesali masa lalunya.
Ataukah itu hanya kebohongan lain yang Revan ciptakan?
Nayla tidak bisa membiarkan perasaannya mengambil alih. Tidak sekarang, tidak saat ia sudah begitu dekat dengan balas dendamnya. Ia harus tetap pada rencananya. Ia harus memastikan bahwa kali ini, Revanlah yang akan merasakan sakit yang pernah ia rasakan.
Dengan tekad baru yang menguat, Nayla mengambil ponselnya dan mengetik pesan:
_”Revan, bagaimana kalau kita makan malam bersama lagi? Aku ingin mendengar lebih banyak tentang hidupmu sekarang.”_
Ia menekan tombol “kirim” dan tersenyum tipis. Perangkapnya sudah mulai mengikat erat.
Dan kali ini, ia tidak akan menjadi pihak yang tersakiti.
BAB 5 Kebimbangan Hati
Nayla menatap pantulan dirinya di cermin besar yang tergantung di dinding kamarnya. Matanya sayu, bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena hatinya yang terus bergejolak. **Dendam yang selama ini ia pupuk dengan hati-hati mulai terasa goyah.
Ia mengira pertemuan kembali dengan Revan akan berjalan sesuai rencana—membuat pria itu jatuh dalam perangkapnya, lalu menghancurkannya perlahan sebagaimana dulu Revan menghancurkan hatinya. Tapi mengapa justru perasaannya sendiri yang kini dipermainkan?
Hatinya mulai bimbang.
Beberapa bulan terakhir, Nayla telah berhasil membuat Revan kembali jatuh hati padanya. Pria itu mulai bergantung pada kehadirannya, menghabiskan banyak waktu bersamanya, bahkan menunjukkan tanda-tanda ingin kembali ke hubungan mereka dulu. Yang lebih mengejutkan, Revan tampak benar-benar tulus.
Ia bukan lagi pria arogan yang meninggalkannya bertahun-tahun lalu demi Karina. Kini, Revan terlihat lebih sederhana, lebih hangat, dan lebih menghargai keberadaannya.
Tetapi apakah itu cukup?
Dendam yang ia bawa selama bertahun-tahun tidak bisa hilang begitu saja hanya karena perhatian dan tatapan penuh cinta.**
Nayla menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. Ia harus tetap fokus pada tujuannya. Namun, semakin ia berusaha untuk tetap tegar, semakin hatinya terasa berat.
Pertemuan di Kafe
Hari itu, Nayla dan Revan duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang nyaman dan jauh dari keramaian. Suasana di antara mereka terasa tenang, meski dalam hati Nayla, ada badai yang sedang berkecamuk.
“Aku masih tidak percaya kita bisa bertemu lagi seperti ini,” ucap Revan sambil menatapnya penuh makna.
Nayla hanya tersenyum tipis. “Kenapa tidak percaya?”
“Karena aku pikir aku sudah kehilanganmu selamanya,” kata Revan lirih. “Dan aku tahu, aku adalah orang yang paling pantas untuk kau benci.”
Jantung Nayla berdegup lebih cepat. Ia ingin membenarkan kata-kata Revan—bahwa pria itu memang pantas dibenci, pantas dihancurkan. Namun, setiap kali ia melihat ketulusan di mata Revan, bibirnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata kejam yang sudah ia siapkan.
“Aku tidak membencimu,” ucapnya pelan.
Revan menatapnya, terkejut. “Benarkah?”
Nayla mengalihkan pandangannya, tidak ingin melihat ekspresi harapan di wajah pria itu.
“Aku hanya…” Nayla menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang hampir keluar dari mulutnya. Aku hanya ingin membalas apa yang kau lakukan padaku dulu.
Tapi Nayla tidak bisa mengatakannya.
Sebaliknya, ia malah berkata, “Aku hanya butuh waktu untuk memahami semuanya.”
Revan mengangguk perlahan. “Aku mengerti. Aku juga tidak akan memaksa. Aku hanya ingin kau tahu, aku sangat menyesal. Aku menyesal telah menyakitimu, Nay.”
Dada Nayla terasa sesak. Penyesalan? Apakah itu cukup
Dendamnya seharusnya menjadi jawabannya. Tapi kini, hatinya justru mulai mempertanyakan semuanya.
Kenangan Lama yang Kembali
Malamnya, Nayla duduk sendirian di balkon apartemennya. Angin malam berembus pelan, membelai rambutnya yang tergerai. Ia menutup matanya, membiarkan pikirannya kembali ke masa lalu.
Ia mengingat hari-hari penuh kebahagiaan bersama Revan sebelum semuanya hancur. Bagaimana pria itu dulu selalu menggenggam tangannya dengan erat, berjanji akan selalu bersamanya. Ia mengingat bagaimana tawa mereka memenuhi udara saat mereka menghabiskan waktu bersama.
Dan kemudian, ia mengingat saat ketika Revan meninggalkannya tanpa perasaan. Tanpa penjelasan. Tanpa belas kasihan.
**Kenangan itu masih terasa menyakitkan.**
Tapi… bagaimana jika semua yang ia yakini selama ini tidak sepenuhnya benar? Bagaimana jika ada alasan di balik kepergian Revan?
“Apa aku terlalu keras?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Dendamnya selama ini didasarkan pada rasa sakit, tapi kini ada bagian dalam hatinya yang mulai bertanya-tanya: **Apakah masih ada cinta tersisa di dalam hatinya untuk Revan?**
Jika iya, apa yang harus ia lakukan? Memaafkan? Atau tetap melanjutkan rencana balas dendamnya?
Nayla menggenggam dadanya, mencoba mencari jawaban di dalam hatinya. Tapi semakin ia mencari, semakin ia tersesat dalam kebimbangan.
Telepon dari Masa Lalu
Ponselnya tiba-tiba berdering, menginterupsi pikirannya. Saat melihat layar, ia terkejut melihat nama yang muncul: **Karina**.
Mengapa wanita itu meneleponnya?
Dengan ragu, Nayla mengangkat panggilan tersebut.
“Aku tahu apa yang sedang kau rencanakan, Nayla,” suara Karina terdengar dingin di seberang sana.
Nayla mengepalkan tangannya. “Apa maksudmu?”
“Kau ingin menghancurkan Revan, bukan?” Karina tertawa kecil. “Kau bisa membalas dendammu sesuka hati, tapi ingat ini—Revan bukan satu-satunya yang harus kau salahkan.”
Nayla terdiam.
“Apa maksudmu?” tanyanya lagi, kali ini dengan suara lebih tenang.
“Aku ingin kita bertemu. Ada sesuatu yang perlu kau ketahui.”
Panggilan berakhir begitu saja, meninggalkan Nayla dalam kebingungan yang semakin dalam.
Jika dulu ia hanya bimbang karena hatinya mulai merasakan sesuatu untuk Revan, kini ia mulai bertanya-tanya: **Apakah ada kebenaran lain yang selama ini belum ia ketahui?**
Dan apakah, pada akhirnya, ia benar-benar ingin melanjutkan dendam ini?
BAB 6 RAHASIA YANG TERUNGKAP
Nayla duduk di dalam ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah. Sudah lama ia merasa ada sesuatu yang janggal dengan perpisahannya dengan Revan di masa lalu. Selama ini, ia hanya percaya pada kenyataan yang tampak di depan mata—Revan memilih wanita lain karena harta dan kekuasaan. Tapi semakin ia mengenal Revan yang sekarang, semakin ia merasa ada hal yang disembunyikan darinya.
Sore itu, tanpa sengaja, Nayla menerima sebuah dokumen rahasia yang dikirimkan kepadanya melalui email anonim. Saat membukanya, matanya membelalak. Itu adalah salinan percakapan email lama antara Revan dan seseorang bernama Karina. Tangannya bergetar saat membaca setiap kata yang terpampang di layar.
_”Kau harus meninggalkan Nayla, atau aku akan memastikan kau dan keluargamu tidak akan pernah memiliki masa depan di kota ini.”_
_”Aku bisa membantumu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, Revan. Tapi syaratnya jelas—Nayla harus keluar dari hidupmu.”_
_”Aku bisa membuat ayahku menarik semua dana investasi dari perusahaan tempatmu bekerja. Kau tahu apa yang akan terjadi jika itu terjadi.”_
Nayla merasakan dadanya sesak. Jadi, Revan tidak meninggalkannya begitu saja. Dia dipaksa. Karina dan keluarganya telah merancang segalanya.
Malam itu, Nayla memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Dia menghubungi seorang kenalan lama yang pernah bekerja di perusahaan tempat Revan dulu bekerja. Lewat telepon, pria itu membenarkan kecurigaannya.
“Revan dulu hampir kehilangan pekerjaannya, Nay. Karina yang menyelamatkannya dengan menarik pengaruh ayahnya. Saat itu, semua orang tahu bahwa dia tak punya pilihan lain. Dia mencintaimu, tapi keadaan memaksanya memilih jalan yang salah.”
Hati Nayla mencelos. Kenapa selama ini dia tidak pernah berpikir bahwa mungkin Revan juga seorang korban? Kenapa ia terlalu sibuk dengan amarah dan dendam hingga mengabaikan kemungkinan bahwa kisah mereka tidak sesederhana itu?
Malam semakin larut ketika Nayla akhirnya memutuskan untuk menemui Revan secara langsung. Ia ingin mendengar kebenaran dari mulutnya sendiri.
Di sebuah kafe kecil yang dulu sering mereka kunjungi, Nayla menunggu dengan hati penuh kegelisahan. Ketika Revan datang, ekspresi wajahnya menunjukkan keterkejutan.
“Ada apa?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Nayla menarik napas dalam. “Aku tahu semuanya, Revan.”
Mata pria itu sedikit melebar. “Maksudmu?”
“Aku tahu bahwa kau tidak meninggalkanku begitu saja. Aku tahu Karina dan keluarganya memaksamu untuk pergi.”
Revan tampak terkejut, lalu menunduk dalam diam. Tangannya mengepal, seolah berusaha menahan perasaan yang selama ini ia pendam.
“Aku tidak punya pilihan, Nay,” katanya akhirnya dengan suara bergetar. “Saat itu, aku hanyalah pria miskin yang berusaha membangun karier. Aku ingin bersamamu, tapi Karina… dia mengancam akan menghancurkan segalanya. Bukan hanya aku, tapi juga keluargaku. Aku tak sanggup mengambil risiko itu.”
Nayla menatapnya lekat-lekat. Untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang selama ini tak pernah ia perhatikan—kesedihan mendalam di mata Revan.
“Kau seharusnya memberitahuku,” bisiknya.
Revan tertawa pahit. “Kalau aku memberitahumu, apa yang bisa kita lakukan? Saat itu aku bukan siapa-siapa. Aku tak bisa melawan kekuasaan keluarganya. Aku memilih jalan yang menurutku bisa menyelamatkan kita berdua, meskipun itu berarti aku harus kehilanganmu.”
Hati Nayla terasa semakin berat. Selama ini, ia mengira Revan adalah satu-satunya orang yang harus disalahkan. Tapi kini, ia melihat kenyataan yang berbeda.
“Mengapa kau tidak pernah mencoba kembali padaku setelah kau punya segalanya?” tanya Nayla.
Revan menatapnya dengan tatapan sendu. “Karena aku pikir kau sudah terlalu membenciku untuk menerima penjelasanku. Aku tahu kau terluka, dan aku tahu itu salahku.”
Nayla mengalihkan pandangannya. Dalam hatinya, ada perasaan marah, kecewa, tetapi juga sesuatu yang lain—kesedihan atas semua waktu yang hilang.
“Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Revan akhirnya.
Nayla menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya, ia tak tahu harus memilih apa. Dendam yang selama ini ia simpan mulai terasa tidak lagi sepenting dulu. Tapi apakah itu berarti ia bisa memaafkan Revan?
Ia menatap langit malam yang terbentang di atas mereka, mencoba menemukan jawaban di antara bintang-bintang.
BAB 7 ANTARA CINTA DAN DENDAM
Nayla duduk di balkon apartemennya, memandangi kelap-kelip lampu kota yang berpendar di bawah sana. Angin malam yang sejuk tak mampu menenangkan gejolak di hatinya. Ia mengira bahwa ketika rencana balas dendamnya mulai berjalan, ia akan merasa puas, mungkin bahkan lega. Namun, yang ia rasakan saat ini justru kebingungan yang semakin menyesakkan.
Revan. Pria yang dulu menghancurkan hatinya kini berdiri di ambang pintunya, mengulurkan kembali cinta yang dulu pernah ia buang begitu saja. Nayla seharusnya tetap berpegang teguh pada niatnya. Ia sudah berusaha membuat Revan jatuh dalam perangkapnya. Tapi mengapa di saat semuanya hampir sempurna, justru hatinya mulai goyah?
Beberapa hari terakhir, Revan terus berusaha membuktikan ketulusannya. Ia datang dengan wajah penuh penyesalan, dengan kata-kata yang menyiratkan luka yang mungkin sama dalamnya dengan yang pernah Nayla rasakan. Setiap tatapan matanya seakan menyimpan kesedihan yang tak pernah Nayla bayangkan sebelumnya. Nayla tahu seharusnya ia tidak boleh terpengaruh. Tapi semakin lama, pertahanannya semakin rapuh.
“Kenapa kau kembali?” tanya Nayla beberapa hari lalu, saat mereka bertemu di sebuah restoran.
“Aku tak pernah benar-benar pergi,” jawab Revan lirih. “Aku hanya terjebak dalam keadaan yang tidak bisa aku lawan. Dan aku menyesal.”
Nayla ingin menertawakan kata-kata itu. Bagaimana mungkin ia bisa mempercayai orang yang telah menghancurkannya tanpa berpikir dua kali? Tetapi semakin ia melihat Revan sekarang, semakin ia sadar bahwa Revan pun terluka. Kisah yang selama ini ia yakini mungkin tidak sepenuhnya benar.
Sementara itu, Karina, wanita yang dulu merebut Revan darinya, mulai menunjukkan tanda-tanda keresahan. Karina selalu menjadi sosok yang angkuh dan penuh percaya diri, tetapi akhir-akhir ini sikapnya berubah. Ia mulai curiga bahwa Revan benar-benar ingin kembali pada Nayla.
“Jangan berpikir kau bisa mendapatkannya kembali,” ujar Karina saat bertemu dengan Nayla.
Nayla menatapnya tanpa ekspresi. “Dan apa urusanmu dengan itu?”
Karina menghela napas panjang. “Kau tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi dulu, Nayla.”
Nayla memicingkan matanya. “Aku tahu cukup banyak. Kau menghancurkan hubunganku dengan Revan, dan dia memilihmu karena kau punya segalanya.”
Karina tertawa kecil, tetapi terdengar getir. “Kau pikir semuanya sesederhana itu? Revan tidak memilihku, Nayla. Aku hanya memastikan bahwa kau bukan lagi pilihannya.”
Hati Nayla mencelos. Ada sesuatu dalam nada suara Karina yang membuatnya merasakan sesuatu yang aneh. “Apa maksudmu?”
Karina tersenyum miring. “Apa kau tidak bertanya-tanya mengapa Revan tiba-tiba meninggalkanmu tanpa alasan? Mengapa ia tidak pernah menjelaskan apapun? Itu karena aku membuatnya berpikir bahwa meninggalkanmu adalah satu-satunya cara untuk melindungimu.”
Nayla terdiam. Kata-kata Karina bergema di kepalanya, menciptakan kebingungan yang semakin dalam.
Beberapa hari kemudian, Nayla bertemu kembali dengan Revan, kali ini dengan kepala yang dipenuhi pertanyaan. Ia butuh jawaban, bukan hanya kata-kata penyesalan.
“Kenapa kau meninggalkanku?” tanya Nayla, langsung ke inti pembicaraan.
Revan menarik napas dalam sebelum menjawab. “Karina mengancamku, Nayla. Dia mengatakan bahwa keluarganya bisa menghancurkan hidupmu. Aku tidak punya pilihan selain menjauh. Aku pikir dengan begitu, aku bisa melindungimu.”
Kebohongan selama bertahun-tahun akhirnya terungkap. Nayla ingin marah, ingin membenci Revan lebih dalam. Tetapi bagaimana jika selama ini mereka berdua hanya menjadi korban permainan orang lain?
Dendam yang selama ini ia simpan dengan penuh kehati-hatian mulai terasa tidak berarti. Jika ia terus berada dalam lingkaran kebencian ini, ia akan terus tersakiti. Tetapi jika ia memilih untuk memaafkan, apakah ia siap menerima kenyataan bahwa cinta yang ia kejar mungkin hanya akan membawa luka baru?
Di antara dua pilihan itu, Nayla terjebak. Antara cinta dan dendam, mana yang seharusnya ia pilih?
BAB 8 PUNCAK KONFLIK
Nayla duduk di balik meja kaca di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan berita tentang perusahaannya. Judul besar di berbagai portal bisnis menyebutkan bahwa **Nayla Corp** terlibat dalam kasus manipulasi keuangan. Padahal, itu semua adalah kebohongan. Hatinya mendidih. Ia tahu siapa dalang di balik semua ini—**Karina**.
“Aku sudah menduga dia tidak akan tinggal diam,” gumamnya sambil mengepalkan tangan.
Telepon berdering. Dari seberang sana, suara panik sekretarisnya terdengar.
“Bu Nayla, para investor mulai menarik dana mereka. Kita harus melakukan sesuatu sebelum semuanya runtuh!”
Nayla menghela napas panjang. Semua ini terjadi di saat yang tidak tepat. Rencananya untuk membalas dendam kepada **Revan** belum selesai, tapi sekarang ia justru harus berjuang menyelamatkan bisnisnya sendiri.
Ia menutup laptopnya dengan kasar dan bangkit dari kursi. Ini bukan hanya tentang perusahaannya. Ini tentang harga dirinya. Ia sudah cukup menderita di masa lalu, dan tidak akan membiarkan siapa pun—terutama Karina—menghancurkannya lagi.
Karina Melancarkan Serangan Terakhir
Sementara itu, di sisi lain kota, Karina tersenyum puas di dalam mobil mewahnya. Ia menatap ponselnya yang menampilkan berita tentang skandal Nayla.
“Ini baru permulaan, Nayla,” katanya dingin.
Ia lalu menelepon seseorang.
“Pastikan laporan palsu tentang Nayla sampai ke semua investor besar. Aku ingin dia kehilangan segalanya, seperti bagaimana dia ingin merebut Revan dariku.”
Karina masih ingat jelas bagaimana Revan mulai menjauh darinya sejak Nayla kembali ke kehidupannya. Revan, yang dulu begitu tunduk padanya, kini justru sering menatap Nayla dengan penuh penyesalan. Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi.
“Bukan hanya bisnisnya yang akan hancur,” pikir Karina, “tapi juga hatinya.”
Pengkhianatan Revan
Di saat Nayla sibuk menenangkan para investor dan membersihkan namanya, ia mendapat panggilan tak terduga dari Revan.
“Kita harus bicara,” kata Revan dengan suara tegang.
Nayla bertemu dengannya di sebuah kafe tertutup. Saat melihat wajah Revan, Nayla bisa langsung menebak bahwa ada sesuatu yang salah.
“Kau sudah tahu siapa yang melakukan semua ini, kan?” tanya Nayla tajam.
Revan menatapnya dengan ekspresi bersalah. “Aku tahu, Nay… Dan aku minta maaf.”
Nayla mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Revan menundukkan kepalanya, lalu menghela napas panjang sebelum berkata, “Aku… sempat bekerja sama dengan Karina untuk menjatuhkan bisnismu.”
Kata-kata itu bagaikan pisau yang menancap tepat di hati Nayla.
“Apa?” desisnya dengan mata membelalak.
“Aku tidak berniat menghancurkanmu, Nayla,” lanjut Revan, suaranya bergetar. “Karina mengancamku. Jika aku tidak membantunya, dia akan menyeretku dalam skandal keuangan keluarganya. Aku tidak punya pilihan lain.”
Nayla menatap pria itu dengan mata yang penuh dengan amarah dan kekecewaan. “Jadi selama ini kau hanya berpura-pura mendekatiku? Aku hanyalah bagian dari permainan kalian?”
“Tidak!” Revan buru-buru menggeleng. “Aku mendekatimu karena aku benar-benar mencintaimu. Aku menyesal telah meninggalkanmu dulu, dan aku ingin memperbaiki semuanya…”
Nayla tertawa sinis. “Lucu. Kau ingin memperbaiki segalanya dengan cara menusukku dari belakang?”
Revan menatap Nayla dengan penuh kesedihan. “Aku sadar aku salah. Itulah kenapa aku ingin membantu menghancurkan Karina sekarang.”
Nayla menimbang kata-kata itu. Revan mungkin mengatakan yang sebenarnya, tapi bisakah ia mempercayainya lagi setelah semua ini?
Malam itu, Nayla mengambil keputusan. Ia tidak akan membiarkan Karina menang. Dengan bantuan tim hukumnya, ia mengumpulkan semua bukti tentang bagaimana Karina telah memalsukan dokumen dan menyebarkan informasi palsu.
Saat semuanya sudah siap, ia menghubungi Karina untuk bertemu.
Mereka bertemu di sebuah restoran mewah. Karina datang dengan percaya diri, mengenakan gaun merah dan senyum kemenangan.
“Aku tahu kau akan datang,” kata Karina sambil menyesap anggurnya.
Nayla menatapnya dingin. “Tentu saja. Aku tidak akan tinggal diam setelah apa yang kau lakukan.”
Karina terkekeh. “Apa yang bisa kau lakukan? Bisnismu hampir runtuh. Semua orang sudah percaya bahwa kau korup. Sebentar lagi, tak akan ada yang peduli padamu.”
Nayla tersenyum tipis, lalu mengeluarkan ponselnya dan menaruhnya di atas meja. Di layar, tampak rekaman suara Karina yang membicarakan rencana jahatnya dengan salah satu anak buahnya.
Senyum Karina langsung memudar. “Dari mana kau mendapat itu?”
“Seorang teman membantuku,” jawab Nayla tenang. “Dan aku sudah mengirimkannya ke media dan polisi. Kau pikir siapa yang akan runtuh sekarang?”
Wajah Karina berubah pucat. Ia segera bangkit dari kursinya, hendak pergi, tapi dua orang polisi sudah menunggunya di pintu keluar restoran.
“Karina Wijaya, Anda ditangkap atas tuduhan pencemaran nama baik dan manipulasi keuangan,” kata salah satu polisi.
Karina berusaha melawan, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya lagi. Ia menatap Nayla dengan penuh kebencian. “Kau akan menyesal!”
Nayla hanya tersenyum dingin. “Aku sudah cukup menyesal mencintai orang seperti kalian.”
Saat Karina dibawa pergi, Nayla menghela napas lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar menang. Tapi, apakah hatinya benar-benar puas?
Ia memikirkan Revan. Apakah pria itu benar-benar menyesal? Apakah ia layak diberi kesempatan kedua?
Malam itu, Nayla sadar bahwa puncak dendamnya bukanlah saat ia menghancurkan Karina, tetapi saat ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa terikat oleh luka masa lalu.
Ia tidak lagi ingin mengejar cinta. Ia ingin mengejar kebahagiaannya sendiri.