Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

MERINDU TANPA BATAS

MERINDU TANPA BATAS

SAME KADE by SAME KADE
April 5, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 18 mins read
MERINDU TANPA BATAS

Daftar Isi

  • Bab 1: Perpisahan yang Menyisakan Luka
  • Bab 2: Waktu yang Terasa Lambat
  • Bab 3: Pesan yang Tak Terbalas
  • Bab 4: Godaan dan Keraguan
  • Bab 5: Rahasia yang Terbongkar
  • Bab 6: Perasaan yang Harus Dipilih
  • Bab 7: Jarak yang Makin Menyakitkan

Bab 1: Perpisahan yang Menyisakan Luka

Ayla dan Damar harus berpisah untuk pertama kalinya. Mereka berjanji untuk tetap setia, tetapi perasaan kehilangan mulai terasa sejak hari pertama.

Suasana bandara pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun matahari sudah tinggi di langit. Ayla menggenggam erat tangan Damar, seolah tak ingin melepaskannya. Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin mereka menghabiskan sore di kafe favorit mereka, membicarakan segala hal, dari hal sepele hingga mimpi-mimpi besar. Namun, hari ini, kenyataan harus dihadapi—Damar akan pergi ke London selama dua tahun untuk melanjutkan studi arsitekturnya.

Mereka berdiri di dekat gerbang keberangkatan, menatap satu sama lain dengan tatapan yang penuh arti. Ayla berusaha menahan air matanya, tetapi hatinya terasa sesak.

“Jangan menangis, Ayla,” ujar Damar lembut, menyentuh pipinya.

Ayla tersenyum pahit. “Aku nggak menangis. Aku cuma… takut.”

Damar menghela napas panjang. “Takut apa?”

“Takut kalau setelah ini, semuanya berubah,” jawabnya pelan.

Damar menggenggam tangan Ayla lebih erat. “Kita udah janji, kan? Jarak nggak akan mengubah perasaan kita. Aku akan tetap jadi Damar yang sama, yang mencintai kamu.”

Ayla ingin percaya pada kata-kata itu. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada kegelisahan yang sulit diabaikan.

Suara pengumuman keberangkatan menggema di seluruh ruangan. Ini saatnya.

Damar menatap Ayla dalam-dalam, lalu menariknya ke dalam pelukan hangat. “Aku akan kembali untukmu, Ayla. Tunggu aku.”

Ayla mengangguk, meski hatinya berteriak ingin menahannya lebih lama. “Hati-hati, ya.”

Dengan langkah berat, Damar akhirnya beranjak menuju gerbang keberangkatan. Sesaat sebelum menghilang dari pandangan, ia menoleh sekali lagi, tersenyum, lalu melambaikan tangan. Ayla membalas lambaian itu dengan mata berkaca-kaca.

Dan saat Damar menghilang di balik pintu, Ayla tahu, sesuatu dalam hidupnya baru saja berubah selamanya.

Beberapa minggu setelah kepergian Damar

Hari-hari tanpa Damar terasa seperti labirin tanpa jalan keluar. Biasanya, ia akan menghabiskan sore bersama Damar di taman dekat rumahnya, mengobrol tanpa henti tentang banyak hal. Kini, hanya ada layar ponsel yang mempertemukan mereka.

Pada awalnya, mereka rutin berkomunikasi. Panggilan video setiap malam, pesan-pesan manis, bahkan kiriman foto kegiatan sehari-hari. Namun, seiring berjalannya waktu, semuanya mulai berubah.

Pesan Ayla mulai sering tak terbalas seharian. Panggilan video yang dulu nyaris tanpa jeda kini lebih sering dibatalkan dengan alasan tugas yang menumpuk. Ayla mencoba memahami, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Damar memang sibuk, bukan karena ia tak lagi peduli.

Suatu malam, Ayla duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang sama yang mungkin juga sedang dipandang Damar dari seberang benua. Ia mengirim pesan:

“Kamu sibuk?”

Beberapa jam berlalu tanpa jawaban. Biasanya, Damar akan langsung membalas. Namun malam ini, tak ada notifikasi apa pun.

Pagi harinya, saat Ayla baru saja bersiap untuk bekerja, ponselnya akhirnya berbunyi.

“Maaf, aku ketiduran. Kemarin capek banget. Kita telepon nanti, ya?”

Pesan itu singkat. Terlalu singkat untuk menenangkan kegelisahan yang mulai tumbuh dalam hati Ayla.

Hari-hari yang Terasa Kosong

Seiring waktu, Ayla mulai terbiasa dengan rasa rindu yang tak berbalas. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai ilustrator lepas, mencoba mengalihkan pikirannya dari perasaan yang semakin hari semakin sulit ditahan.

Di satu sisi, Damar juga berjuang dengan kehidupannya di London. Jadwal kuliahnya yang padat, tugas yang menumpuk, dan adaptasi dengan lingkungan baru membuatnya kewalahan. Setiap kali ia ingin menghubungi Ayla, rasa lelah selalu menghantam lebih dulu.

Sampai suatu hari, ketika Ayla akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang selama ini ia pendam.

Malam itu, mereka akhirnya bisa melakukan panggilan video setelah beberapa hari hanya bertukar pesan singkat. Ayla menatap layar ponselnya dengan rindu yang mendalam, sementara Damar terlihat sedikit lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Ayla.

Damar mengangguk. “Cuma sibuk banget. Maaf ya kalau aku jarang ada waktu buat kita.”

Ayla menggigit bibirnya. “Aku ngerti, kok. Tapi… aku cuma ingin tahu, masih sama nggak?”

Damar mengernyit. “Apa maksudnya?”

“Perasaan kamu ke aku. Masih sama, kan?”

Sejenak, hanya ada keheningan di antara mereka. Dan bagi Ayla, hening itu lebih menyakitkan daripada jawaban apa pun.

Damar akhirnya tersenyum kecil, meski tak semeyakinkan dulu. “Ayla, jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku di sini masih berjuang buat masa depan kita.”

Ayla ingin percaya. Tapi mengapa kata-kata itu tak lagi terasa sehangat dulu?

Ayla menutup panggilannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia masih mencintai Damar, lebih dari siapa pun. Tapi jarak… jarak mulai mengubah segalanya.

Di bawah langit yang sama, mereka masih saling mencintai. Namun, mengapa rasanya mereka semakin jauh?

Bab 2: Waktu yang Terasa Lambat

Ayla berusaha menyesuaikan diri dengan rutinitas baru tanpa kehadiran Damar. Mereka sering melakukan video call, tetapi terkadang perbedaan waktu menjadi kendala.

Sejak kepergian Damar, hari-hari Ayla terasa lebih panjang dari biasanya. Bangun pagi tanpa pesan “Selamat pagi, sayang” dari Damar sudah menjadi kebiasaan yang harus ia terima. Dulu, bahkan sebelum ia membuka mata sepenuhnya, ponselnya sudah berisi chat panjang dari Damar—tentang mimpinya semalam, tentang kopi paginya, atau sekadar kata-kata manis yang selalu membuat hari Ayla terasa lebih ringan.

Namun kini, ponselnya hanya bergetar karena notifikasi pekerjaan, bukan dari pria yang sangat dirindukannya.

Ayla mencoba mengabaikan kekosongan itu. Ia menyalakan laptopnya, membuka proyek ilustrasi yang sedang ia kerjakan untuk seorang klien dari luar kota. Seharusnya, tenggat waktu yang semakin dekat bisa mengalihkan pikirannya, tapi bayangan Damar selalu kembali di sela-sela pekerjaannya.

Ia akhirnya menyerah. Tangannya meraih ponsel dan membuka aplikasi pesan.

“Kamu lagi apa?”

Pesannya terkirim, tetapi tanda centang dua tidak segera berubah menjadi biru. Damar belum membaca pesannya.

“Mungkin dia masih tidur,” pikir Ayla, mencoba menenangkan diri. Tapi suara hatinya yang lain berkata sebaliknya.

Damar sudah sering tidak langsung membalas pesannya akhir-akhir ini. Kadang butuh berjam-jam, kadang seharian penuh. Dan ketika akhirnya ia membalas, jawabannya selalu singkat—seakan Ayla hanya sekadar pengingat bahwa ia masih memiliki seseorang yang menunggunya di rumah.

Ayla mencoba menyesuaikan diri dengan rutinitas barunya. Setelah menyelesaikan pekerjaan pagi, ia biasanya pergi ke kafe kecil di sudut jalan untuk sekadar duduk dan membaca buku. Itu adalah tempat favoritnya dan Damar dulu.

Namun kini, duduk sendirian di meja yang biasa mereka tempati terasa berbeda. Kopinya tetap sama, aroma hujan yang sesekali menyelimuti kafe itu juga masih seperti dulu, tapi tanpa Damar di hadapannya, semua terasa hampa.

Di meja lain, ia melihat sepasang kekasih yang sedang tertawa, berbagi cerita dengan ekspresi penuh kebahagiaan. Pemandangan itu membuat dadanya terasa nyeri.

“Dulu, aku dan Damar seperti itu juga,” pikirnya.

Perasaan rindu itu semakin menyesakkan. Ayla meraih ponselnya, membuka galeri, dan melihat foto-foto mereka berdua. Ada foto saat mereka piknik di taman kota, foto saat Damar diam-diam mengambil gambar dirinya yang sedang membaca, hingga foto terakhir sebelum keberangkatan Damar—diambil di bandara, dengan mata yang masih menyimpan kesedihan karena perpisahan.

Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca.

Tiba-tiba, suara seseorang menyapanya.

“Sendirian lagi?”

Ayla mengangkat wajahnya. Itu Reza, sahabatnya sejak SMA yang kebetulan juga sering mengunjungi kafe ini.

“Iya. Lagi nyari suasana baru,” jawab Ayla, mencoba tersenyum.

Reza duduk di hadapannya. “Atau lagi nyari Damar?”

Ayla tertawa kecil, tapi tak bisa menyembunyikan kesedihan di matanya.

“Mungkin dua-duanya,” gumamnya pelan.

Reza menghela napas. “Kamu yakin hubungan jarak jauh ini bakal baik-baik aja?”

Pertanyaan itu membuat Ayla terdiam. Ia ingin berkata “Ya, tentu saja. Aku dan Damar bisa melewati ini.” Tapi untuk pertama kalinya, ia ragu.

Hari terus berlalu, dan Ayla mulai menyadari sesuatu—jarak tidak hanya memisahkan mereka secara fisik, tetapi juga perlahan mengubah cara mereka berkomunikasi.

Panggilan video yang dulu mereka lakukan setiap malam kini hanya terjadi seminggu sekali, itupun sering dipotong oleh kalimat Damar, “Maaf, aku capek banget. Besok aja, ya?”

Percakapan mereka yang dulu penuh cerita kini semakin hambar. Tidak ada lagi obrolan panjang tentang impian mereka, tidak ada lagi diskusi tentang film favorit atau rencana liburan yang selalu mereka bayangkan. Yang tersisa hanyalah kalimat-kalimat standar:

“Udah makan?”
_”Jangan begadang.”
“Hati-hati di jalan.”

Ayla merasa seperti berbicara dengan seseorang yang sudah setengah pergi.

Hingga suatu malam, ia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh.

“Damar, kamu masih merasa sama nggak? Maksudku… hubungan ini masih terasa penting buat kamu?”

Damar terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab.

“Kenapa kamu nanya kayak gitu?”

“Karena aku merasa semuanya berubah. Kamu berubah.”

Damar menghela napas. “Ayla, aku cuma sibuk. Ini bukan soal perasaan, tapi soal waktu.”

“Tapi waktu yang kamu punya untukku semakin sedikit, Dam.”

Keheningan kembali menyelimuti. Lalu, Damar akhirnya berkata:

“Kalau kamu merasa aku berubah… aku minta maaf. Tapi aku nggak tahu harus gimana lagi.”

Ayla menutup matanya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia ingin percaya bahwa Damar masih mencintainya seperti dulu. Tapi kata-kata lelaki itu terasa lebih seperti permintaan maaf daripada janji.

Malam itu, Ayla kembali duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang sama yang dulu selalu ia tatap bersama Damar.

“Langit ini sama, tapi mengapa rasanya seperti kita berada di dunia yang berbeda?”

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Damar masuk.

“Maaf kalau aku bikin kamu merasa sendiri. Aku cuma mau kamu tahu kalau aku tetap sayang kamu.”

Ayla membaca pesan itu berulang kali. Kata-kata Damar masih sama seperti dulu, tetapi entah mengapa rasanya tidak lagi memiliki makna yang sama.

Ia tidak membalas pesan itu malam itu. Bukan karena ia marah, tetapi karena ia tidak tahu harus menulis apa.

Dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya:

Apakah cinta bisa bertahan hanya dengan kata-kata?

Hubungan jarak jauh bukan hanya tentang menunggu, tetapi juga tentang bagaimana mempertahankan ikatan yang perlahan memudar. Ayla masih mencintai Damar, tetapi ia mulai menyadari sesuatu yang lebih menyakitkan—bahwa kadang, waktu tidak hanya terasa lambat, tetapi juga membawa perubahan yang tidak bisa dihindari.

 

Bab 3: Pesan yang Tak Terbalas

Damar mulai semakin sibuk dengan kuliahnya. Ayla merasa diabaikan, sementara di sisi lain, Nadine semakin dekat dengan Damar.

Ayla terbangun dengan perasaan yang sama seperti hari-hari sebelumnya—kosong. Ponselnya tergeletak di samping bantal dengan layar masih menampilkan pesan terakhir dari Damar yang dikirim semalam:

“Maaf kalau aku bikin kamu merasa sendiri. Aku cuma mau kamu tahu kalau aku tetap sayang kamu.”

Ayla tidak pernah membalas pesan itu. Bukan karena ia ingin mengabaikan Damar, tetapi karena ia tidak tahu harus menulis apa. Kata-kata Damar terasa hambar, seolah hanya formalitas tanpa emosi.

Pagi itu, Ayla duduk di meja kerjanya, menatap laptop yang masih menampilkan proyek ilustrasinya. Tangannya memegang pensil digital, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Biasanya, ia bisa bekerja dengan lancar, tetapi hari ini pikirannya terus tertuju pada satu hal—Damar yang semakin jauh, baik secara fisik maupun emosional.

Tanpa sadar, ia membuka ponselnya dan mengetik pesan.

“Kamu sibuk hari ini?”

Ia menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Satu jam. Tidak ada balasan.

Ayla mencoba mengalihkan perhatiannya dengan bekerja, tetapi setiap beberapa menit ia kembali mengecek ponselnya. Namun, layar tetap diam. Tidak ada notifikasi dari Damar.

Di sela pekerjaannya, Ayla menerima pesan dari sahabatnya, Tara.

Tara: “Nay, kamu sibuk? Yuk, ketemuan. Aku tahu kamu lagi butuh ngobrol.”

Ayla membaca pesan itu beberapa kali sebelum akhirnya mengetik balasan.

Ayla: “Boleh. Kafe biasa jam 3?”

Tara: “Deal! Aku traktir deh, biar kamu nggak murung terus.”

Ayla tersenyum tipis. Setidaknya, ada seseorang yang masih berusaha membuatnya merasa lebih baik.

Saat sore tiba, ia pergi ke kafe tempat mereka sering bertemu. Tara sudah menunggunya di meja dekat jendela, dengan dua cangkir kopi di hadapannya.

“Aku pesenin kopimu, takut kamu nggak fokus kalau harus milih sendiri,” kata Tara sambil tersenyum.

Ayla duduk dan menghela napas. “Kayaknya aku nggak bisa fokus ke apa pun sekarang, Tar.”

Tara mengaduk kopinya. “Damar lagi?”

Ayla mengangguk pelan. “Aku nggak tahu, Tar. Aku masih mencintai dia, tapi semakin hari rasanya aku seperti bicara dengan seseorang yang sudah setengah pergi.”

Tara menatapnya penuh perhatian. “Dia nggak balas pesanmu lagi?”

“Nggak. Padahal aku cuma nanya dia sibuk atau nggak. Nggak ada yang sulit buat dijawab, kan?”

Tara menyesap kopinya sebelum berkata, “Nay, kalau kamu terus merasa seperti ini, kamu harus bicara langsung sama dia. Tanyakan apa yang sebenarnya dia rasakan.”

Ayla mengangguk, tetapi di dalam hatinya ia ragu. Apakah Damar akan benar-benar jujur jika ia bertanya? Ataukah pria itu akan kembali mengucapkan kalimat klise, seperti “Aku sibuk” atau “Aku tetap sayang kamu,” tanpa benar-benar menunjukkan usahanya?

Malam itu, Ayla kembali mengirim pesan.

“Damar, bisa telepon sebentar?”

Ia menunggu dengan harapan kecil bahwa kali ini, Damar akan segera membalas. Namun, seperti sebelumnya, tidak ada jawaban.

Dua jam berlalu.

Tiga jam berlalu.

Ayla akhirnya memutuskan untuk tidur, meskipun pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran.

Namun, sebelum ia benar-benar terlelap, ponselnya bergetar. Dengan cepat, ia meraihnya.

Damar: “Maaf, aku baru lihat pesanmu. Aku ketiduran. Besok aja ya, Nay.”

Hati Ayla mencelos.

“Besok aja?”

Ia menatap layar ponselnya lama, lalu akhirnya mengetik balasan dengan jari yang gemetar.

“Damar, apa aku ini masih penting buat kamu?”

Pesan itu terkirim. Namun, Damar tidak membacanya.

Dan keesokan harinya, pesan itu masih tetap tak terbalas.

Ayla tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang menggumpal di dadanya. Pagi itu, ia menelepon Damar. Namun, setelah beberapa dering, panggilannya langsung dialihkan ke voicemail.

Ia mencoba sekali lagi. Hasilnya sama.

Rasa khawatir mulai berubah menjadi marah. “Kenapa dia terus menghindar?”

Ayla membuka media sosial Damar, berharap ada petunjuk. Namun, saat ia melihat Instagram story pria itu, dadanya terasa semakin sesak.

Damar sedang berkumpul bersama teman-temannya.

Tertawa.

Bersenda gurau.

Seolah tidak ada yang salah.

Seolah Ayla tidak pernah menunggu pesan darinya sepanjang malam.

Seolah pesan yang ia kirim tidak pernah ada.

Ayla menggigit bibirnya, menahan air mata yang ingin tumpah. Ia tidak ingin menangis. Tidak lagi.

Namun, pertanyaan itu terus menghantuinya:

Apakah Damar masih ingin mempertahankan hubungan ini?

Hari-hari berikutnya berjalan sama. Pesan-pesan Ayla semakin jarang mendapat balasan. Teleponnya lebih sering diabaikan. Setiap kali ia bertanya, Damar hanya menjawab dengan singkat: “Aku sibuk.”

Namun, kesibukan bukan lagi alasan yang bisa Ayla terima.

Karena bagi seseorang yang benar-benar peduli, sesibuk apa pun mereka, mereka akan menyempatkan waktu.

Ayla tahu bahwa ia tidak bisa terus seperti ini.

Malam itu, ia menatap layar ponselnya lama sebelum akhirnya mengetik pesan terakhir.

“Damar, aku nggak tahu lagi harus gimana. Aku capek menunggu tanpa kepastian. Kalau kamu masih ingin aku ada di hidupmu, aku butuh kamu untuk menunjukkan itu. Tapi kalau kamu sudah nggak yakin, tolong katakan dengan jujur.”

Pesan itu terkirim.

Namun, seperti sebelumnya, pesan itu pun tak kunjung terbalas.

Dan untuk pertama kalinya, Ayla sadar bahwa mungkin… jawabannya sudah jelas sejak awal.

Bab 4: Godaan dan Keraguan

Reza, sahabat Ayla, selalu ada untuknya di saat Damar sulit dihubungi. Ayla mulai bertanya-tanya, apakah ia masih bisa bertahan dalam hubungan ini?

Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Ayla masih terjebak dalam ketidakpastian, sementara Damar semakin sulit dihubungi. Tidak ada lagi panggilan telepon larut malam, tidak ada pesan panjang penuh rindu seperti dulu.

Namun, yang lebih menyakitkan adalah perasaan bahwa Damar tidak benar-benar sendirian di sana.

Semenjak Ayla melihat Instagram story Damar yang menunjukkan kebersamaannya dengan teman-teman, ia mulai merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria itu.

Siapa wanita yang duduk di sebelahnya dalam video itu?

Siapa yang tertawa bersamanya saat Ayla sendiri menunggu dalam kesepian?

Ayla menepis pikirannya, mencoba berpikir positif. Tapi semakin ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa Damar tetap setia, semakin pikirannya dipenuhi rasa curiga.

Malam itu, ia membuka Instagram dan mulai mencari tahu.

Keesokan harinya, di tengah pekerjaannya, Ayla mendapat pesan dari Tara.

Tara: “Nay, kamu lihat story Damar tadi malam?”

Hati Ayla berdegup kencang. Ia buru-buru membuka Instagram. Story Damar sudah hilang setelah 24 jam, tapi rasa penasaran Ayla membuncah.

Ayla: “Kenapa emangnya?”

Tara: “Aku lihat ada cewek yang kayaknya dekat banget sama dia. Namanya Celine.”

Nama itu menusuk seperti belati di hati Ayla.

Celine.

Bukan nama yang asing. Ayla tahu Celine adalah rekan kerja Damar di Bandung. Dulu, Damar pernah menyebutnya sekilas, hanya sebagai teman kantor yang sesekali bekerja dalam satu proyek. Tapi Ayla tidak pernah menduga bahwa perempuan itu bisa menjadi ancaman bagi hubungannya.

Ayla buru-buru mencari akun Instagram Celine. Dan di situlah hatinya kembali remuk.

Sebuah foto terbaru terpampang di layar:

Celine dan Damar duduk bersebelahan di sebuah kafe, dengan cangkir kopi masing-masing di tangan. Caption-nya singkat, tapi cukup menusuk:

“Kopi pagi dengan partner kerja terbaik 

Dan yang lebih menyakitkan lagi—Damar memberi like pada foto itu.

Hari itu, Ayla tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya hanya dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah Damar menyukai Celine? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan darinya?

Setelah bekerja, ia kembali menemui Tara di kafe yang sama.

“Aku nggak tahu harus gimana, Tar,” Ayla berkata sambil mengaduk minumannya tanpa benar-benar berniat meminumnya. “Aku takut kalau Damar mulai suka sama cewek lain.”

Tara menghela napas. “Kamu mau tanya langsung ke Damar?”

Ayla ragu. “Aku takut jawabannya justru lebih menyakitkan.”

Tara menatapnya dalam-dalam. “Tapi kalau kamu terus diam, kamu cuma akan menyiksa diri sendiri.”

Ayla mengangguk. Ia tahu Tara benar.

Malam itu, dengan tangan gemetar, Ayla akhirnya mengirim pesan kepada Damar.

“Damar, aku boleh tanya sesuatu?”

Tak lama kemudian, balasan datang.

Damar: “Tentu. Ada apa?”

Ayla menggigit bibirnya, lalu mengetik lagi.

“Siapa Celine?”

Beberapa menit berlalu sebelum Damar akhirnya membalas.

Damar: “Dia cuma teman kantor, Nay. Kenapa?”

“Kamu sering ketemu dia?”

Damar: “Ya, namanya juga kerja bareng. Kamu kenapa Nay? Kamu cemburu?”

Ayla terdiam.

Cemburu?

Tentu saja. Tapi yang lebih besar dari itu adalah ketakutan—takut kehilangan seseorang yang dulu begitu mencintainya, tetapi kini terasa semakin jauh.

Hari-hari berikutnya, Ayla mencoba bersikap biasa saja. Namun, rasa curiga masih terus mengendap dalam pikirannya.

Damar memang masih membalas pesannya, tetapi sering kali hanya dengan jawaban singkat.

Setiap kali Ayla mengajak video call, Damar selalu punya alasan untuk menolak.

“Lagi di luar, Nay.”

“Baterai HP-ku mau habis.”

“Bisa nanti aja? Aku lagi capek banget.”

Dan yang paling menyakitkan adalah ketika ia melihat lagi Instagram story Damar.

Kali ini, Celine muncul lagi.

Duduk di seberang meja. Tertawa.

Dan Ayla bertanya-tanya—seberapa sering Damar tertawa seperti itu? Apakah ia masih tertawa seperti itu ketika berbicara dengannya?

Atau apakah tawanya hanya tersisa untuk orang lain?

Malam itu, Ayla tidak bisa lagi menahan perasaannya.

Dengan keberanian yang tersisa, ia menelepon Damar.

Satu dering… dua dering… tiga dering…

Tidak diangkat.

Ia mencoba lagi.

Dan akhirnya, Damar mengangkat teleponnya.

“Kenapa, Nay?” Suara Damar terdengar lelah.

Ayla menutup matanya, mengatur napas. “Aku cuma mau tanya sesuatu, dan aku mau kamu jujur sama aku.”

“Apa?”

Ayla menelan ludah. “Masih sayang aku, nggak?”

Damar terdiam cukup lama.

“Kenapa kamu nanya gitu?”

“Karena aku merasa kita makin jauh, Dam. Aku nggak tahu lagi apakah aku masih ada di prioritas kamu.”

Damar menghela napas. “Nay, aku masih sayang kamu. Tapi… aku nggak tahu. Aku cuma… lelah.”

Lelah.

Ayla menggigit bibirnya. “Kamu lelah sama aku, atau lelah sama hubungan ini?”

Damar tidak menjawab.

Dan bagi Ayla, diamnya adalah jawaban yang lebih menyakitkan daripada kata-kata.

Bab ini mengeksplorasi godaan dan keraguan dalam hubungan jarak jauh, terutama ketika salah satu pihak mulai merasa ada orang lain yang lebih dekat secara emosional.

Ayla merasakan ketakutan yang semakin besar—apakah Damar masih mencintainya? Atau apakah hatinya perlahan mulai tertuju pada orang lain?

Pertanyaan itu masih menggantung.

Namun, Ayla tahu, cepat atau lambat, ia harus menghadapi jawabannya.

Bab 5: Rahasia yang Terbongkar

Ayla melihat foto Damar bersama Nadine dalam acara kampus. Kecurigaan mulai muncul, tetapi Damar membantah ada perasaan lebih terhadap Nadine.

Sejak percakapannya dengan Damar malam itu, Ayla merasa ada sesuatu yang semakin berubah. Damar tidak lagi sehangat dulu. Jawabannya selalu singkat dan terasa semakin jauh.

Dan yang lebih menyakitkan, Damar mulai jarang membalas pesan.

Awalnya, Ayla mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya fase—bahwa hubungan jarak jauh memang sulit, dan mungkin Damar hanya sedang stres dengan pekerjaannya.

Namun, instingnya berkata lain.

Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Damar.

Dan Ayla tahu, cepat atau lambat, ia harus mencari tahu kebenarannya.

Hari itu, Ayla sedang duduk di kafe tempatnya bekerja ketika Tara datang menghampiri dengan ekspresi serius.

“Aku perlu ngomong sesuatu ke kamu, Nay.”

Ayla menatapnya heran. “Kenapa? Mukamu serius banget.”

Tara menarik napas panjang sebelum akhirnya mengeluarkan ponselnya. Ia mengetik sesuatu, lalu menyerahkan ponselnya kepada Ayla.

Ayla menatap layar ponsel itu, dan saat melihat apa yang ada di sana, jantungnya seperti berhenti berdetak.

Itu adalah foto.

Damar.

Bersama Celine.

Di sebuah restoran, duduk bersebelahan, tertawa.

Namun yang paling menyakitkan bukanlah kebersamaan mereka—melainkan cara Damar menatap Celine dalam foto itu.

Itu bukan tatapan biasa.

Itu tatapan yang dulu hanya diberikan Damar kepadanya.

“Aku dapet ini dari temenku yang di Bandung,” kata Tara pelan. “Aku nggak tahu harus ngomong ke kamu atau nggak, tapi aku nggak mau kamu terus-terusan dibohongi.”

Ayla menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang menggenang.

“Aku harus tahu sendiri,” bisiknya.

Tara mengerutkan kening. “Maksudmu?”

Ayla menatap sahabatnya dengan penuh tekad. “Aku akan ke Bandung.”

Tanpa memberitahu Damar, Ayla membeli tiket kereta menuju Bandung. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi nanti. Ia hanya ingin melihat sendiri kebenarannya, bukan hanya dari kata-kata orang lain atau dari foto-foto di media sosial.

Perjalanan ke Bandung terasa lebih panjang dari biasanya. Jantungnya terus berdebar, tangannya gemetar.

Saat kereta sampai di stasiun, Ayla langsung memesan taksi menuju kantor Damar. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan ketika bertemu dengannya—apakah ia akan marah? Atau justru menangis?

Namun, saat ia sampai di depan kantor Damar, Ayla merasa ragunya semakin besar.

Bagaimana jika ia memang menemukan sesuatu yang tidak ingin ia lihat?

Namun, ia sudah terlalu jauh untuk mundur.

Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju pintu masuk kantor.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Damar.

Keluar dari kantor bersama Celine.

Tertawa.

Mereka berjalan berdampingan, tanpa sadar bahwa seseorang sedang mengawasi mereka dari kejauhan.

Ayla merasa tubuhnya membeku. Ia tidak tahu apakah ia harus segera menghampiri Damar atau justru pergi dari tempat itu.

Namun, saat ia melihat Damar dan Celine berjalan semakin jauh, instingnya mengambil alih.

Dengan langkah cepat, ia mengikuti mereka dari belakang.

Mereka berhenti di sebuah kafe kecil di sudut jalan.

Ayla berdiri di luar, mengamati mereka dari kaca jendela.

Saat itu, ia melihat sesuatu yang membuatnya benar-benar hancur.

Damar meraih tangan Celine.

Celine tersenyum.

Dan Damar membalas senyuman itu dengan lembut—senyuman yang dulu selalu diberikan kepadanya.

Ayla merasa dunianya runtuh.

Tangannya mengepal, hatinya berdebar kencang.

Ia tidak bisa membiarkan ini terus terjadi.

Dengan langkah penuh emosi, ia mendorong pintu kafe dan berjalan ke arah mereka.

Celine adalah orang pertama yang melihatnya.

Matanya membesar saat melihat Ayla berdiri di depan meja mereka.

Damar baru menyadarinya beberapa detik kemudian.

Dan saat ia melihat Ayla, wajahnya langsung berubah.

“Ayla…?” suaranya terdengar kaget, hampir panik.

Ayla menatapnya tajam. “Kita perlu bicara.”

Celine tampak canggung. “Aku… mungkin aku harus pergi—”

“Tidak,” potong Ayla cepat. “Kamu bisa tetap di sini. Karena sepertinya kamu lebih tahu segalanya dibanding aku.”

Damar menghela napas, menatap meja. “Ayla, ini nggak seperti yang kamu pikirkan—”

“Oh ya?” Ayla menyela dengan suara bergetar. “Jadi apa? Aku cuma halusinasi? Aku cuma melihat sesuatu yang nggak nyata?”

Damar terdiam.

“Kamu berubah, Dam,” suara Ayla mulai pecah. “Aku mencoba memahami semuanya. Aku mencoba mengerti kalau kita sama-sama sibuk. Tapi kamu malah menjauh. Dan sekarang, aku melihat kamu dengan dia, tertawa, bergandengan tangan… Apa ini masih nggak seperti yang aku pikirkan?”

Damar masih diam.

Dan di situlah Ayla menyadari sesuatu.

Diamnya adalah pengakuan.

Air mata mulai menggenang di matanya, tetapi ia menahannya.

“Kalau kamu memang udah nggak ingin sama aku, bilang saja, Dam. Jangan buat aku bertahan di sesuatu yang udah lama kamu tinggalkan.”

Damar menundukkan kepala. “Maaf, Nay…”

Ayla mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa seperti ditusuk ribuan jarum.

“Kita sudah selesai, Dam.”

Dan dengan langkah berat, ia meninggalkan kafe itu, meninggalkan orang yang selama ini ia perjuangkan, meninggalkan segala kenangan yang pernah mereka bagi.

Setelah sekian lama bertahan, setelah mencoba memahami, akhirnya ia menyadari bahwa tidak semua cinta bisa diperjuangkan.

Beberapa cinta memang harus dilepaskan.

Dan inilah saatnya Ayla belajar untuk merelakan.

Bab 6: Perasaan yang Harus Dipilih

Ayla berada di persimpangan—apakah ia harus terus menunggu atau membuka hatinya untuk Reza yang selalu ada untuknya?

Langit Bandung terasa kelabu ketika Ayla akhirnya kembali ke penginapan setelah pertemuannya dengan Damar dan Celine. Hujan gerimis mulai turun, membasahi jalanan yang kini terasa lebih sepi dari biasanya.

Ayla duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela. Hatinya masih berat, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan.

Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?

Apakah selama ini hanya dirinya yang berjuang mempertahankan hubungan mereka?

Sejak awal, Ayla tahu bahwa hubungan jarak jauh tidak akan mudah. Tapi ia tidak pernah menyangka bahwa akhirnya akan secepat ini—dan sepedih ini.

Ponselnya bergetar di meja. Dengan enggan, ia meraihnya dan melihat layar.

Sebuah pesan dari Damar.

“Nay, aku minta maaf… Aku nggak pernah berniat buat nyakitin kamu.”

Ayla memejamkan mata, menggigit bibirnya untuk menahan air mata yang hampir jatuh.

Ia tidak membalas pesan itu.

Bukan karena ia tidak ingin, tetapi karena ia tahu tidak ada lagi kata-kata yang bisa mengubah apa pun.

Setelah dua hari di Bandung, Ayla memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia tidak ingin berlama-lama di kota yang sekarang hanya memberinya kenangan pahit.

Di dalam kereta, ia menyandarkan kepala di jendela, membiarkan pikirannya melayang.

Dulu, saat pertama kali Damar pindah ke Bandung, ia sering membayangkan perjalanannya ke kota ini sebagai sesuatu yang indah—tempat di mana mereka bisa bertemu kembali setelah lama berpisah.

Tapi sekarang, Bandung bukan lagi tempat yang ingin ia kunjungi.

Jakarta terasa lebih sunyi dari biasanya ketika ia tiba di apartemennya. Barang-barang masih tertata rapi seperti saat ia meninggalkannya, tetapi rasanya ada yang berbeda.

Damar mungkin sudah tidak lagi ada di hidupnya, tapi kenangannya masih tersisa di setiap sudut ruangan ini.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir perasaan itu.

Ia harus mulai belajar melepaskan.

Beberapa hari setelah kepulangannya ke Jakarta, Ayla menghabiskan lebih banyak waktu dengan Tara.

Suatu malam, ketika mereka sedang duduk di kafe tempat mereka biasa bertemu, Tara tiba-tiba berkata, “Aku mau ngenalin kamu ke seseorang.”

Ayla mengernyit. “Siapa?”

Tara tersenyum misterius. “Seseorang yang bisa bikin kamu sadar kalau dunia ini nggak cuma tentang Damar.”

Sebelum Ayla sempat menolak, seorang pria datang menghampiri meja mereka.

“Hai, sorry telat.”

Ayla menoleh, dan matanya bertemu dengan sepasang mata hangat milik pria bernama Rayhan.

Rayhan adalah teman kuliah Tara yang baru saja kembali dari London setelah menyelesaikan studinya. Ia sekarang bekerja sebagai konsultan bisnis di Jakarta.

Awalnya, Ayla tidak terlalu tertarik untuk mengenal orang baru. Tapi obrolan dengan Rayhan ternyata mengalir dengan mudah.

Rayhan tidak hanya cerdas, tetapi juga menyenangkan untuk diajak bicara.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Ayla bisa tertawa lagi.

Setelah pertemuan pertama mereka, Rayhan mulai sering mengajak Ayla bertemu. Tidak ada niat romantis yang jelas, tetapi kebersamaan mereka terasa nyaman.

Rayhan bukan seseorang yang mencoba menggantikan Damar, dan Ayla pun tidak ingin mencari pengganti.

Namun, ada sesuatu dalam diri Rayhan yang perlahan mulai mengisi kekosongan yang Damar tinggalkan.

Tetapi setiap kali Ayla mulai merasa lebih baik, rasa bersalah datang menghampirinya.

Apakah ia sudah benar-benar siap untuk membuka hatinya kembali?

Atau ia hanya berusaha mengalihkan rasa sakitnya dengan kehadiran Rayhan?

Suatu malam, ketika mereka sedang duduk di sebuah taman, Rayhan tiba-tiba berkata, “Aku nggak tahu apa yang kamu alami sebelumnya, dan aku juga nggak mau memaksa kamu cerita. Tapi aku cuma mau bilang… kalau kamu butuh seseorang buat dengerin, aku ada di sini.”

Kata-kata itu membuat Ayla tersentuh.

Ia tahu Rayhan bukan sekadar orang asing yang hadir dalam hidupnya. Ia seseorang yang benar-benar peduli.

Namun, apakah ia sudah siap menerima kehadiran seseorang yang baru?

Saat Ayla mulai merasa sedikit lebih tenang, sebuah kejutan datang dalam hidupnya.

Suatu malam, ketika ia baru pulang dari kafe, ia menemukan seseorang berdiri di depan apartemennya.

Damar.

Ayla merasa napasnya tertahan.

“Bisa kita bicara?” suara Damar terdengar ragu, tetapi matanya penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan.

Ayla menatapnya dalam diam, hatinya bergejolak.

“Untuk apa, Dam?”

Damar menarik napas dalam. “Aku sadar aku udah bikin banyak kesalahan, Nay. Tapi aku nggak pernah berhenti mikirin kamu. Aku nggak bisa bohong… aku masih sayang sama kamu.”

Kata-kata itu membuat hati Ayla bergetar.

Dulu, ini adalah kalimat yang ingin ia dengar lebih dari apa pun.

Tetapi sekarang?

Ia tidak tahu apakah masih ada tempat untuk Damar di hatinya.

Rayhan adalah seseorang yang selalu ada, yang hadir tanpa menyakitinya. Tapi Damar adalah cinta pertamanya, orang yang selama ini ia perjuangkan.

Sekarang, Ayla berdiri di antara dua pilihan.

Apakah ia harus memaafkan dan kembali kepada Damar, meskipun ada luka yang belum sembuh?

Ataukah ia harus memilih untuk melangkah ke depan, bersama seseorang yang tidak membuatnya menunggu dan terluka?

Bab 7: Jarak yang Makin Menyakitkan

Pertengkaran antara Ayla dan Damar semakin sering terjadi. Mereka mulai mempertanyakan apakah cinta mereka masih bisa bertahan.

Duduk di sudut kafe yang biasa mereka kunjungi dulu, Ayla menatap cangkir kopinya yang sudah mulai dingin. Langit sore Jakarta berwarna jingga, tetapi hatinya terasa kelabu.

Damar duduk di hadapannya, tampak canggung. Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah malam itu—malam di mana Damar mengatakan bahwa ia masih mencintai Ayla.

“Gimana kabarmu?” tanya Damar, suaranya terdengar ragu.

Ayla mengangkat bahunya. “Baik.”

Damar mengangguk pelan. Ia menatap Ayla dengan tatapan yang sulit diartikan, seperti ada banyak hal yang ingin ia katakan tetapi tertahan di tenggorokannya.

“Aku tahu aku udah bikin banyak kesalahan,” kata Damar akhirnya. “Tapi aku pengen kita mulai lagi, Nay.”

Ayla tersenyum pahit. “Mulai lagi?”

Damar mengangguk. “Aku tahu hubungan kita nggak mudah, tapi aku yakin kita masih bisa memperbaikinya. Aku masih sayang sama kamu, Nay.”

Hati Ayla bergetar mendengar kata-kata itu. Tetapi di saat yang bersamaan, ada sesuatu yang terasa berbeda.

Dulu, ia selalu menunggu momen ini—momen di mana Damar menyadari kesalahannya dan ingin kembali.

Tapi sekarang, setelah semua yang terjadi, apakah masih ada yang bisa diperbaiki?

Setelah pertemuan itu, Ayla merasa semakin bingung.

Di satu sisi, perasaan untuk Damar masih ada. Ia tidak bisa begitu saja melupakan bertahun-tahun kebersamaan mereka.

Tapi di sisi lain, luka yang Damar tinggalkan masih terlalu nyata.

Dan ada Rayhan.

Pria yang selama ini selalu ada, yang tidak pernah membuatnya merasa sendirian.

Suatu malam, saat mereka sedang berjalan di taman, Rayhan menatapnya dalam-dalam dan berkata, “Aku nggak mau bikin kamu terburu-buru, Nay. Tapi aku cuma mau kamu tahu… aku ada di sini, kapan pun kamu siap.”

Kata-kata itu sederhana, tetapi menusuk hati Ayla.

Damar datang kembali, membawa masa lalu yang penuh luka.

Rayhan hadir, membawa ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Dan di antara mereka, Ayla berdiri, tidak tahu harus memilih yang mana.

Seiring waktu berjalan, Ayla semakin sadar bahwa jarak antara dirinya dan Damar bukan hanya sekadar kota yang memisahkan mereka.

Ada sesuatu yang berubah di antara mereka—sesuatu yang mungkin tidak bisa diperbaiki.

Setiap kali mereka berbicara, Ayla merasa ada dinding yang tidak bisa ditembus.

Percakapan mereka tidak lagi mengalir seperti dulu.

Rindu masih ada, tetapi tidak lagi sehangat dulu.

Suatu malam, Ayla memberanikan diri untuk bertanya, “Dam, kamu yakin ini yang kamu mau?”

Damar terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu, Nay.”

Tapi Ayla tidak puas dengan jawaban itu.

Cinta seharusnya bukan hanya tentang takut kehilangan.

Cinta seharusnya tentang ingin tetap bersama, meski dunia berubah.

Dan untuk pertama kalinya, Ayla mulai meragukan apakah Damar benar-benar ingin bersamanya—atau hanya takut sendirian.

Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin terasa menggantung.

Damar masih di Bandung, sibuk dengan pekerjaannya.

Ayla masih di Jakarta, mencoba menemukan kembali dirinya.

Mereka berusaha menjaga komunikasi, tetapi panggilan yang dulu terasa penuh kehangatan kini hanya terasa seperti formalitas.

“Kamu sibuk?” tanya Ayla suatu malam.

“Iya, ini lagi di kantor. Ada deadline.”

Ayla mengangguk, meskipun Damar tidak bisa melihatnya.

“Baiklah. Nanti kalau udah selesai, kabari aku, ya.”

Damar tidak langsung menjawab. Ada jeda beberapa detik sebelum ia berkata, “Iya, pasti.”

Tapi Ayla tahu, pesan itu mungkin tidak akan pernah datang.

Seperti malam-malam sebelumnya.

Pada akhirnya, Ayla harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka tidak lagi seperti dulu.

Bukan karena mereka tidak saling mencintai.

Tapi karena mereka sudah tidak lagi berada di halaman yang sama.

Suatu malam, saat sedang berjalan sendirian di pinggir kota, Ayla menatap langit dan berkata dalam hati, “Mungkin cinta bukan selalu tentang bertahan. Kadang, cinta juga tentang merelakan.”

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk melepaskan.

Bukan karena ia tidak mencintai Damar lagi.

Tapi karena ia akhirnya sadar bahwa cinta tidak seharusnya terasa sesakit ini.

Bab ini mengeksplorasi bagaimana Ayla akhirnya menyadari bahwa jarak bukan hanya masalah fisik, tetapi juga tentang perasaan yang perlahan berubah.

Meskipun masih ada cinta, apakah hubungan mereka masih bisa dipertahankan?

Atau apakah sudah waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal?

Bab berikutnya akan menjadi penentu.***

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #HarapanBersama#Kesetiaan#Komitmen#perjuangancinta
Previous Post

LUKA YANG KU TUTUPI

Next Post

Asmara di Balik Tirai Rahasia

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
Asmara di Balik Tirai Rahasia

Asmara di Balik Tirai Rahasia

CINTA BERBALUT DENDAM

CINTA BERBALUT DENDAM

HATI YANG TAK TERPINDAH

HATI YANG TAK TERPINDAH

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id