Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

ANTARA LOGIKA DAN CINTA

By : Same Kade

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Bucin
Reading Time: 25 mins read
ANTARA LOGIKA DAN CINTA

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal yang Tak Terduga
  • Bab 2: Perasaan yang Membingungkan
  • Bab 3: Menjaga Jarak
  • Bab 4: Cinta yang Menggoda
  • Bab 5: Keraguan dan Konflik
  • Bab 6: Keputusan Sulit
  • Bab 7: Cinta yang Sempurna
  • Bab 8: Epilog – Antara Cinta dan Kebahagiaan

Bab 1: Awal yang Tak Terduga

Lia duduk di sudut ruangan yang ramai, matanya tertuju pada layar laptop yang terbuka di hadapannya. Di sekelilingnya, suara obrolan ringan, tawa, dan suara deru mesin kopi memenuhi udara. Acara networking tahunan yang diselenggarakan oleh perusahaannya kali ini, seperti biasa, tidak menarik baginya. Bagi Lia, dunia kerja adalah hal yang pasti. Semua yang dia butuhkan ada di dalam analisis data dan angka-angka yang terstruktur dengan rapi. Hidupnya berjalan seperti algoritma yang sempurna: terencana dan tanpa gangguan yang tak diinginkan. Cinta? Itu hanya gangguan, sebuah emosi yang tidak bisa dikendalikan dan sebaiknya dihindari.

Seorang rekan kerjanya, Maya, yang duduk di sebelahnya, mendesah. “Lia, kamu nggak tertarik sama sekali sama yang lain, ya? Lihat tuh, banyak banget orang-orang keren di sini,” Maya menunjuk dengan gelengan kepala pada pria-pria yang berkumpul di sekitar meja lain. “Mereka semua pasti asyik diajak ngobrol. Ayo dong, sedikit lebih terbuka!”

Lia hanya tersenyum datar, menggeser kacamatanya sedikit ke atas. “Aku lebih suka fokus sama pekerjaan, Maya. Lagipula, apa yang aku butuhkan dari mereka? Semua yang aku cari sudah ada di sini.” Dia mengangkat tangannya dengan sedikit gerakan untuk menunjukkan laptop dan catatan yang tersebar di meja.

Maya menatapnya dengan tatapan setengah bingung, tapi dia tidak melanjutkan pembicaraan. Lia tahu Maya mencoba untuk memahaminy, tapi tidak mudah untuk menggali sisi lain dari dirinya yang terlalu terstruktur. Dia sudah terbiasa hidup dalam dunia yang logis dan bisa dijelaskan, tidak seperti perasaan yang seringkali sulit dimengerti dan lebih sering menyakitkan.

Namun, takdir punya caranya sendiri untuk mengubah segalanya.

Saat Lia tengah sibuk mengetikkan beberapa data yang perlu diperbaiki, sebuah suara yang cukup familiar menghampiri telinganya. “Lia, kamu sibuk banget ya? Sepertinya kamu perlu istirahat sebentar.” Suara itu penuh dengan nada santai dan kehangatan. Lia menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan sosok pria yang cukup asing baginya, tetapi wajahnya tidak sepenuhnya asing.

Pria itu, yang tampaknya tak lebih muda darinya, tersenyum lebar dengan tatapan yang tidak bisa ditebak. Rambutnya sedikit berantakan, dan kemeja yang dikenakannya sepertinya lebih kasual dibandingkan para peserta acara lainnya. Meskipun demikian, ada sesuatu tentang dirinya yang membuat Lia merasa… tertarik.

“Dhan, kan?” tanya Lia dengan sedikit ragu, meski dia yakin itu adalah pria yang duduk di meja bagian belakang beberapa kali seminggu yang lalu. Dhan adalah salah satu pengusaha muda yang dikenal di kalangan profesional karena keberhasilannya dalam bidang startup dan kreativitasnya.

“Betul! Dhan Satria. Kita pernah bertemu waktu itu, kan?” jawab Dhan dengan percaya diri, sedikit terkejut melihat bagaimana Lia bisa mengingatnya begitu jelas. “Aku cuma ingin mengajak kamu ngobrol, karena sepertinya kamu sedang menghindari dunia luar.”

Lia tersenyum tipis. “Aku tidak menghindari dunia luar, Dhan. Hanya saja saya lebih nyaman bekerja.” Dia merasa sedikit canggung, karena memang bukan tipe orang yang mudah berinteraksi dengan orang baru, apalagi orang seperti Dhan yang tampaknya penuh dengan kegembiraan dan energi.

“Aku mengerti,” jawab Dhan sambil menyandarkan tubuhnya pada meja di depan Lia. “Tapi, kadang-kadang kita butuh sedikit gangguan, Lia. Bahkan logika yang terlalu kaku pun bisa jadi agak membosankan, kan?” Dhan mengedipkan matanya nakal, membuat Lia merasa sedikit terperangah dengan kelancarannya berbicara.

Lia hanya terdiam sejenak, mencoba untuk menyaring kata-katanya. Sejujurnya, dia tidak tahu harus menjawab apa. Namun, di balik rasa canggung itu, ada sesuatu dalam diri Dhan yang membuatnya merasa tertarik untuk mendengarkan lebih lanjut. Dhan memang tidak seperti orang-orang yang biasa ia temui dalam pertemuan profesional. Dia tampak lebih bebas, lebih berani, lebih… tidak terstruktur.

“Jadi, apa yang kamu pikirkan tentang pertemuan seperti ini? Aku rasa kamu lebih suka data daripada percakapan,” lanjut Dhan, dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya.

Lia tertawa kecil, sedikit merasa lega karena Dhan tidak terlalu memaksakan obrolan. “Memang, saya lebih suka data yang jelas dan bisa dianalisis, tapi… aku akui, percakapan seperti ini sedikit menyenangkan.”

Dhan tersenyum lebih lebar lagi. “Aku tahu! Aku yakin kamu punya banyak hal yang bisa dibicarakan. Mungkin bukan tentang angka, tapi tentang dunia yang tak terduga ini.”

Perasaan tidak nyaman yang Lia rasakan mulai berubah. Entah kenapa, sesuatu dalam cara Dhan berbicara membuatnya merasa sedikit lebih terbuka. Mungkin, inilah yang disebut “gangguan” yang Dhan maksud. Cinta? Mungkin. Tapi untuk saat ini, Lia tidak ingin terburu-buru menganggapnya seperti itu.

Seiring berjalannya waktu, Lia semakin sering bertemu dengan Dhan, baik dalam acara-acara profesional maupun saat-saat santai yang tidak terduga. Setiap pertemuan selalu meninggalkan jejak yang tidak bisa dia jelaskan. Ada sesuatu dalam cara Dhan berbicara dan berinteraksi dengan dunia yang membuat Lia merasa tertarik, meskipun secara rasional dia tahu bahwa dunia seperti itu tidak cocok dengan dirinya.

Namun, semakin Lia menghindari perasaan itu, semakin kuat perasaan itu tumbuh. Mungkin, seperti yang Dhan katakan, ada saatnya untuk membiarkan diri keluar dari zona nyaman. Tapi apakah itu berarti dia harus membuka hatinya untuk cinta, yang selama ini ia pandang sebagai gangguan?

Itulah yang mulai mengganggu pikiran Lia, dan itu hanya awal dari perjalanan yang tak terduga.*

Bab 2: Perasaan yang Membingungkan

Lia duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang sudah kosong tanpa ada tugas yang menunggu untuk diselesaikan. Keheningan kantor yang semula nyaman kini terasa penuh dengan kebingungannya sendiri. Sejak pertemuannya dengan Dhan beberapa hari yang lalu, pikirannya terasa berantakan. Dia tidak tahu mengapa, tapi setiap kali memikirkan Dhan, ada sensasi yang membuat hatinya berdebar-debar. Itu bukan debaran gugup karena berbicara di depan umum, atau rasa tegang saat harus mengerjakan presentasi yang rumit. Ini lebih seperti perasaan yang sangat asing baginya, yang sulit untuk dipahami dan lebih sulit lagi untuk diterima.

Hari-hari berikutnya setelah pertemuan itu, Lia berusaha untuk mengalihkan pikirannya kembali ke pekerjaan yang biasa dia lakukan dengan penuh ketelitian. Dia berusaha keras untuk tidak memikirkan Dhan—pria yang, meskipun baru dia kenal, sudah membuat dunianya sedikit goyah. Namun, semakin dia mencoba untuk tidak peduli, semakin sering bayangan wajah Dhan muncul di benaknya.

“Kenapa aku harus merasa seperti ini?” gumamnya pada diri sendiri. Dia menghela napas panjang, memiringkan kepala ke belakang dan menatap langit-langit kantor. Tidak ada jawaban. Hanya rasa bingung dan sedikit frustasi yang memenuhi pikirannya.

Sudah beberapa kali Maya, rekannya, mencoba menggoda dengan komentar ringan tentang Dhan, tapi Lia selalu menghindar atau memberikan jawaban yang terkesan dingin. Maya sudah cukup mengenalnya untuk tahu bahwa Lia tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal seperti itu. Namun, kali ini, Maya sedikit khawatir.

“Maya, aku rasa aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Aku nggak bisa mikirin hal lain dulu,” jawab Lia singkat, meskipun dalam hatinya ada sesuatu yang berbeda.

Pada kenyataannya, Lia merasa cemas, bingung, dan—bahkan—sedikit takut dengan perasaan yang mulai tumbuh. Dia terbiasa mengontrol segala sesuatunya dengan rasionalitas yang tinggi, tapi perasaan ini begitu tak terduga dan jauh dari yang dia harapkan.

Hari itu, Lia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kafe tempat mereka bertemu sebelumnya. Mungkin udara segar bisa menenangkan pikirannya. Tapi ketika langkahnya menghampiri pintu kafe, ia melihat sosok yang tidak asing berdiri di meja dekat jendela. Dhan. Tanpa sadar, langkahnya terhenti. Pria itu sedang menghadap jendela, dengan secangkir kopi di tangannya, tampak asyik memandangi jalanan di luar.

Lia merasa agak canggung, tetapi, sepertinya tidak ada jalan lain. Dia menghela napas lagi dan melangkah masuk. Ketika Dhan melihat ke arahnya, senyum lebar langsung menghiasi wajahnya. “Lia! Lagi-lagi kita bertemu di sini, huh?”

Lia merasa jantungnya berdebar cepat. “Iya, saya hanya berjalan-jalan sebentar,” jawabnya sambil menahan kecanggungan yang tiba-tiba muncul.

Dhan mengangguk dengan penuh pengertian. “Mungkin aku sedikit beruntung, ya? Dapat kesempatan untuk bertemu kamu lagi.” Ia menyentuh meja sebelahnya, seakan mengajak Lia duduk.

Lia agak terkejut, tapi dia memutuskan untuk duduk. “Tentu,” jawabnya, mencoba terdengar lebih santai daripada yang dia rasakan. Namun, semakin dekat dengan Dhan, semakin terasa ada ketegangan yang tidak bisa dijelaskan.

Mereka mulai berbincang ringan, meski Lia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Dhan tidak hanya ramah dan ceria, dia juga sangat pandai membaca suasana hati orang. Dia tahu kapan Lia tertarik untuk berbicara lebih banyak, dan kapan Lia mulai menarik diri. Tidak ada paksaan dalam pembicaraan mereka, tetapi Lia merasa dirinya terkadang terbuka begitu saja tanpa bisa menahan diri.

“Kenapa kamu memilih dunia yang penuh dengan angka dan logika, Lia? Dunia yang… teratur dan terstruktur. Bukankah hidup ini lebih berwarna jika ada ketidakpastian di dalamnya?” tanya Dhan sambil menatap Lia dengan serius. “Aku rasa kamu punya sisi lain yang lebih… bebas.”

Lia terdiam sejenak. Apa yang Dhan katakan benar. Selama ini, hidupnya memang teratur—terlalu teratur. Tapi hidup yang bebas, yang penuh dengan ketidakpastian dan kekacauan, bukanlah sesuatu yang bisa ia bayangkan. “Aku lebih suka sesuatu yang bisa diprediksi. Sesuatu yang bisa dianalisis, dan… bisa aku kontrol.” Lia sedikit menunduk, merasa canggung dengan jawaban yang keluar dari mulutnya.

Dhan tertawa kecil. “Mungkin. Tapi terkadang, ketidakpastian itu justru yang membuat hidup lebih hidup. Kamu tahu, kadang perasaan itu bisa mengalahkan logika. Kita tak selalu bisa mengendalikan apa yang kita rasakan.”

Lia terdiam. Apa yang Dhan katakan membuatnya terperangah. Perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya benar-benar tidak bisa dia kontrol. Bagaimana bisa seseorang seperti dirinya, yang biasa mengandalkan logika, tiba-tiba merasa terombang-ambing dengan perasaan yang begitu… tidak terduga?

“Apa kamu yakin nggak ingin mencoba sedikit lebih percaya pada perasaan?” Dhan melanjutkan, matanya tidak lepas dari wajah Lia.

Lia merasa sedikit tersentak. Bagaimana bisa Dhan begitu tahu apa yang ada di dalam pikirannya? Setiap kata yang keluar dari mulut Dhan seolah langsung menyentuh inti kebingungannya. Tanpa sadar, Lia merasakan perasaan hangat yang mulai merayap ke seluruh tubuhnya. Itu bukan rasa malu atau canggung biasa. Ini perasaan yang lebih dalam, yang mulai menguasai hatinya.

“Maaf, Dhan. Aku… aku nggak tahu.” Lia mencoba menghindar dengan mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dia merasa bingung, tak tahu harus berkata apa lagi.

Dhan hanya tersenyum dengan penuh pengertian. “Aku tahu, Lia. Aku tahu ini membingungkan. Tapi kamu nggak perlu terburu-buru. Terkadang, perasaan itu datang tanpa kita minta. Yang perlu kita lakukan hanya… biarkan itu ada.”

Kata-kata Dhan semakin mengingatkannya pada perasaan yang dia coba sembunyikan. Lia mulai sadar, ada perasaan yang sedang tumbuh dalam dirinya—perasaan yang selama ini dia anggap sebagai gangguan. Dan perasaan itu mungkin saja berawal dari Dhan, meskipun ia tidak bisa menghadapinya begitu saja.

Namun, ada sesuatu yang berubah. Lia merasa mulai membuka sedikit hatinya, meskipun masih penuh dengan kebingungan. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasakan sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan oleh logika. Cinta.*

Bab 3: Menjaga Jarak

Lia berjalan pulang dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Setiap langkah seolah membawa beban perasaan yang semakin sulit dia kendalikan. Pikirannya masih terputus-putus, dipenuhi gambaran wajah Dhan dan kata-kata yang sempat dia dengar beberapa saat lalu. “Terkadang, perasaan itu datang tanpa kita minta. Yang perlu kita lakukan hanya… biarkan itu ada.” Kalimat itu seperti melayang-layang di dalam kepalanya, terus terulang dalam berulang kali.

Ia menatap jalanan yang mulai gelap, namun tidak bisa menepis pikiran yang terus mengusik. Mengapa, tiba-tiba saja Dhan begitu mampu membuatnya merasa bingung? Padahal, Lia selalu bisa menjaga jarak dari perasaan. Semua bisa dia kontrol dengan rasionalitas yang dia bangun selama bertahun-tahun. Namun, sekarang… ada sesuatu yang dia tak bisa tahan.

Ketika sampai di rumah, Lia langsung menuju ke meja kerjanya dan membuka laptopnya. Ia mencoba mencari tugas atau pekerjaan yang bisa mengalihkan pikirannya, tapi seperti biasa, segala yang dia lakukan terasa hampa. Hatinya tidak fokus pada pekerjaannya. Pikirannya malah kembali ke Dhan. Kepergian Dhan yang ramah, tawanya yang membuat hatinya sedikit berdebar, dan cara pria itu mengerti perasaannya—yang bahkan Lia sendiri pun tidak mengerti.

“Kenapa dia bisa begitu…” Lia berbicara pada dirinya sendiri, sambil menatap kosong layar laptopnya.

Ia tahu dirinya harus menjaga jarak. Perasaan seperti ini—yang tiba-tiba muncul tanpa dia minta—adalah sesuatu yang harus dia hindari. Lia adalah wanita yang sangat menghargai independensi dan kendali diri. Cinta, baginya, adalah sesuatu yang bisa mengaburkan logika, dan Lia tidak ingin kehilangan kontrol.

Namun, meskipun ia berusaha menahan perasaan itu, semakin hari, perasaan itu semakin sulit disembunyikan. Terutama setelah pertemuan terakhir mereka di kafe. Dhan selalu punya cara untuk membuka percakapan, menanyakan hal-hal yang membuatnya merasa diterima, tanpa ada tekanan sedikit pun. Keberadaan Dhan di sekitarnya justru semakin membuatnya merasa nyaman, tapi di sisi lain, itulah yang membuatnya takut.

Lia mencoba untuk menjauh, namun perasaan itu terus datang dengan sendirinya. Dia mulai menghindari Dhan. Setiap kali Dhan mengirimkan pesan atau mengajak untuk bertemu, Lia akan mencari alasan untuk tidak bertemu. Bahkan saat mereka harus berhubungan melalui pekerjaan, Lia merasa canggung. Dia takut kalau terlalu sering berinteraksi, perasaan itu akan semakin menguasainya.

Suatu hari, di tengah pertemuan rapat di kantor, Dhan mengirim pesan yang membuat jantung Lia terhenti sejenak.

“Lia, bisa kita bicara sebentar setelah rapat? Aku ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”

Pesan itu seperti mencekik tenggorokannya. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan yang ingin Dhan bicarakan. Mungkin Dhan mulai merasakan hal yang sama—perasaan yang sulit dihindari. Lia menatap layar ponselnya beberapa saat, merasa bingung. “Apa yang harus aku lakukan?” batinnya.

Rapat pun selesai, dan seperti yang Lia takutkan, Dhan menunggunya di luar ruangan, berdiri dengan tangan di saku, wajahnya yang santai namun ada kilasan keseriusan di balik matanya. Lia berjalan perlahan, berusaha tetap tenang meskipun hatinya terasa berdebar.

“Hei,” sapa Dhan, suaranya hangat seperti biasa, “Aku cuma ingin… ngobrol sebentar. Tidak lama kok.”

Lia menelan ludah, berusaha tidak terlalu memperlihatkan ketegangannya. “Ada apa, Dhan?” tanyanya, suaranya terdengar lebih dingin dari yang dia inginkan.

Dhan mengamati ekspresi wajah Lia sejenak. “Kamu kenapa, Lia? Kenapa akhir-akhir ini kamu seperti menghindari aku? Aku merasa ada yang berbeda.” Dhan berhenti sejenak, menatapnya dengan tajam, mencoba mencari jawaban di balik raut wajah Lia yang tertutup.

Lia merasa sedikit terpojok. Dia ingin menjawab dengan sesuatu yang bisa membuat Dhan mengerti tanpa melibatkan perasaan, tapi kata-katanya seolah terjebak di tenggorokannya. “Tidak ada yang berbeda, Dhan. Mungkin aku memang hanya sibuk dengan pekerjaan.” Dia mencoba tersenyum, meskipun senyum itu terasa terpaksa.

Tapi Dhan tidak terpengaruh dengan jawaban itu. “Aku tahu kamu nggak seperti ini biasanya. Kamu bisa bilang kalau kamu merasa terganggu dengan sesuatu, Lia. Aku nggak akan memaksakan apapun.”

Lia menatap Dhan dengan tajam. Tidak ada kata yang bisa keluar. Namun, perasaan yang selama ini ia pendam terasa semakin menyusup ke dalam dirinya. Dia ingin mengatakannya, ingin menjelaskan bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang belum siap dia terima. Tapi bibirnya tetap tertutup rapat.

“Dhan…” Lia akhirnya mengucapkan kata itu dengan suara serak. “Aku cuma… nggak tahu apa yang aku rasakan. Aku biasa mengandalkan logika, dan perasaan ini… terasa membingungkan.”

Dhan mengangguk, senyum kecil terukir di wajahnya. “Aku ngerti. Kita nggak selalu bisa kontrol perasaan, Lia. Tapi jangan takut dengan perasaan itu. Kadang, perasaan itu bisa jadi hal yang terbaik yang terjadi dalam hidup kita. Jadi, nggak usah terlalu keras pada diri sendiri.”

Lia terdiam. Perkataan Dhan benar-benar menusuk jantungnya. Ingin rasanya ia lari dari semua kebingungannya, tapi di sisi lain, ada ketenangan dalam kata-kata Dhan yang membuatnya sedikit lebih rileks.

Namun, Lia tahu bahwa untuk saat ini, menjaga jarak adalah hal yang terbaik. Tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Dhan. Lia tidak ingin terjebak dalam perasaan yang tidak bisa dia kontrol. Cinta adalah sesuatu yang indah, tapi bukan sesuatu yang bisa dia biarkan merusak kestabilan hidupnya.

“Makasih, Dhan. Aku cuma butuh waktu.” Jawaban itu keluar dengan suara pelan.

Dhan mengangguk dan tersenyum. “Aku nggak akan ke mana-mana, Lia. Aku akan tetap ada, kalau kamu butuh aku.”

Lia menghela napas panjang, sedikit lega meskipun hatinya masih penuh dengan kebingungan. Dia tahu, jalan yang harus dia pilih sekarang adalah menjaga jarak, setidaknya sampai dia bisa mengerti perasaannya lebih jelas. Dan, entah mengapa, meskipun dia memilih menjaga jarak, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa takut jika dia kehilangan Dhan—pria yang tanpa dia sadari, sudah mulai menempati ruang yang lebih besar dalam hatinya.*

Bab 4: Cinta yang Menggoda

Hari demi hari berlalu, dan Lia mulai merasa semakin terperangkap dalam perasaan yang semakin sulit dia kendalikan. Meski dirinya berusaha sekuat tenaga untuk menjaga jarak dengan Dhan, kenyataan berkata lain. Perasaan yang seharusnya bisa dia kendalikan malah semakin menggoda, memanggilnya untuk lebih dekat dengan pria yang selama ini hanya dianggap teman. Namun, Lia tidak tahu bagaimana cara menangkis godaan itu.

Lia menatap ponselnya, matanya terhenti pada nama Dhan yang muncul di layar. Ada pesan singkat yang masuk tadi pagi, seakan tidak sabar untuk dia buka. Sebenarnya, Lia ingin mengabaikannya, membiarkannya terbenam di dalam kotak masuk yang tak pernah dibuka. Tetapi, entah kenapa, tangannya malah bergerak untuk membuka pesan itu.

“Pagi, Lia! Gimana kabarmu? Aku pikir kita harus cari waktu buat ngobrol lagi. Banyak hal yang ingin aku ceritakan, selain tentang pekerjaan.”

Lia menggigit bibir bawahnya, menimbang-nimbang antara ingin membalas atau tidak. Setiap kali pesan itu datang, hatinya mulai berdebar, seolah ada semacam magnet yang menariknya untuk merespons. Namun, dia sadar bahwa di sinilah tantangan sebenarnya dimulai—apakah dia akan membiarkan dirinya terjerat dalam godaan yang semakin kuat, atau dia akan tetap berpegang teguh pada prinsipnya untuk tidak terlibat dalam perasaan yang bisa mengubah semuanya?

Beberapa menit berlalu, dan akhirnya Lia membalas pesan itu dengan cepat, mencoba mengalihkan pikirannya.

“Pagi, Dhan. Aku baik-baik saja, cuma sibuk aja. Kalau ada hal penting, kita bisa bahas di kantor aja ya?”

Senyumnya terukir tipis setelah mengirim pesan itu. Dia merasa lega karena berhasil menjaga batasan, meskipun dalam hati ada rasa kecewa yang datang begitu saja. Mengapa perasaan ini begitu mengganggu? Mengapa dia tidak bisa sekadar melupakan Dhan seperti halnya dia melupakan orang lain dalam hidupnya?

Seharian itu, Lia berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun, di setiap sudut ruangannya, Dhan seolah hadir dalam pikirannya. Lalu, entah bagaimana, sore itu, dia menemukan dirinya berada di luar kantor, tanpa sengaja berjalan ke kafe yang sama dengan tempat pertemuan mereka beberapa waktu lalu. Dia berhenti sejenak, melihat sekeliling, mencoba mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang ingin dia hindari. Tetapi, matanya tertuju pada sosok pria yang sedang duduk di meja dekat jendela.

Dhan.

Hatinya berdebar lebih cepat, seolah ada suara yang mengingatkan bahwa di sinilah jawabannya. Dia berjuang melawan dorongan untuk mendekat dan menyapa Dhan, tetapi kakinya justru melangkah tanpa bisa dia kendalikan. Perasaan itu kembali datang, memaksanya untuk lebih dekat.

“Lia?” Suara Dhan yang khas membuatnya terhenti, dan seketika itu juga, Lia merasa dunia berhenti berputar. Semua pikiran yang tadi berputar di dalam kepalanya kini lenyap, digantikan oleh sensasi yang menggetarkan. Dhan tersenyum padanya, senyum yang selalu membuatnya merasa hangat meskipun hatinya terasa cemas.

“Kenapa kamu di sini?” tanya Dhan, membuka percakapan dengan cara yang sama seperti biasa, tidak terburu-buru, tapi cukup untuk membuat Lia merasa nyaman sekaligus gelisah.

Lia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku… cuma lewat aja. Tadi pikir mau beli kopi.”

“Kalau gitu, duduklah sebentar. Aku juga baru aja pesan. Gimana kalau kita ngobrol?” Dhan mempersilakan dengan senyuman lebar, yang seakan menjadi godaan tak terbantahkan.

Lia merasa canggung, namun hatinya berdebar hebat. Meski dia mencoba menjaga jarak, kali ini godaan itu terlalu kuat untuk dihindari. Dia akhirnya duduk di hadapan Dhan, merasa tidak sabar sekaligus ragu dengan keputusan ini.

“Jadi, gimana? Ada yang ingin kamu ceritakan?” Lia mencoba untuk terdengar santai, meskipun hatinya seperti berdebar lebih cepat dari biasanya. Dhan hanya tersenyum tipis dan mengambil secangkir kopi di depannya.

“Aku cuma ingin tahu… kenapa kamu selalu terlihat ragu ketika kita ngobrol. Apa ada yang salah?” Dhan menatapnya dengan serius, namun tidak ada paksaan dalam suaranya. Hanya sebuah rasa ingin tahu yang tulus.

Lia terdiam sejenak. Begitu banyak yang ingin dia katakan, namun semua itu terhenti di bibirnya. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya? Bahwa setiap kali berada di dekat Dhan, hatinya bergetar dan pikirannya mulai kacau? Namun, kata-kata itu terbungkam. Sebagai gantinya, Lia hanya tersenyum kecil.

“Aku nggak tahu. Mungkin karena kita terlalu sering berbicara soal pekerjaan dan belum sempat ngobrol tentang hal-hal lain.” Lia berusaha mengalihkan topik, walau hatinya tahu bahwa ada lebih banyak hal yang tidak ia ucapkan.

Dhan mengangguk perlahan. “Aku ngerti. Mungkin kita memang harus ngobrol lebih banyak tentang kehidupan pribadi kita, bukan hanya pekerjaan.”

Lia merasa sedikit cemas dengan kata-kata Dhan itu. Kenapa Dhan selalu bisa membuatnya merasa seperti ini? Kenapa godaan untuk mendekat selalu datang begitu saja, meski ia berusaha menjaga jarak? Apakah dia benar-benar siap menghadapi perasaan ini?

“Lia…” Dhan memanggil namanya dengan lembut, dan Lia menatapnya, menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.

Dhan tersenyum lagi, namun kali ini senyum itu berbeda. Ada keseriusan dalam matanya yang sulit Lia pahami. “Aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan, tapi aku hanya ingin kamu tahu… aku sangat menghargai keberadaanmu, lebih dari yang kamu tahu. Aku nggak ingin kalau hubungan kita jadi canggung hanya karena kita nggak mau menghadapi kenyataan bahwa ada perasaan yang lebih dari sekadar teman di antara kita.”

Perkataan Dhan itu bagaikan suara petir yang menggelegar di dalam hati Lia. Semua perasaan yang selama ini ia tahan, kini mulai meledak begitu saja. Godaan untuk merespons itu begitu kuat, tetapi di sisi lain, ia merasa cemas dan takut. Takut jika semua yang mereka miliki sekarang akan berubah, dan dia tak tahu bagaimana cara untuk menghadapinya.

Lia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Dhan. Dalam hatinya, sebuah pergulatan terjadi. Godaan cinta itu semakin menggoda, semakin kuat, dan semakin sulit untuk dihindari. Tetapi, dia tahu, jika dia memberikan jawaban yang salah, semuanya bisa berubah.

“Aku nggak tahu…” kata Lia pelan, dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan.”

Dhan menatapnya dalam-dalam, seolah ingin mengerti segala kegelisahan yang ada di hati Lia. “Kadang, kita nggak perlu tahu apa yang harus kita lakukan, Lia. Kita hanya perlu merasa dan mengikuti apa kata hati kita.”

Kata-kata itu semakin menggoda. Tuhan, kenapa cinta terasa begitu membingungkan?*

Bab 5: Keraguan dan Konflik

Hari-hari setelah pertemuan di kafe itu berlalu dengan cepat, namun perasaan Lia tetap menggantung di antara ketidakpastian dan kegelisahan yang mendalam. Kejadian tersebut membuat dirinya semakin terombang-ambing, tidak tahu harus bagaimana. Godaan yang datang dari Dhan semakin nyata dan semakin sulit untuk dihindari. Setiap kali mereka bertemu atau berkomunikasi, perasaan itu semakin dalam dan membingungkan. Namun, pada saat yang sama, keraguan yang besar juga menggelayuti hatinya, menekan dirinya untuk bertahan dalam zona nyaman yang selama ini ia bangun.

Lia memutuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, menghindari banyak interaksi dengan Dhan, mencoba meredam perasaan yang seakan semakin membakar dirinya. Setiap kali mereka berkomunikasi melalui pesan singkat, hatinya berdebar hebat, namun di sisi lain, ada sebuah kekhawatiran yang mencekam. Apakah dia sudah terlalu jauh terperangkap dalam perasaan yang belum tentu baik untuknya?

Pagi itu, Lia bangun dengan perasaan yang cemas. Pekerjaannya menunggu di kantor, namun ada sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya: Dhan. Tidak ada pesan darinya, namun ia merasa cemas seperti ada sesuatu yang hilang. Mungkin, dia sudah terlalu sering memikirkan pria itu, dan itu membuatnya merasa bingung. Seperti dua sisi mata uang, ada perasaan bahagia dan cemas yang bersaing dalam dirinya.

Lia memutuskan untuk memulai hari dengan berfokus pada pekerjaan, berharap untuk melupakan keraguan yang menghantuinya. Namun, di tengah-tengah tenggelam dalam pekerjaan, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk, dan sekali lagi, hatinya berdebar kencang.

“Lia, aku ingin ketemu. Ada yang penting yang harus kita bicarakan.”

Lia menatap layar ponselnya, matanya terfokus pada pesan dari Dhan yang cukup singkat namun penuh arti. Keraguan muncul begitu saja. Apa yang harus dia lakukan? Apakah ini saatnya dia menghadapi perasaannya yang semakin berkembang, atau apakah dia harus menahan diri dan menjaga jarak? Pertanyaan itu berputar-putar di pikirannya, seolah tidak ada jawaban yang pasti.

Lia duduk di kursinya, memikirkan sejenak, mencoba mencari alasan untuk menolaknya. Namun, tanpa sadar, jarinya sudah mengetikkan balasan.

“Baik, di mana?”

Seketika setelah mengirimkan pesan itu, Lia menyesali tindakannya. Mengapa dia harus kembali jatuh dalam godaan ini? Apa yang membuatnya begitu mudah untuk terpengaruh oleh setiap pesan yang datang dari Dhan? Perasaan itu, yang sudah ia coba untuk tahan, kembali muncul dan menguasai pikirannya.

Setelah beberapa waktu, Lia tiba di kafe yang sudah mereka pilih sebelumnya. Jantungnya berdebar lebih cepat. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dhan sudah ada di sana, duduk di sudut kafe, dengan senyuman khasnya yang seakan membuat dunia sekitarnya berwarna lebih cerah. Ketika mata mereka bertemu, Lia merasa ada kehangatan yang mengalir, tapi sekaligus ada rasa takut yang menjalar.

“Hei, Lia,” sapa Dhan dengan suara lembut, mengangkat tangan menyambutnya.

“Hi,” jawab Lia pelan, mencoba tidak menunjukkan kegelisahan yang sedang menguasai dirinya.

Mereka duduk di meja yang sama, seperti biasa. Tetapi kali ini, suasana terasa berbeda. Ada ketegangan yang terasa begitu nyata. Lia merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Apa yang sebenarnya ingin Dhan bicarakan? Apa yang dia harapkan dari dirinya? Sejak awal, Lia selalu menjaga jarak, tapi semakin lama, jarak itu semakin sulit dipertahankan.

“Ada yang ingin aku bicarakan, Lia,” ujar Dhan, memecah keheningan yang terasa menyesakkan.

Lia menatap Dhan, merasa cemas namun juga penasaran. “Apa itu?”

Dhan menatapnya dengan serius, seolah sedang memilih kata-kata yang tepat. “Aku nggak tahu bagaimana harus mengatakannya, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan di antara kita. Aku nggak bisa terus menahan perasaan ini. Aku ingin tahu apakah kamu merasakannya juga.”

Lia terdiam. Suasana di sekeliling mereka seolah menghilang, hanya ada suara detak jantungnya yang terdengar begitu keras. Dia merasa bingung, takut, dan terkejut sekaligus. Dhan menyatakan perasaannya dengan begitu jelas, namun di sisi lain, Lia merasa ada ketakutan yang datang. Jika dia mengakui perasaannya, apakah itu akan merusak semuanya? Apakah mereka masih bisa kembali seperti semula?

“Aku… aku nggak tahu, Dhan,” Lia berkata, suaranya bergetar. “Aku nggak yakin apa yang aku rasakan. Aku takut kalau kita melangkah lebih jauh, semuanya akan berubah. Aku nggak tahu apakah aku siap untuk itu.”

Dhan mengangguk pelan, menatap Lia dengan tatapan penuh pengertian. “Aku mengerti, Lia. Aku nggak ingin memaksamu. Aku cuma ingin kamu tahu bahwa aku… aku sangat peduli padamu. Lebih dari yang aku kira.”

Lia merasakan hatinya terbebani dengan kata-kata Dhan. Pada satu sisi, ada perasaan yang mendalam, tetapi di sisi lain, ada ketakutan yang menghalangi dirinya untuk melangkah lebih jauh. Mengapa perasaan ini begitu rumit? Kenapa cinta selalu datang dengan begitu banyak keraguan?

Dhan menarik napas panjang, mencoba untuk menenangkan diri. “Aku nggak ingin kamu merasa tertekan, Lia. Aku hanya ingin kamu tahu, kita bisa tetap teman, bahkan jika kamu merasa nggak siap. Aku nggak akan memaksamu, aku cuma… ingin kamu tahu kalau aku ingin lebih dekat denganmu.”

Lia merasa ada beban yang sedikit terangkat setelah mendengar kata-kata itu. Namun, perasaan bingung dan cemas tetap menghinggapinya. Di satu sisi, dia ingin menerima Dhan, namun di sisi lain, keraguan terus menggelayuti hatinya. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia mengikuti perasaan yang datang begitu kuat, atau terus bertahan dengan logika yang selalu mengingatkannya untuk menjaga jarak?

Setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Keraguan dan perasaan yang saling bertentangan semakin menguasai dirinya. Apakah cinta ini akan membawa kebahagiaan, atau justru menjadi sumber penderitaan? Dia tidak tahu jawabannya, dan itu membuatnya semakin bingung.

“Aku akan pikirkan semua ini, Dhan,” kata Lia akhirnya, suaranya sedikit lebih tenang meski hatinya masih bergejolak. “Aku cuma butuh waktu.”

Dhan mengangguk, dan meskipun ada sedikit rasa kecewa di matanya, dia tetap tersenyum. “Aku akan menunggu, Lia. Apapun keputusanmu, aku akan menghormatinya.”

Lia merasa seolah beban berat masih menghantuinya, namun setidaknya, dia merasa sedikit lebih lega. Mungkin, waktu akan memberikan jawaban. Namun, satu hal yang dia sadari—perasaan ini tidak akan pernah mudah untuk dipahami.*

Bab 6: Keputusan Sulit

Hari-hari setelah pertemuan dengan Dhan semakin membingungkan bagi Lia. Keputusan yang seharusnya dia buat semakin menumpuk di pikirannya. Setiap kali dia berpikir untuk memberi jawaban yang pasti, hatinya terhenti oleh keraguan yang datang begitu kuat. Ia merasa terjebak di antara dua dunia yang berbeda: dunia yang penuh dengan logika dan kewajiban, serta dunia yang menawarkan kehangatan dan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Pagi itu, Lia duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang belum disentuh. Pikirannya melayang ke percakapan terakhir bersama Dhan. Kata-kata Dhan masih terngiang di telinganya. Dia ingin lebih dari sekadar teman. Dia peduli padanya, lebih dari yang Lia duga. Di satu sisi, itu membuat hatinya tersentuh, namun di sisi lain, rasa takut dan cemas terus menghalangi langkahnya.

“Kenapa harus sesulit ini?” Lia bergumam pada dirinya sendiri, menggigit bibir bawahnya. Bagaimana bisa perasaan yang sederhana seperti cinta bisa menjadi begitu rumit? Mengapa ada begitu banyak keraguan yang datang bersamaan dengan perasaan yang indah itu?

Lia tahu bahwa dia harus segera memutuskan. Namun, apa yang sebenarnya dia rasakan? Adakah ia benar-benar mencintai Dhan, atau hanya terbawa perasaan sementara? Setiap kali ia melihat Dhan, hatinya berdebar, namun ketika ia melihat kembali kehidupannya yang sudah nyaman dan terkendali, ada rasa takut akan perubahan yang akan datang. Bagaimana jika hubungan itu merusak semuanya? Bagaimana jika segala sesuatu yang telah dia bangun selama ini hancur karena keputusan impulsif?

Hari itu, Lia memutuskan untuk meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Dia menghindari pesan dari Dhan dan berusaha menenangkan pikirannya. Lia memilih untuk pergi ke taman, tempat yang biasa ia kunjungi ketika membutuhkan waktu untuk berpikir dan menyendiri. Udara segar dan ketenangan taman membuatnya sedikit lebih tenang, meskipun hati dan pikirannya tetap berperang. Dia duduk di bangku yang menghadap ke danau kecil, memandang air yang tenang sambil membiarkan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya.

“Ini bukan hanya tentang perasaan, Lia,” pikirnya. “Ini tentang masa depan. Tentang apa yang aku inginkan dalam hidup ini.” Namun, semakin dia berpikir, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Apakah dia siap untuk membuka hati lagi setelah lama terfokus pada kehidupannya yang stabil dan nyaman? Apakah Dhan benar-benar orang yang tepat untuknya, ataukah hanya ilusi yang datang dengan godaan yang sulit ditolak?

Tidak lama setelah itu, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Dhan masuk. Lia menatap layar, dan seketika hatinya berdebar. Setelah beberapa detik ragu, ia membuka pesan tersebut.

“Lia, aku tahu kamu sedang berpikir banyak. Aku hanya ingin kamu tahu, apapun keputusanmu nanti, aku akan selalu menghargainya. Aku nggak ingin terburu-buru, aku cuma berharap kita bisa menemukan jalan yang tepat, bersama-sama.”

Lia menghela napas panjang. Pesan Dhan yang penuh pengertian itu semakin membuat hatinya teriris. Apakah dia bisa melepas kesempatan ini begitu saja? Apakah dia akan menyesal jika tidak memberi kesempatan pada dirinya untuk mencoba lebih dekat dengan Dhan?

Namun, di sisi lain, ada suara kecil yang berbisik di dalam dirinya. “Apa yang akan terjadi jika kamu salah memilih, Lia? Apa yang akan terjadi jika kamu terluka lagi?” Perasaan takut itu semakin kuat dan semakin membayangi pikirannya. Dia merasa seperti terperangkap di antara dua pilihan yang sama-sama sulit.

Sore itu, Lia memutuskan untuk pergi ke kantor untuk mengalihkan pikirannya. Namun, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari perasaan yang membelenggunya. Setiap kali ia menatap layar komputer, bayangan Dhan selalu muncul. Suara tawa dan senyuman Dhan terus mengalir dalam pikirannya, membuatnya semakin sulit untuk berkonsentrasi. Lia merasa seolah dunia di sekitarnya menjadi semakin kabur, seiring dengan perasaan yang semakin menguasai dirinya.

Sesampainya di rumah setelah seharian bekerja, Lia mencoba untuk beristirahat. Namun, tidur malam itu terasa sangat sulit. Setiap kali matanya terpejam, bayangan wajah Dhan muncul di dalam mimpinya. Senyumannya yang tulus, kata-kata penuh perhatian yang selalu dia ucapkan, membuat Lia merasa hangat, namun juga cemas.

Lia tahu, dia tidak bisa terus menghindari kenyataan. Keputusan harus dibuat. Namun, apakah dia sudah siap menghadapi kemungkinan yang akan datang? Apakah dia benar-benar mencintai Dhan, atau hanya merasa terikat oleh kenyamanan dan perhatian yang diberikan kepadanya?

Keesokan harinya, Lia menerima panggilan telepon dari Dhan. Untuk pertama kalinya, Lia merasa perasaan hatinya begitu penuh. Dia tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan. Dengan suara lembut namun penuh ketegasan, Dhan berkata, “Lia, aku tidak ingin memaksamu. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal. Aku serius dengan perasaanku. Aku ingin kita lebih dari sekadar teman. Aku ingin kamu ada di sisiku.”

Lia terdiam sejenak, merasakan seolah-olah dunia sekitarnya berhenti berputar. Dia bisa merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Dhan. Namun, di sisi lain, keraguan kembali muncul. “Tapi, Dhan,” Lia mulai berbicara dengan suara pelan, “aku takut. Aku takut kalau kita tidak bisa bertahan. Aku takut kalau kita hanya akan menyakiti satu sama lain.”

Dhan diam sejenak, kemudian dengan lembut berkata, “Aku mengerti, Lia. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku siap untuk menghadapi apapun, asalkan kita bisa melalui ini bersama.”

Lia merasa hatinya tergerak, namun keraguan itu tetap menggelayuti pikirannya. Inilah keputusan sulit yang harus dia buat. Apakah dia akan mengikuti perasaannya dan mencoba membangun sesuatu yang baru bersama Dhan, ataukah dia akan mundur, menghindari perasaan itu demi melindungi dirinya dari kemungkinan rasa sakit yang akan datang?

Lia menatap langit yang mulai gelap, merenung sejenak. Akhirnya, dia tahu bahwa apapun keputusan yang dia buat, itu akan mengubah hidupnya selamanya. Keputusan ini tidak hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang keberanian untuk mengambil langkah menuju ketidakpastian. Dengan hati yang berat, Lia menjawab, “Aku butuh waktu, Dhan. Tapi aku akan memikirkannya.”

Dhan di ujung telepon hanya bisa menghela napas, memahami ketidakpastian yang ada. “Aku akan menunggu, Lia. Aku akan sabar.”

Setelah menutup telepon, Lia duduk dengan kepala penuh pikiran. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, tapi suatu saat nanti, dia tahu dia harus memilih.*

Bab 7: Cinta yang Sempurna

Lia merasa seperti waktu berjalan lebih lambat dari biasanya, tetapi tidak ada yang bisa menghalangi arus perasaannya yang semakin dalam. Keputusan yang semula tampak begitu sulit kini terasa lebih jelas. Keputusan itu datang begitu perlahan, seiring dengan kebersamaan yang mereka jalani. Meski awalnya dia ragu, kini Lia mulai merasa bahwa perasaan yang tumbuh di antara dirinya dan Dhan bukanlah sekadar perasaan sesaat, melainkan sebuah ikatan yang lebih kuat dan lebih mendalam.

Hari itu, Lia dan Dhan berencana untuk bertemu. Setelah beberapa minggu penuh keraguan dan kebingungannya, Lia merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk berbicara lebih jujur tentang perasaannya. Dia tahu, perasaan ini tidak bisa lagi disembunyikan atau ditahan-tahan. Dia ingin memberi tahu Dhan bahwa meskipun selama ini ada ketakutan dan keraguan, hatinya kini sudah siap untuk menerima kenyataan bahwa cinta itu memang ada, dan dia ingin menjalani hidupnya bersama Dhan.

Lia merapikan penampilannya dengan hati-hati, memilih gaun sederhana yang nyaman namun elegan. Dia berdiri di depan cermin, menatap refleksinya yang tampak sedikit gugup namun penuh keyakinan. Ketika dia melihat dirinya, ada sesuatu yang berbeda. Tidak hanya fisik, tetapi ada perasaan yang tumbuh di dalam dirinya—perasaan yang datang dengan kebahagiaan dan penerimaan diri yang baru. Dia tahu, untuk pertama kalinya, dia merasa siap untuk membuka hati sepenuhnya.

Ponselnya bergetar, dan sebuah pesan dari Dhan muncul di layar. “Aku sudah di kafe, Lia. Aku menunggu kamu.” Tiba-tiba, jantung Lia berdebar lebih cepat, seperti ada semangat baru yang mengalir di dalam dirinya. Dia menghela napas, kemudian melangkah keluar dari rumah menuju tempat yang sudah disepakati.

Sesampainya di kafe, Lia melihat Dhan yang duduk di sudut ruangan. Senyumannya yang hangat langsung membuatnya merasa tenang. Dhan terlihat lebih santai daripada sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda di matanya, seperti ada harapan yang tersirat di balik tatapannya. Lia melangkah mendekat, dan Dhan segera berdiri untuk menyambutnya.

“Hey, Lia,” kata Dhan dengan senyum lebar, “Kamu terlihat cantik hari ini.”

Lia tersenyum malu-malu, merasa sedikit canggung, tetapi senyuman Dhan membuatnya merasa nyaman. Mereka duduk di meja yang sudah disiapkan, dan secangkir kopi panas sudah menunggu di depan mereka. Suasana kafe yang hangat dengan cahaya lampu yang lembut membuat keduanya semakin merasa dekat satu sama lain. Lia menatap Dhan, merasakan ketulusan yang terpancar dari dirinya. Tidak ada lagi keraguan yang mengganggu pikirannya. Dia tahu, inilah saatnya untuk berbicara.

Dhan menyadari perubahan itu. Dia mengamatinya dengan penuh perhatian, seolah menunggu Lia untuk memulai percakapan. Lia menatapnya, dan untuk pertama kalinya, hatinya merasa begitu pasti.

“Dhan,” Lia memulai dengan suara pelan namun tegas, “Aku ingin mengatakan sesuatu.”

Dhan menatapnya penuh perhatian, menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut Lia.

“Aku… aku sudah memikirkan banyak hal. Aku sadar, perasaan yang kita punya bukanlah sesuatu yang bisa aku abaikan lagi. Awalnya, aku takut. Takut kalau ini hanya sementara. Takut kalau kita hanya akan terluka. Tapi semakin aku dekat denganmu, semakin aku merasa bahwa aku tidak bisa lagi hidup dalam ketakutan itu.”

Dhan tersenyum lembut, matanya penuh harapan. “Lia, aku tidak ingin kamu merasa tertekan. Aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini, dengan penuh kesabaran. Apa pun keputusanmu, aku akan menerima.”

Lia menundukkan kepala sejenak, merenung. “Aku ingin kamu tahu satu hal, Dhan. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan segala keraguan yang pernah ada, dengan segala ketakutanku yang dulu menghalangi perasaanku. Tapi sekarang, aku tahu. Aku tahu bahwa cinta itu lebih dari sekadar perasaan sementara. Cinta itu ada dalam setiap langkah kita, dalam setiap tawa dan tangis yang kita lewati bersama.”

Dhan tidak bisa menahan senyumannya. Dia meraih tangan Lia dengan lembut, menggenggamnya erat. “Lia, aku merasa seperti aku telah menemukan tempatku. Kamu adalah orang yang selalu aku cari, bahkan sebelum kita bertemu. Aku merasa tenang dan lengkap saat aku bersamamu.”

Lia merasakan kehangatan yang luar biasa dari genggaman tangan Dhan. Tangan yang selama ini memberi dukungan tanpa syarat. Dalam hati Lia, dia merasa lega. Semua keraguannya, semua kecemasannya, akhirnya terjawab. Dia tahu bahwa cinta yang ia rasakan bukan hanya tentang ketertarikan atau kebahagiaan sesaat, tetapi tentang keberanian untuk menghadapi segala hal bersama, untuk membangun masa depan yang indah bersama seseorang yang dia cintai.

“Dhan,” Lia melanjutkan, “Aku tahu kita akan menghadapi banyak tantangan di depan, tetapi aku percaya bahwa bersama kamu, aku bisa melewati semuanya. Aku siap untuk memulai babak baru dalam hidupku. Aku siap menjalani perjalanan ini bersamamu.”

Dhan memandang Lia dengan penuh kasih sayang, matanya berkilauan. “Aku juga siap, Lia. Aku siap membuatmu bahagia, siap untuk berbagi hidup ini denganmu. Kamu bukan hanya cinta dalam hidupku, tapi juga alasan aku ingin berjuang lebih keras. Bersamamu, aku merasa bahwa hidup ini sempurna.”

Lia tersenyum bahagia, hatinya terasa begitu ringan. Semua kekhawatiran yang dulu menghantuinya sekarang terasa jauh. Mereka berdua sudah memutuskan untuk menghadapi perjalanan cinta ini bersama, dengan segala ketidakpastian yang ada di depan. Tapi yang terpenting adalah mereka tahu bahwa mereka memiliki satu sama lain.

Hari itu, di bawah cahaya lembut kafe, Lia dan Dhan merayakan awal yang baru. Sebuah awal yang penuh dengan janji, harapan, dan cinta yang mereka yakin akan selalu ada di tengah segala rintangan yang akan datang. Cinta yang sempurna—tidak sempurna karena tanpa masalah, tetapi sempurna karena mereka siap untuk saling menerima, saling berjuang, dan menjalani hidup bersama.

Keputusan mereka untuk bersama tidak hanya tentang perasaan yang indah, tetapi juga tentang kesediaan untuk saling melengkapi, untuk tumbuh bersama, dan untuk menciptakan masa depan yang penuh kebahagiaan, meskipun dunia di luar sana penuh dengan tantangan. Kini, mereka tahu bahwa cinta yang sempurna bukanlah sebuah akhir, melainkan sebuah perjalanan yang selalu berlanjut.*

Bab 8: Epilog – Antara Cinta dan Kebahagiaan

Waktu terus berjalan, dan setiap detiknya mengukir cerita baru dalam kehidupan Lia dan Dhan. Mereka sudah melalui banyak hal bersama, dari awal yang penuh keraguan, kebingungannya, hingga akhirnya menemukan jawaban di dalam hati mereka masing-masing. Cinta mereka tidak datang dengan mudah, tetapi setelah melalui perjalanan panjang, mereka akhirnya tahu bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya datang dari perasaan yang mengguncang, melainkan juga dari kedalaman penerimaan, pengertian, dan komitmen yang kuat satu sama lain.

Di sebuah taman yang selalu menjadi tempat favorit mereka untuk berbicara dan berbagi cerita, Lia duduk di bangku panjang, menatap langit senja yang memancarkan cahaya keemasan. Dhan duduk di sampingnya, tangannya menggenggam tangan Lia dengan penuh kasih. Meskipun banyak hal yang sudah mereka lalui, mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Masih banyak tantangan yang akan datang, tetapi bersama, mereka merasa cukup kuat untuk menghadapinya.

“Dhan,” kata Lia, suaranya lembut namun penuh makna, “Kadang aku merasa seperti masih belum sepenuhnya percaya bahwa aku akhirnya bisa menemukan cinta sejati. Semua perasaan yang pernah aku rasakan—keraguan, kebingungan—sekarang terasa begitu jauh.”

Dhan menatap Lia dengan penuh perhatian, lalu memandang ke depan. “Aku juga merasa begitu, Lia. Terkadang aku masih tidak percaya bahwa kita bisa sampai sejauh ini. Cinta kita memang tidak sempurna, tetapi aku tahu, kita berdua bisa saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.”

Lia tersenyum, kemudian menatap Dhan dengan penuh kehangatan. “Kamu benar, Dhan. Cinta kita mungkin tidak sempurna, tetapi cinta itu selalu hadir ketika kita mampu saling menghargai dan menerima. Dan aku merasa, selama kita bersama, kita akan terus berkembang menjadi versi terbaik dari diri kita masing-masing.”

Kata-kata Lia terdengar penuh keyakinan. Setelah berbulan-bulan berjalan bersama, dia merasa semakin kuat dalam keputusan yang telah diambil. Keputusan untuk mencintai, untuk membuka hati, dan untuk menerima Dhan sebagai bagian dari hidupnya. Mereka sudah membuktikan bahwa cinta itu lebih dari sekadar emosi, tetapi juga tentang bagaimana mereka menghadapinya dengan kedewasaan dan pengertian yang mendalam.

Dalam perjalanan mereka, banyak hal yang mereka pelajari, bukan hanya tentang diri mereka sendiri, tetapi juga tentang satu sama lain. Mereka belajar untuk tidak takut menghadapi perbedaan, untuk berbicara terbuka ketika ada keraguan, dan untuk selalu mendukung satu sama lain dalam setiap langkah. Meskipun terkadang perasaan cemas masih muncul, mereka tahu bahwa bersama, mereka bisa mengatasi segala hal.

“Aku ingat waktu pertama kali kita bertemu,” Dhan berkata, suaranya penuh dengan nostalgia. “Kamu terlihat begitu tertutup, seolah-olah tidak ingin orang lain tahu apa yang kamu rasakan. Tapi sekarang, kamu lebih terbuka, lebih percaya diri.”

Lia tertawa kecil, “Itu karena kamu, Dhan. Kamu membuatku merasa nyaman untuk menjadi diri sendiri. Kamu tidak pernah memaksaku untuk menjadi siapa-siapa selain diri aku sendiri. Aku merasa dihargai, dan itu membuatku bisa membuka hatiku.”

Dhan menggenggam tangan Lia lebih erat, merasa beruntung bisa menjadi bagian dari hidupnya. “Kamu selalu punya cara untuk membuatku merasa spesial, Lia. Aku belajar banyak darimu, tentang kesabaran, tentang cara mencintai dengan sepenuh hati tanpa berharap lebih. Kamu mengajarkanku untuk menerima hidup ini apa adanya, dengan segala kebahagiaan dan kesulitan yang datang.”

Mereka duduk dalam keheningan sejenak, hanya suara alam dan angin yang berhembus pelan mengisi ruang. Lia merasa damai, lebih damai daripada yang pernah dia rasakan sebelumnya. Terkadang, dia berpikir tentang masa depan—tentang bagaimana kehidupan mereka akan terus berkembang. Dia tahu bahwa tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan datang, tetapi satu hal yang pasti, selama mereka bersama, mereka akan terus berjuang bersama.

“Kamu tahu, Dhan,” Lia memulai lagi, “Kadang aku berpikir, apakah kebahagiaan itu bisa ditemukan di luar sana, di tempat yang jauh, atau apakah kebahagiaan itu justru ada dalam diri kita sendiri, dalam cara kita mencintai dan saling mendukung. Aku rasa, kebahagiaan sejati datang ketika kita bisa menerima diri kita sendiri, dan saat kita menemukan seseorang yang bisa menerima kita apa adanya.”

Dhan mengangguk setuju. “Kebahagiaan itu memang tidak datang dengan sendirinya. Itu datang ketika kita berusaha untuk menjaganya, ketika kita memilih untuk mencintai dengan penuh pengertian dan tanpa syarat.”

Lia menatap Dhan dengan penuh cinta. “Kebahagiaan bukanlah tujuan yang harus kita capai. Kebahagiaan itu ada dalam perjalanan kita bersama, dalam setiap langkah yang kita ambil bersama-sama, dalam setiap tawa dan air mata yang kita bagi. Dan aku tahu, kebahagiaan kita akan terus tumbuh seiring berjalannya waktu.”

Dhan tersenyum, mengusap rambut Lia dengan lembut. “Aku setuju. Cinta yang kita miliki adalah kebahagiaan kita. Kita sudah memilih satu sama lain, dan itu sudah cukup. Kita akan menghadapi masa depan dengan penuh cinta, apapun yang terjadi.”

Ketika matahari mulai tenggelam, menandakan berakhirnya hari itu, Lia dan Dhan tetap duduk berdampingan, merasakan kedamaian yang datang bersama cinta yang telah mereka bangun. Mereka tahu bahwa perjalanan hidup mereka masih panjang, tetapi mereka sudah siap untuk menjalaninya bersama. Mereka tidak perlu khawatir tentang apa yang akan datang, karena mereka memiliki satu sama lain—dan itu adalah kebahagiaan yang sempurna.

Dalam kebersamaan mereka, Lia dan Dhan menyadari bahwa cinta yang mereka miliki bukan hanya tentang perasaan yang indah, tetapi tentang perjalanan yang penuh dengan pengorbanan, komitmen, dan saling mendukung. Cinta yang sempurna bukanlah tentang tanpa masalah, tetapi tentang bagaimana mereka bersama-sama menghadapinya, tumbuh bersama, dan selalu memilih untuk saling mencintai.

Epilog ini adalah bukti bahwa cinta, ketika disertai dengan pengertian dan ketulusan, bisa mengatasi segala hal. Dan meskipun masa depan masih penuh dengan ketidakpastian, Lia dan Dhan tahu satu hal yang pasti—mereka akan selalu bersama, berjuang, dan menemukan kebahagiaan di setiap langkah mereka.***

—————–THE END—————–

Tags: Antara Logika dan CintaBucinCerita CintaKisah Cinta
Previous Post

HATI YANG TERLALU DALAM

Next Post

JEJAK PERTAMA DI HATI

Related Posts

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

May 13, 2025
JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

May 4, 2025
AKU CINTA, KAMU CUEK

AKU CINTA, KAMU CUEK

May 1, 2025
BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

April 30, 2025
PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

April 29, 2025
CINTA ATAU MIE INSTAN?

CINTA ATAU MIE INSTAN?

April 28, 2025
Next Post
JEJAK PERTAMA DI HATI

JEJAK PERTAMA DI HATI

KEKUATAN DOA DALAM CINTA JARAK JAUH

KEKUATAN DOA DALAM CINTA JARAK JAUH

TIGA HATI SATU CINTA

TIGA HATI SATU CINTA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id