Daftar Isi
Bab 1 Pertemuan Tak Terduga
Pagi itu, hujan turun dengan derasnya, mengguyur kota yang mulai sibuk dengan aktivitas sehari-hari. Di tengah jalan yang dipenuhi genangan air, Aira berjalan cepat, berusaha menghindari cipratan air yang mengalir dari setiap mobil yang melintas. Pikirannya tak pernah jauh dari masa lalu yang masih terus menghantuinya. Dua bulan sudah berlalu sejak dia mengakhiri hubungan dengan Arga, kekasih yang selama ini dia percayai, namun berkhianat dengan sahabatnya sendiri. Hatinya masih terasa rapuh, seolah setiap langkah yang diambil membawa beban yang lebih berat.
Aira berhenti di sebuah kedai kopi kecil, tempat yang sering ia singgahi setelah berakhirnya hari yang melelahkan. Tanpa banyak berpikir, ia masuk dan memesan secangkir kopi panas, berharap bisa sedikit menenangkan pikiran yang kacau. Dulu, tempat ini selalu menjadi pelarian saat ia merasa sendirian atau kecewa, dan hari ini, kedai kopi itu kembali menjadi tempat persembunyian dari segala kebingungannya.
Saat ia duduk di sudut ruangan, menatap cangkir kopi yang masih mengepulkan uap, tiba-tiba pintu kedai terbuka. Seorang pria masuk dengan jaket hitam yang basah, tampak tidak sengaja menabrak kursi di dekat pintu. Aira mengangkat pandangannya sekilas, tidak terlalu tertarik, namun ada sesuatu yang aneh dengan pria itu—rasa tidak nyaman yang datang begitu saja. Wajahnya samar, namun ada sesuatu yang familiar di matanya. Dia bergegas menuju meja di dekat jendela dan duduk dengan wajah terkejut, seakan baru menyadari bahwa kedai ini sudah penuh sesak.
Aira berusaha menenangkan pikirannya dan kembali fokus pada secangkir kopinya, tapi pikirannya tak bisa lepas dari pria itu. Kenapa dia merasa aneh? Rasanya seperti melihat seseorang dari masa lalunya, tapi dia tidak ingat siapa.
Tak lama setelah pria itu duduk, pelayan datang dengan secangkir kopi, dan pria tersebut tersenyum ringan, berterima kasih. Aira memperhatikan ekspresi wajahnya. Ada sesuatu yang gelap, namun ada juga kebaikan yang tercermin di dalam tatapan matanya. Rasanya seperti menyadari sebuah teka-teki yang belum terpecahkan. Kenapa wajahnya terlihat begitu… familiar?
Aira menggigit bibirnya, berusaha menepis perasaan yang semakin mengganggu. Namun, beberapa detik kemudian, pria itu menoleh dan seolah-olah mencari sesuatu. Tanpa sengaja, mata mereka bertemu. Aira terkejut, dan pria itu pun sepertinya terperangah, seakan baru menyadari kehadiran Aira. Ada jeda yang tak terduga di antara mereka, seperti waktu berhenti sejenak.
“Aira?” suara pria itu terdengar ragu, tapi cukup jelas. Nama yang diucapkannya seperti sebuah gaung yang menggema di dalam dada Aira. Matanya terbelalak.
“Raka?” ujar Aira pelan, suaranya serasa tercekat. Pria yang ada di hadapannya adalah Raka, sahabat Arga yang sudah lama ia hindari setelah kejadian yang mengubah hidupnya. Kenapa dia di sini? Kenapa sekarang? Aira mencoba menenangkan diri, meskipun hatinya mulai berdegup kencang.
Raka mengangguk pelan, seolah tak percaya bisa bertemu dengan Aira di sini. “Apa kabar?” tanyanya hati-hati, seolah khawatir kata-katanya bisa melukai lebih dalam.
Aira hanya terdiam, otaknya bekerja cepat. Sejenak, kenangan buruk tentang hubungan yang penuh kebohongan, tentang perasaan yang dikhianati, kembali datang. Arga dan Raka, dua orang yang sangat dekat dengannya, telah menghancurkan kepercayaannya. Aira merasa seolah-olah dunia terbalik begitu tahu bahwa sahabat baiknya yang selama ini dia percayai ternyata terlibat dalam pengkhianatan besar.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Aira, suaranya tegas meski ada gemetar yang tak bisa disembunyikan. Raka tampaknya tidak tahu harus berkata apa. Ia menundukkan kepala, seakan menyadari bahwa apapun yang ia katakan tidak akan mudah diterima.
“Aira, aku… aku minta maaf. Aku tahu kamu benci aku karena apa yang terjadi antara kita dan Arga. Tapi, aku di sini bukan untuk membuat kamu merasa lebih buruk lagi. Aku hanya ingin bicara. Bisa kita… bisa kita berbicara sebentar?” Raka mengeluarkan kata-kata itu dengan hati-hati, seperti menimbang setiap suku kata yang terucap. Dia tahu bahwa tidak ada yang bisa menghapus luka yang telah ada di antara mereka.
Aira menatapnya dengan tajam, perasaan yang tumpang tindih di dalam dirinya. Di satu sisi, rasa marah dan kecewa mengalir deras, namun di sisi lain, ada rasa penasaran yang sulit ia bendung. Mengapa dia harus bertemu dengan Raka lagi? Apakah ini kebetulan ataukah takdir yang mempertemukan mereka kembali?
Aira menarik napas panjang dan mencoba untuk mengendalikan diri. “Apa yang ingin kamu bicarakan, Raka? Sudah cukup banyak kebohongan yang aku dengar dari kalian berdua,” katanya dengan nada datar, mencoba untuk tidak terbawa perasaan.
Raka terdiam beberapa saat, lalu akhirnya berkata pelan, “Aku ingin kamu tahu, Aira. Ada banyak hal yang tidak kamu ketahui. Aku tidak pernah terlibat dalam apa yang terjadi antara kamu dan Arga. Semua ini adalah salah paham yang membuat kita semua terjerat dalam kebohongan.”
Aira menatapnya penuh keraguan. Kata-kata itu terasa terlalu mudah keluar dari mulutnya, namun ada sesuatu dalam mata Raka yang membuatnya merasa cemas. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, sesuatu yang mengatakan bahwa Raka mungkin tidak sepenuhnya bersalah. Namun, apakah itu cukup untuk membuatnya percaya lagi
Bab 2 Dusta yang Tertanam
Aira duduk di tepi jendela apartemennya, menatap hujan yang turun dengan deras. Setiap tetes air yang menyentuh kaca seakan menggambarkan perasaannya yang bergelora. Dia merasa kosong dan bingung, terjebak dalam pusaran kenangan pahit yang terus mengusiknya. Hatinya masih terbakar amarah, marah pada apa yang telah terjadi, marah pada kebohongan yang sudah begitu lama tertanam dalam hidupnya.
Dua tahun lalu, Aira berada di tempat yang jauh berbeda. Dia percaya pada cinta. Cinta yang tulus, yang membuatnya merasa seolah dunia ini miliknya. Raka, pria yang dia cintai dengan sepenuh hati, adalah segalanya. Mereka memiliki banyak rencana untuk masa depan, membicarakan pernikahan, impian-impian mereka bersama. Tapi kenyataan itu terpecah seiring dengan beredarnya pesan-pesan yang tak seharusnya dia terima.
Pesan itu datang tanpa pemberitahuan, datang dari nomor yang tidak dikenal. Aira awalnya mengabaikannya, namun rasa penasaran membawanya untuk membuka pesan tersebut. Betapa terkejutnya dia saat membaca pesan yang memuat percakapan antara Raka dan seorang wanita lain. Wanita itu mengungkapkan perasaan sayangnya pada Raka, dan Raka membalas dengan kata-kata yang lebih dari sekadar ramah. Dalam pesan itu, dia membaca dengan jelas bagaimana Raka mengatakan bahwa dia merasa terjebak dalam hubungannya dengan Aira dan tidak tahu bagaimana cara melepaskan diri. Dunia Aira runtuh seketika itu juga.
Rasa sakit itu begitu mendalam. Setiap kata yang tertulis di dalam pesan itu berputar-putar di dalam kepalanya. Kebohongan yang telah Raka bangun selama ini mulai terungkap, meski Aira enggan percaya sepenuhnya. Mungkin ini hanya sebuah kebetulan. Mungkin Raka tidak bermaksud seperti itu. Namun, semakin banyak bukti yang muncul, semakin sulit Aira untuk menepis kenyataan tersebut.
Hari-hari berikutnya, Aira mencoba untuk menghadapi Raka, menanyakan kebenaran dari pesan tersebut. Namun, Raka dengan lihai berkelit. Dia mengaku itu adalah salah paham, bahwa dia tidak bermaksud apa-apa dengan wanita itu. Raka meminta maaf dengan penuh penyesalan, berjanji tidak akan ada lagi yang seperti itu. Tapi Aira tidak bisa mempercayainya lagi. Dusta itu terlalu besar untuk diabaikan begitu saja. Cinta yang selama ini dia percayai ternyata hanya sebuah ilusi yang dibangun dengan kata-kata manis dan janji-janji kosong.
Aira tidak bisa memaafkan pengkhianatan itu. Perasaan marah dan sakit hati menggerogoti dirinya. Setiap kali dia melihat Raka, hanya ada kebencian yang tumbuh semakin dalam. Rasa cemburu dan curiga menguasainya. Dia merasa dipermainkan, seakan-akan perasaan tulusnya tidak dihargai. Dalam pikirannya, Raka adalah sosok yang harus dijauhi, sosok yang tidak pantas mendapatkan maaf darinya.
Namun, meskipun rasa kebencian itu begitu kuat, ada sesuatu yang lebih sulit untuk Aira atasi: perasaan cinta yang masih menggebu-gebu. Cinta itu seakan bersembunyi di balik amarah yang menguasai dirinya. Aira sering kali mendapati dirinya terjebak dalam dilema, antara melanjutkan dendamnya atau mencoba memberi kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Setiap kali dia merasa lelah dengan perasaan ini, kenangan indah bersama Raka muncul di benaknya, mengingatkannya pada masa-masa bahagia yang pernah mereka lewati.
Cinta itu, meskipun ternodai oleh kebohongan, tetap ada. Aira tidak bisa menafikan perasaan itu begitu saja. Namun, rasa cinta itu kini berubah. Cinta itu bukan lagi cinta yang tulus, tetapi sebuah perasaan yang terbungkus oleh kebencian dan keinginan untuk membalas dendam. Aira mulai merencanakan langkah-langkah yang akan membuat Raka merasakan apa yang dia rasakan. Setiap tindakan Raka mulai dia awasi, setiap kata yang keluar dari mulutnya dia pertanyakan.
Di tengah kebingungannya, Aira mulai membangun tembok di sekeliling hatinya. Dia menjadi lebih tertutup, lebih dingin terhadap siapa pun yang berusaha mendekatinya. Cinta itu mulai membeku, tergantikan oleh kebencian yang perlahan mengisi kekosongan di dalam dirinya. Setiap kali Raka berusaha meminta maaf, Aira hanya melihatnya dengan tatapan kosong, seakan-akan tak ada yang bisa dia percayai lagi. Baginya, semua yang Raka katakan hanyalah omong kosong belaka, sebuah sandiwara untuk menutupi kebohongannya.
Dalam perjalanan waktu, Aira semakin yakin bahwa dendam adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka di hatinya. Rasa sakit yang terus-menerus mengingatkannya pada pengkhianatan itu membuatnya semakin keras. Dendam ini adalah cara untuk membuat Raka merasakan apa yang telah dia rasakan—kehilangan, kebingungan, dan pengkhianatan yang tak termaafkan.
Namun, di balik semua itu, Aira masih merasakan ada bagian dari dirinya yang merindukan Raka. Bahkan dalam kebencian yang dia rasakan, ada sebuah ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh cinta yang pernah ada. Aira tahu, meskipun dia berusaha menutupi perasaannya dengan amarah dan kebencian, rasa itu takkan pernah benar-benar hilang. Cinta dan dendam, keduanya saling bersaing di dalam hatinya, dan dia harus memilih jalan mana yang akan dia ambil.
Aira memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya. Dusta itu sudah tertanam begitu dalam. Tapi apakah dia bisa melepaskannya? Atau akankah kebohongan yang telah menandai hidupnya ini akan selalu menjadi penghalang untuk menemukan kebahagiaan
Bab 3 Permainan Dendam
Aira menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Setiap pesan yang muncul dari Raka hanya memperburuk rasa sakit yang sudah bertahun-tahun terpendam. Dia tak pernah membayangkan bisa berhadapan dengan pria itu lagi setelah perpisahan pahit yang memporak-porandakan hidupnya. Semua rasa sakit yang dulunya terpendam, kini seperti membuka kembali luka lama yang tak kunjung sembuh. Namun, kali ini, dia tidak akan menjadi korban lagi.
Malam itu, di sebuah kafe sepi, Aira duduk dengan wajah dingin, menunggu kedatangan Raka. Sebuah pertemuan yang sudah direncanakan dengan penuh ketelitian. Dendamnya terhadap Raka telah menguasai setiap langkahnya, dan dia tahu persis apa yang harus dilakukan untuk membayar semua pengkhianatan yang telah dia terima.
Sejak pertemuan pertama mereka beberapa hari lalu, Aira mulai merancang permainan ini dengan hati-hati. Dia mengingat setiap detail tentang Raka—tentang bagaimana dia memanipulasi perasaan Aira di masa lalu, tentang cara dia bermain dengan kata-kata untuk menutupi kebohongannya. Semua itu adalah bagian dari teka-teki yang harus dipecahkan, dan Aira sudah menemukan potongan-potongan yang hilang. Kini, hanya satu yang tersisa—membuat Raka merasakan apa yang pernah dia rasakan.
“Raka akan datang sebentar lagi,” gumam Aira pada dirinya sendiri, menyesap kopinya yang sudah dingin. Di matanya, pria itu adalah musuh yang harus ditaklukkan. Semua yang Aira tahu tentangnya adalah kebohongan. Semuanya dimulai dari kebohongan yang dia yakini selama bertahun-tahun, dan dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan balasannya.
Ketika pintu kafe terbuka, Aira melihat Raka masuk dengan ekspresi serius, seolah-olah dia sedang berusaha menebak apa yang ada di pikiran wanita itu. Aira tak bisa menahan senyumnya yang terkunci di bibirnya. Ini adalah awal dari permainan yang sudah dia rencanakan.
Raka duduk di hadapannya, menatap dengan cermat. “Aira, kita perlu bicara,” katanya dengan nada yang tidak bisa diartikan—sebuah campuran antara penyesalan dan ketegasan.
Aira mengangkat alis, matanya menyipit. “Oh, tentu. Bicara apa?” suaranya dingin, hampir seperti membekukan ruang di antara mereka. “Bukankah sudah cukup bicara di masa lalu? Apa lagi yang bisa kita bicarakan, Raka?”
Raka terdiam sejenak, seolah tidak menyangka Aira akan begitu tegas. “Aku tahu kamu masih marah padaku, tapi aku ingin kamu tahu bahwa ada banyak hal yang belum aku katakan.”
“Apa yang belum kamu katakan?” Aira menyilangkan tangan di dada, menunggu dengan sabar. “Katakanlah. Mungkin kamu merasa perlu mencari pembenaran, atau mungkin kamu ingin mengubah semua yang terjadi. Tapi aku tidak mudah tertipu lagi.”
Raka menghela napas panjang, lalu menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Aira, dulu aku terjebak dalam sebuah situasi yang tidak aku pilih. Aku… aku tak pernah bermaksud mengkhianatimu. Semua yang terjadi, aku tidak bisa mengontrolnya.”
Aira tersenyum kecut. “Jadi kamu ingin mengatakan bahwa semua ini adalah takdir? Bahwa kita berdua hanya korban dari keadaan?” Dia mendekatkan wajahnya ke meja, suara seraknya mengalir tajam. “Aku sudah mendengar cukup banyak alasan kosong, Raka. Jangan pikir aku akan percaya lagi.”
Dalam hatinya, Aira merasakan suatu kepuasan yang sulit dijelaskan. Setiap kata yang keluar dari mulut Raka adalah bagian dari permainan yang dia ciptakan. Raka, yang dulu dianggapnya sebagai pria penuh cinta, kini hanyalah seorang pria yang terjebak dalam kebohongan besar. Semuanya sudah jelas, dan Aira tahu apa yang harus dilakukan.
“Aira,” suara Raka terdengar sedikit lebih keras, mencuri perhatiannya. “Aku ingin meminta maaf, kalau kamu bisa mendengarku. Mungkin ini terlalu terlambat, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah berniat menyakitimu.”
Tawa Aira terdengar hampa. “Terlambat? Tidak, Raka, kamu tidak mengerti. Ini bukan tentang terlambat atau tidak. Ini tentang menghancurkan hidupku dengan kebohonganmu, dengan semua yang kamu sembunyikan dari aku.”
Tapi Aira tahu, ini bukan hanya soal pembalasan. Ini tentang menguasai situasi, tentang membalas dengan cara yang tak terduga. Dia sudah merencanakan langkah berikutnya—menjauh, membiarkan Raka merasakan betapa sakitnya kehilangan. Raka, yang dulu merasa tak terkalahkan dengan pesonanya, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa Aira lebih kuat daripada yang dia kira.
“Raka,” Aira berkata dengan tenang, menatapnya tajam, “Aku akan membuatmu merasakan apa yang aku rasakan dulu. Setiap kebohongan yang kamu buat, akan menjadi pembalasan yang akan kamu bawa sepanjang hidupmu. Aku akan membuatmu merasakannya.”
Raka terdiam, menatapnya dengan mata penuh keputusasaan. Namun, Aira tak peduli. Permainan ini baru dimulai, dan dia akan memainkan setiap langkahnya dengan hati-hati.
Saat Raka hendak mengatakan sesuatu, Aira sudah berdiri. “Aku tak ingin mendengar lagi, Raka. Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu. Cukup sudah. Kamu tak akan pernah bisa menebus semuanya.”
Aira berbalik dan berjalan keluar dari kafe itu, meninggalkan Raka yang masih terdiam di kursinya. Dalam hati Aira, sebuah suara kecil berbisik—ini adalah langkah pertama menuju kebebasan. Dia tidak hanya membalas dendam. Dia menguasai takdirnya sendiri.
Bab 4 Menyadari Kebenaran
Aira berdiri di depan cermin besar yang ada di kamarnya, menatap bayangannya sendiri. Wajahnya tampak letih, namun jauh di dalam matanya, ada keteguhan yang tercermin dari ketajaman pandangan itu. Sebuah perjalanan panjang penuh kebencian, dendam, dan kekecewaan telah membentuknya menjadi seseorang yang jauh berbeda dari dulu. Dulu, ia adalah seorang wanita yang penuh cinta, yang selalu mempercayakan hatinya pada orang-orang yang dia sayangi. Namun, kini ia adalah sosok yang enggan membuka hatinya lagi. Rasa sakit akibat pengkhianatan yang ditinggalkan oleh mantan kekasihnya telah mengubur semua rasa itu dalam-dalam.
Namun, hal yang lebih mengganggu pikirannya adalah Raka. Pria itu, meskipun baru masuk ke dalam kehidupannya setelah masa lalu kelamnya, selalu muncul sebagai bayangan yang sulit dihindari. Setiap kali Aira berpikir untuk merencanakan sesuatu untuk membalas dendam, bayangan Raka tak pernah hilang. Dia terjebak dalam kebingungannya sendiri. Raka, dengan segala sikap dan tutur katanya, memicu rasa curiga dan benci, meski dalam hatinya, ada semacam getaran yang aneh. Ada sesuatu dalam diri Raka yang sulit dijelaskan, sesuatu yang tidak sesuai dengan gambaran buruk yang selama ini ia bangun dalam pikirannya.
Aira menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya. Semua kebencian dan keraguan yang ia pelihara sepertinya semakin sulit untuk dipertahankan. Terlalu banyak waktu yang ia habiskan untuk menebar kebohongan, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Kini, kenyataan mulai terbuka sedikit demi sedikit, dan Aira merasa semakin tidak nyaman dengan perasaannya yang semakin terombang-ambing.
Tepat saat itulah, ponselnya
berdering. Nama Raka muncul di layar. Tanpa pikir panjang, Aira menekan tombol “jawab”, meskipun hatinya berdebar-debar.
“Halo, Aira?” suara Raka terdengar tenang dari ujung telepon.
“Apa lagi yang ingin kamu bicarakan, Raka?” Aira mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan nada suara yang dingin.
“Aira, aku mohon, dengarkan aku,” Raka berkata, dan ada sedikit getar di suaranya yang membuat Aira sedikit terkejut. “Aku tahu kamu tidak mempercayai aku, tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak bersalah.”
“Aku sudah tidak mau mendengarkan penjelasanmu. Semua yang terjadi adalah akibat dari kebohongan yang kamu buat!” jawab Aira, suaranya serak. “Aku sudah cukup terluka, Raka. Aku tak akan memberi kesempatan untuk kamu mengelabui aku lagi.”
“Jangan tutup matamu pada kenyataan, Aira,” Raka berkata perlahan, dan Aira bisa mendengar bagaimana dia berusaha menahan emosinya. “Ada banyak hal yang tidak kamu tahu. Aku tidak pernah mengkhianatimu. Semua yang kamu anggap benar, itu hanya kebohongan yang disebarkan oleh orang lain.”
Aira terdiam. Kata-kata Raka terasa menusuk, seolah-olah ada kebenaran yang sedang disampaikan, tetapi ia masih terlalu marah untuk mempercayainya. Namun, ada sesuatu yang menarik di dalam suaranya—sebuah kejujuran yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Jika kamu benar-benar tidak bersalah, kenapa kamu tidak mengungkapkan semuanya sejak dulu?” tanya Aira, suaranya mulai melemah.
“Karena aku tahu kamu tidak akan mempercayaiku,” jawab Raka dengan suara yang penuh kesedihan. “Aku hanya ingin melindungimu dari kebenaran yang mungkin akan membuatmu lebih sakit. Tapi kini, aku sadar bahwa aku harus mengatakannya, meski berat.”
Aira menggigit bibirnya, menekan rasa sakit yang mulai muncul. Selama ini, dia merasa bahwa Raka adalah sumber dari segala penderitaannya, tetapi saat ini, kata-kata pria itu mulai mengusik pikirannya. Apa yang benar-benar terjadi? Siapa yang sebenarnya berbohong? Jika Raka memang tidak bersalah, siapa yang telah mengkhianatinya?
“Jadi, siapa yang harus aku percayai?” Aira akhirnya bertanya, suaranya begitu lemah.
“Aira, kamu harus mendengar kebenaran dari pihak yang selama ini kamu anggap sebagai teman,” jawab Raka dengan serius. “Aku tahu kamu akan marah, tapi orang yang selama ini kamu anggap teman sejati, dia adalah orang yang membuatmu mempercayai semua kebohongan ini. Dia yang menyusup ke dalam hidupmu dan merusak semuanya. Aku hanya korban dari permainan yang lebih besar.”
Aira terdiam sejenak. Kata-kata Raka semakin memunculkan ketidakpastian dalam dirinya. Teman sejatinya, yang selama ini selalu ada di sampingnya, ternyata terlibat dalam peristiwa ini. Hati Aira terasa terguncang. Dia merasa seperti sedang berada di ujung jurang, dan kebenaran yang begitu mengerikan baru saja terungkap.
Dengan langkah gontai, Aira meletakkan ponselnya. Dia terjatuh di atas tempat tidur, merasa terhimpit oleh kenyataan yang baru saja terungkap. Rasa sakit di hatinya semakin dalam. Semua kebencian yang ia pelihara selama ini terasa sia-sia. Mungkin, dia telah menghabiskan waktunya untuk membenci orang yang salah. Tapi, pada saat yang sama, kebohongan yang selama ini mengelilinginya membuat Aira merasa sangat rapuh.
Aira bangkit dan berjalan menuju meja kerjanya. Di sana, ada sebuah amplop yang belum ia buka. Tangan Aira gemetar saat mengambil amplop itu. Dia tahu ini adalah bagian dari kebenaran yang selama ini ia hindari. Amplop itu berisi surat yang dikirim oleh sahabatnya, yang ternyata adalah orang yang berperan dalam permainan ini.
Dengan hati yang dipenuhi ketidakpastian, Aira membuka surat itu. Kata-kata yang tertulis di dalamnya seolah menghantam hatinya dengan keras. “Maafkan aku, Aira. Aku yang telah merusak hubunganmu dengan Raka. Semua ini adalah bagian dari rencanaku, dan aku menyesal…”
Aira terjatuh kembali, tidak mampu menahan air mata yang mulai mengalir. Dia telah tertipu begitu lama. Rasa benci yang ia pelihara terhadap Raka, ternyata bukanlah rasa yang pantas untuknya. Kini, Aira harus menghadapi kenyataan pahit yang tak terelakkan—bahwa dia harus mengakui kesalahannya dan mencari cara untuk memperbaiki semuanya.
Dalam kebisuan, Aira menangis, bukan hanya karena rasa sakit yang begitu dalam, tetapi juga karena kebencian yang mulai memudar dan digantikan oleh rasa penyesalan yang tak terhingga.
Bab 5 Cinta yang Kembali
Aira duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang mulai gelap. Angin malam berhembus pelan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Namun, tubuhnya terasa panas karena perasaan yang terus bergejolak di dalam dada. Hatinya, yang sebelumnya dipenuhi kebencian, kini mulai berubah. Perlahan, rasa itu memudar, tetapi tak dapat sepenuhnya hilang. Semuanya terasa begitu rumit.
Setelah peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu—saat Aira menemukan bukti yang membuktikan bahwa dia telah tertipu oleh kebohongan yang selama ini mengikatnya—perasaan Aira menjadi kacau. Raka, pria yang telah dia anggap sebagai pengkhianat, ternyata bukanlah orang yang selama ini dia pikirkan. Semua yang Aira ketahui tentang Raka, tentang pengkhianatan yang menorehkan luka mendalam di hatinya, ternyata hanyalah bagian dari sebuah rencana yang dirancang oleh orang lain. Orang yang selama ini menyembunyikan kebenaran darinya.
“Aira, aku mohon… dengarkan aku,” suara Raka terdengar dari pintu balkon yang terbuka sedikit. Aira memejamkan matanya, mencoba menenangkan perasaan yang bergejolak dalam dirinya. Namun, hatinya tak bisa menahan getaran yang muncul setiap kali mendengar suara itu.
Raka berdiri di sana, tepat di luar jangkauan, seperti ada batas yang tak terlihat antara mereka. Aira bisa merasakan perasaan cemas yang terpancar dari Raka, meskipun dia tak berani untuk mendekat. Beberapa hari ini, Raka selalu berusaha mendekatinya, meminta penjelasan dan berusaha menjelaskan semuanya. Tetapi Aira menolak untuk mendengarnya. Dia merasa sudah cukup menderita oleh kebohongan yang mengelilinginya. Namun, malam ini ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan yang lebih kuat di dalam hatinya, dan meskipun Aira berusaha menahannya, perasaan itu muncul begitu saja.
“Aira…” Raka melangkah sedikit lebih dekat, dan kali ini, Aira bisa melihat ekspresi yang terukir di wajahnya. Ada kesedihan yang dalam, dan matanya penuh dengan rasa bersalah. Raka menundukkan kepalanya, seolah tak mampu lagi menatap Aira. “Aku tahu aku telah membuatmu menderita. Aku tahu aku tak bisa menghapus semua kebohongan itu begitu saja, tapi… aku ingin kamu tahu satu hal. Aku mencintaimu.”
Kata-kata itu jatuh seperti petir yang menghantam jantung Aira. Rasa marah, kecewa, dan kebencian yang selama ini membara mulai surut. Aira tak tahu harus berkata apa. Apa yang harus dia rasakan sekarang? Dia ingin marah, ingin melawan rasa sakit itu, tetapi ada bagian dari dirinya yang ingin mempercayai kata-kata Raka. Bagaimana bisa dia percaya lagi? Bagaimana bisa dia menerima cinta dari seorang pria yang telah menghancurkan kepercayaannya?
Aira terdiam, memandangi Raka yang tampak begitu terluka. Selama ini, dia hanya melihatnya sebagai sosok yang telah menorehkan luka di hatinya, tetapi malam ini, di balik mata Raka, Aira melihat sesuatu yang lain. Ada penyesalan yang mendalam, sebuah keinginan untuk menebus semua kesalahan. Dan meskipun Aira mencoba untuk mengabaikan perasaan itu, dia tak bisa menutup mata dari kebenaran yang ada di depan matanya. Raka tidak bersalah. Dia adalah korban dari kebohongan yang sama seperti Aira.
“Raka,” suara Aira terdengar pelan, hampir seperti bisikan. “Kenapa kamu tidak memberi tahu aku sejak awal? Kenapa kamu membiarkan aku hidup dalam kebohongan ini?”
Raka menghela napas panjang, seolah-olah beban yang ada di pundaknya begitu berat. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, Aira. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah mengkhianatimu. Aku tahu kamu merasa seperti aku telah mengkhianatimu, tapi aku tidak melakukannya. Semua yang terjadi itu… bukan karena aku.”
Aira menatap Raka dengan tatapan yang penuh kebingungan. “Jadi, siapa yang harus aku salahkan? Siapa yang memanfaatkan kita berdua?”
Raka menggigit bibirnya, kesulitan menjelaskan segala sesuatu yang telah terjadi. “Itu adalah permainan orang yang kita percayai. Orang yang selama ini menyembunyikan kebenaran darimu. Aku mencoba untuk mencari cara agar kamu tidak terluka lebih dalam, tapi aku juga tahu… aku membuatmu semakin jauh dari aku.”
Aira merasa hatinya semakin rapuh. Dalam perjalanan mereka yang penuh kebohongan, dia terluka begitu dalam, namun Raka tetap berjuang untuk mengungkapkan kebenaran. Cinta yang selama ini dia rasa hanyalah ilusi yang diciptakan oleh kebohongan. Tetapi sekarang, ada sebuah harapan yang kembali muncul. Harapan bahwa cinta itu mungkin belum sepenuhnya hilang.
Aira menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Rasa sakit itu masih ada, namun perlahan-lahan ia merasakan bahwa ada bagian dari dirinya yang mulai bisa memaafkan. Mungkin, justru karena kedekatan mereka, Raka tidak bisa menjelaskan segalanya dengan jelas. Mungkin, dia tidak tahu bagaimana caranya untuk mengatakan yang benar tanpa menyakiti Aira lebih dalam.
“Aku masih bingung, Raka,” kata Aira, suaranya mulai bergetar. “Aku masih merasa terluka. Aku butuh waktu. Aku butuh waktu untuk memaafkan semua ini.”
Raka mengangguk pelan, seolah menerima keputusan Aira. “Aku akan menunggu, Aira. Aku akan menunggumu, sampai kamu siap.”
Aira menunduk, meresapi kata-kata itu. Di dalam hatinya, dia merasa ada secercah harapan. Mungkin ini bukan akhir, mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Namun, dia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Mereka harus melalui banyak hal untuk bisa kembali bersama, untuk bisa mengubur semua luka dan kebohongan. Tapi untuk pertama kalinya, Aira merasa bahwa cinta itu, meskipun terlambat, masih bisa kembali.
Bab 6 Kebahagiaan yang Terlambat
Aira menatap cermin besar di hadapannya. Beberapa helai rambutnya yang terurai lembut menutupi wajahnya, menyembunyikan ekspresi yang sulit dia pahami. Hatinya masih berat, namun ada sesuatu yang berbeda dalam pandangannya kali ini. Setelah semua yang terjadi, setelah bertahun-tahun kebencian dan air mata, Aira mulai merasa seolah ada ruang baru dalam dirinya, ruang yang sebelumnya tertutup rapat oleh perasaan sakit.
Dia menarik napas panjang dan menatap dirinya sekali lagi. “Ini bukan mimpi, Aira. Ini kenyataan,” bisiknya pelan.
Di luar, hujan mulai turun. Suara rintikannya menambah keheningan di dalam ruangan. Aira berjalan ke jendela, membuka sedikit tirai untuk membiarkan suara hujan mengisi telinganya. Hujan, seperti perasaannya, selalu datang dengan deras, mengguyur setiap inci hidupnya, tetapi kali ini dia merasakannya dengan cara yang berbeda. Hujan ini bukan lagi air mata. Ini adalah hujan yang menyegarkan, memberi ruang bagi segala kenangan lama untuk luruh dan digantikan oleh hal yang baru.
Aira tidak bisa menahan senyum kecil saat teringat kembali pada percakapan dengan Raka tadi malam. Raka, yang selama ini dia anggap sebagai pengkhianat, ternyata juga terperangkap dalam kebohongan yang sama. Tidak ada yang lebih mengecewakan daripada mengetahui bahwa dia dan Raka, keduanya, adalah korban dari sebuah rencana besar yang tidak pernah mereka pilih. Namun, meski begitu, rasa sakit tetap ada. Dan meskipun kebohongan itu akhirnya terungkap, pertanyaan terbesar Aira adalah, apakah masih ada jalan untuk kembali?
Pagi itu, Aira memutuskan untuk pergi ke tempat yang selalu mereka kunjungi bersama, sebuah taman kecil di pinggiran kota. Di sana, mereka pernah berbicara tentang masa depan, tentang impian yang ingin diwujudkan. Mereka pernah saling berjanji untuk selalu ada satu sama lain, tanpa ada yang menyangka bahwa kebohongan yang tersembunyi akan menghancurkan segalanya.
Saat Aira tiba di taman itu, Raka sudah duduk di bangku yang mereka berdua sering duduki. Wajahnya tampak letih, namun ada harapan di matanya. Aira mendekat perlahan, dan Raka menoleh, matanya bertemu dengan matanya. Tanpa kata, mereka saling berpandang, seolah semuanya terucap dalam keheningan itu.
“Apakah kamu sudah memaafkanku?” tanya Raka dengan suara pelan. Setiap kata yang diucapkannya terasa berat, namun Aira bisa merasakan kesungguhan dalam nada suaranya.
Aira menundukkan kepala sejenak, merasakan setiap detak jantungnya yang berdebar. Ia mengingat segala yang telah terjadi, setiap pengkhianatan yang dia rasakan, setiap luka yang terbuka kembali. Namun, seiring waktu, kebencian itu mulai memudar, dan yang tersisa hanyalah rasa rindu yang tak pernah benar-benar hilang.
“Tidak mudah untuk memaafkan,” jawab Aira, suaranya bergetar. “Tapi… aku tahu, kalau kita tidak bisa memaafkan, kita akan terus terjebak dalam masa lalu kita. Aku lelah, Raka.”
Raka mengangguk pelan, seolah tahu apa yang Aira rasakan. “Aku juga lelah, Aira. Aku tidak ingin kita terus berada dalam lingkaran ini. Aku ingin kita bisa mulai dari awal lagi, meskipun aku tahu itu tidak mudah.”
Aira menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia melihat kejujuran di mata Raka. Kejujuran yang dulu dia cari-cari, namun tidak pernah dia temukan. Raka bukanlah pria sempurna, dan Aira tahu itu. Tapi dia juga tahu, bahwa mereka berdua layak mendapatkan kesempatan kedua.
“Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu, Raka,” kata Aira perlahan. “Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin tahu apakah masih ada cinta yang tersisa di antara kita setelah semua yang terjadi.”
Raka tersenyum, senyum yang tulus dan penuh harapan. “Aku juga ingin mencoba, Aira. Tidak ada jaminan kita akan berhasil, tapi aku siap berjuang.”
Mereka duduk bersama di bangku itu, menikmati keheningan yang kini terasa lebih damai. Hujan yang sebelumnya begitu deras kini mereda, memberi ruang bagi matahari yang perlahan muncul di balik awan. Aira merasa ada sesuatu yang baru tumbuh di hatinya, meskipun masih rapuh dan penuh keraguan. Cinta yang dulu terkubur oleh kebohongan, kini mulai mengakar kembali, meski perlahan.
Hari itu, Aira dan Raka tidak langsung memutuskan untuk berjanji atau merencanakan masa depan. Mereka hanya duduk bersama, berbicara tentang hal-hal kecil, tentang kehidupan yang terus berjalan meski penuh dengan luka. Mereka tahu bahwa untuk bisa benar-benar bahagia, mereka harus mengubur masa lalu mereka dan membiarkan cinta yang baru tumbuh di antara mereka.
“Jangan biarkan masa lalu menguasai kita,” kata Aira, matanya menyiratkan sebuah permintaan yang tulus. “Mari kita hadapi semuanya bersama, tanpa kebohongan dan tanpa rasa takut.”
Raka menggenggam tangannya, memberikan kekuatan yang Aira rasakan untuk pertama kalinya sejak sekian lama. “Aku janji, Aira. Kita akan berjalan bersama, apapun yang terjadi. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi.”
Aira menatap tangan Raka yang menggenggam tangannya dengan penuh keyakinan. Meski perjalanan mereka tidak mudah, dan banyak hal yang harus mereka atasi, Aira merasa sedikit lega. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa ada secercah harapan di depan sana.
Seiring matahari mulai menyinari taman itu, Aira dan Raka berdiri. Mereka tahu, meskipun kebahagiaan ini datang terlambat, mereka masih memiliki kesempatan untuk memulainya. Tidak ada yang bisa menghapus masa lalu mereka, tapi mereka berdua percaya bahwa cinta bisa mengatasi segalanya, asalkan mereka bersedia untuk melepaskan kebencian yang selama ini mengikat mereka.
“Aku mencintaimu, Aira,” kata Raka, suaranya penuh dengan kehangatan.
“Aku juga mencintaimu, Raka,” jawab Aira, dengan senyuman yang mulai mengembang di bibirnya. Meskipun terlambat, kebahagiaan itu akhirnya datang, membawa mereka menuju awal yang baru.
—
Bab ini mengakhiri perjalanan Aira dan Raka yang penuh dengan konflik dan kebohongan. Meski kebahagiaan datang terlambat, mereka menemukan jalan untuk berdamai dengan masa lalu dan membangun masa depan bersama.