Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

TANGISAN DALAM BALAS DENDAM

TANGISAN DALAM BALAS DENDAN

SAME KADE by SAME KADE
April 8, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 20 mins read
TANGISAN DALAM BALAS DENDAM

Daftar Isi

  • BAB 1  Pertemuan yang Tak Terlupakan
  • BAB 2 Kenangan yang Menghantui
  • BAB 3 Janji untuk Membalas
  • BAB 4 Manipulasi Cinta
  • BAB 5 Terjebak dalam Jebakan Dendam
  • BAB 6 Pengakuan dan Pertarungan Hati
  • BAB 7 Tangisan dalam Balasan Dendam

BAB 1  Pertemuan yang Tak Terlupakan

Rena melangkah memasuki ruangan besar yang dipenuhi tawa dan suara riuh teman-teman lama. Suasana reuni di sebuah hotel mewah ini terasa begitu kontras dengan hati Rena yang terasa hampa. Sepuluh tahun telah berlalu sejak terakhir kali ia berada di tempat yang sama dengan mereka—teman-teman yang dulu pernah menemani perjalanan hidupnya. Wajah-wajah familiar, tawa-tawa yang dikenalnya, namun semuanya terasa begitu jauh. Rena merasa seperti seorang asing di tengah keramaian yang penuh kenangan itu.

Matanya melirik ke sekitar, mencari-cari seseorang. Pikirannya tidak bisa lepas dari satu nama, satu sosok yang selalu menghantuinya. Ravindra. Namanya seperti petir yang menyambar, mengingatkan Rena pada masa lalu yang penuh cinta dan pengkhianatan. Sudah lama Rena berusaha melupakan dia, tetapi pertemuan ini seakan membuka kembali luka yang sudah hampir sembuh.

Tiba-tiba, di tengah kerumunan itu, pandangan Rena tertumbuk pada sosok yang tak asing lagi. Seperti petir yang menyambar jantungnya, Rena merasa napasnya tercekat. Di sana, berdiri Ravindra—lelaki yang pernah begitu dicintainya, lelaki yang dulu mengisi hidupnya dengan janji manis dan akhirnya meninggalkannya begitu saja.

Ravindra masih tampak seperti yang ia ingat, meski ada perubahan yang jelas terlihat. Rambutnya kini lebih pendek, wajahnya lebih matang, namun senyumnya tetap sama—senyum yang pernah membuat hati Rena berdegup kencang. Rena merasa ada sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Marah? Kecewa? Atau mungkin sebuah harapan yang tak pernah benar-benar padam? Ia tidak tahu.

Rena berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi matanya kembali tertuju pada pria itu. Ravindra tampak sedang berbicara dengan beberapa teman lama, tertawa, dan tidak menyadari kehadiran Rena yang hanya berdiri beberapa meter darinya. Seolah waktu tidak pernah berjalan, segala perasaan yang dulu sempat terpendam kembali muncul begitu saja.

“Rena?” Suara seseorang menyapanya dari belakang, memecah lamunannya. Rena menoleh, menemukan seorang wanita berusia lebih tua yang kini berdiri di sampingnya.*“Ibu Arini!”Rena tersenyum, meskipun senyum itu terasa canggung. Wanita itu adalah salah satu teman dekat ibunya yang sejak dulu sangat peduli padanya. “Kamu sudah lama tidak datang ke reuni. Apa kabar?”

Rena berusaha tersenyum, namun hatinya masih dipenuhi gelisah. “Baik, Ibu. Hanya saja… agak canggung bertemu dengan mereka setelah sekian lama.”

Ibu Arini menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Rena. Namun ini adalah kesempatan yang baik untuk melepaskan segala beban yang masih kamu rasakan. Kamu harus belajar untuk menghadapinya.”

Rena hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Hatinya terpecah antara rasa ingin pergi dari tempat itu dan rasa ingin tetap berada di sana, menatap wajah yang begitu familiar namun kini terasa begitu asing.

Tiba-tiba, suara tawa yang datang dari arah Ravindra menarik perhatian Rena. Tanpa sadar, langkahnya bergerak mendekat, seolah-olah tubuhnya terikat oleh magnet yang tak terlihat. Ia ingin menjauh, tapi kakinya seakan bergerak sendiri menuju pria itu.

“Rena, kamu baik-baik saja?” Ibu Arini bertanya khawatir, melihat perubahan ekspresi di wajah Rena yang mendadak serius.

Rena mengangguk, memaksakan senyum. “Iya, Ibu. Hanya… sedikit terkejut.”

Dengan hati berdebar, Rena melangkah lebih dekat, mencoba menjaga jarak yang cukup agar tidak terlalu mencolok. Tetapi setiap langkah yang diambilnya seolah semakin dekat dengan kenyataan yang tak bisa ia hindari. Satu langkah lagi, dan ia bisa mendengar suara Ravindra jelas di telinganya, gelak tawanya yang dulu selalu membuat hatinya berdebar.

Tiba-tiba, Ravindra menoleh, dan mata mereka bertemu. Semua suara di sekitarnya seakan menghilang. Hanya ada Rena dan Ravindra, seolah dunia berhenti berputar. Waktu seperti mundur ke masa lalu, ke saat-saat ketika mereka berdua saling jatuh cinta. Rena bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Pria yang pernah mengisi hatinya, yang dulu membuatnya merasa lengkap, kini berdiri di depannya, hanya berjarak beberapa langkah.

“Rena? Suara Ravindra terdengar begitu lirih, seperti bisikan angin yang membawa kembali kenangan-kenangan lama. Senyumnya masih sama, senyuman yang dulu selalu berhasil membuat hatinya meleleh.

Rena menelan ludah, berusaha menjaga ketenangannya. “Ravindra…” Suaranya terdengar lebih ringan daripada yang ia rasakan di dalam hatinya. Namun matanya tak bisa menyembunyikan campuran emosi yang membuncah.

“Kamu…”Ravindra seolah kebingungan, mencari kata-kata yang tepat. Aku tidak menyangka kita bisa bertemu di sini.”

Rena hanya mengangguk, merasa sebuah ketegangan mulai tercipta di antara mereka. Semua yang sudah dipendam selama bertahun-tahun seakan meledak begitu saja. Dendam yang sudah lama ia simpan, rasa sakit yang tak pernah benar-benar hilang, kini muncul begitu nyata.

“Aku tidak tahu harus bilang apa, Ravindra,”Rena berkata dengan suara yang hampir tak terdengar. “Setelah semua yang terjadi, aku… tidak tahu harus bagaimana.”

Ravindra menatapnya dengan rasa penyesalan yang mendalam. Aku tahu aku salah, Rena. Aku benar-benar menyesal. Tapi aku ingin menjelaskan semuanya.”

Rena menahan diri untuk tidak tersentuh oleh kata-kata itu. Apa yang bisa dia jelaskan sekarang? Apa yang bisa menghapus pengkhianatannya? Dulu, Ravindra telah menghilang tanpa kata, meninggalkannya dalam penderitaan yang tak terkatakan.

“Tidak ada yang perlu dijelaskan, Ravindra,”** jawab Rena dengan tegas, meski suaranya bergetar. **“Aku sudah cukup menderita karena kepergianmu. Tidak ada yang bisa mengubah itu.”

Dan saat itu, Rena tahu bahwa pertemuan ini adalah titik balik. Segala luka yang lama terkubur kini kembali terbuka, dan dendam yang ia pendam bertahun-tahun mulai menguasai hatinya.

BAB 2 Kenangan yang Menghantui

Rena duduk di sudut kafe, menatap secangkir kopi yang mulai mendingin. Suasana di sekitar penuh dengan hiruk-pikuk orang yang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing, namun pikirannya terperangkap dalam kenangan yang tak pernah bisa dia lupakan. Kenangan tentang seorang lelaki yang pernah mengisi seluruh hidupnya, yang kini hanya meninggalkan jejak luka yang dalam di hati. **Ravindra**.

Sejak pertama kali bertemu Ravindra di sebuah acara kampus, Rena sudah merasa ada sesuatu yang istimewa antara mereka. Lelaki itu tampak berbeda dari yang lainnya. Cara Ravindra memandang dunia, cara dia berbicara, semuanya menyentuh sisi terdalam hatinya. Rena yang selalu tampak tenang dan terjaga, menemukan dirinya terjatuh dalam pesona Ravindra tanpa bisa menghentikannya. Mereka menjadi pasangan yang serasi, saling melengkapi seperti dua bagian dari satu kesatuan yang sempurna. Setiap detik bersama Ravindra adalah kebahagiaan yang tak terlukiskan.

Namun, kebahagiaan itu ternyata tak berlangsung lama. Suatu hari, segala sesuatu mulai berubah. Rena mulai merasakan ketidakberesan dalam hubungan mereka. Ravindra yang dulu selalu memperhatikannya, kini semakin sering menghindar. Panggilan teleponnya yang tak pernah terjawab, pesan yang semakin jarang dibalas, dan pertemuan yang semakin langka. Rena merasa ada yang salah, namun dia memilih untuk diam. Takut jika dia terlalu menanyakan, Ravindra akan menjauh lebih jauh lagi.

Puncaknya terjadi pada malam itu, malam ketika segala sesuatu hancur begitu saja. Rena menunggu Ravindra di kafe yang mereka sering kunjungi. Dia sudah memesan dua cangkir kopi, satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Ravindra, berharap lelaki itu datang dan memberi penjelasan. Namun, yang datang bukan Ravindra. Itu adalah **Livia**, teman dekat Ravindra yang selalu ceria dan penuh energi. Tapi kali ini, wajah Livia tampak berbeda. Ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan di matanya.

“Livia, ada apa?” tanya Rena dengan suara serak, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

Livia terdiam sejenak sebelum akhirnya duduk di hadapan Rena. “Ravindra… dia tidak akan datang,” ujar Livia, menundukkan kepala. “Aku… aku minta maaf, Rena. Aku tak tahu harus bagaimana lagi.”

Rena merasa dunia tiba-tiba berhenti berputar. “Apa maksudmu, Livia?” tanyanya, suaranya gemetar. “Kenapa dia tidak datang? Di mana dia? Apa yang terjadi?”

Livia menghela napas panjang. “Ravindra… dia sudah memutuskan semuanya. Dia… dia tidak ingin melanjutkan hubungan ini. Maafkan aku, Rena. Aku hanya bisa memberitahumu sekarang.”

Rena merasa bumi bergoyang di bawah kakinya. Semuanya terasa kabur, seakan-akan dia sedang berdiri di tepi jurang yang begitu dalam. “Kenapa? Kenapa dia melakukan ini padaku? Apa salahku?” tanyanya, hampir tidak percaya.

Livia tak bisa menjawab. Semua kata yang ingin diucapkan terasa tidak cukup untuk menggambarkan rasa sakit yang ada. Rena pun merasakan sesuatu yang lebih pahit dari kesedihan: pengkhianatan. Setelah bertahun-tahun bersama, setelah merencanakan masa depan bersama, Ravindra tiba-tiba saja menghilang tanpa alasan yang jelas. Tanpa penjelasan. Tanpa pemberitahuan.

Itulah awal dari segala sesuatu yang hancur. Malam itu, Rena pulang dengan hati yang kosong, tubuh yang lelah, dan jiwa yang penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban. Selama berhari-hari, dia mencari-cari alasan, mencoba mengerti mengapa Ravindra memilih meninggalkannya begitu saja. Tapi tak ada yang jelas. Hanya kebisuan yang terus membekas.

Pikirannya kembali ke hari-hari setelah malam itu. Setiap kali melihat Ravindra di media sosial atau mendengar namanya disebutkan oleh teman-teman mereka, Rena merasa ada rasa sakit yang semakin dalam. Kenangan manis mereka bersama seolah menjadi pedang yang menusuk hatinya. Setiap tawa yang mereka bagi bersama, setiap kata-kata cinta yang diucapkan, semuanya sekarang terasa palsu. Rena merasa seperti telah dibuang begitu saja, tanpa ada perasaan penyesalan dari Ravindra.

Lima bulan berlalu setelah kejadian itu. Rena mencoba untuk move on, namun sulit sekali. Dia tidak bisa melupakan perasaan itu, rasa sakit yang teramat sangat. Bahkan teman-temannya pun mulai khawatir dengan kondisi Rena yang semakin tertutup. Mereka ingin melihat Rena bahagia kembali, tapi luka itu tak mudah disembuhkan.

Di dalam hati Rena, satu hal yang jelas: dia tidak akan membiarkan Ravindra pergi begitu saja. Semua yang dilakukan Ravindra padanya tidak bisa dibiarkan tanpa balasan. Rena tak bisa begitu saja memaafkan perbuatan Ravindra yang meninggalkannya dengan begitu mudah. Dendam itu tumbuh, membara dalam dirinya. Dendam yang begitu besar, yang membuatnya bertekad untuk membalasnya suatu saat nanti.

Tapi di sisi lain, ada perasaan yang tidak bisa dia hapuskan begitu saja. Rena masih merindukan Ravindra, meskipun hatinya penuh dengan kebencian. Setiap kali mengingat masa lalu, Rena merasakan perasaan cinta yang sulit dihapuskan. Cinta itu masih ada, bahkan saat dia berusaha menutupinya dengan kebencian. Dendam dan cinta, dua perasaan yang saling berlawanan, saling bertarung di dalam hatinya.

Kenangan tentang Ravindra terus menghantui Rena, baik saat dia terjaga maupun dalam mimpinya. Dan meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk melupakan, dia tahu satu hal pasti: dendam itu akan menjadi bagian dari dirinya yang tak bisa dihindari.

BAB 3 Janji untuk Membalas

Langit sore itu tampak begitu kelabu, seperti perasaan Rena yang bergejolak setelah pertemuan dengan Ravindra. Ia berdiri di balkon apartemennya, memandangi langit yang tak memberikan sedikit pun harapan. Kenangan lama yang terpendam dalam hatinya kembali muncul begitu saja, menghantui setiap langkahnya. Dendam itu, yang selama ini ia coba sembunyikan, kini terasa semakin membara.

Rena menarik napas panjang, seolah mencoba mengumpulkan kekuatan dalam dirinya. Dia tahu bahwa kebencian dan rasa sakit itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Sejak pertama kali bertemu dengan Ravindra lagi, perasaan yang dulu ia coba kubur kini muncul kembali. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, masa ketika cintanya yang tulus dihancurkan begitu saja oleh orang yang sangat ia percayai.

Sejak Ravindra meninggalkannya tanpa alasan yang jelas, Rena merasa seperti tak bernilai lagi. Semua harapan yang ia bangun runtuh dalam sekejap. Dia tidak tahu apa yang salah, tidak tahu kenapa pria yang begitu ia cintai memilih untuk pergi tanpa memberi penjelasan. Cinta yang mereka bina selama bertahun-tahun, lenyap begitu saja. Yang tersisa hanya luka yang semakin dalam dan dendam yang tidak terungkapkan.

Namun, pertemuan hari itu membawa Rena pada titik di mana ia menyadari sesuatu yang sangat penting: ini bukan soal memaafkan atau melupakan. Ini adalah tentang keadilan, tentang membalas rasa sakit yang pernah ia alami. Ini adalah tentang membuat Ravindra merasakan apa yang ia rasakan dulu—perasaan dibuang begitu saja tanpa peduli.

Saat Rena duduk di meja kerjanya malam itu, pikirannya dipenuhi dengan berbagai rencana. Rencana untuk balas dendam yang sudah lama ia pikirkan. Satu-satunya cara untuk melepaskan semua perasaan itu adalah dengan membuat Ravindra merasa kesakitan yang sama. Dengan setiap detil yang ia pikirkan, rasa marahnya pun semakin membesar.

Ia teringat bagaimana dulu, ketika mereka masih bersama, Ravindra selalu memiliki cara untuk membuatnya merasa aman dan dicintai. Namun, ketika ia pergi tanpa memberi penjelasan, semua itu hancur. Rena tidak tahu bagaimana cara menghadapi kenyataan bahwa cinta yang ia beri ternyata tidak berarti apa-apa bagi Ravindra. Itulah yang membuatnya sangat terluka.

Tangan Rena terhenti di atas kertas yang kosong. Dia berpikir sejenak. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia akan langsung menyakiti Ravindra, ataukah ada cara yang lebih subtil, lebih menghancurkan? Dengan satu senyum kecil yang menyakitkan, Rena mulai menulis langkah-langkah balas dendamnya. Ia tahu bahwa ini tidak akan mudah, tapi ia sudah tidak peduli. Sakit hati yang ia rasakan selama bertahun-tahun itu harus dibayar lunas.

Langkah pertama adalah mendekati Ravindra, membuatnya merasa bahwa Rena sudah melupakan masa lalu mereka, bahwa Rena sudah move on. Dia akan berpura-pura tidak marah lagi, bersikap seperti tidak ada apa-apa, seolah-olah semuanya baik-baik saja. Rena akan membuat Ravindra merasa nyaman, membuatnya percaya bahwa Rena sudah menerima pengkhianatannya. Namun, pada saat yang tepat, Rena akan menunjukkan bahwa dia masih sangat terluka dan marah.

Langkah kedua adalah membuat Ravindra merasa tertarik padanya kembali. Rena tahu, dengan kepercayaan diri yang baru, dia bisa melakukan itu. Jika ada satu hal yang tidak bisa dilupakan oleh Ravindra, itu adalah bagaimana ia selalu merasa terpesona dengan kecantikan dan pesona Rena. Dia akan memainkan perasaan itu, membuat Ravindra jatuh lagi ke dalam perangkapnya. Namun kali ini, Rena tidak akan menjadi wanita yang lembut dan pengertian. Dia akan menjadi seseorang yang penuh teka-teki, penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab, dan penuh dengan rasa sakit yang tidak bisa disembuhkan oleh Ravindra.

Langkah ketiga adalah menyelipkan rasa sakitnya sedikit demi sedikit ke dalam setiap percakapan, setiap pertemuan. Rena ingin Ravindra merasa terguncang, ingin dia tahu betapa besar rasa sakit yang pernah ia alami. Namun, ia tidak akan membiarkan Ravindra mengetahui sepenuhnya perasaannya. Ia akan membiarkannya bertanya-tanya, membiarkannya bingung dengan perubahan sikapnya. Setiap kali Ravindra mencoba untuk berbicara tentang masa lalu mereka, Rena akan menghindar. Setiap kali dia mencoba meminta maaf, Rena akan menolaknya dengan cara yang halus, namun tegas.

Namun, meskipun Rena bertekad untuk melakukan semua itu, ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Dalam setiap langkah yang ia rencanakan, ia tidak bisa menahan perasaan yang kembali muncul. Di balik semua kebencian dan dendam itu, ada cinta yang belum mati. Rena masih mencintai Ravindra, dan itu adalah sesuatu yang sulit untuk ditutupi.

Malam itu, setelah menulis rencananya dengan penuh tekad, Rena duduk diam di kursinya. Ia menatap kertas yang penuh dengan kata-kata balas dendam, namun ada satu perasaan yang mengganggu hatinya—perasaan kosong. Ia tahu bahwa meskipun dendam itu bisa membalaskan rasa sakitnya, itu tidak akan membuat hatinya merasa penuh. Rena menyadari bahwa meskipun ia berhasil membuat Ravindra merasakan apa yang ia rasakan, itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa ia masih mencintainya.

Namun, Rena tahu satu hal: balas dendam ini adalah langkah pertama untuk sembuh. Mungkin saja setelah itu, ia bisa mulai melepaskan rasa sakitnya, dan akhirnya menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri. Tetapi untuk saat ini, dendam adalah satu-satunya cara bagi Rena untuk merasa kuat kembali.

BAB 4 Manipulasi Cinta

Rena berdiri di depan cermin, menatap dirinya yang hampir tidak dikenali. Mata cokelat gelapnya yang penuh keraguan memantulkan bayangan seorang wanita yang sedang berperang dalam dirinya sendiri. Rambutnya yang tergerai indah seolah menyembunyikan luka lama yang masih terasa di dalam hatinya. Namun, hari ini, dia tidak lagi ingin terlihat rapuh. Rencana balas dendamnya telah dimulai, dan dia tahu betul bagaimana caranya untuk mencapai tujuannya.

Senyum tipis terukir di bibirnya saat dia mengenang kembali pertemuan tak terduga dengan Ravindra beberapa hari yang lalu. Bagaimana bisa seseorang yang dulu begitu dicintainya, yang pernah berjanji untuk selalu berada di sampingnya, kini berdiri di hadapannya sebagai sosok asing yang menambah bara di hati? Rena menatap foto lama mereka yang tergeletak di meja, foto dari waktu yang seolah sudah berlalu ratusan tahun. Senyuman keduanya pada saat itu begitu tulus, namun kini hanya ada tanya dan luka.

“Saya tak pernah ingin kehilanganmu, Rena.” Suara Ravindra yang penuh penyesalan masih terngiang jelas dalam benaknya.

Tapi apakah penyesalan itu cukup untuk menebus semuanya? Tidak. Rena tahu betul bahwa pengkhianatan itu tidak bisa begitu saja dihapuskan oleh kata-kata kosong.

Hari berikutnya, Rena memutuskan untuk mendekati Ravindra dengan cara yang berbeda. Jika dulu dia selalu menghindar, kini dia akan memanipulasi perasaannya, membuat Ravindra percaya bahwa dia telah memaafkannya, bahwa dia telah melupakan semua kesalahan yang pernah terjadi.

Rencana balas dendamnya dimulai dengan sedikit kepura-puraan. Setiap langkahnya direncanakan dengan teliti, setiap kata yang diucapkannya penuh dengan makna tersembunyi. Rena memulai dengan memperlihatkan sisi lembut dan ramahnya kepada Ravindra. Dia tahu, untuk membuatnya jatuh kembali, dia harus menunjukkan sisi yang berbeda dari dirinya—sisi yang Ravindra kenal dulu, sebelum semuanya hancur.

Seiring waktu, Ravindra pun mulai merasakan ketenangan yang sempat hilang dalam hidupnya. Rena, yang dulu tampak keras dan penuh dendam, kini memperlakukan dirinya dengan kehangatan yang hampir seperti masa lalu mereka. Setiap kali mereka bertemu, Rena selalu berbicara dengan tenang, membuat suasana seolah kembali normal. Ravindra, yang merasa bersalah dan ingin menebus dosa-dosanya, melihat ini sebagai kesempatan untuk kembali mendapatkan kepercayaan Rena. Dia mulai membuka dirinya, mengungkapkan penyesalannya yang mendalam atas apa yang telah terjadi di masa lalu.

“Saya tahu ini mungkin terlalu terlambat, Rena,” ujar Ravindra, tatapan matanya begitu dalam. “Tapi jika ada cara untuk mengembalikan waktu, saya akan melakukannya. Saya benar-benar menyesal.”

Rena menahan hati yang hampir terkoyak mendengar kata-kata itu. Betapa dia ingin berteriak, mengungkapkan betapa semua ini terlambat. Tapi, untuk saat ini, dia hanya tersenyum, senyum yang penuh arti. “Semua orang punya kesempatan untuk berubah, Ravindra. Mungkin ada waktu untuk memperbaiki semuanya,” jawabnya dengan suara lembut, meskipun hatinya terasa teriris.

Namun, semakin sering mereka bertemu, semakin dalam perasaan yang terpendam itu kembali menguasai Rena. Setiap kata Ravindra yang penuh penyesalan, setiap tatapan penuh harapan darinya, menambah kebingungan dalam diri Rena. Perasaan yang dulu pernah ia coba untuk kubur, kini muncul lagi, semakin menguat. Ravindra bukan hanya sekadar pria yang telah mengkhianatinya; dia juga cinta pertama yang begitu mendalam.

Malam itu, saat mereka duduk bersama di sebuah kafe yang dulu sering mereka kunjungi, Ravindra kembali memulai percakapan yang sulit. “Rena, aku tahu aku tidak pantas mendapatkannya, tapi jika ada kesempatan… aku ingin mulai lagi denganmu,” katanya pelan, menggenggam tangan Rena dengan harapan yang tak terungkapkan.

Rena memejamkan mata sejenak, menahan gejolak yang tiba-tiba menyeruak dalam dadanya. Betapa mudahnya bagi Ravindra untuk berbicara tentang cinta, seperti tidak ada yang berubah, seakan waktu bisa memulihkan semuanya. Rena tahu bahwa ini adalah ujian terberat dalam rencananya—mampukah dia terus berpura-pura atau akankah dia menyerah pada perasaan yang sudah lama ia kubur?

Namun, dalam sekejap, Rena menyadari satu hal penting: dia telah terjebak dalam rencananya sendiri. Manipulasi cinta yang ia lakukan, untuk membalas dendam pada Ravindra, mulai mempengaruhi dirinya. Setiap tatapan lembut Ravindra, setiap janji yang ia ucapkan, semakin membuat Rena meragukan segala yang telah ia rencanakan.

Di sisi lain, Arlan yang sudah lama diam dan setia, mulai merasakan perubahan dalam diri Rena. Meskipun Arlan selalu mendukung Rena, dia mulai merasa ada jarak yang tumbuh di antara mereka. Rena tidak lagi memperhatikannya dengan penuh perhatian seperti dulu, dan setiap kali Arlan mencoba berbicara tentang perasaannya, Rena selalu menghindar dengan alasan yang seolah-olah sangat wajar.

Arlan melihat kecemasan di mata Rena setiap kali dia berbicara tentang Ravindra, namun Rena tidak pernah mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam hatinya. Sebagai seorang sahabat yang telah lama berada di sisi Rena, Arlan tahu betul bahwa hati wanita itu tengah berperang dalam kesunyian.

Namun, Rena, dalam kebingungannya, memilih untuk terus berjalan di jalur yang sudah dia tentukan. Dendamnya harus terbalaskan, apapun yang terjadi. Tetapi, apakah manipulasi cinta ini benar-benar akan membuatnya merasa puas? Ataukah, pada akhirnya, ia hanya akan menyakiti dirinya sendiri lebih dalam

BAB 5 Terjebak dalam Jebakan Dendam

Rena memandangi bayangannya yang terpantul di cermin. Tatapannya tajam, penuh kebingungan, dan seolah menghindari kenyataan. Di hadapannya, terhampar perasaan yang sudah terlalu lama terpendam—rasa sakit yang terus menghantui, dendam yang berputar dalam pikirannya. Namun, hari ini adalah hari yang berbeda. Hari ini, dia merasa seperti terjebak dalam jebakan yang telah dia siapkan untuk orang yang telah meninggalkan dirinya begitu saja bertahun-tahun yang lalu: Ravindra.

Rena tahu bahwa dia sudah berada jauh di luar jalur yang telah dia rencanakan. Awalnya, semuanya tampak begitu jelas. Dia ingin membalas dendam pada Ravindra, ingin membuat pria itu merasakan luka yang dia alami selama ini. Namun, seiring waktu, perasaan yang lebih kompleks mulai muncul. Perasaan yang semula dia kira sudah terkubur dalam-dalam kini datang kembali dengan kekuatan yang tak bisa dia tolak. Perasaan cinta yang pernah dia miliki untuk Ravindra, yang selama ini dia sembunyikan, kini kembali meledak, dan Rena tak bisa menghindar dari kenyataan itu.

Ketika Rena mulai berinteraksi dengan Ravindra kembali, ada perasaan yang mengalir begitu alami. Mereka saling berbicara dengan cara yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya, seolah-olah hubungan mereka yang dulu tidak pernah ada. Meskipun hatinya masih dipenuhi amarah, di dalam dirinya ada perasaan yang mulai meresap, mengingatkan tentang semua kenangan manis mereka di masa lalu. Kenangan yang sulit untuk dilupakan, meskipun pengkhianatan Ravindra telah menggores luka yang dalam.

Hari itu, mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang sudah menjadi tempat favorit mereka. Ravindra tiba lebih dulu dan duduk di meja yang pernah mereka tempati bersama. Rena melangkah masuk dengan hati yang berat, namun ada sesuatu dalam tatapan Ravindra yang membuatnya ragu. Dia tidak bisa menyangkal bahwa dia masih merasakan sesuatu, meskipun dia berusaha keras untuk menutupi perasaan itu dengan kebencian.

“Rena,” suara Ravindra terdengar lembut, penuh penyesalan. “Aku tahu aku tidak pantas untuk mendapat kesempatan ini, tetapi… aku ingin berbicara denganmu.”

Rena duduk di hadapannya, mencoba mempertahankan jarak emosional. “Aku tak tahu apa yang ingin kamu katakan, Ravindra,” jawabnya dengan suara yang datar, berusaha mengontrol perasaan yang berkecamuk dalam dirinya.

Ravindra menundukkan kepala, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku minta maaf, Rena. Aku tahu tidak ada kata-kata yang bisa mengubah apa yang telah terjadi. Aku meninggalkanmu tanpa alasan yang jelas, dan aku sadar aku membuat kesalahan besar. Aku menyesal, sangat menyesal.”

Rena merasa hatinya teraduk-aduk mendengar pengakuan itu. Dulu, dia menginginkan kata-kata itu, menginginkan penjelasan yang tak pernah datang. Namun kini, setelah bertahun-tahun berlalu, kata-kata itu terasa seperti angin lewat yang hanya menyakitkan. Dia berusaha menahan air mata yang sudah siap mengalir, dan memalingkan wajahnya agar Ravindra tak melihat kelemahan di dalam dirinya.

“Apa yang bisa kamu katakan sekarang?” tanyanya, suara yang hampir tak terdengar. “Sudah terlalu terlambat, Ravindra. Semua yang kita miliki dulu—semuanya sudah hancur.”

Ravindra menarik napas dalam, mencoba mencari keberanian. “Aku tahu. Aku tahu aku tak bisa memperbaiki semuanya. Tapi, Rena, aku ingin mengatakan bahwa aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Aku tahu itu tak bisa menghapus semuanya, tetapi aku ingin kamu tahu.”

Hati Rena berdegup kencang. Kata-kata Ravindra seperti pisau yang menusuk, tapi dengan cara yang berbeda. Dulu, Rena ingin mendengar pengakuan itu, ingin tahu bahwa dia masih memiliki tempat di hati Ravindra. Namun, kini semuanya terasa begitu rumit. Cinta dan kebencian, keduanya berkelindan dalam dirinya.

“Ravindra, aku sudah memaafkanmu,” kata Rena perlahan. “Tapi itu bukan berarti aku ingin kembali padamu. Aku sudah belajar banyak sejak saat itu. Aku bukan orang yang sama lagi. Aku tidak membutuhkanmu.”

Namun, meskipun kata-kata itu keluar dari mulutnya, hatinya terasa berbeda. Di dalam dirinya, rasa sakit dan cinta itu saling berperang. Rena merasa terjebak dalam jaringan kebingungan. Dendam yang dulu menjadi satu-satunya tujuan hidupnya kini terasa seperti beban yang semakin berat. Seiring berjalannya waktu, dia semakin merasa bahwa dia bukan lagi seorang wanita yang ingin membalas dendam, melainkan seseorang yang ingin melepaskan beban emosional yang sudah terlalu lama dipendam.

Ketika Rena berpaling untuk pergi, Ravindra meraih tangannya. “Jangan pergi dulu, Rena. Tolong, dengarkan aku,” katanya dengan suara yang penuh harap.

Rena terdiam, namun dia tidak bisa menolak. Sebuah bagian dalam dirinya ingin mendengarkan lebih banyak, ingin mengetahui apakah ada kemungkinan untuk memperbaiki semua yang rusak. Namun, bagian lain dari dirinya, yang terluka dan penuh dendam, menahan dirinya untuk tidak terjatuh dalam perangkap perasaan itu.

“Ravindra, aku tidak tahu apakah kita bisa memperbaiki apa yang sudah rusak. Tapi aku juga tidak tahu apakah aku harus membiarkan semua ini pergi,” kata Rena, suaranya hampir pecah.

Malam itu berakhir dengan penuh ketegangan dan kebingungan. Rena merasa seperti berada di tengah-tengah dua dunia yang bertentangan—dunia yang penuh dengan kenangan dan cinta, dan dunia yang penuh dengan dendam dan luka. Di luar kafe, udara malam terasa dingin dan sepi, namun di dalam hatinya, perasaan itu semakin membara. Dia tidak tahu harus memilih apa—apakah dia akan terus membalas dendam pada Ravindra ataukah dia akan memaafkan dan membiarkan perasaan itu mengalir kembali.

Yang jelas, Rena sudah terjebak dalam jebakan dendam yang dia buat sendiri. Dan dia tahu, semakin lama dia terjebak dalam perasaan ini, semakin sulit untuk melarikan diri

BAB 6 Pengakuan dan Pertarungan Hati

Rena menatap dirinya di cermin, memeriksa setiap sudut wajahnya yang mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Meski usianya belum begitu tua, perasaan yang ia rasakan sudah cukup membuatnya merasa lebih tua dari yang sebenarnya. Perjalanan batinnya selama ini begitu berat—terutama sejak pertemuannya kembali dengan Ravindra, pria yang dulu sempat membuatnya bahagia, sebelum akhirnya menghancurkan segala harapan yang ada.

Hari itu, Rena kembali bertemu dengan Ravindra, kali ini di sebuah kafe yang mereka datangi bersama. Mata Ravindra penuh penyesalan saat ia memandangnya, namun Rena tak bisa lagi merasakan kehangatan yang dulu pernah hadir di antara mereka. Semua itu telah terkubur dalam waktu yang tak bisa diputar kembali. Apa yang mereka miliki dulu sudah hilang, tak tersisa. Hanya ada rasa sakit yang menganga di dalam hatinya.

“Saya tahu saya tak pantas memintamu untuk memaafkan,” ujar Ravindra dengan suara rendah. “Tapi aku ingin kau tahu, aku sangat menyesal. Aku sudah melakukan kesalahan besar, dan aku ingin memperbaikinya.”

Rena terdiam, menatap Ravindra dengan tatapan kosong. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti angin yang berlalu, tak menyentuh hatinya sedikit pun. Selama bertahun-tahun, ia mengasah dendam ini, mengingat setiap luka yang ditinggalkan, dan kini Ravindra muncul dengan penyesalan yang tak mampu mengubah apa pun.

“Saya tahu saya tak bisa mengubah masa lalu,” lanjut Ravindra, menunduk. “Tapi, saya ingin memperbaiki kesalahan itu. Saya ingin kita memulai lagi, jika kamu bersedia.”

Rena menahan napas. Bagaimana bisa dia memulai lagi setelah semua yang telah terjadi? Semua rasa sakit yang ditinggalkan, semua malam yang dia habiskan dalam kesendirian, bertanya-tanya apa yang salah, mengapa Ravindra memilih pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan? Apa yang bisa dia percayai dari kata-kata Ravindra sekarang?

Namun, meskipun hatinya memberontak, ada sebuah suara kecil dalam dirinya yang berkata, “Apa salahnya memberi kesempatan? Apa salahnya memberi ruang bagi perasaan yang dulu pernah ada?”

Itulah yang membuat Rena terjebak dalam dilema. Di satu sisi, ia merasa terlalu terluka untuk memaafkan, untuk membiarkan seseorang yang pernah menyakiti hatinya masuk kembali. Tapi di sisi lain, rasa sakit itu bukanlah sesuatu yang bisa dihindari selamanya. Mungkin, justru hanya dengan memaafkan, ia bisa benar-benar menyembuhkan dirinya.

“Saya tak tahu, Ravindra,” jawab Rena, suaranya bergetar. “Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku bisa memaafkanmu, bahwa kita bisa mulai lagi. Tapi, aku tak tahu apakah aku bisa.”

Ravindra menatapnya dengan harap, tapi juga dengan kesedihan yang mendalam. Ia tahu bahwa untuk memperbaiki kesalahan, tidak ada cara instan. Rena telah terluka begitu dalam, dan itu bukan sesuatu yang bisa diperbaiki dengan kata-kata manis. Namun, ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia serius.

“Saya tidak berharap untuk langsung mendapatkan jawaban, Rena,” katanya dengan suara yang lebih tenang. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku siap untuk berjuang. Aku siap untuk membuat segala sesuatunya menjadi benar. Jika kamu memberi aku kesempatan, aku akan menunjukkan bahwa aku bisa menjadi pria yang pantas untukmu.”

Rena menundukkan kepala, matanya terpejam sejenak. Setiap kata yang keluar dari mulut Ravindra seperti pisau yang mengiris hatinya. Namun, ia tahu, lebih dari sekadar dendam, dirinya juga rindu. Rindu akan cinta yang pernah ada, rindu pada kebahagiaan yang dulu dirasakannya. Semua itu kini terasa seperti kenangan yang semakin pudar, tapi juga semakin sulit untuk dilupakan.

Tiba-tiba, Arlan muncul dalam pikirannya. Pria yang selalu ada di sampingnya, memberikan dukungan tanpa pamrih. Arlan, yang selama ini memperhatikannya, yang selalu memberikan tempat untuk Rena, meskipun tidak pernah meminta apa pun sebagai balasan. Arlan yang selalu menjadi teman setia, meskipun ia tahu, Rena selalu terjebak dalam kenangan yang tak bisa dilupakan.

“Arlan selalu ada untukku,” gumam Rena dalam hati. “Tapi, apakah aku bisa memilih Arlan jika hatiku masih terikat dengan Ravindra?”

Perasaan yang begitu rumit ini membuat Rena hampir merasa tercekik. Di satu sisi, Arlan adalah pria yang bisa memberinya ketenangan dan kebahagiaan yang sejati. Namun di sisi lain, Ravindra adalah cinta pertamanya—seseorang yang pernah memberi harapan, meski kini penuh dengan luka. Mana yang harus dipilih? Mana yang bisa benar-benar memberikan kebahagiaan?

Rena merasakan panas di matanya, dan tanpa bisa menahan, air mata pun jatuh. Tangisan yang terpendam begitu lama akhirnya pecah. Semua perasaan yang dipendam, semua kebingungannya, semua ketidakpastian tentang pilihan yang harus diambil, semua itu meluap tanpa bisa dihentikan.

“Kenapa semuanya harus begitu sulit?” bisiknya, tak peduli lagi dengan siapa dia berbicara.

Ravindra terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Melihat Rena menangis membuat hatinya sakit. Ia ingin menyembuhkan luka yang telah ia sebabkan, namun ia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa menghapus penderitaan yang telah dialami Rena.

Rena menghapus air matanya, mencoba untuk menenangkan diri. “Aku harus memutuskan, bukan?” katanya perlahan. “Aku harus memutuskan apakah aku akan melanjutkan hidupku dengan dendam ini, atau dengan memaafkan dan memberi kesempatan pada cinta yang mungkin bisa tumbuh lagi.”

Semuanya terasa seperti pertarungan batin yang tak pernah berakhir. Memaafkan bukanlah hal yang mudah, apalagi ketika rasa sakit itu begitu mendalam. Namun, Rena tahu bahwa terus-menerus terjebak dalam dendam hanya akan membuatnya semakin jauh dari kebahagiaan sejati.

Ravindra menatapnya dengan penuh pengertian. “Apa pun keputusanmu, aku akan menerimanya, Rena. Aku hanya ingin kau bahagia.”

Namun, dalam hati Rena, jawabannya masih samar. Haruskah dia memaafkan dan memberi Ravindra kesempatan kedua, ataukah ia harus memilih untuk tetap berjalan bersama Arlan, yang sudah begitu lama setia menunggunya?

Kedua pilihan itu terasa seperti dua dunia yang berbeda, dan Rena tahu, apa pun yang dia pilih, tidak ada yang bisa menghapus luka di hatinya yang telah lama menganga. Namun, ia harus memilih, karena hidup tidak pernah memberi kesempatan untuk tetap berdiri di tempat yang sama selamanya.

BAB 7 Tangisan dalam Balasan Dendam

Rena berdiri di depan jendela kaca yang besar, menatap hujan yang turun dengan deras di luar. Setiap tetesan hujan yang mengalir seakan membawa kembali kenangan tentang masa lalu yang tak bisa ia lupakan. Bayangan Ravindra, pria yang dulu pernah ia cintai dengan sepenuh hati, muncul di pikirannya. Ia teringat bagaimana dulu, saat masih bersama, Ravindra adalah segala-galanya. Namun kini, ia hanya bisa merasakan sakit dan kemarahan yang mengubur perasaan itu dalam-dalam.

Perasaan itu, yang dulu penuh dengan cinta, kini berubah menjadi api dendam yang membara. Rena merasa setiap inci tubuhnya bergetar karena amarah yang tak terucapkan. Ravindra, dengan segala keluguan dan penyesalannya, mencoba untuk mendekatinya lagi, namun dia tak tahu bahwa hati Rena sudah jauh berubah. Rena tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang telah ditinggalkan, yang seolah melukai setiap detik kehidupannya.

Tiga hari yang lalu, mereka bertemu di kafe kecil, tempat yang selalu mereka kunjungi dulu. Pertemuan itu terasa aneh, penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Ravindra datang dengan wajah penuh penyesalan, sementara Rena berusaha menahan amarahnya. Ia ingin menunjukkan bahwa dia tidak peduli lagi dengan Ravindra, bahwa dia telah bisa hidup tanpa pria itu. Namun, hatinya, meskipun berusaha keras, tidak bisa begitu saja mengabaikan perasaan yang selama ini terkubur.

“Rena, aku minta maaf. Aku tahu aku telah menyakitimu, dan aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal,” kata Ravindra, suaranya serak dan penuh penyesalan.

Mendengar kata-kata itu, Rena merasa sesuatu dalam dirinya bergolak. Dendam yang ia pendam begitu lama kini terombang-ambing. Apa yang harus ia lakukan? Menerima permintaan maafnya dan membuka hati kembali untuknya, ataukah melanjutkan balas dendam yang sudah ia rencanakan dengan begitu matang?

Rena menatap Ravindra, mencoba untuk melihat apakah ada kejujuran dalam tatapan matanya. Namun, yang ia temukan hanya kebingungannya sendiri. Ia merasa bingung antara kemarahan yang membara dan cinta yang entah mengapa masih tersisa. “Kenapa sekarang? Setelah semua yang terjadi?” tanya Rena dengan suara serak, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.

Ravindra menghela napas dalam-dalam, menundukkan kepalanya. “Karena aku tahu aku telah salah. Aku tidak pernah mengerti betapa dalamnya luka yang aku sebabkan untukmu. Aku pergi tanpa alasan yang jelas, tanpa memberimu kesempatan untuk menjelaskan semuanya.”

Sakit. Itu yang Rena rasakan. Setiap kata yang keluar dari mulut Ravindra bagaikan pisau tajam yang mengiris hatinya. Kenapa harus seperti ini? Kenapa harus ada perasaan yang kembali muncul meskipun ia sudah berusaha keras menyingkirkannya?

Tiba-tiba, Rena teringat pada semua waktu yang telah hilang. Pada momen-momen kebahagiaan yang pernah mereka rasakan bersama, dan bagaimana semuanya hancur begitu saja ketika Ravindra memilih untuk meninggalkannya. Betapa sakitnya ia saat itu, saat ia mengetahui bahwa kekasihnya lebih memilih untuk pergi dan tidak memberi penjelasan apapun. Semua kebahagiaan itu, lenyap dalam sekejap. Dan kini, Ravindra berdiri di depannya, dengan penyesalan yang terlalu terlambat.

Akhirnya, setelah beberapa saat keheningan, Rena berbicara lagi, namun kali ini suara nya begitu berat. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Ravindra. Aku sudah terluka terlalu dalam. Aku telah membangun tembok di sekitar hatiku, dan aku tidak tahu apakah aku bisa meruntuhkannya lagi. Kau pergi begitu saja dan meninggalkan aku untuk menderita sendirian.”

Ravindra mengangguk, terlihat begitu menyesal. “Aku tahu. Aku tidak bisa mengubah masa lalu, Rena. Tapi aku ingin kita bisa mulai dari awal. Aku ingin menebus semua kesalahan yang telah aku perbuat.”

Rena menatapnya tajam. “Aku bukan alat untuk menebus dosamu, Ravindra. Aku juga bukan perempuan yang akan mudah kembali setelah dihancurkan. Kau tidak tahu betapa dalam luka ini.”

Perasaan yang bergolak di hati Rena kini mulai terasa sangat berat. Cinta yang dulu ada kini terasa seperti beban yang semakin menekan dadanya. Setiap pertemuan dengan Ravindra hanya membawa kebingungannya semakin dalam. Ia ingin melanjutkan rencananya untuk membalas dendam, tetapi di sisi lain, hatinya meronta untuk menyembuhkan luka itu, meskipun ia tahu itu berarti membuka pintu bagi lebih banyak rasa sakit.

Saat Rena duduk di depan cermin malam itu, dia menatap dirinya sendiri, seolah mencari jawaban atas segala kebingungannya. Tangisan yang sejak lama tertahan akhirnya pecah, mengalir tanpa bisa dihentikan. Dalam tangisannya, Rena merasakan betapa banyak luka yang telah ia pendam begitu lama. Dendam yang ia simpan begitu dalam kini mulai menggerogoti dirinya. Apakah balas dendam benar-benar akan memberi kepuasan? Apakah itu akan menghapuskan semua rasa sakit yang telah ia alami?

Air mata yang mengalir bukan hanya untuk Ravindra, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Untuk hati yang terluka, untuk impian yang hancur, dan untuk waktu yang hilang. Rena menyadari bahwa dendam hanya akan mengikatnya pada masa lalu, dan ia harus memutuskan apakah ia ingin terus terjebak dalam kebencian atau memberi kesempatan untuk melepaskan semuanya.

Malam itu, Rena membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya. Dendam yang ia simpan tidak akan menyembuhkan lukanya, dan meskipun masih ada rasa sakit yang begitu dalam, ia tahu bahwa jalan untuk pemulihan hanya bisa dimulai dengan pengampunan. Ravindra, meskipun sudah terlambat, mungkin bisa diberi kesempatan untuk menebus kesalahannya, tetapi Rena tahu bahwa yang lebih penting adalah menyembuhkan dirinya sendiri terlebih dahulu.

Dengan hati yang berat dan perasaan yang campur aduk, Rena menatap ke luar jendela, merasakan hujan yang terus turun, dan berharap bahwa esok hari akan membawa jawaban baru dalam hidupnya.

Source: DELA SAYFA
Tags: #cinta ku hncur #ku benci #aku tarauma#jngangan kembaki#SabarMenunggu
Previous Post

LUKA YANG KU NIKMATI

Next Post

ASMARA DI UJUNG DOSA

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
ASMARA DI UJUNG DOSA

ASMARA DI UJUNG DOSA

SELAMANYA MILIKMU

SELAMANYA MILIKMU

KUTITIPKAN HATI PADAMU

KUTITIPKAN HATI PADAMU

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id