Daftar Isi
Bab 1 Kenangan yang Menghantui
Hujan rintik-rintik turun di luar jendela kamar, membasahi setiap sudut jalan yang mulai gelap. Suasana malam yang sepi hanya ditemani suara detak jam dinding dan percik air hujan. Di dalam kamar yang sederhana, seorang wanita duduk termenung di depan meja kerjanya, menatap kosong ke layar laptop yang belum dibuka. Nama yang tertera di layar ponselnya, yang tergeletak di meja, membuat hatinya serasa tercekik.
“Apa yang harus aku lakukan denganmu, Raka?” gumamnya pelan, seolah berbicara pada bayangannya yang tak tampak. Matahari telah lama tenggelam, tapi rasa sakit itu seakan tak pernah mereda. Ia sudah mencoba melupakan, namun kenangan itu tak pernah meninggalkannya.
Raka, pria yang dulunya adalah segalanya bagi Maya. Mereka bertemu di kampus, dalam situasi yang tak terduga. Maya yang pendiam dan introvert bertemu dengan Raka yang penuh percaya diri dan penuh pesona. Mereka menjadi teman, kemudian sahabat, dan akhirnya jatuh cinta. Namun, cinta itu tak seperti yang ia bayangkan. Raka yang tampak sempurna ternyata menyimpan rahasia yang menghancurkan hati Maya.
Maya menggenggam ponselnya dengan erat, menatap foto mereka berdua yang diambil di taman kampus beberapa tahun lalu. Mereka tampak bahagia, tersenyum lebar dengan latar belakang bunga yang sedang mekar. Kenangan indah yang kini terasa begitu menyakitkan. Bagaimana bisa seseorang yang pernah begitu berarti bisa menjadi orang yang paling ia benci?
Hari itu, tiga tahun lalu, Maya mendapatkan kenyataan pahit yang tak akan pernah bisa ia lupakan. Di saat ia tengah berjuang untuk melanjutkan hubungan mereka, Raka malah memilih untuk pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan. Tanpa kata, tanpa alasan, hanya kepergian yang membuat Maya merasa terbuang. Semua mimpi yang mereka bangun bersama runtuh begitu saja.
Maya tahu bahwa Raka jatuh cinta dengan wanita lain, wanita yang bahkan tak pernah ia kenal sebelumnya. Wajah wanita itu masih terbayang jelas di ingatannya. Seorang gadis cantik dengan rambut panjang yang selalu tertata rapi, mata yang berkilau penuh pesona, dan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Sementara Maya, dengan penampilannya yang sederhana, tak pernah bisa menandingi kecantikan wanita itu. Hati Maya hancur, namun di balik itu ada kemarahan yang mulai tumbuh perlahan.
“Bagaimana bisa kamu begitu kejam, Raka?” Maya bergumam dengan suara serak. “Mengapa kamu harus menghancurkan hati ini?”
Perasaan itu terus menggelora dalam dadanya, seperti api yang tak kunjung padam. Dendam. Ya, dendam adalah perasaan yang kini menguasai hatinya. Rasa sakit yang ia alami menjadi bahan bakar untuk membalas semua yang telah dilakukan oleh Raka. Maya tidak tahu kapan perasaan ini akan berakhir, tetapi yang jelas ia tak akan membiarkan dirinya lemah. Ia berjanji pada dirinya sendiri, ia tak akan lagi menjadi wanita yang menangis karena cinta yang tak dihargai.
Sejak perpisahan itu, Maya mengubah dirinya. Ia menjadi lebih tertutup, lebih keras, dan lebih fokus pada karier. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan, tak ingin membiarkan hatinya terganggu oleh kenangan tentang Raka. Namun, entah mengapa, takdir seakan ingin mempertemukan mereka kembali.
Maya menerima undangan untuk sebuah acara reuni kampus. Tentu saja, ia tahu bahwa Raka akan hadir di sana. Dan seperti yang ia duga, ketika ia memasuki ruang acara itu, pandangannya langsung tertuju pada sosok Raka yang kini berdiri di tengah keramaian. Pria itu tampak berbeda. Wajahnya yang dulu ceria kini terlihat lebih serius, dan senyumnya tak lagi begitu hangat. Namun, tatapan matanya yang tajam seolah tak pernah berubah.
Maya merasa jantungnya berdebar kencang. Rasa marah dan sakit hati itu muncul kembali dalam dirinya. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Maya tak lagi menangis, tak lagi lemah. Ia tahu bahwa saat ini ia lebih kuat dari sebelumnya.
“Hatiku sudah mati untukmu, Raka,” bisiknya pelan, menatap bayangan pria itu dari kejauhan. “Dan kali ini, aku tidak akan membiarkanmu melukainya lagi.”
Seiring berjalannya waktu, Maya menyadari bahwa dirinya telah berubah. Tidak ada lagi perempuan yang rapuh, yang mudah jatuh dalam pelukan seorang pria. Kini, ia lebih siap untuk menghadapi semua yang datang, termasuk Raka. Ia tahu, pertemuan mereka kali ini bukan tentang cinta yang hilang, tetapi tentang membalas dendam atas luka yang ditinggalkan.
Dan dengan tekad itu, Maya memutuskan untuk mendekat, berhadapan dengan Raka. Tak ada lagi penyesalan, tak ada lagi perasaan yang mengikat. Hanya ada satu tujuan: untuk membuatnya merasakan apa yang telah ia rasakan.
Namun, Maya tak tahu bahwa dibalik pertemuan itu, ada sebuah rahasia yang akan mengubah segalanya. Sebuah rahasia yang mungkin bisa menghapus semua dendam yang ia simpan dalam hati.
Tetapi itu adalah cerita lain, dan Maya belum siap untuk menghadapinya. Saat ini, yang ia tahu adalah satu hal: ia tak akan membiarkan hatinya kembali hancur.
Bab 2 Bayang-Bayang yang Tak Pernah Pudar
Aku berdiri di tepi jendela, menatap hujan yang turun dengan derasnya. Setiap tetesnya seolah mengingatkan aku pada kenangan-kenangan yang terlalu pahit untuk dilupakan. Suara petir yang menggelegar di luar rumah semakin mengganggu ketenanganku. Tak ada yang bisa menghentikan perasaan sesak di dada, selain waktu yang terus berjalan.
Aku menarik napas panjang dan meletakkan tanganku di dada, merasakan denyut jantung yang berdegup kencang. Sudah begitu lama sejak aku merasakan ini—perasaan yang menyesakkan, yang membuatku terperangkap dalam kenangan kelam. “Hatiku sudah mati untukmu,” kataku pelan, mengingatkan diriku sendiri.
Beberapa tahun lalu, hidupku berbeda. Aku masih ingat bagaimana rasanya jatuh cinta padamu, bagaimana dunia terasa sempurna saat berada di dekatmu. Setiap kata yang keluar dari mulutmu, setiap senyum yang kau berikan, membuat hatiku berdegup kencang. Saat itu, aku merasa bahwa kita akan bersama selamanya, bahwa tidak ada yang bisa memisahkan kita.
Namun kenyataan berkata lain.
Aku menundukkan kepala, mencoba mengusir bayang-bayangmu yang selalu mengganggu pikiranku. Aku masih ingat bagaimana semua itu berakhir. Kau pergi tanpa sepatah kata, meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan yang tak pernah terjawab. Seperti ada sesuatu yang hilang, dan aku merasa seperti dibuang begitu saja.
Kenapa kau pergi? Apa yang salah? Mengapa aku yang harus menanggung semua ini?
Hujan di luar semakin deras, dan aku semakin tenggelam dalam ingatanku. Aku masih bisa merasakan sentuhanmu di ujung jemariku, bisa mendengar suara tawamu yang dahulu selalu membuatku merasa tenang. Namun, sekarang semua itu terasa kosong. Semua kenangan indah itu telah tercemar dengan rasa sakit yang begitu mendalam.
Aku mengalihkan pandangan ke foto yang ada di meja di dekat jendela. Itu adalah foto terakhir kami berdua, yang diambil di taman tempat kita sering menghabiskan waktu bersama. Aku tersenyum dalam foto itu, meskipun dalam hati aku tahu bahwa senyum itu hanya sebuah topeng. Sejak saat itu, semuanya berubah. Kau pergi, meninggalkan diriku dalam kegelapan.
“Apakah aku terlalu berharap?” aku bertanya pada diriku sendiri. Namun, tidak ada jawaban. Aku merasa seperti orang bodoh yang terus memendam perasaan meskipun tahu bahwa hatiku sudah hancur berkeping-keping.
Setelah perpisahan itu, hidupku berubah total. Aku berusaha untuk melanjutkan hidup, berusaha untuk melupakanmu, tapi itu tidak semudah yang aku kira. Semua yang aku lakukan selalu terasa hampa. Tak ada lagi yang bisa mengisi kekosongan yang kau tinggalkan. Waktu memang mengalir, tapi rasa sakit itu tetap ada, terperangkap dalam diriku, menyusup ke setiap sudut hatiku.
Aku pun mulai menutup diri. Teman-teman yang dulu selalu mendukungku, kini hanya bisa melihatku dengan tatapan prihatin. Mereka tahu ada sesuatu yang berubah dalam diriku, meskipun aku berusaha untuk berpura-pura baik-baik saja. Aku menjadi lebih pendiam, lebih dingin. Tak ada lagi tawa yang keluar dari bibirku. Semua itu hilang bersamaan dengan kepergianmu.
Aku mengangkat tangan dan menyentuh foto kami. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang menggelitik di mataku. Satu tetes air mata jatuh, tapi aku segera menghapusnya. Tidak ada gunanya menangis untukmu lagi. Hatiku sudah mati untukmu, itu yang selalu aku katakan kepada diri sendiri. Tapi mengapa aku masih merasa perasaan ini menguasai setiap langkahku?
“Sudah cukup,” kataku dengan suara serak, mencoba membuang perasaan itu jauh-jauh. Aku harus melepaskanmu. Aku harus melangkah maju. Tapi apakah aku benar-benar siap untuk itu?
Aku menarik napas dalam-dalam dan berbalik, berusaha untuk mengalihkan pikiranku dari semua ini. Namun, bayanganmu terus mengikutiku, seolah menuntut kehadiranmu kembali. Mungkin aku tidak akan pernah bisa benar-benar melepaskanmu. Mungkin hatiku akan selalu terluka karena apa yang terjadi di masa lalu. Tetapi satu hal yang pasti—aku tidak akan pernah lagi menjadi orang yang sama.
Aku menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Sudah waktunya untuk hidup tanpa bayang-bayangmu. Sudah waktunya untuk membiarkan diriku sendiri menemukan kebahagiaan lagi, meskipun aku tahu itu akan sangat sulit.
Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain melanjutkan hidupku. Meskipun hati ini terkoyak, aku akan berusaha untuk tetap tegar, berusaha untuk tidak terjerat dalam kenangan yang hanya menyakitkan. Hatiku sudah mati untukmu. Itu yang harus kupercaya, meskipun kadang-kadang aku meragukannya.
Aku melangkah menjauh dari jendela dan duduk di meja, menatap layar komputer yang sudah siap menunggu. Aku harus kembali bekerja, kembali fokus pada hal-hal yang lebih penting. Hatiku sudah mati untukmu, tapi aku masih harus hidup.
Bab 3 Jejak yang Tertinggal
Setelah pertemuan yang penuh emosi di kafe itu, segala sesuatu yang terjadi antara aku dan Arkan seakan menguap begitu saja. Entah bagaimana, aku tidak pernah membayangkan bahwa satu kalimat darinya, satu tatapan itu bisa merubah segala hal yang sudah lama aku bangun. Tapi, kenyataan memang lebih kejam daripada sekadar bayangan yang kugantungkan dalam pikiran.
Aku kembali ke apartemen yang terasa lebih sepi dari biasanya. Hujan turun deras di luar sana, dan suara gemericik air membuat suasana terasa semakin suram. Mungkin aku sedang dilanda perasaan yang cukup kacau, seperti saat aku pertama kali mengetahui kenyataan tentang pengkhianatannya. Kala itu, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Hatiku bagaikan terkoyak tanpa belas kasihan, seperti langit yang begitu gelap tanpa ada harapan sedikitpun.
Arkan tidak pernah tahu betapa dalamnya luka yang dia buat. Keputusanku untuk meninggalkan semua kenangan tentang kami sebenarnya lebih sulit daripada yang dia kira. Tapi saat itu, aku tahu aku tidak bisa terus terjebak dalam masa lalu yang terus menghantuiku. Aku harus melanjutkan hidup, meski hatiku terasa mati untuknya.
Aku duduk di depan jendela, menatap hujan yang tak kunjung berhenti. Dalam keheningan itu, pikiranku kembali melayang pada saat-saat ketika semuanya masih baik-baik saja. Saat kami masih berdua, berbagi tawa, dan saling percaya. Namun, semua itu hancur hanya karena satu kebohongan besar yang dibawanya. Kebohongan yang kini seperti bayangan gelap yang menyesakkan dada.
Tiba-tiba, ponselku bergetar, memecah kesunyian malam itu. Aku menatap layar dengan ragu. Nama Arkan tertera di sana, menambah rasa tak menentu dalam dadaku. Selama ini, aku sudah berusaha menghindari kontak dengannya. Bahkan pesan-pesan yang dia kirimkan pun sudah lama tidak kubaca. Namun, kali ini, ada sesuatu yang membuatku membuka pesan itu. Mungkin rasa penasaran, mungkin juga rasa sakit yang entah mengapa belum sepenuhnya pergi.
Pesan singkat itu cukup jelas dan langsung ke intinya.
*”Aku tahu kamu masih marah. Tapi, izinkan aku menjelaskan segalanya.”
Rasa marah yang sudah lama aku simpan mulai kembali muncul. Bukankah aku sudah cukup jelas dalam mengucapkan kata-kata perpisahan? Bukankah aku sudah cukup memberi penjelasan bahwa tidak ada lagi tempat baginya dalam hidupku? Lalu, mengapa ia masih mengganggu?
Aku menekan tombol keyboard dengan cepat, mengetikkan sebuah pesan singkat sebagai balasan.
“Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Hatiku sudah mati untukmu.”
Aku menekan tombol kirim, dan seketika itu juga perasaan lega datang menyapa. Namun, di sisi lain, aku merasa ada sesuatu yang masih menggantung. Entah kenapa, ada bagian dari diriku yang masih berharap Arkan akan berubah, meskipun aku tahu itu tidak mungkin. Hati ini sudah terluka terlalu dalam. Bahkan jika ia datang dengan penyesalan terbesar sekalipun, itu tidak akan mampu mengubah apa yang sudah terjadi.
Tiba-tiba, ponselku bergetar lagi. Kali ini bukan pesan teks, melainkan sebuah panggilan masuk. Aku menatap nama yang tertera, dan sekali lagi, rasa ragu menghampiri hatiku. Akankah aku mengangkatnya? Aku tahu ini hanya akan membuat semuanya lebih rumit. Namun, entah mengapa aku merasa tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Dengan perasaan yang tak menentu, akhirnya aku menjawab panggilan itu.
“Kenapa kamu menelepon?” Suaraku terdengar lebih dingin dari yang aku inginkan, namun aku tidak bisa menahannya.
“Maafkan aku.” Suara Arkan terdengar lemah, seperti seseorang yang benar-benar merasa bersalah. “Aku tahu aku sudah salah, dan aku tidak bisa tidur memikirkan bagaimana aku menyakitimu.”
Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diriku. “Arkan, sudah cukup. Aku sudah cukup menderita karena semua ini. Aku sudah berusaha melupakanmu.”
“Jangan begitu,” katanya dengan suara penuh harap. “Aku tidak ingin kamu membenciku. Aku hanya ingin ada kesempatan untuk menjelaskan. Aku sudah sangat menyesal.”
Hatiku terasa sesak mendengar kata-katanya. Kenapa sekarang? Kenapa saat semuanya sudah terlambat? Kenapa harus setelah aku berhasil melangkah jauh dari bayang-bayangnya?
“Arkan…” aku terdiam sejenak. “Tidak ada lagi yang bisa kamu jelaskan. Segala penjelasan yang kamu berikan tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi. Aku tidak ingin kembali. Hatiku sudah mati untukmu.”
Aku memutuskan sambungan telepon itu tanpa menunggu jawabannya. Aku tahu itu adalah langkah yang tepat. Ini bukan tentang mencintai atau membenci, tapi tentang menemukan kedamaian dalam hatiku yang sudah lama terluka. Aku harus bisa melepaskannya, meskipun itu terasa sangat sulit.
Hujan semakin deras, dan aku kembali duduk di depan jendela, menatap ke luar dengan perasaan kosong. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang aku tahu adalah, aku harus terus berjalan, meski tanpa dia di sisiku.
Bab 4 Bayang-bayang yang Tak Terhapuskan
Suasana sore itu terasa suram, meskipun matahari masih bersinar, namun seolah ada kabut tebal yang menggelayuti setiap langkahku. Aku berdiri di depan rumah itu, rumah yang dulu penuh dengan tawa dan kebahagiaan. Rumah yang kini hanya menyisakan kenangan pahit yang tak bisa kulupakan. Setiap sudutnya mengingatkanku padamu, pada masa lalu yang seharusnya tak pernah ada.
Aku memejamkan mata, mencoba untuk mengusir bayanganmu yang terus mengganggu. Tapi, meskipun aku berusaha sekeras apapun, bayang-bayangmu tetap ada, seperti sebuah tato yang tercetak dalam ingatanku, tak akan pernah hilang. Wajahmu, senyummu, bahkan aroma parfummu, semua itu terpatri di dalam hatiku, dan itu membuatku merasa seakan-akan tidak ada yang bisa membebaskan diriku dari belenggu masa lalu yang kau ciptakan.
“Aku harus pergi dari sini,” gumamku pelan, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melangkah pergi. Namun, sebuah suara memanggilku dari belakang.
“Luna…”
Suara itu, suara yang tidak asing, tetapi juga begitu asing bagiku. Suara itu membawa begitu banyak kenangan yang seharusnya sudah lama aku kubur dalam-dalam. Aku menoleh perlahan dan melihatmu berdiri di sana, tepat di belakangku. Dulu, aku akan berlari ke arahmu dan memelukmu dengan erat, tapi kali ini, aku hanya bisa menatapmu dengan tatapan kosong.
“Kenapa kamu masih di sini?” tanyaku, suaraku serak. Rasa sakit itu datang begitu cepat, merobek luka yang baru saja sembuh.
“Aku hanya ingin berbicara denganmu,” jawabmu pelan, langkahmu mendekat, namun aku mundur selangkah.
“Aku tidak ingin bicara denganmu,” ujarku dengan tegas. Aku tahu itu adalah hal yang paling sulit untuk diucapkan, tapi aku harus melakukannya. Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuiku.
Kamu berhenti beberapa langkah di depanku, wajahmu terlihat penuh penyesalan. “Luna, aku tahu aku telah salah. Aku tahu aku telah menyakitimu, tapi aku…” kata-katamu terhenti, seakan-akan ada yang menghalangi untuk melanjutkan. Aku bisa melihat betapa kamu berusaha keras untuk menahan perasaanmu, tapi aku juga tahu, itu tidak akan mengubah apa-apa. Kenangan kita yang indah dulu telah hancur berantakan.
“Kamu tahu, saat itu aku hanya bisa berpegang pada satu hal,” kataku, suaraku mulai bergetar, tetapi aku berusaha keras untuk tetap terlihat tegar. “Bahwa cinta itu akan selalu mengalahkan segalanya. Tapi kamu membuktikan bahwa cinta bisa menghancurkan segalanya, bahkan menghancurkan diriku.”
Kamu menghela napas panjang, wajahmu terlihat begitu terluka, namun aku tak bisa merasa kasihan. Aku sudah terlalu lelah untuk merasa kasihan pada seseorang yang telah begitu mudah meninggalkanku.
“Aku tahu aku tidak bisa mengubah masa lalu, Luna,” katamu, suara penuh keputusasaan. “Tapi aku ingin meminta maaf. Jika ada cara untuk memperbaiki semuanya, aku akan melakukannya. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”
Aku terdiam, hatiku bergejolak. Kata-kata itu begitu sederhana, tetapi penuh makna. Dulu, aku mungkin akan berlari kepadamu, akan memaafkanmu dengan segenap hati. Tapi sekarang, tidak. Hatiku sudah mati untukmu. Tidak ada yang bisa menghidupkannya kembali, tidak ada yang bisa mengembalikan kepercayaan yang telah hilang.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan,” jawabku akhirnya, suaraku serak. “Aku sudah tidak mengenalmu lagi, dan yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa aku bahkan tidak tahu siapa diriku lagi setelah semua ini.”
Kamu terdiam, tampaknya terkejut dengan jawabanku, tapi aku bisa melihat sedikit cahaya harapan di matamu. “Luna, aku hanya ingin kita berdua bisa mendapatkan kedamaian,” katanya. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesali semua yang telah terjadi.”
“Aku tidak ingin kedamaian darimu,” kataku, suara ku makin keras, “Aku ingin luka ini sembuh, dan itu tidak akan terjadi jika kamu terus ada di sini, mengingatkan aku pada semua rasa sakit yang telah kamu buat.”
Aku menoleh dan melangkah pergi, meninggalkanmu yang terdiam di tempat. Tapi, langkahku terasa berat, hatiku terasa hancur. Entah kenapa, meski aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk melepaskanmu, ada bagian dari diriku yang tidak bisa begitu saja menghapuskanmu. Tetapi aku tahu satu hal, aku tidak bisa terus hidup dalam kenanganmu. Hatiku sudah mati untukmu, dan itu adalah kenyataan yang harus aku terima.
Bab 5 Di Bawah Bayang-Bayang Dendam
Setelah sekian lama, aku akhirnya berdiri di hadapanmu, di tempat yang dulu menjadi saksi bisu dari segala kenangan kita. Namun, entah mengapa kali ini rasanya berbeda. Ada perasaan yang menyakitkan, yang dulu pernah menyatu dalam jiwaku, kini berubah menjadi kebencian yang mendalam. Aku sudah tidak mengenal lagi sosok yang berdiri di hadapanku ini, meskipun wajahmu masih sama, meskipun matamu masih mengingatkanku pada segala yang pernah kita miliki. Tapi semua itu terasa hampa, kosong, seperti bayangan yang hanya sekadar melintas di benakku.
“Ada apa, Aira? Kenapa kamu diam saja?” Suara Lian memecah kesunyian yang menyesakkan ini.
Aku menatapnya, mencoba untuk menahan segala emosi yang mulai meluap. Dulu, aku tak pernah membayangkan bisa berdiri di sini, dengan semua kebencian yang menggerogoti hatiku. Dulu, kamu adalah segalanya bagiku, Lian. Namun, kini, aku hanya merasa terluka dan dikhianati.
“Kenapa kamu kembali? Kenapa setelah semua yang terjadi, kamu datang lagi ke hidupku?” tanyaku dengan suara yang hampir tercekat. Setiap kata terasa seperti belati yang menancap langsung ke jantungku.
Lian tampak terkejut. Aku tahu ia tak pernah mengira akan mendengar pertanyaan seperti itu dariku. Dulu, mungkin aku yang akan berlari memeluknya, menangis di pelukannya, meminta penjelasan atas segala kebingungannya. Tapi sekarang, segalanya telah berubah. Tidak ada lagi cinta yang tersisa di antara kami, hanya ada serpihan-serpihan kenangan yang kini menjadi luka yang tak bisa sembuh.
“Aira, aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal.” Lian mencoba mendekat, namun aku mundur beberapa langkah. Tidak, aku tidak ingin terjebak dalam jerat kata-kata manisnya lagi. Aku sudah cukup tertipu oleh janji-janji yang tidak pernah ia tepati.
“Menyesal? Apa artinya itu? Kamu datang, hanya untuk mengatakan kata-kata kosong seperti itu?” Mataku mulai memanas, dan aku bisa merasakan getaran marah yang memenuhi dadaku. “Kamu tahu betapa lama aku menunggu? Kamu tahu betapa sakitnya menjalani hari-hari tanpa kamu? Dan sekarang kamu datang begitu saja, seolah semuanya bisa kembali seperti dulu?”
Lian terlihat ragu, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi ia menahannya. Aku tahu, di dalam dirinya, ada perasaan bersalah yang selama ini tidak bisa ia ungkapkan. Namun, itu tidak cukup untuk menghapus luka yang telah ia tanamkan dalam hatiku.
“Aira, aku tahu aku telah menyakitimu. Tapi percayalah, aku tidak pernah berniat untuk membuatmu menderita. Aku…” Lian terhenti lagi. Matanya penuh penyesalan, namun bagi aku, semua itu sudah terlambat.
“Lian,” kataku pelan, meskipun rasa sakit itu terasa begitu dalam. “Kamu tidak tahu bagaimana rasanya kehilanganmu. Kamu tidak tahu bagaimana aku bertahan hidup di dunia yang hampa tanpa ada cinta darimu. Semua yang kita bangun, semuanya… hancur hanya karena satu keputusan bodoh yang kamu buat. Kamu memilih dia. Kamu memilih untuk meninggalkanku tanpa penjelasan.”
Aku terdiam, merasa kata-kataku berat sekali untuk diucapkan. Dendam ini, yang sudah lama mengakar di dalam hatiku, kini keluar begitu saja. Aku ingin Lian merasakan sedikit dari apa yang aku rasakan. Aku ingin ia tahu betapa sakitnya ditinggalkan, betapa perihnya mencintai seseorang yang tidak pernah menganggapmu ada.
“Aira…” Lian tampak bingung. “Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskan semuanya. Aku tidak tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahan ini. Tapi yang aku tahu, aku masih mencintaimu. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu.”
Kata-kata itu seperti dentuman keras yang menggetarkan seluruh tubuhku. Aku ingin tertawa, ingin meronta, namun yang aku rasakan hanya kesakitan yang semakin dalam. “Cinta? Kamu datang setelah bertahun-tahun dengan kata-kata itu? Setelah semua yang kamu lakukan, kamu masih bilang cinta?” Aku menatapnya tajam, berharap ia bisa merasakan betapa pedihnya luka yang ia sebabkan.
Lian terdiam. Ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaannya, karena ia tahu, semuanya sudah terlambat. Cinta itu tidak lagi berarti apa-apa bagi aku. Semua yang pernah kita bangun bersama, kini hanya tinggal kenangan yang pahit.
Aku melangkah mundur, meninggalkan Lian yang berdiri di sana, dengan tatapan penuh penyesalan. Setiap langkahku terasa berat, seperti ada beban besar yang menekan hatiku. Namun, kali ini, aku tahu aku tidak akan kembali. Hatiku sudah mati untuknya. Dendam ini akan mengubah segalanya.
Aku tahu, aku tidak akan pernah bisa menghapus semua rasa sakit yang telah dia berikan. Tapi yang bisa aku lakukan sekarang adalah melangkah maju, meskipun jalan itu penuh dengan kenangan yang tak ingin kuingat lagi. Aku akan belajar untuk melepaskan, meskipun itu tidak mudah.
Bab 6 Kesunyian yang Menyelimuti
Sudah hampir dua tahun sejak pertama kali Arjuna dan Raina berpisah. Waktu yang mereka habiskan bersama hanya meninggalkan kenangan yang semakin kabur, seolah tak pernah ada. Namun, perasaan yang mengikat hati mereka tetap ada, tersembunyi di balik jarak yang memisahkan.
Arjuna duduk di meja kerjanya, di kamar yang kini terasa sunyi. Pagi itu, langit terlihat cerah, namun hatinya tetap kelam. Dia menatap layar ponselnya, menghindari kenyataan bahwa tak ada pesan yang masuk. Sudah berbulan-bulan Raina tidak menghubunginya. Meskipun begitu, hatinya masih berharap ada suatu hari Raina akan mengirimkan pesan, sekadar untuk menyapanya, meski hanya dengan kata-kata sederhana.
Raina, di sisi lain, juga merasakan hal yang sama. Jarak yang terhampar di antara mereka seakan semakin memperburuk perasaan yang sudah lama terpendam. Raina menghabiskan malamnya dengan memandangi langit, merasakan angin sejuk yang menerpa wajahnya, namun hatinya terasa begitu hampa. “Arjuna,” desahnya pelan. Nama itu keluar begitu mudah, namun terasa begitu asing di lidahnya.
Mereka berdua sama-sama merasakan kesunyian, meskipun berada di dunia yang berbeda. Arjuna merasa hampa dengan kehidupan yang hanya penuh dengan rutinitas. Ia tidak pernah tahu bagaimana harus melangkah maju tanpa Raina di sisinya. Setiap kali ia berusaha melupakan, bayangan wajah Raina justru semakin jelas. Begitu juga dengan Raina, yang tidak tahu harus berbuat apa. Meskipun ia memutuskan untuk jauh dari Arjuna, perasaannya tetap tak bisa hilang. Setiap sudut kota yang ia singgahi, ia merasa seolah Arjuna ada di sana, mengamatinya dari kejauhan.
Pagi itu, ketika Arjuna duduk di kafe kesukaannya, sebuah pesan muncul di layar ponselnya. “Arjuna, apakah kamu baik-baik saja?” Tangan Arjuna gemetar. Itu pesan dari Raina. Hatinya berdebar keras. Sudah lama sekali ia menunggu pesan seperti ini. Namun, seiring rasa bahagia yang menghampiri, timbul pula ketakutan yang melandanya. “Apakah Raina benar-benar masih peduli padaku? Apakah semuanya hanya sebuah kebetulan?” pikirnya.
Ia terdiam sejenak, meraba perasaan yang tiba-tiba muncul. Ada kebingungan, ada rasa rindu yang mendalam, namun ada pula ketakutan yang menyesakkan dadanya. Arjuna tahu bahwa, meskipun Raina mengirimkan pesan, tidak berarti semuanya akan kembali seperti dulu. Mereka sudah terpisah jauh, dan setiap perasaan yang muncul, entah itu cinta atau sekadar kenangan, akan selalu terhalang oleh jarak yang mereka ciptakan.
Akhirnya, dengan hati yang berat, Arjuna memutuskan untuk membalas pesan itu. “Aku baik-baik saja, Raina. Bagaimana denganmu?” jawabnya singkat, berusaha menghindari terlalu banyak emosi dalam kata-katanya. Ia takut jika terlalu terbuka, akan terlalu sulit untuk kembali menahan perasaan itu. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Raina, namun ia juga tidak ingin terlalu berharap.
Raina, yang sedang duduk di ruang kerjanya, membaca balasan itu dengan penuh perhatian. Hatinya berdebar. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang sangat langka. Setelah begitu lama, akhirnya mereka berkomunikasi lagi. Meskipun hanya melalui pesan singkat, rasa rindu yang selama ini terpendam di dalam dirinya muncul kembali. Namun, ia juga tahu bahwa semuanya tak semudah itu. Menghubungi Arjuna kembali berarti membuka pintu kenangan yang mungkin akan menyakitkan.
Namun, rasa penyesalan dan kerinduan membuat Raina tidak bisa menahan diri. “Aku baik-baik saja juga, Arjuna. Hanya sedikit merasa kesepian belakangan ini,” balas Raina, jujur namun hati-hati. Ia tahu, perasaan itu bukan hanya tentang kesendirian, tetapi juga tentang kebingungannya terhadap apa yang mereka rasakan satu sama lain.
Mereka berdua terjebak dalam diam yang panjang setelah itu. Keduanya saling membaca pesan masing-masing, namun tidak ada yang berani untuk melanjutkan percakapan. Di satu sisi, Arjuna ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Raina, tetapi ia juga takut jika Raina tidak merasa seperti yang ia rasakan. Sementara Raina, ia tidak tahu apakah ia sudah cukup kuat untuk membuka kembali pintu hatinya untuk Arjuna.
Hari-hari berlalu, dan pesan itu tetap terngiang di telinga mereka masing-masing. Mereka tidak saling menghubungi lagi, namun ada satu hal yang mereka rasakan: perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Meskipun dunia mereka kini begitu berbeda, ada sesuatu yang tetap mengikat mereka, meski hanya dalam kesunyian yang menyelimuti.
Ketika malam tiba, Arjuna kembali duduk di meja kerjanya, menatap layar ponsel yang kini kosong. Ia berpikir, apakah ia siap untuk membuka kembali lembaran yang sudah lama ia tutup? Namun, ia tahu, meskipun ia membuka lembaran itu, tidak ada jaminan bahwa semuanya akan kembali seperti semula. Hanya satu hal yang pasti: perasaan itu tetap ada, tersembunyi dalam kesunyian jarak yang memisahkan mereka.
Bab 7 Jejak yang Tertinggal
Langit malam tampak begitu kelam, tak ada bintang yang menyinari. Hanya ada gemerisik angin yang melintasi pepohonan di sekitar rumah tua yang kini terasa begitu sunyi. Di dalamnya, Ava duduk terdiam di atas kursi kayu yang sudah usang, tangan mengepal erat di atas meja. Mata hitamnya menatap kosong ke luar jendela, merenungi semuanya.
Tiga tahun telah berlalu sejak malam itu—malam yang mengubah segalanya. Malam di mana cinta yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi racun yang merusak. Aidan, lelaki yang dulu sangat ia cintai, kini menjadi sosok yang begitu asing dalam hidupnya. Bagaimana bisa semuanya berakhir seperti ini? Bagaimana bisa seseorang yang begitu dekat denganmu, yang pernah berbagi tawa dan cerita, sekarang menjadi musuh yang harus dihancurkan?
Ava menutup matanya sejenak, mengingat setiap detik yang telah berlalu. Ia tidak pernah menyangka bahwa keputusan Aidan untuk meninggalkan dirinya demi kebahagiaan orang lain akan menghancurkan hati dan segala harapan yang ia miliki. Setiap malam, Ava selalu terjaga, terjebak dalam lingkaran pikirannya sendiri yang tidak kunjung selesai. “Aku akan membalasmu, Aidan,” gumamnya pelan. Suara itu terasa berat, seperti sebuah janji yang telah lama terkubur.
Sebuah suara lembut terdengar dari pintu yang sedikit terbuka. Ava menoleh, dan di sana berdiri Zane, sahabat lama yang selalu ada di sampingnya. Sejak kejadian itu, Zane menjadi satu-satunya orang yang Ava percayai. “Kau belum tidur?” tanya Zane dengan suara tenang. Meski ada keprihatinan di matanya, ia tidak bisa memaksa Ava untuk melupakan rasa sakit yang masih begitu dalam.
Ava hanya mengangguk, menyisakan senyum tipis di wajahnya. “Aku masih memikirkannya, Zane. Semua yang terjadi… semua yang sudah ia lakukan.” Suaranya terdengar lebih rapuh dari yang ia kira. Zane duduk di sampingnya, memandang Ava dengan penuh perhatian.
“Tidak mudah, memang,” jawab Zane, memecah kesunyian di antara mereka. “Tapi, tidak ada yang bisa diubah sekarang. Yang penting adalah bagaimana kau melangkah maju, Ava. Jangan biarkan dendammu menguasai hidupmu. Jika tidak, kamu hanya akan terjebak di masa lalu.”
Ava terdiam. Zane benar. Tapi bagaimana mungkin ia bisa begitu saja melupakan rasa sakit yang ditinggalkan oleh Aidan? Rasanya seperti mengabaikan sebuah luka yang tak kunjung sembuh. Di sisi lain, ia tahu bahwa jika terus menerus terlarut dalam dendam, hidupnya hanya akan menjadi sebuah perjalanan tanpa ujung.
Zane mengerti betul bahwa Ava sedang berjuang dengan hatinya sendiri. Rasa sakit yang ia alami begitu mendalam, begitu sulit untuk dipahami oleh orang lain. Namun, Zane juga tahu bahwa Ava adalah sosok yang kuat, yang mampu bangkit meski terjatuh berkali-kali.
“Ava,” Zane memulai, suara lembutnya mengalun. “Aku tidak bisa menggantikan Aidan. Aku tidak bisa menghapus rasa sakit yang ada, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku ada di sini. Kau tidak sendirian.”
Ava menoleh pada Zane, matanya penuh dengan harapan dan keraguan. “Apa yang harus aku lakukan, Zane? Aku sudah tidak tahu lagi.”
Zane memegang tangan Ava, memberikan kekuatan dalam genggamannya. “Kau harus mulai melepaskan masa lalu, meskipun itu sulit. Jangan biarkan Aidan dan semua yang ia lakukan mendikte masa depanmu. Kamu lebih berharga daripada dendam yang ingin kau pelihara.”
Ava menarik napas dalam-dalam. Kata-kata Zane memukulnya dengan keras. Ia tahu ia harus melangkah maju, tetapi entah mengapa, hatinya masih terikat dengan masa lalu. Cinta yang ia berikan pada Aidan kini menjadi racun yang terus menghantui. Bagaimana bisa ia melepaskan seseorang yang pernah menjadi seluruh hidupnya?
Tiba-tiba, pintu terbuka lebih lebar, dan suara langkah kaki terdengar dari luar. Ava menoleh, dan tampak seorang lelaki dengan pakaian rapi berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampak tegas, penuh determinasi, namun ada juga rasa kebingungan yang tersirat di balik mata gelapnya.
“Aidan,” suara Ava hampir tidak terdengar, tetapi begitu dalam, penuh dengan luka.
Aidan menatap Ava dengan raut wajah yang sulit dibaca. Ada kebisuan di antara mereka, sebuah keheningan yang menyelimuti ruang. Zane, yang menyadari kehadiran Aidan, berdiri dan memberi isyarat untuk pergi. “Aku akan memberi kalian waktu,” katanya, sebelum akhirnya meninggalkan ruangan, membiarkan kedua sosok yang pernah berbagi kisah cinta itu bertatap muka.
Aidan melangkah lebih dekat, dan Ava bisa merasakan setiap denyut jantungnya yang berdebar cepat. Ia merasa bingung—antara marah dan rindu, antara dendam dan harapan yang tak kunjung padam.
“Ava,” suara Aidan begitu dalam, namun ada keraguan yang jelas tergambar dalam suaranya. “Aku tahu aku sudah salah. Tapi, aku… aku ingin mencoba menjelaskan semuanya.”
Ava menggeleng, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Tak ada yang perlu dijelaskan, Aidan. Apa yang kau lakukan dulu, itu sudah cukup jelas. Aku tak butuh alasan lagi.”
Aidan terdiam, menatapnya dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. “Aku tidak tahu apakah aku masih pantas untukmu,” katanya pelan, “Tapi aku ingin kau tahu, bahwa aku masih mencintaimu.”
Ava menatap Aidan lama, mencoba menenangkan dirinya. Dendamnya yang menyala-nyala mulai mereda, berganti dengan rasa yang lebih rumit. Ia tidak tahu harus bagaimana. Akankah ia memilih untuk mendengarkan hatinya atau melanjutkan jalannya, terjebak dalam bayang-bayang masa lalu?
Kehadiran Aidan yang tak terduga membuat semuanya semakin rumit. Namun, satu hal yang Ava ketahui pasti—dendam yang ia pelihara bukanlah jawabannya. Kini, ia harus memilih, apakah ia akan membuka pintu hatinya lagi untuk Aidan atau akhirnya benar-benar menutupnya selamanya.
Bab 8 Kenangan yang Kian Pudar
Sore itu, angin berhembus pelan, membawa serpihan daun kering yang berterbangan di sepanjang jalanan kota yang sunyi. Di kedai kopi yang terletak di sudut jalan, Alina duduk seorang diri, memandangi cangkir kopi yang sudah hampir habis. Matanya kosong, terlarut dalam kenangan yang tak kunjung pudar, meskipun sudah berusaha ia kuburkan jauh di dalam hatinya.
Pikirannya kembali pada satu momen, satu malam yang membuatnya merasa kehilangan. Ia masih bisa merasakan suasana hati yang begitu hancur, seperti ada bagian dari dirinya yang robek tak bisa diperbaiki. Semua bermula dari janji yang dulu diucapkan dengan penuh harapan, kini hanya menjadi kenangan yang menyakitkan.
“Tetap menungguku, Alina. Suatu hari nanti, kita akan kembali bersama,” kata-kata itu yang dulu begitu indah di telinganya, kini hanya tinggal serpihan dalam ingatannya.
Dia tahu, saat itu, ia percaya begitu dalam. Karena cinta yang tulus, ia rela menunggu apapun yang terjadi. Janji itu menjadi pegangan hidup, satu-satunya pegangan yang membuatnya bisa bertahan meskipun jarak memisahkan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, janji itu perlahan-lahan menguap. Apa yang dulu tampak seperti masa depan yang cerah, kini menjadi bayang-bayang gelap yang terus menghantuinya.
Kenangan tentang mereka yang dulu begitu utuh kini retak. Alina tak bisa lagi menyembunyikan rasa sakit yang tumbuh dalam hatinya. Bagaimana tidak, setelah sekian lama menunggu dengan penuh harapan, ia justru mendapatkan kenyataan pahit. Semua yang diimpikan, semua yang pernah dijanjikan, hancur begitu saja.
Tiba-tiba, suara pintu kedai kopi berbunyi keras, membuat Alina tersentak dari lamunannya. Sebuah sosok yang sangat dikenalnya, meskipun sudah lama tak bertemu, kini berdiri di hadapannya. Tak ada kata yang keluar dari bibir mereka. Hanya tatapan mata yang saling bertemu. Wajah lelaki itu, yang dulu begitu penuh gairah, kini tampak lebih murung, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
“Liam…” Alina akhirnya berhasil mengucapkan namanya, meskipun suaranya serak dan hampir tak terdengar.
Liam tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. Dia duduk di seberang Alina, namun tidak mengatakan apapun. Hanya ada keheningan yang memenuhi udara di antara mereka. Alina menundukkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang tiba-tiba muncul. Bagaimana bisa ia tidak merasa sakit? Setelah sekian lama berharap, kini kenyataan begitu terasa kejam.
“Alina…” Liam akhirnya membuka suara, tetapi suaranya terdengar jauh. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”
Alina mengangkat wajahnya, menatap Liam dengan penuh pertanyaan. “Apa yang kau maksud?”
Liam menatap ke luar jendela kedai kopi, seolah menghindari tatapan mata Alina. “Aku tahu aku telah membuatmu menunggu begitu lama. Dan aku tahu aku telah merusak semua janji-janji itu. Tapi, ada banyak hal yang terjadi dalam hidupku selama ini, hal-hal yang mungkin tidak bisa aku jelaskan kepadamu.”
Alina menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang kian menggerogoti. “Tidak perlu ada penjelasan lagi, Liam. Aku sudah cukup lama menunggu, terlalu lama. Aku tak ingin menambah beban hati dengan alasan-alasan yang tidak jelas.”
Liam diam, seperti menyesali kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Aku ingin kamu tahu, Alina, bahwa aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu.”
“Liam, kau tidak perlu lagi berbicara tentang rasa bersalah. Itu tidak akan mengubah apapun,” jawab Alina dengan tegas, meskipun suaranya bergetar. “Aku sudah cukup dengan semua ini. Janji-janji itu… semua itu sudah berakhir. Aku tidak bisa lagi menunggu seseorang yang bahkan tidak tahu apa yang ia inginkan.”
Setetes air mata akhirnya jatuh di pipi Alina, namun ia cepat-cepat menghapusnya. Liam hanya bisa menatap, tak mampu berkata-kata. Wajahnya terlihat lelah, seperti seorang yang telah bertarung dengan dirinya sendiri.
“Alina, maafkan aku… aku tidak pernah berniat untuk meninggalkanmu begitu saja. Tapi, terkadang hidup membawa kita ke arah yang tak terduga. Aku tidak bisa memberi apa yang kamu harapkan,” ujar Liam pelan.
Alina menarik napas panjang, seolah ingin melepaskan semua beban yang selama ini mengganjal hatinya. “Kau tidak perlu meminta maaf, Liam. Aku sudah lama melepaskanmu dalam hatiku. Aku hanya… aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku tidak akan bisa menunggu lagi. Aku sudah terlalu lama hidup dalam kenangan yang menyakitkan.”
Liam menundukkan kepala, merasakan seberkas rasa kehilangan yang mendalam. Ia tahu, meskipun ia ingin kembali pada Alina, semuanya sudah terlambat.
“Kau benar, Alina,” katanya lirih. “Aku terlalu terlambat untuk semuanya.”
Keheningan kembali menyelimuti kedai kopi itu. Hanya ada suara detakan jam dinding yang terdengar jelas, mengingatkan mereka pada waktu yang terus berjalan tanpa henti.
Setelah beberapa menit, Alina berdiri dan mengambil tasnya. “Aku harus pergi,” ujarnya singkat, suara yang penuh keletihan.
Liam tak mampu mengatakan apapun. Ia hanya bisa melihat Alina yang perlahan meninggalkan kedai itu. Kenangan yang dulu begitu hidup kini benar-benar memudar, tak ada lagi ruang untuk berharap, karena luka itu terlalu dalam untuk sembuh.
Dan Alina? Ia tahu bahwa hatinya sudah mati untuk Liam. Janji yang dulu menjadi pegangan hidupnya, kini hanyalah kenangan yang membelenggu dirinya. Namun, meski terasa pedih, ia tahu bahwa ia harus melangkah pergi, mencari hidupnya yang baru.