Daftar Isi
Bab 1 Perpisahan yang Tak Terduga
Hari itu, langit tak secerah biasanya. Awan kelabu menggantung di atas kota, seolah ikut merasakan kesedihanku. Aku duduk di bangku taman, memegang secarik surat yang kuterima pagi ini. Surat itu begitu singkat, namun begitu menyakitkan. Kata-kata yang tercetak di atasnya seakan menari-nari di mataku, memaksa aku untuk membacanya berkali-kali.
_”Aku minta maaf. Aku tidak bisa lagi bersamamu. Ini adalah yang terbaik bagi kita berdua. Semoga kau bisa mengerti. Aku akan selalu menghargaimu. – A.”_
Aku tahu siapa yang menulis surat itu. Nama yang tercetak di ujungnya begitu familiar. A—Alden. Pria yang selama ini menjadi bagian dari hidupku, yang telah menemani hari-hariku dalam suka dan duka. Kenapa ini harus terjadi? Apa yang membuatnya mengambil keputusan secepat ini? Aku tidak bisa mengerti, bahkan setelah berusaha mencerna setiap kata dengan hati yang penuh tanya.
Beberapa bulan yang lalu, aku dan Alden begitu bahagia. Kami merencanakan masa depan bersama, berjanji akan saling menjaga dan mencintai meskipun waktu dan keadaan kadang berusaha memisahkan kami. Namun, pagi ini, semua itu terasa hancur begitu saja, seperti sebuah bangunan yang runtuh tanpa peringatan.
Aku mengenal Alden sejak kuliah. Kami bertemu di sebuah acara seminar, di mana aku, seorang mahasiswa yang pemalu, duduk di pojok ruangan, hanya mendengarkan pembicara. Tiba-tiba, seseorang duduk di sampingku, mengajakku berbicara tentang topik yang sedang dibahas. Dia adalah Alden, dengan senyumnya yang hangat dan caranya yang mudah berbicara dengan siapa saja. Sejak saat itu, kami menjadi dekat. Teman, sahabat, bahkan akhirnya menjadi lebih dari itu.
Kami menjalani hubungan yang penuh warna. Ada tawa, ada air mata, dan lebih banyak momen indah yang tercipta dari kebersamaan kami. Namun, di balik semua itu, aku mulai merasakan ada sesuatu yang berubah. Alden mulai sering menghindar, terlihat lebih tertutup, dan kata-katanya mulai terasa jauh. Aku tahu dia sedang menyimpan sesuatu, tetapi aku tidak pernah bisa menanyakannya. Aku takut jika pertanyaanku malah membuat segalanya semakin buruk.
Lalu, pagi ini datang, membawa surat ini yang seolah memberi jawaban atas semua keraguanku. Aku memegang surat itu erat-erat, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Tidak ada yang bisa kutemui untuk menjelaskan semuanya. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaanku yang berlarian di dalam benakku.
Kutatap taman yang sepi ini, mengingatkan aku pada kenangan indah bersama Alden. Di sini, kami sering duduk berdua, berbicara tentang apa pun, berjanji akan selalu bersama. Dulu, kami sering membicarakan tentang masa depan, impian-impian yang ingin kami capai. Namun, sekarang aku merasa seperti seorang diri, terjebak dalam bayangan kenangan yang perlahan memudar.
Kepergian Alden tidak hanya meninggalkan luka di hatiku, tetapi juga di hidupku. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa dia. Hari-hariku menjadi kosong tanpa kehadirannya. Mungkin aku terlalu bergantung padanya, terlalu percaya bahwa dia akan selalu ada, tapi kini semua itu berakhir.
Aku mencoba untuk mengerti keputusan Alden, meskipun sulit. Mungkin dia merasa ada yang lebih penting yang harus dia kejar. Atau mungkin, dia merasa kami sudah berjalan di jalur yang berbeda. Aku tidak tahu. Hanya dia yang tahu alasan sebenarnya.
Aku teringat beberapa minggu lalu, saat kami terakhir kali bertemu. Kami duduk di kedai kopi favorit kami, berbicara tentang hal-hal sepele. Tak ada tanda-tanda bahwa sesuatu akan berubah. Tak ada isyarat bahwa itu adalah pertemuan terakhir kami. Alden tampak seperti biasa, tersenyum padaku, membicarakan rencana-rencana kecil yang ingin kami lakukan bersama. Tidak ada yang menduga bahwa itu akan menjadi kenangan terakhir.
Tapi sekarang, semuanya berubah dalam semalam. Surat itu menjadi jawaban atas semua ketidakpastian yang kurasakan. Aku merasa seperti kehilangan separuh diriku, bagian yang selama ini menjadi tempat aku berlindung. Aku mencoba untuk menerima kenyataan ini, meskipun hatiku berontak. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup tanpa seseorang yang begitu berarti bagiku?
Air mataku mulai menetes tanpa bisa kuhentikan. Aku merasa seperti dunia ini tiba-tiba hancur di sekelilingku. Tidak ada yang bisa mengembalikan waktu, tidak ada yang bisa mengubah keputusan Alden. Yang bisa kulakukan hanya merelakan, meskipun itu sangat menyakitkan.
Perpisahan ini adalah perpisahan yang tak terduga, sebuah akhir yang datang tanpa memberi peringatan. Dan aku, yang kini terjebak dalam kesedihan, harus belajar menerima kenyataan bahwa tidak semua hal berjalan sesuai harapan. Meskipun begitu, aku tahu hidup harus tetap berjalan. Dan meskipun hatiku hancur, aku harus belajar untuk merangkak bangkit dari puing-puing perpisahan ini.
Bab 2 Mencari Jawaban
Angin malam berhembus pelan, menerpa wajahnya dengan dingin yang memaksa tubuhnya menegang. Nadia berdiri di depan rumah yang dulu pernah ia sebut sebagai rumahnya. Waktu itu, semuanya tampak sempurna. Namun kini, setelah kejadian yang merobek hatinya, rumah ini hanya mengingatkan tentang luka yang masih segar. Setiap jengkalnya, setiap sudutnya, seolah memanggilnya untuk kembali ke masa lalu. Masa lalu yang penuh janji-janji manis yang kini hanya menyisakan kepahitan.
Dia memejamkan mata, mencoba mengingat kembali alasan ia datang ke sini. Ada sesuatu yang hilang, sebuah jawaban yang selalu menggelayuti pikirannya. Pertanyaan yang berputar-putar di dalam hatinya tanpa pernah menemukan jawaban yang memadai. Mengapa semua ini terjadi? Mengapa dia dikhianati oleh orang yang paling dia percayai?
Nadia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Langkahnya mantap ketika ia akhirnya melangkah menuju pintu depan rumah itu. Pintu yang pernah dibukakan dengan senyum manis oleh Arya, kekasihnya yang kini menjadi sosok yang paling ia benci. Namun, di balik kebencian itu, ada sebuah rasa rindu yang tak pernah bisa ia buang. Rindu yang lebih seperti serpihan kenangan yang sulit untuk dihancurkan.
Dengan hati yang berdebar, Nadia mengetuk pintu. Suara ketukan itu terasa asing di telinganya, seperti suara yang datang dari dunia yang berbeda. Tak lama, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang pria dengan wajah yang sangat familiar. Arya. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, segala perasaan yang tersembunyi kembali muncul. Namun, Nadia berusaha menahan segala emosi yang ingin meledak.
“Selamat malam, Arya,” kata Nadia, suaranya terdengar datar, meskipun hatinya berteriak.
Arya terlihat terkejut, namun cepat-cepat menyembunyikan rasa terkejutnya itu. “Nadia? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan nada yang terdengar lebih seperti pertanyaan formal daripada keingintahuan.
Nadia menggigit bibirnya, berusaha untuk tetap tenang. “Aku hanya… ingin bicara,” jawabnya. “Ada banyak hal yang belum aku mengerti. Dan aku rasa, hanya kamu yang bisa memberikan jawabannya.”
Arya mengernyitkan dahi. “Jawaban? Tentang apa, Nadia?” Ia tampak bingung, meski jelas ada keraguan di matanya.
Nadia menatapnya tajam. Ia tahu ini adalah saat yang krusial. Setiap kata yang keluar dari mulutnya akan menentukan apakah ia bisa melangkah maju atau terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu. “Tentang semua yang terjadi. Tentang kenapa kamu meninggalkanku begitu saja, tanpa penjelasan. Tentang wanita itu, yang muncul di hidupmu saat aku masih ada di sini. Aku hanya ingin tahu… kenapa?”
Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Arya tampak ragu, seolah kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Ia melangkah mundur sejenak, memberi ruang di antara mereka. Nadia merasa setiap detik yang berlalu seperti waktu yang memperlebar jarak antara mereka. Hanya ada ketegangan yang membekap, namun ada sesuatu yang lebih kuat di dalam diri Nadia, dorongan untuk mengetahui kebenaran, walau itu akan menghancurkannya lebih dalam lagi.
“Aku…” Arya menghela napas panjang, seolah memikirkan dengan hati-hati apa yang akan dikatakannya. “Nadia, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku memang telah melakukan kesalahan besar, dan aku menyesalinya setiap hari.”
Nadia merasa hatinya kembali bergetar. Tanggapan itu, meskipun penuh penyesalan, tidak memberikan jawaban yang ia cari. Ia ingin tahu lebih banyak, lebih dalam. “Kesalahan besar? Lalu, apa yang membuatmu memutuskan semuanya begitu saja? Kenapa kamu tidak bisa bertahan untuk kami?” Nadanya mulai terdengar putus asa.
Arya menunduk, seolah tak mampu menatap mata Nadia lebih lama. “Aku… aku bertemu dengan seseorang yang membuatku bingung, Nadia. Aku tahu itu salah, tapi aku juga merasa terjebak. Aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari hubungan kita, jadi aku memilih jalan yang paling mudah. Aku… aku tidak tahu kenapa aku bisa begitu bodoh.”
Nadia merasa sakit di dadanya. Kata-kata Arya seperti pisau yang menancap dalam-dalam. Semua yang ia percayai tentang cinta mereka, tentang janji yang pernah diucapkan Arya, kini terasa seperti kebohongan. “Jadi, kamu meninggalkanku karena wanita itu?” tanyanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
Arya mengangguk pelan, matanya tidak bisa bertemu dengan mata Nadia. “Aku tak ingin menyakitimu lebih lama. Aku tahu aku telah melukai kamu, Nadia. Aku menyesal, sungguh menyesal.”
Nadia merasa seolah ada beban berat yang menimpanya. Ini adalah jawaban yang ia cari, meskipun itu bukanlah jawaban yang ingin ia dengar. Semua pertanyaan yang menghantuinya selama ini kini telah menemukan titik terang. Namun, keteguhan hatinya masih belum goyah. Dia tidak akan kembali. Hatinya sudah mati untuk Arya, meskipun kenangan akan selalu tinggal.
“Aku tahu kamu menyesal, Arya. Tapi itu tidak akan mengubah apa yang telah terjadi. Aku sudah jauh dari kamu, dari hubungan ini. Hatiku sudah mati untukmu,” jawab Nadia dengan suara yang tenang namun tegas. “Aku datang hanya untuk mendengar kata-katamu, dan sekarang aku sudah tahu apa yang perlu aku ketahui.”
Dengan satu langkah mundur, Nadia berbalik dan melangkah pergi. Kali ini, tanpa menoleh lagi. Karena dia tahu, dia sudah menemukan jawabannya, meskipun itu tidak memberikan kelegaan yang dia harapkan. Semua itu sudah berakhir.
Bab 3 Karma yang TerTunda
Rintik hujan turun perlahan, menari-nari di atas atap rumah, menciptakan melodi yang menenangkan namun penuh makna. Aku duduk di jendela, menatap keluar, menyaksikan jalanan yang basah oleh air hujan, merasa seolah dunia ini milikku sendiri. Namun, dalam diamku, ada sebuah cerita yang terpendam, karma yang telah terpendam terlalu lama. Aku tahu, suatu saat nanti, karma itu akan datang, dengan cara yang tak terduga.
Hari itu, hujan tampak menjadi pengingat akan semua yang telah kulakukan dan yang belum tuntas. Semua yang dulu kupilih, setiap keputusan yang kuambil, kini berbalik menjadi bayang-bayang menakutkan yang menghantuiku. Berulang kali aku mencoba lari dari kenyataan, namun karma tak pernah benar-benar hilang, ia selalu menungguku, tersenyum dengan penuh sabar, menanti waktunya tiba. Aku ingin percaya bahwa karma itu hanya cerita lama, namun realitas mulai menunjukkan bahwa itu adalah kenyataan yang harus kuhadapi.
Teringat jelas bagaimana aku dulu pernah mengabaikan perasaan seseorang. Semuanya terjadi begitu cepat, hingga aku tidak menyadari betapa dalamnya luka yang kutinggalkan. Dia, yang selalu hadir dengan senyuman hangat, akhirnya pergi, membawa segala kenangan yang kini terasa begitu jauh. Aku mungkin telah melupakan semua itu, tetapi tidak baginya. Terkadang, aku berpikir, apakah karma itu datang karena aku terlalu cepat melupakan dan terlalu lama tidak merasa?
Waktu memang tidak pernah bisa diputar mundur. Aku tahu aku tak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, namun aku tak bisa berhenti berpikir bahwa karma yang terpendam kini sedang menunggu saat yang tepat untuk kembali. Terkadang, rasa takut muncul, mencekam, menyadarkanku bahwa segala perbuatanku akan berbalik pada saat yang tak terduga. Aku merasa, karma itu bukan tentang balas dendam, melainkan tentang pemahaman, tentang kesadaran akan apa yang pernah kuabaikan.
Di tengah pikiranku yang kacau, terdengar suara pintu yang dibuka. Seorang lelaki muda berdiri di ambang pintu rumahku. Matanya menatapku dengan tatapan yang tak bisa kubaca. Dia mengenakan jaket hitam dengan ritsleting yang sedikit terbuka, rambutnya yang kusut tertiup angin yang datang bersamaan dengan hujan. Aku mengenalnya, meskipun tak pernah berbicara panjang dengan dia. Namanya Arga, salah satu sahabat dari masa lalu yang pernah kukenal, sebelum semuanya hancur begitu saja.
“Boleh aku masuk?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit ragu.
Aku mengangguk perlahan dan mempersilakannya masuk. Kami berdua duduk di ruang tamu yang sederhana. Hujan di luar semakin deras, dan suasana semakin terasa mencekam. Aku merasa aneh melihatnya di sini, di ruang yang begitu sepi ini, setelah bertahun-tahun tidak ada kabar darinya. Apa yang membawanya ke sini?
“Kenapa kamu datang?” tanyaku, mencoba memecah keheningan yang mulai menekan.
Arga menatapku dengan tatapan yang dalam, seolah menyimpan banyak cerita yang tak terungkapkan. Aku tahu dia datang bukan tanpa alasan. Kami berdua pernah berbagi banyak hal, bahkan tentang masa lalu yang kini terabaikan. Namun, seiring waktu, semuanya berubah. Aku memilih jalan yang berbeda, meninggalkan orang-orang yang pernah penting bagiku.
“Ada hal yang perlu kubicarakan denganmu,” jawabnya akhirnya, suaranya penuh penekanan. “Aku tahu ini mungkin tidak tepat, tapi aku ingin kamu tahu… Aku tidak bisa terus melanjutkan hidup tanpa mengungkapkan ini.”
Aku merasa jantungku berdebar lebih cepat. Aku bisa merasakan ketegangan yang mengalir di antara kami. Aku berusaha mengingat, apakah ada sesuatu yang belum tuntas antara kami berdua, ataukah ini tentang karma yang sudah lama menunggu untuk datang?
“Apa maksudmu?” tanyaku, suaraku sedikit gemetar.
Arga menghela napas panjang, lalu menatapku dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Kamu ingat waktu itu, kan? Waktu kamu memilih untuk pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan? Waktu kamu meninggalkanku tanpa alasan yang jelas? Aku tidak pernah benar-benar bisa melupakan itu. Tapi yang lebih membuatku terluka adalah… kamu tidak pernah kembali untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan aku.”
Kata-kata Arga menghantamku dengan keras, membuat hatiku terasa tercekat. Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa seperti kembali ke masa lalu, ke titik dimana aku dulu mengambil keputusan untuk pergi tanpa berpikir panjang.
“Maafkan aku,” bisikku, walaupun aku tahu kata-kata itu tidak akan cukup untuk memperbaiki semuanya.
Arga terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. “Kamu tidak perlu minta maaf, karena itu bukan tentang aku lagi. Ini tentang kamu, tentang karma yang kamu lupakan, yang kini datang padamu. Aku datang untuk memberitahumu bahwa hidupmu tidak akan pernah benar-benar lengkap tanpa menghadapi apa yang sudah kamu tinggalkan.”
Kata-kata itu membekas di hatiku. Karma yang tertunda, kata Arga. Apa yang sudah kutinggalkan selama ini, akan kembali menghantuiku. Itu bukan tentang apa yang sudah terjadi, tapi tentang apa yang akan datang.
Aku merasa ada sesuatu yang mengalir dalam diriku, sebuah kesadaran yang mulai tumbuh. Karma bukan sekadar balas dendam, melainkan proses untuk memahami apa yang salah dan mengubahnya. Aku sadar, mungkin inilah saatnya aku untuk menghadapi semua yang telah kutinggalkan, untuk memperbaiki diri, meskipun jalan itu penuh dengan penyesalan.
Karma yang terpendam akhirnya datang. Dan aku tahu, kini adalah waktuku untuk menerima, untuk memperbaiki, dan untuk belajar dari segala kesalahan yang telah kulakukan.
Bab 4 Pertemuan Tak Terduga
Setelah sekian lama berusaha menekan rasa perasaan yang muncul, Ari akhirnya memutuskan untuk menghadapinya. Waktu yang dilaluinya bersama Nina memang penuh gejolak emosi yang tak terbayangkan sebelumnya. Mereka selalu bertemu di tempat yang sama, sebuah kedai kopi yang memiliki nuansa hangat, tempat di mana waktu terasa berjalan lebih lambat, seolah memberikan kesempatan bagi perasaan untuk berkembang.
Ari duduk di sudut ruangan, menatap Nina yang sedang berjalan menuju meja mereka dengan senyum yang hampir memikat. Ada sesuatu yang berbeda dari Nina hari itu. Seperti ada beban di matanya yang sebelumnya tak pernah terlihat. Ari pun mengamati setiap gerak-gerik Nina dengan cermat, mencoba menilai apa yang tengah dipikirkan oleh perempuan yang telah lama menghuni pikirannya itu.
“Sepertinya kamu terlihat lelah,” kata Ari dengan suara yang hampir berbisik, berharap dapat membuat Nina merasa nyaman. “Ada yang salah?”
Nina tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang melanda dirinya. “Hanya sedikit stres dari pekerjaan,” jawabnya, meski nada suaranya terdengar seperti menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam.
Ari merasa ada yang ganjil, sesuatu yang tidak biasa. Ia telah mengenal Nina cukup lama untuk tahu bahwa Nina bukan tipe orang yang mudah terbuka tentang masalah pribadinya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Sesuatu yang lebih gelap, lebih kompleks, dan jauh lebih terpendam dalam hati Nina.
Dalam dunia psikologi, perasaan terpendam seringkali menjadi faktor yang membentuk perilaku seseorang. Menurut teori psikoanalisis Sigmund Freud, pikiran bawah sadar memegang peranan penting dalam mengatur perilaku manusia. Dan kali ini, Ari merasa bahwa apa yang tersembunyi dalam diri Nina adalah sesuatu yang harus dihadapi, meskipun dengan cara yang lebih hati-hati.
Ari mencoba menyelami lebih dalam dengan pertanyaan yang lebih ringan. “Apa yang sebenarnya kamu takutkan, Nina?” tanya Ari, menatap mata Nina yang mulai menghindari tatapannya.
Nina terdiam sejenak. Mungkin ia tidak siap untuk membuka lapisan-lapisan emosinya. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan yang terus memaksa untuk keluar. Ia tahu bahwa apa yang disembunyikannya akan segera terungkap, karena tak ada yang bisa terus-menerus menahan perasaan, terutama jika perasaan itu adalah sesuatu yang telah mengendap dalam waktu yang lama.
“Nina, kadang kita harus menghadapi apa yang telah lama kita sembunyikan,” lanjut Ari, kali ini suaranya lebih lembut, seolah memberi ruang untuk Nina berbicara.
Dalam dunia psikologi, mekanisme pertahanan diri adalah cara orang bertahan terhadap perasaan yang tidak menyenangkan. Banyak orang berusaha untuk menutupi rasa takut atau kecemasan mereka dengan cara menghindar atau menahan diri. Tetapi ketika perasaan itu terpendam begitu lama, ia akan muncul dalam bentuk yang lebih kuat, lebih mengganggu.
“Nina, aku tahu kamu sedang berjuang melawan sesuatu yang besar dalam hidupmu,” kata Ari, mencoba memecahkan kebekuan antara mereka. “Tak ada yang salah jika kita berbicara tentang itu.”
Akhirnya, Nina menatap Ari dengan tatapan yang lebih terbuka. “Aku takut, Ari. Aku takut kehilangan semua yang aku punya. Aku takut bahwa apa yang aku cintai, akan pergi begitu saja. Aku takut bahwa aku akan ditinggalkan tanpa pernah siap.”
Di situlah Ari menyadari bahwa ketakutan Nina bukan hanya tentang pekerjaan atau tanggung jawab yang menumpuk. Ketakutan itu lebih dalam, berkaitan dengan kehilangan yang sudah menghantuinya sejak lama. Dalam pandangan psikologis, ketakutan ini bisa berakar pada pengalaman masa lalu, mungkin terkait dengan trauma atau kehilangan yang dialami Nina.
Dalam dunia psikologi, ada konsep yang dikenal dengan istilah kecemasan eksistensial. Ini adalah ketakutan yang berasal dari pemahaman akan ketidakpastian hidup dan kesadaran akan kematian. Ketika seseorang sadar bahwa segala sesuatu yang ada di sekitarnya bisa hilang dalam sekejap, ia akan merasakan kecemasan yang tak terhindarkan. Nina mungkin merasa bahwa dunia yang ia kenal, yang selama ini memberi rasa aman, bisa runtuh begitu saja.
Ari mengangguk pelan, mencoba memahami perasaan Nina tanpa menghakimi. Ia tahu bahwa untuk membantu Nina, ia harus mendengarkan lebih banyak, bukan hanya berbicara. Ia harus membiarkan Nina merasakan bahwa ia memiliki tempat yang aman untuk berbagi ketakutannya.
“Aku akan selalu ada di sini, Nina,” kata Ari, dengan suara yang penuh keyakinan. “Tidak ada yang perlu kamu hadapi sendirian.”
Kata-kata Ari membawa sedikit ketenangan di hati Nina, meski ia tahu bahwa proses untuk mengatasi ketakutan itu tidak akan mudah. Namun, setidaknya, Nina merasa bahwa ia tidak perlu berjuang sendirian.
Ari menatap Nina dengan penuh empati, merasakan beban yang ada di hatinya. Ia tahu bahwa perjalanan mereka berdua masih panjang, dan bahwa masalah ini hanya permulaan dari suatu proses yang jauh lebih besar. Namun, di saat itu, Ari merasa bahwa mereka telah melewati satu langkah besar menuju pemahaman yang lebih dalam satu sama lain.
Bab 5 Puncak Dendam
Di tengah hujan yang turun dengan derasnya, Arga berdiri di depan rumah besar yang terletak di ujung jalan sepi, tempat yang dulu pernah menjadi rumah mereka. Rumah yang penuh kenangan pahit, kenangan yang kini telah menjadi api dalam dadanya. Arga menatap ke arah pintu yang tertutup rapat, seolah menunggu seseorang yang tak pernah datang. Rasa dendam itu kembali menyala dalam dirinya, menggulung setiap langkah yang diambilnya.
Dulu, rumah ini adalah tempat yang penuh kebahagiaan. Tempat di mana dia dan Laras, perempuan yang kini menjadi musuh dalam hidupnya, menjalani hari-hari penuh tawa. Namun, semua itu hancur dalam sekejap mata, ketika Laras memilih untuk mengkhianati perasaan mereka demi kekuasaan dan ambisi pribadi. Arga ingat betul hari itu—hari ketika semuanya berubah. Ketika Laras dengan dingin dan tanpa rasa bersalah, memutuskan hubungan mereka demi pria lain, demi pria yang lebih mampu memberinya segalanya, termasuk dunia yang penuh dengan kemewahan dan kekuasaan.
“Ini bukan tentang cinta, Arga,” Laras pernah berkata, suaranya datar, tanpa emosi. “Ini tentang masa depan, tentang apa yang bisa membuat aku lebih baik dari sekadar cinta remaja yang tak pasti. Kamu tak bisa memberikan itu semua.”
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Arga setiap kali dia mencoba untuk tidur. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat orang yang dia cintai, yang dia percayai, berbalik dan menghancurkan hatinya hanya untuk mengejar ambisi pribadi.
Hujan semakin deras, namun Arga tetap berdiri di tempat yang sama. Kali ini, rasa dendam yang sudah lama tertahan mulai meluap. Di bawah langit yang kelabu, Arga menyadari satu hal—dia tidak akan pernah bisa memaafkan Laras. Semua yang telah dilaluinya, rasa sakit yang ditimbulkan, tidak bisa dihapus begitu saja. Ini bukan tentang cinta lagi, ini tentang harga diri, tentang pembalasan yang sudah lama ia rencanakan.
Ia melangkah maju, mendekati pintu yang sudah begitu lama menunggu untuk dibuka. Setiap langkahnya terasa berat, seperti beban masa lalu yang terus menindihnya. Saat jaraknya hanya beberapa meter lagi dari pintu, suara langkah kaki menghentikan gerakannya. Seorang wanita, dengan paras yang dulu begitu familiar, kini berdiri di ambang pintu. Laras. Wajahnya sedikit berubah, lebih matang, lebih dingin. Namun, mata itu masih sama—mata yang pernah membuat Arga jatuh cinta, mata yang kini dipenuhi dengan kesombongan.
“Arga,” Laras menyebut namanya dengan nada yang tidak lagi penuh kehangatan. “Kenapa kamu datang ke sini? Bukankah sudah cukup lama kita berpisah?”
Arga tidak langsung menjawab. Matanya tajam menatap Laras, mencoba mencari sedikit tanda penyesalan, sedikit tanda bahwa dia masih menginginkan hubungan yang dulu. Namun, yang ia temui hanyalah ekspresi kosong, seolah Laras sudah lama menutup pintu bagi dirinya dan kenangan mereka. Rasanya, seluruh tubuhnya terhimpit oleh amarah yang begitu besar. Namun, ia tetap mengendalikannya.
“Berapa banyak lagi yang harus kamu hancurkan, Laras?” Arga akhirnya bertanya, suaranya terjepit, penuh dengan emosi yang tak bisa ia sembunyikan. “Kamu pikir semuanya bisa hilang begitu saja? Kamu kira aku akan melupakan apa yang sudah kamu lakukan?”
Laras menatap Arga tanpa ekspresi, lalu menghela napas. “Arga, aku tidak ingin berdebat lagi tentang masa lalu. Aku sudah membuat pilihan, dan itu adalah hakku. Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu.”
Mata Arga menyala. “Hakmu? Kamu pikir memilihnya adalah hakmu? Kamu mengkhianatiku, Laras. Kamu menghancurkan segalanya. Dan sekarang kamu berdiri di sini, berbicara tentang hak?”
Laras tidak berkata apa-apa. Diam-diam, ia menatap Arga, seolah menilai apakah pria ini masih memiliki tempat dalam hidupnya. Namun, seiring waktu yang berjalan, rasa bersalah itu tak lagi menggerogoti hatinya. Semua itu sudah lama ia kubur dalam-dalam, jauh dari jangkauan perasaannya yang telah berubah.
“Sekarang kamu datang ke sini hanya untuk menyakitiku lebih dalam?” Laras akhirnya bertanya, suara pelan namun tegas.
Arga menggelengkan kepala, nafasnya berat. “Aku datang ke sini bukan untuk menyakitimu, Laras. Aku datang untuk menunjukkan bahwa aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu. Apa yang kamu lakukan padaku, pada cinta kita, itu tak akan pernah terhapus.”
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti pedang yang mengiris hati mereka berdua. Laras menatap Arga dengan perasaan campur aduk. Rasa penyesalan yang begitu dalam mulai muncul, namun ego dan ambisi yang telah menguasainya lebih kuat. Arga tahu ini, dan itu membuatnya semakin terluka.
“Aku sudah membuat keputusan,” Laras berkata dengan suara yang hampir tak terdengar. “Dan aku tidak akan menoleh lagi.”
“Jadi kamu memilihnya,” Arga bertanya, nadanya rendah, penuh keputusasaan. “Itu pilihanmu? Kamu lebih memilih dunia yang telah menghancurkan kita daripada cinta yang kita miliki?”
Laras terdiam. Dalam sekejap, ingatan itu kembali hadir, tentang masa-masa indah mereka yang kini hanya tinggal kenangan. Namun, ambisinya telah menutup jalan itu, membuang semuanya ke dalam bayang-bayang yang gelap.
“Ya,” jawab Laras akhirnya, suara dingin. “Aku memilih dunia yang lebih nyata, Arga. Dunia yang bisa memberiku segalanya. Aku sudah lelah dengan dunia yang penuh mimpi. Mimpi yang kamu tawarkan padaku.”
Arga terdiam. Mimpi itu telah lama hancur, namun luka itu masih teramat dalam. Dengan perlahan, ia berbalik dan melangkah pergi. Langkahnya terasa berat, namun kali ini, ia tahu bahwa dendam yang ada dalam dirinya bukanlah untuk Laras, tetapi untuk dirinya sendiri, untuk kebangkitannya dari kenangan yang memenjarakan hati.
Bab 6 Ketika Penyesalan Datang
Langit malam menutupi kota dengan kelamnya, hanya ada lampu-lampu yang berkelap-kelip di sepanjang jalan yang sunyi. Angin malam yang sejuk menyapu wajah Rizky, seorang pria yang kini tengah berdiri di tepi balkon apartemennya. Matanya menatap kosong ke arah gedung-gedung tinggi yang bersaing dengan langit malam. Sudah berbulan-bulan sejak peristiwa itu terjadi, namun rasa sesal yang menghantuinya tak pernah berkurang sedikit pun.
Dulu, ia begitu yakin bahwa keputusan yang diambilnya adalah yang terbaik. Namun kini, setelah berjalannya waktu, ia sadar bahwa segala yang terjadi tak semudah yang ia bayangkan. Cinta yang dulu ia anggap abadi, kini justru menjadi kenangan yang begitu menyakitkan. Semua karena keputusan bodohnya yang membuatnya menjauh dari wanita yang telah memberikan segalanya untuknya.
Di balik penyesalan yang menggerogoti hatinya, ada satu sosok yang terus muncul dalam ingatannya. Amanda. Wanita yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati, yang kini tak lagi ada di sisinya. Ia masih ingat bagaimana senyum hangat Amanda selalu bisa membuatnya merasa tenang, bagaimana tawa riangnya selalu bisa mengusir segala kecemasan yang ia rasakan. Namun, rasa egois yang terlalu besar dalam dirinya membuatnya memilih untuk pergi, meninggalkan Amanda dengan alasan yang tak pernah ia pahami sepenuhnya.
Amanda telah mencoba untuk bertahan, meskipun hatinya telah terluka berkali-kali. Namun, akhirnya dia menyerah. Keputusan Rizky untuk meninggalkannya tanpa alasan yang jelas terlalu dalam untuk dipahami. Amanda memutuskan untuk mencari kebahagiaan di tempat lain, jauh dari Rizky, meskipun hatinya hancur berkeping-keping.
Rizky menundukkan kepalanya, merasakan beratnya penyesalan yang kini mencekam. Apakah ini yang seharusnya terjadi? Apakah benar ia pantas untuk merasakan penyesalan ini? Ia merasa tak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi, kecuali dirinya sendiri.
Tapi, siapa yang bisa kembali ke masa lalu? Tak ada cara untuk mengubah segala hal yang telah terjadi. Penyesalan datang terlalu terlambat, dan kini ia harus hidup dengan bayangan itu setiap hari. Mengingat wajah Amanda yang begitu bahagia di masa lalu membuatnya semakin merasa bersalah. Seharusnya ia tidak membiarkan wanita itu pergi, seharusnya ia tidak menyia-nyiakan cinta yang diberikan dengan tulus.
Rizky menggenggam tangan kanannya erat, seakan mencoba untuk meremas segala penyesalan itu agar bisa melepaskannya. Namun semakin keras ia menggenggam, semakin sakit yang ia rasakan. Begitulah penyesalan, semakin dipikirkan, semakin terasa berat. Semua yang ada kini hanyalah kenangan yang menyakitkan, dan hatinya yang kosong.
Malam itu terasa sangat panjang. Semua rasa yang terkumpul dalam hatinya seakan meluap. Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Ia sudah kehilangan Amanda, dan tak ada cara untuk mengembalikan waktu. Tapi ia tahu satu hal, ia tak bisa terus-menerus hidup dalam penyesalan. Mungkin ia tak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, namun ia bisa memperbaiki masa depannya.
Rizky menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, dan berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan berusaha untuk menjadi lebih baik, meski itu sudah terlambat bagi Amanda. Ia akan belajar dari kesalahan yang telah ia buat, agar tidak mengulanginya lagi. Jika suatu saat nanti takdir mempertemukannya kembali dengan Amanda, ia ingin bisa menunjukkan bahwa ia telah berubah. Ia ingin menunjukkan bahwa ia layak untuk mendapatkan kesempatan kedua.
Pagi pun datang dengan sinar mentari yang lembut menyinari kota. Rizky membuka mata dan melihat dunia dengan cara yang berbeda. Penyesalan masih ada, namun kali ini ia tidak membiarkannya menguasai dirinya. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, dan walaupun ia tidak tahu apa yang akan terjadi, ia siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang datang.
Langkah pertama untuk melepaskan penyesalan adalah menerima kenyataan, dan Rizky mulai belajar untuk itu. Ia tahu bahwa kesalahan yang ia buat tak akan pernah bisa dihapus, namun ia juga tahu bahwa masa depannya masih terbuka lebar, penuh dengan kesempatan. Mungkin, hanya dengan menerima kesalahan itulah ia bisa menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.
Sambil menatap ke luar jendela, Rizky memikirkan Amanda untuk terakhir kalinya. Ia berdoa dalam hati, semoga Amanda bisa menemukan kebahagiaan yang pantas ia dapatkan. Dan untuk dirinya sendiri, ia berjanji untuk tidak lagi terjebak dalam penyesalan, tapi untuk terus maju, belajar dari kesalahan, dan menghargai setiap kesempatan yang datang.
Penyesalan memang tak bisa dihindari, tetapi ia juga mengajarkan kita untuk lebih bijaksana. Hari-hari Rizky tidak akan pernah sama lagi, namun ia siap menjalani hidup dengan lebih penuh pengertian, dan mungkin, suatu saat nanti, ia bisa menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.
Bab 7 Karma Cinta
Rizka menatap langit senja yang mulai memerah. Hari itu, angin berhembus lebih pelan, seolah menyampaikan pesan yang tak terucapkan. Ia berdiri di tepian balkon apartemennya, seakan menunggu sesuatu yang datang tanpa bisa dijangkakan. Hati yang dulu penuh dengan harapan kini terasa kosong, terisi oleh rasa sakit yang tak kunjung reda.
Malam itu, ia mendapat kabar buruk tentang Arka—pria yang telah menyisakan luka mendalam dalam hidupnya. Arka, lelaki yang pernah menjadi segalanya bagi Rizka, kini berada dalam kondisi yang membuat hatinya terhimpit. Ketika hubungan mereka berakhir begitu saja beberapa bulan lalu, Rizka merasa seperti seluruh dunia runtuh. Namun, ia tahu bahwa karma akan datang untuk setiap perbuatan.
Penyakit yang menggerogoti tubuh Arka seolah menjadi balasan dari semua kesalahan yang telah ia buat. Waktu itu, saat Arka meninggalkannya tanpa penjelasan, tanpa sedikitpun rasa bersalah, Rizka merasa seolah dihancurkan. Segala harapan, cinta, dan pengorbanannya runtuh begitu saja. Tidak ada penjelasan yang diberikan Arka, hanya kepergian yang menyakitkan dan kata-kata pedas yang masih terngiang dalam ingatannya.
Namun, meski hatinya terluka, Rizka selalu percaya bahwa kehidupan akan memberikan pembalasan pada setiap perbuatan. Karma. Ia tidak pernah menginginkan hal buruk menimpa Arka, tapi tak bisa ia pungkiri bahwa ada rasa lega yang datang begitu mendengar kabar itu.
Rizka tahu, meskipun Arka kini sedang terpuruk, karma bukanlah tentang membalas dendam, tetapi tentang menerima segala akibat dari pilihan yang telah kita buat. Arka telah memilih untuk meninggalkannya tanpa peduli akan perasaan yang telah ia berikan selama ini. Ia telah memilih jalan yang meninggalkan luka di hati banyak orang.
“Seharusnya aku tidak perlu merasa senang,” Rizka bergumam pada dirinya sendiri, merasakan keheningan yang menggigit di udara. “Tapi mengingat bagaimana ia meninggalkanku tanpa alasan, tanpa memberi kesempatan untuk berbicara, rasanya sulit untuk tidak merasakannya.”
Rizka menundukkan kepalanya, matanya berkaca-kaca. Hatinya masih mengingat semua kenangan indah yang pernah mereka bagi, tapi ia tahu bahwa semuanya hanya ilusi. Arka adalah lelaki yang begitu egois, yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa melihat luka yang ia tinggalkan. Sekarang, di saat Arka membutuhkan bantuan, Rizka harus memilih: apakah ia akan kembali membuka hatinya atau melanjutkan hidupnya dengan kenangan yang pahit.
Rizka mengingat kembali saat pertama kali mereka bertemu. Bagaimana Arka dengan senyumnya yang memikat memasukinya dalam dunia penuh kebahagiaan. Awalnya, segala sesuatu tampak sempurna. Mereka berbicara tentang masa depan, berbagi mimpi dan harapan. Rizka bahkan mulai merancang kehidupan bersama Arka di benaknya. Tetapi kenyataannya berbeda, Arka ternyata hanya datang sebagai penghibur sesaat. Ketika rasa nyaman itu terbang, Arka memilih untuk pergi, tanpa berpikir panjang.
Karma cinta—ini yang ia sebutkan setelah sekian lama. Tak ada yang lebih adil dari hukum alam. Jika kita menyakiti hati seseorang, maka kita pun akan merasakan rasa yang sama. Terkadang, kita terlalu larut dalam perasaan dan ego hingga melupakan bahwa setiap tindakan punya akibat. Arka mungkin tidak menyadari saat itu, tetapi sekarang ia sedang merasakannya.
“Aku tidak ingin lagi terjerat dalam drama ini,” Rizka berkata pada dirinya sendiri. Ia menutup matanya, berusaha untuk melepaskan segala rasa yang masih tersisa. “Kehidupan sudah terlalu memberi pelajaran, dan aku harus belajar untuk tidak terjebak dalam masa lalu.”
Keesokan harinya, Rizka menerima pesan singkat dari teman-temannya yang memberitahukan bahwa Arka meminta maaf kepada mereka semua. Ia meminta bantuan mereka, meminta mereka untuk membantunya melewati masa-masa sulit ini. Rizka merasa bingung. Di satu sisi, ia ingin melupakan semua kenangan itu dan melanjutkan hidup. Tetapi di sisi lain, ada rasa ingin tahu yang mendorongnya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Akhirnya, setelah berpikir panjang, Rizka memutuskan untuk menemui Arka. Ia tidak tahu apakah ia siap untuk berhadapan dengan pria yang pernah menyakitinya, tetapi ia merasa bahwa penutupan cerita ini adalah langkah yang harus diambil.
Saat ia sampai di rumah sakit tempat Arka dirawat, Rizka merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berusaha mengatur napas, menenangkan diri, dan berdoa agar ia tidak terjatuh kembali dalam godaan rasa cinta yang sempat terpendam. Ketika pintu kamar terbuka, Arka terlihat terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, dengan wajah yang lebih pucat daripada yang pernah ia lihat sebelumnya.
“Rizka…” Arka menyebut namanya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan, dan aku minta maaf.”
Rizka berdiri di depan pintu, merasa bingung dan terombang-ambing antara perasaan yang bersih dan luka yang masih tertinggal. “Aku tidak datang untuk mendengarkan permintaan maafmu, Arka,” ujarnya dengan tenang. “Aku hanya ingin kamu tahu, karma datang pada waktunya. Dan aku sudah memaafkanmu, meski itu tidak mengubah apapun.”
Arka menatapnya, matanya penuh penyesalan. “Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan dulu. Aku terlalu bodoh untuk menyadari betapa berharganya kamu bagiku.”
Rizka hanya mengangguk perlahan, matanya yang sudah basah dengan air mata menatap Arka dengan penuh kelegaan. Pada akhirnya, ia sadar bahwa melupakan adalah pilihan terbaik. Karma telah mengajarkan mereka untuk menghargai perasaan orang lain, dan saat itu, ia memilih untuk melepaskan segala kenangan yang ada.
Dengan satu tarikan napas, Rizka berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Arka di dunia yang kini penuh penyesalan. Ia tahu, ia harus terus maju, karena hidupnya lebih berharga daripada sekadar meratapi masa lalu yang telah berlalu.