Daftar Isi
Bab 1: Perpisahan yang Tak Terelakkan
Reza mendapatkan tawaran kerja impian di luar negeri, dan meski berat, ia memilih untuk pergi.
Lia berusaha tegar, tapi ada kekhawatiran yang tumbuh di hatinya.
1. Pengumuman yang Mengubah Segalanya
Malam itu, kafe tempat biasa mereka bertemu terasa lebih sepi dari biasanya. Hanya ada suara samar musik akustik yang mengalun pelan, menemani obrolan para pengunjung.
Lia menatap Reza di depannya dengan jantung berdebar. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang terasa berbeda.
“Ada yang ingin aku bicarakan,” kata Reza akhirnya, suaranya terdengar berat.
Lia menggigit bibir. Perasaannya mengatakan bahwa ini bukan pembicaraan biasa.
“Apa itu?” tanyanya hati-hati.
Reza menarik napas dalam sebelum menjawab, “Aku mendapat tawaran kerja di luar negeri, Li.”
Dunia Lia terasa berhenti sejenak.
“Kapan?” suaranya nyaris tak terdengar.
“Bulan depan.”
Bulan depan. Itu artinya hanya tersisa beberapa minggu sebelum Reza benar-benar pergi.
“Aku tahu ini mendadak,” lanjut Reza. “Tapi ini kesempatan yang sudah lama aku tunggu.”
Lia berusaha tersenyum, meskipun hatinya mulai terasa sesak.
“Aku ikut senang untukmu,” katanya, meski suara itu terasa getir.
Namun, ia tidak bisa mengabaikan pertanyaan yang menggelayut di pikirannya.
Bagaimana dengan kami?
2. Dilema yang Menyesakkan
Sejak malam itu, Lia tidak bisa tidur nyenyak.
Ia memahami bahwa ini adalah impian Reza, sesuatu yang telah diperjuangkan pria itu selama bertahun-tahun. Tapi bagian lain dari hatinya merasa takut—takut kehilangan, takut perasaan ini akan memudar seiring waktu.
Di sisi lain, Reza juga bergulat dengan pikirannya sendiri.
Ia tahu keputusannya akan menyakiti Lia, tapi ia juga tidak bisa mengorbankan impian yang selama ini ia bangun.
“Jadi, kalian akan LDR?” tanya Alya, sahabat Lia, saat mereka bertemu di apartemen.
Lia menghela napas. “Sepertinya begitu.”
“Kau yakin bisa?”
Lia terdiam.
Ia ingin percaya bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi jarak. Tapi di lubuk hatinya, ada ketakutan yang terus menghantuinya.
“Reza bukan tipe pria yang gampang berubah,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri.
Alya menatapnya lama sebelum menjawab, “Masalahnya bukan soal berubah atau tidak, tapi soal bagaimana kalian akan menjalani ini.”
Dan itu adalah pertanyaan yang bahkan Lia sendiri belum tahu jawabannya.
3. Hari-Hari Terakhir Bersama
Beberapa minggu sebelum keberangkatan Reza, mereka mencoba menghabiskan waktu bersama sebanyak mungkin.
Mereka pergi ke tempat-tempat favorit mereka—taman kota tempat mereka sering berjalan-jalan, kafe kecil yang menjadi saksi banyak cerita, dan pantai tempat mereka pertama kali menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta.
Namun, meski mereka tersenyum dan tertawa, ada kesedihan yang mengendap di antara mereka.
Lia mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Reza menatapnya lebih lama, cara pria itu menggenggam tangannya lebih erat, cara ia berusaha menciptakan kenangan yang lebih dalam seakan ingin memastikan bahwa Lia akan selalu mengingatnya.
Dan itu semakin membuatnya sadar bahwa perpisahan ini benar-benar akan terjadi.
Mereka tidak sedang berpisah karena perasaan yang memudar.
Mereka berpisah karena keadaan yang memaksa.
Dan itu jauh lebih menyakitkan.
4. Janji yang Terucap di Bandara
Hari keberangkatan itu akhirnya tiba lebih cepat dari yang mereka duga.
Di bandara, Lia berusaha menahan air matanya.
Reza berdiri di depannya, membawa koper besar dan ransel yang tergantung di pundaknya.
“Aku akan kembali,” katanya, mencoba meyakinkan.
Lia mengangguk, meskipun hatinya tahu bahwa “kembali” bisa berarti banyak hal.
“Aku percaya padamu,” katanya, suaranya sedikit bergetar.
Reza tersenyum, lalu menarik Lia ke dalam pelukan.
“Aku mencintaimu,” bisiknya.
Lia menutup matanya. “Aku juga.”
Namun, dalam hati mereka berdua, ada ketakutan yang tidak bisa mereka ungkapkan.
Apakah cinta ini cukup kuat untuk bertahan melawan waktu dan jarak?
Mereka tidak tahu jawabannya.
Yang mereka tahu hanyalah…
Mereka harus mencoba.
ia tidak pernah menyangka bahwa malam itu akan menjadi awal dari sesuatu yang menyakitkan.
Mereka duduk di kafe kecil favorit mereka, di sudut ruangan yang biasa mereka tempati setiap kali bertemu. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam ekspresi Reza.
Pria itu tampak ragu, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
“Lia,” akhirnya Reza membuka suara, menatapnya dengan mata penuh ketegangan.
“Hmm?” Lia mencoba tersenyum, meskipun ia bisa merasakan sesuatu yang tidak beres.
“Aku dapat tawaran kerja di Jerman.”
Lia mengerjapkan mata, mencoba memproses kata-kata itu.
“Jerman?” ulangnya pelan.
Reza mengangguk. “Ya. Sebuah perusahaan di sana menawariku kontrak kerja selama dua tahun.”
Dua tahun.
Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar.
Dua tahun berarti ratusan hari tanpa pertemuan, tanpa tatapan mata, tanpa genggaman tangan.
Lia terdiam, mencoba menyembunyikan gelombang emosi yang tiba-tiba memenuhi dadanya.
“Jadi… kamu akan pergi?”
Reza menatapnya dengan mata yang penuh rasa bersalah. “Aku belum tahu, tapi… ini kesempatan yang selama ini aku tunggu.”
Lia menunduk, memainkan ujung lengan sweaternya.
Ia tahu betapa keras Reza telah berjuang untuk mencapai titik ini. Betapa pria itu selalu berbicara tentang keinginannya bekerja di luar negeri, membangun karier yang lebih baik.
Tapi… kenapa harus sekarang?
Kenapa harus ketika semuanya terasa begitu nyaman di antara mereka?
“Kamu marah?” tanya Reza hati-hati.
Lia menggeleng. “Tidak, tentu saja tidak.”
Ia tidak bisa marah.
Karena cinta bukan hanya tentang menahan seseorang untuk tetap tinggal, tapi juga tentang mendukung impian mereka.
Meski, kadang, itu berarti harus melepasnya pergi.
Hari-hari setelah pembicaraan itu terasa seperti mimpi buruk bagi Lia.
Ia berusaha bersikap biasa saja setiap kali bersama Reza, mencoba menunjukkan bahwa ia mendukung keputusan pria itu. Tapi di dalam hatinya, ada ketakutan yang semakin besar.
LDR.
Dua huruf yang terdengar sederhana, tapi bisa menghancurkan banyak hubungan.
“Bukannya kamu sendiri yang selalu bilang cinta itu butuh usaha?” kata Alya saat Lia menceritakan kegelisahannya.
“Iya, tapi…” Lia menggigit bibir. “Jarak itu menakutkan, Aly. Bagaimana kalau kami jadi semakin jauh, bukan hanya secara fisik tapi juga secara perasaan?”
Alya menatapnya lama sebelum menjawab, “Jarak itu hanya akan jadi masalah kalau salah satu dari kalian berhenti berusaha.”
Dan itu membuat Lia semakin takut.
Bagaimana kalau mereka memang berhenti berusaha?
Mereka mencoba menghabiskan waktu bersama sebanyak mungkin sebelum hari keberangkatan Reza tiba.
Pergi ke tempat-tempat yang penuh kenangan, berbicara lebih lama di telepon, saling menggenggam tangan lebih erat seolah enggan melepas.
Tapi tidak peduli seberapa keras mereka mencoba menikmati waktu yang tersisa, bayangan perpisahan selalu membayangi.
Malam terakhir sebelum keberangkatan Reza, mereka duduk di tepi pantai, merasakan angin malam yang sejuk.
“Menurutmu, kita bisa melewati ini?” tanya Lia lirih.
Reza menatap langit berbintang, lalu kembali menatapnya.
“Aku percaya kita bisa,” jawabnya yakin.
“Tapi bagaimana kalau…”
Reza meletakkan jari telunjuknya di bibir Lia, menyuruhnya diam.
“Tidak ada ‘bagaimana kalau’,” katanya. “Kita hanya perlu percaya satu sama lain.”
Lia ingin percaya.
Tapi entah mengapa, hatinya masih terasa berat.
Hari keberangkatan itu tiba lebih cepat dari yang mereka duga.
Bandara dipenuhi orang-orang yang sibuk dengan perpisahan dan penyambutan. Lia berdiri di samping Reza, berusaha menahan air matanya.
Reza menatapnya dalam, lalu menggenggam tangannya erat.
“Aku akan kembali,” katanya pelan.
Lia mencoba tersenyum. “Aku akan menunggumu.”
Reza memeluknya erat, lalu menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya beranjak pergi.
Lia berdiri di sana, menyaksikan punggung pria yang dicintainya menjauh.
Dan saat itu juga, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh.
Jarak memang bukan akhir. Tapi, apakah mereka cukup kuat untuk melewati semua ini?
Bab 2: Awal dari Jarak
Lia dan Reza menjalani hubungan jarak jauh (LDR).
Awalnya semuanya berjalan baik, mereka masih sering berkomunikasi, meskipun perbedaan zona waktu menjadi tantangan.
Lia mulai merasa kesepian.
Bukan berarti ia tidak punya teman atau kesibukan, tapi ada ruang kosong di hatinya yang biasanya diisi oleh Reza.
Suatu hari, Dion—rekan kerjanya—mengajak makan siang bersama.
“Kamu kelihatan murung akhir-akhir ini,” kata Dion sambil menyeruput kopinya.
Lia tersenyum kecil. “Lagi adaptasi sama keadaan aja.”
“LDR?” tebak Dion.
Lia mengangguk.
Dion tertawa pelan. “Berat ya?”
Lia menatapnya. “Kamu pernah?”
“Ya, dan gak berhasil,” jawab Dion jujur. “Karena pada akhirnya, hubungan itu butuh kehadiran, gak cuma kata-kata.”
Lia terdiam.
Ia tahu bahwa hubungannya dengan Reza lebih kuat dari itu. Tapi… tetap saja, kata-kata Dion mengusiknya.
Apakah mereka cukup kuat untuk bertahan?
Lia mulai jarang menghubungi Reza terlebih dahulu.
Jika dulu ia selalu antusias mengabari kekasihnya, kini ada perasaan ragu setiap kali ingin mengirim pesan.
Bagaimana kalau Reza sibuk dan tidak sempat membalas?
Bagaimana kalau ia hanya akan kecewa lagi?
Di sisi lain, Reza juga mulai merasakan perubahan sikap Lia.
Suatu malam, ia akhirnya menghubungi Lia lebih dulu.
“Lia, ada yang berubah, ya?”
Lia terkejut mendengar pertanyaan itu.
“Enggak,” jawabnya cepat.
“Tapi aku ngerasa kamu mulai menjauh.”
Lia menggigit bibir. “Aku cuma… gak mau ganggu kamu.”
“Kenapa kamu berpikir begitu?”
Karena aku takut kecewa lagi.
Tapi kalimat itu hanya tertahan di dalam hati.
Reza menghela napas. “Kita bisa melewati ini, kan?”
Lia ingin berkata iya. Tapi entah kenapa, kata-kata itu sulit keluar.
Ia masih mencintai Reza, tapi jarak ini perlahan mengikis kepercayaannya.
Dan ia tidak tahu harus bagaimana.
Lia duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop tanpa benar-benar membaca isi email yang terbuka. Sudah tiga hari sejak Reza pergi, dan ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan ketidakhadiran pria itu.
Biasanya, ketika jam makan siang tiba, Reza akan mengirim pesan atau meneleponnya sebentar. Sekadar menanyakan apakah ia sudah makan atau berbagi cerita tentang harinya. Tapi sekarang, ponselnya sunyi.
Sesekali, Lia memeriksa notifikasi, berharap ada pesan dari Reza.
Tapi tidak ada.
Hanya grup kerja dan beberapa chat dari Alya.
“Kenapa sih, kamu dari tadi kayak nunggu sesuatu?” tanya Dion, rekan kerjanya, yang duduk di seberang meja.
Lia tersentak. “Enggak, cuma… nunggu email dari klien.”
Dion mengangkat alis, jelas tidak percaya. Tapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Lia menghela napas pelan.
Mungkin ini hanya soal waktu sebelum ia terbiasa dengan semua ini.
Tapi kapan?
Malam itu, Reza akhirnya menghubunginya lewat video call.
Lia bergegas mengangkat, rindu melihat wajah pria itu.
“Hei,” sapa Reza dengan senyum lelah.
“Hei,” balas Lia, berusaha terdengar ceria. “Gimana di sana?”
“Capek banget. Aku baru pulang dari kantor,” jawab Reza sambil meregangkan bahunya. “Hari ini kerjaan numpuk.”
Lia mengangguk. “Aku paham. Kamu makan apa tadi?”
Reza mengusap wajahnya. “Belum sempat makan, sih. Kayaknya nanti aja, aku udah terlalu capek buat keluar.”
Lia mengernyit. “Za, kamu harus makan. Jangan cuma kerja terus.”
“Aku tahu, Li. Tapi serius, aku udah gak ada tenaga buat cari makanan.”
Lia menggigit bibirnya. Dulu, kalau Reza terlalu sibuk untuk makan, ia bisa langsung mengantarkan makanan ke kantornya. Tapi sekarang, yang bisa ia lakukan hanyalah mengingatkan lewat layar ponsel.
Dan itu tidak cukup.
“Kamu baik-baik aja, kan?” tanya Reza, memperhatikan ekspresi Lia.
Lia tersenyum kecil. “Iya. Cuma kangen aja.”
Reza tersenyum tipis. “Aku juga.”
Mereka saling menatap lewat layar, merasakan jarak yang semakin nyata.
Dan entah kenapa, setelah panggilan itu berakhir, Lia merasa lebih kesepian daripada sebelumnya.
Beberapa minggu berlalu.
Lia mulai merasa bahwa hanya ia yang berusaha menjaga komunikasi mereka tetap berjalan.
Pesannya sering tidak segera dibalas. Teleponnya kadang diabaikan. Dan ketika akhirnya mereka berbicara, Reza lebih banyak terdengar lelah dan tidak fokus.
Suatu malam, Lia akhirnya tidak tahan lagi.
“Za, kita bisa bicara sebentar?” tanyanya lewat chat.
Reza baru membalas dua jam kemudian.
“Maaf, Li. Aku ketiduran habis pulang kerja. Besok aja, ya?”
Lia menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk.
Dulu, Reza selalu punya waktu untuknya. Tapi sekarang, ia merasa seperti sekadar seseorang yang harus ditunggu balasannya.
Apa ini wajar dalam LDR?
Atau ini tanda bahwa segalanya mulai berubah?
Dua hari kemudian, mereka akhirnya sempat berbicara lewat telepon.
Lia menghela napas dalam sebelum memulai.
“Za, aku tahu kamu sibuk. Tapi aku merasa kita makin jarang ngobrol.”
Reza terdiam sejenak. “Aku gak bermaksud ngejauh, Li. Tapi kerjaan di sini beneran bikin aku capek.”
“Aku ngerti,” kata Lia pelan. “Tapi aku juga butuh kamu, Za. Aku butuh tahu kalau kita masih ada di halaman yang sama.”
Reza menghela napas. “Jadi maksud kamu apa? Aku harus apa, Li? Aku udah berusaha.”
Lia terdiam.
Ia tidak ingin terdengar menuntut, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya sendiri.
“Enggak tahu,” jawabnya akhirnya. “Aku cuma… takut kehilangan kita.”
Hening.
Reza akhirnya berkata, “Aku juga, Li. Tapi kita harus percaya satu sama lain, kan?”
Lia menggigit bibirnya. Ia ingin percaya. Tapi rasa ragu itu terus menggerogoti hatinya.
Suatu sore, Dion mengajak Lia makan malam setelah kerja.
“Udah lama gak makan bareng, nih,” katanya santai.
Lia awalnya ragu, tapi akhirnya setuju.
Mereka makan di restoran dekat kantor. Dion selalu tahu bagaimana membuat obrolan menjadi ringan dan menyenangkan. Lia tertawa beberapa kali, merasa lebih nyaman daripada yang ia duga.
Tapi di tengah makan, ponselnya bergetar.
Reza menelepon.
Lia menatap layar beberapa detik sebelum akhirnya menekan tombol ignore.
Untuk pertama kalinya, ia tidak langsung menjawab telepon Reza.
Dan bagian kecil di hatinya merasa bersalah sekaligus… lega.
Ketika akhirnya Lia menelepon balik, Reza terdengar kesal.
“Kamu lagi di mana?” tanyanya langsung.
Lia ragu sejenak. “Lagi makan sama teman kantor.”
“Hmm… siapa?”
Lia bisa merasakan nada tidak suka dalam suara Reza. “Dion,” jawabnya jujur.
Reza terdiam beberapa detik sebelum berkata, “Oh.”
Hanya itu. Tidak ada pertanyaan lanjutan.
Tapi keheningan itu lebih menyakitkan daripada ribuan kata.
Lia bisa merasakan sesuatu berubah dalam hubungan mereka.
Dan ia takut, suatu hari nanti, mereka akan sampai di titik di mana tak ada lagi yang bisa diperjuangkan.
Bab 3: Ketidakpastian yang Mulai Menjalar
Komunikasi mulai renggang. Reza semakin sibuk dengan pekerjaannya, dan Lia merasa diabaikan.
Dion, rekan kerja Lia, mulai sering menemani dan memberi perhatian.
Lia duduk di kamarnya, menatap ponselnya dengan ekspresi kosong.
Sejak terakhir kali ia berbicara dengan Reza tentang komunikasi mereka yang semakin renggang, tidak banyak yang berubah. Reza masih sering sibuk, dan Lia masih sering merasa terabaikan.
Malam itu, Lia akhirnya menghubungi Reza lebih dulu.
Telepon tersambung, tapi butuh beberapa saat sebelum suara Reza terdengar.
“Halo?” suaranya terdengar lelah.
“Hai, kamu lagi apa?”
“Baru selesai kerja. Capek banget.”
Lia menggigit bibirnya. “Oh… Aku cuma mau ngobrol sebentar aja.”
Reza menghela napas. “Aku bisa dengar, tapi mungkin gak lama ya? Aku ngantuk banget.”
Seketika, Lia merasa bodoh karena telah berharap lebih.
“Yaudah, gak apa-apa. Istirahat aja,” katanya cepat.
Reza sepertinya menyadari perubahan nada suara Lia. “Lia, kamu kenapa?”
Lia menutup matanya. Apa aku harus bilang? Apa aku harus menahan ini sendirian?
“Aku cuma rindu,” jawabnya akhirnya, jujur.
Reza terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Aku juga.”
Tapi kenapa kalimat itu terdengar begitu hampa?
Di kantor, Dion mulai sering mengajak Lia berbincang.
Ia bukan tipe pria yang terang-terangan menggoda atau mencari perhatian, tapi kehadirannya terasa… menenangkan.
“Kamu kelihatan kurang bersemangat belakangan ini,” komentar Dion saat mereka duduk di pantry.
Lia hanya mengangkat bahu. “Biasa aja, kok.”
Dion menatapnya lekat-lekat. “Jarak itu berat, ya?”
Lia tidak langsung menjawab. Ia tahu yang dimaksud Dion adalah LDR-nya dengan Reza.
“Kadang,” jawabnya akhirnya.
Dion mengangguk pelan. “Aku paham.”
Mereka terdiam sejenak. Lalu Dion menambahkan, “Kalau suatu hari kamu butuh teman ngobrol, aku ada di sini.”
Kata-kata itu sederhana, tapi terasa begitu menghangatkan.
Dan entah kenapa, kehadiran Dion membuatnya merasa sedikit lebih dihargai dibandingkan perasaannya saat berbicara dengan Reza akhir-akhir ini.
Malam itu, Reza akhirnya menelepon Lia lebih dulu.
“Hai,” sapanya.
Lia tersenyum kecil. “Hai. Tumben nelpon?”
Reza terkekeh. “Aku kangen.”
Lia seharusnya merasa senang. Tapi entah kenapa, ada bagian kecil dalam dirinya yang bertanya: Benarkah? Atau ini hanya karena dia merasa bersalah?
Obrolan mereka mengalir sebentar sebelum akhirnya Reza bertanya dengan nada santai, “Oh ya, aku dengar kamu sering bareng Dion, ya?”
Lia membeku.
“Siapa yang bilang?” tanyanya hati-hati.
“Teman kantor kamu, kayaknya. Gak sengaja nyebut di grup chat.”
Lia menggigit bibirnya. “Iya, dia sering ngajak ngobrol. Kenapa?”
Reza terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Enggak, cuma penasaran aja.”
Tapi Lia bisa mendengar sesuatu di balik nada suaranya.
Ada sesuatu yang terasa… salah.
Sejak percakapan itu, sikap Reza mulai berubah.
Ia lebih sering menanyakan aktivitas Lia, bertanya dengan siapa ia pergi, bahkan sesekali mengomentari unggahan Instagram Lia jika ada teman laki-laki yang ikut berfoto.
“Siapa yang di sebelah kamu itu?” tanyanya suatu malam, merujuk pada foto yang diunggah Lia setelah acara makan malam kantor.
“Dion,” jawab Lia tanpa pikir panjang.
Sejenak, tidak ada balasan.
“Kamu sering banget sama dia sekarang, ya?”
Lia menghela napas. “Reza, Dion cuma teman. Aku gak ngerti kenapa kamu jadi kayak gini.”
“Karena aku gak di sana, Lia. Aku gak bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Lia merasa kesal sekaligus sedih. “Jadi kamu gak percaya sama aku?”
Reza terdiam, dan keheningan itu lebih menyakitkan daripada jawaban apa pun yang bisa ia berikan.
Hari-hari berikutnya, komunikasi mereka semakin aneh.
Reza masih menelepon, tapi sering kali terdengar datar. Lia masih mengirim pesan, tapi ia tahu jawabannya akan datang terlambat.
Mereka berdua sama-sama masih dalam hubungan ini, tapi rasanya seperti sedang bertahan hanya karena takut kehilangan, bukan karena masih ada kehangatan yang sama.
Dan itu membuat Lia bertanya-tanya.
Apa ini masih cinta?
Atau hanya kebiasaan yang sulit dilepaskan?
Suatu malam, setelah percakapan singkat yang terasa canggung, Lia menatap ponselnya dengan mata berkaca-kaca.
Ia mencintai Reza. Tapi jika terus begini, apakah hubungan mereka masih bisa bertahan?
Ia ingin percaya bahwa ini hanya fase. Bahwa semuanya akan membaik.
Tapi semakin lama, semakin ia merasa kehilangan sesuatu yang dulu ada di antara mereka.
Dan itu adalah sesuatu yang bahkan jarak tidak bisa sembunyikan: ketidakpastian.
Bab 4: Kepercayaan yang Goyah
Lia mulai merasa bimbang—apakah ia masih bisa mempertahankan hubungan ini?
Sebuah pesan dari Reza yang terlambat berjam-jam membuat Lia berpikir bahwa ia sudah bukan prioritas lagi.
Sementara itu, Dion mulai berani menunjukkan perasaannya.
Lia duduk di meja kerjanya, menatap ponsel dengan perasaan campur aduk. Sejak percakapan terakhir dengan Reza tentang Dion, pria itu menjadi lebih sering bertanya tentang kesehariannya.
Sejujurnya, Lia mulai merasa sedikit lelah.
Hari ini, Dion kembali mengajaknya makan siang.
“Kalau kamu gak sibuk, ikut aku makan yuk,” katanya dengan nada santai.
Lia ragu sejenak. Ia tahu jika Reza tahu tentang ini, pembicaraan mereka nanti malam bisa jadi berakhir dengan perdebatan.
Akhirnya, ia memutuskan untuk tidak memberi tahu Reza. Ini cuma makan siang. Tidak ada yang salah, kan?
Namun, ketika malamnya Reza bertanya, “Hari ini kamu makan sama siapa?” tanpa berpikir panjang, Lia menjawab, “Sendiri aja, aku lagi gak terlalu lapar tadi.”
Seketika setelah mengucapkan itu, ia merasa bersalah.
Tapi tetap saja, ia tidak mengoreksi ucapannya.
Dan di situlah kebohongan kecil pertama dimulai.
Hubungan mereka semakin terasa berubah.
Reza masih menghubunginya setiap malam, tapi obrolan mereka tidak lagi sehangat dulu. Terkadang, mereka hanya berbicara karena merasa harus, bukan karena benar-benar ingin.
“Besok kamu sibuk?” tanya Reza dalam salah satu panggilan mereka.
Lia menghela napas. “Kayaknya biasa aja, sih. Kenapa?”
“Aku mungkin gak bisa telepon malam besok. Ada kerjaan tambahan.”
Lia mengangguk, meskipun ia tahu Reza tidak bisa melihatnya. “Oh. Oke.”
Biasanya, ia akan bertanya lebih lanjut. Kenapa kerjaannya makin sibuk? Apa dia baik-baik saja? Tapi malam itu, ia tidak bertanya.
Dan Reza pun tidak mencoba menjelaskan.
Seolah mereka berdua diam-diam sepakat untuk membiarkan jarak itu semakin melebar.
Lia tidak bisa membohongi dirinya sendiri—Dion semakin menjadi bagian dari kesehariannya.
Bukan dalam arti romantis, tapi keberadaannya memberi kehangatan yang kini jarang ia dapatkan dari Reza.
Suatu sore, saat hujan turun deras, Dion menawarkan untuk mengantar Lia pulang.
“Udah malam. Aku antar, ya?”
Lia awalnya ingin menolak, tapi akhirnya mengangguk. “Makasih, Dion.”
Dalam perjalanan pulang, mereka berbicara tentang banyak hal—kerjaan, hobi, bahkan film yang mereka suka. Obrolan itu terasa ringan, tidak seperti percakapan Lia dan Reza yang kini dipenuhi ketegangan.
Ketika mobil Dion berhenti di depan rumahnya, pria itu tersenyum kecil.
“Kamu tahu, Lia… Aku senang bisa ngobrol sama kamu.”
Lia terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa takut. Takut bahwa perasaannya mulai berubah.
Keesokan harinya, Reza mengirim pesan lebih dulu, sesuatu yang jarang terjadi akhir-akhir ini.
“Kamu kemarin pulang jam berapa?”
Lia menatap pesan itu. Sejenak, ia ragu.
Akhirnya, ia membalas, “Biasa, kok. Abis magrib.”
Tidak sepenuhnya bohong, tapi juga tidak sepenuhnya jujur.
Namun, beberapa menit kemudian, Reza membalas dengan sesuatu yang membuat jantung Lia berdebar.
“Aku dengar Dion yang antar kamu pulang.”
Lia tercekat. Dari mana Reza tahu?
Tangannya gemetar saat mengetik balasan.
“Iya. Hujan deras kemarin, jadi dia nawarin. Aku gak mau nyusahin, tapi dia maksa.”
Butuh beberapa saat sebelum Reza membalas.
“Kenapa kamu gak cerita?”
Lia menggigit bibirnya. Kenapa aku gak cerita?
Mungkin karena aku tahu kamu gak akan suka, pikirnya dalam hati. Tapi itu bukan alasan yang bisa ia katakan.
“Aku lupa,” balasnya singkat.
Dan dari sana, semuanya mulai terasa semakin salah.
Dua hari kemudian, saat panggilan telepon mereka akhirnya tersambung setelah berbagai pesan yang hanya dibalas singkat oleh Reza, Lia bisa merasakan ketegangan di antara mereka.
“Jujur aja, Lia,” kata Reza akhirnya. “Apa menurut kamu kita masih sama-sama berusaha?”
Lia tersentak.
“Apa maksud kamu?”
“Rasanya kita udah beda banget. Aku gak tahu… Aku cuma merasa kayak kamu mulai menarik diri.”
Lia ingin menyangkal, tapi di lubuk hatinya, ia tahu bahwa Reza tidak salah.
“Aku gak bermaksud begitu, Za,” bisiknya.
“Tapi kamu udah gak cerita banyak hal ke aku.”
“Kamu juga,” balas Lia cepat. “Kapan terakhir kali kamu benar-benar cerita tentang harimu ke aku? Kapan terakhir kali kita ngobrol tanpa merasa ada yang salah?”
Hening.
Akhirnya, Reza menghela napas. “Jadi ini salahku?”
Lia menutup matanya. “Bukan, Za… Aku cuma—aku gak tahu harus bagaimana.”
“Dan Dion?” suara Reza terdengar lebih dingin dari sebelumnya. “Apa kamu lebih nyaman cerita ke dia sekarang?”
Lia terdiam.
Karena untuk pertama kalinya, ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan pasti.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak mereka memulai hubungan, mereka menutup telepon tanpa mengucapkan “Aku sayang kamu” seperti biasa.
Dan keheningan setelahnya terasa lebih menyakitkan daripada ribuan kata yang pernah mereka ucapkan.
Lia menatap layar ponselnya, merasa perutnya mual karena gugup dan takut.
Apakah ini awal dari akhir mereka?
Atau hanya satu lagi ujian yang harus mereka lalui?
Lia tidak tahu.
Yang ia tahu hanyalah satu hal—kepercayaan di antara mereka sudah mulai goyah, dan mungkin tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu lagi.
Bab 5: Perasaan yang Tak Terucap
Reza merasa ada yang berubah dari Lia, tapi tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Lia mulai sadar bahwa perhatian Dion hanya sebatas pelarian dari kerinduannya terhadap Reza.
Alya memberi nasihat tajam kepada Lia tentang arti kesetiaan dan keputusan yang harus ia ambil.
1. Sebuah Kebiasaan yang Mulai Hilang
Lia duduk di pinggir tempat tidurnya, menatap ponsel yang diam di tangannya.
Dulu, sebelum tidur adalah waktu favoritnya dan Reza. Mereka selalu menyempatkan diri untuk saling mengucapkan selamat malam, bahkan jika hari mereka sibuk.
Tapi kini, kebiasaan itu mulai pudar.
Sejak percakapan terakhir mereka, Reza tidak lagi mengirim pesan lebih dulu. Jika Lia tidak memulai, maka obrolan mereka hanya akan berisi balasan singkat yang terasa lebih seperti formalitas daripada obrolan penuh cinta seperti dulu.
Dan itu menyakitkan.
Malam itu, Lia mengetik pesan: “Selamat malam, Za. Jangan lupa istirahat, ya.”
Ia ragu selama beberapa detik sebelum akhirnya mengirimnya.
Namun, berjam-jam berlalu tanpa balasan.
Dan untuk pertama kalinya, Lia tidur tanpa pesan selamat malam dari Reza.
2. Dion yang Semakin Hadir
Lia mulai menyadari satu hal—Dion selalu ada saat ia merasa kesepian.
Pria itu tidak pernah bertanya hal-hal sulit seperti “Apa kamu baik-baik saja?” atau “Kamu dan Reza masih sering bertengkar?”
Sebaliknya, ia menawarkan kehangatan dalam bentuk sederhana: candaan ringan, perhatian kecil, dan obrolan yang terasa nyaman tanpa tekanan.
Suatu sore, saat Lia terlihat murung di kantor, Dion menatapnya dengan alis berkerut.
“Kamu butuh sesuatu yang manis,” katanya, lalu tanpa menunggu jawaban, ia menyodorkan cokelat yang baru saja dibelinya.
Lia menatapnya, terkejut. “Dion, kamu gak perlu—”
“Tapi aku mau,” potong Dion sambil tersenyum.
Lia merasakan sesuatu di dadanya bergetar.
Dan itu adalah sesuatu yang tidak seharusnya ia rasakan.3. Kata-Kata yang Tak Pernah Terucap
Beberapa hari berlalu, dan akhirnya Reza menelepon lebih dulu.
Lia menjawab dengan ragu.
“Halo,” suaranya terdengar pelan.
“Hai,” jawab Reza. Sejenak, mereka hanya terdiam.
Lia ingin berkata, Aku kangen. Aku merasa kehilangan kamu. Aku ingin semuanya kembali seperti dulu.
Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah, “Kamu sibuk, ya?”
Reza menghela napas. “Iya, banyak kerjaan.”
Dan obrolan mereka berakhir begitu saja.
Di dalam hati, mereka berdua ingin mengungkapkan lebih banyak.
Tapi keegoisan, ketakutan, dan kebiasaan menahan diri membuat mereka memilih diam.
Dan perasaan yang tidak terucapkan itu perlahan menjadi jurang yang semakin dalam.
4. Kesempatan yang Salah
Suatu malam, Dion mengajak Lia makan malam setelah kerja.
Awalnya, Lia ingin menolak. Tapi melihat betapa kosongnya ponselnya—tanpa pesan dari Reza—ia akhirnya berkata, “Oke.”
Mereka makan di sebuah kafe kecil, berbicara tentang hal-hal ringan, tertawa tanpa beban.
Namun, saat Dion menatap Lia dengan ekspresi serius, perutnya mendadak berdebar.
“Lia…”
Lia menelan ludah. “Hmm?”
“Aku gak tahu apa yang terjadi antara kamu dan Reza. Aku juga gak mau ikut campur.” Dion terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Tapi aku cuma mau bilang… Kalau suatu hari kamu lelah menunggu sesuatu yang gak pasti, aku ada di sini.”
Lia merasa dadanya sesak.
Ia tahu Dion menyukainya.
Dan bagian kecil dalam dirinya bertanya-tanya—bagaimana jika aku membiarkan diri untuk melihat Dion sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar teman?
Tapi kemudian, wajah Reza muncul dalam benaknya.
Dan ia sadar, meskipun hubungannya kini penuh luka, hatinya masih belum bisa berpaling.
5. Kejujuran yang Terlambat
Malam itu, setelah sampai di rumah, Lia akhirnya menghubungi Reza lebih dulu.
“Aku kangen kamu,” ucapnya lirih.
Reza terdiam.
“Aku juga,” jawabnya akhirnya.
“Tapi kenapa rasanya kayak kita makin jauh, Za?”
Lia berharap Reza akan membantah, mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Tapi pria itu justru berkata, “Aku gak tahu, Lia… Aku juga merasakannya.”
Sejenak, hanya ada keheningan di antara mereka.
“Kalau kita masih saling sayang, kenapa kita kayak gini?” tanya Lia, suaranya bergetar.
Reza tidak langsung menjawab.
Dan jawaban yang terlambat itu terasa lebih menyakitkan daripada apa pun.
6. Ketidakpastian yang Menyakitkan
Setelah percakapan itu, hubungan mereka terasa lebih rapuh dari sebelumnya.
Mereka masih bersama, tapi lebih sering merasa seperti orang asing.
Dan di dalam hati masing-masing, mereka mulai bertanya-tanya—apakah cinta saja cukup untuk membuat mereka tetap bertahan?
Bab 6: Kembali atau Melepaskan?
Reza akhirnya menyadari bahwa Lia mulai menjauh.
Ia memutuskan mengambil cuti dan pulang untuk menemui Lia.
Sebuah percakapan mendalam terjadi antara mereka—mengungkapkan semua rasa sakit, keraguan, dan harapan yang selama ini dipendam.
Lia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Sudah tiga hari sejak percakapan terakhirnya dengan Reza, dan mereka belum saling menghubungi lagi.
Biasanya, meskipun sedang bertengkar, salah satu dari mereka pasti akan mengalah. Tapi kali ini, keduanya memilih diam.
Malam itu, setelah menimbang-nimbang cukup lama, Lia akhirnya menghubungi Reza lebih dulu.
Saat panggilan tersambung, ada jeda beberapa detik sebelum suara Reza terdengar. “Halo?”
“Lagi apa?” tanya Lia pelan.
Reza menghela napas. “Kerja. Kamu?”
“Aku cuma… Aku gak tahu, Za. Aku gak suka kita kayak gini.”
Sejenak, tidak ada jawaban.
Lalu akhirnya, Reza berkata, “Aku juga gak suka, Lia. Tapi aku juga gak tahu harus gimana.”
Lia menutup matanya. “Kita gak bisa terus kayak gini, kan?”
“Aku tahu.”
Dan keheningan yang kembali hadir membuat Lia sadar—percakapan ini mungkin akan menjadi titik balik bagi hubungan mereka.
Mereka harus memutuskan. Kembali atau melepaskan?
Beberapa hari setelahnya, Lia mencoba menghindari memikirkan Reza dengan menyibukkan diri di kantor.
Tapi itu sulit.
Setiap sudut kotanya mengingatkannya pada pria itu—tempat mereka sering makan bersama, jalanan yang pernah mereka lalui sambil bergandengan tangan, bahkan lagu-lagu yang biasa mereka dengarkan di mobil Reza.
Sore itu, saat hujan turun, Lia tanpa sadar mengambil ponselnya dan melihat foto-foto lama mereka.
Ada satu foto di mana Reza tersenyum lebar, menatapnya penuh cinta.
Lia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata.
Kenapa cinta yang dulu terasa begitu indah kini berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan?
Sementara itu, Dion masih berada di sekelilingnya.
Lia bisa merasakan perhatian pria itu semakin nyata. Ia selalu ada, selalu mencoba membuatnya tersenyum.
Namun, Lia juga tahu bahwa tidak adil baginya untuk berpaling hanya karena ia sedang merasa kesepian.
Suatu malam, Dion memberanikan diri untuk bertanya.
“Lia, aku gak akan maksa kamu buat cerita. Tapi aku cuma mau tahu satu hal…”
Lia menatapnya, menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Kalau seandainya kamu akhirnya benar-benar selesai sama Reza… apa ada kemungkinan buat aku?”
Lia terdiam.
Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Karena di dalam hatinya, ia masih belum bisa benar-benar melepaskan Reza. Reza yang Mulai Berubah
Di sisi lain, Reza juga sedang berada dalam dilema.
Ia sadar bahwa hubungannya dengan Lia tidak lagi sama. Tapi di saat yang sama, ia juga tidak ingin kehilangan Lia.
Suatu malam, setelah lama berpikir, ia akhirnya mengetik pesan.
“Kita bisa ketemu?”
Lia melihat pesan itu dan merasakan dadanya berdebar.
Ia tahu, ini adalah momen yang akan menentukan segalanya.
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang dulu sering mereka kunjungi.
Ketika Lia tiba, Reza sudah ada di sana, duduk dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Aku kangen,” kata Lia, tanpa basa-basi.
Reza menatapnya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lia melihat kehangatan di matanya. “Aku juga.”
“Tapi apa itu cukup?”
Lia terdiam.
Reza melanjutkan, “Aku gak mau kita terus begini, Lia. Aku gak mau kita bertahan cuma karena kita takut kehilangan sesuatu yang sudah gak sama lagi.”
Lia menelan ludah. “Jadi… kamu mau kita berpisah?”
Reza menatapnya dalam-dalam. “Aku gak tahu. Tapi aku juga gak mau hubungan kita jadi sesuatu yang menyakitkan buat kita berdua.”
Dan di saat itu, Lia menyadari sesuatu.
Mungkin cinta mereka masih ada.
Tapi terkadang, cinta saja memang tidak cukup.. Pilihan yang Harus Diambil
Malam itu, mereka berbicara lebih lama dari yang mereka bayangkan.
Mereka mengenang masa-masa indah, mengakui kesalahan masing-masing, dan mencoba memahami apa yang sebenarnya mereka inginkan.
Dan akhirnya, setelah sekian lama berusaha mencari jawaban, mereka akhirnya tahu harus memilih apa.
Bab 7: Jarak Bukan Akhir
Lia menyadari bahwa bukan jarak yang membuat mereka jauh, tetapi komunikasi yang buruk.
Reza berjanji untuk lebih terbuka dan berusaha lebih keras dalam hubungan ini.
Mereka memutuskan untuk tetap bertahan dan mencari cara agar hubungan ini bisa terus berjalan, meski dengan tantangan.
Setelah percakapan yang panjang dengan Reza, Lia merasa ada kelegaan sekaligus ketakutan dalam dirinya.
Mereka sepakat untuk tetap bersama, tapi juga menyadari bahwa hubungan mereka tidak bisa kembali seperti dulu begitu saja.
Jarak bukan hanya soal fisik, tapi juga soal hati.
Dan kini, mereka harus mencari cara untuk menyeberangi jarak itu.
Sejak pertemuan mereka, Reza mulai berubah.
Ia tidak lagi sepasif sebelumnya. Ia mulai mengirim pesan lebih sering, mengajak Lia bicara meski hanya untuk hal-hal kecil.
Suatu pagi, saat Lia baru saja membuka matanya, sebuah pesan masuk dari Reza.
“Pagi. Jangan lupa sarapan.”
Pesan sederhana itu membuat Lia tersenyum.
Ia tahu, ini adalah cara Reza menunjukkan bahwa ia ingin memperbaiki semuanya.
Tapi di dalam hatinya, ia masih bertanya-tanya—apakah ini cukup?
Meski Reza sudah mulai berusaha, Lia masih merasakan sesuatu yang mengganjal.
Ia takut jika usaha ini hanya sementara, bahwa suatu hari mereka akan kembali ke pola lama—saling menyakiti dalam diam.
Suatu malam, setelah seharian sibuk di kantor, Lia merasa sangat lelah.
Ketika Reza menelepon, ia hampir tidak mengangkatnya.
Tapi pada akhirnya, ia menekan tombol hijau.
“Halo,” suara Reza terdengar di ujung sana.
“Halo,” jawab Lia, suaranya terdengar datar.
“Kamu kenapa?”
Lia terdiam sejenak sebelum berkata, “Aku capek, Za.”
“Banyak kerjaan?”
“Bukan. Aku capek sama kita.”
Sejenak, hanya ada keheningan.
“Jadi kamu mau kita berhenti?” tanya Reza akhirnya.
Lia menutup matanya. “Bukan itu maksudku. Aku cuma… Aku gak mau kita balik ke pola lama. Aku gak mau kita berusaha cuma karena takut kehilangan satu sama lain, tapi di dalam hati kita tahu kalau kita sebenarnya sudah tidak sama lagi.”
Reza menghela napas. “Aku ngerti. Aku juga gak mau kayak gitu.”
Lalu, dengan suara yang lebih lembut, ia bertanya, “Kalau gitu, kita harus gimana?”
Beberapa hari setelah percakapan itu, Lia dan Reza mulai mencoba pendekatan yang berbeda dalam hubungan mereka.
Mereka tidak lagi memaksakan untuk selalu menghubungi satu sama lain setiap saat.
Mereka belajar untuk memberi ruang—tapi tetap ada.
Mereka belajar untuk berbicara jujur, meskipun itu berarti harus mendengar hal-hal yang menyakitkan.
Dan yang paling penting, mereka belajar bahwa hubungan bukan hanya soal bertahan, tapi juga soal terus berusaha.
Suatu hari, sebuah proyek besar di kantor membuat Reza harus pergi ke luar kota selama beberapa minggu.
Ini pertama kalinya mereka akan berjauhan dalam waktu yang cukup lama setelah segala masalah yang mereka lalui.
“Aku takut,” kata Lia sebelum Reza pergi.
Reza menggenggam tangannya. “Aku juga.”
“Tapi kita udah janji, kan? Kita gak akan membiarkan jarak jadi akhir dari kita.”
Lia menatapnya, lalu mengangguk.
Dan di saat itu, ia merasa yakin bahwa mereka bisa melewati ini bersama.
Selama Reza pergi, mereka tetap berkomunikasi—tidak berlebihan, tapi cukup untuk memastikan bahwa mereka masih ada satu sama lain.
Mereka belajar bahwa kehadiran tidak selalu berarti harus dekat secara fisik.
Kadang, mengetahui bahwa ada seseorang di ujung sana yang masih peduli, masih mau berusaha, itu sudah cukup.
Dan ketika akhirnya Reza kembali, Lia menyadari satu hal.
Mereka telah berubah.
Mereka tidak lagi sama seperti dulu—dan itu tidak masalah.
Karena kini mereka tahu, sejauh apa pun mereka terpisah, jarak tidak akan pernah menjadi akhir bagi mereka.***