Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

BALAS DENDAM SANG MANTAN

BALAS DENDAM SANG MANTAN

SAME KADE by SAME KADE
April 19, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 17 mins read
BALAS DENDAM SANG MANTAN

Daftar Isi

  • Bab 1 Kenangan yang Terlupakan
  • Bab 2 Luka yang Terpendam
  • Bab 3 Puncak Rindu yang Terlarang
  •  Bab 4 Kembali ke Dunia
  • Bab 5 Perhitungan yang Menanti
  • Bab 6 Dendam yang Menjadi Bumerang
  • Bab 7 Pengungkapan yang Menjengkelkan

Bab 1 Kenangan yang Terlupakan

Dua tahun yang lalu, di tengah riuhnya kehidupan yang terus berjalan, aku masih bisa merasakan jejak-jejak kenangan tentangmu. Meskipun waktu sudah cukup lama berlalu, bayangan wajahmu masih terpatri di setiap sudut pikiranku. Namun, kini aku duduk di sini, di sudut kota yang tak asing, di kedai kopi yang menjadi saksi bisu segala cerita kita. Semuanya terasa kabur, seperti kenangan yang terlupakan, bahkan aku tak lagi bisa mengingat dengan jelas bagaimana kita pertama kali bertemu.

Aku tahu, ini adalah tempat yang penuh dengan kenangan kita. Di meja yang dulu kita duduki bersama, masih ada jejak-jejak cangkir yang sempat kamu tinggalkan. Dulu, saat masih ada kamu di sisiku, setiap sudut kota ini terasa hidup. Setiap jalan yang kita lewati, setiap sudut taman yang kita singgahi, penuh dengan cerita yang tak ingin aku lupakan. Tapi, entah kenapa, semuanya terasa seperti mimpi yang terlewatkan.

Saat itu, aku tak menyadari betapa dalamnya perasaan ini. Aku hanya tahu bahwa ada sesuatu yang indah ketika aku bersamamu. Kamu adalah seseorang yang bisa membuat setiap detik terasa berharga. Tetapi, seiring berjalannya waktu, segalanya mulai berubah. Aku masih ingat betul saat kamu pertama kali mengungkapkan perasaanmu padaku, dengan cara yang begitu sederhana namun begitu tulus. Saat itu, aku merasa dunia berhenti sejenak, hanya ada kita berdua. Kamu dan aku, seperti dua insan yang tak bisa dipisahkan oleh apapun.

Namun, setelah semuanya berlalu, aku mulai merasa ada sesuatu yang hilang. Tidak ada lagi kebahagiaan yang pernah kurasakan. Tidak ada lagi tawa yang dulu mengisi hari-hariku. Semua itu menghilang begitu saja, dan aku hanya bisa diam, terperangkap dalam kenangan yang semakin memudar.

Aku mencoba untuk melanjutkan hidup, mencari kebahagiaan di tempat lain, dengan orang lain. Tapi entah kenapa, hatiku tetap kosong. Setiap kali aku menjalin hubungan baru, aku merasa bahwa tidak ada yang bisa menggantikanmu. Kenangan tentangmu selalu hadir, mengisi ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh siapapun. Aku seperti terjebak dalam masa lalu, dan tak bisa melepaskan diri darinya.

Di sini, aku kembali merenung. Apakah ini semua hanya bagian dari takdir? Kenapa aku merasa begitu kesepian meski banyak orang di sekitarku? Kenapa kenangan tentangmu begitu kuat, seakan-akan aku tak bisa melupakanmu meski sudah lama berlalu? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku, namun tidak ada satu pun jawaban yang dapat mengusir bayanganmu.

Aku mengingat, betapa kerasnya kita berusaha untuk bertahan. Kita tahu betul bahwa hubungan kita tak mudah, dan banyak sekali rintangan yang harus dihadapi. Namun, kita terus berjuang. Setiap kali ada masalah, kita selalu mencari jalan keluar bersama. Setiap kali ada perbedaan, kita selalu bisa saling mengerti. Aku merasa, seiring berjalannya waktu, kita menjadi lebih dekat. Seperti dua jiwa yang saling melengkapi. Tapi, apakah itu cukup? Apakah semua itu cukup untuk membuat kita bertahan?

Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan perubahan yang tak bisa aku hindari. Mungkin kita sudah terlalu berbeda, atau mungkin kita sudah terlalu banyak terpisah oleh jarak yang semakin jauh. Aku tidak tahu pasti kapan semuanya mulai merenggang, tapi aku tahu satu hal: perasaan itu mulai luntur.

Saat kamu pergi, aku merasa seperti dunia runtuh. Semua yang kita bangun bersama seakan-akan hancur begitu saja. Tak ada lagi kata-kata indah, tak ada lagi janjian untuk bertemu. Yang tersisa hanya kenangan yang tak lagi bisa aku genggam. Kenangan yang seiring waktu semakin kabur, seiring dengan berlalunya hari-hari yang sunyi.

Aku mencoba untuk menerima kenyataan bahwa kita sudah tidak bersama lagi. Namun, semakin aku mencoba untuk melupakan, semakin kuat perasaan itu datang kembali. Apakah aku masih mencintaimu? Ataukah aku hanya terjebak dalam kenangan yang tidak bisa aku lepaskan? Aku tak tahu jawabannya. Yang aku tahu adalah, ada rasa kehilangan yang begitu dalam di hatiku, yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.

Di kedai kopi ini, aku memutuskan untuk menulis semua perasaan ini. Mungkin ini cara terbaik untuk melepaskan sedikit beban yang ada dalam hatiku. Mungkin, dengan menulis, aku bisa sedikit melupakanmu. Mungkin, dengan mengungkapkan segala yang terpendam, aku bisa menemukan kedamaian. Tapi, apakah itu mungkin? Apakah ada cara untuk melupakan kenangan yang begitu mendalam?

Saat aku menulis, aku menyadari satu hal: Kenangan itu tak pernah benar-benar hilang. Meskipun aku berusaha untuk melupakan, kenangan tentangmu tetap ada di setiap helai kata yang aku tulis. Kenangan itu akan selalu hidup, bahkan jika aku tak ingin mengingatnya. Mungkin, aku hanya perlu belajar untuk menerima bahwa kenangan itu adalah bagian dari hidupku. Bahwa meskipun kita tak lagi bersama, kenangan itu tetap akan ada, menjadi bagian dari siapa aku sekarang.

Aku menutup buku catatanku, dan mengangkat cangkir kopi yang sudah hampir dingin. Mungkin, inilah cara untuk menghadapinya. Menerima bahwa kenangan tak akan pernah benar-benar terlupakan, dan bahwa kita harus belajar untuk hidup bersama mereka. Karena, pada akhirnya, kenangan itu adalah bagian dari kita yang tak bisa dihapuskan.

Bab 2 Luka yang Terpendam

Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Suara rintiknya seolah menjadi irama yang menenangkan hati, namun tidak bagi Aran. Ia duduk di tepi jendela kamarnya, menatap keluar, menyesap secangkir teh hangat yang kini terasa tawar di lidah. Sesekali matanya beralih ke sebuah foto di meja dekat jendela, foto dirinya bersama seseorang yang dulu sangat berarti.

Tak jauh dari tempatnya duduk, di dalam pikirannya, bayangan masa lalu terus membayang. Setiap detil yang ia ingat tentang dia, tentang kisah mereka yang indah, kini menjadi luka yang terpendam dalam hati. Aran menutup matanya, mencoba menghindari kenyataan yang ada, namun tak bisa. Semuanya terlalu jelas, terlalu menyakitkan untuk dilupakan.

Kenangan itu datang dengan begitu hidup. Ia ingat bagaimana dulu mereka tertawa bersama di bawah pohon besar di halaman rumah, bagaimana dia selalu mengajak Aran berkeliling kota saat malam hari hanya untuk melihat bintang, dan bagaimana tangan mereka selalu saling menggenggam, tak pernah terlepas. Namun, semua itu berubah ketika takdir memisahkan mereka. Sebuah kebohongan besar menghancurkan segalanya, dan Aran yang dulu percaya, kini hanya bisa merasakan pahitnya pengkhianatan.

“Satu kata yang hilang bisa menghancurkan semuanya,” bisik Aran, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, rasa sakit yang ia rasakan tak akan hilang begitu saja, namun setidaknya ia bisa mencoba berdamai dengan kenyataan. Namun, bagaimana caranya berdamai dengan sebuah hati yang telah dihancurkan? Dengan seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya, namun tak pernah mengerti betapa dalam luka yang ditinggalkan?

Di sisi lain kota, Raka berdiri di hadapan cermin, menatap bayangannya yang tampak begitu asing. Ia meraba dada sebelah kirinya, tempat di mana hatinya dulu merasa tenang dan penuh dengan kebahagiaan. Kini, ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun, meskipun ia mencoba untuk mencari pelarian. Aran, gadis yang dulu ia cintai, kini menjadi kenangan yang terus menghantuinya.

Namun, Raka tahu bahwa dirinya yang telah mengkhianati kepercayaan Aran. Keputusan bodohnya untuk menyembunyikan kenyataan, untuk menyelamatkan dirinya dari kenyataan yang sesungguhnya, telah membunuh cinta mereka. Rasa penyesalan datang terlambat, saat Aran sudah tak lagi ada di sisinya. Dia tahu, tidak ada kata yang bisa menghapus luka yang sudah tergores begitu dalam.

“Luka ini tak akan pernah sembuh, bukan?” gumam Raka pelan. Ia menatap wajahnya sendiri, mencoba mencari jawaban dalam kilatan matanya yang kosong. Ia tak pernah tahu apakah masih ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya, atau jika itu hanya akan menjadi penyesalan yang tak ada habisnya.

Aran, di balik kesendiriannya, seringkali bertanya-tanya apakah Raka merasa hal yang sama. Apakah dia juga merasakan sakit yang sama, ataukah ia hanya melanjutkan hidupnya tanpa ada beban? Namun, Aran tahu, meskipun ia ingin melupakan, luka itu akan selalu ada. Tidak peduli seberapa keras ia berusaha mengabaikannya, rasa sakit itu akan tetap membekas.

Bertahun-tahun telah berlalu sejak perpisahan mereka, namun setiap kali Aran menutup mata, wajah Raka selalu hadir dalam mimpinya. Dia ingin melupakan, namun bagaimana bisa melupakan sesuatu yang begitu besar dalam hidupnya? Bagaimana bisa melupakan cinta pertama, yang pada akhirnya berakhir dengan pengkhianatan?

Aran berusaha bangkit. Dia tahu, hidup harus terus berjalan. Dia tidak ingin terjebak dalam masa lalu yang penuh dengan penderitaan. Namun, meskipun ia berusaha untuk melupakan, hatinya selalu kembali pada kenangan itu. Setiap kali melihat Raka, perasaan yang sama, rasa sakit itu muncul kembali. Ia ingin sekali bisa menatapnya tanpa ada perasaan apapun, tapi kenapa setiap kali bertemu, hatinya berdebar kencang?

“Kenapa aku masih peduli?” tanya Aran pada dirinya sendiri. Hatinya yang hancur tak lagi bisa menemukan jawabannya. Namun, satu hal yang ia yakini, luka yang terpendam itu tak akan pernah benar-benar hilang. Seiring berjalannya waktu, luka itu mungkin akan membaik, namun bekasnya akan selalu ada.

Raka tahu, untuk meminta maaf tidaklah cukup. Aran mungkin telah meninggalkan dirinya, namun Raka tidak pernah bisa meninggalkan perasaan bersalah yang terus menggerogoti dirinya. Setiap kali melihat wajah Aran, ia merasakan beban yang berat. Namun, apakah Aran masih menyimpan rasa yang sama? Atau mungkin, ia sudah benar-benar melupakan Raka dan melanjutkan hidupnya?

Kisah mereka mungkin telah berakhir, namun luka yang terpendam dalam hati tetap hidup. Aran dan Raka, meskipun terpisah oleh jarak dan waktu, tetap membawa kenangan itu dalam setiap langkah hidup mereka. Dan luka yang mereka alami akan selalu mengingatkan mereka tentang sebuah cinta yang dulu begitu indah, namun kini hanya tersisa sebagai bayangan yang menyakitkan

Bab 3 Puncak Rindu yang Terlarang

Sore itu, langit terlihat lebih kelabu dari biasanya. Hujan yang turun seakan menyapu segala kesedihan yang ada, namun hati Lila masih dipenuhi rasa yang tak terdefinisikan. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali melihatnya, namun kenangan tentang Ardi masih terpatri jelas, tak pernah memudar.

Lila mengingat kembali bagaimana semuanya dimulai. Pertemuan pertama mereka di kampus, di bawah langit yang cerah, begitu indah dan penuh harapan. Ardi, dengan senyum hangat dan mata yang penuh ketulusan, memperkenalkan dirinya dengan cara yang sangat sederhana namun membekas di hati. Mereka berbicara tentang segala hal, dari mata kuliah yang sulit hingga impian yang ingin mereka capai. Waktu terasa berhenti ketika Ardi ada di dekatnya, dan Lila tahu saat itu, ia telah jatuh cinta tanpa sadar.

Namun, kisah indah itu tak berlangsung lama. Sebuah kesalahpahaman yang tak terduga meruntuhkan semua yang telah mereka bangun. Lila merasa dikhianati, dan Ardi memilih untuk pergi tanpa penjelasan yang memadai. Keputusan Ardi untuk meninggalkan Lila menjadi luka yang mendalam, yang semakin hari semakin sulit untuk disembuhkan. Lila mengunci hatinya, berusaha meyakinkan diri bahwa ia telah melupakan Ardi, meskipun kenyataan berkata lain. Hatinya masih terikat pada kenangan yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.

Hari ini, saat Lila sedang berjalan di taman kampus, tak sengaja matanya tertuju pada sosok yang sangat dikenalnya. Ardi. Pria itu berdiri di bawah pohon besar, memandang langit dengan tatapan kosong. Hati Lila berdetak lebih cepat. Perasaan yang telah lama terkubur itu seakan kembali bangkit, menguasai dirinya tanpa bisa ditahan. Ia ingin menghampiri Ardi, tapi sesuatu menahannya. Rasa sakit yang pernah ia rasakan, rasa marah dan kecewa, masih membekas di hati. Namun, di sisi lain, Lila tak bisa mengabaikan perasaan rindunya yang begitu dalam. Sudah terlalu lama ia hidup dengan bayang-bayang Ardi yang terus menghantuinya.

“Apakah ini yang dinamakan cinta?” Lila bertanya pada dirinya sendiri.

Di sudut taman itu, Ardi tiba-tiba menoleh, dan pandangan mereka bertemu. Untuk sesaat, dunia seperti berhenti berputar. Ada keheningan yang memecah segala kata-kata yang ingin keluar dari mulut Lila. Ardi tersenyum, namun senyuman itu terasa asing. Seolah-olah ia juga terjebak dalam kenangan yang sama, namun keduanya terlalu terluka untuk melangkah lebih jauh.

“Lila,” Ardi akhirnya berkata, memecah keheningan. Suaranya terdengar penuh kehangatan, meski ada kesedihan yang tak terungkapkan. “Kamu… kamu masih di sini.”

Lila menatapnya dengan hati yang bergejolak. Ia ingin mengatakan banyak hal, menanyakan kenapa Ardi pergi begitu saja tanpa penjelasan, namun kata-kata itu terbungkam begitu saja. Yang ada hanya rasa rindu yang menguar, mengalir di antara mereka seperti aliran sungai yang tak bisa dibendung.

“Kenapa kamu pergi?” Lila akhirnya mengeluarkan kata-kata itu, suaranya bergetar. “Kenapa kamu meninggalkan aku tanpa penjelasan?”

Ardi menghela napas panjang. Ia terlihat tertekan, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan namun tak mampu. “Lila, aku… aku minta maaf,” katanya dengan suara rendah. “Aku membuat keputusan yang salah, dan aku tahu itu. Aku tak pernah berniat menyakitimu.”

Lila menatapnya tajam. Kata-kata itu seperti pisau yang tajam, menyayat hati yang telah lama terluka. Namun, ada sesuatu yang berbeda di mata Ardi. Ada penyesalan yang begitu dalam, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lila merasakan bahwa Ardi benar-benar menyesal atas apa yang telah terjadi. “Aku juga minta maaf,” ujar Lila pelan. “Aku… aku sudah mencoba untuk melupakanmu, tapi aku tak bisa.”

Ardi mendekat, namun Lila mundur sejenak. Rasa takut dan ragu menyelimuti dirinya. Hatinya berkata satu hal, tetapi akalnya berkata lain. “Kita tidak bisa kembali,” kata Lila dengan suara yang hampir tak terdengar. “Sudah terlalu banyak yang terluka.”

Namun, Ardi tidak menyerah. Ia mendekati Lila dan berkata, “Lila, aku tahu kita tak bisa kembali ke masa lalu, tetapi aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita saling memaafkan.”

Lila terdiam, matanya mulai memanas. Air mata yang sudah lama terkunci itu akhirnya jatuh. Ia tidak tahu apakah ini adalah saat yang tepat untuk membuka hatinya lagi, atau justru menyakiti dirinya lebih dalam. Yang jelas, ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sebuah harapan yang sempat mati kini mulai tumbuh kembali. Namun, apakah ia siap untuk mengambil langkah itu?

Di bawah hujan yang semakin deras, Ardi dan Lila berdiri saling menatap, menghadapi masa lalu mereka yang penuh luka dan kesalahpahaman. Mereka tahu bahwa jalan yang harus mereka tempuh tidak akan mudah, tetapi tak ada yang lebih berat daripada kehilangan satu sama lain.

Dengan berat hati, Lila berkata, “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Ardi. Tapi, mungkin kita bisa mencoba… mencoba untuk memulai lagi.”

 Bab 4 Kembali ke Dunia

Malam itu terasa berbeda. Setelah sekian lama menyembunyikan perasaan dalam lubuk hati yang terdalam, kini aku merasa seolah beban itu ingin meledak. Sejak pertemuan kami beberapa hari lalu, kenangan tentangmu tak pernah hilang. Wajahmu, senyummu, dan segala hal tentangmu selalu mengganggu pikiranku. Terkadang, aku merasa seakan waktu berhenti ketika aku memikirkanmu. Namun, semakin lama, semakin kuat pula rasa benci yang tumbuh, benci terhadap dirimu yang telah merusak hidupku.

Aku duduk di tepi jendela, memandang luar. Langit malam yang kelam tanpa bintang itu mengingatkanku padamu. Berbeda dengan masa lalu, ketika kita duduk bersama di tempat yang sama, berbicara tentang impian dan masa depan. Semua itu kini tinggal kenangan pahit yang tak ingin kuingat, tetapi tak bisa lepas begitu saja. Cinta yang pernah ada, kini berubah menjadi luka yang tak kunjung sembuh.

*“Sudah cukup, Fira. Jangan biarkan kenangan itu menguasai hidupmu,”* kataku pada diriku sendiri, berusaha untuk melepaskan dirimu dari pikiranku. Namun, seberapapun kerasnya aku berusaha, bayangmu selalu datang, seperti bayangan yang tak bisa dihindari.

Hari-hari berlalu dengan lambat, dan aku berusaha untuk kembali ke kehidupan sehari-hariku. Aku kembali bekerja di kantor, mengurus segala hal yang tertunda, dan mencoba untuk melupakanmu. Tetapi, di setiap sudut, ada jejakmu yang tak bisa kuhapuskan. Misalnya, ketika aku melewati jalan yang biasa kita lewati bersama, atau ketika aku duduk di kafe yang dulu sering kita kunjungi, semuanya seperti kembali mengingatkan aku pada masa lalu kita.

Mungkin ini adalah hukuman yang harus kuterima. Mengingat bahwa aku adalah orang yang memilih untuk tidak memperjuangkan kita lebih lama lagi. Aku yang memilih untuk pergi, memilih untuk mengakhiri segala yang pernah kita bangun. Rasanya seperti hidupku terjebak dalam dunia yang tidak pernah aku pilih, dunia yang penuh dengan penyesalan dan keraguan.

Pada suatu sore, ketika aku sedang duduk di meja kerja, teleponku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari nomor yang tidak aku kenal. Awalnya, aku ragu untuk membukanya. Namun, dorongan rasa penasaran membuatku akhirnya memutuskan untuk membuka pesan itu.

*“Fira, ini aku, Ray. Maaf kalau aku mengganggu. Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Aku tahu aku telah membuat banyak kesalahan, dan aku menyesalinya. Aku berharap suatu saat nanti kita bisa berbicara lagi, meskipun hanya sebentar.”*

Pesan itu seperti menyapu seluruh perasaanku. Ada kebingungan, amarah, dan juga sedikit rasa rindu yang tak bisa kuungkapkan. Aku terdiam, menatap layar ponselku dalam keheningan. Ray. Nama itu selalu datang dengan segala kenangan yang membuat hatiku bergejolak. Aku ingin membalasnya, ingin meluapkan semuanya, tetapi ada sesuatu yang menahan. Rasa sakit yang dulu kuterima, bagaimana mungkin aku bisa begitu saja melupakan semuanya?

Aku meletakkan ponselku dengan hati yang berat. Rasanya seperti sebuah beban baru yang muncul, entah apa yang harus kulakukan sekarang. Menerima kenyataan bahwa ia masih ada di sini, mencoba untuk kembali, atau terus bertahan dengan kebencian yang kubangun selama ini.

Di malam yang sama, aku berjalan ke luar rumah untuk menenangkan pikiran. Udara malam yang dingin menyentuh wajahku, dan aku menarik napas dalam-dalam. Tiba-tiba, aku merasa seperti seorang wanita yang sedang berdiri di persimpangan jalan. Satu jalur mengarah ke masa lalu, ke dirimu, sedangkan yang lainnya mengarah ke masa depan yang masih penuh ketidakpastian. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk memilih satu di antara keduanya.

Namun, dalam hati kecilku, ada satu hal yang tak bisa dipungkiri. Rindu. Ya, meski aku mencoba menepisnya, rasa itu tetap ada. Rindu pada dirimu yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupku, meski kini hanya tinggal kenangan yang terluka.

Aku kembali ke dalam rumah, duduk di kursi, dan menatap layar ponselku lagi. Pesan itu masih terbaca, dan aku tahu, apapun yang aku putuskan nanti, keputusan itu akan mengubah segalanya.

Sudah cukup lama aku terjebak dalam dunia penuh kenangan, dunia yang penuh kebohongan dan kesalahan. Mungkin inilah waktunya untuk kembali ke dunia yang lebih nyata, dunia di mana aku bisa menemukan diriku sendiri lagi. Dunia di mana aku tidak lagi terbelenggu oleh masa lalu, dan di mana hatiku bisa sembuh perlahan, meski masih ada luka yang sulit hilang.

Tapi satu hal yang pasti, aku tahu bahwa hidup harus terus berjalan, meskipun jalan itu penuh dengan rintangan. Aku harus bisa menemukan cara untuk melepaskan dirimu, meskipun itu akan menjadi perjalanan yang panjang dan penuh perjuangan.

Bab 5 Perhitungan yang Menanti

Waktu terus berlalu, namun perasaan di dalam hati Rina tak juga berubah. Ia masih memendam kebencian yang mendalam kepada Zayn, lelaki yang pernah mengisi hatinya dengan kebahagiaan palsu, lalu meninggalkannya begitu saja. Kepergian Zayn bukan hanya merobek hatinya, tetapi juga menghancurkan seluruh hidupnya. Apa yang lebih sakit daripada merasa dikhianati oleh orang yang pernah ia percayai sepenuhnya?

Rina menatap kosong ke luar jendela kamarnya, matanya memandang langit yang cerah. Namun, pikirannya terbang jauh ke masa lalu, pada kenangan yang tak bisa ia lupakan. Kenangan saat ia dan Zayn tertawa bersama, berbicara tentang masa depan mereka, dan berjanji untuk selalu ada untuk satu sama lain. Semua itu kini terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.

Dendam. Itu adalah kata yang terus berputar-putar di dalam kepalanya. Rina tak bisa lagi menutupi perasaannya. Ia ingin Zayn merasakan sakit yang sama, merasakan apa yang ia rasakan. Sebab, baginya, tidak ada yang lebih kejam daripada melukai seseorang yang sepenuh hati mencintaimu. Ia tahu bahwa dendamnya akan membawa akibat, tetapi kali ini ia tak peduli.

Beberapa bulan setelah Zayn meninggalkannya, Rina menerima kabar bahwa pria itu akan kembali ke kota tempat ia tinggal. Zayn akan kembali untuk suatu acara penting, dan itu adalah kesempatan yang tidak akan pernah ia lewatkan. Rina merasa bahwa tak ada waktu yang lebih tepat daripada saat ini untuk melaksanakan rencananya. Dengan hati yang penuh amarah dan rasa sakit, ia memutuskan untuk menghadapi Zayn secara langsung.

Hari yang dinantikan pun tiba. Rina mengenakan gaun hitam yang elegan, berusaha untuk tampil sekuat mungkin. Meskipun hatinya penuh kebencian, ia tidak boleh menunjukkan kelemahannya. Ia tahu Zayn akan berada di acara itu, dan ia harus siap menghadapi pria itu dalam keadaan yang lebih kuat daripada sebelumnya. Rina telah merencanakan segalanya dengan cermat, dan dia tidak akan mundur.

Setibanya di acara tersebut, Rina langsung mencari Zayn di antara kerumunan. Lalu, matanya tertuju pada sosok yang selama ini ia cari. Zayn terlihat tampan seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda darinya. Ia terlihat lebih matang, lebih dewasa. Namun, Rina tahu betul bahwa di balik semua itu, ada luka yang ia sembunyikan dengan rapat. Ia tak bisa melupakan cara Zayn meninggalkannya begitu saja, tanpa memberi penjelasan yang memadai.

Rina merasa hatinya semakin berdetak kencang. Ia berjalan mendekat, dan seketika itu juga Zayn melihatnya. Wajah pria itu memerah sejenak, seolah terkejut melihat Rina hadir di sana. Rina tahu bahwa Zayn tidak siap untuk bertemu dengannya, dan itu adalah bagian dari perhitungan yang ia rencanakan. Ia ingin Zayn merasakan rasa takut yang pernah ia rasakan saat ditinggalkan begitu saja.

Zayn menghampiri Rina dengan senyum yang terlihat dipaksakan. “Rina, lama tak jumpa,” katanya, berusaha terdengar ramah.

Rina hanya tersenyum tipis, tatapannya tajam, penuh kebencian. “Benar, lama sekali,” jawabnya singkat. “Tapi, Zayn, aku ingin kau tahu sesuatu.”

Zayn terdiam, matanya menatap Rina dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa itu?” tanyanya, walaupun rasa bersalah mulai merayapi dirinya.

Rina menatap Zayn dengan mata yang penuh dendam. “Aku sudah memaafkanmu, Zayn. Tapi aku tidak akan pernah lupa apa yang kau lakukan padaku,” katanya dengan suara pelan namun penuh kekuatan. “Aku harap, suatu hari nanti, kau merasakan hal yang sama yang aku rasakan.”

Zayn tampak terkejut dengan kata-kata Rina, dan sesaat ada kekosongan dalam pandangannya. “Rina, aku… aku tahu aku salah. Aku… Aku tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi,” ujarnya dengan penyesalan yang terdengar tulus.

Namun, Rina tidak merasa terharu. Ia tahu bahwa Zayn hanya merasa bersalah karena kini ia tahu betapa besar luka yang telah ia ciptakan. “Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, Zayn,” katanya, melangkah mundur sedikit. “Aku hanya ingin kau tahu, hatiku sudah mati untukmu. Dan aku tidak akan pernah memberimu kesempatan kedua.”

Zayn terdiam, dan Rina bisa melihat bagaimana lelaki itu merasakan kekalahan yang mendalam. Perasaan yang selama ini ia sembunyikan akhirnya terungkap. Ia telah lama hidup dengan penyesalan, dan sekarang, di depan Rina, ia merasakan betapa perasaan itu benar-benar menghancurkan dirinya.

Rina menoleh dan berjalan pergi, meninggalkan Zayn yang terdiam dengan perasaan penuh penyesalan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia merasa telah melakukan hal yang benar. Dendamnya telah terbalaskan, namun, di sisi lain, ada rasa kosong yang ia rasakan. Seiring langkah kakinya yang semakin menjauh, ia menyadari bahwa meskipun dendamnya telah terpenuhi, hati yang penuh amarah itu tidak bisa menghapus luka yang sebenarnya lebih dalam dari yang ia pikirkan.

Di luar sana, dunia terus berjalan, dan Rina tahu bahwa perjalanan hidupnya baru saja dimulai. Ia harus belajar untuk memaafkan dirinya sendiri dan melepaskan semua rasa sakit yang pernah ia rasakan. Sebab, pada akhirnya, hanya dengan melepaskan, ia bisa melangkah menuju masa depan yang lebih baik.

Bab 6 Dendam yang Menjadi Bumerang

Hujan rintik-rintik mengiringi langkahku menuju rumah yang pernah penuh dengan kenangan. Rumah yang dulu menjadi tempat aku dan Arya merajut impian, tempat kita saling berbagi tawa dan cerita. Namun kini, rumah itu terasa asing, penuh dengan bayangan kelam. Setiap sudutnya membawa kembali ingatan tentang pengkhianatan yang terjadi, tentang semua yang hilang karena dendam yang aku pelihara terlalu lama.

Aku berdiri di depan pintu, menatap nama yang terukir di atasnya. Rumah itu kini bukan lagi milikku, dan mungkin bukan lagi milik Arya. Semuanya hancur setelah aku memutuskan untuk membiarkan dendam menguasai diriku. Namun, yang tidak aku duga adalah bagaimana dendam itu justru menjadi bumerang yang menghancurkan hidupku sendiri.

Beberapa bulan lalu, aku tak mampu menerima kenyataan bahwa Arya telah memilih untuk meninggalkan aku demi seseorang yang dianggapnya lebih baik. Aku merasa dihianati, dipermalukan, dan dipaksa untuk melepaskan semua yang sudah kami bangun bersama. Rasa sakit itu tak bisa kujelaskan dengan kata-kata, seolah dunia runtuh di atas kepalaku. Aku memilih untuk menutup hati, membiarkan rasa amarah dan dendam itu tumbuh subur di dalam diriku.

Aku mulai melakukan apa saja untuk membuat Arya merasakan apa yang aku rasakan. Aku memutuskan untuk membalas pengkhianatannya dengan cara yang paling menyakitkan, membuat hidupnya tak tenang, penuh dengan ketidakpastian. Aku tahu bahwa cara ini bukanlah cara yang benar, tapi aku tidak peduli. Dendamku sudah menguasai pikiranku, membuatku buta akan akibat-akibat dari tindakan yang kuambil.

Hari demi hari, aku mengatur rencana balas dendam itu dengan hati-hati. Aku mendekati orang-orang terdekat Arya, mencari tahu kelemahan dan ketakutannya. Setiap langkahku direncanakan dengan penuh perhitungan, dan setiap keputusan yang aku buat hanya bertujuan untuk menyakiti Arya, untuk membuatnya menyesal atas keputusannya meninggalkan aku.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan adanya perubahan dalam diriku. Dendam yang awalnya terasa begitu memuaskan, lama kelamaan justru mulai mempengaruhi pikiranku. Aku merasa terperangkap dalam lingkaran kebencian yang tak berujung. Setiap kali aku berhasil membuat Arya menderita, aku merasa sedikit lebih baik, tetapi kebahagiaan itu tak pernah bertahan lama. Ada kekosongan yang semakin dalam di hatiku, seolah-olah aku sedang kehilangan sesuatu yang lebih berharga daripada rasa sakit yang aku timbulkan pada Arya.

Suatu malam, setelah berhasil memanipulasi situasi yang membuat Arya harus menghadapi kenyataan pahit, aku duduk sendiri di kamarku, merenung. Aku merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Apa yang telah aku capai dengan semua ini? Aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang dalam diriku, dan itu bukan sekadar perasaan marah atau kecewa, tetapi sebuah kehampaan yang jauh lebih dalam.

Tiba-tiba, suara pintu yang diketuk mengalihkan perhatianku. Aku membuka pintu dan melihat Arya berdiri di depan rumahku, dengan wajah yang tidak bisa lagi disembunyikan rasa kecewa dan kesedihan. Mata kami bertemu, dan aku bisa melihat betapa dalamnya luka yang ada di hati Arya. Namun, bukan luka itu yang membuatku terkejut, melainkan kenyataan bahwa dalam dirinya juga terdapat penyesalan yang sama besarnya.

“Aku tahu kamu membenciku,” katanya pelan, “dan aku tak bisa mengubah apa yang telah aku lakukan. Tapi aku ingin kamu tahu, aku juga menderita. Setiap hari, aku merasa seolah-olah aku kehilangan bagian dari diriku sendiri ketika aku meninggalkanmu.”

Aku terdiam. Kata-kata itu menghantamku seperti petir di tengah malam. Selama ini, aku begitu terfokus pada rasa sakitku, aku tidak pernah berhenti untuk memikirkan bagaimana perasaan Arya. Dalam dendamku, aku telah melupakan satu hal yang sangat penting: perasaan orang lain.

“Arya…” suaraku tersekat. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Aku merasa malu, merasa bodoh atas semua yang telah kulakukan. Dendam yang aku pelihara selama ini telah berubah menjadi bumerang yang menghancurkan diriku sendiri.

Arya melangkah lebih dekat, dan aku bisa merasakan betapa berat beban yang ada di pundaknya. “Aku tahu aku salah, dan aku tak bisa meminta maaf atas semua yang telah terjadi. Tapi aku berharap, suatu hari nanti, kita bisa melepaskan semua ini. Dendam ini tidak akan membawa kita ke mana-mana. Itu hanya akan mengikat kita pada masa lalu yang seharusnya sudah bisa kita tinggalkan.”

Aku terdiam. Kata-kata Arya benar. Dendam yang kuanggap sebagai cara untuk membalas pengkhianatan justru telah membawaku ke dalam jurang yang lebih dalam. Aku telah membiarkan kebencian menguasai diriku, dan itu hanya membawa kehancuran. Dalam hatiku, aku tahu bahwa ini adalah saatnya untuk melepaskan semua itu, untuk memaafkan, meskipun itu terasa sangat sulit.

“Aku… aku minta maaf,” kataku dengan suara pelan, hampir tak terdengar. “Aku tidak tahu lagi siapa aku tanpa dendam ini.”

Arya mengangguk, dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, aku merasa sedikit kedamaian. Kami berdiri di sana, saling menatap dengan rasa penyesalan yang dalam, tetapi juga dengan harapan. Dendam yang aku pelihara selama ini akhirnya menjadi bumerang yang membawa kita kembali pada kenyataan: bahwa cinta, bukan kebencian, yang harus memimpin jalan kita

Bab 7 Pengungkapan yang Menjengkelkan

Hujan di luar jendela seakan mencerminkan perasaan Ika yang tengah meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Rian. Suasana yang semula hening kini berubah menjadi penuh ketegangan. Ika menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan amarah yang mulai meluap. Rian, yang sedari tadi terlihat gugup, akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan segala sesuatu yang selama ini disembunyikannya.

“Ika, ada yang harus aku katakan,” kata Rian pelan, memecah keheningan yang mencekam. Suaranya tidak seteguh biasanya, terdengar ragu dan penuh beban.

Ika menatapnya dengan tajam, perasaan campur aduk antara kebingungan dan kekesalan. “Apa lagi, Rian? Kalau itu tentang masa lalu, lebih baik jangan. Aku sudah cukup tertekan dengan semuanya.”

Rian menundukkan kepala, seolah tidak berani melihat wajah Ika yang penuh ekspresi kecewa. “Ini bukan tentang masa lalu, Ika. Tapi aku merasa kamu perlu tahu.”

Ika merasa seperti ada yang tidak beres. Penasaran, tetapi juga takut mendengar apa yang akan diungkapkan Rian, dia berusaha tetap tenang. “Apa itu? Jangan membuatku menebak-nebak, Rian.”

Rian menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berucap dengan suara bergetar, “Aku… aku sudah tahu semuanya, Ika. Tentang perasaanmu, tentang cinta yang kamu sembunyikan untukku selama ini.”

Ika terkejut. Hatinya berdebar kencang, tetapi kali ini bukan karena kegembiraan. Justru, ada perasaan yang jauh lebih dalam, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan—kemarahan yang terkumpul. “Jadi, kamu sudah tahu?” tanyanya dengan suara yang lebih dingin dari sebelumnya. “Kenapa tidak pernah ada tanda-tanda kalau kamu sadar? Kenapa kamu tetap saja seperti ini?”

Rian mengangkat wajahnya dan menatap Ika dengan penuh penyesalan. “Karena aku tidak tahu harus bagaimana. Aku juga merasa terjebak, Ika. Aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh lagi. Tapi aku sudah melihat semuanya. Aku tahu kamu mencintaiku, tapi…”

Ika menahan napas. Kata ‘tapi’ itu seperti memotong langsung ke hatinya. “Tapi apa, Rian? Apa yang harus kamu katakan? Jika kamu merasa terjebak, kenapa kamu tidak pergi lebih dulu? Kenapa membiarkan aku merasakan semua ini, berlarut-larut, tanpa ada kepastian?”

Rian tampak bingung, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku… Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya, Ika. Aku merasa cemas, takut mengecewakanmu. Aku tidak pernah bisa memberikanmu jawaban yang kamu harapkan.”

Ika tertawa pahit, air mata hampir menetes, tetapi dia menahannya. “Jadi kamu lebih memilih diam, membiarkan aku merana tanpa tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan? Itu jauh lebih menyakitkan daripada semua pengakuanmu sekarang, Rian.”

Kata-kata itu begitu tajam, begitu menusuk. Ika bisa merasakan hatinya seperti hancur dalam sekejap. Selama ini dia berusaha keras untuk memahami, untuk menerima apapun yang datang, tetapi ternyata semua usahanya sia-sia. Rian, yang selalu ia harapkan bisa mengerti, malah membuat semuanya lebih rumit.

Rian terdiam, menyesali setiap keputusan yang telah diambil. “Aku minta maaf, Ika. Aku tahu ini mungkin tidak bisa memperbaiki apa yang sudah terjadi. Aku hanya… aku hanya takut jika aku mengungkapkan semuanya, akan ada lebih banyak luka yang tercipta.”

“Lu? Luka?” Ika hampir tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Luka itu sudah ada sejak lama, Rian. Kamu tidak perlu khawatir lagi soal itu. Kamu pikir aku merasa baik-baik saja? Kamu pikir aku bisa baik-baik saja setelah semua ini?”

Rian terdiam, seperti tidak menemukan cara untuk menyembuhkan luka yang sudah terlalu dalam. Namun, Ika sudah terlalu lelah untuk peduli. Keinginannya untuk mengetahui kebenaran selama ini sudah berubah menjadi kekecewaan yang tak terukur. Rian bisa saja meminta maaf seribu kali, tetapi itu tidak akan mengubah kenyataan yang telah terjadi.

Ika berdiri, memandang Rian dengan tatapan penuh kebingungan dan rasa sakit. “Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku rasakan. Aku tidak tahu lagi apakah aku bisa percaya padamu. Semua ini terasa seperti kebohongan yang terungkap terlalu terlambat.”

Rian hanya bisa menunduk, tidak mampu mengatakan apa-apa lagi. Ika melangkah mundur, meninggalkan ruang itu dengan hati yang hancur dan pikiran yang bergejolak. Pengungkapan yang seharusnya mengakhiri kebingungannya justru membuat semuanya semakin kacau. Di luar hujan semakin deras, seolah ikut merasakan betapa beratnya beban yang baru saja diturunkan pada dirinya.

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #DendamCinta #Pengungkapan #Kecewa #Kehilangan #CintaTerlarang
Previous Post

CINTAI ATAU DIABAIKAN?

Next Post

Terlarang Tapi Membara: Aku dan Anak Majikanku

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
Terlarang Tapi Membara: Aku dan Anak Majikanku

Terlarang Tapi Membara: Aku dan Anak Majikanku

CINTA YANG KU KEJAR

CINTA YANG KU KEJAR

DIANTARA TAWA DAN TANGIS CINTA PERTAMA

DIANTARA TAWA DAN TANGIS CINTA PERTAMA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id