Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

MENUNGGGU DIDALAM HENING

MENUNGGU DIDALAM HENING

SAME KADE by SAME KADE
April 1, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 18 mins read
MENUNGGGU DIDALAM HENING

Daftar Isi

  • Bab 1: Janji yang Tak Kunjung Datang
  • Bab 2: Masa Lalu yang Indah
  • Bab 3: Waktu Terus Berjalan
  • Bab 4: Tanda-tanda yang Menghancurkan Harapan
  • Bab 5: Kebenaran Terungkap
  • Bab 6: Menemukan Diri Sendiri

Bab 1: Janji yang Tak Kunjung Datang

Gambaran seorang wanita (bisa diberi nama) yang duduk di sebuah tempat penuh kenangan, mengenang janji seseorang yang pernah berjanji untuk kembali.Suasana hening yang menyelimuti perasaannya, menggambarkan kesepian dan ketidakpastian.

Langit senja merona jingga, mewarnai cakrawala dengan semburat keemasan yang perlahan-lahan meredup. Di tepi danau yang tenang, seorang wanita duduk diam di bangku kayu yang telah lapuk dimakan usia. Rambut panjangnya tertiup angin lembut, menyapu wajah yang tengah menatap permukaan air dengan tatapan kosong. Namanya Rania.

Sudah bertahun-tahun ia datang ke tempat ini, duduk di bangku yang sama, menunggu sosok yang pernah berjanji akan kembali. Namun waktu terus bergulir, membawa serta musim demi musim, dan ia masih sendiri. Kesunyian yang mengelilinginya seakan berbicara lebih lantang dari suara hatinya sendiri, mengingatkan bahwa penantian yang dijalaninya semakin kehilangan makna.

Dahulu, tempat ini bukan hanya sekadar danau. Tempat ini adalah saksi bisu dari kisahnya bersama seseorang yang pernah mengisi hatinya. Langkah kaki mereka pernah beriringan di sepanjang tepian, tawa mereka pernah bercampur dengan suara riak air, dan janji itu… janji yang hingga kini tetap ia genggam erat meski hanya berupa kata-kata yang tertinggal di angin.

“Rania, tunggulah aku. Aku pasti kembali.”

Suara itu masih bergema dalam ingatannya, sejelas hari ketika ia mendengar langsung dari bibir lelaki itu. Davin, sosok yang pernah mengisi hari-harinya dengan kehangatan, lalu pergi dengan membawa separuh dari jiwanya.

Tapi bagaimana jika janji itu hanya sebatas angan? Bagaimana jika ia telah menunggu sesuatu yang tak akan pernah terjadi?

Angin malam mulai merayap, membawa hawa dingin yang menggigit kulit. Rania menarik mantel yang membalut tubuhnya, mencoba mengusir dingin yang entah berasal dari udara atau hatinya sendiri. Seorang pria tua yang sering berjualan jagung bakar di dekat danau mendekatinya.

“Masih menunggu?” tanyanya lembut, matanya penuh pengertian.

Rania tersenyum samar. “Iya, Pak. Seperti biasa.”

Pria tua itu menghela napas. “Kadang, yang kita tunggu tak selalu kembali, Nak.”

Kata-kata itu mengiris hatinya, namun ia memilih untuk tidak merespons. Ia tahu, dalam diamnya, ada pertanyaan yang terus menggema: sampai kapan ia akan bertahan dalam penantian yang semakin pudar ini?

Hari semakin gelap. Cahaya lampu-lampu taman mulai menyala, menciptakan bayangan samar di sepanjang jalur pejalan kaki. Rania masih di sana, membiarkan waktu mengalir di sekelilingnya, tetap terdiam dalam hening yang semakin akrab dengannya.

Waktu terasa seperti berhenti setiap kali ia duduk di sana. Tak ada suara selain desir angin dan gemericik air. Hatinya terus bertanya, apa yang membuatnya begitu keras kepala untuk bertahan dalam penantian ini? Apakah cinta memang sekuat itu, atau ini hanyalah ketakutannya sendiri untuk melangkah ke depan?

Ia memejamkan mata, membiarkan ingatannya kembali ke masa lalu. Hari di mana Davin mengucapkan janji itu adalah hari yang begitu berkesan. Mereka berdiri di tepi danau yang sama, saat matahari mulai tenggelam seperti sekarang. Davin menggenggam tangannya erat, menatapnya dengan penuh keyakinan.

“Rania, aku harus pergi. Tapi aku janji, aku akan kembali untukmu.”

Ia ingat betapa matanya yang penuh harapan saat itu. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam tatapan Davin. Tidak ada tanda bahwa suatu hari janji itu bisa pudar. Tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang direncanakan.

Setelah kepergian Davin, Rania mencoba untuk tetap kuat. Ia mengisi hari-harinya dengan kesibukan, bekerja, bertemu teman-teman, tetapi tidak ada satu pun yang bisa mengisi kekosongan di hatinya. Ia selalu kembali ke tempat ini, berharap suatu saat Davin akan muncul di hadapannya, tersenyum, dan mengulangi janji itu sekali lagi.

Tahun demi tahun berlalu, dan harapannya mulai melemah. Orang-orang di sekelilingnya mulai bertanya-tanya. Mengapa ia masih menunggu? Mengapa ia tidak mencoba membuka lembaran baru?

Ibunya pernah berkata padanya, “Rania, kau tak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu.”

Ia tahu ibunya benar. Tapi bagaimana caranya berhenti menunggu seseorang yang begitu ia cintai? Bagaimana cara melupakan janji yang pernah diikrarkan dengan begitu tulus?

Malam semakin larut. Rania masih di sana, ditemani cahaya bulan yang menggantung di langit. Ia menarik napas panjang, membiarkan udara malam memenuhi paru-parunya.

Mungkin, sudah waktunya ia mencari jawaban. Mungkin, ia harus berhenti hanya menunggu di dalam hening. Jika Davin tidak kembali, maka ia yang harus mencari kepastian.

Dengan langkah pelan, ia bangkit dari bangku kayu itu, menatap danau untuk terakhir kalinya malam itu. Mungkin besok ia akan kembali, atau mungkin… ini terakhir kalinya ia menunggu di sini.*

Bab 2: Masa Lalu yang Indah

Flashback ke masa lalu ketika hubungan mereka masih utuh.

Perkenalan mereka, momen-momen bahagia yang mereka lalui bersama.

Janji yang diucapkan oleh pria itu sebelum pergi.

Matahari bersinar cerah di langit biru yang nyaris tanpa awan. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa keharuman bunga yang sedang bermekaran di taman. Rania tertawa kecil saat Davin meraih tangannya dan menggenggamnya erat.

Mereka berjalan di sepanjang jalan kecil menuju danau yang kini menjadi tempat kenangan mereka. Setiap langkah terasa ringan, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Wajah Davin dipenuhi cahaya kebahagiaan, dan Rania tak bisa mengalihkan pandangannya dari lelaki yang begitu dicintainya itu.

Davin menoleh ke arahnya dengan senyum khasnya. “Kau tahu, aku bisa melakukan ini seumur hidup. Berjalan bersamamu seperti ini.”

Rania tersipu, menggigit bibir bawahnya. “Kau terlalu banyak bicara.”

Davin tertawa, kemudian menarik Rania ke dalam pelukannya. Mereka berdiri di tepian danau, menikmati angin yang menyapu lembut kulit mereka.

“Aku ingin kita selalu seperti ini, Ran,” ucap Davin pelan.

Rania menatap matanya dalam-dalam. “Aku juga.”

Saat itu, dunia terasa begitu sempurna. Namun, mereka tidak pernah menyadari bahwa kebahagiaan tak selalu bertahan selamanya. Ada keputusan yang harus diambil, ada perpisahan yang harus dihadapi. Dan janji yang diucapkan pada hari itu akan menjadi sesuatu yang terus membekas dalam hati mereka.

Namun, benarkah semua janji harus ditepati? Atau justru ada janji yang memang dibiarkan menggantung dalam waktu?

(Flashback lebih panjang tentang kisah cinta mereka sebelum perpisahan, interaksi lebih mendalam, dan momen-momen yang memperlihatkan betapa indahnya masa lalu mereka akan ditambahkan di sini.)

“Suatu hari nanti, aku akan membawamu ke tempat yang lebih indah dari ini,” kata Davin suatu hari, saat mereka berdiri di tepi jembatan kecil yang melintasi danau.

“Lebih indah dari ini?” Rania mengerutkan kening, pura-pura tidak percaya.

Davin tertawa. “Ya. Tapi aku butuh waktu. Aku harus meraih sesuatu dulu.”

Saat itu, Rania tidak terlalu memahami apa yang dimaksud Davin. Ia hanya menikmati saat-saat bersama lelaki itu. Namun, kini ia mengerti. Davin harus pergi demi meraih impiannya. Dan ia telah berjanji akan kembali.

(Flashback lebih panjang tentang momen-momen kebersamaan mereka, termasuk percakapan, kebiasaan-kebiasaan kecil yang membuat hubungan mereka istimewa, serta konflik yang mungkin muncul sebelum perpisahan akan ditambahkan lebih lanjut.)*

Bab 3: Waktu Terus Berjalan

Kehidupan wanita itu yang tetap bertahan dalam kesetiaan menunggu.

Pergolakan batin antara harapan dan keputusasaan.

Orang-orang di sekitarnya mencoba meyakinkan bahwa ia harus melanjutkan hidup.Sejak malam itu, saat pertama kali Aisyah melihat sosok Arka dari balik tirai hujan yang membasahi kota kecil tempat ia tinggal, kehidupannya tak lagi sama. Bayangan wajah Arka selalu hadir, seolah waktu berhenti hanya untuk mengabadikan pertemuan singkat mereka. Namun, kenyataannya, waktu terus berjalan, meninggalkan Aisyah dalam dilema dan penyesalan yang tak kunjung selesai.
Aisyah masih mengingat dengan jelas malam ketika ia memutuskan untuk tidak mengejar Arka. Dalam benaknya, terlalu banyak keraguan dan ketakutan yang menghalangi langkahnya. “Apa yang akan kukatakan jika aku bertemu dengannya? Apakah dia masih mengenaliku? Ataukah dia sudah melupakanku?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, menghalanginya untuk bertindak.
Namun, hari-hari yang berlalu tanpa kabar tentang Arka hanya membuat Aisyah semakin gelisah. Kota kecil itu terasa semakin sunyi, seolah-olah semua sudutnya bersekongkol untuk mengingatkan Aisyah pada seseorang yang kini entah berada di mana.
Di tempat lain, Arka juga tidak bisa melupakan pertemuan singkatnya dengan Aisyah. Hujan yang turun malam itu seperti membasuh semua kenangan lama yang pernah ia coba lupakan. Wajah Aisyah, yang terlihat sedikit lebih dewasa namun tetap memancarkan kehangatan yang sama, membuat Arka kembali diingatkan pada hari-hari mereka bersama bertahun-tahun yang lalu.
“Apakah aku harus mencarinya?” pikir Arka sambil menatap langit-langit kamarnya yang suram. Ia tahu bahwa waktu tak pernah berpihak pada mereka. Keadaan yang dulu memisahkan mereka masih terasa relevan, meskipun tahun-tahun telah berlalu.
Arka memutuskan untuk membuka kembali kotak kayu tua yang selalu ia simpan di sudut lemari. Di dalamnya, tersimpan foto-foto lama mereka berdua, surat-surat yang tak pernah ia kirimkan, serta sebuah kalung kecil berbentuk bulan sabit—hadiah terakhir dari Aisyah sebelum mereka berpisah.
“Apakah kamu juga masih menyimpanku dalam ingatanmu, Aisyah?” bisiknya lirih.
Hari demi hari berlalu. Aisyah mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja keras di toko bukunya. Namun, setiap kali ia melayani pelanggan, ia berharap salah satu dari mereka adalah Arka. Setiap kali bel pintu toko berbunyi, hatinya melonjak, hanya untuk kembali tenggelam dalam kekecewaan saat menyadari bahwa itu bukan Arka.
Sahabatnya, Lila, akhirnya angkat bicara. “Aisyah, aku tahu kau memikirkan seseorang. Kenapa kau tidak mencoba mencarinya? Jangan biarkan rasa penasaran ini menyiksamu lebih lama.”
Aisyah menggeleng pelan. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, Lila. Kota ini kecil, tapi dia bisa saja pergi ke mana saja.”
“Tapi kau punya kenangan, bukan? Mungkin kenangan itu bisa membawamu ke arahnya,” ujar Lila penuh semangat.
Malam itu, Aisyah duduk di kamar dengan tumpukan buku harian lamanya. Ia membuka satu per satu halaman, mencari jejak yang mungkin mengarahkannya pada Arka. Setiap kata, setiap catatan, mengembalikan ingatannya pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui bersama.
Di salah satu halaman, ia menemukan sebuah catatan tentang tempat yang dulu sering mereka kunjungi—sebuah taman kecil di tepi danau. “Apakah dia masih mengingat tempat ini?” gumam Aisyah sambil menggenggam buku hariannya erat-erat.
Sementara itu, Arka memutuskan untuk kembali ke tempat yang sama. Ia tahu bahwa waktu telah mengubah banyak hal, tetapi hatinya berkata bahwa taman itu mungkin masih menyimpan jejak kenangan mereka.
Ketika Arka tiba di sana, hujan mulai turun, persis seperti malam itu. Ia berdiri di bawah pohon besar, menatap danau yang tenang di depannya. Hatinya berdebar kencang, berharap bahwa keajaiban bisa terjadi.
Aisyah tiba di taman itu beberapa saat kemudian. Dengan payung di tangannya, ia berjalan perlahan, mengamati setiap sudut taman. Rasanya aneh kembali ke tempat itu setelah bertahun-tahun lamanya. Namun, di tengah keheningan hujan, ia melihat seseorang berdiri di kejauhan.
Langkahnya terhenti. Jantungnya berdetak lebih cepat.
“Arka?” panggilnya lirih, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Pria itu menoleh. Tatapan mereka bertemu, dan untuk sesaat, dunia seolah berhenti berputar.
“Aisyah?” Arka menjawab, suaranya serak dan penuh emosi.
Waktu memang terus berjalan, tapi di antara mereka, perasaan yang dulu ada tampaknya tak pernah hilang. Hujan yang turun malam itu menjadi saksi bisu dari sebuah pertemuan yang selama ini hanya ada dalam angan-angan.
Pertemuan itu bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan mereka yang baru. Keduanya sadar bahwa meskipun waktu telah memisahkan mereka, ada hal-hal yang tidak bisa dihapus begitu saja oleh jarak atau tahun-tahun yang berlalu.
Mereka berbicara sepanjang malam, berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing selama ini. Meski ada begitu banyak hal yang telah berubah, ada juga banyak hal yang tetap sama.
“Aku pikir aku sudah kehilanganmu,” kata Arka sambil menatap dalam-dalam ke mata Aisyah.
“Aku juga berpikir begitu,” jawab Aisyah dengan senyum tipis. “Tapi mungkin kita hanya perlu waktu untuk menemukan jalan kita kembali.”
Dan malam itu, di bawah hujan yang terus turun, mereka berdua sepakat untuk tidak lagi membiarkan waktu mengalahkan mereka.*

Bab 4: Tanda-tanda yang Menghancurkan Harapan

Berita atau petunjuk yang menyatakan bahwa pria yang ia tunggu mungkin tidak akan kembali.

Konfrontasi dengan realitas, apakah semua ini hanya sia-sia?

Langit kota sore itu tampak kelabu, seolah menyiratkan sesuatu yang berat akan terjadi. Aisyah berdiri di depan toko bukunya, menatap jalanan yang basah setelah hujan singkat mengguyur. Aroma tanah yang khas menyergap hidungnya, namun hatinya dipenuhi kegelisahan yang tak jelas asalnya.
Sejak pertemuan tak terduga dengan Arka di taman beberapa hari yang lalu, kehidupan Aisyah kembali dipenuhi rasa harap. Ia merasa seolah takdir memberi mereka kesempatan kedua untuk memperbaiki segalanya. Namun, di balik kebahagiaannya, ada sesuatu yang mengusik pikirannya—sebuah firasat aneh yang tak bisa ia abaikan.
Arka memang kembali, tapi ada bayangan gelap yang tersimpan di matanya. Setiap kali mereka berbicara, ada momen-momen ketika Arka tampak ragu atau seolah menyembunyikan sesuatu. Aisyah mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaan berlebihannya saja.
Namun, firasat buruk itu semakin kuat ketika Arka tiba-tiba menghilang tanpa kabar selama dua hari terakhir.
Malam itu, Aisyah duduk di kamarnya dengan telepon genggam di tangan. Ia menatap layar kosong, ragu untuk menghubungi Arka lebih dulu.
“Kenapa aku harus ragu?” gumamnya pada diri sendiri.
Ia mengetik pesan singkat:

“Hai, apa kabar? Lama nggak dengar kabar darimu. Semoga semuanya baik-baik saja.”

Namun, setelah menunggu hampir setengah jam, tak ada balasan.
Aisyah mencoba menghibur dirinya. “Mungkin dia sibuk. Aku harus tetap positif.”
Namun hatinya tak bisa tenang. Ia tahu ada sesuatu yang tak beres.
Di sisi lain kota, Arka duduk di dalam mobil yang terparkir di depan sebuah gedung tinggi. Wajahnya tegang, matanya menatap lurus ke depan tanpa benar-benar melihat apa yang ada di depannya.
Di tangannya, ia menggenggam sebuah amplop cokelat besar yang telah ia buka sebelumnya. Isi di dalamnya membuat dunianya terguncang.
“Ini nggak mungkin…” gumamnya lirih.
Surat itu adalah pemberitahuan resmi dari rumah sakit. Hasil tes medis yang menunjukkan bahwa ada masalah serius dengan kesehatannya. Diagnosis itu menghantam Arka seperti badai yang datang tanpa peringatan.
Ia tahu bahwa ini akan mengubah segalanya. Hidupnya, masa depannya, dan yang paling menyakitkan, hubungannya dengan Aisyah.
Hari-hari berikutnya, Aisyah mulai merasakan jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Arka. Setiap kali ia mencoba menghubungi Arka, pria itu selalu memberikan alasan untuk tidak bertemu.
“Aku sedang sibuk dengan pekerjaan,” ujar Arka di telepon suatu malam.
“Tapi kita bisa bertemu sebentar saja, kan? Aku cuma ingin tahu kabarmu,” pinta Aisyah dengan suara penuh harap.
Arka terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Maaf, Aisyah. Mungkin nanti ya.”
Telepon pun terputus, meninggalkan Aisyah dalam kebingungan dan kesedihan.
Lila, sahabat Aisyah, mencoba menghiburnya. “Mungkin dia benar-benar sibuk. Kau tahu sendiri pekerjaan Arka selalu menyita waktunya.”
“Tapi kenapa rasanya seperti dia menjauh dariku?” tanya Aisyah dengan mata berkaca-kaca.
“Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Kau hanya perlu bersabar.”
Namun, Aisyah tahu ada sesuatu yang salah.
Sementara itu, Arka semakin terpuruk dalam pergulatan batinnya. Ia ingin sekali berbicara jujur kepada Aisyah, tetapi ia takut. Bagaimana jika Aisyah meninggalkannya setelah tahu kenyataan ini? Bagaimana jika harapan yang baru saja tumbuh di antara mereka hancur begitu saja?
Di suatu malam yang gelap, Arka akhirnya memutuskan untuk menemui seseorang yang mungkin bisa memberinya jawaban—Ibunya.
“Ibu, aku nggak tahu harus gimana,” kata Arka dengan suara berat.
Ibunya menatapnya dengan penuh kasih. “Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?”
Dengan suara gemetar, Arka menceritakan semuanya. Tentang hasil tes medis, tentang ketakutannya, dan tentang Aisyah.
“Menurut Ibu, aku harus gimana? Apa aku harus jujur sama Aisyah?”
Sang ibu menghela napas panjang. “Jujur memang berat, Nak. Tapi cinta yang sejati nggak akan lari hanya karena sebuah kenyataan pahit. Kalau Aisyah benar-benar mencintaimu, dia akan tetap ada di sisimu.”
Arka terdiam, mencerna kata-kata ibunya.
Beberapa hari kemudian, Aisyah yang sudah tak tahan lagi dengan sikap Arka memutuskan untuk menemui pria itu langsung. Ia tahu alamat apartemen Arka dan bertekad untuk mendapatkan jawaban.
Ketika Aisyah tiba di depan pintu apartemen Arka, jantungnya berdebar kencang. Ia mengetuk pintu dengan tangan yang sedikit gemetar.
Arka membuka pintu dengan wajah terkejut. “Aisyah? Kenapa kamu di sini?”
“Aku ingin bicara,” ujar Aisyah dengan suara tegas.
Arka tampak ragu sejenak sebelum akhirnya mengizinkan Aisyah masuk.
Di dalam apartemen yang sederhana itu, suasana terasa tegang. Aisyah menatap Arka dengan tatapan penuh pertanyaan.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Arka? Kenapa kamu menjauh dariku?”
Arka menghela napas berat. “Maaf, Aisyah. Aku nggak bermaksud menjauh, tapi…”
“Tapi apa?” potong Aisyah. “Kalau ada masalah, aku ingin tahu. Aku ingin ada di sisimu.”
Arka menunduk, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku nggak tahu harus ngomong dari mana.”
“Mulailah dari kejujuran,” desak Aisyah.
Akhirnya, dengan suara bergetar, Arka menceritakan semuanya. Tentang hasil tes medis, tentang ketakutannya, dan tentang keputusannya untuk menjauh demi melindungi Aisyah dari rasa sakit.
Air mata Aisyah jatuh tanpa bisa ia tahan. “Kenapa kamu berpikir aku nggak bisa menerima ini? Bukankah cinta itu seharusnya menghadapi semuanya bersama-sama?”
Arka menatap Aisyah dengan mata berkaca-kaca. “Aku hanya nggak mau kamu terluka.”
“Tapi aku lebih terluka kalau kamu menjauh tanpa alasan,” jawab Aisyah dengan suara parau.
Malam itu, meskipun air mata mengalir deras, ada kelegaan yang tumbuh di antara mereka. Mereka sadar bahwa cinta mereka memang harus menghadapi ujian yang berat.
Dan meskipun tanda-tanda yang menghancurkan harapan itu nyata, mereka berdua berjanji untuk tidak menyerah begitu saja.*

Bab 5: Kebenaran Terungkap

Wanita itu akhirnya mengetahui kebenaran tentang pria yang ia tunggu (bisa berupa kematian, pengkhianatan, atau alasan lain).

Kesedihan mendalam, namun juga kelegaan karena akhirnya ia tahu jawabannya.
Malam itu udara terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Aisyah duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong menatap jendela kamar yang tertutup tirai. Di luar, angin berhembus kencang, menghempas dedaunan yang berguguran. Hatinya dipenuhi kecemasan setelah pengakuan mengejutkan Arka beberapa hari yang lalu.
“Aku nggak tahu berapa lama waktu yang tersisa buatku, Aisyah,” kata Arka saat itu dengan suara yang lirih namun penuh kejujuran.
Kalimat itu terus terngiang di telinganya, menghantui pikirannya siang dan malam. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu kuat seperti Arka harus menghadapi cobaan yang begitu berat?
Aisyah tahu bahwa dia tidak boleh menyerah. Jika Arka memilih untuk tetap tegar menghadapi kenyataan pahit itu, maka Aisyah juga harus melakukan hal yang sama. Namun, jauh di dalam hatinya, ada rasa takut yang sulit ia singkirkan—takut kehilangan Arka sebelum mereka benar-benar sempat menikmati kebahagiaan bersama.
Keesokan paginya, Aisyah memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang kondisi Arka. Ia ingin tahu sejauh mana penyakit itu telah mempengaruhi hidupnya dan apakah ada harapan untuk sembuh.
Dengan tekad bulat, Aisyah mengunjungi rumah sakit tempat Arka menjalani pemeriksaan. Setelah beberapa kali bertanya, ia berhasil menemukan dokter yang menangani Arka.
“Dokter, saya Aisyah, teman dekat Arka. Saya ingin tahu tentang kondisinya. Tolong, beri tahu saya apa yang sebenarnya terjadi.”
Dokter yang berusia sekitar lima puluh tahun itu menatap Aisyah dengan raut serius. “Maaf, Nona. Kami tidak bisa memberikan informasi pasien tanpa izin dari yang bersangkutan.”
“Tapi ini penting, Dok. Saya hanya ingin membantu Arka. Dia tidak mau terbuka tentang kondisinya, dan saya khawatir dia tidak mendapatkan perawatan yang cukup.”
Dokter itu terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada yang lebih lembut, “Jika Anda benar-benar peduli padanya, yakinkan dia untuk datang kembali dan menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Kondisinya memang serius, tapi dengan pengobatan yang tepat, masih ada harapan.”
Aisyah mengangguk pelan. Meskipun tidak mendapatkan informasi yang jelas, ia merasa sedikit lega mendengar bahwa masih ada harapan bagi Arka.
Malam harinya, Aisyah menemui Arka di apartemennya. Pria itu tampak lelah, dengan mata yang sedikit sayu.
“Aisyah? Ada apa?” tanya Arka ketika membuka pintu.
“Aku ingin bicara,” jawab Aisyah tanpa basa-basi.
Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana. Aroma kopi yang samar tercium dari dapur, namun suasana di antara mereka terasa tegang.
“Aku ke rumah sakit tadi,” kata Aisyah akhirnya.
Arka terkejut. “Kenapa kamu ke sana?”
“Aku ingin tahu tentang kondisimu. Aku tahu kamu nggak mau terbuka, tapi aku nggak bisa diam saja sementara kamu menanggung semuanya sendirian.”
Arka menghela napas panjang. “Aku nggak ingin kamu terbebani, Aisyah.”
“Tapi aku ingin ada di sisimu. Aku ingin menghadapi ini bersamamu,” ujar Aisyah dengan suara penuh emosi.
Arka terdiam, menatap wajah Aisyah yang dipenuhi tekad. Perlahan, ia menyadari bahwa mungkin selama ini ia salah. Ia terlalu sibuk melindungi Aisyah hingga lupa bahwa cinta berarti menghadapi segalanya bersama-sama.
“Aku akan cerita semuanya,” kata Arka akhirnya.
Malam itu, Arka menceritakan semua yang telah ia pendam selama ini. Tentang hasil tes medis yang menunjukkan bahwa ia menderita penyakit jantung langka yang memerlukan operasi besar. Tentang ketakutannya menghadapi kemungkinan terburuk, dan tentang keputusan sulit yang harus ia buat untuk masa depannya.
“Aku takut, Aisyah. Bukan cuma karena penyakit ini, tapi juga karena aku nggak mau melihat kamu terluka kalau nanti sesuatu yang buruk terjadi.”
Air mata Aisyah mengalir tanpa bisa ia tahan. “Kenapa kamu nggak cerita dari awal? Aku mungkin nggak bisa menyelesaikan semua masalahmu, tapi aku bisa menemanimu.”
Arka menggenggam tangan Aisyah erat-erat. “Maafkan aku. Aku hanya nggak tahu bagaimana cara mengatakannya.”
Hari-hari berikutnya, Aisyah dan Arka mulai menghadapi segala sesuatunya bersama-sama. Mereka berkonsultasi dengan dokter, menjalani pemeriksaan demi pemeriksaan, dan membuat rencana untuk operasi yang akan dilakukan dalam beberapa bulan ke depan.
Di tengah semua cobaan itu, cinta mereka justru semakin kuat.
Namun, tidak semua orang merestui keputusan mereka. Ayah Aisyah yang konservatif mendengar kabar tentang kondisi Arka dan memanggil Aisyah ke rumah.
“Apa maksudmu tetap bersama Arka? Dia punya penyakit serius, Aisyah. Apa kau nggak berpikir panjang?” ujar ayahnya dengan nada tegas.
“Ayah, aku mencintainya. Apa pun yang terjadi, aku ingin ada di sisinya.”
“Tapi bagaimana kalau dia nggak bisa sembuh? Bagaimana masa depanmu?”
Aisyah menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tahu risikonya, Ayah. Tapi aku lebih takut menyesal karena meninggalkannya saat dia paling membutuhkan aku.”
Ayahnya terdiam, terkejut dengan keteguhan hati putrinya. Meskipun sulit, ia akhirnya mengerti bahwa cinta Aisyah pada Arka bukanlah sesuatu yang bisa digoyahkan oleh keadaan.
Waktu terus berjalan, dan hari operasi Arka semakin dekat. Di malam sebelum operasi, Aisyah menemani Arka di rumah sakit. Mereka duduk berdua di balkon kecil yang menghadap ke taman rumah sakit.
“Aisyah, terima kasih sudah ada di sisiku,” kata Arka dengan suara lembut.
“Aku akan selalu ada untukmu, Arka,” jawab Aisyah sambil menggenggam tangan Arka erat-erat.
Malam itu, mereka berbicara tentang mimpi-mimpi mereka, tentang masa depan yang ingin mereka jalani bersama, dan tentang cinta yang telah membawa mereka kembali bersatu meskipun waktu sempat memisahkan mereka.
Keesokan paginya, Arka menjalani operasi yang menegangkan. Aisyah menunggu dengan cemas di ruang tunggu, berdoa agar semuanya berjalan lancar. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik seperti duri yang menusuk hatinya.
Namun, setelah berjam-jam menunggu, dokter akhirnya keluar dengan senyum di wajahnya.
“Operasinya berjalan lancar. Arka sekarang dalam kondisi stabil,” kata dokter itu.
Air mata kebahagiaan mengalir di wajah Aisyah. Ia tahu bahwa perjuangan mereka belum berakhir, tetapi setidaknya mereka telah memenangkan satu pertarungan penting.
Dan yang terpenting, kebenaran yang terungkap tidak menghancurkan cinta mereka, melainkan membuatnya semakin kuat.*

Bab 6: Menemukan Diri Sendiri

Perjalanan emosional untuk menerima kenyataan.

Melepaskan beban masa lalu dan berani melangkah maju.

Simbolisasi perubahan, misalnya berpindah tempat, menemukan cinta baru, atau menemukan makna dalam kesendirian.
Pagi itu mentari perlahan menampakkan wajahnya, menyibak kabut yang menyelimuti kota. Aroma embun yang segar memenuhi udara, menandai awal hari yang baru. Di sebuah balkon kecil rumah sakit, Aisyah berdiri dengan tatapan kosong, memandangi taman yang hijau di bawahnya. Langkah kakinya terasa berat setelah malam yang panjang menunggu kabar Arka yang baru saja menjalani operasi besar.
Meski operasi berjalan lancar, perasaan Aisyah masih bercampur aduk. Ada kelegaan, tapi juga kekhawatiran yang tak kunjung hilang. Ia tahu perjalanan mereka belum selesai. Arka masih harus menjalani pemulihan panjang, dan ada banyak hal yang masih belum pasti di depan mereka.
Namun, di sela-sela semua kekhawatiran itu, ada satu hal yang mulai mengusik pikiran Aisyah—pertanyaan tentang dirinya sendiri. Selama ini, ia begitu fokus pada Arka hingga melupakan dirinya.
Siapa sebenarnya Aisyah tanpa Arka? Apa mimpinya? Apa yang sebenarnya ingin ia capai dalam hidup ini?
Hari itu, setelah memastikan bahwa kondisi Arka stabil, Aisyah memutuskan untuk pulang sejenak ke rumahnya. Ia merasa butuh waktu sendiri untuk merenung dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya.
Setibanya di rumah, ia langsung menuju kamarnya. Dinding-dinding kamar yang penuh dengan rak buku dan lukisan-lukisan kecil yang pernah ia buat terlihat begitu akrab, namun juga terasa asing.
Aisyah duduk di tepi ranjangnya, menatap sebuah lukisan yang tergantung di dinding. Lukisan itu adalah salah satu karya pertamanya—sebuah gambar sederhana tentang bunga matahari yang mekar di bawah sinar mentari.
Dulu, melukis adalah pelariannya dari kenyataan. Namun, sejak bertemu Arka, ia perlahan melupakan hobinya itu. Semua waktunya tersita untuk cinta dan harapan bersama Arka.
Tiba-tiba, Aisyah merasa ada dorongan kuat untuk kembali melukis. Ia mengambil kanvas kosong dan perlengkapan melukis yang sudah lama tersimpan di sudut kamar. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mulai menggoreskan kuas di atas kanvas.
Awalnya, goresan-goresan itu terlihat acak dan tidak beraturan. Namun, semakin lama, Aisyah mulai menemukan ritmenya. Warna-warna cerah mulai memenuhi kanvas, menciptakan gambaran yang penuh kehidupan.
Ketika akhirnya ia selesai, Aisyah menatap lukisannya dengan perasaan campur aduk. Lukisan itu bukan hanya tentang bunga atau pemandangan, tetapi tentang dirinya—tentang perasaan yang selama ini terpendam dan akhirnya menemukan jalan keluar.
Hari-hari berikutnya, Aisyah mulai meluangkan waktu lebih banyak untuk dirinya sendiri. Ia kembali ke toko bukunya yang sempat ditinggalkan selama beberapa waktu. Dengan semangat yang baru, ia merapikan rak-rak buku, menata ulang display, dan bahkan merencanakan acara diskusi buku untuk menarik lebih banyak pengunjung.
“Senang melihatmu kembali aktif di toko ini,” ujar Lila, sahabatnya, suatu sore.
Aisyah tersenyum. “Aku sadar kalau selama ini aku terlalu larut dalam masalah Arka sampai lupa bahwa aku juga punya hidup sendiri.”
Lila menatap Aisyah dengan penuh pengertian. “Itu wajar, Aisyah. Tapi aku bangga kamu bisa menemukan dirimu lagi.”
Sementara itu, di rumah sakit, Arka menjalani proses pemulihan yang cukup berat. Ada hari-hari ketika ia merasa begitu lemah dan putus asa. Namun, setiap kali Aisyah datang mengunjunginya dengan senyum cerah dan cerita-cerita baru dari toko bukunya, semangat Arka perlahan bangkit kembali.
“Kamu terlihat berbeda akhir-akhir ini,” ujar Arka suatu hari.
“Berbeda gimana?” tanya Aisyah sambil tersenyum.
“Lebih bahagia. Lebih percaya diri.”
Aisyah menggenggam tangan Arka. “Aku belajar banyak dari kamu, Arka. Aku sadar bahwa kebahagiaan itu nggak harus selalu datang dari orang lain. Aku harus menemukannya dalam diriku sendiri.”
Arka menatap Aisyah dengan penuh rasa bangga. “Aku senang kamu bisa menemukan itu, Aisyah. Kamu layak mendapatkan kebahagiaan, dengan atau tanpa aku.”
Namun, perjalanan menemukan diri sendiri bukanlah sesuatu yang mudah dan tanpa rintangan. Suatu hari, Aisyah menerima tawaran untuk menjadi pembicara dalam acara seminar tentang bisnis kreatif di Jakarta.
Awalnya, ia ragu untuk menerima tawaran itu. Bagaimana jika Arka membutuhkannya? Bagaimana jika terjadi sesuatu selama ia pergi?
Namun, setelah berbicara dengan Arka, Aisyah akhirnya memutuskan untuk mengambil kesempatan itu.
“Aku akan baik-baik saja, Aisyah. Ini kesempatan yang bagus untukmu. Aku nggak mau jadi alasan kamu melewatkan sesuatu yang penting,” ujar Arka dengan penuh keyakinan.
Dengan dukungan Arka, Aisyah pun berangkat ke Jakarta untuk menghadiri seminar tersebut. Pengalaman itu membuka matanya bahwa dunia ini begitu luas, dan masih banyak hal yang bisa ia pelajari dan capai.
Sepulangnya dari Jakarta, Aisyah merasa lebih percaya diri dan penuh semangat. Ia mulai merencanakan ekspansi bisnis tokonya, menggandeng penulis-penulis lokal untuk mengadakan acara rutin, dan bahkan mempertimbangkan untuk membuka cabang baru di kota lain.
Perubahan itu tidak hanya membawa kebahagiaan bagi Aisyah, tetapi juga memberikan inspirasi bagi Arka.
“Aku jadi pengen ikut bangkit kayak kamu,” kata Arka suatu sore.
“Kamu pasti bisa, Arka. Aku yakin,” jawab Aisyah dengan senyum penuh keyakinan.
Bab ini berakhir dengan momen penuh harapan. Aisyah yang dulu kehilangan dirinya kini telah menemukan kembali jati dirinya. Arka yang sempat terpuruk pun perlahan bangkit dengan semangat baru.
Mereka sadar bahwa cinta bukan berarti melupakan diri sendiri, tetapi justru menemukan kekuatan untuk tumbuh bersama tanpa kehilangan jati diri masing-masing.

Udara pagi terasa sejuk, tapi dingin yang menusuk tidak sebanding dengan kekosongan yang merayap dalam hati Aisyah. Seminggu setelah operasi Arka, ia merasa seperti berada di persimpangan hidup yang tak menentu. Arka kini perlahan pulih, tetapi Aisyah merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Selama ini, ia terlalu sibuk mencemaskan kondisi Arka dan masa depan hubungan mereka hingga lupa siapa dirinya sendiri.
Pagi itu, ia menatap cermin besar di kamar. Bayangan yang terpantul di sana membuatnya tertegun. Wajah yang terlihat letih dan mata yang kehilangan binarnya. Ini bukan Aisyah yang dulu penuh semangat dan percaya diri. Ini adalah Aisyah yang telah kehilangan arah.
Tanpa sadar, air mata mengalir di pipinya.
“Apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup ini?” bisiknya lirih.
Hari itu, Aisyah memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya di toko buku. Ia perlu waktu untuk menemukan kembali dirinya yang hilang. Ia mengemas beberapa pakaian dalam tas kecil dan memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu selalu membuatnya merasa damai—sebuah vila kecil milik keluarganya di daerah pegunungan.
Perjalanan ke sana memakan waktu sekitar tiga jam. Sepanjang jalan, Aisyah memikirkan banyak hal. Tentang Arka, tentang keputusan-keputusan yang telah ia ambil, dan tentang mimpinya yang perlahan terkubur oleh kenyataan hidup.
Setibanya di vila, ia disambut oleh pemandangan hamparan kebun teh yang hijau dan udara yang segar. Suara burung berkicau seakan menyambut kedatangannya. Aisyah menarik napas dalam-dalam, mencoba menghirup energi positif dari alam sekitar.
Ia meletakkan tasnya di dalam vila dan langsung menuju balkon yang menghadap ke lembah. Angin berhembus lembut, membawa aroma dedaunan yang segar. Di tempat ini, Aisyah berharap bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya.
Malam itu, Aisyah duduk di depan perapian dengan secangkir teh hangat di tangannya. Ia membuka buku catatan yang sudah lama tidak disentuh. Halaman-halamannya penuh dengan coretan impian dan rencana hidup yang pernah ia buat bertahun-tahun lalu.
“Aku ingin punya galeri seni sendiri.”
“Aku ingin membuat komunitas seni untuk anak-anak.”
“Aku ingin keliling dunia dan mengadakan pameran lukisan.”
Mata Aisyah berkaca-kaca membaca tulisan-tulisan itu. Semua impian itu pernah menjadi bagian dari dirinya, tetapi kini terasa begitu jauh. Kapan terakhir kali ia melukis? Kapan terakhir kali ia membiarkan imajinasinya bebas tanpa batas?
Dengan tangan gemetar, Aisyah mengambil pena dan mulai menulis di halaman kosong.
“Apa yang membuatku bahagia?”
Pertanyaan sederhana itu menggema dalam pikirannya. Ia merenung sejenak sebelum mulai menuliskan jawaban-jawaban kecil yang terlintas.

Melihat senyum Arka.

Mengelola toko buku.

Melukis tanpa peduli hasil akhirnya.

Menghabiskan waktu di alam.

Ketika ia selesai menulis, ada perasaan lega yang menyelimuti hatinya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aisyah merasa menemukan secercah harapan.
Keesokan paginya, Aisyah membawa kanvas kosong dan perlengkapan melukisnya ke tengah kebun teh. Ia duduk di bawah pohon besar, menikmati sinar matahari yang hangat di wajahnya. Dengan hati yang tenang, ia mulai menggoreskan kuas di atas kanvas.
Warna-warna cerah memenuhi kanvas, menciptakan pemandangan yang penuh kehidupan. Tidak ada aturan, tidak ada tekanan—hanya Aisyah dan imajinasinya yang bebas.
Ketika akhirnya ia selesai, Aisyah menatap lukisannya dengan perasaan bangga. Lukisan itu bukan hanya sekadar gambar, tetapi juga simbol kebebasannya. Kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri.
Setelah beberapa hari di vila, Aisyah kembali ke kota dengan semangat yang baru. Ia tahu bahwa perjalanan menemukan diri sendiri tidak akan selesai dalam semalam, tetapi setidaknya ia telah memulainya.
Di toko bukunya, Aisyah mulai membuat perubahan. Ia menambahkan sudut kecil yang didedikasikan untuk karya seni lokal, mengadakan acara diskusi buku, dan bahkan merencanakan pameran seni kecil-kecilan.
Lila, sahabatnya, terkejut melihat perubahan Aisyah. “Kamu terlihat beda, Aisyah. Lebih bahagia.”
Aisyah tersenyum. “Aku belajar bahwa kebahagiaan itu nggak harus datang dari orang lain. Aku harus menemukannya dalam diriku sendiri.”
Sementara itu, Arka yang masih menjalani pemulihan di rumah sakit merasa terinspirasi oleh semangat Aisyah.
“Kamu benar-benar berubah, Aisyah,” katanya suatu hari ketika Aisyah datang menjenguk.
“Aku menemukan sesuatu yang hilang selama ini, Arka. Aku menemukan diriku sendiri.”
Arka tersenyum. “Aku bangga sama kamu. Dan aku juga ingin menemukan diriku lagi.”
“Aku akan selalu ada di sisimu, Arka. Tapi perjalanan menemukan diri sendiri adalah perjalanan yang harus kamu jalani sendiri.”
Arka mengangguk dengan penuh tekad. “Aku siap, Aisyah.”
Bab ini berakhir dengan momen penuh harapan. Aisyah yang dulu kehilangan jati dirinya kini telah menemukan kembali semangat dan mimpinya. Arka yang sempat terpuruk pun mulai menemukan kekuatan untuk bangkit.
Perjalanan mereka belum berakhir, tetapi mereka tahu bahwa dengan cinta yang tulus dan keyakinan pada diri sendiri, tidak ada rintangan yang tidak bisa mereka hadapi.***

————–THE END————-

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#HarapanBersama#JarakBukanPenghalang#Kesetiaan#Komitmen#LDR#LongDistanceRelationship#perjuangancinta#RinduTakBerujung#SetiaMenunggu
Previous Post

DENDAM YANG KU PERAM

Next Post

” AKU MASIH MENGINGAT TATAPAN ITU “

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
” AKU MASIH MENGINGAT TATAPAN ITU “

" AKU MASIH MENGINGAT TATAPAN ITU "

TAKDIR YANG MEMBELAH CINTA KITA

TAKDIR YANG MEMBELAH CINTA KITA

CINTA YANG KAU HANCURKAN

CINTA YANG KAU HANCURKAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id