Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan di Luar Negeri
Liana dan Aidan, dua orang yang memiliki latar belakang berbeda, bertemu secara tak sengaja di luar negeri saat Aidan datang untuk sebuah pekerjaan, sementara Liana sedang berlibur.
Meskipun berbeda bahasa dan budaya, ada kecocokan yang tak terduga antara mereka. Momen pertama mereka bertemu menjadi awal kisah cinta yang berkembang.
Liana merasa nyaman dengan Aidan, sementara Aidan terkesan dengan ketulusan dan semangat Liana. Mereka memutuskan untuk tetap berhubungan meski jarak memisahkan.
Liana selalu menganggap bahwa liburan adalah cara terbaik untuk melupakan rutinitas yang padat. Beberapa bulan sebelumnya, dia memutuskan untuk berlibur ke sebuah kota kecil di Eropa, tempat yang selalu ingin dia kunjungi. Dia tidak menyangka bahwa liburannya akan berakhir dengan kejadian yang mengubah hidupnya. Di sebuah kafe pinggir jalan, di tengah kota yang ramai, dia bertemu dengan seseorang yang akan membuat hatinya berpaling.
Sementara itu, Aidan, seorang eksekutif muda asal Amerika, sedang dalam perjalanan bisnis ke Eropa. Perjalanan ini adalah bagian dari karier yang berkembang pesat di perusahaan teknologi yang telah lama dia idamkan. Pekerjaan mengharuskannya untuk banyak bepergian, dan meskipun dia menikmati kesuksesan profesionalnya, Aidan sering merasa kesepian, jauh dari keluarga dan teman-temannya. Dalam perjalanan kali ini, dia memutuskan untuk sedikit menikmati liburan singkat di luar jadwal kerja yang ketat.
Suatu sore yang cerah, ketika langit biru dan angin sepoi-sepoi mengalir lembut, Liana duduk di sebuah meja kecil di kafe yang terletak di ujung jalan sempit yang penuh dengan bunga warna-warni. Liana mengenakan gaun musim panas yang cerah, menikmati secangkir kopi sambil membaca buku perjalanan tentang kota yang sedang ia kunjungi. Di dekatnya, Aidan masuk ke kafe, mencari tempat duduk setelah merasa lelah dari perjalanan panjangnya.
Liana tidak sengaja menatap Aidan yang sedang mencari tempat duduk. Matanya yang tajam dan ekspresi yang serius menarik perhatian Liana, namun dia cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan kembali ke bukunya. Aidan, yang merasa kesepian setelah beberapa hari tanpa teman berbicara, akhirnya memilih meja di dekat Liana, berharap bisa menikmati kopi dengan tenang. Namun, takdir sepertinya memiliki rencana berbeda.
“Maaf, apakah kursi ini kosong?” tanya Aidan, dengan aksen Amerika yang kental.
Liana tersenyum kecil dan mengangguk, “Ya, tentu saja.”
Beberapa detik kemudian, keduanya hanya duduk diam, menikmati kebisingan kota dan suara mesin kopi di belakang barista. Aidan mencoba untuk tidak terlihat canggung, tetapi dia merasa ada sesuatu yang berbeda tentang pertemuan ini. Ada sesuatu dalam diri Liana yang menarik perhatian, meskipun dia tidak mengenalnya.
Liana merasa sedikit canggung karena pertemuan ini terasa lebih intim daripada yang ia kira. Namun, dia memutuskan untuk bersikap ramah dan mencoba berbicara. “Apakah Anda sedang berlibur atau ada urusan bisnis di sini?” tanya Liana, membuka percakapan dengan senyum hangat.
Aidan, yang agak terkejut dengan pertanyaan itu, membalas dengan sedikit tawa. “Sebenarnya saya sedang dalam perjalanan bisnis. Saya hanya mengambil sedikit waktu untuk menikmati kota ini, meskipun saya tidak benar-benar tahu harus ke mana.”
“Ah, saya mengerti. Saya juga sedang berlibur,” jawab Liana. “Kota ini memang mempesona, banyak tempat menarik yang bisa dijelajahi.”
Percakapan kecil mereka mengalir dengan lancar, mulai dari topik tentang kota yang sedang mereka kunjungi hingga budaya lokal. Liana yang ceria dan penuh semangat membuat Aidan merasa nyaman, seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal.
Meskipun bahasa yang digunakan mereka adalah bahasa Inggris, perbedaan budaya dan latar belakang tetap menjadi penghalang kecil. Aidan, yang berasal dari Amerika Serikat, terbiasa dengan gaya hidup yang cepat dan sering kali kurang memperhatikan detail kecil dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Liana, yang berasal dari Indonesia, memiliki pandangan hidup yang lebih santai dan menghargai momen-momen kecil dalam hidupnya.
Mereka mulai saling bercerita tentang negara asal mereka. Liana berbicara dengan antusias tentang kuliner Indonesia, dengan ekspresi yang penuh semangat. Aidan, yang belum banyak tahu tentang Indonesia, merasa tertarik dan penasaran.
“Sepertinya saya harus mencobanya suatu saat,” kata Aidan, tertawa kecil.
Liana merasa senang mendengar hal itu. “Ya, saya akan menjadi pemandu wisata Anda, jika Anda ingin berkunjung ke Indonesia suatu hari nanti.”
Percakapan mereka semakin dalam, dan seiring waktu berlalu, mereka mulai merasa seolah-olah tidak ada jarak di antara mereka, meskipun mereka berasal dari dunia yang berbeda. Kepercayaan dan kenyamanan yang tumbuh secara alami membuat mereka merasa ada ikatan yang lebih dalam meskipun hanya bertemu beberapa jam.
Setelah beberapa jam berbicara, keduanya menyadari bahwa waktu sudah berjalan begitu cepat. Mereka berdua harus kembali ke tempat mereka menginap. Namun, mereka merasa tidak ingin berpisah begitu saja.
“Saya senang bisa berbicara dengan Anda. Rasanya seperti waktu berlalu begitu cepat,” kata Aidan, dengan nada sedikit ragu.
Liana mengangguk, “Ya, saya juga merasa begitu. Rasanya seperti kita baru saja bertemu, tetapi sudah ada banyak yang kita bicarakan.”
Sebelum berpisah, Aidan memberi Liana kartu nama. “Mungkin kita bisa tetap berhubungan meskipun jarak memisahkan kita. Saya merasa kita punya banyak kesamaan.”
Liana tersenyum, menerima kartu nama itu. “Tentu saja, saya akan senang bisa tetap berhubungan.”
Setelah pertemuan itu, keduanya kembali ke rutinitas mereka masing-masing. Aidan kembali ke Amerika, dan Liana melanjutkan perjalanannya di Eropa. Namun, meskipun terpisah jarak, mereka tetap berhubungan. Pesan-pesan singkat, panggilan video, dan percakapan ringan di media sosial menjadi cara mereka menjaga ikatan yang mulai terjalin.
Liana merasa nyaman dengan Aidan. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa aman dan dihargai. Aidan, di sisi lain, merasa ada koneksi yang lebih dalam dengan Liana, meskipun mereka berasal dari dunia yang berbeda.
Meski awalnya hanya sebuah kebetulan, pertemuan mereka di kafe itu menjadi awal dari sebuah kisah cinta yang tumbuh, meskipun mereka terpisah ribuan kilometer.
Liana dan Aidan yang penuh keajaiban. Mereka berasal dari dunia yang sangat berbeda, namun takdir membawa mereka untuk bertemu di luar negeri, memulai kisah cinta yang penuh tantangan. Meski ada perbedaan bahasa dan budaya, mereka merasa ada koneksi yang tak terduga. Pertemuan mereka yang singkat, namun penuh makna, membuka jalan bagi hubungan jarak jauh yang akan menguji kekuatan cinta mereka.
Liana selalu merasa bahwa dunia ini terlalu besar untuk hanya berdiam diri di satu tempat. Setelah bertahun-tahun terjebak dalam rutinitas yang monoton di kota kelahirannya, Jakarta, dia memutuskan untuk mengejar petualangan di luar negeri. Kota kecil di Eropa yang penuh dengan sejarah dan budaya menjadi pilihan yang sempurna. Meski dalam perjalanan ini dia berusaha melupakan beban pekerjaan dan kehidupan pribadi, siapa sangka bahwa langkahnya menuju kebebasan justru mengarah pada pertemuan tak terduga.
Ketika pesawat mendarat di bandara internasional di kota itu, Liana merasa gugup namun bersemangat. Di depan matanya terbentang jalan-jalan berbatu, arsitektur kuno yang memikat, dan orang-orang yang tampaknya lebih santai daripada kehidupan kota Jakarta yang selalu sibuk. Dia tiba di kafe pertama yang ditemuinya, sebuah tempat kecil dengan desain vintage yang membuatnya merasa seolah-olah kembali ke masa lalu.
Liana memilih duduk di meja dekat jendela besar, menikmati pemandangan luar yang hijau dan menenangkan. Pikirannya melayang, sejenak melupakan kegelisahannya tentang masa depan dan segala yang belum dia capai. Meskipun liburan ini adalah langkah pertama untuk mengubah hidupnya, Liana merasa ada bagian dari dirinya yang masih kosong—entah itu tentang pencarian dirinya atau tentang hubungan yang pernah terlewati.
Aidan adalah tipe pria yang tidak pernah merasa puas dengan hanya melakukan satu hal. Sebagai seorang eksekutif muda di perusahaan teknologi ternama, dia selalu terbawa oleh kesibukan pekerjaannya. Namun, kesuksesan dalam kariernya sering kali membuatnya terasing. Ia merasa sepi, meskipun selalu dikelilingi oleh orang-orang.
Perjalanannya ke Eropa kali ini bukan hanya untuk pekerjaan, tetapi juga untuk menyegarkan diri setelah beberapa tahun berlalu tanpa waktu untuk dirinya sendiri. Setiap hari, Aidan merasakan tekanan yang semakin meningkat, terutama dengan tuntutan pekerjaan yang semakin berat. Keluarga dan teman-temannya sering menyarankan agar dia mengambil cuti, tetapi dia merasa itu bukan solusi yang tepat. Aidan berharap perjalanan ini dapat memberikan perspektif baru.
Namun, saat kakinya menginjakkan diri di kota kecil itu, rasa kesepian kembali datang. Ia memilih untuk berjalan-jalan di pusat kota, mencari sebuah kafe yang tenang, tempat ia bisa duduk sendiri dan menikmati secangkir kopi tanpa harus memikirkan jadwal padatnya. Akhirnya, Aidan masuk ke dalam kafe kecil yang tampak nyaman, di mana aroma kopi yang harum segera menyambutnya.
Ketika Aidan melangkah masuk ke kafe, matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang sedang duduk di meja dekat jendela. Wanita itu tampak asyik dengan buku di tangan, seolah tak menyadari kedatangan orang lain. Aidan merasa sedikit canggung untuk mendekatinya, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa penasaran. Mungkin karena senyum yang tampak begitu tulus di wajahnya, atau mungkin karena ekspresinya yang jauh dari terbebani oleh kesibukan hidup.
Melangkah ke arah meja kosong yang berada di samping meja Liana, Aidan tidak bisa menahan diri untuk bertanya. “Maaf, apakah tempat duduk ini kosong?” Suaranya terdengar sedikit ragu, karena pada dasarnya Aidan adalah orang yang tidak suka mengganggu orang asing.
Liana menoleh, agak terkejut dengan pertanyaan tersebut. Tetapi setelah melihat senyum ramah Aidan, dia merasa nyaman dan mengangguk. “Tentu saja, silakan duduk,” jawab Liana dengan hangat, membuat Aidan merasa lebih rileks.
Keduanya duduk dalam keheningan, tetapi ada perasaan aneh yang menggelitik keduanya. Liana merasa ada sesuatu yang berbeda pada Aidan. Tidak hanya karena penampilannya yang rapi dan penuh percaya diri, tetapi juga karena ekspresinya yang tampak sedikit cemas dan terasing. Aidan, di sisi lain, merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berhenti berputar saat melihat Liana, meskipun dia belum sepenuhnya mengerti mengapa.
Setelah beberapa saat, Liana memutuskan untuk membuka percakapan. “Apakah Anda sedang berlibur di sini?” tanyanya dengan nada ceria, berusaha memecah keheningan.
Aidan terkejut, namun menjawab dengan santai, “Sebenarnya saya sedang dalam perjalanan bisnis, hanya saja saya memutuskan untuk mengambil beberapa hari untuk bersantai di kota ini.”
Liana mengangguk, tertarik mendengar cerita Aidan. “Saya juga sedang berlibur,” kata Liana. “Kota ini sangat indah, saya merasa seperti sedang berada di tempat yang jauh dari keramaian.”
Percakapan itu berlanjut dengan topik-topik ringan tentang kehidupan di kota tersebut. Mereka berbicara tentang makanan lokal, tempat wisata yang direkomendasikan, dan bahkan cuaca yang tidak terlalu panas. Aidan mulai merasa nyaman, dan dia merasa Liana memiliki kemampuan untuk membuatnya membuka diri. Ada sesuatu yang menenangkan dalam cara Liana berbicara, seolah-olah dunia luar tidak ada dan hanya ada mereka berdua di ruang kafe itu.
Meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, Aidan yang terbiasa dengan gaya hidup cepat di kota besar Amerika, dan Liana yang lebih santai dan menghargai momen dalam kehidupannya di Indonesia, keduanya merasa ada koneksi yang tak terduga. Mereka berbicara tentang budaya masing-masing, dan Liana dengan antusias menceritakan segala hal yang dia cintai tentang Indonesia, dari makanan hingga tradisi yang kaya.
“Suatu hari, kamu harus mengunjungi Indonesia. Ada begitu banyak tempat yang menakjubkan, dan makanannya luar biasa. Saya bisa menjadi pemandu wisata kamu,” kata Liana dengan penuh semangat.
Aidan tersenyum, merasa terkesan dengan ketulusan Liana. “Saya pasti akan melakukannya,” jawabnya. “Kamu tahu, saya selalu ingin lebih tahu tentang negara-negara Asia. Mungkin Indonesia bisa jadi tempat pertama yang saya kunjungi.”
Liana tertawa ringan, senang bahwa Aidan tertarik. Mereka berbicara lebih banyak tentang berbagai hal—tentang keluarga, tentang impian, dan tentang kehidupan yang ingin mereka capai. Meskipun mereka baru pertama kali bertemu, percakapan mereka terasa begitu alami dan menyenangkan.
Setelah beberapa jam berbincang, mereka menyadari bahwa waktu telah berlalu begitu cepat. Keduanya harus segera melanjutkan aktivitas mereka masing-masing, namun mereka merasa berat hati untuk berpisah.
“Saya senang bisa bertemu denganmu, Aidan. Rasanya seperti kita sudah saling mengenal lama,” kata Liana dengan tulus.
Aidan mengangguk, merasakan hal yang sama. “Saya juga senang bisa berbicara denganmu, Liana. Mungkin kita bisa tetap berhubungan setelah ini?”
Liana tersenyum, menerima ajakan itu dengan senang hati. “Tentu, saya akan senang bisa berhubungan denganmu.”
Aidan menyerahkan kartu nama dan mereka bertukar kontak. “Saya akan menghubungimu jika ada kesempatan berkunjung ke Indonesia. Terima kasih untuk percakapan yang menyenangkan,” katanya, dengan sedikit ragu.
“Terima kasih juga, Aidan. Semoga perjalananmu menyenangkan,” jawab Liana.
Saat Aidan melangkah keluar dari kafe, dia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Meskipun hanya berbicara beberapa jam, pertemuan itu terasa begitu penting, seolah ada perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya tanpa dia sadari. Begitu juga dengan Liana. Setelah beberapa saat merenung, dia menyadari bahwa pertemuan ini lebih dari sekadar kebetulan.
Dengan berpandangan pada dunia yang lebih luas, Liana dan Aidan berpisah dengan janji untuk tetap berhubungan, meskipun mereka tahu bahwa jarak akan menjadi penghalang besar. Tetapi, terkadang, cinta bersemi di tempat yang tidak terduga, dan mungkin, untuk mereka berdua, ini baru saja dimulai.
Bab 2: Jarak yang Memisahkan
Aidan kembali ke negaranya setelah beberapa minggu di luar negeri, dan Liana kembali ke rutinitas kehidupannya. Mereka memutuskan untuk menjalani hubungan jarak jauh dengan harapan bisa menjaga komunikasi meski jauh.
Terkadang waktu yang berbeda membuat mereka kesulitan untuk tetap berkomunikasi. Liana merasa kesepian dan merindukan Aidan, tetapi dia berusaha untuk tetap kuat.
Meskipun mereka saling mencintai, perbedaan waktu dan kesibukan masing-masing membuat hubungan mereka tidak mudah.
Setelah beberapa bulan mengenal satu sama lain, Liana dan Aidan akhirnya menghadapi kenyataan bahwa jarak harus memisahkan mereka. Aidan kembali ke Amerika Serikat, sedangkan Liana tetap berada di Indonesia, menjalani hidupnya yang sibuk. Meski komunikasi mereka melalui pesan dan video call terasa hangat, keduanya tahu bahwa ada sesuatu yang hilang.
Malam itu, Liana duduk di balkon apartemennya, memandangi langit Jakarta yang berkilau dengan cahaya bintang. Pesan terakhir dari Aidan masih terbaca di layar ponselnya, “Aku merindukanmu.” Kata-kata sederhana yang menyentuh hatinya, tetapi juga menambah rasa rindu yang semakin mendalam.
Aidan merasa sama. Meski jarak yang memisahkan mereka begitu jauh, ia sering kali teringat pada Liana. Kesibukan pekerjaan di Amerika tidak mengurangi perasaan yang tumbuh di hatinya, malah kadang membuatnya semakin merindukan saat-saat mereka bersama di Eropa. Setiap malam, ia akan duduk di ruang kerjanya, membuka pesan dari Liana, dan merasa hangat dalam hati meski sedang berada jauh dari rumah.
Komunikasi menjadi tantangan besar bagi hubungan Liana dan Aidan. Waktu yang berbeda sangat memengaruhi kualitas interaksi mereka. Liana yang berada di Indonesia sering kali harus menunggu hingga malam hari, sedangkan Aidan yang berada di Amerika masih sibuk dengan pekerjaan hingga larut malam. Sering kali, satu di antara mereka harus mengorbankan waktu tidurnya demi sekadar berbicara.
Pada suatu malam, Liana menunggu Aidan untuk video call, tetapi pesan dari Aidan tidak kunjung datang. Setelah menunggu beberapa jam, ia akhirnya mengirim pesan, “Kamu sibuk sekali, ya?” Namun, meskipun merasa sedikit kecewa, ia tahu bahwa pekerjaan Aidan adalah prioritas baginya. Hati Liana bergejolak, merasakan betapa sulitnya mempertahankan hubungan jarak jauh.
Sementara itu, Aidan merasa terjebak dalam rutinitas yang penuh tekanan. Ia ingin sekali bisa memberi perhatian lebih kepada Liana, tetapi tuntutan pekerjaannya membuatnya harus terus bekerja lembur. Pada suatu kesempatan, saat ia akhirnya bisa menghubungi Liana, Aidan merasa bersalah. “Aku tahu kamu menunggu, maafkan aku, Liana. Aku tidak ingin kita terpisah karena kesibukanku.”
Liana memahami, meskipun di dalam hatinya ada keraguan. “Aku hanya ingin kamu tahu, Aidan, aku di sini. Tidak ada yang berubah.” Kata-kata Liana mengingatkan Aidan betapa pentingnya hubungan mereka, meskipun jarak memisahkan.
Hari demi hari berlalu dengan Liana dan Aidan berusaha beradaptasi dengan kehidupan baru mereka. Meskipun mereka berusaha untuk menjaga komunikasi tetap lancar, rasa rindu semakin sulit untuk dipendam. Liana sering kali merasa kesepian di malam hari, teringat pada saat-saat ketika Aidan berada di dekatnya. Begitu juga dengan Aidan, yang terkadang merasa kesepian meskipun berada di tengah keramaian.
Suatu malam, Liana membuka kotak kenangan yang ia simpan dari perjalanan mereka ke Eropa. Di dalamnya terdapat tiket pesawat, foto-foto perjalanan, dan beberapa surat yang mereka tulis satu sama lain. Saat melihat foto Aidan, Liana merasa hatinya terisi dengan perasaan yang campur aduk. Ada kebahagiaan, ada kesedihan, dan ada rindu yang begitu dalam.
Di sisi lain, Aidan juga merasa hal yang sama. Saat sedang duduk di ruang kerjanya, ia memandangi foto Liana yang ada di layar ponselnya. “Aku merindukanmu lebih dari yang aku kira,” pikirnya dalam hati. Aidan tahu bahwa meskipun mereka saling mencintai, jarak ini bukanlah hal yang mudah untuk dilalui.
Liana dan Aidan mulai merasa terbatas oleh waktu yang mereka miliki. Mereka berdua bekerja keras untuk mencapai tujuan mereka, tetapi dalam setiap percakapan, ada rasa kesulitan untuk benar-benar terhubung. Ada banyak hal yang ingin mereka ceritakan, tetapi keterbatasan waktu membuat semuanya terasa terburu-buru.
Pernah suatu malam, Liana merasa frustasi karena Aidan tampak tidak mendengarkan dengan sepenuh hati saat mereka berbicara melalui video call. “Kenapa kamu tidak mendengarkan?” tanya Liana dengan nada kecewa.
Aidan terkejut mendengar pertanyaan itu. “Aku mendengarkan, Liana. Aku hanya… aku hanya kelelahan,” jawabnya pelan. Liana merasakan ketegangan dalam suara Aidan. Meski dia tahu bahwa Aidan bekerja keras, ada perasaan tidak puas yang muncul karena mereka tidak bisa saling mendengarkan sepenuhnya.
Liana berpikir tentang bagaimana hubungan mereka bisa bertahan jika komunikasi menjadi semakin sulit. “Aku hanya merasa semakin jauh darimu, Aidan,” katanya dengan hati-hati.
Aidan terdiam sejenak. “Aku juga merasa begitu, Liana. Tapi aku berjanji akan berusaha lebih baik. Kita pasti bisa melewati ini.”
Meskipun ada kesulitan dan tantangan, baik Liana maupun Aidan terus berjuang untuk hubungan mereka. Liana berusaha tetap positif, meskipun hatinya kadang merasa berat. Dia tahu bahwa hubungan ini bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan dengan mudah, dan ia bertekad untuk terus berusaha, meskipun tantangan jarak jauh membuat semuanya semakin rumit.
Aidan juga berusaha untuk memberikan perhatian lebih pada Liana, meskipun jarak dan pekerjaan sering kali menghalangi. “Aku akan mencari cara untuk mengatur waktuku dengan lebih baik,” janji Aidan suatu malam, saat mereka berbicara panjang lebar tentang perasaan masing-masing.
Liana tersenyum, meski sedikit ragu. “Aku akan menunggumu, Aidan. Aku tahu kita bisa melewati ini. Setidaknya, aku ingin kita tetap berusaha.”
Hubungan Liana dan Aidan terus berkembang meski terhalang oleh jarak. Setiap kali mereka berkomunikasi, baik melalui pesan, telepon, atau video call, mereka merasa semakin terhubung. Namun, keduanya sadar bahwa mereka harus mencari cara untuk bertemu kembali. Jarak yang memisahkan mereka adalah ujian yang harus mereka hadapi, tetapi mereka juga mulai menyadari bahwa setiap tantangan membuat mereka semakin dekat.
Dalam momen-momen kesendirian, Liana sering kali membayangkan masa depan mereka. Bagaimana jika suatu hari nanti mereka bisa bersama tanpa jarak yang memisahkan? Semua harapan itu ada dalam pikiran Liana, meskipun ia tahu bahwa untuk mencapainya, mereka harus bekerja keras.
Aidan pun mulai merencanakan langkah-langkah selanjutnya. “Aku ingin melihatmu lagi. Aku tidak ingin kita terpisah lebih lama,” tulis Aidan dalam pesan yang ia kirimkan ke Liana.
Mereka berdua tahu bahwa jarak tidak hanya menguji kepercayaan, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk memahami lebih dalam apa yang mereka inginkan dari hubungan ini. Setiap detik yang mereka habiskan untuk berkomunikasi menjadi lebih berarti, dan harapan mereka pun semakin kuat.
Bab 3: Tuntutan Waktu dan Cinta
Aidan semakin sibuk dengan pekerjaannya, sementara Liana juga harus menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru. Mereka berdua merasakan adanya kesenjangan dalam hubungan mereka, meski cinta tetap ada.
Beberapa kali mereka hampir putus asa karena jarak yang semakin jauh. Namun, mereka berusaha untuk tetap berkomunikasi dan saling mendukung.
Setiap kali mereka merasakan keraguan, mereka belajar untuk mempercayai satu sama lain dan mengorbankan waktu demi hubungan mereka.
Bab 4: Kejutan dan Harapan
Aidan tiba-tiba merencanakan kunjungan ke Indonesia untuk menemui Liana. Momen pertemuan kembali ini membawa kebahagiaan dan harapan baru dalam hubungan mereka.
Mereka akhirnya bisa bertemu secara langsung setelah berbulan-bulan hanya berkomunikasi melalui video call dan pesan teks. Kehangatan fisik dan kebersamaan mereka kembali menyatukan hati yang lama terpisah.
Mereka menikmati momen-momen kebersamaan, tetapi mereka juga harus memikirkan bagaimana melanjutkan hubungan ini setelah Aidan kembali ke negaranya.
Hubungan jarak jauh antara Liana dan Aidan semakin terasa berat. Meski mereka sudah berusaha untuk menjaga komunikasi dan menyesuaikan jadwal, tetap saja ada hari-hari di mana mereka merasa lelah, bosan, dan tidak yakin apakah hubungan ini akan bertahan.
Liana mulai merasakan jarak bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.
Malam-malam yang dulu selalu diisi dengan telepon panjang kini semakin jarang. Video call yang biasanya penuh tawa kini terasa hambar dan dipenuhi dengan percakapan-percakapan singkat yang hanya sekadar bertukar kabar.
Aidan juga merasa tekanan yang sama. Tuntutan pekerjaannya semakin besar, dan kadang-kadang ia merasa bersalah karena tidak bisa memberikan lebih banyak waktu untuk Liana. Namun, di sisi lain, ia juga merasa tidak ingin terus-menerus ditekan oleh ekspektasi hubungan yang semakin berat.
Pada suatu malam, setelah hari yang panjang di kantor, Aidan menelepon Liana.
“Hai, sayang,” kata Aidan dengan suara lelah.
“Hai,” jawab Liana singkat.
“Apa kabar? Gimana harimu?”
“Baik…”
Hening. Tidak ada kata-kata lain yang terucap.
Aidan menghela napas. “Liana, apa kita baik-baik saja?”
Liana menggigit bibirnya. “Aku nggak tahu, Aidan. Aku merasa kita semakin jauh… Aku takut kalau ini terus berlanjut, kita akan kehilangan segalanya.”
Aidan terdiam. Ia tahu bahwa yang dikatakan Liana ada benarnya. Tapi ia juga tidak ingin menyerah.
“Aku mengerti, Liana. Aku juga merasa begitu.” Aidan berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Tapi aku masih ingin kita berjuang.”
Liana tersenyum tipis. “Aku juga…”
Namun, di lubuk hatinya, ia mulai meragukan apakah hubungan ini masih memiliki masa depan.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Aidan merasakan sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Ia tidak ingin kehilangan Liana. Ia tahu bahwa jika mereka terus begini, hubungan mereka hanya akan semakin memburuk.
Ia mulai berpikir untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang bisa menghidupkan kembali hubungan mereka.
Lalu, sebuah ide muncul di kepalanya—sebuah kejutan.
Ia mulai merencanakan sesuatu tanpa memberi tahu Liana. Ia mengatur cuti di kantornya, memesan tiket pesawat ke Jakarta, dan mulai menghubungi teman-teman Liana untuk membantunya menyiapkan kejutan itu.
Di sisi lain, Liana tidak mengetahui apa pun. Ia hanya merasa hari-hari semakin monoton. Ia bahkan mulai berpikir untuk mengambil jarak sejenak dari hubungan ini.
Namun, segalanya berubah pada suatu sore.
Ketika Liana baru saja pulang kerja dan berjalan menuju apartemennya, ia melihat seseorang berdiri di depan pintu.
Seorang pria dengan koper di sampingnya.
Aidan.
Liana terdiam, matanya melebar tak percaya.
“Aidan…? Apa… Apa yang kamu lakukan di sini?”
Aidan tersenyum, lalu membuka kedua tangannya. “Aku kangen kamu.”
Tanpa pikir panjang, Liana langsung berlari ke pelukannya.
Air mata haru mengalir di pipinya.
“Aku pikir… Aku pikir kita sudah hampir menyerah,” bisik Liana.
“Aku nggak akan menyerah,” jawab Aidan lembut. “Aku ingin kita mencoba lagi. Aku ingin kita menemukan kembali alasan kenapa kita jatuh cinta dulu.”
Liana mengangguk. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia merasakan kehangatan yang hampir ia lupakan.
Selama beberapa hari di Jakarta, Aidan dan Liana mencoba menikmati waktu mereka sebaik mungkin. Mereka mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah mereka datangi bersama, mencoba makanan favorit mereka, dan bahkan menghabiskan malam di pantai, berbicara tentang segala hal yang selama ini terasa jauh.
Pada malam terakhir sebelum Aidan kembali ke Amerika, mereka duduk berdua di balkon apartemen Liana, menikmati angin malam yang sejuk.
“Aku harap kita bisa terus seperti ini,” kata Liana pelan.
Aidan menggenggam tangannya. “Kita bisa, Liana. Kita hanya perlu terus berusaha.”
Liana menatapnya, matanya dipenuhi dengan harapan yang baru. “Terima kasih sudah datang, Aidan. Ini adalah kejutan terbaik yang pernah aku dapatkan.”
Aidan tersenyum. “Aku janji, ini bukan yang terakhir.”
Malam itu, mereka berdua sadar bahwa cinta mereka masih kuat.
Kejutan ini mungkin hanya sementara, tetapi harapan yang ditinggalkannya akan bertahan lebih lama dari yang mereka kira.
Mereka siap untuk terus berjuang.
Setelah beberapa bulan menjalani hubungan jarak jauh, Liana dan Aidan mulai merasakan dampak dari jarak yang memisahkan mereka. Meskipun mereka sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga komunikasi, realitas kehidupan sehari-hari mulai menuntut lebih banyak dari mereka. Liana di Jakarta dengan rutinitas pekerjaannya yang padat, sementara Aidan di New York, terjebak dalam hiruk-pikuk kota besar yang tidak pernah tidur.
Pada hari-hari tertentu, Liana merasa kelelahan mental. Setiap hari di kantor penuh dengan rapat, tenggat waktu, dan email yang tak ada habisnya. Di waktu luangnya, ia mencoba tetap menghubungi Aidan, tetapi percakapan mereka semakin terasa seperti formalitas. Waktu yang mereka habiskan bersama di video call semakin pendek, dan kadang-kadang Aidan tampak tidak sepenuh hati, kelelahan setelah seharian bekerja.
Di sisi lain, Aidan juga merasakan hal yang sama. Kerjaannya semakin menuntut, dan meskipun ia ingin lebih banyak menghabiskan waktu dengan Liana, ia sering kali terjebak dalam tugas-tugas yang membuatnya lelah. Meskipun mereka berbicara hampir setiap hari, percakapan mereka tidak lagi terasa seperti dulu. Ada jarak yang tak terucapkan antara mereka. Keinginan untuk menyentuh satu sama lain, berbicara tanpa henti tentang hal-hal kecil yang terjadi sehari-hari, mulai memudar.
Liana tidak bisa menghindari perasaan kesepian yang semakin menghantuinya. Dalam diam, ia merindukan Aidan lebih dari yang bisa ia ungkapkan. Tetapi, terkadang ia merasa terjebak dalam rutinitas yang memisahkan mereka. Ia tidak ingin mengganggu Aidan yang sedang sibuk, tetapi ia juga ingin merasa dihargai, ingin merasakan kembali kedekatan mereka.
Di sisi lain, Aidan yang merasa terisolasi dengan tuntutan pekerjaan juga merindukan Liana, namun ia seringkali terhalang oleh kenyataan bahwa ia tidak bisa melakukan banyak hal untuk mengurangi jarak yang memisahkan mereka. Setiap kali ia mencoba berbicara lebih panjang dengan Liana, selalu ada sesuatu yang mengganggu—baik pekerjaan maupun kesibukan yang tak terhindarkan.
Pada suatu pagi yang cerah, Liana menerima email yang tidak ia duga sama sekali. Itu adalah email dari Aidan, dengan subjek yang sederhana, “Untukmu, Liana.”
Dengan rasa penasaran, Liana membuka email tersebut. Isi email tersebut singkat namun penuh makna.
“Liana, aku tahu belakangan ini kita jarang berkomunikasi seperti dulu. Aku merasa kita mulai kehilangan apa yang kita miliki. Aku ingin membuat sesuatu yang spesial untukmu. Aku tahu ini mungkin terdengar gila, tapi aku ingin datang ke Jakarta dan menghabiskan waktu denganmu. Aku sudah merencanakan segalanya. Jadi, tunggulah aku di sana. Aku akan menghubungimu ketika semuanya sudah siap.”
Liana terkejut. Ia membaca email itu berulang kali, mencoba memahaminya. Aidan, yang selama ini tampak terjebak dalam rutinitas kerjanya, ternyata berusaha keras untuk memberi kejutan yang tak terduga. Kejutan yang mungkin akan membawa kembali semangat dan harapan dalam hubungan mereka.
Segera setelah membaca email tersebut, Liana merasakan campuran antara kebahagiaan dan kegugupan. Mungkinkah ini kesempatan untuk mereka memperbaiki hubungan yang semakin terasa terpisah?
Selama beberapa hari berikutnya, Liana tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan kejutan itu. Ia berusaha untuk tidak berharap terlalu banyak, tetapi hatinya tidak bisa menahan rasa bahagia yang mulai tumbuh. Ia mempersiapkan dirinya untuk kedatangan Aidan, meskipun ia belum tahu kapan itu akan terjadi.
Beberapa hari kemudian, ketika Liana sedang duduk di kafe favoritnya di Jakarta, ponselnya berdering. Itu adalah pesan dari Aidan.
“Liana, aku sudah di Jakarta. Aku akan menunggumu di tempat yang selalu kita kunjungi bersama. Jangan khawatir, aku ada di sana sekarang.”
Liana tidak bisa menahan diri. Ia segera berlari menuju tempat yang dimaksud, sebuah taman yang dulu sering mereka kunjungi saat pertama kali bertemu. Ketika ia tiba di sana, ia melihat Aidan berdiri di bawah pohon besar, memegang sebuah bunga mawar merah.
Aidan tersenyum begitu melihat Liana datang, dan untuk sesaat, semua keraguan dan kecemasan yang ia rasakan hilang begitu saja. Liana berlari ke arah Aidan dan langsung memeluknya erat.
“Aidan, kamu benar-benar di sini?” tanya Liana dengan suara bergetar.
“Aku di sini, Liana,” jawab Aidan lembut, sambil menyentuh rambutnya. “Aku tahu ini mungkin gila, tapi aku ingin menunjukkan bahwa aku peduli. Aku ingin kita memperbaiki semuanya.”
Liana terdiam, memandang Aidan dengan penuh rasa syukur. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan, hanya pelukan yang penuh arti. Semua yang selama ini terasa hampa kini seolah terisi kembali. Kejutan ini bukan hanya tentang kedatangan Aidan yang tak terduga, tetapi tentang usaha yang ia lakukan untuk membawa kebahagiaan kembali ke dalam hubungan mereka.
Hari-hari berikutnya di Jakarta penuh dengan kenangan indah. Aidan dan Liana menghabiskan waktu bersama, menikmati setiap detik kebersamaan yang sudah lama mereka rindukan. Mereka mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah mereka impikan bersama, berbicara tentang masa depan, dan saling berbagi harapan.
Pada suatu malam, setelah makan malam di restoran favorit mereka, Aidan memegang tangan Liana dan berkata, “Aku tidak akan pergi lagi. Aku ingin kita menjalani kehidupan ini bersama. Aku ingin kamu tahu, aku akan selalu ada untukmu, tidak peduli seberapa jauh jarak memisahkan kita.”
Liana menatap Aidan dengan mata penuh harapan. “Aku juga ingin itu, Aidan. Aku tahu hubungan kita tidak mudah, tapi aku merasa kita bisa melewati semuanya, asal kita saling berjuang bersama.”
Aidan tersenyum, merasakan kedamaian yang sudah lama ia cari. “Aku janji, Liana. Kita akan selalu berjuang bersama.”
Mereka tahu bahwa meskipun tantangan masih akan terus ada, mereka kini memiliki satu hal yang lebih kuat dari jarak, lebih kuat dari waktu—yaitu, komitmen untuk saling berjuang dan mempertahankan cinta mereka.
Saat Aidan akhirnya kembali ke New York, mereka berdua merasa lebih kuat dari sebelumnya. Meski jarak kembali memisahkan mereka, kini mereka tahu bahwa mereka tidak hanya saling mencintai, tetapi juga saling menghargai dan berkomitmen untuk terus berjuang bersama.
Kejutan-kejutan yang datang di tengah kesulitan ini bukan hanya sekadar momen kebahagiaan, tetapi juga simbol dari tekad dan harapan yang mereka bawa untuk masa depan.
Kehidupan mereka tidak lagi dipenuhi ketakutan atau keraguan. Mereka tahu bahwa cinta yang mereka miliki tidak akan pernah mudah, tetapi mereka siap untuk menghadapi setiap tantangan yang datang, bersama-sama.
Bab 5: Memilih Cinta dan Karir
Aidan ditawari pekerjaan yang mengharuskannya untuk tinggal lebih lama di luar negeri. Liana juga menerima tawaran pekerjaan di kota besar yang akan membuatnya sibuk. Mereka harus memilih antara karir dan hubungan.
Keduanya harus memilih antara mengejar impian masing-masing atau mempertahankan hubungan mereka. Pengorbanan menjadi tema besar dalam bab ini.
Mereka berusaha mencari cara untuk menyelaraskan cinta dan karir mereka, tetapi mereka tahu ada banyak hal yang harus dikorbankan.
Setelah beberapa bulan Liana dan Aidan menjalani hubungan jarak jauh yang penuh tantangan, mereka tiba di titik di mana kedua belah pihak harus memilih antara mengejar karir mereka atau memperjuangkan hubungan yang mereka miliki. Liana, yang telah bekerja keras membangun karir di perusahaan multinasional di Jakarta, kini mendapat tawaran untuk dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi. Tawaran tersebut datang dengan syarat bahwa ia harus lebih fokus pada pekerjaannya, yang akan mengharuskannya untuk melakukan perjalanan bisnis lebih sering ke luar negeri dan mengurangi waktu yang ia habiskan untuk hal-hal pribadi, termasuk hubungan dengan Aidan.
Di sisi lain, Aidan juga sedang berada di persimpangan karir. Ia telah bekerja keras untuk mencapai posisi yang cukup mapan di perusahaannya di New York, tetapi ia merasa ada peluang yang lebih besar jika ia mengambil tawaran untuk pindah ke cabang perusahaan di Eropa. Ini akan menjadi langkah besar dalam karirnya, tetapi Aidan tahu itu akan semakin menjauhkan dirinya dari Liana. Ia harus memilih apakah ia akan mempertahankan karir yang terus berkembang di Eropa atau tetap tinggal di New York dan berusaha mempertahankan hubungan dengan Liana yang kian terpisah oleh jarak dan waktu.
Keduanya tahu bahwa keputusan yang mereka ambil tidak hanya akan memengaruhi masa depan karir mereka, tetapi juga masa depan hubungan mereka. Liana merasa terjebak antara keinginannya untuk berkembang dalam karir dan mempertahankan hubungan yang sudah terbukti sulit. Sementara Aidan merasa bingung antara mengejar mimpinya di Eropa atau bertahan di New York demi Liana.
Liana duduk di meja kerjanya, menatap surat tawaran promosi yang ada di depan mata. Ia merasa terhimpit oleh tekanan dari atasannya yang menginginkan komitmennya lebih besar pada perusahaan. Di sisi lain, Liana sadar bahwa promosi ini adalah kesempatan yang sulit didapat, dan akan membuka pintu untuk karir yang lebih cerah di masa depan. Namun, dalam hati, ia merasa cemas karena promosi ini akan memaksanya untuk menghabiskan lebih banyak waktu di luar negeri, jauh dari Aidan.
Di sisi lain, Aidan sedang berada di taman dekat apartemennya di New York, merenung tentang tawaran untuk pindah ke Eropa. Ia tahu bahwa ini adalah peluang besar, tapi saat ia memikirkan Liana, hatinya terasa berat. Mereka sudah berjuang keras untuk menjaga hubungan mereka meskipun jarak memisahkan mereka, tetapi apakah ia siap untuk mengorbankan hubungan yang telah mereka bangun demi karirnya?
Mereka berdua memutuskan untuk berbicara tentang masalah ini. Setelah beberapa kali menjadwalkan waktu yang tepat, mereka akhirnya melakukan video call yang telah mereka nantikan. Meskipun mereka sudah sering berkomunikasi, kali ini ada ketegangan yang berbeda di antara mereka.
“Aidan, aku… aku mendapat tawaran promosi,” Liana membuka pembicaraan, suaranya terdengar ragu-ragu. “Ini peluang yang besar, tapi… aku tahu itu akan membuat kita semakin jauh.”
Aidan mendengus pelan. “Aku juga mendapat tawaran untuk pindah ke Eropa. Aku tahu ini kesempatan besar untuk karirku, tapi aku bingung. Kita sudah berjuang jauh-jauh untuk menjaga hubungan ini. Aku takut kita akan semakin kehilangan satu sama lain kalau aku memilih pindah.”
Keduanya terdiam sejenak, seakan mencoba mencerna kata-kata yang baru saja mereka ucapkan. Setelah beberapa detik, Liana kembali berbicara dengan suara lebih lembut, “Aidan, aku tidak tahu apakah aku bisa mengorbankan kesempatan ini… tapi aku juga tidak ingin kehilanganmu. Apa yang harus kita lakukan?”
Aidan menghela napas, “Liana, aku tidak tahu. Mungkin kita bisa mencoba mencari jalan tengah, tapi aku juga tahu bahwa memilih jalan tengah kadang justru lebih menyakitkan karena kita tidak sepenuhnya memberi diri kita untuk salah satu pilihan.”
Malam itu, Liana terjaga panjang memikirkan percakapan mereka. Ia tahu bahwa karir adalah hal yang penting baginya, dan ia tidak bisa begitu saja mengabaikan kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Aidan adalah bagian penting dalam hidupnya. Ia merasa dilema ini seperti pertarungan antara ambisi dan perasaan, antara apa yang ia inginkan untuk dirinya sendiri dan apa yang ia inginkan bersama Aidan.
Di sisi lain, Aidan juga merasa bingung. Meskipun ia tahu bahwa pindah ke Eropa akan membuka peluang besar dalam karirnya, ia tidak ingin kehilangan hubungan yang telah ia perjuangkan bersama Liana. Namun, ia juga sadar bahwa jika ia bertahan di New York hanya karena Liana, ia akan merasa seperti tidak dapat berkembang sepenuhnya dalam hidupnya.
Setelah beberapa minggu saling berpikir dan merasakan perasaan masing-masing, mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu langsung. Aidan membeli tiket untuk terbang ke Jakarta, dan Liana mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Mereka tahu bahwa keputusan besar ini harus diambil bersama, tanpa tekanan dari faktor luar.
Setelah Aidan tiba di Jakarta, mereka bertemu di sebuah restoran yang memiliki pemandangan indah kota Jakarta. Makanan mereka datang, tetapi mereka tidak segera menyentuhnya. Sebaliknya, mereka duduk diam, saling memandang, mencoba merasakan apa yang ada di hati masing-masing.
“Aidan,” Liana memulai, suaranya lembut tetapi tegas. “Aku tahu kita harus membuat keputusan ini bersama. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ingin mendukung apapun keputusanmu. Jika kamu memutuskan untuk pindah ke Eropa, aku akan menghormatinya. Tetapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa berhenti mengejar impian dan kesempatan yang datang kepadaku.”
Aidan menggenggam tangan Liana, matanya penuh dengan ketulusan. “Liana, aku tidak bisa memaksakanmu untuk memilih karir atau hubungan ini. Tapi aku ingin kita memilih dengan hati, bukan dengan rasa takut kehilangan satu sama lain. Jika kita saling mendukung, aku yakin kita bisa mengatasi apapun.”
Liana menunduk sejenak, kemudian mengangkat kepala dan tersenyum. “Kita harus memercayai perasaan kita. Apa pun yang terjadi, aku ingin kita tetap menjadi yang terbaik bagi diri kita sendiri. Cinta atau karir, kita harus memilih keduanya.”
Aidan tersenyum. “Aku setuju. Mari kita buat keputusan yang membuat kita merasa bahagia dan puas.”
Malam itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam, membicarakan segala kemungkinan. Keduanya sepakat bahwa mereka akan tetap berusaha mempertahankan hubungan mereka meskipun perbedaan waktu dan jarak akan semakin menantang. Mereka memutuskan bahwa karir tetap menjadi hal yang penting bagi masing-masing, namun mereka akan berjuang untuk tetap dekat meskipun secara fisik terpisah. Liana memilih untuk menerima tawaran promosi dan mengambil kesempatan untuk berkembang dalam karirnya. Aidan memutuskan untuk tetap tinggal di New York untuk sementara, tetapi ia berkomitmen untuk lebih sering mengunjungi Liana dan membuat hubungan mereka tetap hidup.
Keputusan ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka, melainkan awal dari babak baru yang penuh dengan tantangan dan harapan. Mereka tahu bahwa memilih cinta dan karir bukanlah hal yang mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa saling mendukung dan berkomitmen akan membuat mereka kuat menghadapi semua itu.
Bab 6: Menjaga Api Cinta
Meskipun kesibukan masing-masing, Liana dan Aidan memutuskan untuk tetap berkomitmen untuk menjaga hubungan mereka. Mereka merencanakan waktu bersama setiap bulan dan terus mendukung satu sama lain.
Setiap kali mereka merasa putus asa, mereka belajar untuk mengingat alasan mengapa mereka bersama. Cinta menjadi kekuatan yang menghubungkan mereka meski jarak memisahkan.
Meskipun sudah membuat banyak pengorbanan, hubungan mereka tetap diuji dengan tantangan baru yang datang.
Liana dan Aidan tahu bahwa meskipun mereka sudah membuat keputusan untuk terus berjuang bersama, tantangan terbesar mereka adalah bagaimana tetap mempertahankan kedekatan emosional di tengah jarak yang memisahkan. Setelah kesibukan masing-masing, komunikasi mereka menjadi lebih jarang, tetapi keduanya berusaha untuk melawan kebosanan dan keraguan yang kadang datang.
Setiap kali Liana membuka ponselnya, ia merasa rindu pada suara Aidan. Namun, pekerjaan dan komitmennya di Jakarta sering membuatnya terjebak dalam rutinitas yang padat. Begitu juga dengan Aidan, yang harus mengatur waktunya agar tetap bisa menjaga hubungan meski di tengah kesibukan di New York.
Suatu malam, ketika Liana merasa kelelahan setelah seharian bekerja, ia memutuskan untuk menghubungi Aidan. Dia menekan tombol video call dan menunggu beberapa detik sebelum Aidan menjawab dengan wajah yang cerah.
“Liana! Kamu terlihat capek, apa yang terjadi?” Aidan langsung menanyakan keadaan Liana, terlihat khawatir.
“Ah, cuma sedikit kerjaan yang menumpuk,” Liana tersenyum, meski lelah. “Tapi aku merasa baik-baik saja. Apa kabarmu?”
Aidan tertawa kecil. “Aku baik-baik saja. Hanya saja aku merasa waktu semakin cepat berlalu tanpa bisa benar-benar merasa dekat denganmu. Ini benar-benar sulit.”
Percakapan mereka berlanjut dengan pembicaraan ringan tentang hari-hari mereka masing-masing. Namun, dalam hati keduanya, ada rasa yang tak terucapkan. Mereka tahu bahwa meskipun mereka saling merindukan, menjaga komunikasi dan kedekatan ini adalah kunci agar hubungan mereka tidak pudar.
Tantangan datang ketika Liana mulai merasakan keraguan dalam dirinya. Meskipun mereka saling menyayangi, ia terkadang merasa terasingkan oleh jarak yang semakin jauh. Di Jakarta, ia bertemu dengan banyak orang baru, bekerja dengan orang-orang yang berambisi dan penuh semangat. Beberapa teman kerjanya mulai bertanya tentang kehidupan pribadinya, dan meskipun Liana menjelaskan bahwa ia menjalin hubungan dengan Aidan, ia merasa ada sesuatu yang hilang.
Liana mulai bertanya-tanya apakah keputusan untuk menjalin hubungan jarak jauh adalah keputusan yang tepat. Dalam keheningan malam, ketika ia hanya bisa berbaring di tempat tidur dan memikirkan Aidan, ia merasa cemas. Apakah cinta mereka masih cukup kuat untuk bertahan di tengah segalanya?
Di sisi lain, Aidan juga mulai merasakan keraguan yang sama. Kesibukannya di New York mulai membuatnya merasa terisolasi. Ia merasa tidak ada yang benar-benar memahami apa yang ia rasakan selain Liana, namun jarak yang terus memisahkan mereka membuatnya merasa semakin jauh dari orang yang ia cintai. Beberapa kali, ia merasa tergoda untuk melupakan hubungan ini, namun ia tahu betapa pentingnya Liana dalam hidupnya.
Suatu malam, setelah beberapa minggu tidak ada komunikasi yang intens, Aidan mengirim pesan teks kepada Liana. “Liana, aku merasa kita semakin jauh. Aku tahu kita sudah berusaha keras untuk bertahan, tapi aku khawatir jika ini akan menjadi semakin sulit. Apa yang kita lakukan salah?”
Pesan itu membuat Liana terdiam. Ia tahu Aidan benar-benar merasa kesulitan, tetapi ia juga merasakan hal yang sama. Namun, ia tidak ingin menyerah begitu saja.
“Aidan, aku rasa ini hanya bagian dari proses,” balas Liana setelah beberapa saat. “Jarak memang sulit, tetapi kita harus percaya bahwa apa yang kita rasakan adalah sesuatu yang berharga. Aku ingin berjuang bersama kamu, meskipun itu sulit.”
Aidan membaca pesan itu dengan hati yang campur aduk. Ia tahu Liana benar, tetapi keraguan itu masih terus menghantuinya.
Liana dan Aidan memutuskan untuk mencari cara agar mereka bisa lebih sering berkomunikasi dan menjaga kedekatan emosional mereka. Mereka menyadari bahwa komunikasi hanya lewat pesan teks atau telepon tidak cukup untuk mempertahankan hubungan yang dalam. Mereka butuh lebih banyak waktu untuk berbicara, berbagi cerita, dan saling mendengarkan.
Untuk itu, mereka mulai merencanakan waktu untuk video call setiap malam, meskipun kadang mereka harus menyesuaikan waktu dengan perbedaan zona waktu. Mereka berbicara tentang pekerjaan, mimpi mereka, bahkan hal-hal kecil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mencoba untuk membuat komunikasi itu lebih hidup dan menyenangkan.
Namun, meskipun mereka berusaha untuk tetap terhubung, tetap ada tantangan lain yang harus mereka hadapi. Liana mulai merasakan adanya tekanan untuk memenuhi harapan di tempat kerjanya, sementara Aidan harus mengatur waktu yang tepat antara pekerjaannya dan hubungan mereka. Ada kalanya salah satu dari mereka merasa lelah, namun mereka berusaha saling mendukung dan memahami bahwa ini adalah bagian dari hubungan jarak jauh.
Suatu hari, Aidan menyarankan agar mereka merencanakan liburan bersama. Mereka ingin meluangkan waktu bersama tanpa gangguan pekerjaan atau kesibukan lain. Liana setuju, dan mereka memutuskan untuk merencanakan perjalanan ke sebuah tempat yang indah, jauh dari kehidupan sehari-hari. Mereka berharap liburan itu bisa menguatkan hubungan mereka dan memberi mereka kesempatan untuk berbagi momen yang lebih intim.
Dalam perjalanan menuju liburan yang mereka rencanakan, Liana dan Aidan semakin menyadari betapa besar cinta yang mereka miliki. Meskipun mereka memiliki banyak perbedaan, baik dalam hal pekerjaan, latar belakang, dan kebiasaan, mereka mulai memahami bahwa hubungan ini membutuhkan pengorbanan dan upaya dari kedua belah pihak.
Di tengah perjalanan, mereka berbicara tentang masa depan mereka. Mereka mulai merencanakan kehidupan setelah hubungan jarak jauh ini berakhir. Mereka menyadari bahwa untuk menjaga api cinta tetap menyala, mereka harus memberi ruang bagi masing-masing untuk berkembang, tetapi tetap saling mendukung dalam segala hal.
“Aidan,” kata Liana saat mereka duduk di pantai menikmati sunset. “Aku ingin kita berjuang bersama. Aku tahu jarak ini sulit, tapi aku merasa kita lebih kuat karena kita saling mempercayai.”
Aidan menggenggam tangan Liana dengan erat. “Aku merasa hal yang sama. Kita mungkin tidak selalu dekat, tapi aku ingin selalu ada untukmu. Kita hanya perlu memastikan kita tidak pernah berhenti berjuang untuk cinta kita.”
Mereka berdua tersenyum, merasa lebih yakin tentang keputusan mereka. Meskipun tantangan masih ada di depan, mereka tahu bahwa cinta mereka layak untuk diperjuangkan.
Setelah liburan mereka, Liana dan Aidan kembali ke rutinitas masing-masing. Namun, kali ini, mereka merasa lebih kuat. Mereka tahu bahwa meskipun jarak memisahkan, cinta mereka tidak akan padam. Mereka terus berjuang untuk menjaga komunikasi, menghabiskan waktu bersama, dan merencanakan masa depan yang lebih cerah.
Setiap malam, mereka selalu meluangkan waktu untuk saling berbicara, bahkan hanya untuk bercerita tentang hal-hal kecil yang terjadi dalam kehidupan mereka. Meskipun kehidupan mereka tidak selalu sempurna, mereka menyadari bahwa mereka memiliki satu sama lain, dan itu adalah api yang tak akan pernah padam.
Bab 7: Membangun Masa Depan Bersama
Setelah melewati berbagai rintangan, Liana dan Aidan mulai berbicara lebih serius tentang masa depan mereka. Mereka merencanakan untuk tinggal di kota yang sama suatu hari nanti.
Mereka bekerja keras untuk menjaga keseimbangan antara hubungan dan pekerjaan. Namun, mereka tahu bahwa masa depan bersama mereka harus diperjuangkan.
Liana dan Aidan mulai merancang impian mereka untuk masa depan—membeli rumah bersama, perjalanan keliling dunia, dan melanjutkan karir di tempat yang sama.
Setelah bertahun-tahun menjalani hubungan jarak jauh, Liana dan Aidan tahu bahwa mereka tidak bisa terus-terusan berada dalam keadaan seperti ini. Meskipun mereka telah menemukan cara untuk tetap dekat secara emosional, mereka merasa waktu telah tiba untuk membuat keputusan besar: apakah mereka akan mengakhiri hubungan ini dan berfokus pada karier dan kehidupan masing-masing, atau mengambil langkah besar untuk memulai hidup bersama secara nyata?
Liana duduk di ruang tamu apartemennya yang sederhana di Jakarta, memandang foto-foto mereka yang tersebar di meja. Mereka telah banyak menghabiskan waktu bersama, meskipun tidak selalu fisik, melalui video call, pesan teks, dan percakapan panjang yang sering berlangsung hingga larut malam. Namun, ia merasa bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk bertanya pada dirinya sendiri, “Apa yang aku inginkan dari masa depan ini?”
Sementara itu, di New York, Aidan juga berada dalam kebimbangan yang sama. Ia telah mencapainya dalam karier, tetapi perasaan terisolasi dan kerinduan kepada Liana semakin menguat. Aidan sering membayangkan dirinya tinggal di Indonesia, menghabiskan lebih banyak waktu bersama Liana, tetapi ia juga sadar bahwa hidup di luar negeri, jauh dari rumah dan keluarganya, adalah keputusan besar.
Mereka mulai saling bertanya tentang rencana jangka panjang mereka. Setiap percakapan mereka berputar di sekitar bagaimana mereka dapat membuat hubungan ini berfungsi meski jarak yang masih memisahkan.
“Apakah kamu siap untuk pindah ke New York?” tanya Aidan dalam salah satu percakapan malam mereka.
Liana terdiam sejenak, mencerna pertanyaan itu. “Aku ingin berada di sana denganmu, Aidan, tetapi aku juga memiliki banyak hal yang sedang aku bangun di Jakarta. Aku khawatir, jika aku terlalu cepat membuat keputusan besar, aku akan kehilangan banyak hal di sini. Pekerjaanku, teman-temanku, kehidupan yang sudah kujalani.”
Aidan mengerti perasaan Liana, namun ia juga tahu bahwa masa depan mereka bergantung pada keputusan yang tepat.
“Liana, aku tidak ingin memaksamu untuk memilih. Aku hanya ingin kita bisa melangkah ke depan bersama. Apakah kamu merasa ada kemungkinan untuk kita hidup bersama di satu tempat?”
Semakin dalam Liana dan Aidan berbicara tentang masa depan mereka, semakin mereka sadar bahwa hubungan jarak jauh ini membutuhkan lebih dari sekadar komunikasi yang baik. Mereka harus berkomitmen untuk membangun masa depan bersama, dan itu tidak akan mudah.
“Aidan, apa kita siap untuk menghadapi tantangan ini?” tanya Liana dengan penuh keraguan.
“Tidak ada yang bisa memprediksi masa depan, Liana. Tapi aku tahu satu hal: aku ingin hidup bersamamu. Kita hanya perlu mencari cara untuk mengatasi segala halangan yang ada.”
Liana tahu, keputusan ini bukanlah hal yang bisa diputuskan dengan mudah. Mereka berbicara lebih lanjut tentang peran pekerjaan dalam hidup mereka. Liana mulai mempertimbangkan untuk mencari peluang kerja di luar negeri, tetapi ia juga khawatir tentang kemungkinan melepaskan karier yang sudah ia bangun di Jakarta. Aidan, di sisi lain, tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk membawa kehidupan yang lebih stabil bagi mereka berdua. Jika mereka memilih untuk tinggal bersama, ia perlu mempertimbangkan pekerjaan yang dapat mendukung kehidupan baru mereka, apakah itu di Jakarta atau di New York.
Liana juga memikirkan kemungkinan untuk melanjutkan studi lebih lanjut di luar negeri. Ia merasa tertarik untuk memperdalam kariernya di bidang yang ia tekuni, dan meskipun Aidan akan mendukung keputusan itu, ia juga merasa bingung apakah ini berarti mereka harus berpisah lagi sementara waktu.
“Kita harus berbicara tentang ini lebih banyak, Aidan,” kata Liana. “Kita tidak bisa hanya berfokus pada perasaan kita saat ini. Aku ingin kita sama-sama menyusun rencana yang memungkinkan kita untuk tetap bersama tanpa kehilangan diri kita sendiri.”
Aidan mengangguk setuju, meskipun ia merasa cemas, ia tahu bahwa ini adalah langkah yang mereka perlukan untuk membangun masa depan yang kuat.
Liana dan Aidan memutuskan untuk merencanakan masa depan mereka secara matang, dimulai dengan langkah pertama yang lebih nyata. Mereka memilih untuk menyusun rencana hidup bersama, dengan menentukan kota mana yang akan mereka tinggali, bagaimana mereka bisa saling mendukung secara finansial dan emosional, serta bagaimana mereka akan menangani tantangan yang datang bersama.
Liana memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan di Jakarta sementara Aidan menyelesaikan beberapa proyek besar di New York. Mereka sepakat untuk menjadwalkan pertemuan setiap beberapa bulan sekali, untuk mempersiapkan transisi ke kehidupan yang lebih stabil bersama. Mereka akan menjaga komunikasi, tetapi juga akan memberi ruang untuk satu sama lain untuk tumbuh dan berkembang dalam karier masing-masing.
Namun, mereka tahu bahwa keputusan ini tetap penuh dengan ketidakpastian. Apakah jarak fisik yang tetap akan menguji mereka? Apakah mereka bisa tetap mempertahankan rasa cinta ini meskipun begitu banyak hal yang tidak mereka ketahui?
Untuk memastikan bahwa mereka tidak terjebak dalam rutinitas yang sama, mereka memutuskan untuk membuat komitmen untuk bertemu lebih sering, bahkan jika itu hanya untuk beberapa hari. Liburan menjadi salah satu cara bagi mereka untuk meluangkan waktu berkualitas bersama tanpa gangguan. Mereka juga menyusun anggaran untuk perjalanan ke tempat-tempat yang mereka impikan untuk mengunjungi bersama.
Salah satu rintangan besar yang mereka hadapi adalah rasa cemas tentang kehidupan sehari-hari mereka. Dalam percakapan mereka, mereka mulai berbicara tentang bagaimana mengatasi tantangan dalam hubungan mereka, termasuk cara mereka bisa lebih mendukung satu sama lain tanpa merasa kehilangan.
Aidan, misalnya, mulai merencanakan untuk tinggal di Jakarta untuk beberapa waktu, sementara Liana mempertimbangkan untuk mencari peluang karier di luar negeri. Mereka juga mulai membicarakan tentang keluarga dan bagaimana mereka bisa melibatkan orang-orang terdekat mereka dalam perjalanan hidup mereka bersama. Salah satu hal yang mereka pelajari adalah pentingnya dukungan sosial dan bagaimana membangun jaringan sosial yang kuat di tempat baru.
Pada saat yang sama, mereka juga harus memikirkan tentang apakah mereka siap untuk memiliki anak, bagaimana mereka akan membagi waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta bagaimana mereka bisa tetap mempertahankan hubungan yang sehat meskipun kesibukan masing-masing semakin meningkat.
Akhirnya, setelah beberapa bulan berdiskusi, Liana dan Aidan membuat keputusan besar: mereka akan pindah bersama ke sebuah kota yang baru, memulai kehidupan yang lebih dekat, dan berkomitmen untuk menjaga hubungan ini. Keputusan itu bukanlah keputusan yang diambil dengan mudah, tetapi mereka tahu bahwa untuk masa depan mereka, mereka harus berani melangkah.
“Masa depan kita ada di tangan kita, Aidan,” kata Liana, dengan tekad yang kuat. “Aku siap untuk melangkah ke depan bersamamu.”
Aidan tersenyum dan merangkul Liana dengan penuh kasih. “Aku juga, Liana. Kita akan menghadapi semuanya bersama.”
Bab 8: Di Antara Cinta yang Bersemi di Udara
Meskipun jarak tetap ada, cinta mereka tumbuh lebih kuat dari sebelumnya. Liana dan Aidan akhirnya berhasil menemukan cara untuk menjaga hubungan mereka tetap hidup meskipun tidak selalu mudah.
Cerita ini diakhiri dengan harapan bahwa mereka bisa terus bersama meskipun ada banyak tantangan yang mereka hadapi. Cinta mereka telah berkembang, seiring dengan perjalanan panjang mereka bersama.
Setelah bertahun-tahun menjalani hubungan jarak jauh, akhirnya Liana dan Aidan mendapatkan kesempatan untuk bertemu secara fisik dalam waktu yang cukup lama. Perjalanan Aidan ke Indonesia untuk urusan pekerjaan sekaligus kesempatan untuk menghabiskan waktu lebih banyak dengan Liana adalah momen yang sangat dinanti. Meskipun mereka sering bertemu melalui video call, pesan, dan suara, pertemuan langsung ini menjadi sesuatu yang lebih istimewa.
Pada pagi hari ketika Aidan tiba di Jakarta, Liana merasakan campuran antara kegembiraan dan kegugupan. Dia menunggu di bandara dengan hati yang berdebar, menyaksikan setiap orang yang datang dari pesawat yang ia harapkan akan membawa Aidan. Liana sudah menyiapkan segalanya: tempat tinggal, tempat yang akan mereka kunjungi bersama, bahkan beberapa kejutan kecil untuk Aidan. Tetapi meskipun sudah mempersiapkan banyak hal, ia tidak bisa menghindari perasaan gugup yang menguasai dirinya.
Di sisi lain, Aidan juga merasa cemas. Ia telah menunggu momen ini selama bertahun-tahun. Meski sudah terbiasa dengan perjalanan internasional, kedatangannya ke Jakarta kali ini memiliki arti yang jauh lebih besar. Di dalam dirinya, ada rasa khawatir tentang bagaimana semuanya akan berjalan. Apakah semuanya akan seperti yang ia bayangkan? Bisakah mereka mengatasi segala perbedaan dan tantangan yang ada dalam kehidupan nyata, setelah lama hanya terhubung melalui layar?
Saat mereka akhirnya bertemu di bandara, semuanya terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Liana berlari ke arah Aidan dengan senyum lebar di wajahnya, dan Aidan segera merangkulnya dengan penuh kasih. Rasa rindu yang selama ini terpendam akhirnya terbayar dengan pelukan hangat yang begitu lama ditunggu-tunggu.
“Aku tidak percaya ini benar-benar terjadi,” kata Liana, hampir tak percaya.
“Aku juga, Liana. Tapi sekarang aku di sini,” jawab Aidan dengan suara lembut.
Momen itu mengandung kebahagiaan yang begitu besar, tetapi juga ketegangan tentang bagaimana mereka akan menghadapi waktu yang terbatas bersama, terutama ketika mereka tahu bahwa tidak ada yang tahu kapan mereka bisa bertemu lagi setelah Aidan kembali ke New York.
Setelah pertemuan pertama yang penuh kebahagiaan, Liana dan Aidan mulai menghabiskan waktu bersama, menjalani rutinitas sehari-hari yang meskipun sederhana namun penuh makna. Mereka mengunjungi tempat-tempat yang ingin mereka lihat bersama, menikmati kuliner lokal, berjalan-jalan di taman, dan berbicara tentang banyak hal yang mereka tidak sempat bicarakan selama hubungan jarak jauh. Mereka merasa seperti pasangan biasa, menikmati kebersamaan tanpa ada jarak.
Namun, kebahagiaan itu tidak selalu mudah dipertahankan. Terkadang, keraguan tentang masa depan mulai muncul lagi. Liana merasa cemas tentang apakah hubungan ini bisa berjalan dengan baik setelah Aidan kembali ke New York. Meskipun mereka telah berusaha keras untuk menjaga cinta mereka, kenyataan bahwa mereka berasal dari dua dunia yang berbeda dan memiliki kehidupan yang terpisah tetap menjadi tantangan besar.
Di sisi lain, Aidan juga merasa berat hati. Ia mulai merasakan betapa sulitnya beradaptasi dengan kehidupan baru di Jakarta. Meskipun ia menikmati waktu bersama Liana, ia merasa ada perbedaan budaya yang cukup besar, yang kadang-kadang membuatnya merasa tidak sepenuhnya nyaman. Namun, ia tidak ingin menunjukkan keraguannya pada Liana karena ia tahu betapa pentingnya kesempatan ini bagi mereka berdua.
Mereka mulai berbicara tentang perasaan mereka yang lebih dalam. Liana mengungkapkan keraguannya tentang apakah hubungan jarak jauh bisa bertahan lama. Sementara Aidan, meskipun merasa cemas, tetap berusaha untuk meyakinkan Liana bahwa mereka bisa mengatasi apa pun bersama.
“Aku tahu kita menghadapi banyak tantangan, Liana,” kata Aidan. “Tapi aku tidak akan pernah menyerah pada kita. Kita sudah bertahan sejauh ini, dan aku yakin kita bisa lebih kuat.”
Liana terdiam sejenak, menatap Aidan dengan penuh rasa cinta dan kebingungan. “Tapi bagaimana kalau suatu saat nanti kita mulai merasa lelah? Bagaimana kalau kita merasa terpisah lagi karena jarak?”
Aidan menggenggam tangan Liana dengan lembut. “Aku akan berusaha untuk tidak membuat kita merasa terpisah, Liana. Aku ingin kita berjuang bersama. Cinta kita tidak hanya ada di udara atau melalui layar. Cinta kita nyata, dan kita akan selalu menemukan cara untuk menjaga api itu tetap menyala.”
Liana dan Aidan menyadari bahwa mereka harus bekerja lebih keras untuk memahami perbedaan budaya dan cara hidup masing-masing. Meskipun cinta mereka kuat, mereka tahu bahwa keberhasilan hubungan ini tidak hanya tergantung pada perasaan mereka, tetapi juga pada kemampuan mereka untuk saling menghormati dan beradaptasi.
Liana mulai belajar lebih banyak tentang kebiasaan Aidan, tentang bagaimana ia mengatur waktu, pekerjaan, dan hidupnya di New York. Aidan, di sisi lain, berusaha memahami lebih dalam tentang kehidupan Liana di Jakarta, tentang bagaimana ia berinteraksi dengan teman-teman dan keluarganya, dan tentang tanggung jawab yang dimilikinya di sana. Mereka mencoba menemukan titik temu, belajar dari satu sama lain, dan berkompromi.
Terkadang, mereka masih merasakan perbedaan dalam cara pandang mereka, terutama ketika mereka berbicara tentang masa depan. Liana ingin tetap mengejar kariernya di Indonesia, sementara Aidan merasa bahwa ia ingin memiliki kehidupan yang lebih stabil di luar negeri. Namun, mereka tetap berkomunikasi dengan terbuka, membicarakan rencana dan impian mereka, serta mencari cara untuk saling mendukung meskipun jarak dan perbedaan ada di tengah mereka.
“Satu hal yang aku pelajari, Liana, adalah kita tidak bisa memaksa satu sama lain untuk memilih jalan yang sama, tetapi kita bisa menemukan cara untuk berjalan beriringan,” kata Aidan suatu malam, ketika mereka sedang duduk berdua di balkon apartemen.
Liana tersenyum, merasa tenang dengan kata-kata Aidan. “Aku setuju. Kita harus menjaga hati kita tetap terbuka dan terus mencari solusi untuk segala halangan yang datang.”
Semakin lama mereka bersama, semakin kuat ikatan yang mereka bangun. Meskipun waktu mereka bersama terbatas, mereka belajar untuk membuat setiap detik berharga. Setiap pertemuan semakin menunjukkan bahwa mereka memiliki fondasi yang kokoh untuk hubungan yang lebih serius. Mereka mulai berbicara tentang masa depan yang lebih jelas, tentang tempat di mana mereka bisa tinggal bersama, dan tentang bagaimana mereka akan membangun kehidupan bersama.
Liana mulai merencanakan kunjungan ke New York untuk melihat kehidupan Aidan di sana, dan Aidan juga mulai mempertimbangkan untuk lebih sering datang ke Jakarta. Mereka mulai mendiskusikan kemungkinan untuk akhirnya tinggal di satu tempat, meskipun itu berarti menghadapi banyak tantangan baru.
Pada akhir kunjungan Aidan yang terakhir di Jakarta, mereka berdua merasakan campuran antara kebahagiaan dan kesedihan. Mereka tahu bahwa hubungan ini masih memiliki perjalanan panjang di depan mereka, tetapi mereka juga merasa yakin bahwa cinta mereka akan terus bersemi, bahkan di udara.
“Aku akan sangat merindukanmu, Liana,” kata Aidan, mencium pipi Liana sebelum ia naik ke pesawat.
“Aku juga akan merindukanmu, Aidan. Tapi kita akan bertemu lagi. Ini bukan akhir, hanya awal dari bab yang baru,” jawab Liana dengan penuh keyakinan.
Mereka saling melambaikan tangan, menyadari bahwa meskipun jarak kembali memisahkan mereka, cinta mereka akan terus tumbuh dan bersemi, apapun yang terjadi.
mengisahkan tentang perjalanan Liana dan Aidan yang tidak hanya mengandalkan teknologi dan komunikasi untuk mempertahankan hubungan mereka, tetapi juga pada usaha mereka untuk memahami perbedaan dan bekerja sama untuk mencapai impian bersama. Cinta yang bersemi di udara ini adalah simbol dari harapan, pengorbanan, dan komitmen mereka yang kuat untuk saling mendukung meskipun jarak memisahkan mereka.***