Daftar Isi
- BAB 1 :Langit yang Sama, Jarak yang Berbeda
- BAB 2 : Rindu yang Tak Pernah Usai
- BAB 3 : Tanda-Tanda yang Tak Terbaca
- BAB 4 : Antara Percaya dan Curiga
- BAB 5 : Luka yang Tak Terucap
- BAB 6 : Hening yang Menyakitkan
- BAB 7 : Mencari Jawaban
- BAB 8 : Kejujuran yang Terlambat
- BAB 9 : Di Antara Jarak dan Luka
- BAB 10 :Akhir yang Kita Pilih
BAB 1 :Langit yang Sama, Jarak yang Berbeda
Naya dan Raka sudah tiga tahun menjalani hubungan jarak jauh. Mereka saling menguatkan, meski rindu seringkali menyiksa. Naya bekerja sebagai penulis lepas di Jakarta, sedangkan Raka mengejar kariernya di Bandung. Mereka percaya bahwa cinta akan selalu menemukan jalannya.
Malam itu, langit di Jakarta begitu cerah. Cahaya bulan membentuk siluet samar di antara gemerlap lampu kota. Dari jendela apartemen kecilnya, Naya menatap langit, mencari ketenangan dalam kelamnya malam. Di kejauhan, suara kendaraan berbaur dengan nyanyian jangkrik dari taman kota yang tak jauh dari tempatnya tinggal. Di tangannya, ponsel yang masih terbuka menampilkan pesan terakhir dari Raka—sebuah pesan singkat yang sudah beberapa jam lalu dikirim.
“Maaf, Nay. Aku ketiduran. Besok kita telepon, ya?”
Naya menghela napas pelan. Ada perasaan yang sulit diungkapkan, semacam kerinduan yang perlahan berubah menjadi ketakutan. Ia mengerti bahwa Raka sibuk dengan pekerjaannya di Bandung. Pria itu sedang dalam masa-masa sibuk membangun kariernya di perusahaan arsitektur ternama. Tapi tetap saja, rindu tidak mengenal alasan. Rindu hanya tahu bagaimana caranya menyiksa.
Sejak Raka pindah ke Bandung setahun lalu, hubungan mereka berubah. Dulu, mereka bisa bertemu kapan saja. Kini, jarak menjadi tembok besar yang memisahkan. Video call yang dulu terasa menyenangkan kini berubah menjadi obrolan singkat yang sering kali diakhiri dengan alasan lelah atau pekerjaan yang menumpuk.
Naya menarik selimutnya, mencoba mengabaikan perasaan itu. Namun pikirannya tetap melayang ke saat-saat mereka masih bersama di Jakarta. Dulu, setiap akhir pekan Raka selalu mengajaknya makan malam di tempat favorit mereka. Dulu, Raka selalu memastikan Naya pulang dengan selamat. Sekarang, perhatian itu perlahan memudar, tergantikan dengan jeda panjang dalam percakapan dan janji-janji yang sering kali tidak ditepati.
Di sisi lain, Raka duduk di mejanya, menatap layar laptop dengan mata yang sudah terasa berat. Ia benar-benar kelelahan. Proyek baru di kantornya menyita hampir seluruh waktunya. Ia ingin menelepon Naya, ingin mendengar suaranya, tapi tubuhnya menolak. Setelah mengirim pesan singkat, ia langsung terlelap, tanpa menyadari bahwa di sudut kota lain, seseorang sedang menunggu suaranya.
Naya terbangun dengan kantung mata yang sedikit membengkak. Ia tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan. Ia memutuskan untuk memulai harinya dengan sibuk, berharap kesibukan bisa mengusir kegelisahannya. Namun, saat ia melihat pasangan-pasangan yang berjalan beriringan di kafe tempatnya bekerja, hatinya kembali terasa kosong.
“Kenapa murung?” tanya Tara, sahabatnya yang juga rekan kerjanya di kafe tersebut.
Naya tersenyum tipis. “Enggak apa-apa, cuma lagi kepikiran.”
Tara mengernyit. “Raka lagi?”
Naya mengangguk pelan. Ia tahu betul bahwa Tara selalu bisa menebak isi hatinya.
“Kalian sudah bicara serius soal ini?”
Naya menggeleng. “Aku nggak mau jadi cewek yang terlalu menuntut.”
Tara mendesah. “Tapi kamu nggak bisa terus kayak gini, Nay. Hubungan jarak jauh itu nggak cuma soal menunggu dan memahami, tapi juga soal komunikasi. Kalau kamu terus memendam perasaan, nanti malah jadi bom waktu.”
Kata-kata Tara benar. Naya sadar bahwa ada yang berubah dalam hubungannya dengan Raka, tapi ia tidak tahu bagaimana cara membicarakannya tanpa terlihat seperti orang yang selalu mengeluh. Apakah Raka juga merasakan hal yang sama? Atau hanya dirinya yang terus merasa kehilangan sedikit demi sedikit?
Malamnya, Naya akhirnya memberanikan diri untuk menelepon Raka. Butuh beberapa dering sebelum suara pria itu akhirnya terdengar di seberang sana.
“Halo, Nay…” Suara Raka terdengar serak, seperti baru saja bangun tidur.
“Kamu masih sibuk?” tanya Naya hati-hati.
“Aku baru selesai kerja. Lelah banget,” jawab Raka sambil menguap.
Naya menggigit bibirnya. “Aku kangen.”
Sejenak, hanya ada keheningan. Naya bisa mendengar napas Raka yang berat di seberang sana.
“Aku juga, Nay,” jawabnya akhirnya. “Tapi kita harus kuat, kan?”
Naya ingin percaya pada kata-kata itu. Tapi mengapa semakin hari rasanya semakin sulit?
Mereka masih berada di bawah langit yang sama, tetapi mengapa jarak terasa semakin jauh?
Naya terbangun dengan kantung mata yang sedikit membengkak. Ia tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan. Ia memutuskan untuk memulai harinya dengan sibuk, berharap kesibukan bisa mengusir kegelisahannya. Namun, saat ia melihat pasangan-pasangan yang berjalan beriringan di kafe tempatnya bekerja, hatinya kembali terasa kosong.
“Kenapa murung?” tanya Tara, sahabatnya yang juga rekan kerjanya di kafe tersebut.
Naya tersenyum tipis. “Enggak apa-apa, cuma lagi kepikiran.”
Tara mengernyit. “Raka lagi?”
Naya mengangguk pelan. Ia tahu betul bahwa Tara selalu bisa menebak isi hatinya.
“Kalian sudah bicara serius soal ini?”
Naya menggeleng. “Aku nggak mau jadi cewek yang terlalu menuntut.”
Tara mendesah. “Tapi kamu nggak bisa terus kayak gini, Nay. Hubungan jarak jauh itu nggak cuma soal menunggu dan memahami, tapi juga soal komunikasi. Kalau kamu terus memendam perasaan, nanti malah jadi bom waktu.”
Kata-kata Tara benar. Naya sadar bahwa ada yang berubah dalam hubungannya dengan Raka, tapi ia tidak tahu bagaimana cara membicarakannya tanpa terlihat seperti orang yang selalu mengeluh. Apakah Raka juga merasakan hal yang sama? Atau hanya dirinya yang terus merasa kehilangan sedikit demi sedikit?
Malamnya, Naya akhirnya memberanikan diri untuk menelepon Raka. Butuh beberapa dering sebelum suara pria itu akhirnya terdengar di seberang sana.
“Halo, Nay…” Suara Raka terdengar serak, seperti baru saja bangun tidur.
“Kamu masih sibuk?” tanya Naya hati-hati.
“Aku baru selesai kerja. Lelah banget,” jawab Raka sambil menguap.
Naya menggigit bibirnya. “Aku kangen.”
Sejenak, hanya ada keheningan. Naya bisa mendengar napas Raka yang berat di seberang sana.
“Aku juga, Nay,” jawabnya akhirnya. “Tapi kita harus kuat, kan?”
Naya ingin percaya pada kata-kata itu. Tapi mengapa semakin hari rasanya semakin sulit?
Mereka masih berada di bawah langit yang sama, tetapi mengapa jarak terasa semakin jauh?
Malam kembali menyelimuti kota, dan Naya masih terjaga, menatap langit yang sama dengan Raka. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, banyak ketakutan yang ingin ia bagi. Namun, kata-kata itu selalu tertahan, mengendap dalam pikirannya yang penuh tanya. Ia menggenggam ponselnya lebih erat, berharap ada pesan lain dari Raka, sesuatu yang bisa sedikit menenangkan hatinya.
Tapi tidak ada. Hanya kesunyian yang menemani.
Di Bandung, Raka duduk di balkon kecil apartemennya. Ia menatap langit yang sama, mencoba mengabaikan rasa bersalah yang perlahan menyusup ke hatinya. Ia tahu Naya menunggu, tapi ia juga tidak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu yang berubah di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan lagi. Tapi apakah ia siap untuk mengatakannya?
Jarak tidak hanya menciptakan rindu. Jarak juga menumbuhkan keraguan.*
BAB 2 : Rindu yang Tak Pernah Usai
Komunikasi mereka mulai terasa berbeda. Dulu, setiap malam Raka selalu menyempatkan waktu untuk menelepon, tetapi kini, pesan Naya sering dibalas singkat atau bahkan terlupakan. Apakah Raka masih memiliki rasa yang sama?
Hujan turun dengan derasnya sore itu, mengetuk-ngetuk jendela kamar Lia dengan irama yang nyaris seperti melodi yang menyayat hati. Perempuan itu duduk di tepi ranjang, menatap ke luar dengan tatapan kosong. Setiap tetes air yang jatuh dari langit seperti membawa pulang kenangan yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam.
Kenangan tentang dia.
Raka.
Nama itu masih bergema di sudut hatinya, meskipun ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk melupakan. Sudah berbulan-bulan sejak kepergian Raka, namun jejaknya masih begitu nyata. Bayangannya masih lekat dalam ingatan, tawa renyahnya, suara lembutnya saat mengucapkan janji yang kini entah masih berlaku atau tidak.
Lia menghela napas panjang, matanya menerawang ke langit yang gelap. Rindu ini tak pernah benar-benar pergi, hanya bersembunyi di sudut hati yang paling dalam, menunggu saat yang tepat untuk kembali menyiksa.
Seharusnya, aku sudah bisa melupakan dia.
Namun, bagaimana mungkin jika setiap hal kecil yang ada di sekitarku selalu mengingatkanku pada dia? Lagu yang pernah kami dengarkan bersama, aroma kopi hitam yang dulu menjadi favoritnya, bahkan bangku kayu di taman kota yang selalu menjadi tempat kami menghabiskan sore.
Lia menutup matanya, membiarkan kenangan kembali menyeruak.
Tiga tahun yang lalu…
Sore itu, langit berwarna jingga, menandakan senja yang sebentar lagi akan berganti malam. Lia duduk di bangku taman dengan segelas es kopi di tangannya. Sesekali, ia mengayunkan kakinya ke depan dan ke belakang, sementara pandangannya tak lepas dari sosok yang duduk di sampingnya.
Raka, dengan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana jeans birunya, terlihat begitu santai. Ia menyesap kopi hitam dari gelas plastiknya, lalu tersenyum kecil.
“Kamu tahu, Lia?” Raka memecah keheningan.
“Hm?” Lia menoleh, menatap wajahnya yang begitu teduh.
“Kalau ada kehidupan setelah mati, aku ingin tetap mencintaimu di kehidupan itu juga.”
Lia tertawa kecil. “Kamu mulai lagi dengan kata-kata romantismu yang berlebihan itu.”
Raka terkekeh, lalu menggeleng. “Aku serius.”
Lia menatapnya lama, mencoba membaca kesungguhan dalam tatapannya. Ada sesuatu yang berbeda di mata Raka sore itu, sesuatu yang membuatnya merasakan kegelisahan yang aneh.
“Kamu kenapa?” tanya Lia, mencoba mencari tahu.
Raka terdiam sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya ke langit yang mulai gelap. “Nggak ada apa-apa. Aku cuma ingin kamu tahu, kalau apa pun yang terjadi nanti, kamu harus tetap bahagia.”
Hati Lia mencelos. Kalimat itu terdengar seperti sebuah perpisahan.
Tapi saat itu, ia terlalu naif untuk menyadarinya.
Lia mengusap wajahnya, mencoba menghapus jejak air mata yang sudah berlinang sejak tadi. Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi kenangan itu masih terasa begitu nyata, seakan baru terjadi kemarin.
Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang. Jemarinya dengan ragu membuka galeri foto, lalu menggulirkan layar hingga menemukan sebuah foto lama.
Foto itu diambil pada hari terakhir mereka bersama.
Raka tersenyum lebar, sementara Lia bersandar di pundaknya, tertawa tanpa beban. Mereka terlihat begitu bahagia, seakan dunia hanya milik mereka berdua.
Siapa sangka, bahwa beberapa hari setelahnya, Raka pergi tanpa pamit?
Hilang.
Tak ada pesan. Tak ada kabar.
Hanya meninggalkan kekosongan yang hingga kini masih tak bisa Lia pahami.
Hari itu adalah hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidup Lia.
Ia mengenakan gaun biru muda yang menjadi favoritnya. Rambutnya ia biarkan tergerai dengan ikal lembut di ujungnya. Senyumnya mengembang saat ia menatap dirinya di cermin, merasa bahwa ia adalah perempuan paling beruntung di dunia ini.
Karena hari itu, Raka berjanji akan melamarnya.
Tapi yang datang bukanlah Raka.
Melainkan sebuah kabar yang membuat dunianya hancur seketika.
“Lia…” suara Sarah, sahabatnya, terdengar begitu pelan.
“Ada apa, Sarah? Kenapa mukamu begitu?”
Sarah terdiam sejenak, lalu menatap Lia dengan mata berkaca-kaca. “Raka…”
Jantung Lia berdegup kencang. Entah kenapa, ia merasakan firasat buruk.
“Ada apa dengan Raka?” suaranya hampir tak terdengar.
Sarah menggigit bibirnya, seolah tak sanggup untuk melanjutkan. Tapi pada akhirnya, ia mengucapkan kata-kata yang menjadi titik balik dalam hidup Lia.
“Dia pergi, Lia.”
Dunia seakan berhenti berputar saat mendengar kalimat itu. Lia menatap Sarah dengan bingung.
“Pergi? Maksudmu?”
Sarah menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Lia erat-erat. “Dia mengalami kecelakaan mobil dalam perjalanan ke rumahmu. Dan dia… dia tidak selamat.”
Lia menggeleng keras, seolah menolak percaya. “Tidak… tidak mungkin.”
Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Dadanya terasa begitu sesak, seakan ada sesuatu yang meremukkan hatinya hingga tak bersisa.
“Dia berjanji… dia berjanji akan datang… Dia tidak mungkin meninggalkan aku…” suaranya bergetar, penuh dengan rasa sakit yang tak terlukiskan.
Tapi kenyataan tetaplah kenyataan.
Raka benar-benar telah pergi.
Dan sejak saat itu, hidup Lia tak pernah lagi sama.
Sekarang, tiga tahun telah berlalu. Tapi rindu ini tak pernah benar-benar pergi.
Malam semakin larut, hujan masih turun dengan derasnya. Lia menatap langit yang gelap dari balik jendela, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu.
“Raka… kalau kamu masih di sini, apa kamu juga merindukan aku seperti aku merindukanmu?” bisiknya lirih.
Tak ada jawaban. Hanya suara hujan yang mengguyur bumi.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa cinta mereka tak akan pernah pudar.
Karena rindu ini… adalah rindu yang tak pernah usai.
Malam itu, hujan masih enggan reda. Butirannya jatuh dengan ritme yang tak teratur, menimbulkan suara gemuruh halus di luar jendela kamar Lia. Di dalam ruangan yang temaram, hanya ada dirinya dan suara rindu yang semakin menggema dalam hati.
Lia menarik napas panjang. Udara dingin menyentuh kulitnya, tapi bukan itu yang membuatnya merasa menggigil. Ada sesuatu yang jauh lebih menusuk dari dingin malam—sebuah kehampaan yang sudah lama bersarang di hatinya.
Ia meraih selimut dan membungkus tubuhnya erat-erat, seakan berharap kehangatan bisa mengusir semua kesedihan yang masih mengendap.
Tapi, bukankah rindu selalu begitu?
Ia datang tanpa permisi, menggali luka yang sudah berusaha dikubur, lalu meninggalkan kekosongan yang lebih dalam dari sebelumnya.
Lia menatap layar ponselnya, jemarinya dengan ragu membuka galeri foto. Matanya kembali menemukan gambar yang sudah berkali-kali ia lihat.
Sebuah foto dari tiga tahun yang lalu.
Di dalamnya, Raka tersenyum begitu hangat, dengan mata yang selalu berhasil membuatnya merasa dicintai. Lia menghela napas. Ia tahu ia seharusnya berhenti menyakiti dirinya sendiri seperti ini.
Tapi bagaimana caranya?
Bagaimana cara melupakan seseorang yang begitu berarti dalam hidupmu?
Tiga tahun lalu…
Lia masih ingat betul bagaimana hari itu menjadi titik awal dari semua luka ini.
Hari di mana ia kehilangan separuh jiwanya.
Ia sedang berdiri di depan cermin, mengenakan gaun biru lembut yang dipilihnya dengan hati-hati. Hari itu, Raka berjanji akan datang untuk berbicara dengan orang tuanya. Ia akan melamarnya.
Jantungnya berdebar kencang memikirkan hal itu. Bukan karena ragu, tapi karena ia terlalu bahagia membayangkan masa depan mereka.
Lia melirik ponsel di atas meja. Tak ada pesan dari Raka. Biasanya, laki-laki itu akan mengiriminya sesuatu, entah itu lelucon, foto, atau sekadar kata-kata manis yang selalu berhasil membuatnya tersenyum.
Tapi kali ini, tidak ada apa-apa.
Ia menunggu.
Satu jam. Dua jam.
Hingga akhirnya, ponselnya bergetar.
Ia buru-buru mengambilnya, berharap itu adalah pesan dari Raka. Tapi yang ia lihat justru nama Sarah di layar.
Dengan alis berkerut, ia menjawab panggilan itu.
“Halo, Sar?”
Tidak ada suara dari seberang sana selama beberapa detik. Lalu, suara Sarah yang bergetar terdengar.
“Lia…”
Seketika, ada sesuatu yang terasa tidak beres.
Lia menggenggam ponselnya lebih erat. “Kenapa, Sar? Ada apa?”
Sarah terdiam, seolah mencari cara untuk menyampaikan sesuatu yang berat.
Dan ketika akhirnya ia berbicara, dunia Lia runtuh dalam sekejap.
“Raka… dia kecelakaan.”
Dada Lia terasa begitu sesak. “Apa?”
“Sopir truk itu mengantuk… mobilnya menabrak Raka dari samping… Dia…” Suara Sarah tercekat.
Lia menggeleng, meskipun tak ada yang bisa melihatnya. “Tidak… ini pasti salah.”
“Tolong, Lia…” Sarah menangis di seberang sana. “Aku juga tidak mau percaya… tapi… dia sudah pergi.”
Kata-kata itu menembus jantungnya seperti belati tajam.
Lia jatuh berlutut di lantai, ponselnya hampir terlepas dari genggamannya.
Tidak.
Ini pasti mimpi.
Ini pasti hanya lelucon kejam.
Tapi saat Sarah mengirimkan alamat rumah sakit tempat Raka dibawa, semua yang tadinya terasa seperti mimpi buruk berubah menjadi kenyataan yang tidak bisa ia hindari.
Malam itu, Lia berdiri di samping tempat tidur Raka di ruang jenazah.
Wajah laki-laki itu masih terlihat damai, seakan hanya tertidur. Tapi tak ada lagi senyum di bibirnya. Tak ada lagi hangat di tubuhnya.
Lia mengulurkan tangannya dengan gemetar, menyentuh jemari Raka yang dulu sering menggenggam tangannya.
Dingin.
Seketika, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh.
“Kenapa?” suaranya bergetar. “Kenapa kamu pergi seperti ini?”
Ia menunggu jawaban, meskipun tahu bahwa yang ia tunggu tidak akan pernah berbicara lagi.
Raka benar-benar telah pergi.
Meninggalkan dunia ini.
Meninggalkannya.
Kini, tiga tahun telah berlalu.
Dan Lia masih di sini, duduk di kamar yang sama, merasakan rindu yang tak pernah benar-benar pergi.
Ia mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Lalu, perlahan-lahan, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah meja kecil di sudut kamar.
Di sana, ada sebuah kotak kayu kecil.
Kotak itu berisi semua kenangan tentang Raka.
Surat-suratnya. Foto-foto mereka. Dan sebuah cincin kecil yang seharusnya digunakan di hari lamaran mereka.
Lia membuka kotak itu dengan hati-hati. Ia mengeluarkan surat terakhir yang ditulis Raka sebelum kecelakaan.
Ia sudah membaca surat itu berulang kali, tapi setiap kali membacanya, rasa sakit itu tetap sama.
“Untuk Lia, perempuan yang paling aku cintai.
Kalau kamu membaca surat ini, berarti aku mungkin sudah tidak ada di sampingmu lagi. Aku menulis ini bukan karena aku ingin pergi, tapi karena aku ingin kamu tahu satu hal—aku mencintaimu, sekarang dan selamanya.
Lia, jangan pernah menangisi kepergianku terlalu lama. Aku ingin kamu bahagia, meskipun tanpa aku.
Kalau ada kehidupan setelah ini, aku janji akan tetap mencintaimu di sana.
Jadi, jangan lupakan aku, tapi juga jangan terjebak dalam kesedihan. Hidupmu masih panjang, dan aku ingin kamu mengisinya dengan kebahagiaan.
Aku mencintaimu, selalu.
Raka.”
Lia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang semakin deras.
Bagaimana bisa ia bahagia tanpa Raka?
Tapi ia tahu, Raka pasti akan marah jika melihatnya seperti ini.
Ia mengusap air matanya, lalu menatap surat itu lama.
“Maaf, Raka…” bisiknya. “Aku belum bisa melupakanmu. Aku belum bisa berhenti merindukanmu.”
Tapi mungkin, suatu hari nanti, ia akan belajar.
Mungkin suatu hari nanti, ia bisa mengenang Raka tanpa air mata.
Tapi untuk saat ini, biarkan rindu itu tetap ada.
Karena rindu ini… adalah rindu yang tak pernah usai.*
BAB 3 : Tanda-Tanda yang Tak Terbaca
Suatu hari, Naya melihat unggahan Raka bersama seorang perempuan bernama Reza di media sosial. Senyum mereka terlihat begitu akrab. Hati Naya mulai gelisah, tetapi ia mencoba menepis perasaan negatif.
Lia duduk di tepi tempat tidurnya, jemarinya menggenggam erat selembar kertas yang mulai menguning di sudutnya. Surat terakhir dari Raka.
Malam sudah larut, tetapi pikirannya masih berkelana ke masa lalu, mencoba memahami tanda-tanda yang dulu tak pernah ia sadari.
Apakah Raka sudah tahu bahwa dirinya akan pergi?
Apakah ada sesuatu yang ia lewatkan?
Lia menghela napas panjang, matanya menatap ke luar jendela. Hujan turun lagi malam ini, membawa serta perasaan yang selama ini tak pernah benar-benar menghilang.
Raka selalu berkata bahwa hidup ini penuh dengan tanda-tanda. “Kadang kita terlalu sibuk atau terlalu bahagia sampai kita tidak menyadari petunjuk yang diberikan semesta,” katanya suatu hari.
Dan sekarang, setelah kepergiannya, Lia mulai bertanya-tanya…
Apa ada tanda-tanda yang ia lewatkan?
Tiga Tahun Lalu…
Hari itu hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan kota yang mulai gelap. Lia berjalan di samping Raka, sesekali mengeratkan genggamannya di lengan laki-laki itu.
“Kita harus segera sampai sebelum hujan semakin deras,” kata Lia sambil mempercepat langkah.
Tapi Raka justru memperlambat jalannya. “Kenapa harus buru-buru?” tanyanya, suaranya terdengar santai. “Kadang kita terlalu sibuk mengejar sesuatu sampai lupa menikmati perjalanan.”
Lia memutar bola matanya, tapi tersenyum juga. Itu adalah salah satu hal yang ia sukai dari Raka. Ia selalu punya cara untuk membuat segala sesuatu terasa lebih ringan.
“Kamu memang selalu begitu,” gumam Lia.
“Begitu bagaimana?”
Lia menatapnya sejenak. “Seperti sedang menyembunyikan sesuatu.”
Raka terdiam sesaat sebelum akhirnya tertawa kecil. “Aku?” tanyanya, seolah tak percaya. “Kenapa kamu merasa begitu?”
Lia menggeleng pelan. “Entahlah… hanya perasaan saja.”
Saat itu, ia tidak terlalu memikirkannya. Ia pikir, Raka hanya sedang bercanda seperti biasa.
Tapi sekarang, saat mengingat kembali percakapan itu, ada sesuatu yang terasa berbeda.
Seakan Raka memang menyembunyikan sesuatu darinya.
Kembali ke Masa Kini…
Lia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke meja kecil di sudut kamar. Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah buku catatan yang sudah lama ia simpan.
Itu adalah buku harian Raka.
Setelah kepergiannya, Sarah menemukannya di apartemen Raka dan menyerahkannya kepada Lia.
Selama tiga tahun, Lia tidak pernah berani membukanya.
Tapi malam ini, sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ia harus melakukannya.
Jari-jarinya dengan ragu membalik halaman pertama. Tulisan tangan Raka yang khas menyambutnya.
“Hari ini aku melihat Lia tertawa. Aku ingin mengingat momen ini selamanya.”
Lia tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa perih.
Ia terus membalik halaman, membaca kata demi kata yang ditulis Raka tentang hari-hari mereka bersama. Tapi semakin jauh ia membaca, semakin banyak hal yang membuatnya terkejut.
“Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa menyembunyikannya.”
Lia terdiam.
Apa maksudnya?
Ia kembali membaca dengan lebih saksama.
“Dokter bilang waktu yang tersisa tidak banyak. Tapi aku tidak bisa mengatakan ini pada Lia. Aku tidak ingin dia mengingatku sebagai seseorang yang lemah.”
Napas Lia tercekat. Tangannya mulai gemetar saat membalik halaman berikutnya.
“Mungkin, lebih baik jika dia membenciku. Mungkin, lebih baik jika dia mengira aku pergi begitu saja tanpa alasan.”
Air mata mulai mengalir di pipi Lia.
Raka tahu.
Ia tahu bahwa dirinya tidak akan punya banyak waktu.
Tapi ia memilih untuk diam.
Lia menutup buku harian itu dengan tangan gemetar. Hatinya terasa hancur lebih dari sebelumnya.
Selama ini, ia berpikir bahwa Raka meninggalkannya begitu saja.
Tapi kenyataannya… Raka tidak ingin Lia melihatnya dalam keadaan lemah.
Ia tidak ingin Lia mengingatnya dengan kesedihan.
Ia ingin Lia terus hidup tanpa beban.
Lia menatap buku itu lama, pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan.
Bagaimana mungkin ia tidak menyadari semua ini?
Apakah ia terlalu buta oleh kebahagiaan sehingga tidak bisa membaca tanda-tanda itu?
Tanda-Tanda yang Selalu Ada…
Lia mulai mengingat kembali hari-hari sebelum Raka pergi.
Tiba-tiba, semua kejadian kecil yang dulu tampak biasa kini memiliki makna yang berbeda.
Cara Raka menatapnya lebih lama dari biasanya.
Kata-katanya yang terdengar seperti perpisahan terselubung.
Dan hari itu, saat mereka duduk di taman, Raka pernah mengatakan sesuatu yang membuatnya merasa aneh.
“Kalau kamu diberi kesempatan untuk mengulang waktu, apa yang akan kamu ubah?” tanyanya.
Lia tertawa. “Aku nggak tahu. Mungkin aku akan belajar lebih giat supaya bisa dapat beasiswa ke luar negeri.”
Raka tersenyum kecil, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak bisa Lia pahami.
“Kamu sendiri?” tanya Lia.
Raka terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab, “Aku ingin punya lebih banyak waktu.”
Lia mengernyit. “Untuk apa?”
Raka tersenyum samar. “Untuk bersamamu.”
Saat itu, Lia hanya menganggapnya sebagai kata-kata romantis. Tapi sekarang, ia sadar…
Itu bukan sekadar kata-kata. Itu adalah kejujuran yang ia abaikan.
Kesadaran yang Terlambat
Lia menatap buku harian itu sekali lagi sebelum menutupnya perlahan.
Raka meninggalkan banyak tanda, tapi ia terlalu terlambat untuk menyadarinya.
Rasa sakit yang selama ini ia rasakan tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lain.
Kesedihan, ya. Tapi juga sebuah pemahaman baru.
Raka tidak ingin ia terjebak dalam kesedihan.
Dan sekarang, setelah mengetahui kebenaran ini, Lia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu.
Ia harus belajar untuk benar-benar melepaskan.
Ia harus hidup, bukan hanya bertahan.
Lia menghela napas panjang, lalu menatap langit malam dari jendela kamarnya.
Bintang-bintang bertaburan di langit, bersinar terang meskipun malam begitu gelap.
Dan entah mengapa, malam ini, ia merasa bahwa Raka masih ada di sana, memperhatikannya dari kejauhan.
Tersenyum seperti biasa.
Menunggu hingga ia benar-benar siap untuk melangkah maju.
Dan kali ini, Lia berjanji pada dirinya sendiri…
Ia akan menemukan caranya.
Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok.
Tapi suatu hari nanti, ia akan belajar membaca tanda-tanda yang dulu tak terbaca.
Tanda-tanda yang ditinggalkan oleh seseorang yang mencintainya dengan cara yang paling tulus.
Seseorang yang kini hanya bisa ia kenang dalam rindu.
Malam itu, angin bertiup lembut, menyelinap masuk melalui jendela kamar Lia yang setengah terbuka. Langit terlihat begitu gelap tanpa bulan, hanya bintang-bintang kecil yang berusaha memberikan sedikit cahaya.
Di tangannya, buku harian Raka masih terbuka. Halaman-halamannya yang sedikit kusut karena usia kini menjadi satu-satunya jembatan yang menghubungkannya dengan seseorang yang telah pergi.
Lia menghela napas. Ada perasaan berat yang terus menekan dadanya.
Ia sudah membaca banyak hal di buku ini, tetapi ada satu halaman yang masih belum sanggup ia lihat. Halaman terakhir.
Tangannya gemetar saat membalik lembaran itu.
Dan di sana, dengan tinta yang sedikit memudar, ada tulisan terakhir yang Raka tinggalkan.
“Aku tahu waktuku tidak lama lagi. Tapi satu-satunya yang aku sesali adalah meninggalkan Lia tanpa mengatakan yang sebenarnya.”
“Mungkin, ini akan jadi catatan terakhirku. Aku ingin dia tahu bahwa aku tidak pernah pergi karena keinginanku sendiri. Aku ingin dia tahu bahwa aku mencintainya sampai detik terakhir.”
“Tapi jika aku bisa memilih, aku ingin dia mengingatku bukan dengan air mata, tetapi dengan senyuman.”
Lia menutup buku itu dengan cepat. Air mata sudah tak bisa lagi ia tahan.
Selama tiga tahun, ia menyimpan kemarahan dalam hatinya.
Kemarahan karena merasa ditinggalkan.
Kemarahan karena tidak pernah mendapatkan penjelasan.
Dan sekarang, setelah mengetahui kebenarannya, ia justru merasa lebih hancur dari sebelumnya.
Bagaimana jika ia menyadari tanda-tanda itu lebih awal?
Bagaimana jika ia bisa melakukan sesuatu?
Tapi pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan mengubah kenyataan.
Raka sudah pergi.
Dan satu-satunya hal yang tersisa hanyalah kenangan.
Kilasan Kenangan
Lia masih ingat dengan jelas hari terakhir ia bertemu dengan Raka sebelum kecelakaan itu terjadi.
Hari itu, mereka bertemu di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang sudah menjadi favorit mereka sejak pertama kali bersama.
Raka tampak lebih diam dari biasanya.
Ia tidak banyak berbicara, hanya sesekali tersenyum setiap kali Lia mencoba mencairkan suasana.
“Kamu kenapa?” tanya Lia akhirnya.
Raka mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis. “Nggak apa-apa.”
“Kamu nggak kelihatan baik-baik saja.”
Laki-laki itu menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kalau suatu hari nanti aku pergi, kamu akan baik-baik saja, kan?”
Pertanyaan itu membuat Lia mengernyit.
“Kenapa tiba-tiba ngomong kayak gitu?” tanyanya, merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan mereka.
Raka tertawa kecil, tetapi ada kesedihan dalam matanya. “Aku cuma penasaran.”
Lia menggembungkan pipinya, berpura-pura kesal. “Aku nggak mau membicarakan hal yang aneh-aneh.”
Dan saat itu, Raka hanya tersenyum.
Lia tidak menyadari bahwa pertanyaan itu adalah sebuah tanda.
Sebuah peringatan yang tersembunyi di balik kata-kata yang sederhana.
Lia meletakkan buku harian itu di atas meja.
Kepalanya dipenuhi dengan berbagai kenangan yang kini terasa seperti teka-teki yang baru bisa ia pecahkan setelah semuanya terlambat.
Ia harus mencari tahu lebih banyak.
Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan kepada Sarah.
Lia: “Sar, aku butuh bicara.”
Tak butuh waktu lama, ponselnya bergetar dengan balasan.
Sarah: “Tentu. Aku di rumah. Datang saja kalau mau.”
Lia segera mengenakan jaketnya dan keluar dari kamar, langkahnya dipenuhi dengan kegelisahan.
Ada sesuatu yang harus ia pastikan.
Rahasia yang Terungkap
Ketika Lia tiba di rumah Sarah, sahabatnya itu sudah menunggunya di ruang tamu dengan wajah penuh tanda tanya.
“Ada apa?” tanya Sarah sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir.
Lia meletakkan buku harian Raka di meja. “Aku baru baca ini.”
Sarah menatap buku itu dengan ekspresi kaget. “Kamu baru baca sekarang?”
Lia mengangguk. “Aku terlalu takut. Tapi setelah aku membacanya, aku sadar… ada banyak hal yang aku nggak tahu.”
Sarah terdiam.
Lia menatap sahabatnya itu dengan penuh harap. “Kamu tahu sesuatu yang aku nggak tahu, kan?”
Sarah menundukkan kepalanya, seakan sedang berpikir keras apakah ia harus mengatakan sesuatu atau tidak.
Lia menggenggam tangan sahabatnya. “Tolong, Sar. Aku butuh tahu semuanya.”
Sarah menghela napas panjang, lalu menatap Lia dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
“Aku tahu, Lia,” katanya pelan. “Aku tahu tentang penyakit Raka.”
Jantung Lia serasa berhenti berdetak.
Sarah melanjutkan dengan suara bergetar, “Dia menderita penyakit langka. Waktu pertama kali tahu, dokter bilang mungkin dia masih punya waktu satu atau dua tahun.”
Lia terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu.
“Tapi dia memilih untuk tidak bilang ke siapa pun, termasuk kamu.”
Lia merasakan dadanya semakin sesak. “Kenapa?”
Sarah menatapnya dengan sedih. “Karena dia nggak mau kamu menghabiskan waktumu dengan bersedih. Dia nggak mau kamu melihatnya melemah. Itu sebabnya dia tetap tersenyum, tetap bersikap seolah semuanya baik-baik saja.”
Lia menutup mulutnya, menahan tangis yang semakin deras.
Sarah menggenggam tangannya erat. “Aku ingin memberitahumu, Lia. Tapi Raka memohon padaku untuk diam.”
Lia menatap Sarah, air matanya terus mengalir.
Jadi, selama ini, semua beban itu Raka tanggung sendirian.
Semua ketakutan, semua rasa sakit…
Ia menjalani semuanya tanpa pernah membiarkan Lia merasakannya juga.
Dan yang lebih menyakitkan, Raka benar-benar mencintainya sampai akhir.
Melepaskan dengan Ikhlas
Malam itu, Lia duduk di atas atap rumahnya, menatap langit yang kini mulai cerah setelah hujan reda.
Ia merasa seperti bisa mendengar suara Raka di dalam kepalanya, tawa kecilnya yang khas, cara bicaranya yang lembut.
Ia mengeluarkan buku harian itu lagi, membacanya untuk terakhir kali.
“Aku nggak akan melupakanmu,” bisiknya. “Tapi aku janji, aku juga nggak akan terjebak dalam kesedihan lagi.”
Ia menutup buku itu dengan perasaan yang jauh lebih ringan.
Mungkin, inilah yang Raka inginkan selama ini.
Bukan kesedihan yang berkepanjangan.
Bukan air mata yang terus jatuh.
Tapi sebuah kenangan yang bisa dikenang dengan senyuman.
Dan untuk pertama kalinya setelah tiga tahun, Lia merasa bahwa ia siap untuk melangkah maju.
Karena kini, ia telah membaca tanda-tanda yang selama ini tak terbaca.
Tanda-tanda yang ditinggalkan oleh seseorang yang mencintainya lebih dari apa pun.
Dan seseorang yang akan selalu ada dalam hatinya, selamanya.*
BAB 4 : Antara Percaya dan Curiga
Kecurigaan Naya semakin besar ketika Raka mulai sulit dihubungi. Setiap kali ditanya, jawabannya selalu tentang pekerjaan. Naya berusaha percaya, tetapi hatinya dipenuhi rasa takut kehilangan.
Lia menatap layar ponselnya dengan perasaan bercampur aduk.
Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
“Jika kau ingin tahu lebih banyak tentang Raka, temui aku di kafe dekat taman kota besok pukul tujuh malam.”
Hatinya berdegup kencang.
Siapa ini?
Apa maksudnya ‘ingin tahu lebih banyak tentang Raka’?
Lia menggigit bibirnya, pikirannya langsung berkelana ke berbagai kemungkinan.
Setelah membaca buku harian Raka dan mendengar pengakuan Sarah, Lia pikir semua pertanyaan sudah terjawab.
Tapi ternyata, masih ada hal yang belum ia ketahui.
Haruskah ia menemui orang ini?
Atau ini hanya seseorang yang ingin mempermainkannya?
Di dalam dirinya, ada dua suara bertarung.
Satu sisi ingin percaya.
Tapi sisi lainnya dipenuhi kecurigaan.
Dan sekali lagi, ia dihadapkan pada pilihan yang tak mudah.
Pertemuan Misterius
Keesokan harinya, Lia duduk di salah satu sudut kafe dengan secangkir kopi yang sudah mulai mendingin.
Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh tepat.
Siapa pun yang mengiriminya pesan, harusnya sudah tiba.
Matanya menyapu sekeliling kafe, mencari seseorang yang mungkin terlihat mencurigakan.
Hingga akhirnya, seorang pria berusia sekitar tiga puluhan mendekatinya.
Ia mengenakan jaket hitam, wajahnya sedikit tirus dengan sorot mata tajam.
“Lia?” tanyanya, suaranya terdengar rendah.
Lia mengangguk dengan hati waspada. “Ya. Siapa kamu?”
Pria itu menarik kursi dan duduk di depannya. Ia menghela napas sebelum akhirnya memperkenalkan diri.
“Namaku Arman. Aku… mengenal Raka.”
Jantung Lia berdegup lebih cepat.
“Dari mana kamu mengenalnya?” tanyanya, mencoba menahan emosinya.
Arman menatapnya dalam-dalam sebelum menjawab. “Aku kenal Raka… dari tempat yang mungkin tidak kamu duga.”
Lia mengerutkan kening. “Maksudmu?”
Arman menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu berkata dengan suara lebih pelan, “Aku dulu bekerja untuk seseorang yang dekat dengan Raka. Dan aku tahu… bahwa ada sesuatu yang dia sembunyikan darimu.”
Kata-kata itu membuat tubuh Lia menegang.
“Sesuatu yang disembunyikan?” ulangnya dengan suara nyaris berbisik.
Arman mengangguk. “Ya. Dan aku pikir, kamu berhak tahu.”
Lia merasakan gelombang emosi bercampur di dalam dirinya.
Baru kemarin ia berpikir bahwa semua rahasia sudah terungkap.
Tapi sekarang, seseorang muncul dan mengatakan bahwa masih ada yang belum ia ketahui.
Haruskah ia mempercayai orang ini?
Atau ini hanya tipu muslihat belaka?
Jejak Masa Lalu yang Mengganggu
Arman menyodorkan sebuah amplop cokelat ke meja.
“Aku tidak bisa memberitahumu semuanya sekarang,” katanya. “Tapi ini akan memberimu sedikit gambaran.”
Lia ragu sejenak sebelum akhirnya mengambil amplop itu.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka isinya.
Di dalamnya, ada beberapa lembar kertas yang tampak seperti salinan dokumen resmi.
Ia membaca lembar pertama.
“Laporan Investigasi – Kasus Kecelakaan Jalan Raya, 3 Tahun Lalu.”
Lia mengernyit. Ini adalah laporan tentang kecelakaan yang merenggut nyawa Raka.
Kenapa Arman memberinya ini?
Lalu, ia membaca lebih lanjut.
Salah satu bagian laporan itu menyebutkan sesuatu yang membuat napasnya tertahan.
“Indikasi adanya sabotase pada sistem rem kendaraan.”
Lia menegang.
Sabotase?
Tapi bukankah selama ini kecelakaan itu dianggap murni kecelakaan biasa?
“Ini… maksudnya apa?” tanyanya dengan suara bergetar.
Arman menatapnya serius. “Itu sebabnya aku ingin bertemu denganmu. Karena aku yakin, Raka tidak mati karena kecelakaan biasa.”
Dunia Lia terasa berputar.
Jika ini benar… maka artinya, kematian Raka bukanlah sebuah kebetulan.
Dan seseorang mungkin telah menginginkan kematiannya.
Antara Percaya dan Curiga
Lia berjalan pulang dengan langkah gontai, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan yang membuatnya hampir gila.
Bagaimana jika Arman hanya berbohong?
Bagaimana jika ini hanya cara seseorang untuk mempermainkannya?
Tapi bagaimana jika yang ia katakan itu benar?
Bagaimana jika selama ini ada sesuatu yang lebih besar yang ia lewatkan?
Setibanya di rumah, Lia mengunci diri di kamarnya dan membuka kembali amplop yang diberikan Arman.
Ia membaca dokumen itu berulang kali, mencoba menemukan sesuatu yang bisa memberikan jawaban.
Dan kemudian, matanya tertuju pada satu nama yang tertera di dalam laporan.
“Saksi utama: Sarah Wijaya.”
Lia menahan napas.
Sarah?
Kenapa nama sahabatnya ada di dalam laporan ini?
Kenapa ia tidak pernah menceritakan hal ini sebelumnya?
Apakah mungkin… Sarah juga menyembunyikan sesuatu darinya?
Untuk pertama kalinya, Lia mulai meragukan orang yang selama ini paling ia percaya.
Dan rasa curiga itu semakin kuat, semakin nyata.
Menghadapi Sahabat
Keesokan harinya, Lia menemui Sarah di apartemennya.
Ia membawa laporan itu bersamanya.
Begitu Sarah membuka pintu, Lia langsung mengangkat dokumen tersebut di depan wajahnya.
“Kamu tahu soal ini?” tanyanya tanpa basa-basi.
Sarah terdiam, wajahnya seketika pucat.
“Lia, aku bisa menjelaskan—”
“Jawab aku!” potong Lia, suaranya bergetar.
Sarah menatap Lia dengan mata berkaca-kaca. “Aku… aku tidak ingin kamu tahu.”
“Kenapa?”
“Karena aku takut.”
Lia mengerutkan kening. “Takut?”
Sarah mengangguk. “Takut kamu akan mengejar kebenaran dan itu justru membahayakanmu.”
Kata-kata itu membuat jantung Lia mencelos.
“Apa maksudmu?” bisiknya.
Sarah menelan ludah sebelum menjawab, “Lia… kecelakaan itu memang bukan kecelakaan biasa. Ada seseorang yang ingin Raka mati.”
Darah Lia seperti membeku.
“Dan kalau kamu terus mencari tahu, kamu bisa jadi target berikutnya.”
Akhir yang Menggantung
Lia terduduk di sofa, mencoba mencerna semuanya.
Jadi… benar bahwa Raka tidak mati karena kecelakaan biasa.
Dan seseorang di luar sana mungkin masih mengawasinya.
Hatinya dipenuhi ketakutan dan kebingungan.
Tapi satu hal yang pasti…
Ia tidak bisa berhenti sampai di sini.
Ia harus tahu kebenaran, apa pun risikonya.
Dengan atau tanpa Sarah.
Dan dalam hatinya, ia bersumpah…
Ia akan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas kematian Raka.
Meskipun itu berarti mempertaruhkan nyawanya sendiri.*
BAB 5 : Luka yang Tak Terucap
Saat akhirnya mereka berbicara, percakapan yang seharusnya menenangkan justru berakhir dengan pertengkaran. Raka merasa Naya tidak percaya padanya, sementara Naya merasa Raka mulai menjauh. Untuk pertama kalinya, Raka meminta waktu sendiri.
Malam itu, hujan turun dengan deras, mengetuk jendela kamar Lia seperti seseorang yang ingin menyampaikan pesan tersembunyi.
Tapi tak ada yang lebih bising daripada suara pikirannya sendiri.
Sejak pertemuannya dengan Arman dan konfrontasinya dengan Sarah, dunianya terasa semakin kacau.
Selama ini, ia mengira bahwa Raka hanya pergi karena takdir yang kejam.
Tapi ternyata, ada lebih banyak rahasia yang tersembunyi di balik kepergiannya.
Dan semakin Lia menggali, semakin banyak luka yang muncul.
Luka yang tidak pernah terucap.
Luka yang selama ini ia pikir sudah sembuh, tapi nyatanya masih menganga.
Dan malam ini, ia kembali terjebak dalam pusaran kenangan yang menyakitkan.
Bayangan dari Masa Lalu
Setiap kali ia menutup mata, wajah Raka selalu muncul.
Tapi kali ini, bukan hanya kenangan manis yang mengisi pikirannya.
Ada sesuatu yang lain.
Sesuatu yang selama ini ia abaikan.
Sebuah ingatan yang samar-samar, tapi kini mulai jelas.
Hari itu, beberapa minggu sebelum kecelakaan Raka, mereka sempat bertengkar hebat.
Lia baru saja keluar dari kampus ketika ia melihat Raka sedang berbicara dengan seorang pria tak dikenal.
Pria itu terlihat mencengkram lengan Raka, suaranya terdengar keras meskipun Lia tidak bisa mendengar kata-katanya dengan jelas.
Lia merasa ada yang tidak beres.
Tapi sebelum ia sempat mendekat, Raka sudah lebih dulu pergi.
Dan ketika ia bertanya tentang hal itu malam harinya, Raka hanya tersenyum tipis.
“Bukan apa-apa,” katanya. “Jangan dipikirkan.”
Saat itu, Lia percaya.
Tapi sekarang, ketika semua kepingan mulai tersusun, ia sadar bahwa itu bukan ‘bukan apa-apa’.
Itu adalah tanda.
Sebuah tanda yang dulu ia abaikan.
Dan kini, ia harus mencari tahu siapa pria itu.
Menggali Kebenaran
Keesokan harinya, Lia kembali menemui Arman.
Ia tahu, satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya menemukan jawaban adalah pria itu.
“Aku ingat sesuatu,” kata Lia saat mereka duduk di bangku taman yang sepi.
Arman mengangkat alisnya. “Apa?”
Lia menghela napas sebelum melanjutkan, “Beberapa minggu sebelum kecelakaan, aku melihat Raka berbicara dengan seseorang. Seorang pria yang tampak mencurigakan.”
Arman terdiam sejenak, lalu berkata, “Seperti apa orang itu?”
Lia mencoba mengingat. “Dia tinggi, rambutnya sedikit beruban, dan… ada bekas luka di pelipisnya.”
Mata Arman menyipit. “Aku tahu siapa dia.”
Lia menatapnya dengan penuh harap. “Siapa?”
Arman menghela napas panjang. “Namanya Bayu. Dia dulu bekerja untuk seseorang yang berurusan dengan Raka.”
“Berurusan?” Lia mengerutkan kening. “Maksudmu?”
Arman menatapnya tajam. “Raka tidak hanya menyembunyikan penyakitnya darimu, Lia. Dia juga menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar.”
Jantung Lia berdegup kencang.
“Apa maksudmu?”
Arman mengusap wajahnya, seakan ragu untuk melanjutkan.
Tapi akhirnya, ia berkata dengan suara pelan, “Raka pernah berhutang sesuatu kepada orang yang salah. Dan aku yakin, itu ada hubungannya dengan kematiannya.”
Jejak yang Hilang
Lia merasa kepalanya berputar.
Raka berhutang?
Tapi kepada siapa? Dan kenapa?
Banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, tapi Arman tidak bisa memberikan jawaban lebih dari itu.
“Aku hanya tahu bahwa Bayu adalah orang yang sering menagih sesuatu dari Raka,” katanya. “Tapi aku tidak tahu detailnya.”
Lia menggigit bibirnya, mencoba berpikir.
Jika Bayu masih ada di kota ini, maka ia harus menemukannya.
Dan satu-satunya cara untuk menemukan orang itu…
Adalah dengan kembali ke tempat terakhir Raka sering menghabiskan waktunya.
Pertemuan dengan Bayu
Butuh dua hari bagi Lia untuk melacak keberadaan Bayu.
Ia akhirnya menemukannya di sebuah bengkel kecil di pinggiran kota.
Dengan jantung berdebar, ia melangkah masuk.
Seorang pria dengan luka di pelipis menoleh ke arahnya, ekspresinya langsung berubah begitu melihatnya.
“Kamu… siapa?” tanyanya dengan nada curiga.
Lia menegakkan punggungnya. “Aku Lia. Aku ingin bicara tentang Raka.”
Mata Bayu menyipit. “Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan.”
Lia tidak mundur. “Aku tahu kamu mengenalnya. Dan aku tahu dia pernah berurusan dengan seseorang.”
Bayu menghela napas panjang, lalu menatapnya dengan tajam.
“Kamu tidak seharusnya mencari tahu soal ini,” katanya dingin.
“Tapi aku harus,” balas Lia. “Karena aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Raka.”
Bayu terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Kalau begitu, kau harus siap dengan kebenaran yang mungkin tidak ingin kau dengar.”
Lia menahan napas.
“Raka pernah masuk ke dalam masalah besar,” lanjut Bayu. “Dia berhutang sesuatu kepada seseorang yang berbahaya.”
Lia mengerutkan kening. “Hutang apa?”
Bayu menatapnya lama sebelum menjawab.
“Hutang nyawa.”
Luka yang Tak Pernah Sembuh
Perkataan Bayu menghantam Lia seperti gelombang besar.
“Hutang nyawa?” ulangnya dengan suara hampir berbisik.
Bayu mengangguk. “Raka pernah menyelamatkan seseorang… dan itu membuatnya masuk ke dalam lingkaran yang tidak seharusnya ia masuki.”
Lia menggigit bibirnya.
Jadi, semua ini bukan hanya soal penyakit Raka atau kecelakaan yang mencurigakan.
Ini tentang sesuatu yang jauh lebih dalam.
Dan sesuatu memberitahunya bahwa kebenaran yang ia cari masih belum sepenuhnya terungkap.
Tapi satu hal yang pasti…
Semakin dalam ia menggali, semakin banyak luka yang muncul.
Luka yang selama ini tak terucap.
Luka yang mungkin tidak akan pernah bisa sembuh.
Malam itu, Lia kembali ke kamarnya dengan pikiran penuh.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?
Siapa orang yang selama ini membayangi hidupnya?
Dan apakah mungkin… ia sendiri kini juga dalam bahaya?
Lia menatap buku harian Raka yang masih tergeletak di mejanya.
Sebelumnya, buku itu memberinya jawaban.
Tapi sekarang, ia sadar…
Buku itu mungkin belum menceritakan semuanya.
Dan jika ia ingin tahu kebenaran, maka ia harus terus mencari.
Sekalipun itu berarti harus menghadapi rasa sakit yang lebih dalam.
Sekalipun itu berarti harus membuka luka yang selama ini tidak pernah terucap.*
BAB 6 : Hening yang Menyakitkan
Hari-hari tanpa Raka terasa hampa. Naya mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tetapi hatinya terus bertanya-tanya: Apakah ini akhir dari segalanya?
Hening.
Itulah yang tersisa setelah semua kebenaran perlahan terkuak.
Lia duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke arah buku harian Raka yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya.
Sudah berhari-hari sejak pertemuannya dengan Bayu, dan sejak saat itu, pikirannya terus dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang semakin sulit untuk dijawab.
Tentang Raka.
Tentang hutang nyawa yang disebutkan Bayu.
Tentang seseorang yang mungkin telah menginginkan kematiannya.
Tapi yang lebih menyakitkan dari semua itu adalah…
Kenapa Raka tidak pernah bercerita padanya?
Jika memang ada sesuatu yang membahayakan hidupnya, kenapa Raka lebih memilih diam?
Kenapa ia membiarkan Lia berada dalam kebohongan, dalam ketidaktahuan yang sekarang justru semakin menyakitkan?
Dan kini, yang tersisa hanyalah keheningan yang menghantui.
Keheningan yang terasa lebih menyakitkan daripada kenyataan itu sendiri.
Pertemuan dengan Sarah
Lia akhirnya memutuskan untuk menemui Sarah lagi.
Ada sesuatu yang masih mengganjal di pikirannya.
Sarah pasti tahu lebih banyak daripada yang sudah ia katakan.
Dan kali ini, Lia tidak akan membiarkannya menyembunyikan apa pun lagi.
Ketika ia tiba di apartemen Sarah, sahabatnya itu terlihat sedikit terkejut.
“Lia…” suara Sarah terdengar pelan.
“Aku ingin bicara.”
Sarah menatapnya ragu, tapi akhirnya membiarkan Lia masuk.
Begitu pintu tertutup, Lia langsung menatapnya dengan tajam.
“Aku sudah bertemu Bayu,” katanya tanpa basa-basi.
Sarah terlihat semakin tegang. “Kau… bertemu dengannya?”
“Ya,” Lia mengangguk. “Dan dia memberitahuku sesuatu yang tidak pernah kau katakan padaku.”
Sarah terdiam.
Lia menatapnya dengan tajam. “Jadi sekarang aku ingin jawaban jujur, Sarah. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?”
Sarah menelan ludah.
Lalu, dengan suara yang hampir bergetar, ia berkata, “Lia… ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui.”
“Tidak!” Lia membentak, membuat Sarah terlonjak. “Aku sudah terlalu lama hidup dalam kebohongan. Aku sudah terlalu lama membiarkan diriku tenggelam dalam keheningan yang menyakitkan. Aku tidak bisa lagi hidup seperti ini!”
Air mata mulai menggenang di mata Sarah.
“Lia… aku hanya ingin melindungimu.”
“Melindungiku dari apa?” suara Lia semakin melemah, dipenuhi dengan keputusasaan.
Sarah menunduk.
“Lia…” bisiknya. “Jika kau terus menggali ini, aku takut kau juga akan bernasib sama seperti Raka.”
Kata-kata itu menusuk hati Lia seperti pisau tajam.
Jadi, apakah ini lebih besar dari yang ia duga?
Apakah yang terjadi pada Raka bukan sekadar kecelakaan… tapi sebuah konspirasi yang lebih gelap?
Mencari Kebenaran yang Hilang
Malam itu, Lia tidak bisa tidur.
Ia terus memikirkan kata-kata Sarah.
Jika benar ada seseorang yang menginginkan Raka mati… maka siapa?
Dan yang lebih penting…
Apakah ia juga dalam bahaya?
Lia menatap buku harian Raka yang masih tergeletak di atas meja.
Sebelumnya, ia berpikir bahwa buku ini telah memberikan semua jawaban.
Tapi bagaimana jika masih ada sesuatu yang belum ia sadari?
Dengan jantung berdebar, ia membuka buku itu lagi, membalik halaman demi halaman, mencari sesuatu yang mungkin telah ia lewatkan.
Dan kemudian, di salah satu halaman yang hampir robek, ia menemukan sebuah catatan kecil yang ditulis dengan tinta merah.
“Jika sesuatu terjadi padaku, cari tahu tentang ‘Orion’.”
Lia mengernyit.
Orion?
Apa itu?
Sebuah nama? Sebuah tempat? Atau sesuatu yang lain?
Tapi satu hal yang pasti—ini adalah petunjuk.
Petunjuk yang mungkin bisa membawanya pada kebenaran.
Jejak yang Membawa Bahaya
Lia segera menghubungi Arman dan menceritakan temuannya.
Ketika ia menyebutkan kata “Orion”, ekspresi Arman langsung berubah serius.
“Di mana kau menemukan kata itu?” tanyanya.
“Dalam buku harian Raka.”
Arman menghela napas panjang.
“Orion bukan sekadar kata, Lia. Itu adalah nama sebuah organisasi.”
Jantung Lia hampir berhenti berdetak.
“Organisasi?”
Arman mengangguk.
“Sebuah kelompok bayangan yang bekerja di dunia hitam. Mereka bukan sekadar geng jalanan, tapi lebih dari itu. Mereka memiliki koneksi yang luas, dan mereka bisa melakukan apa saja untuk mencapai tujuan mereka.”
Lia merasakan tubuhnya menegang.
“Jadi, kau berpikir… Raka pernah berurusan dengan mereka?”
Arman mengangguk pelan.
“Itulah yang harus kita cari tahu.”
Antara Hidup dan Mati
Penyelidikan Lia membawanya ke sebuah gedung tua di pinggiran kota, tempat yang menurut Arman pernah digunakan oleh Orion sebagai markas sementara.
Dengan hati-hati, mereka menyusuri lorong-lorong gelap yang dipenuhi dengan coretan di dinding.
Tapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari belakang mereka.
Lia berbalik, jantungnya berdegup kencang.
Seorang pria bertubuh besar dengan tatapan tajam berdiri di sana.
“Kalian seharusnya tidak ada di sini,” suaranya dingin.
Arman segera berdiri di depan Lia, melindunginya.
“Kami hanya mencari jawaban,” katanya tenang.
Pria itu menyipitkan mata. “Jawaban bisa membawa kalian ke kematian.”
Lia menahan napas.
“Raka,” ia akhirnya memberanikan diri berbicara. “Apa kau tahu sesuatu tentang Raka?”
Pria itu terdiam.
Lalu, dengan suara rendah, ia berkata, “Pergilah. Sebelum kau menyesal.”
Tapi Lia tidak bisa pergi begitu saja.
Karena ia tahu…
Di balik keheningan yang menyakitkan ini, ada sebuah kebenaran yang masih tersembunyi.
Dan ia tidak akan berhenti sampai ia menemukannya.
Malam itu, Lia menyadari satu hal.
Bahwa semakin dalam ia menggali, semakin besar risiko yang ia hadapi.
Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa berhenti sekarang.
Karena ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kehilangannya.
Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka yang selama ini ia pendam.
Dan meskipun keheningan ini menyakitkan…
Ia tahu bahwa kebenaran jauh lebih menyakitkan.
Tapi ia tetap harus menghadapinya.
Apapun yang terjadi.*
BAB 7 : Mencari Jawaban
Dengan dorongan sahabatnya, Tara, Naya memutuskan untuk pergi ke Bandung dan mencari jawaban langsung dari Raka. Ia ingin tahu kebenaran sebelum membuat keputusan yang akan mengubah segalanya.
Langit mendung menaungi kota saat Lia berdiri di depan jendela apartemennya. Matanya menatap jauh ke luar, tapi pikirannya mengembara lebih jauh lagi.
Setiap langkah yang ia ambil semakin membawanya lebih dalam ke dalam pusaran misteri yang mengelilingi kematian Raka.
“Jika sesuatu terjadi padaku, cari tahu tentang ‘Orion’.”
Kata-kata yang tertulis di buku harian Raka masih terngiang-ngiang di benaknya.
Orion.
Sebuah organisasi bayangan yang namanya hampir tidak pernah disebutkan di depan umum.
Sebuah kelompok yang bahkan Arman pun tidak tahu banyak tentang mereka.
Lia tahu, jika ia ingin mencari jawaban, ia harus menemukan cara untuk menembus tembok yang menghalangi informasi tentang mereka.
Dan untuk itu, ia harus kembali ke titik awal—ke tempat di mana semuanya dimulai.
Ke tempat di mana Raka pernah meninggalkan jejak terakhirnya.
Mencari Jejak di Tempat Lama
Arman setuju untuk membantunya, meskipun jelas ada ketakutan di matanya.
“Kita harus berhati-hati, Lia,” katanya saat mereka duduk di dalam mobil yang terparkir di depan sebuah kafe kecil di pinggiran kota.
“Aku tahu,” Lia mengangguk. “Tapi aku tidak bisa mundur sekarang.”
Arman menghela napas. “Kalau begitu, kita mulai dari sini.”
Kafe ini adalah salah satu tempat yang sering dikunjungi Raka sebelum ia meninggal.
Menurut informasi yang didapat Arman, ada seseorang yang mungkin bisa memberi mereka petunjuk.
Seseorang yang dulu bekerja di tempat ini, dan mungkin melihat atau mendengar sesuatu.
Seorang barista bernama Reno.
Mereka masuk ke dalam kafe, disambut dengan suara lonceng kecil yang menggantung di pintu.
Di belakang meja kasir, seorang pria muda dengan rambut berantakan dan tatapan lelah sedang membersihkan gelas.
Lia dan Arman langsung menuju ke arahnya.
“Reno?” tanya Arman.
Pria itu mendongak, menatap mereka dengan mata penuh kewaspadaan.
“Siapa kalian?”
Arman melempar pandangan ke Lia sebelum menjawab, “Kami hanya ingin bertanya tentang seseorang yang sering datang ke sini.”
Reno mengerutkan kening. “Siapa?”
“Raka,” jawab Lia dengan suara pelan.
Reno terdiam sejenak, sebelum akhirnya meletakkan gelas yang dipegangnya.
“Lelaki itu…” suaranya nyaris berbisik. “Aku ingat dia.”
Lia menatapnya penuh harap. “Apa kau tahu sesuatu tentangnya? Tentang siapa saja yang menemuinya di sini?”
Reno menghela napas, lalu melirik ke sekeliling.
“Ikut aku,” katanya akhirnya.
Rahasia yang Mulai Terungkap
Reno membawa mereka ke ruang belakang kafe, jauh dari telinga pelanggan lain.
Begitu mereka duduk, Reno mengusap wajahnya, seolah sedang mempertimbangkan apakah ia harus berbicara atau tidak.
“Aku tidak tahu banyak tentang Raka,” katanya akhirnya. “Tapi aku ingat satu hal.”
“Apa itu?” tanya Lia tak sabar.
Reno menatapnya dengan serius.
“Beberapa hari sebelum kecelakaannya, dia bertemu dengan seseorang di sini.”
Lia menahan napas.
“Orang itu tinggi, memakai jaket hitam, dan aku ingat dia punya tato kecil di belakang lehernya.”
Lia menoleh ke Arman, yang langsung mengangguk.
“Tato seperti apa?” tanya Arman.
Reno berpikir sejenak. “Seperti simbol bintang dengan lingkaran di sekelilingnya.”
Lia merasa dadanya semakin sesak.
Itu bukan sembarang tato.
Itu adalah simbol Orion.
Menghadapi Bahaya
Lia dan Arman keluar dari kafe dengan perasaan campur aduk.
“Kita semakin dekat,” kata Lia dengan suara gemetar.
Arman mengangguk. “Tapi ini juga semakin berbahaya.”
Lia tahu itu benar.
Mereka tidak berurusan dengan orang biasa.
Orion bukan sekadar kelompok kecil. Mereka adalah organisasi yang mampu membuat seseorang menghilang tanpa jejak.
Dan sekarang, mereka mungkin tahu bahwa Lia sedang mencari mereka.
“Apa langkah kita selanjutnya?” tanya Arman.
Lia menggigit bibirnya. “Kita harus menemukan orang yang ditemui Raka itu.”
“Tapi bagaimana?”
Lia terdiam sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya.
“Ada seseorang yang mungkin bisa membantu kita,” katanya.
Arman menatapnya penuh selidik. “Siapa?”
Lia menelan ludah sebelum menjawab.
“Bayu.”
Pertemuan yang Menegangkan
Mereka berhasil menemukan Bayu di sebuah bar kecil di sudut kota.
Ketika mereka masuk, pria itu sedang duduk di sudut ruangan, menyesap minumannya dengan ekspresi muram.
Begitu melihat Lia, ia menghela napas panjang.
“Aku sudah bilang padamu untuk berhenti mencari tahu,” katanya.
Lia menatapnya dengan penuh tekad.
“Aku tidak bisa,” balasnya. “Aku butuh jawaban.”
Bayu menatapnya lama, lalu akhirnya menggelengkan kepala.
“Kau benar-benar keras kepala,” gumamnya.
Arman mencondongkan tubuhnya. “Kami hanya ingin tahu tentang pria yang bertemu dengan Raka di kafe itu. Orang dengan tato bintang.”
Bayu tampak terkejut sesaat, tapi kemudian ia menyandarkan punggungnya.
“Kalau begitu, kau benar-benar sedang menggali sesuatu yang berbahaya.”
Lia mengepalkan tangannya. “Siapa dia?”
Bayu menghela napas sebelum akhirnya menjawab,
“Dia salah satu orang kepercayaan Orion. Namanya Gilang.”
Menemukan Gilang
Kini mereka punya nama.
Gilang.
Orang terakhir yang berbicara dengan Raka sebelum kematiannya.
Orang yang mungkin tahu sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
Tapi masalahnya adalah—bagaimana cara menemukannya?
Bayu tidak bisa memberi tahu mereka lebih banyak, karena Gilang adalah orang yang selalu berpindah-pindah tempat.
Namun, ada satu tempat yang sering ia kunjungi.
Sebuah gudang tua di luar kota.
Sebuah tempat yang bisa menjadi awal… atau mungkin akhir bagi pencarian Lia.
Dan meskipun Arman ragu, Lia tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti sekarang.
Mereka harus menemui Gilang.
Mereka harus mencari jawaban.
Sekalipun itu berarti mempertaruhkan nyawa mereka.
Pencarian Lia kini semakin berbahaya.
Tapi ia tahu bahwa semakin banyak yang ia ketahui, semakin jelas bahwa kematian Raka bukan sekadar kecelakaan biasa.
Orion adalah kunci dari semua ini.
Dan Gilang mungkin adalah orang yang bisa memberi tahu mereka kebenaran.
Tapi pertanyaannya adalah—apakah mereka bisa menemukannya sebelum Orion menemukan mereka terlebih dahulu?
Ataukah ini akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar?
Lia tahu bahwa ia tidak boleh berhenti sekarang.
Meskipun keheningan yang menyakitkan masih membayangi, ia harus terus maju.
Karena jawaban yang ia cari…
Mungkin hanya tinggal selangkah lagi.*
BAB 8 : Kejujuran yang Terlambat
Naya akhirnya bertemu Raka. Ia mengetahui bahwa Reza hanyalah rekan kerja, tidak lebih. Raka mengaku bahwa ia hanya merasa lelah dengan hubungan yang selalu dipenuhi pertanyaan dan keraguan. Mereka saling mengungkapkan perasaan yang selama ini dipendam.
Hujan turun dengan derasnya ketika Lia berdiri di depan sebuah gedung tua yang tampak terlantar.
Di dalam sana, Gilang menunggu.
Orang terakhir yang bertemu dengan Raka.
Orang yang mungkin memegang jawaban atas semua pertanyaannya.
Arman berdiri di sebelahnya, tatapannya penuh waspada.
“Apakah kau yakin ingin melakukan ini?” tanyanya pelan.
Lia mengangguk tanpa ragu.
“Aku harus tahu kebenarannya.”
Arman menghela napas, lalu mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya—sebuah pisau kecil yang ia sembunyikan di balik genggaman tangannya.
“Hanya untuk berjaga-jaga,” katanya ketika melihat ekspresi Lia.
Lia tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu bahwa tidak ada jalan kembali.
Jika Gilang tidak mau berbicara, mereka harus siap menghadapi kemungkinan terburuk.
Pertemuan dengan Gilang
Ketika mereka masuk ke dalam gedung, udara lembap langsung menyergap mereka.
Di sudut ruangan, seorang pria duduk di atas peti kayu, merokok dengan ekspresi santai.
Ia memiliki tubuh tinggi, rahang yang kokoh, dan di balik lehernya, terlihat jelas tato bintang dengan lingkaran di sekelilingnya—simbol Orion.
Ketika ia melihat Lia dan Arman, ia tersenyum kecil.
“Kalian akhirnya menemukanku,” katanya dengan suara serak.
Lia menelan ludah.
“Aku ingin tahu tentang Raka,” katanya langsung.
Gilang tertawa pelan, meniupkan asap rokok ke udara.
“Semua orang ingin tahu tentang Raka belakangan ini,” gumamnya.
Arman menegang. “Apa maksudmu?”
Gilang menatap mereka dengan tajam.
“Kalian pikir hanya kalian yang mencari jawaban?” katanya. “Orion juga menginginkannya. Dan percayalah, mereka tidak suka ketika seseorang mengorek-ngorek urusan mereka.”
Lia merasakan ketakutan merambat di tulang punggungnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?” tanyanya dengan suara gemetar.
Gilang terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang.
“Kau ingin kejujuran?” tanyanya.
Lia mengangguk.
Gilang menatapnya dalam-dalam.
“Baiklah,” katanya. “Tapi aku tidak yakin kau akan suka dengan jawabannya.”
Kebenaran yang Terungkap
Gilang melempar puntung rokoknya ke lantai dan menginjaknya sebelum mulai berbicara.
“Raka bukan korban kecelakaan biasa,” katanya.
Lia menahan napas.
“Aku sudah menduga itu,” katanya pelan.
Gilang menyeringai. “Tapi yang tidak kau duga adalah… Raka sebenarnya sedang menyelidiki Orion.”
Lia membelalakkan mata. “Apa?”
Gilang mengangguk.
“Dia menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ia ketahui. Sesuatu yang cukup besar hingga Orion merasa perlu membungkamnya.”
Arman mengepalkan tangannya. “Jadi Orion membunuhnya?”
Gilang mengangkat bahu. “Atau mungkin mereka hanya ingin memberinya peringatan. Tapi jelas, Raka terlalu dekat dengan sesuatu yang berbahaya.”
Lia merasakan dadanya semakin sesak.
“Kenapa dia tidak pernah memberitahuku?” bisiknya.
Gilang menatapnya dengan penuh arti.
“Mungkin dia ingin melindungimu.”
Lia menggigit bibirnya. Ia ingin marah, ingin berteriak.
Tapi yang lebih dari itu, ia ingin menangis.
Semua ini terlalu banyak untuk dicerna.
Raka…
Apa yang sebenarnya telah ia temukan?
Kejujuran yang Terlambat
“Jika kau ingin tahu lebih banyak, kau harus mencari sesuatu,” kata Gilang akhirnya.
Lia menatapnya dengan penuh harap. “Apa itu?”
Gilang mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Buku catatan Raka,” katanya. “Yang asli.”
Lia mengerutkan kening. “Tapi aku sudah memilikinya.”
Gilang menggeleng.
“Buku yang kau miliki hanya sebagian kecil. Raka menyembunyikan bagian terpenting di tempat lain.”
Lia merasakan bulu kuduknya meremang.
“Di mana?” tanyanya dengan suara bergetar.
Gilang tersenyum kecil.
“Itu yang harus kau temukan sendiri.”
Lia mengepalkan tangannya.
Semakin banyak yang ia ketahui, semakin besar pula misteri yang terbuka.
Dan semakin ia menyadari satu hal—
Bahwa kejujuran ini mungkin datang terlambat.
Terlambat untuk menyelamatkan Raka.
Tapi mungkin…
Belum terlambat untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Lia kini memiliki petunjuk baru—buku catatan Raka yang asli.
Tapi dengan semakin dekatnya ia ke kebenaran, bahaya pun semakin besar.
Orion mungkin sudah mengetahui pergerakannya.
Dan jika mereka tahu apa yang ia cari…
Mereka tidak akan membiarkannya pergi dengan mudah.
Lia tahu bahwa ia harus bertindak cepat.
Sebelum semuanya terlambat.
Sebelum ia menjadi korban berikutnya.*
BAB 9 : Di Antara Jarak dan Luka
Kini, mereka dihadapkan pada pilihan: tetap bersama dan memperbaiki segalanya, atau berpisah untuk menghindari lebih banyak luka?
1. Keheningan yang Mencekik
Malam itu, Lia duduk di depan jendela apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berpendar dalam kesunyian.
Di tangannya, ada buku catatan Raka yang sudah berkali-kali ia baca, namun tetap terasa seperti teka-teki yang belum selesai.
Di antara lembaran-lembaran itu, tersimpan sisa-sisa kisah yang Raka tinggalkan—sebuah kisah yang masih menggantung tanpa akhir.
Ada luka yang tidak bisa ia sembuhkan, dan ada jarak yang tidak bisa ia jangkau.
Jarak antara ia dan Raka.
Jarak antara masa lalu dan kebenaran yang ingin ia ketahui.
Dan semakin ia menyelami ini, semakin ia merasa dirinya semakin jauh dari semua yang pernah ia anggap nyata.
2. Perjalanan Menuju Jawaban
Keesokan paginya, Lia menemui Arman di sebuah kafe kecil yang sepi.
Tatapan pria itu penuh kekhawatiran. “Jadi, apa rencanamu sekarang?”
Lia menyesap kopinya perlahan sebelum menjawab, “Aku harus menemukan bagian terakhir dari buku catatan Raka.”
Arman menghela napas. “Kau sadar ini semakin berbahaya, kan?”
Lia menatapnya dengan tekad yang bulat. “Aku sudah terlalu jauh untuk mundur.”
Arman menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk.
“Baiklah,” katanya. “Kalau begitu, kita mulai dari sini.”
3. Petunjuk dari Masa Lalu
Mereka kembali menelusuri jejak terakhir Raka, mencoba mengingat setiap tempat yang pernah ia singgahi, setiap orang yang mungkin menyimpan kunci dari misteri ini.
Hingga akhirnya, mereka menemukan sesuatu.
Sebuah apartemen kecil di pinggiran kota—tempat di mana Raka pernah tinggal sebelum semuanya berubah.
Dan di dalamnya, mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan.
Sebuah kotak kecil yang tersembunyi di bawah lantai kayu, dengan kunci yang hampir berkarat.
Dengan hati-hati, Lia membuka kotak itu…
Dan di dalamnya, ada bagian terakhir dari buku catatan Raka.
4. Luka yang Terbuka
Lia membaca halaman-halaman terakhir itu dengan jantung berdebar.
Di sana, Raka menuliskan sesuatu yang tidak pernah ia duga.
Sebuah pengakuan.
Sebuah kebenaran yang menyakitkan.
“Aku tahu aku tidak punya banyak waktu lagi. Tapi jika sesuatu terjadi padaku, aku ingin kau tahu bahwa aku selalu mencintaimu, Lia. Aku hanya ingin melindungimu. Tapi sekarang, aku sadar bahwa mungkin keputusanku salah. Jika kau membaca ini… maafkan aku. Dan tolong, berhati-hatilah.”
Lia merasakan dadanya sesak.
Air mata mengalir di pipinya tanpa bisa ia hentikan.
Raka…
Mengapa ia harus mengetahui semua ini sekarang?
Mengapa kebenaran ini datang begitu terlambat?
5. Antara Jarak dan Luka
Saat ia menutup buku itu, Lia menyadari satu hal.
Tidak peduli seberapa jauh ia mengejar kebenaran, tidak peduli seberapa banyak luka yang ia tanggung…
Raka sudah pergi.
Dan tidak ada yang bisa mengubah itu.
Tapi satu hal yang pasti—
Ia tidak akan membiarkan kematian Raka sia-sia.
Ia akan menemukan orang-orang yang bertanggung jawab.
Ia akan mencari keadilan.
Meskipun itu berarti harus menghadapi bahaya yang lebih besar lagi.
Karena di antara jarak dan luka, hanya ada satu hal yang bisa membawanya maju.
Keberanian.
Dan ia sudah siap untuk itu.*
BAB 10 :Akhir yang Kita Pilih
Naya dan Raka mengambil keputusan akhir untuk hubungan mereka. Apakah mereka akan berjuang bersama atau mengikhlaskan cinta yang pernah ada?
Lia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri.
Di matanya, ada kelelahan. Tapi di balik itu, ada tekad yang tak tergoyahkan.
Hari ini adalah hari yang akan menentukan segalanya.
Orion tahu bahwa ia semakin dekat dengan kebenaran.
Dan jika ia tidak bergerak sekarang, mungkin ia tidak akan pernah mendapatkan kesempatan lagi.
Arman menatap Lia dengan ekspresi serius.
“Apa kau benar-benar yakin akan melakukan ini?” tanyanya.
Lia mengangguk. “Aku harus.”
Arman menarik napas dalam. “Kalau begitu, aku bersamamu.”
Lia tersenyum kecil. “Terima kasih.”
Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa mundur lagi.
Sekarang, hanya ada satu jalan—maju.
Mereka tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota—tempat di mana semua rahasia akan terungkap.
Di dalamnya, seorang pria berdiri menunggu.
Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, tapi suaranya terdengar jelas.
“Akhirnya kau datang, Lia,” katanya.
Lia mengepalkan tangannya.
“Kenapa kalian membunuh Raka?” tanyanya dengan suara bergetar.
Pria itu tertawa kecil.
“Kau masih belum mengerti?” katanya. “Raka terlalu banyak tahu. Dan sekarang, begitu juga kau.”
Lia merasa jantungnya berdebar.
“Jadi semua ini… tentang informasi yang Raka temukan?” tanyanya.
Pria itu mengangguk.
“Dia menemukan sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui. Dan itu membuatnya berbahaya.”
Lia merasakan amarahnya memuncak.
“Jadi kalian menghilangkannya?”
Pria itu tersenyum dingin.
“Bukan hanya dia,” katanya. “Tapi juga siapa pun yang mencoba menggali lebih dalam.”
Lia merasakan tubuhnya menegang.
Mereka tidak hanya mengincar Raka.
Mereka juga mengincarnya.
Lia tahu bahwa ia hanya memiliki dua pilihan—melawan atau menyerah.
Dan ia tidak akan menyerah.
Dengan segenap keberanian, ia melawan.
Dan dalam pertarungan itu, ia menyadari satu hal—
Bahwa hidup bukan hanya tentang mencari kebenaran.
Tapi juga tentang memilih jalan yang ingin kita tempuh.
Dan Lia telah memilih jalannya sendiri.
Jalan menuju kebebasan.
Jalan menuju kebenaran.
Tidak peduli seberapa sulitnya itu.***
——————-THE END—————–